• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 3 Masa Depan PKB Buku Masa Depan Par

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Bab 3 Masa Depan PKB Buku Masa Depan Par"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

MASA DEPAN PARTAI KEBANGKITAN BANGSA (PKB)

Oleh Sri Nuryanti

“A m a n a t u t u sa n A l l a h ba gi u m a t m a n u si a , a ga r k i t a m u l i a k a n k ebesa r a n A ll a h d i d a l a m p en ga bd i a n .

Ser u k a n d a n d oa k a n , P K B M a j u t a k gen t a r m em bel a y a n g ben a r , A l l oh u a k ba r , A l l oh u a k ba r , A l l a h M a h a B esa r .

P a r t a i K eban gk i t a n B an gsa ber t a k w a p a da T u h a n , p er j u a n gk an k ea d i l a n d a n p er sa u d a r a a n . T ega k k a n p er sa t u a n , P er k u k u h k esat u a n , P K B M a j u t a k gen t a r m em bel a y a n g ben a r . A l l oh u a k ba r , A l l oh u A k ba r , A l l a h M a h a B esa r ”

(H y m n e P K B)

Pendahuluan

Partai Kebangkitan Bangsa yang dikenal berslogan “Maju tak gentar, membela yang benar” ini dari pemilu ke pemilu mengalami dinamika yang menarik. Tulisan ini akan menganalisis dinamika PKB baik secara internal maupun yang berkaitan dengan kontestasi pada waktu pemilu

Dilihat dari sejarah berdirinya partai, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) lahir sebagai manifestasi keinginan politik warga Nahdalatul Ulama (NU). Partai Kebangkitan Bangsa tak bisa dilepaskan dari dinamika yang mewarnai politik paska lengsernya Soeharto. Sebagai organisasi Islam terbesar, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama menerima banyak usulan yang mengerucut pada adanya keinginan untuk membentuk partai politik yang berbasis Islam. Pada 23 Juli 1998 diputuskan untuk mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa yang dideklarasikan di kediaman ketua umum PBNU K.H Abdurahman Wahid, di Ciganjur, Jakarta Selatan. Dalam sambutannya, ketua umum PBNU Abdurahman Wahid mengatakan bahwa, PKB didirikan untuk menjawab dua permasalahan pertama: Pertama, secara kelembagaan, NU tidak berpolitik praktis seperti digariskan pada muktamar NU ke-27 tahun 1984 di Situbondo, Jawa Timur. Kedua, PKB didirikan untuk memberi wadah bagi aspirasi politik warga NU yang di perkirakan sekitar 40 juta jiwa. Oleh sebab itu, kepemimpinan PKB dipegang oleh Matori Abdul Jalil yang bukan tokoh Nahdalatul Ulama.1

Dalam pidato deklarasi PKB dikatakan bahwa di kalangan NU terdapat kesadaran mendalam untuk terus menerus memunculkan semangat keterbukaan dan persaudaraan bangsa. Oleh sebab itu, PKB hadir sebagai perwujudan keinginan politik warga NU tetapi

1Hamad, Ibnu . 2004, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa: Sebuah Study Critical Discourse

(2)

semangat dan jiwa kebangsaan menyatu dengan seluruh rakyat Indonesia. Oleh sebab itu, PKB secara khusus berkepentingan untuk menjadi penggerak demokrasi dan pengikat simpul persaudaraan bangsa.2 Intisari atas apa yang disampaikan dalam pidato deklarasi itu menyiratkan adanya pengembangan Islam inklusif sebagaimana yang dipahami NU. Dasar-dasar Islam inklusif ini yang akan dikembangkan utuh oleh PKB.

Proses berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa sebenarnya melalui dinamika perdebatan panjang yang cukup signifikan. Hal ini terkait dengan keputusan hasil Muktamar NU ke 27 di Situbondo yang menyatakan bahwa secara organisasi, NU tidak terkait dengan partai politik manapun, dan soal usulan nama partai, karena usulan nama partai ini menjiwai semangat perjuangan partai itu sendiri. Oleh sebab itu, muncullah berbagai rekomendasi usulan nama partai seperti misalnya Nahdlatul Ummah, Kebangkitan Umat dan Kebangkitan bangsa. Sementara itu, menyangkut hasil muktamar NU di Situbondo yang menyatakan bahwa NU tidak terikat partai politik manapun memunculkan dinamika internal tersendiri. Hal ini kemungkinan besar karena ada keinginan untuk memunculkan partai politik tersendiri mengingat warga NU berjumlah 40 jutaan dan itu dianggap sebagai potensi besar yang bisa memenangi kompetisi politik.

Rapat Dewan Syuro dan Tanfidz yang dilakukan pada 3 Juni 1998, telah memutuskan untuk membentuk Tim 5 (lima). Tim yang diketuai oleh KH. Ma’ruf Amin itu yang diberi tugas untuk merumuskan aspirasi warga NU. Pada 26 - 28 Juni 1998, Tim Lima Tim Asistensi diketuai Arifin Djunaedi (Wakil Sekjen PBNU) mengadakan pertemuan di Cipanas untuk merumuskan pembentukan partai politik sebagai wadah aspirasi warga NU. Pada pertemuan itu, telah menghasilkan beberapa keputusan seperti misalnya Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga partai, naskah deklarasi termasuk dibahas pula soal hubungan partai politik yang akan dibentuk tersebut dengan Nahdlatul Ulama. Meskipun partai yang akan dibentuk ini cikal bakalnya dari upaya menampung keinginan warga NU, namun dalam rumusan Mabda Syiyasi, Partai yang kemudian diputuskan bernama Partai Kebangkitan Bangsa ini mendeklarasikan sebagai partai yang terbuka untuk umum, tidak hanya untuk kalangan tertentu saja tetapi lintas agama, suku, ras maupun golongan. Hal itulah yang kemudian dimunculkan dalam visi dan misi PKB termasuk dijabarkan dalam arah perjuangan PKB.3

2 Kholid Novianto, al Chaidar (ed), 1999, Era Baru Indonesia : Sosialisasi Pemikiran Amien Rais,

Hamzah Haz, Nur mahmudi, Matori Abdul Djalil dan Yusril Ihza Mahendra, Cetakan I, Jakarta : pt raja grafindo

Persada, hlm. 86-87

3

(3)

Apabila dilihat dari dasar perjuangan PKB, dapat ditemui bahwa PKB bersemangatkan sebagai partai yang humanis religius dengan prioritas perjuangan saat itu adalah pengembalian kedaulatan rakyat, keadilan, dan persatuan.

========

Dengan kata lain, konsisten dengan negara kesatuan, tetapi dengan pembagian kue yang adil. Demikian pula dengan tatanan kekuasaan negara, bagi PKB harus ada pemisahan tegas antara eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Di bidang ekonomi, PKB memperjuangkan transformasi ekonomi pertumbuhan menjadi ekonomi kerakyatan yang pengembangan bisnisnya sesuai dengan potensi Negara (pertanian).4

Pertemuan membahas Partai Politik berlanjut pada 4 Juli 1998 di Bandung, Jawa Barat. Dalam pertemuan di Bandung diputuskan dengan mengusung nama Partai Kebangkitan Bangsa. Proses konsolidasi hasil pertemuan itu dengan pihak Pengurus Besar Nahdlatul Ulama memutuskan 5 (lima) kiai menjadi deklarator Partai Kebangkitan Bangsa yakni KH Munasir Allahilham, KH Ilyas Ruchyat, KH Muchid Muzadi dan KH. A. Mustofa Bisri serta KH Abddurahman Wahid sebagai ketua umum PBNU. Sejak saat itu, PKB lahir sebagai partai politik yang sangat lekat dengan organisasi Islam Nahdlatul Ulama dan juga masyarakat Nahdliyin.5

Partai Kebangkitan Bangsa tergolong partai dengan ideologi yang unik. Meski secara kelembagaan partai ini secara jelas mencantumkan Pancasila sebagai asas partai, akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa kelahiran PKB dibidani oleh organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama. Kompromi antara identitas sebagai partai politik yang nasionalis dengan latar belakang historis menjadi kata kunci dalam memahami Partai Kabangkitan Bangsa.6

Mencermati asas dan prinsip Partai Kebangkitan Bangsa, terasa seperti ada kontradiksi. Dalam pasal 3 Anggaran Dasar PKB ditegaskan; bahwa partai ini berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Per-musyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indondesia. Sementara, pada pasal 4 PKB menegaskan bahwa yang menjadi prinsip perjuangan partai adalah

4Hamad, ibnu, op.cit., hlm. 100-101

5Lihat Sejarah berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa, www.dpp.pkb.or.id

6

(4)

pengabdian kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, menjunjung tinggi kebenaran dan kejujuran, menegakkan keadilan, menjaga persatuan, menumbuhkan per-saudaraan dan kebersamaan sesuai dengan nilai-nilai Islam Ahlusunnah Waljama’ah.7 Jika asasnya dikokohkan oleh jangkar kebangsaan, sementara prinsip perjuangan PKB disandarkan pada prinsip keislaman, lalu sifat partai ini sendiri ditegaskan dalam pasal 5, bahwa PKB bersifat kebangsaan, demokratis dan terbuka.

Dari sisi etika politik, Imam Nahrowi8 menegaskan bahwa dalam pandangan PKB, sikap pragmatis yang semata-mata hanya memperebutkan kekuasaan jelas sangat merugikan perjuangan. Sikap tersebut hanya berisi intrik-intrik politik yang dilakukan orang tanpa ada kejelasan untuk apa ia ada. Pada titik inilah, menurut Nahrawi, PKB hadir sebagai partai politik yang lebih mengedepankan moralitas. PKB harus memanfaatkan momen di masa depan dalam sua-sana saat pragmatisme politik begitu menguat. Sementara di sisi lain, moralitas partai-partai politik pun semakin tergerus.

Perjalanan konstalasi politik Partai Kebangkitan Bangsa tak lepas dari ukiran sejarah dalam persoalan konflik internal yang cukup panjang sejak tahun 1999, dan ini sempat membuat keropos sendi-sendi kekuatan politik PKB. Konflik PKB kebanyakan terjadi mengenai pecat memecat antar fungsionaris. Setidaknya, tercatat PKB mengalami konflik yang signifikan sebagai 3 (tiga) kali. Pertama¸ konflik dengan Matori Abdul Jalil di tahun 2001. Konflik tersebut diawali dengan tajamnya perseteruan antara Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kala itu dalam posisinya sebagai Presiden RI yang mengeluarkan Dekrit Presiden yang salah satunya adalah membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat yang berujung pada digelarnya Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat (SI MPR) untuk melakukan

impeachment terhadap Gus Dur. Partai Kebangkitan Bangsa kemudian memutuskan untuk

menangguhkan Fraksi PKB di parlemen sebagai protes dan untuk menunjukkan ketidaksetujuan terhadap keputusan MPR terhadap Presiden Wahid.9

Akibatnya, Fraksi PKB tidak menghadiri Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat yang secara resmi akan mendakwa presiden. Namun, Ketua Umum Dewan Tanfidz PKB Matori Abdul Jalil secara individual memilih untuk menghadiri pertemuan. Matori menyatakan bahwa kehadirannya dalam SI MPR RI dalam kapasitasnya sebagai salah satu

7

Lihat Anggaran Dasar Partai Kebangkitan Bangsa Pasal 3,4 dan 5 8Nahrowi, Imam, Moralitas Politik PKB. Malang: Averroes, 2006

9

(5)

Wakil Ketua MPR.10 Sesungguhnya, kehadirannya juga untuk mencari cara-cara alternatif untuk menyelamatkan wajah presiden. Keputusan ini menjadi alasan utama PKB untuk memberhentikan Matori dari jabatannya sebagai Ketua Umum Dewan Tanfidz Partai Kebangkitan Bangsa.11 Pemberhentian Matori ditolak olehnya dan pendukungnya, akhirnya memicu konflik internal dan kemudian menjadi salah satu alasan di balik fragmentasi internal partai ini, serta menciptakan 2 (dua) versi Partai Kebangkitan Bangsa yaitu PKB-Matori, yang juga adalah dikenal sebagai PKB Batu Tulis12, dan PKB Gus Dur-Alwi, dikenal juga sebagai PKB Kuningan.13

Setelah pemberhentian Gus Dur dari posisi presiden RI dan pemberhentian Matori sebagai Ketua Umum Dewan Tanfidz, PKB mengalami konflik internal yang berkepanjangan. Fokus dari partai ini lebih berkaitan dengan upaya untuk menyelesaikan konflik internal, dengan cara mencari status riil masing-masing kelompok yang saling bertentangan, daripada untuk secara komprehensif mengembangkan pelembagaan partai dan untuk menjaga hubungan yang baik secara personal. Dalam hal hubungan masyarakat, PKB tetap mengandalkan karisma dan popularitas Gus Dur dan Ulama untuk mendapatkan dukungan dari NU sebagai komunitas Islam terbesar di Indonesia.14 Faktor Gus Dur lebih berpengaruh daripada partai. Orang memilih PKB karena Gus Dur dengan komitmennya terhadap pluralisme dan nasionalisme, dan secara konsisten dilakukan sikap ramah dan akomodatif ke arah minoritygroups, bukan karena kinerja PKB.15

Kemudian, konflik semakin melebar dengan munculnya kepengurusan ganda versi Mathori dan versi Gus Dur. Konflik ini tidak berlangsung lama. Seusai peradilan memutuskan PKB pimpinan Gus Dur yang sah di mata hukum, konflik itupun berakhir. Selain itu juga, rencana politik Mathori untuk menciptakan “partai sekoci” mengalami kegagalan.16 Pembentukan partai sekoci ini merupakan salah satu keputusan dari Muktamar

10

Pimpinan MPR RI 1999-2002 terdiri dari M.Amien Rais (Ketua), Ginandjar Karta Sasmita (Wakil Ketua), Kwik Kian Gie (Wakil Ketua), Husni Thamrin (Wakil Ketua), Matori Abdul Jalil (Wakil Ketua), Jusuf Amir Faisal (Wakil Ketua), Hari Sabarno (Wakil Ketua), H.A Nazri Adlani (Wakil Ketua).

11

Firman Noor, “Institutionalising Islamic Political Parties in Indonesia: A Study of Internal Fragmentation and Cohesion in the Post-Soeharto Era (1998-2008)”, Disertasi, (London: University of Exeter), hlm.93-95.

12

Batu Tulis adalah nama jalan di Jakarta di mana pusat komite versi PKB Matori berlangsung.

13

Choirie, A. Effendy, Islam-Nasionalisme UMNO-PKB Studi Komparasi dan Diplomasi, (Jakarta: Pensil-234, 2008).

16

(6)

Luar Biasa (MLB) PKB di Yogyakarta pada 16-19 Januari 2002. MLB Yogyakarta memutuskan beberapa langkah, yaitu; Pertama, mempertahankan habis-habisan hak hukum atas PKB. Kedua, menyelesaikan secara kekeluargaan jika dimungkinkan. Ketiga, menyiapkan “sekoci” dengan membentuk partai baru yang akan menjadi pengganti PKB jika kalah di pengadilan.17

Konflik internal PKB babak pertama ini tidak berlangsung lama dan diselesaikan melalui jalur hukum. Dalam proses peradilan sempat terjadi putusan menang-kalah di kedua pihak. Semula Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan memutuskan gugatan Mathori “tidak diterima”. Kubu Gus Dur kemudian naik banding ke tingkat Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta. Keputusan banding adalah “menolak” gugatan Mathori. Namun pada saat yang sama, kubu Mathori di tingkat PN Jakarta Selatan juga memenangkan gugatan kedua. Namun seusai terbitnya Putusan Kasasi MA yang memutuskan PKB pimpinan Gus Dur-Alwi Shihab yang sah di mata hukum, maka konflik itupun berakhir. Selain itu, rencana politik Mathori untuk menciptakan Partai Kejayaan Demokrasi (PKD) juga gagal memenuhi persyaratan sebagai peserta pemilu 2004.

Dera konflik internal PKB belum berhenti, konflik kedua muncul kembali di tahun 2004, saat Dr.Alwi Shihab dan Saefullah Yusuf diberhentikan. Alasannya adalah Ketua Umum Dewan Tanfidz dan Sekretaris tidak boleh merangkap sebagai menteri.18 Gus Dur kecewa dan marah, bahwa Alwi dan Saefullah dianggap menentang aturan partai dan dirinya, ketika menerima jabatan menteri pada kabinet Susilo Bambang Yudhoyono yang merupakan rival Gus Dur.19 Drama konflik ini lebih panjang. Selain konflik melalui proses peradilan, perseteruan dalam proses politik juga terus dilakukan dua kelompok itu.

Kemudian, Muktamar II PKB di Semarang menghasilkan DPP PKB dibawah pimpinan Ketua Dewan Syuro KH Abdurahman Wahid dan Ketua Umum Dewan Tanfidz Muhaimin Iskandar. Beberapa bulan kemudian kubu Alwi-Saeful menggelar Muktamar di Surabaya. Hasilnya, terbentuk DPP PKB dibawah kepemimpinan Ketua Dewan Syuro KH Abdurahman Chudori (Mbah Dur) dan Ketua Dewan Tanfidz Choirul Anam.20 Penyelesian konflik melalui jalur hukum sempat mengalami pasang surut dan telah memunculkan dua

17

Laporan Pertanggungjawaban DPP PKB Periode 2002-2005 pada Muktamar II PKB di Semarang 16-18 April 2005. Lihat, Dokumentasi Hasil Muktamar II PKB, Jakarta, DPP PKB, 2005

18

Dr.Alwi Shihab menjadi Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, dan Saefullah Yusuf Menteri Investasi Daerah Tertinggal di era Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 1 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

19

Bush, Robin, Nahdlatul Ulama and the Struggle for Power within Islam and Politics in Indonesia, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2009, hlm 141-142.

20

(7)

gugatan. Pada kasus gugatan yang pertama, kubu Alwi Shihab-Saefullah Yusuf menggugat kubu Gus Dur-Muhaimin Iskandar tentang pemberhentian keduanya dari jabatan Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal DPP PKB. Di tingkat PN Jaksel, DPP PKB versi Gus Dur-Muhaimin Iskandar dinyatakan menang.

Namun di tingkat kasasi, keputusan hakim kasasi justru membuat status hukum kembali “mengambang” karena tidak dapat dijadikan sebagai acuan untuk menentukan keabsahan PKB. Proses hukum yang kedua adalah gugatan DPP PKB Muktamar Semarang terhadap keabsahan penyelenggaraan Muktamar Surabaya. Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) pada 05 Juni 2006 menyatakan memenangkan gugatan DPP PKB hasil Muktamar Semarang. Termasuk dalam isi keputusan itu adalah penegasan bahwa hanya DPP PKB hasil Muktamar Semarang yang memiliki hak untuk menggunakan asset dan atribut PKB sekaligus melarang kubu Muktamar Surabaya untuk menggunakan asset dan atribut partai tersebut.21

Upaya penyatuan bukannya tidak dilakukan, namun ternyata perbedaan yang terjadi sulit untuk dijembatani. Apalagi konflik kali ini melibatkan banyak kiai senior dan berpengaruh dikalangan anggota NU. Para kiai tersebut lebih sering disebut dengan istilah kiai sepuh atau kiai khos dan memiliki pengaruh cukup besar di kalangan NU. Beberapa kiai itu antara lain, KH Abdullah Faqih dari Langitan Jawa Timur, KH Idris Marzuki dari Jawa Timur, KH Muhaiminan Gunardo dari Parakan Jawa Tengah, KH Abdurahman Chudori dari Magelang Jawa Tengah dan sebagainya. Para kiai itu pada awalnya memiliki hubungan yang sangat dekat dan menjadi salah satu rujukan Gus Dur. Namun dalam konflik ini, para kiai itu memilih jalan yang berbeda. Bahkan kemudian melakukan konfrontasi secara terbuka dengan mendukung kubu Alwi Shihab – Saefullah Yusuf. Beberapa diantara kiai itu masuk dalam struktur kepengurusan PKB, misalnya KH Abdurahman Chudori sedangkan yang lain merupakan tokoh kultural NU yang secara politik dekat dengan PKB.

Konflik ketiga, di tahun 2008 ketika Ketua Umum Dewan Tanfidz PKB Muhaimin Iskandar diminta mundur dari jabatannya oleh rapat gabungan Dewan Syura dan Dewan Tanfidz. Muhaimin menolak mundur, tetapi rapat DPP PKB berikutnya mengangkat Ali Masykur Musa sebagai pelaksana tugas ketua umum. Kubu Muhaimin Iskandar akhirnya

21 Keputusan itu tertuang dalam Putusan Kasasi MA No. 02/K/Parpol/2006 Tanggal 7 September

(8)

menggelar MLB PKB di Ancol.22 Ketiga konflik itu, selalu menghadirkan posisi Gus Dur, tetapi bukan sebagai penengah atau semacam primus enterpares.

Tampilnya Gus Dur sebagai tokoh yang difigurkan di PKB dan kalangan Nahdliyin dalam konflik-konflik internal PKB membuat konflik di tubuh partai tersebut selalu hampir tak bisa terdamaikan (zero sum-game). Konflik tidak menghadirkan penyelesaian dalam arti yang sesungguhnya (win-win solution), yang kemudian muncul adalah pihak yang menang dan pihak yang kalah. Dalam dua kasus pertama, pada akhirnya yang kalah membentuk partai sempalan. Dalam kasus ketiga, dibawanya kasus tersebut ke ranah hukum membuat Muhaimin Iskandar akhirnya tetap berkuasa dan bertahan sebagai Ketua Umum Dewan Tanfidz PKB yang sah dan mengalahkan kubu Gus Dur.23 Inilah situasi yang membuat kenapa perolehan suara PKB merosot pada 2009.24

Panjangnya konflik internal PKB antar Gus Dur dan Muhaimin tersebut, terus mendera hingga pemilu legislatif di tahun 2009. Yenny Wahid puteri kandung Gus Dur yang merupakan rival Muhaimin dalam tubuh PKB, melakukan kampanye akan menggiring pendukung Gus Dur untuk mengalihkan suaranya ke Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), partai besutan Prabowo Subianto. Bahkan terlihat Yenny turut berorasi di depan massa Gerindra di kota-kota di Jawa Timur, yang juga merupakan kantong-kantong suara PKB. Faktanya, suara PKB pada pemilu 2009 terjun bebas dan kehilangan 50% suara, dan basis-basis PKB justru mengalihkan suaranya ke Demokrat partai SBY.25

Pertempuran internal yang berkepanjangan antara dua kubu ini, menunjukkan bahwa kerapuhan organisasi PKB secara signifikan, serta dapat melemahkan daya saing. Pada akhirnya membawa isu sentral atas penurunan suara partai. Sebagai hasil dari pertempuran dan berbagai upaya kampanye Yenny Wahid dipasang untuk melemahkan PKB pimpinan Muhaimin Iskandar jelang pemilu, mengakibatkan keanggotaan partai menurun, Pimpinan Cabang berantakan, dan pendaftaran partai yang minim persiapan, serta pemilihan calon dan

22

Diperkuat oleh Surat Keputusan Menkum HAM No M.HH-70/AH.11.01 tahun 2008 tentang pengesahan susunan kepengurusan DPP PKB periode 2008-2013

23 Kuasa hukum PKB Gus Dur, Ihsan Abdullah menyatakan MLB PKB Ancol yang diselenggarakan

Muhaimin Iskandar adalah bentuk perampasan hak dari almarhum KH Abdurrahman Wahid dan para pengurus DPP PKB yang sah. Melayangkan menggugat secara perdata kepengurusan partai pimpinan Muhaimin Iskandar. Dalam gugatan bernomor register 047/PDT-G/JKT.PFT/2010 itu disebutkan bahwa muktamar luar biasa (MLB) PKB kubu Muhaimin Iskandar yang diselenggarakan di Ancol, Jakarta, tidak sah. Namun, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak permohonan gugatan perdata yang diajukan oleh PKB kubu KH Abdurahman Wahid. Dalam vonisnya, hakim menilai hasil Muktamar Luar Biasa Ancol telah sesuai dengan anggaran dasar partai.

24 Chusnunia. “Konflik Gus Dur-Muhaimin Iskandar Dalam Tubuh Partai Kebangkitan Bangsa Tahun

2008,” dalam Tesis diProgram Pascasarjana Universitas Nasional Jakarta Program Magister Ilmu Politik. Jakarta: Universitas Nasional, 2011.

25 Firmanzah, Persaingan Legitimasi Kekuasaan dan Marketing Politik-Pembelajaran Politik Pemilu

(9)

persiapan untuk mengikuti pemilu yang tertunda, menyebabkan kerugian pada basis pemilih yang besar, khususnya di kantong terkuat PKB yaitu di Jawa Timur.26

Mencermati kontestasi politik Partai Kebangkitan Bangsa selama 4 (empat) kali penyelenggaraan Pemilu 1999, 2004, 2009 dan 2014 mengalami fluktuasi angka perolehan suara pemilih yang cenderung menurun. Pemilu 1999 dan 2004, meskipun perolehan suara pemilih cenderung menurun dari 12,60 % menjadi 10,61%, tetapi tetap menjadikan PKB berada pada level kestabilan politik pada basis pemilihnya. Pemilu tahun 2009 terjadi penurunan drastis pada angka 4,9%. Namun mengalami peningkatan signifikan terjadi pada pemilu 2014 lalu yang berhasil kembali posisi meraih 5 (lima) besar, dengan raihan angka 9,04%.

Kehancuran Partai Kebangkitan bangsa pada pemilu 2009 dalam mempertahankan basis suara pemilihnya sebagaimana terjadi pada pemilu 1999 dan 2004, menjadi potret serius dan menjadi torehan hitam sejarah PKB dalam kontestasi politik di Indonesia. Polemik internal yang berkepanjangan sejak tahun 1999 hingga 2008, tidak didukung oleh penanganan hubungan kelembagaan partai secara manajemen yang formal di tubuh partai. PKB tidak bisa memisahkan dikotomi politik partai yang lekat dengan NU tradisi atau budaya, yang pada akhirnya jauh mendominasi kehidupan partai. Dalam hal ini, banyak tradisi di NU cenderung dilaksanakan di PKB, termasuk cara memecahkan konflik internal secara oraganisasi. Dalam sejarahnya, NU mengalami perselisihan internal dan konflik beberapa kali tapi bisa melarikan diri dari fragmentasi internal,27 menciptakan kepercayaan di kalangan kader dan pengikut pada cara kesepakatan penanganan masalah secara organisasi.

Nahdlatul Ulama, bagaimanapun, tidak berhasil mengembangkan hubungan kelembagaan secara komprehensif, karena tidak mengembangkan prosedur hukum untuk mengatasi masalah. Secara umum, tradisi organisasi di NU cenderung untuk menghindari peraturan yang ketat dan mengandalkan pendekatan personal. Menurut Soon dalam kehidupan organisasi, NU cenderung mengedepankan tradisi dan tokoh daripada sistem atau management.28 Akibatnya, ketika menghadapi konflik internal, organisasi ini dilaksanakan pendekatan informal atau tradisi daripada menggunakan aspek legal-formal seperti Anggaran Dasar / Anggaran Rumah Tangga.

26

Hamayotsu, Kikue, The End of Political Islam? A Comparative Analysis of Religious Parties in the Muslim Democracy of Indonesia, in: Asian Journal of Current Southeast Affairs, 2011, 30, 3, hlm 146.

27

Hamayotsu, Kikue, The End of Political Islam? A Comparative Analysis of Religious Parties in the Muslim Democracy of Indonesia, in: Asian Journal of Current Southeast Affairs, 2011, 30, 3, hlm 146.

28

(10)

Rupanya, konflik internal yang terus mendera PKB membuat partai ini harus senantiasa berbenah diri. Pengalaman untuk keluar dari situasi sulit, serta upaya untuk tetap bertahan yang disertai dengan penurunan perolehan suara, membuktikan massa PKB masih tetap loyal. Pengalaman selalu berada dalam situasi konflik, juga dimanfaatkan untuk melakukan perluasan rekruitmen politik sebagai dimensi internal sekaligus eksternal. Secara internal, inilah saat terbaik untuk membangun institusi yang sehat. Kondisi inilah yang dijadikan cermin oleh PKB yang pada gilirannya membuat partai ini kembali memperoleh suara teramat signifikan di Pemilu 2014.29

Dari perspektif politik, perjalanan Partai Kebangkitan Bangsa selama 17 tahun untuk tetap memperoleh dukungan suara dilihat dari volatilitas elektoralnya (electoral volatility) dari pemilu ke pemilu berikutnya, menjadi jangkar politik PKB untuk tetap konsisten dan komitmen dengan garis kebijakan partai, dan selaras dengan mempertahankan peran tokoh sentral yang diyakini dapat mempertahankan eksistensi partai. Suka atau tidak suka, figur Gus Dur menjadi tokoh sentral PKB pada 2 (dua) pemilu yaitu di tahun 1999 dan 2004.

Secara internal, pasca reformasi jelang pemilu 1999, Gus Dur cerdik dalam pencermatan

terhadap basis pemilih Nahdiyin yang selama rezim pemerintahan orde baru bernaung dalam payung Partai Persatuan Pembangunan. Gus Dur memandang basis Nahdalatul Ulama Wahid Hasyim diyakininya sangat besar, dan Gus Dur selaku pewaris tahta Wahid Hasyim memandang perlu mendirikan PKB. Memang, tidak bisa dipungkiri bahwa PPP juga ada yang dari kalangan NU, meskipun dulu juga ada Masyumi-nya. Tetapi kemudian secara sendiri Masyumi ada inisiatif untuk melanggengkan ide-ide Masyumi melalui Partai Bulan Bintang (PBB). Meskipun tidak sebesar yang lain karena basis Masyuminya adalah politik bukan basis sosial.

Kalangan Nahdiyin yang berada di PPP sebenarnya NU mainstream, termasuk diantara kalangan NU dari mainstream Wahid Hasyim. Dalam perjalanan politik PPP, gerakan kalangan NU bisa dikatakan tidak hanya disalurkan melalui PPP saja. Sebab di dalam PPP pada saat masa transisi, yaitu NU mainstream, NU-nya Gus Dur tidak terlalu diakomodasi di PPP. Dan Gus Dur merasa orang yang kuat secara sosial keagamaan dan karena itu punya alasan banyak untuk mendirikan satu kekuatan politik yang bernama PKB. Jadi, kalau dirunut sampai sini, basis PKB merupakan basis Gus Durian, lebih jauh NU-nya Wahid Hasyim. Sementara itu, kalau dilihat, sangat kuat di daerah-daerah basis NU, yaitu

29

(11)

NU Gus Dur, dan itu di daerah Jawa Timur.30Konteks inilah yang diperankan oleh Gus Dur dalam meraup suara dari basis pemilih Nahdiyin yang memang kental dalam mainstream NU. Dan terbukti, pemilu 1999 PKB meraup 12,6% secara nasional pada basis kekuatan sentralistik Nahdiyin di Jawa Timur.

Keberhasilan lain di tahun 1999, Gus Dur secara aktif mempromosikan visi partai termasuk visi kebangsaan dan moderat tradisionalis Islam sebagai cita-cita Partai Kebangkitan Bangsa. Komitmen partai dengan ideologi nasional yaitu pancasila, merupakan komitmen untuk mengembangkan kedamaian, demokratis, pluralis, dan beradab bagi masyarakat Indonesia, serta kesatuan nasional berdasarkan prinsip-prinsip kebangsaan. Dalam penetrasi politik, berusaha untuk menyebarkan visi ideologis NU dalam masyarakat Indonesia yang lebih luas, fragmentasi politik inilah yang membedakan PKB dari partai-partai keagamaan lainnya seperti sebagai PKS dan PPP.31

Hal lain, mengadopsi visi PKB menjadikan pancasila dalam kerangka sekuler-nasionalis menunjukkan bahwa PKB secara prinsip adalah terbuka untuk semua orang Indonesia, seperti halnya partai-partai sekuler sentralis lainnya. Menonjolnya politisi-politisi PKB menekankan strategi untuk mendapatkan dukungan massa yang lebih luas di luar konstituen NU tradisional khususnya di daerah pedesaan di Jawa, dengan lebih agresif menyebarkan ideologi sentralis.32 Menariknya, meskipun di satu sisi PKB melakukan gerakan-gerakan sekuler-nasionalis, namun tidak mematikan gerakan persuasif dan cenderung hirarki yang dilakukan oleh-kiai-kiai pesantren, kiai justru bisa berperan dalam proses perubahan sosial dengan cara yang khas. Kiai tidak menyaring informasi, akan tetapi, menawarkan agenda perubahan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.33

Kiai berperan sebagai cultural broker dan juga agen perubahan sosial. Namun perlu dibedakan antara kiai langgar, yang merupakan pemimpin komunitas lokal di sekitar langgar. Otoritasnya didasarkan pada penerimaan dari dan berhu-bungan dengan komunitas lokal yang mereka pimpin atau di sebut kiai pesantren; yang bisa dilihat dan dikatakan sebagai kiai supralokal yang memiliki santri dari dan pengikut dari berbagai tempat yang luas. Melalui jaringan transmisi ilmu, para kiai pesantren membangun hubungannya dengan kiai-kiai di pesantren lain. Hubungan ini bisa dikatakan juga sebagai mekanisme untuk mempertahankan

30

Wawancara Tommi Legowo, Peneliti Senior Formappi, tanggal 9 Juni 2015.

31

A. Muhaimin Iskandar, “Fundamental Politik Partai Kerja Modern: PKB Lima Tahun Ke Depan”, dalam A Muhaimin Iskandar, Melampaui Demokrasi Merawat Bangsa dengan Visi Ulama. Refleksi Sewindu

Partai Kebangkitan Bangsa, (Jogjakarta: Klik.R, 2006), pp. 57-58.

32

Choirie, A. Effendy, op.cit

33

(12)

eksklusivitasnya, dan kiai tarekat, yakni kiai yang memimpin tarekat sebagai kelompok yang bisa dikatakan eksklusif.34

Dengan mencermati begitu luasnya jejaring yang dimiliki, maka kiai sangat berkontribusi jika mampu memainkan perannya dalam konteks politik. PKB melihat hal ini tidak hanya semata-mata dari sisi pragmatisme politik, tetapi juga latar sosio-historis termasuk ideologis. Kiai pesantren memiliki peran tidak hanya sebagai pimpinan pesantren, tetapi juga juru kampanye dan agen sosialisasi politik PKB.35 Peran Kiai dalam politik di kalangan NU juga tidak hanya dalam konteks ia sebagai makelar budaya atau cultural broker. Dalam politik, kiai juga berperan sebagai political broker. Ia menjadi agen dalam melakukan aktivitas-aktivitas politik. Bahkan di PKB, tak sedikit kiai yang juga menjadi political actor (aktor politik).36

Secara ekternal, Gus Dur adalah tokoh intelektual yang paling berharga, dan ideologis

PKB-nya terkenal progresif, perihal pandangan agama dan kepercayaan multikulturalisme merupakan ideal inklusif, dimana bagi bangsa lain sangat terpecah, namun bagi Gus Dur adalah sebuah inspirasi yang diperuntukkan baik kalangan muslim dan non-Muslim.37 Dalam melakukan advokasi terhadap cita-cita untuk melindungi kepentingan dari agama dan ideologi minoritas, Gus Dur tidak ragu-ragu untuk menyinggung dan mengasingkan beberapa kiai NU berpengaruh dan pengikut yang cukup besar, demi untuk mengedepankan penetrasi kebangsaannya melalui pengayoman terhadap kaum minoritas. Menurut pandangan Gus Dur dan elit PKB, hal yang sangat mungkin bisa berubah cita-cita kebangsaan dalam rangka untuk menarik konstituen yang lebih luas di luar kalangan NU di seluruh nusantara. Kedekatan ideologis untuk sekuler-nasionalisme dan komitmen untuk pluralisme dan liberalisme inilah yang diharapkan oleh Gus Dur dapat menarik lebih luas konstituen, baik secara agama dan sekuler, dan juga ikut membantu menjaga politik Islam.38 Selanjutnya, Gus Dur terpilih sebagai Presiden pertama republik ini setelah transisi demokras pasca reformasi. Ada sebelumnya harapan yang tinggi untuk PKB untuk lebih pengertian pluralisme agama dan keanekaragaman melalui partisipasi dalam demokrasi yang baru terbentuk.

34

Dirdjosanjoto, Pradjarta, Memelihara Umat: Kiai Pesantren-Kiai Langgar di Jawa. Yogyakarta: LKiS, 2013.

35

Dhakiri, Muhammad Hanif dan kawan-kawan. PKB Masa Depan. Jakarta: DPP Partai Kebangkitan Bangsa, 2006.

36

Dirdjosanjoto, Pradjarta, Memelihara Umat: Kiai Pesantren-Kiai Langgar di Jawa. Yogyakarta: LKiS, 2013.

37

Jakarta Post, Chinese-Indonesians and NU pray for sick ‘father’ Gus Dur, 7 September, 2009

38

(13)

Harapan masyarakat atas prototype karena pluralisme masih menjadi laku sosial-politik. Dan itu berharap dari Gus Dur sebagai Presiden RI. Mereka yang mendukung tegaknya kebinekaan merupakan kelompok mayoritas. Sebaliknya, mereka yang menolak pluralisme adalah kelompok kecil yang kadang kala suara mereka lantang di permukaan. Meskipun suara mereka lantang, tetapi kehendak publik pada pluralisme tidak akan mampu ditundukkan oleh ambisi dan tendensi mereka. Gus Dur berada di barisan garda depan untuk memperkuat pluralisme di republik ini. Istimewanya, pluralisme yang dikembangkan Gus Dur tidak hanya pada tataran pemikiran, melainkan menjadi sebuah tindakan sosial-politik. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang didirikan Gus Dur secara eksplisit menjadikan kebangsaan sebagai pijakan utamanya. Padahal, partai tersebut didukung sepenuhnya oleh basis kalangan Muslim tradisional.39

Gus Dur telah mampu menggabungkan antara pemikiran dan tindakan pluralisme. Gus Dur juga memperlakukan kelompok-kelompok minoritas, terutama mereka yang tertindas, sebagai warga negara yang mempunyai hak sama di depan hukum. Tatkala menjadi Presiden ke-4 RI, Gus Dur juga memulihkan hak politik etnis Tionghoa. Gus Dur selalu menegaskan bahwa kelompok minoritas mempunyai hak sipil-politik ataupun hak ekonomi, sosial, dan budaya yang sama dengan hak-hak kelompok ”pribumi”. Eksistensi mereka dilindungi oleh konstitusi. Dalam hal ini, pemikiran tentang pluralisme sejalan dengan spirit demokrasi, bahkan makin memperkukuh. Keduanya tidak bertentangan, bahkan saling menguatkan.40

Pemilu 2004 bergulir ditengah pengembalian hak rakyat untuk memilih Presiden secara langsung, menjadi pondasi awal tatanan demokrasi yang lebih baik, dan menjadi keinginan besar rakyat Indonesia dapat menentukan pemimpinnya sendiri. Partai Kebangkitan Bangsa tetap menggunakan kekuatan kharismatik Gus Dur dalam mempertahankan posisi perolehan suara signifikan, setidaknya sama dengan hasil yang di raih pada Pemilu 1999. Bisa dikatakan, Pemilu 2004 cukup menunai panasnya persaingan diantara partai politik. Hal ini terjadi pasca runtuhnya kekuasaan Gus Dur sebagai Presiden RI melalui SI MPR RI di tahun 2002. PKB ingin mengulang sukses parlemen dan sukses pada pemilihan pertma Presiden/Wakil Presiden secara langsung. Namun, yang terjadi malah penurunan suara PKB sebesar kurang lebih 2% dibandingkan pemilu 1999.

39

Zhuhairi Asmawi, Plurarisme Pasca Gus Dur, Tekno.kompas.com. diakses pada 21 September 2015 jam 02.24 WIB.

40

(14)

Ihwal penurunan suara PKB, dibarengi dengan cairnya perspektif pemilih baik dari kalangan islam tradisional maupun kalangan islam moderat. Munculnya figur-figur moderat baru seperti Amien Rais dan Susilo Bambang Yudhoyono menjadi rivalitas baru bagi ketokohan Gus Dur sebagai ikon pluralisme dan multikulturisme. Munculnya tokoh-tokoh moderat memang belum menggeser secara signifikan kalangan islam tradisional yang selama ini disandang oleh Gus Dur dan PKB nya. Penurunan PKB pada pemilu 2004 disinyalir mulai terjadinya pengeroposan di tubuh PKB melalui beberapa kasus-kasus yang menjerat PKB yang moderat dan pluralis baik secara internal maupun eksternal.

Hal ini menunjukkan bahwa tidak adanya pelembagaan partai bersamaan dengan adanya perembesan klientelistik dan askriptif hubungan merugikan kelangsungan hidup politik. PKB terjerat oleh hubungan personalistik dan kepentingan yang khas dari pihak klientelistik. Kondisi ini kerap terjadi ketika Gus Dur masih menjadi Presiden RI. Kecenderungan lebih diperburuk dengan makin mengkritalnya fitur-fitur klientelistik yang menjadi kunci dari PKB meliputi: (1) personalistik rekrutmen dan promosi kader partai / anggota; (2) lebih memberikan penekanan pada kepentingan pribadi daripada kepentingan kolektif anggota partai dan konstituen; (3) dominasi / tokoh karismatik yang kaya atau keluarga terkemuka dan kurangnya keteraturan dalam suksesi kepemimpinan; dan (4) landasan ideologis yang lemah. Kerapuhan organisasi yang berasal dari karakteristik ini telah melahirkan kerentanan dan menjadi bagian dari gangguan eksternal partai.

Lebih khusus, kelemahan-kelemahan organisasi telah tidak melakukan pengawasan dan penyalahgunaan pihak-pihak individu dan elit partai untuk mengejar ambisi pribadi mereka, sementara mengabaikan kepentingan kolektif partai dan konstituennya serta masyarakat NU lainnya. Hasilnya, konflik internal kerap terjadi secara intens, terjadinya faksionalisme, pecat memecat fungsionaris tanpa melalui proses mekanisme pertain, dan akhirnya pada akhirnya perpecahan partai tak terelakkan, sehingga menempatkan kelangsungan hidup partai beresiko. Meskipun akumulasi tersebut baru pecah bak bom waktu menjelang Pemilu 2009, namun riak-riak tersebut sudah dirasakan sejak tahun 1999 dan 2004. Lemahnya organisasi dan pertikaian konstan antara pribadi fungsionaris, mengakibatkan partai tidak mampu mengusung konsep Gus Dur atas moderasi dan pluralisme, kearah idealnya ideologi kolektif dan koheren yang terikat pada masing-masing anggota partai secara bersama-sama. Inilah kerapuhan organisasi yang terjadi dan telah membawa penurunan PKB pada tahun 2004.

(15)

sebaliknya progresif dan inklusif yang didengungkan Gus Dur sejak lama hilang dan terkikis perlahan-lahan.41 Intinya, PKB gagal untuk mempromosikan pemikiran keagamaan yang inklusif dan pluralis Wahid untuk memobilisasi konstituen baru di luar NU di bawah rezim demokratis. Selain itu, beberapa elit PKB dan NU sendiri mengakui bahwa mereka memprioritaskan kepentingan mereka sendiri daripada ideology. Akibatnya, partai tidak sistematis melakukan atau menerjemahkan konsep Gus Dur dalam proses transformasi pengalaman liberal dan pluralisme agama serta liberalisme dan komitmennya terhadap demokrasi ke dalam ideologi kolektif partai atau platform.42

Perkembangan lain yang terjadi di tubuh PKB dengan adanya gejolak sekitar reposisi atau "pemecatan" Syaifullah Yusuf dari posisi sekjen, ternyata menimbulkan sikap pro-kontra di kalangan PKB sendiri. Para kiai NU yang merupakan kekuatan utama PKB banyak yang tidak setuju dengan "pemecatan" Syaifullah Yusuf. Namun di sisi lain, para politisi PKB tampaknya lebih cenderung untuk melakukan reposisi dalam rangka persiapan Pemilu 2004. Persoalan utama yang menarik diamati dari gejolak politik yang melanda PKB ini adalah sekitar peran yang dimainkan para kiai di dalamnya. Dari berbagai pernyataan yang disampaikan para kiai, tampaknya mereka memberi dukungan kuat kepada Syaifullah Yusuf. Bahkan, para kiai mengancam akan keluar dari PKB bila Syaifullah Yusuf benar-benar "dipecat" dari posisi sekjen. Ancaman itu sekaligus menunjukkan, peran politik kiai dewasa ini kian kuat di panggung politik. Dalam realitasnya, kuat lemahnya dukungan yang diperoleh PKB adalah karena pengaruh kiai. Seandainya para kiai benar-benar meninggalkan PKB, dikhawatirkan nanti PKB akan menjadi rapuh.

Analisis tentang masih kuatnya pengaruh kiai NU sempat menjadi perdebatan di kalangan NU dan Gus Dur sendiri yang jelas-jelas mengusung konsep pluralis yang kental. Kiai sebagai tokoh agama dan menjadi panutan bagi umat, hendaknya tidak perlu terlalu jauh melibatkan diri dalam politik. Efek yang dikhawatirkan dari keterlibatan politik kiai adalah membuat pembinaan umat kian terbengkalai. Sebab di tengah krisis moral yang melanda umat saat ini, betapa besar peran kiai sebagai juru dakwah yang diharapkan mampu menyuburkan spiritual umat. Untuk itu, para kiai hendaknya perlu segera kembali menekuni

41 Barton, Greg, Indonesia’s Nurcholish Madjid and Abdurrahman Wahid as Intellectual ulama: the

meeting of Islamic traditionalism and Modernism in neo-Modernist thought, in: Islam and Christian-Muslim

Relations, 8, 3, 1997, hlm. 323-350 42

Machmudi, Yon (2011), From Cultural to Political Brokers: The Decline of Traditionalist Muslim

Party in Indonesia, paper presented at the Annual Meeting of the Association for Asian Studies, Honolulu,

(16)

bidang dakwah agar krisis moral yang terjadi saat ini tidak semakin memprihatinkan. Biarlah masalah politik ditangani para politisi, sedangkan kiai kembali ke tengah-tengah umat.43

Menilik situasi di atas, beberapa elite PKB menyadari bahwa partai sebenarnya masih menghadapi situasi yang sangat rumit dalam melakukan kaderisasi. Muhaimin Iskandar, misalnya, mengakui bahwa hampir satu dekade setelah berdirinya kaderisasi PKB masih belum sistematis dan pada tracknya.44 Partai ini gagal untuk meninggalkan peran ulama NU dan jaringan mereka, termasuk manajemen NU dan pesantren di kaderisasi dan proses perekrutan. Sebuah posisi istimewa dari ulama kadang-kadang menjadi sangat berpengaruh dalam proses-proses tersebut.

Namun, keberadaan pola seperti itu tidak benar-benar menutup kesempatan bagi orang awam dan orang-orang dengan latar belakang non-NU untuk bergabung dengan partai dan memegang posisi strategis. Adanya beberapa tokoh penting, termasuk Imam Nachrawi45, salah satu ketua di PKB Muhaimin-DPP yang mencapai posisinya berdasarkan kualitasnya, membuktikan bahwa kesempatan masih terbuka. Di tingkat lokal, situasi yang sama juga terjadi. Di beberapa daerah non-NU, seperti di Nusa Tenggara Timur atau Papua, orang-orang tanpa latar belakang NU memang bisa memimpin. Namun, proporsi daerah ini terbatas dibandingkan dengan jumlah total pemilih PKB di seluruh negeri, yang terkonsentrasi di kantong-kantong basis NU, di mana peran NU derngan latar belakang dan faktor keturunan masih menjadi aspek penting yang dimainkan partai.

Kondisi Partai Kebangkitan Bangsa mengalami fase kehancurannya jelang Pemilu tahun 2009. Perseteruan Gus Dur dan Muhaimin Iskandar sudah tidak bisa dipungkiri menjadi bom waktu yang sudah waktunya meluluh lantahkan PKB baik secara internal maupun ekternal. Gus Dur sebagai pioneer dan ikon gerakan penetrasi politik PKB, demikian gencar berupaya menenggelamkan kapal perang politik yang dibangunnya sendiri. Gerakan Gus Dur yang demikin massif dan spontan, jelas membuka lebar-lebar konfrontasi yang saling berhadapan dengan Muhaimin Iskandar, bahkan sempat memasuki ranah hukum dalam penyelesaian konflik internal PKB. Yenny Wahid , puteri sulung Gus Dur menjadi motor dan garda terdepan Gus Dur dalam mengkandaskan partai secara signifikan.

43

Fachry Ali, Membangun Kekuatan Politik Umat, 1998, hlm. 23

44A. Muhaimin Iskandar, “Fundamental Politik Partai Kerja Modern: PKB Lima Tahun Ke Depan”, in A

Muhaimin Iskandar, Melampaui Demokrasi Merawat Bangsa dengan Visi Ulama. Refleksi Sewindu Partai

Kebangkitan Bangsa, (Jogjakarta: Klik.R, 2006), pp. 57-58. 45

(17)

Hal inipun merambah hingga ke elit-elit kiai NU. Terbukti, meskipun dalam putusan pengadilan yang memenangkan PKB Pimpinan Muhaimin dan diperkuat oleh keputusan Komisi Pemilihan Umum, PKB mengalami gradasi penurunan suara signifikan pemilih yang sangat tajam, bahkan terjun bebas hingga kehilangan suara sampai 100 % dibandingkan hasil pemilu 2004. Suara basis pemilih Jawa Timur berbondong-bondong beralih ke Partai Demokrat yang kala itu secara spektakuler menjadi pemenang Pemilu 2009 melewati PDI Perjuangan. Kondisi PKB yang tengah centang perenang dengan konfliknya, di satu sisi figur kuat Susilo Bambang Yudhoyono yang digadang Demokrat menjadi Presiden RI ke 6, menambah daftar panjang sebab musabab anjloknya suara PKB pada pemilu 2009.

Pertentangan Gus Dur dan Muhaimin sesungguhnya cukup pelik. Memang terjadi ketidakseragaman elit NU khususnya kiai berpengaruh. Sikap pemberontakan Muhaimin dengan PKB, dan Gus Dur juga dengan basis PKB. Tetapi, memliki basis massanya tetap yang sama yaitu Gus Durian. Perlu dicermati, bahwa Muhaimin juga berasal dari satu garis dengan Wahid Hasyim. Ini yang membuat pecahkan elit NU dan elit PKB saat itu, karena bagaimanapun secara emosional dan garis keturunan, Muhaimin juga berasal dari garis biru NU.46

Memasuki Pemilu 2014, Partai Kebangkitan Bangsa mengalami pembenahan yang signifikan. Wafatnya Gus Dur sebagai ikon gerakan politik PKB serta merta membuat PKB harus menempatkan upaya-upaya dan strategi politik Upaya PKB untuk meningkatkan elektabilitas dan suara pada pemilu 2014 dengan melakukan rekonsiliasi dengan NU memperlihatkan bahwa rekonsiliasi PKB dan NU tersebut merupakan sebuah bentuk dimensi identitas nilai (value infusion) suatu partai. Partai Kebangkitan Bangsa membutuhkan figur baru setara Gus Dur yang akan ditempatkan sebagai penerus identitas nilai penetrasi politik partai.

Identitas nilai ini berkaitan dengan identitas partai politik berdasarkan basis sosial pendukungnya, dan identifikasi anggota terhadap pola dan arah perjuangan yang diperjuangkan partai politik tersebut. Karena itu tingkat identitas nilai suatu partai politik berkaitan dengan hubungan partai dengan kelompok populis tertentu (popular bases), yaitu apakah suatu partai politik mengandung dimensi sebagai gerakan sosial yang didukung oleh kelompok populis tertentu, dimana disini PKB didukung oleh kelompok populis tertentu,

(18)

yaitu NU. Strategi PKB dengan melakukan pendekatan terhadap pemilih pemula merupakan bentuk dari dimensi pengetahuan atau citra publik (reification) terhadap suatu partai politik.47

Tingkat pengetahuan publik tentang partai politik merujuk pada pernyataan apakah keberadaan partai politik tersebut telah tertanam pada imajinasi publik. Pendekatan kepada pemilih pemula tersebut merupakan suatu bentuk atau cara yang dilakukan oleh PKB untuk dapat tertanam pada imajinasi masyarakat, khususnya pemilih pemula. Dengan mengakomodasi kepentingan pemilih pemula tersebut, PKB berharap agar mereka dapat diingat oleh pemilih pemula sebagai partai politik yang mengakomodasi kepentingan pemuda.48

Langkah-langkah yang dilakukan PKB dalam meningkatkan kinerja electoral partainya dengan melibatkan berbagai elemen ketokohan dari latar belakang berbeda yang dianggap memiliki magnit menjaring massa pemilih baru di luar massa Gus durian yang juga telah berkomitmen kembali kepada kejayaan PKB era Gus Dur. Namun elit PKB tidak berharap banyak akan dapat mengulangi masa-masa keemasan pemilu 1999. Cairnya basis pemilih tradisonal dan moderat NU khususnya pada basis Jawa Timur, menjadi pertimbangan tersendiri elit PKB dalam merajut kembali pencitraan partai secara signifikan. PKB menjalankan strategi ganda yaitu dengan memaksimalkan fungsi sayap-sayap partai, seperti sayap legislatif , sayap eksekutif nasional, sayap eksekutif daerah. Pilkada-pilkada yang di gelar di daerah-daerah dengan mendorong kader-kader ataupun non kader yang menjasi simpatisan PKB menjadi motor pendongkrat suara partai. Penempatan figure sentral ini diraskan masih efektif, karena patron klien itu masih kuat, dimasyarakat pun juga faktor patronase itu masih kuat dengan mendorong tokoh panutan dan segalam macam itu juga masih ada meskipun tidak sedominan dulu.49

Hal lain yang dilakukan PKB yaitu keputusan Partai Kebangkitan Bangsa mencalonkan Khofifah Indar Parawansa - Herman Suryadi Sumawiredja (Berkah) pada Pemilihan Gubernur Jawa Timur pada tahun 2013 lalu, berhadapan dengan pasangan Sujarwo-Saefullah Yusuf sangat tepat. Karena PKB memiliki kesempatan untuk melakukan konsolidasi yang tidak dimiliki partai lain. Walaupun hasil perhitungan suara calon PKB itu kalah, namun kader PKB dibawah semakin solid. Selain itu, massa NU yang selama ini tidak memilih PKB sebagai saluran politiknya akan berlabuh ke partai pimpinan Muhaimin

47Vicky Randall dan Lars Svasand.’Party Institutionalization In New Democracies’, Party Politics, vol.

8, no.1, 2008, hlm. 5-29.

48

Firmanzah. Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era Demokrasi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011.

(19)

Iskandar. Pasalnya, sentimen NU yang dibawa PKB saat pemilihan Gubernur Jawa Timur lalu sangat mengena, mengingat figur Khofifah yang merupakan representasi kader NU dan salah satu orang dekat Gus Dur. Intinya, PKB menjadi satu-satunya partai yang punya momentum untuk konsolidasi secara masif di Jawa Timur. Hasil survey yang dilakukan Lembaga Survei The Initiative saat itu, diketahui bahwa masyarakat Jawa Timur yang memilih PKB mencapai 34 persen, sementara PDIP 22 persen, berikutnya Partai Demokrat diurutan ketiga dengan 12 persen, Partai Gerindra 9 persen, sementara Partai Golkar berada pada kisaran 4 persen.50

Strategi lain yang dilakukan PKB dalam kontestasi Pemilu 2014, yaitu dengan memaksimalkan fungsi pencitraan lewat peran artis-artis ternama ibukota yang disebar di berbagai daerah pemilihan di Jawa Timur khususnya. Tercatat ada Krina Mukti yang berhasil menjadi anggota DPR RI 2014-2019, artis lain Arzeta Salsabila yang sesungguhnya berhasil meraup perolehan suara kurang lebih 35.000 suara, meskipun tidak berhasil menempati Senayan, namun perolehan suaranya cukup signifikan. Bahkan PKB mengoptimalkan peran Raja Dangdut H.Rhoma Irama yang digadang-gadang menjadi Presiden RI ke 7 dari Partai Kebangkitan bangsa, ansih cukup mendulang perolehan suara dari simpatisan dan pengagum H.Rhoma Irama. Model kampanye yang berbasis hiburan dengan menempatkan juru kampanye sekelas Ahmad Dani (musisi papan atas tanah air), Mahfud MD mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, hingga Rusdi Kirana Direktur Utama maskapai Lion Air, dilakoni PKB untuk mendongkrak suara-suara basis pemilih signifikan.

Medio Pemilu 2004-2009 bagi PKB bisa dikatakan sebagai ammul khuzni, tahun kedukaan. Pasca PKB terjerembab dan finish dengan perolehan 4,9% tingkat nasional di pemilu 2009. Pasca wafatnya Gus Dur, membuat para loyalisnya tercerai berai. Ada yang sibuk dengan posisi barunya di parpol lain, dan tidak sedikit yang balik bersatu dengan PKB Imin. Praktis tidak ada lanjutan perlawanan hebat seperti yang terjadi dalam pemilu 2009.

Lumpuhnya PKB secara partai, dan hilangnya ruh gerakan PKB membuat Muhaimin Iskandar melakukan penetrasi politik yang cantik, meskipun terkesan manipulatif, PKB kembali menggelorakan nama Gus Dur sebagai alasan keberadaan PKB pada pemilu 2014 harus kembali pada proses politik yang lebih baik. Ribuan alat peraga kampanye tercetak dengan tagline seragam; “PKB Penerus Perjuangan Gus Dur”. Beberapa suara sumbang dari keluarga Gus Dur dan simpatisan kental NU dan Gus Dur sempat melakukan protes atas

(20)

pencantuman Gus Dur dalam alat-alat kampanye PKB. Elit PKB nampaknya sudah berhitung cermat atas strategi ini, termasuk bagaimana mengantisipasi kegusaran Ciganjur.51

Konfidensi elit PKB nampaknya didasarkan atas kalkulasi politik; perlawanan Ciganjur tidak akan berdampak sedestruktif ketika masih ada Gus Dur. Secara simultan, saat PKB terus melakukan propaganda “PKB adalah Gus Dur dan Gus Dur adalah PKB”, mereka juga terus meng-introdusir counter narasi melawan serangan Ciganjur. Salah satu counter-narasi yang cukup ampuh dan sering digunakan adalah dengan cara meyakinkan publik bahwa konflik PKB merupakan ijtihad Gus Dur dalam rangka mempersiapkan kader penerusnya agar lebih tangguh.52 Meski terkesan kontradiktif, mereka mengimani bahwa melawan Gus Dur adalah bukti cinta mereka ke Gus Dur. Ketiadaan Gus Dur juga praktis menyebabkan sayap NU lebih mudah diajak bermanuver. Langkah yang dilakukan PKB berbuah hasil, Pemilu 2014 PKB kembali mengalami peningkatan suara secara signifikan dengan raihan suara sebesar 9,46%. Ini menunjukkan bahwa PKB cukup lama dalam proses institusionalisasinya. Baru sekarang cukup terlihat bahwa PKB pimpinan Muhaimin muncul sebagai organisasi yang terlembaga.

Dari perjalanan panjang Partai Kebangkitan Bangsa sejak Pemilu 1999 hingga 2014, Sejalan dengan terjadinya konflik banyak mempengaruhi suara PKB pada pemilu ke pemilu terjadi penurunan suara pada pemilu tersebut. Perolehan suara PKB pada pemilu 1999 dan 2004 yang paling berpengaruh hanya ada di dua provinsi saja, yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur . Di Jawa Tengah pusaran pengaruh suara ada di empat pondok pesantren diantaranya : pondok pesantren tegalrejo Magelang, pondok pesantren Rembang, Pondok pesantren Kaliwungu Kabupaten Kendal, Pondok pesantren Benda Kabupaten Brebes.

Diluar 4 (empat) pondok pesantren itu masih banyak pondok pesantren atau kiai lain yang memiliki pengaruh cukup kuat meskipun tidak sekuat keempat pondok pesantren besar tersebut, diantaranya adalah KH Muhaimainan Gunardo dari Parakan, KH Muslim Rivai Imampuro dari Klaten, Kiai Mahfud Ridwan dari Pondok pesantren Edi Mancoro Salatiga dan beberapa kiai di daerah Cilacap, Banyumas dan sekitarnya. Kiai-kiai itu memiliki otoritas secara mandiri termasuk dalam sikap politiknya.

Di Jawa Timur pusaran suara ada di Pondok pesantren Tebuireng di Jombang, Pondok pesantren Sukorejo Banyuputih Asembagus, Pondok pesantren Langitan Tuban, Pondok pesantren Lirboyo Kediri, Pondok pesantren Ploso, Pondok pesantren Denanyar, pondok

51

Ciganjur adalah rumah Gus Dur, dan menjadi tempat bersejarah bagi gerakan reformasi di tahun 1998

52Supit Urang PKB Gus Dur, www.aananshori.com, diakses pada tanggal 21 september 2015 jam 21.00

(21)

KURSI % KURSI % KURSI % KURSI & RATA PERSEN PEM ILU 2014

KURSI & RATA PERSEN PEM ILU 1999 24 36%

3 40.5 1 13.4 1 13.9

KURSI & RATA PERSEN PEM ILU 2004 KURSI & RATA PERSEN PEM ILU 2009

3 34.5 2 18 2 20.8

3 39.8 1 11.6 2 27.7

3 43.4 1 16.6 1 19.2

3 27.9 1 9.9 3 19.1

DAPIL KOTA/ KABUPATEN 2004 2009 2014

PEM ILIHAN UM UM LEGISLATIF - DPR RI

pesantren Bangkalan Madura. Selain tujuh pondok pesantren yang sangatlah berpengaruh ada pula beberapa pondok pesantren yang juga berpengaruh atas suara PKB khususnya di daerah Jember, Bondowoso, Banyuwangi, Pasuruan, Situbondo, Probolinggo, Lumajang yang merupakan daerah Tapal Kuda, karena seperti yang telah diketahui banyak pondok pesantren yang menjadi pendukung basis suara PKB, dan kultur Nahdliyin sangat kokoh mengakar.

Peta Suara PKB pada Lumbung Suara Partai di Jawa Timur Pemilu 1999-2014

(22)

Dari perolehan suara Pemilu 1999-2014 di Provinsi Jawa Timur, terlihat adanya pergeseran suara pada basis atau lumbung suara Partai Kebangkitan bangsa pada jumlah kursi dan persentase yang di raih untuk Pemilu Legislatif DPR RI. Pemilu 1999 PKB mendapatkan total kursi 24 dengan persentase sebesar 36%. Pemilu 2004 total kursi 28 persentase 31%. Pemilu 2009 total kursi 11 persentase 12%. Pemilu 2014 total kursi 13 persentase 18%. Pada daerah Tapal Kuda yang merupakan basis PKB, secara jumlah kursi tidak terlalu jauh mempengaruhi, khususnya pada pemilu 2009 dan 2014 (jumlah raihan kursi terkait dengan

perbedaan sistem pemilu). Namun, secara persentase terjadi pergeseran angka yang cukup

signifikan. Penurunan persentase perolehan suara dari Pemilu 2004 ke Pemilu 2009 sebesar 23,83%, dan terjadi kenaikan pada Pemilu 2009 ke Pemilu 2014 sebesar 7,17%.

Mencermati perjalanan politik Partai Kebangkitan Bangsa, khususnya dan partai-partai Islam umum. Kita cermati memiliki pasang surut dinamika politik yang sama. Ada 2 (dua) hal yang perlu dicermati apakah penurunan dukungan pemilih terhadap partai-partai Islam itu disebabkan oleh persoalan internal parpol Islam atau penurunan itu disebabkan oleh kemajuan wawasan pemilih. Kemungkinan kedua-duanya menjadi faktor utama mengapa parpol Islam dalam pemilu era reformasi ini perolehan suaranya menurun secara relatif konsisten. Internal parpol Islam berkaitan dengan arah pengelolaan parpol Islam tersebut termasuk dalam cara parpol Islam mengemas ideologinya untuk diperkenalkan kepada masyarakat.53 Kemasan ideologi dan faktor dominan lainnya terkait dengan kejelasan platform partai, agenda partai, kepemimpinan dan kualitas kader, promosi dan marketing politik, sumber dana dan kohesivitas partai. Sedangkan faktor eksternal terkait dengan kebijakan pemerintah (penetapan sistem pemilu, sistem kepartaian, sistem kampanye, penyeragaman asas partai, pendanaan partai) dan perilaku politik pemilih.54

Sisi lain, masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang berkembang dalam beberapa tahun ini. Dan lima belas tahun terakhir ini mengindikasikan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang terbuka untuk menerima pengaruh dari manapun, termasuk pengaruh modernisasi, ini menyangkut tidak saja cara hidup, tetapi juga cara berpikir dan juga penilaian terhadap partai-partai politik. Perkembangan ini memberikan pengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap bagian masyarakat Indonesia yang mempunyai hak pilih dalam menentukan partainya pada saat pemilu. Sehingga langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi penurunan suara partai-partai Islam.

(23)

Dilihat dari sisi internal, persoalan partai Islam secara umum sama dengan persoalan yang dihadapi oleh partai-partai lain. Bisa dikatakan, bahwa secara terminologi partai Islam dewasa ini sesungguhnya problematik, setidaknya jika dilihat dari perspektif basis sosio kultural dan perilaku politik elitnya. Fakta pertama, Islam adalah agama mayoritas penduduk Indonesia, sehingga partai nasionalis basis massanya adalah juga muslim. Fakta kedua, reformasi memassifkan arus liberalisasi politik, sehingga melahirkan pragmatism politik yang membuat semua partai melakukan politik transaksional. Berdasarkan dua fakta tersebut, dikotomi partai Islam dan Non Islam (Nasionalis) menjadi tidak relevan atau hampir tidak ada, karena basis massanya sama-sama muslim, dan perilaku politik elitnya sama-sama pragmatis.55

Partai-partai pada umumnya di Indonesia adalah partai yang gagal mengelola sumber dayanya. Di sini adalah sumber daya manusia maupun sumber daya material. Pada sumber daya manusia, partai-partai baik Islam maupun nasionalis tidak mampu mengembangkan diri secara internal memupuk keberdayaan anggotanya. Bayangkan saja menurut undang-undang, partai politik di Indonesia adalah partai yang mengelola keanggotaan. Jika ditelisik lebih jauh, benar tidaknya perintah undang-undang ini dijalankan oleh partai politik. Kalau partai politik mengelola daftar aggota dengan baik mereka tidak hanya mencatat nama. Tetapi memanfaatkan mereka, dan memanfaatkannya untuk membesarkan partai.

Dari segi pola cleavege, sebenarnya sudah mulai stabil. Dua payung identitas Islam dan nasional ini mulai stabil. Tetapi karena terbatasnya imajinasi dalam tokoh partai-partai Islam dalam hitungan satu dua tiga pemilu, Islam selalu diposisikan menjadi pemenang nomor dua. Ia belum muncul menjadi sebuah partai yang betul-betul diminati oleh para pemilih tengah, lalu menjadikan suara partai Islam di atas patai nasionalis. Ini belum terjadi. penggabungan di antara partai-partai Islampun, belum menunjukkan supremasinya. Yang menjadi masalah, mengapa partai Islam dalam tiga atau empat kali pemilu mendatang tetap tidak bisa menyangi partai politik dengan basis nasionalis.56

Padahal partai-partai Islam yang kini mendominasi dan menduduki peringkat partai tengah yang ada seperti PPP, PKB,PKS dan PAN memiliki pangsa pasar pemilih tersendiri. PKB, PAN dan PKS sesungguhnya lebih memiliki kelabihan dibandingkan dengan PPP, karena memiliki basis massa yang jelas dan loyal yaitu Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan aktifis da’wah kampus-kantor. PKB, loyalitas pemilih tradisional dan otoritas kiai menjadi faktor penentu kemenangan pemilu. PAN, pemilih lebih rasional dan kejelasan

55Ibid

(24)

program serta sumber dana. PKS, program lbih kongkret, kader terampil, dan handal serta ikatan emosional dengan pemilih. PPP, loyalitas dukungan dari elit agama dan massa tradisionalnya. Selain itu juga memiliki modal social (jaringan nasional-internasional), ekonomi (bisnis dan usaha) dan kultural (kompetensi kader), yang jika dioptimalkan akan berkontribusi terhadap perolehan suara partai.57

Hingga kini kinerja elektoral partai Islam tetap tidak akan menjadi supremasi partai. Karena pertama, sejauh ini belum ada partai Islam yang berhasil memunculkan figur nasional. Karena ketokohan yang karismatik tadi menjadi basis umum yang mengarahkan pemilih kita, sampai sekarang ini belum ada partai Islam yang melahirkan seorang tokoh yang bisa diterima tidak hanya di kalangan umat Islam tetapi di kalangan luar juga, kecuali Gus Dur yang gemilang menjadi ikon PKB. Gus Dur karena latar belakang intelektualnya, peran historisnya sebagai oposan Orde Baru, memayungi kelompok minoritas, menggalang kelompok-kelompok nasionalis sekuler dan seterusnya, menjadikan Gus Dur tampil sebagai tokoh yang relatif bisa diterima. Ini yang menjadikan kekuatan PKB saat itu.

Namun, pasca Gus Dur, belum menangkap seorang tokoh Muslim yang muncul di permukaan untuk bisa mengayomi minoritas, menggalang kekuatan dengan kelompok sekuler, menyerap banyak kelas sosial, ini menjadikan partai Islam untuk dua tiga kali pemilu belum tampil menjadi yang nomor satu. Yang berikutnya, imajinasi para politisi Muslim untuk menunjukkan diri sebagai orang yang mampu memerintah juga belum ada. Sejauh ini partai-partai Islam kurang mampu melahirkan politisi profesional dalam pengertian kecakapan dia untuk memerintah sehingga politisinya juga didera masalah-masalah ideologis sehingga tokoh ini tidak mampu menjadi tokoh nasional.

Sebaliknya partai-partai nasionalis sangat cakap untuk melahirkan tokoh yang bisa diterima, mampu memerintah, meskipun kemudian muncul sebagai strong men seperti yang terlihat pada SBY. Tetapi yang penting adalah mereka tampak bisa tampil mengayomi banyak kelompok, ini yang juga menjadi hal yang bisa merugikan partai-partai Islam dan di masa depan juga terus menerus ditantang untuk melahirkan ketokohan organisasi partai yang diterima semua orang. Ini merupakan tantangan, transformasi dari ideologis ke identitas, partai islam yang inklusif semakin terdorong untuk menjawab tantangan ini.58

Faktor-faktor penentu masa depan partai Islam dengan mendorong agenda untuk lebih eksis dan kontributif seperti pertama, rasionalisasi jumlah partai ke titik minimal. Artinya, tidak harus tunggal, tetapi dua atau tiga agar fragmentasi partai Islam tidak terlalu banyak.

57Wawancara dengan Suswanta, Yogyakarta, 10 Juni 2015.

(25)

Kedua, platform dan agenda partai harus jelas dan kongkret. Ketiga, tidak terjebak

pragmatisme politik yang melahirkan politik transaksional. Keempat, bekerja nyata untuk kepentingan umat dan bangsa secara berkelanjutan. Kelima, membangun pola kepemimpinan agar mampu melahirkan tokoh teladan. Keenam, membangun pelembagaan partai yang baik (penguatan platform, kaderisasi, rekruitmen dan kohesivitas).59

Saat ini sebenarnya banyak sekali segmen masyarakat Muslim yang berlatar belakang santri. Itu mempunyai kecakapan yang baik untuk bisa direkrut sebagai calon pimpinan partai dan lalu kemudian diharapkan mampu mengubah wajah partai untuk tampil sebagai partai yang teknokratis. Tanpa memiliki karakter sebagai partai yang teknokratik, partai Islam akan terjerembab ke dalam stigma partai ideologis, dan ini merugikan. Sehingga dengan tampil sebagai partai teknokratis, memiliki program dan kebijakan, seperti kebijakan ekonomi yang jelas, tidak lagi mengandalkan jaringan-jaringan lama, tetapi lebih luas dan mulai merekrut berbagai kalangan. Akhirnya, transformasi dari partai yang sifatnya ideologis ke teknokratis memerlukan waktu yang lama dan strategi yang komprehensif.

(26)

Daftar Pustaka

Anggaran Dasar Partai Kebangkitan Bangsa Pasal 3,4 dan 5

Barton, Greg, 1997 Indonesia’s Nurcholish Madjid and Abdurrahman Wahid as Intellectual ulama: the meeting of Islamic traditionalism and Modernism in neo-Modernist thought, in: Islam and Christian-Muslim Relations, 8, 3, 1997.

Bush, Robin, Nahdlatul Ulama and the Struggle for Power within Islam and Politics in

Indonesia, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2009.

Choirie, A. Effendy, Islam-Nasionalisme UMNO-PKB Studi Komparasi dan Diplomasi, Jakarta: Pensil-234, 2008.

Chusnunia. “Konflik Gus Dur-Muhaimin Iskandar Dalam Tubuh Partai Kebangkitan Bangsa Tahun 2008,” dalam Tesis diProgram Pascasarjana Universitas Nasional Jakarta

Program Magister Ilmu Politik. Jakarta: Universitas Nasional, 2011.

Dhakiri, Muhammad Hanif dan kawan-kawan, PKB Masa Depan. Jakarta: DPP Partai Kebangkitan Bangsa, 2006.

Dirdjosanjoto, Pradjarta, Memelihara Umat: Kiai Pesantren-Kiai Langgar di Jawa. Yogyakarta: LKiS, 2013.

Fachry Ali, Membangun Kekuatan Politik Umat, 1998

Firman Noor, “Institutionalising Islamic Political Parties in Indonesia: A Study of Internal Fragmentation and Cohesion in the Post-Soeharto Era (1998-2008)”, Disertasi, (London: University of Exeter).

Firmanzah, Persaingan Legitimasi Kekuasaan dan Marketing Politik-Pembelajaran Politik

Pemilu 2009, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2010

Firmanzah. Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era

Demokrasi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011

Halim, Abdul, Aswaja Politisi Nahdlatul Ulama: Perspektif Hermeneutika Gadamer. Jakarta: LP3ES, 2014.

Hamad, ibnu, Konstruksi realitas politik dalam media massa: sebuah study critical disourse

analysis terhadap berita –berita politik ; pengantar. harsono suwardi – edisi 1,

Jakarta: granit, 2004.

Hamayotsu, Kikue, The End of Political Islam? A Comparative Analysis of Religious Parties in the Muslim Democracy of Indonesia, in: Asian Journal of Current Southeast

(27)

Hanif Dhakhiri dan TB Massa Djafar, Struktur Politik Partai Kebangkitan Bangsa¸Jurnal

Kajian Politik dan Masalah Pembangunan, Volume 11 No 1, Universitas Nasional

Jakarta, 2015

Horikoshi, Hiroko Kiai dan Perubahan Sosial. Jakarta: P3M, 1984.

Jakarta Post, Chinese-Indonesians and NU pray for sick ‘father’ Gus Dur, 7 September, 2009 Kang Young Soon, Antara Tradisi dan Konflik: Kepolitikan Nahdlatul Ulama, Ph.D Thesis,

(Jakarta: Program Pasca Sarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008), hlm. 400. Kholid Novianto, al Chaidar, Era Baru Indonesia : Sosialisasi Pemikiran Amien Rais,

Hamzah Haz, Nur mahmudi, Matori Abdul Djalil dan Yusril Ihza Mahendra, Cetakan

I, Jakarta : pt raja grafindo Persada, 1999.

Kompas, 5 April 1999

Mabda Syiasi Partai Kebangkitan Bangsa. Jakarta; DPP PKB, 2004.

Machmudi, Yon, From Cultural to Political Brokers: The Decline of Traditionalist Muslim

Party in Indonesia, paper presented at the Annual Meeting of the Association for

Asian Studies, Honolulu, Hawaii, 1 April 2011.

Mahrus Irsyam, Ulama dan Partai Politik, Upaya Mengatasi Krisis, (Jakarta: Yayasan Perkhidamatan, 1984)

Muhaimin Iskandar, “Fundamental Politik Partai Kerja Modern: PKB Lima Tahun Ke Depan”, in A Muhaimin Iskandar, Melampaui Demokrasi Merawat Bangsa dengan

Visi Ulama. Refleksi Sewindu Partai Kebangkitan Bangsa, Jogjakarta: Klik.R, 2006.

Nahrowi, Imam, Moralitas Politik PKB. Malang: Averroes, 2006 Sejarah berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa, www.dpp.pkb.or.id

Vicky Randall dan Lars Svasand.’Party Institutionalization In New Democracies’, Party Politics, vol. 8, no.1, 2008

Wawancara dengan Ali Munhanif, Dosen FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta Wawancara dengan Tommi Legowo, Peneliti Senior Formappi

Wawancara dengan Suswanta, Yogyakarta, 10 Juni 2015.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penelitian mengenai pengaruh karakteristik wirausaha terhadap kinerja usaha pemotongan ayam di Kota Surakarta, maka saran yang disampaikan sebagai

Berdasarkan hasil analisis yang telah dipaparkan di atas dari keempat keefektifan pembelajaran diperoleh bahwa kemampuan guru (peneliti) dalam mengelola pembelajaran

Abstrak Penelitian ini bertujuan (1) untuk mengetahui model pembelajaran yang lebih efektif untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPS di Kelas VII

Sebagai Pemakalah pada Seminar Nasional Dies Natalis XV dan Science Days V FMIPA Unpatti Tahun 2013 Sebagai Peserta Pelatihan Penulisan dan Penerbitan Jurnal Nasional

Psikolinguistik adalah ilmu yang mempelajari perilaku berbahasa, baik prilaku yang tampak maupun perilaku yang tidak tampak: resepsi, persepsi, pemerolehan bahasa, dan

Sebagai langkah pertama dari penentuan sampel adalah membuat batasan tentang ciri- ciri populasi. Misalnya peneliti menentukan subjek penelitiannya adalah “anak

[r]

BM_Sepadu ini memberi kesan yang positif terhadap aktlVIU penbualde~~~i pembelajaran Bahasa Melayu di bilik darjah tingkatan 4. Data temU n Jllodu ~ guru dan pelajar menunjukkan