• Tidak ada hasil yang ditemukan

Definisi Lembaga Keuangan Syariah di

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Definisi Lembaga Keuangan Syariah di "

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Definisi Lembaga Keuangan Syariah

Lembaga Keuangan Syariah (LKS) menurut Dewan Syariah Nasional (DSN) adalah lembaga keuangan yang mengeluarkan produk keuangan syariah dan yang mendapat izin operasional sebagai lembaga keuangan syariah (DSN-MUI, 2003). Definisi ini menegaskan bahwa suatu LKS harus memenuhi dua unsur, yaitu unsur kesesuaian dengan syariah islam dan unsur legalitas operasi sebagai lembaga keuangan.

Unsur kesesuaian suatu LKS dengan syariah Islam secara tersentralisasi diatur oleh DSN, yang diwujudkan dalam berbagai fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga tersebut. Adapun unsur legalitas operasi sebagai lembaga keuangan diatur oleh berbagai instasi yang memiliki kewenangan mengeluarkan izin operasi. Beberapa institusi tersebut antara lain adalah sebagai berikut.

1. Bank Indonesia sebagai institusi yang berwenang mengatur dan mengawasi Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat.

2. Departemen Keuangan sebagai institusi yang berwenang mengatur dan mengawasi koperasi.

3. Kantor Menteri Koperasi sebagai institusi yang berwenang mengatur dan mengawasi koperasi.

Fatwa-fatwa DSN biasanya bersifat umum untuk semua LKS, termasuk Bank Syariah.

Adapun fatwa tersebut mengacu pada prinsip-prinsip hukum muamalah yang dirumuskan oleh mayoritas ulama. Beberapa prinsip dalam hukum muamalah adalah sebagai berikut. 1. Pada dasarnya segala bentuk muamalah adalah mubah, kecuali yang ditentukan lain oleh

Al-Qur’an dan sunnah rasul (prinsip mubah).

2. Muamalah dilakukan atas dasar sukarela dan tanpa mengandung unsur-unsur paksaan (prinsip sukarela).

(2)

4. Muamalah dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan, menghindari unsur-unsur penganiayaan, unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan (prinsip keadilan).

Hukum muamalah tersebut secara detail dibahas oleh ulama dalam bidang ilmu yang biasa disebut dengan fikih muamalah. Dalam fikih muamalah, ulama-ulama telah mengidentifikasi dan memfatwakan beberapa jenis transaksi yang dilarang oleh Islam. Pelarangan beberapa transaksi secara umum disebabkan oleh tiga hal berikut:

1. Mengandung barang atau jasa yang diharamkan.

2. Mengandung system dan prosedur memperoleh keuntungan yang diharamkan (tadlis, bai’ ikhtikar, bai’ Najsy, riba, gharar, maysir).

3. Tidak sah akadnya.

Larangan terhadap Transaksi yang mengandung Barang atau Jasa yang Diharamkan

Larangan terhadap transaksi yang mengandung barang atau jasa yang diharamkan sering dikaitkan dengan prinsip muamalah yang ketiga, yaitu keharusan menghindar dari kemadaratan. Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW, sebagai sumber hukum dalam menentukan keharaman suatu barang atau jasa, menyatakan secara eksplisit berbagai jenis bahan yang dinyatakan haram untuk dimakan, diminum, maupun dipakai oleh seorang muslim. Di antaranya adalah meminum khamar dan menggunakan bangkai atau hewan yang dilarang seperti babi, binatang bertaring untuk dimakan atau dipakai untuk kosmetik. Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW juga secara eksplisit melarang dilakukannya berbagai jenis jasa atau tindakan, antara lain tindakan prostitusi, mempertontonkan aurat, merusak akidah, menganiaya orang lain, dan sebagainya.

(3)

Bagi industri perbankan syariah, pelarangan terhadap transaksi yang haram zatnya tersebut diwujudkan dalam bentuk larangan memberikan pembiayaan yang terkait dengan aktivitas pengadaan jasa, produksi makanan, minuman, dan bahan konsumsi lain yang diharamkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dalam pemberiaan pembiayaan, bank syariah dituntut untuk memastikan kehalalan jenis usaha yang dibantu pembiayaannya oleh bank syariah. Dengan demikian, pada suatu bank syariah tidak akan ditemui adanya pembiayaan untuk usaha yang bergerak di bidang pertenakan babi, minuman keras, ataupun bisnis pornografi dan lainnya yang diharamkan.

Larangan terhadap Transaksi yang Diharamkan Sistem dan Prosedur Perolehan Keuntungannya

Selain melarang transaksi yang haram zatnya, agama islam juga melarang transaksi yang diharamkan system dan prosedur perolehan keuntungannya. Beberapa hal yang masuk kategori transaksi yang diharamkan karena system dan prosedur perolehan keuntungan tersebut adalah:

1. Tadlis (ketidaktahuan satu pihak), 2. Gharar (ketidaktahuan kedua pihak), 3. Ikhtikar (rekayasa pasar dalam pasokan), 4. Bai’ najasy (rekayasa pasar dalam permintaan), 5. Maysir (judi), dan

6. Riba

Tadlis

(4)

1. Kuantitas

Salah satu pihak (penjual) misalnya mengurangi takaran bank yang telah disepakati antara penjual dan pembeli. Pengurangan takaran, dalam hal ini, hanya diketahui oleh si penjual. Sekiranya pembeli mengetahui adanya pengurangan tersebut, dapat dipastikan pembeli tidak akan rela dengan jual-beli yang telah dilakukan.

2. Kualitas

Dalam hal kualitas, misalnya salah satu pihak (penjual) mengetahui bahwa barang yang dijual memiliki cacat sekiranya diketahui oleh pembeli, maka harga jual barang akan berkurang sesuai dengan nilai barang sebenarnya. Dalam hal ini, penjual sengaja atau lebih tinggi dari sebenarnya. Transaksi ini diharamkan karena sekiranya pembeli tahu, maka ia tidak akan rela terhadap transaksi tersebut.

3. Harga

Paktik tadlis pada harga dilakukan penjual dengan memanfaatkan ketidaktahuan pembeli tentang harga pasar, sehingga dapat menjual produknya dengan harga tinggi. Sekiranya pembeli mengetahui bahwa harga tinggi tersebut hanya berlaku pada dirinya sedang orang lain tidak, hal ini dapat mengakibatkan rusaknya kerelaan pembeli atas transaksi yang sudah dilakukan.

4. Waktu Penyerahan

(5)

bertentangan dengan prinsip kerelaan dalam muamalah. Oleh karena sekiranya pembeli mengetahui hal demikian, maka ia tidak akan mau bertransaksi dengan penjual tersebut.

Ketiadaan informasi juga bisa terjadi pada penyedia jasa dalam transaksi sewa. Sebagai contoh, pemberi kerja yang menyewa tenaga pekerja sengaja tidak menyebutkan bayaran yang diterima pekerja dengan pertimbangan si pekerja akan keberatan bekerja karena tidak sesuai dengan harga pasar. Setelah pekerja menyelesaikan pekerjaannya, barulah bayaran disampaikan dan pekerja tidak memiliki pilihan selain menerima bayaran yang ditetapkan pemberi kerja.

Untuk menghindari praktik tadlis dalam perbankan syariah, semua transaksi yang dilakukan oleh bank syariah, terutama yang terkait dengan jual beli barang maupun sewa jasa antara bank syariah dengan nasabah dan pihak luar maupun antara bank syariah dengan pegawainya, harus dilakukan secara transparan. Segala hal yang pokok dalam jual beli barang atau sewa jasa harus terinformasikan kepada kedua belah pihak dan dijelaskan pada akad yang disepakati kedua belah pihak.

Gharar

Transaksi gharar memiliki kemiripan dengan tadlis. Dalam tadlis, ketiadaan informasi terjadi pada salah satu pihak, sedangkan dalam gharar ketiadaan informasi terjadi pada kedua belah pihak yang bertransaksi jual beli. Gharar dapat terjadi pada salah satu dari empat hal pokok dalam jual beli berikut.

1. Kuantitas

(6)

dapat menikmati keberhasilan panennya. Sebaliknya, jika hasil panen lebih rendah dibanding nilai transaksi saat pembelian, pembeli akan menjadi pihak yang dirugikan.

2. Kualitas

Gharar dalam kualitas, misalnya adalah penjualan sapi yang masih dalam perut induknya. Kedua belah pihak, baik pembeli maupun penjual, tidak mengetahui bagaimana kualitas sapi itu nantinya ketika lahir. Dalam hal ini, sekiranya akan menjadi pihak yang dirugikan apabila sapi yang dilahirkan nantinya adalah dapi dengan kualitas buruk.

3. Harga

Gharar dalam harga dapat terjadi jika kedua belah pihak tidak pasti mengenai harga yang dipakai dalam jual beli yang disepakati. Sebagai contoh adalah jual beli dengan kesepakatan harga berikut, “sekiranya barang ini lunas dalam jangka waktu di bawah satu tahun, maka marginya adalah 20%, tapi seandainya lunas antara satu atau dua tahun, maka marginnya otomatis menjadi 40%.” Oleh karena kedua belah pihak tidak tahu apakah pembayaran akan dilunasi dalam satu tahun atau lebih, dalam hal ini harga barang mengalami ketidakpastian, apakah harga dengan margin 20% maupun harga dengan margin 40%.

4. Waktu penyerahan

Gharar dalam hal waktu penyerahan dapat terjadi jika kedua belah pihak tidak tahu kapan barang akan diserahterimakan. Sebagai contoh penjual mobil yang sedang hilang dicuri dengan akad pembeli membayar seharga tertentu dan berhak atas mobil yang sedang hilang dilarikan pencuri.

(7)

praktik, transaksi ini dihindari dengan memastikan bahwa barang yang diperjualbelikan dapat diserahterimakan pada waktu yang disepakati sesuai dengan kuantitas dan spesifikasi kualitas yang disepakati. Pembelian tersebut juga harus disepakati pada satu harga yang terutang dalam akad kesepakatan jual beli.

Bai’ Ikhtikar

Bai’ Ikhtikar merupakan bentuk lain dari transaksi jual beli yang dilarang oleh syariah Islam. Ikhtikar adalah mengupayakan adanya kelangkaan barang dengan cara menimbun. Dengan demikian, penjual akan memperoleh keuntungan yang besar karena dapat menjual dengan harga yang jauh lebih tinggi dibanding harga sebelum kelangkaan terjadi. Pelarangan tindakan ini, selain memiliki dalil naqli, juga didasarkan atas kaidah fikih terkait dengan keharusan memlihara nilai keadilan serta menghindari unsur-unsur penganiayaan dan unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan.

Bai’ Najasy

Bai’ najasy adalah tindakan menciptakan permintaan palsu, seolah-olah ada banyak permintaan terhadap suatu produk, sehingga harga jual produk akan naik. Upaya menciptakan permintaan palsu antaa lain dengan:

1. Penyebaran isu yang dapat menarik orang lain untuk membeli barang,

2. Melakukan order pembelian semu untuk memunculkan efek psikologis orang lain untuk membeli dan bersaing dalam harga

3. Melakukan pembelian pancingan sehingga tercipta sentiment pasar. Bila harga sudah naik sampai level yang diinginkan, maka yang bersangkutan akan melakukan aksi ambil untung dengan melepas kembali barang yang sudah dibeli.

(8)

saham tersebut akan mengalami kerugian karena dalam waktu singkat saham yang dibeli akan turun harganya.

Maysir

Ulama dan fuqaha mendefinisikan maysir (judi atau gambling) sebagai sebuah permainan di mana satu pihak akan memperoleh keuntungan sementara pihak lainnya akan menderita kerugian (Ibnu Qudama: Al Mughni, 13/408). Contoh penerapan larangan maysir pada keuangan syariah adalah larangan untuk memberikan pembiayaan pada bisnis yang mengandung unsur judi. Contoh penerapan lain adalah larangan pada bank untuk menjadikan uang sebagai instrument spekulasi dan mendapatkan keuntungan dari ketidakstabilan nilai tukar mata uang.

Riba

Secara bahasa, riba bermakna tambahan, tumbuh, atau membesar. Definisi riba yang banyak digunakan dalam literature ekonomi syariah adalah definisi yang dirumuskan oleh imam sarakhsi dalam Mabsut juz XII, hlm. 109 sebagai berikut.

“Riba adalah tambahan yang diisyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya padanan (iwad) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut.”

(9)

Sumber hukum tentang riba didasari pada Q.S. Al-Baqarah 278-279 dengan terjemahan sebagai berikut.

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu. Kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.”

Adapun sumber hukum yang diacu dalam menetukan kriteria riba adalah hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Ubadah bin Samit yang terdapat dalam Abu Daud hadis 3343 dan dalam At Tirmizi hadis 2819 dengan bunyi sebagai berikut.

“Emas dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung gandum dengan tepung gandum dalam ukuran yang sama, kurma dengan kurma dalam ukuran yang sama, garam dengan garam dalam ukuran yang sama. Jika seseorang memberi lebih atau meminta lebih, ia telah berhubungan dengan riba. Tetapi tidak diharamkan penjualan emas dengan perak dan perak dengan emas dalam berat yang tidak sama. Pembayaran dilakukan pada saat itu juga dan janganlah menjual jika dibayar belakangan. Dan tidak diharamkan menjual gandum dengan tepung gandum dan tepung gandum (dengan gandum) dalam ukuran yang berbeda, pembayaran dilakukan pada saat itu juga. Jika pembayaran dilakukan kemudian, janganlah menjualnya.”

Acuan lain yang dijadikan sebagai dasar membedakan riba dengan yang tidak riba adalah hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Muslim sebagai berikut.

“Jangan kamu bertransaksi satu dinar dengan dua dinar; satu dirham dengan dua dirham; satu sha’ dengan dua sha’ karena aku khawatir akan terjadi riba. Seorang bertanya: Wahai Rasul, bagaimana jika seseorang menjual seekor kuda dengan beberapa ekor kuda dan seekor unta dengan beberapa ekor unta? Jawab Nabi Muhammad SAW: Tidak mengapa, asal dilakukan dengan tangan ke tangan (langsung).” (HR Muslim)

(10)

Adapun riba dalam transaksi jual beli terbagi dua, yaitu riba fadhl dan riba nasi’ah. Riba fadhl adalah riba yang timbul karena pertukaran antarbarang ribawi yang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda. Riba nasi’ah adalah riba yang timbul karena penangguhan penyerahan atau penerimaan barang yang dipertukarkan dengan jenis barang lainnya.

Berdasarkan hadis tersebut, juga disimpulkan bahwa hukum riba berlaku pada transaksi antarbarang ribawi dengan jenis yang sama. Barang ribawi dapat dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu kelompok mata uang dan kelompok pokok.

1. Kelompok mata uang dapat dibagi dalam beberapa jenis, yaitu jenis emas dan perak secara khusus, baik dalam bentuk mata uang maupun dalam bentuk lainnya. Contoh riba fadhl dalam hal ini adalah jika A yang sedang membutuhkan uang pecahan bersedia membeli 10 lembar uang Rp 10.000 dengan membayar sebesar Rp 102.000 kepada B. kelebihan Rp 2.000 untuk B dapat dikatakan sebagai riba fadhl yang dilarang sebagaimnana dilarangnya transaksi seperti ini pada emas di zaman Rasulullah. Adapun contoh riba nasi’ah dalam mata uang jual beli mata uang asing yang penyerahannnya tidak dilakukan dalam waktu bersamaan. Sebagai contoh, A membeli 100 Yen Jepang pada B yang mana A menerima uang Yen tersebut saat itu juga, sedangkan penyerahan uang rupiah dilakukan beberapa hari, Minggu, atau bulan kemudian. Transaksi ini juga dilarang karena adanya penundaan waktu bisa menyebabkan perbedaan harga pasar dalam jual beli mata uang, sehingga dapat mengakibatkan salah satu pihak menjadi diuntungkan dan pihak lain dirugikan.

(11)

Larangan terhadap Transaksi yang Tidak Sah Akadnya

Suatu transaksi, kendati telah menggunakan barang atau jasa yang halal dan diperoleh dengan mekanisme pemerolehan keuntungan yang dibolehkan agama, juga harus memenuhi syarat beabsahan suatu akad. Akad secara bahasa berarti ikatan. Adapun akad menurut istilah adalah ketertarikan keinginan diri dengan keinginan orang lain dengan cara memunculkan adanya komitmen tertentu yang diisyaratkan. Hukum fikih menyatakan bahwa akad yang sah harus dipenuhi, sedang akad yang tidak sah tidak boleh dipenuhi.

Q.S Al-Maidah (5):2

“Hai orang yang beriman. Penuhilah akad-akad itu...”

Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kabsahan suatu transaksi haruslah memenuhi rukun-rukun akad. Adapun rukun-rukun akad adalah sebagai berikut.

1. Adanya dua pihak atau lebih yang saling terikat dengan akad. Dalam hal ini, kedua pihak diperyaratkan memiliki kemampuan yang cukup untuk mengikuti proses perjanjian, jika tidak, akad dianggap tidak sah. Kemampuan tersebut dibuktikan dengan kemampuan membedakan yang baik dan yang buruk (sudah baligh dan tiak dalam keadaan tercekal seperti dinyatakan pailit) dan tidak di bawah paksaan. Dalam hal ini, suatu jual beli barang yang halal, misalnya, dapat menjadi batal secara syari’I jika yang terlibat dalam jual beli tersebut tidak memenuhi syarat seperti di bawah umur atau dalam kondisi gila atau mabuk.

2. Adanya sesuatu yang diikat dengan akad, yakni barang yang dijual dalam akad jual beli, atau sesuatu yang disewakan dalam akad sewa dan sejenisnya. Adapun syarat barang tersebut dianggap sah bila:

a. Barang tersebut suci atau bila telah terkena najis, bisa disucikan.

b. Barang tersebut bisa digunakan dengan cara yang diisyaratkan, missal hotel atau rumah yang tidak diperuntukkan bagi aktivitas prostitusi.

c. Komoditas harus bisa diserahterimakan (contihnya tidak sah menjual barang yang sedang digunakan).

(12)

e. Bila barang dijual langsung harus diketahui wujudnya, dan bila tidak berada di lokasi, harus diketahui ukuran, jenis, dan kriterianya.

3. Adanya pengucapan akad berupa ungkapan serah terima (ijab kabul). Ijab adalah ungkapan penyerahan kepemilikan oleh pemilik barang, sedangkan Kabul adalah ungkapan penerimaan kepemilikan oleh pemilik barang berikutnya. Ijmak ilama berpendapat tidak ada keharusan ijab Kabul harus secara lisan. Adapun sah atau tidaknya ungkapan ijab Kabul dapat menggunakan praktik yang umu di masyarakat tempat jual beli dilakukan. Prinsipnya, kedua belah pihak rela atas serah terima kepemilikan.

Selain faktor rukun, akad yang dibuat tidak boleh mengandung unsur ta’alluq dan unsur dua akad untuk satu transaksi (two in one). Ta’alluq adalah dua akad yang saling berkaitan, di mana berlakunya akad 1 bergantung pada akad 2. Sebagi contoh adalah penjualan dengan cara ‘inah yaitu seseorang menjual barang seharga tertentu secara cicilan (misalkan Rp 11 juta) kepada orang lain dengan syarat, orang lain tersebut kembali menjual barang tersebut secara tunai misalkan Rp 10 juta).

(13)

Referensi

Antonio, Muhammad Syafii. 2001. Bank Syariah, dari Teori ke Praktik. Jakarta: Tazkia Cendekia.

Al Mushlih, Abdullah dan Ash-Shawi, Shalah. 2004. Fikih Ekonomi Keuangan Islam. Jakarta: Darul Haq.

DSN MUI. 2003. Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional edisi 2. Jakarta: DSN-MUI dan Bank Indonesia.

Karim, Adiwarna. 2004. Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Referensi

Dokumen terkait

Acinetobacter baumannii ( A. baumanii ) merupakan salah satu spesies Acinetobacter tersering diisolasi dari manusia, dan lebih sering dijumpai pada infeksi nosokomial

Untuk mengetahui kefektifan suatu metode dalam kegiatan pembelajaran perlu diadakan analisa data. Pada penelitian ini menggunakan tekhnik analisis deskriptif

Senyawa kimia yang dapat digunakan sebagai pengendali nyamuk Aedes aegypti dengan cara membunuh larva adalah temepos 0,01%.. Pemusnahan nyamuk dewasa dapat

Apabila ekspor mengalami peningkatan maka produksi barang dan jasa juga akan mengalami peningkatan karena net ekspor yang meningkat mengindikasikan permintaan terhadap

Metode kuantitatif adalah metode penelitian yang berdasarkan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti populasi atau sampel tertentu, pengumpulan data menggunakan

Computer Based Information System (CBIS) atau yang dalam Bahasa Indonesia disebut juga Sistem Informasi Berbasis Komputer merupakan sistem pengolah data menjadi sebuah informasi

2.1 Konsep Perencanaan dan Pelaksanaan Program Ditjen Cipta Karya Dalam rangka mewujudkan kawasan permukiman yang layak huni dan.. berkelanjutan, konsep perencanaan

Gambar 1.2 Keterkaitan RPI2-JM Bidang Cipta Karya dengan RPI2JM bidang Pekerjaan Umum dan Dokumen perencanaan Pembangunan di Daerah. Pada Gambar 1.2 dapat dilihat bahwa