BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1.1.1. Anak dalam Pembangunan
Anak merupakan potensi yang sangat penting, generasi penerus masa depan bangsa, penentu kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang akan menjadi pilar utama pembangunan nasional, sehingga perlu ditingkatkan
kualitasnya dan mendapatkan perlindungan secara sungguh-sungguh dari semua elemen masyarakat.
SDM yang berkualitas tidak dapat lahir secara alamiah, bila anak dibiarkan tumbuh dan berkembang tanpa perlindungan, maka mereka akan menjadi beban pembangunan karena akan menjadi generasi yang lemah, tidak produktif dan tidak kreatif, sedangkan jumlah mereka lebih dari sepertiga penduduk Indonesia.
Makanan dan pakaian saja belum cukup untuk menjadikan anak sebagai media persemaian SDM yang berkualitas, kreatif, berdaya saing tinggi yang memiliki jiwa nasionalisme dan pekerti luhur. Perlu adanya kesadaran yang tinggi dan kemauan politik yang kuat untuk menciptakan lingkungan yang peduli terhadap kepentingan dan kebutuhan anak. Terdapat kesenjangan yang lebar antara kondisi anak-anak Indonesia saat ini dengan kondisi yang seharusnya sudah kita capai dalam rentang waktu 63 tahun kemerdekaan bangsa ini. Setiap kali kita menelaah masalah sosial anak selalu timbul keprihatinan yang mendalam, seperti banyak anak-anak yang terpaksa menanggung resiko akibat dari kelalaian atau
ketidakmampuan orang dewasa dalam melindungi mereka, kebijakan pemerintah dalam merencanakan pembangunan yang tidak peduli anak.
kelahiran hidup (2005), masih sangat tinggi. Mereka menghadapi ketidakpastian untuk hal-hal mendasar yang seharusnya menjadi hak mereka seperti kepemilikan akta kelahiran, akses terhadap pendidikan yang terjangkau, terbebas dari perlakuan salah, kekerasan ekonomi, seksual dan psikis.
Secara sosial, anak-anak tidak berdaya menghadapi gelombang sajian iklan dan pemandangan kehidupan konsumerisme yang sangat kapitalistik yang merugikan
perkembangan jiwa anak-anak secara langsung maupun tidak langsung.
Misalnya saat ini terdapat 43 juta anak mejadi perokok pasif. Komnas perlindungan anak melaporkan bahwa 99,7 persen anak-anak terpapar iklan rokok, hasil survey Global Youth Tobacco Survey di Indonesia 12,6% siswa SMP adalah perokok, 3,2 % diantaranya tergolong kecanduan. Umur perokok pemula bergeser dari usia 10 tahun menjadi 7-9 tahun.
Sejak tahun 2006 hingga saat ini rata-rata terdapat 2 sampai 4 anak mengalami tindak kekerasan setiap hari. Lebih dari seperempat anak perempuan mengalami perkosaan. Jumlah anak yang berkonflik dengan hukum mencapai 4.277 anak, hal ini berarti setiap hari terdapat 11 s.d 12 anak berkonflik
dengan hukum (Bareskrim Polri), sementara itu anak yang hidup di penjara hingga saat ini mencapai 13.242 anak.
Di sektor pendidikanpun anak-anak masih banyak yang tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan. Angka partisipasi murni sekolah menengah pertama sebesar 65,37% tahun 2005. Padahal seharusnya dengan program wajib belajar 9 tahun, semua anak Indonesia bisa bersekolah.
Kota-kota di Indonesia, saat ini, mengalami pertumbuhan setiap tahun rata-rata 4,4% (UNICEF, 2007: 123), akibat dari pertumbuhan penduduk dan migrasi penduduk desa ke kota sehingga kota yang tidak terkendali. Akibatnya penyediaan pelayanan dasar, perumahan, pendidikan, kesehatan, dan peluang untuk kerja semakin sulit.
123), karena mereka selalu mengahadapi resiko kekerasan baik di rumah, di sekolah, di tempat bermain, maupun ditempat-tempat umum seperti tempat rekreasi, terminal, stasiun, tempat-tempat ibadah dll.
Selain itu, ruang bermain anak belum tersedia dalam jumlah yang cukup karena belum menjadi prioritas pembangunan pemerintah kabupaten/kota, belum adanya rute yang aman bagi anak ke sekolah maupun ke tempat-tempat aktivitas anak lainnya, yang ditandai dengan merebaknya berbagai kasus kekerasan terhadap anak. Hal lain, masih terbatasnya kebijakan pemerintah untuk menyatukan isu hak ke dalam perencanaan pembangunan kabupaten/kota, serta belum teritegrasinya hak perlindungan anak ke dalam pembangunan kabupaten/kota.
Salah satu penyebab dari munculnya berbagai masalah sosial tersebut antara lain adalah belum adanya kebijakan
pemerintah mengenai kabupaten dan kota layak anak (KLA) yang mengintegrasikan sumberdaya pembangunan untuk memenuhi hak anak.
Lahirnya kebijakan KLA, diharapkan dapat menciptakan keluarga yang sayang anak, rukun tetangga dan rukun warga atau lingkungan yang peduli anak, kelurahan dan desa layak anak dan kecamatan atau kabupaten/kota yang layak bagi anak sebagai prasyarat untuk memastikan bahwa anak-anak tumbuh dan berkembang dengan baik, terlindungi haknya dan terpenuhi kebutuhan pisik dan psikologisnya.
Untuk mewujudkan KLA tersebut, maka pemerintah kabupaten/kota perlu melakukan berbagai upaya
pengintegrasian sumber daya, isu-isu perlindungan dan peningkatan kualitas anak ke dalam dokumen perencanaan dan implementasi pembangunan pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Oleh karena itu maka perlu adanya panduan kebijakan KLA.
1.1.2. Perlunya Kebijakan KLA Bagi Indonesia
Dengan pertimbangan tersebut bangsa Indonesia memerlukan adanya suatu model pembangunan yang mempertimbangkan pemenuhan hak dan kebutuhan anak sejak proses
penilaiannya.
Oleh karena itu pemerintah memandang perlu adanya Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak sebagai langkah awal dalam rangka menciptakan pembangunan yang peduli terhadap hak, kebutuhan dan kepentingan anak. Karena prinsip kebijakan KLA adalah mendorong kabupaten/kota agar menghormati hak anak yang diwujudkan dengan cara:
(Innocenti Digest No.10/10/02:22):
a. menyediakan akses pelayanan kesehatan, pendidikan, air bersih, sanitasi yang sehat dan bebas dari pencemaran lingkungan.
b. menyediakan kebijakan dan anggaran khusus untuk anak.
c. menyediakan lingkungan yang aman dan nyaman, sehingga memungkinkan anak dapat berkembang, anak dapat berekreasi, belajar, berinteraksi sosial,
berkembang psikososial dan ekspresi budayanya.
d. keseimbangan di bidang sosial, ekonomi, dan terlindungi dari pengaruh kerusakan lingkungan dan bencana alam. e. memberikan perhatian khusus kepada anak seperti yang
tinggal dan bekerja di jalan, eksploitasi seksual, hidup dengan kecacatan atau tanpa dukungan orang tua. f. menyediakan wadah bagi anak-anak untuk berperan
serta dalam pengambilan keputusan yang berpengaruh langsung pada kehidupan mereka.
Dalam perspektif KHA, hak anak ditegaskan secara khusus yang meliputi hal-hal sebagai berikut:(Save the Children, 1996:13-15):
berbeda yang dialami oleh anak jalanan yang tidak mempunyai tempat tinggal dan terputus dengan orang tua.
b. mempunyai hak untuk mendapatkan keleluasaan pribadi – tempat tinggal padat dan tumpang tindih di kota
menjadikan anak merasa terganggu keleluasaan
pribadinya. Kondisi seperti ini banyak dialami oleh anak-anak yang berasal dari keluarga miskin di kota, sehingga dampaknya adalah perasaan tertekan dan ketegangan pada diri anak. Keadaan ini dapat dikurangi bila orang tua peduli terhadap keluarganya. Perumahan padat dapat menjadi salah satu faktor dalam perlakuan buruk terhadap anak atau kekejaman dan perlakuan salah secara seksual.
c. mempunyai hak untuk mendapatkan rasa aman – keamanan fisik dan psikososial merupakan hal penting bagi anak yang ada di kota. Lemahnya penegakan
hukum, meluasnya kekejaman dan kejahatan mempunyai dampak yang kuat terhadap anak dan remaja.
d. mempunyai hak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat – sanitasi buruk, kurangnya air bersih, kurangnya fasilitas toilet, dan banyaknya sampah memberi dampak yang serius terhadap kesehatan anak. Kondisi kota seperti ini menghadapi masalah serius terhadap tumbuh kembang anak, karena mereka mudah terjangkit penyakit cacar, diare, ISPA, TBC, dan penyakit lain yang sering dialami oleh warga yang tinggal di wilayah kumuh.
e. mempunyai hak untuk bermain – ini artinya tersedia areal hijau dan ruang terbuka untuk bermain. Lokasi tempat bermain dengan rumah khususnya untuk anak kecil dan anak dengan kecacatan.
f. mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan – setiap anak mempunyai hak dan kesempatan yang sama
buruk.
g. mempunyai hak untuk memperoleh pelayanan
transportasi umum – mengakses tranportasi umum yang baik untuk semua merupakan hal yang esensial. Untuk memenuhi hak anak, bagaimana pun transportasi yang aman adalah berjalan kaki, naik sepeda atau mengakses transportasi yang tidak menghasilkan polusi dan ramah anak.
1.2. Maksud dan Tujuan 1.2.1. Maksud
Untuk membangun inisiatif pemerintahan kabupaten/kota yang mengarah pada upaya transformasi Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Anak dari kerangka hukum ke dalam definisi, strategi, dan intervensi
pembangunan seperti kebijakan, kelembagaan dan program yang peduli anak.
1.2.2. Tujuan
Tujuan kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak adalah: a. Untuk meningkatkan komitmen pemerintah,
masyarakat dan dunia usaha di kabupaten/kota dalam upaya mewujudkan pembangunan yang peduli
terhadap hak, kebutuhan dan kepentingan terbaik bagi anak;
b. Untuk mengintegrasikan potensi sumber daya manusia, keuangan, sarana prasarana, metoda dan teknologi yang ada pada pemerintah, masyarakat serta dunia usaha di kabupaten/kota dalam mewujudkan hak anak; c. Untuk mengimplementasikan kebijakan perlindungan
anak melalui perumusan strategi dan perencanaan pembangunan kabupaten/kota secara menyeluruh dan berkelanjutan sesuai dengan indikator KLA; dan
1.3. Ruang Lingkup
Ruang lingkup Kebijakan KLA meliputi pembangunan di bidang
kesehatan, pendidikan, perlindungan, infrastruktur, lingkungan hidup dan pariwisata baik secara langsung maupun tidak langsung
berhubungan dengan implementasi hak anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak.
Kebijakan KLA mencakup aspek kelembagaan, pembiayaan, ketenagaan, pengawasan dan penilaian, penelitian dan
pengembangan serta keterwakilan aspirasi dan kepentingan anak dalam pengambilan keputusan pembangunan kabupaten/kota. 1.4. Sasaran
1.4.1. Sasaran antara
a. Lembaga eksekutif. b. Lembaga legislatif. c. Lembaga yudikatif.
d. Organisasi non pemerintah. e. Dunia usaha.
f. Masyarakat 1.4.2. Sasaran akhir
a. Keluarga. b. Anak.
1.5. Pengertian
Dalam kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) ini yang dimaksudkan dengan:
a. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
b. Kabupaten/kota adalah pembagian wilayah administrasi di Indonesia setelah provinsi yang dipimpin oleh seorang bupati/walikota. Dalam konteks KLA Kabupaten/kota adalah pembagian wilayah administrasi dan geografi termasuk
dan keluarga.
c. Layak adalah kondisi fisik dan non fisik suatu kabupaten/kota dimana aspek-aspek kehidupannya memenuhi unsur-unsur yang diatur dalam konvensi Hak Anak dan/atau Undang-Undang Perlindungan Anak sebagaimana diuraikan dalam indikator KLA. Layak adalah kondisi fisik suatu wilayah yang di dalamnya terdapat sarana dan prasarana yang dikekola sedemikian rupa sehingga memenuhi persyaratan minimal untuk kepentingan tumbuh kembang anak secara sehat dan wajar, tidak
mengandung unsur yang membahayakan anak. Kelayakan tersebut dapat berupa infrastruktur seperi jalanan raya, jembatan, trotoar, sarana transportasi, rekreasi dan bermain, lingkungan hidup yang hijau dan ketersediaan perangkat hukum yang mendukungnya.
Ramah adalah kondisi non fisik suatu wilayah yang di dalamnya terdapat nilai budaya, etika, sikap dan perilaku masyarakat yang secara sadar dipraktikkan atau digunakan dan dikembangkan sedemikian rupa sehingga memenuhi hak anak.
Keramahan tersebut dapat berupa tata cara orang dewasa dalam menghadapi dan memperlakukan anak sehingga anak merasa nyaman, senang dan gembira seperti dalam bertegur sapa, memberi salam, memilih dan menggunakan kata-kata bijak untuk anak, kebiasaan memuji anak, mengucapkan terima kasih, sabar dan tidak memaksakan kehendak, mendengarkan pendapat anak, memberi contoh hal-hal yang baik dan positif
Layak dan ramah bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Layak identik dengan perangkat keras (hardware) sedangkan ramah identik dengan perangkat lunak (software). Software hanya bisa bekerja bila didukung hardware yang memadai dan sebaliknya hardware tidak member manfaat bila tidak didukung software
d. Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) adalah model pembangunan kabupaten/kota yang mengintegrasikan komitmen dan
(holistik) dan berkelanjutan (sustainable) melalui pengarusutamaan hak anak.
Fasilitas pengenalan ilmu pengetahuan dan teknologi terlihat 3 anak berfoto di pusat peragaan ilmu pengetahuan.
Pendirian Children’s centre
sebagai upaya perlindungan anak di lokasi bencana
Dalam situasi darurat anak menjadi sangat rentan Terhadap berbagai tindakan kekerasan dan pelecehan
BAB II
ANALISIS SITUASI
Kebijakan KLA sangat diperlukan mengingat kondisi obyektif anak-anak Indonesia baik secara historis, filosofis, sosiologis maupun antropologis berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Kekhawatiran tersebut semakin kuat dengan melihat fakta global yang berubah sangat cepat baik karena perkembangan teknologi informasi, adanya agenda-agenda politik global maupun karena munculnya fenomena kehidupan baru seperti krisis pangan, krisis energi serta pemanasan global, perubahan iklim yang membawa anak-anak pada posisi yang semakin rentan.
Kebijakan KLA hanya bisa dilaksanakan apabila ada kemauan politik dari pemerintah, masyarakat dan dunia usaha, untuk mendengar dan
mengetahui kebutuhan anak sesuai dengan situasi, kondisi dan
permasalahan anak; misalnya anak yang berhadapan dengan hukum, anak yang mengalami tindak kekerasan, masalah sosial anak, pendidikan dan kesehatan anak, hak sipil dan partisipasi anak.
2.1. Tinjauan Sejarah KLA
Upaya pengintegrasian hak anak ke dalam isu sentral pembangunan suatu negara bukanlah hal yang baru. Berbagai Negara telah sejak lama melakukan upaya serupa dengan satu harapan yang sama yaitu memberikan yang terbaik bagi kepentingan anak.
Mengetahui sejarah dan proses perkembangan integrasi hak anak ke dalam pembangunan dari Negara lain dapat menyakinkan kita tentang perlunya kesungguhan kita dalam melaksanakan perlindungan anak. Pembangunan KLA diawali dengan penelitian mengenai “Children’s Perception of the Environment” oleh Kevin Lynch (arsitek dari
Massachusetts Institute of Technology) di 4 kota – Melbourne, Warsawa, Salta, dan Mexico City – tahun 1971-1975. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa lingkungan kota yang terbaik untuk anak adalah yang mempunyai masyarakat yang kuat secara fisik dan sosial;
dipublikasikan oleh UNESCO dan MIT Press dengan judul “Growing Up In Cities” 1977.
Pada perkembangan selanjutnya, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi Konvensi Hak Anak pada tahun 1989, dengan memasukan salah satu ketentuan mengenai hak anak untuk mengekspresikan pendapatnya. Ini artinya anak mempunyai suara, disamping adanya prinsip lain seperti non-diskriminasi; kepentingan terbaik untuk anak; dan hak untuk hidup dan mengembangkan diri.
Pada KTT Bumi di Rio de Janeiro 1992, para kepala pemerintahan dari seluruh dunia menyepakati prinsip-prinsip Agenda 21 yaitu Program Aksi untuk Pembangunan Berkelanjutan. Bab 25 Agenda 21
menyatakan bahwa, anak dan remaja sebagai salah satu Major Group – Kelompok Utama – yang dilibatkan untuk melindungi lingkungan dan kegiatan masyarakat yang sesuai dan berkelanjutan. Bab 28 Agenda 21 juga menjadi rujukan bahwa, remaja berperan serta dalam
pengelolaan lingkungan. Akan tetapi yang paling mendesak adalah agar pemerintah kota melibatkan warga dalam proses konsultasi untuk mencapai konsensus pada “Agenda 21 Lokal,” dan mendorong
pemerintah kota menjamin bahwa anak dan remaja terlibat dalam proses pembuatan keputusan, perencanaan, dan pelaksanaan. Setelah 25 tahun, hasil penelitian Kevin Lynch ditinjau kembali, dan dilakukan penelitian serupa oleh Dr Louise Chawla dari the Children and Environment Program of the Norwegian Centre for Child Research -Trondheim, Norwegia tahun 1994-1995. Penelitian yang disponsori oleh UNESCO dan Child Watch International, dilakukan di Buenos Aires dan Salta, Argentina; Melbourne, Australia; Northampton, Inggris;
Bangalore, India; Trondheim, Norwegia; Warsawa, Polandia; Johannesburg, Afrika Selatan; dan Oaklands, California, Amerika Serikat. Hasil penelitian ini menjadi indikator bagi UNICEF dalam mengawasi pemenuhan hak anak di kota sebagai bagian dari Child Friendly City Initiative untuk pemerintah kota.
Pada Konferensi Habitat II atau City Summit, di Istambul, Turki tahun 1996, perwakilan pemerintah dari seluruh dunia bertemu dan
menandatangani agenda habitat, yakni sebuah program aksi untuk membuat permukiman lebih nyaman untuk ditempati dan
UNHABITAT memperkenalkan Child Friendly City Initiative, terutama menyentuh anak kota, khususnya yang miskin dan yang terpinggirkan dari pelayanan dasar dan perlindungan untuk menjamin hak dasar mereka.
Pada UN Special Session on Children, Mei 2002, para walikota
menegaskan komitmen mereka untuk aktif menyuarakan hak anak, pada pertemuan tersebut mereka juga merekomendasikan kepada walikota seluruh dunia untuk:
a. mengembangkan rencana aksi untuk kota mereka menjadi Kota Ramah dan melindungi hak anak,
b. mempromosikan peran serta anak sebagai aktor perubah dalam proses pembuatan keputusan di kota mereka terutama dalam proses pelaksanaan dan evaluasi kebijakan pemerintah kota. Upaya UNICEF dan UNHABITAT ini terus menerus dipromosikan ke seluruh dunia dengan upaya meningkatkan kemampuan penguasa lokal (UN Special Session on Children, 2002).
Pada World Summit on Sustainable Development di Johannesburg, Afrika Selatan tahun 2002, para pemimpin negara dari seluruh dunia antara lain menyepakati untuk mewujudkan perbaikan yang signifikan pada kehidupan bagi sedikitnya 100 juta masyarakat penghuni
kawasan kumuh, seperti yang diusulkan dalam prakarsa “Kota tanpa Permukiman Kumuh” (Cities without Slums) pada tahun 2020. Hal ini mencakup tindakan pada semua tingkatan untuk:
a. meningkatkan akses pada tanah dan properti, permukiman yang memadai dengan pelayanan dasar bagi masyarakat miskin di perkotaan dengan perhatian khusus pada kepala rumah tangga perempuan;
b. mendukung otoritas lokal dalam menjabarkan program perbaikan daerah kumuh dalam kerangka rencana pengembangan perkotaan dan mempermudah akses,
khususnya bagi masyarakat miskin, pada informasi mengenai peraturan tentang perumahan.
Pengembangan KLA diimplementasikan melalui pemerintah
kabupaten/kota yang digabungkan ke dalam mekanisme dan kerangka kerja institusi yang ada. Pengembangan KLA secara terus menerus diimplementasikan ke sejumlah bagian kabupaten/kota yang terbatas dengan program pelayanan dasar perkotaan yang secara maksimum didukung oleh sumber daya yang ada. Dengan mengintegrasikan konsep perlindungan anak ke dalam program pembangunan kabupaten/kota akan lebih mudah dibandingkan dengan merealisasikan Konvensi Hak Anak secara langsung. 2.2. Aspek Filosofis
Sila kedua dari Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia yaitu “kemanusiaan yang adil dan beradab” dan sila kelima “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” secara filosofis telah
mengamanatkan kepada kita untuk mempertimbangkan secara sungguh-sungguh aspek kemanusiaan, keadilan dan keberadaban dalam melaksanakan pembangunan bagi seluruh rakyat Indonesia. Makna kata “bagi seluruh rakyat Indonesia” mengandung prinsip-prinsip non-diskriminasi, pemerataan, dan tidak ada dominasi kepentingan dalam pembangunan dan kehidupan sosial khususnya bagi anak.
Tanggung jawab pemerintahan kabupaten/kota didasarkan pada ketentuan :
a. Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa “Tujuan Negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia…”;
b. Bab X A Undang Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 28B ayat (2) yang berbunyi “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. 2.3. Aspek Sosiologis
Pada kehidupan keluarga terjadi pelunturan nilai-nilai kekeluargaan; merenggangnya hubungan antara anak dan orang tua; anak dengan anak; dan antar keluarga atau tetangga. Hal ini menyebabkan
perlindungan anak belum terpenuhi. Sikap permisif terhadap nilai-nilai sosial yang selama dianut mulai ditinggalkan.
Pada kenyataannya hubungan sosial sebaya telah menyebabkan kekhawatiran orang tua terhadap anak, ketika mereka berada di luar lingkup keluarga. Beberapa kasus yang ditemukan menunjukkan bahwa banyak teman sebaya melakukan tindakan di luar kepatutan seperti keterlibatan dalam kasus narkoba, seks bebas, tindakan amoral dan asosial lainnya.
Pada kehidupan masyarakat, nilai-nilai kebersamaan dan kegotong-royongan, serta kesetiakawanan sosial sudah menjadi sesuatu yang langka. Gejala ini, terlihat dari ketidakpedulian pada kehidupan
lingkungan sekitar, sehingga hal ini menyebabkan kepedulian terhadap kesejahteraan dan perlindungan anak kurang optimal.
Media massa dengan pewartaan dan penayangan kekerasan dan eksploitasi terhadap anak menjadi hal yang biasa, tidak hanya di kota-kota besar tetapi juga di pelosok. Hal ini menambah sederet persoalan yang juga mengganggu tumbuh kembang anak.
Pada kehidupan politik, anak belum menjadi isu utama. Partai politik sebagai agen perubahan belum mengakomodir kepentingan anak dalam programnya. Sehingga isu kesejahteraan dan perlindungan anak kurang mendapat perhatian.
2.4. Aspek Antropologis
Memudarnya nilai-nilai kebersamaan, paguyuban, dan kekerabatan, merupakan salah satu faktor yang membuat menurunnya nilai-nilai yang selama ini memberikan rasa nyaman bagi anak dalam
masyarakat. Gejala ini tergambar dari tanggungjawab masyarakat yang hanya lebih memfokuskan pada keluarga inti, sehingga berbagai hal yang terjadi pada kerabat atau paguyuban kurang mendapat perhatian pada masing-masing keluarga. Pranata sosial tidak mampu mengakomodir kepentingan masyarakatnya, hal ini berdampak pada semakin tidak optimalnya perlindungan anak.
Berkurangnya penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan
berbagai hal yang menyangkut nilai-nilai yang selama ini tidak layak bagi anak. Kerentanan sosial juga berawal dari semakin permisifnya atau semakin longgarnya nilai-nilai agama, adat istiadat, budaya dan tata karma sosial dari para orang tua dan masyarakat terhadap berbagai kebiasaan yang selama ini tidak layak dihadapi atau dilakukan oleh anak. Pengaruh lingkungan sosial yang permisif ini sangat mempengaruhi kesejahteraan dan perlindungan
anak.Akibatnya, warga masyarakat dalam berinteraksi dengan sesama lebih didasarkan kepada kepentingan dan bukan tumbuh sebagaimana yang selama ini hidup dalam sebuah masyarakat yang komunal.
Relasi sosial didasarkan pada solidaritas mekanik, dia ada karena adanya kepentingan dari warga yang berelasi. Oleh karena itu dengan merenggangnya nilai-nilai kebersamaan menyebabkan masing-masing warga lebih terfokus kepada kehidupan masing-masing, tidak saling mengetahui apa sesungguhnya yang terjadi pada warga lain bahkan tidak saling tegur.
2.5. Sarana dan Prasarana
Pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi di perkotaan menuntut adanya perencanaan pengembangan kabupaten/kota yang lebih cermat, baik secara fisik maupun non fisik. Kenyataan yang ada,
secara fisik lahan di perkotaan sangat terbatas, sementara pemenuhan akan sarana dan prasarana yang layak merupakan hal yang menjadi kebutuhan penduduk kabupaten/kota. Fakta menunjukan kualitas pelayanan publik kepada anak di kabupaten/kota masih terbatas, khususnya bila ditinjau dari sisi sarana dan prasarana dasar, antara lain:
a. beralih fungsinya ruang terbuka hijau menjadi ruang terbangun yang tidak berorientasi pada kepentingan anak;
b. tidak seimbangnya sarana dan prasarana kabupaten/kota untuk kepentingan anak bila dibandingkan dengan jumlah penduduk; dan
c. pembangunan sarana dan prasarana kabupaten/kota untuk kepentingan anak tidak merata, akibat dari perencanaan yang belum peduli anak dan perkembangan wilayah pemukiman baru yang tidak terkendali.
Anak, sebagai salah satu bagaian dari masyarakat kabupaten/kota, sering mengalami dampak dari penurunan daya dukung sarana dan prasarana kabupaten/kota, beberapa hal yang saat ini terlihat antara lain:
a. minimnya sarana pendidikan, kesehatan, bermain, ruang
terbuka hijau, transportasi yang murah, aman dan nyaman bagi anak;
b. terbatasnya aksesibilitas anak terhadap sarana tersebut; dan c. polusi dan tingkat kebisingan kota yang berpengaruh terhadap
kesehatan dan perkembangan jiwa anak. 2.6. Anak dan Pembangunan Lingkungannya
Orang dewasa pada umumnya berpendapat bahwa pembangunan yang cocok bagi dirinya, maka cocok pula bagi anak-anak, sehingga anak dipandang tidak penting untuk didengarkan pendapat dan aspirasinya dalam merencanakan dan menentukan arah
pembangunan.
Sesungguhnya melalui wadah partisipasi anak, anak dapat diajak bekerjasama dalam mengatasi persoalan-persoalan yang berhubungan dengan (pembangunan) lingkungannya (Adams & Ingham, 1998:51). Pemerintah dapat berkomunikasi dengan mereka, karena mereka mempunyai persepsi, pandangan dan pengalaman mengenai
lingkungan kota tempat mereka tinggal, sehingga pemerintah dapat menemukan kebutuhan atau aspirasi mereka.
Anak dapat membantu pemerintah dalam mendapatkan data mengenai lingkungan tempat tinggal, lingkungan masyarakat, lingkungan sekolah, tempat bermain, pelayanan transportasi dan pelayanan kesehatan. Mereka memperoleh pengalaman yang tak ternilai dari pelibatan mereka. Melalui kegiatan pelibatan ini mereka menjadi berfikir mengenai persoalan lingkungannya, dan dapat mengidentifikasi persoalan yang ada untuk didiskusikan dan
dipecahkan bersama. Mereka juga dapat memberikan kontribusi dalam proses perencanaan dan pengembangan kota yang mereka harapkan (Adams & Ingham, Ibid).
2.6.1. Anak dan Lingkungan Tempat Tinggal
tempat tinggalnya antara lain adalah:
a. keluarga perlu melakukan penerapan kombinasi pola asuh antara otoriter, bebas dan demokratis secara seimbang dan konsisten, supaya kepercayaan diri anak tinggi. b. rumah yang layak huni adalah rumah yang menjamin
keamanan, ketenangan dan kenyamanan penghuni. syarat rumah layak huni adalah status kepemilikan jelas (milik sendiri, sewa, menumpang), kemudahan akses ke air bersih, listrik, adanya pengelolaan sampah dan perawatan saluran pembuangan air kotor. selanjutnya, rumah itu berada di lingkungan yang bebas polusi dan memiliki standar ventilasi yang cukup.
Menurut Sheridan Bartlett, ahli perkotaan dari City University Of New York dan The International Institute For Environment And Development, London (Bartlett, 2002), perlu adanya intervensi pencegahan terjadinya bahaya terhadap anak di tempat tinggal mereka, yaitu dengan melakukan modifikasi dan perbaikan di lingkungan tempat tinggal. Modifikasi atau perbaikan tersebut antara lain: menggunakan penerangan listrik daripada lilin atau minyak tanah yang mempunyai resiko besar terhadap
terjadinya kebakaran; mengumpulkan sampah agar tidak menumpuk sehingga bibit-bibit penyakit tidak berkembang biak; mendesain kompor dan dapur yang aman, agar terhindar dari asap dan kebakaran; dan memperbaiki konstruksi pagar, tembok dan lain-lain.
Upaya perbaikan ini menurut Bartlett, perlu disusun suatu program kampanye untuk menyadarkan orang-tua dan orang dewasa tentang pentingnya perlindungan keselamatan anak. Program kampanye dapat memanfaatkan berbagai media, seperti media massa – koran dan televisi, pamflet, brosur dan lain-lain. Selain itu dapat dilakukan pula pelatihan terhadap orang-tua, polisi, jaksa dan petugas lapangan tentang perlindungan dan hak anak.
2.6.2. Anak dan Lingkungan Masyarakat
Pada lingkungan masyarakat, diharapkan anak dapat lebih menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat, untuk itu perlu dilakukan adalah:
untuk menjalankan organisasi dengan membentuk
kegiatan-kegiatan yang berdampak langsung pada warga, khususnya anak-anak, seperti kerja bakti (membersihkan sampah dan saluran pembuangan air kotor), dan
siskamling. Tanpa inisiatif dan kemauan tersebut, warga kota, menurut Prof. Parsudi Suparlan (Suparlan, 1996:3-44) menjadi bercirikan individualisme tinggi. Warga kota
dengan ciri ini sangat sukar untuk diajak bekerjasama; b. menjaga sanitasi lingkungan, karena berdampak langsung
pada kesehatan lingkungan, terutama terhadap anak-anak yang rentan terhadap berbagai resiko yang ditimbulkan oleh lingkungan; dan
c. untuk menjadikan lingkungan masyarakat sebagai tempat yang baik bagi anak untuk tumbuh dan kembang,
pemerintah kota perlu melakukan perbaikan-perbaikan. Menurut Bartlett, anak-anak memahami apa yang menjadi kebutuhan mereka di lingkungannya. Anak-anak
merekomendasikan dan memprioritaskan hal-hal penting yang perlu mendapat perhatian dari orang dewasa, assosiasi masyarakat dan pemerintah kota.
Untuk memperbaiki masyarakat mereka. Perlu ada
perbaikan, perawatan dan pembaharuan terhadap saluran air, toilet yang tidak bau, bebas bau sampah; tempat bermain dan rekreasi yang terang, bersama anak menentukan lokasi yang sesuai untuk tempat bermain yang dekat dengan rumah dan sekolah; dan perlu
melakukan pengamanan yang ekstra di lingkungan yang pendapatan rendah, dan memasang pengumuman tentang pemberian perlindungan terhadap anak dari pembunuhan, kekerasan dan abuse.
2.6.3. Anak dan Lingkungan Sekolah
Lingkungan sekolah yang diharapkan anak adalah sebagai berikut:
b. desain bangunan sekolah bertingkat perlu dilengkapi ruang bermain bagi anak yang aman dan nyaman di setiap lantai; c. waktu sekolah pagi dan petang dipertimbangkan untuk
diterapkan secara bergantian, karena sangat berpengaruh pada proses belajar mengajar dan kualitas murid. Sebagian besar murid-murid sekolah petang kurang optimal
mengikuti pelajaran, karena energi yang berkurang dan udara panas mempengaruhi daya serap anak terhadap pelajaran;
d. perlu menggunakan metode Cara Belajar Siswa Aktif atau metode lain yang memberi kesempatan anak untuk berdiskusi, perlu diterapkan agar anak-anak terlatih mengemukakan pendapat atau gagasannya;
e. penyusunan peraturan dan tata tertib sekolah, pimpinan sekolah dan guru perlu mengikutsertakan murid-murid, sehingga memiliki legitimasi yang kuat saat diterapkan dan ditegakkan. Kegiatan ini melatih anak-anak mengenai kehidupan berdemokrasi yang saling mendengar, dan menghargai pendapat orang lain; Anak memiliki potensi dalam menyusun peraturan dan tata tertib yang
menyangkut kehidupan sendiri; contoh, melalui bermain mereka menyusun peraturan yang disepakati dan
dijalankan bersama, dan jika ada yang melanggar, jelas ada sanksinya. Contoh lain adalah pembagian tugas piket kebersihan yang mereka susun bersama ketua kelas, dijalankan secara bersama-sama; dan
f. mempunyai “program makan di sekolah”, karena anak banyak mendapatkan keuntungan yang dapat diperoleh dari program tersebut, selain mengembalikan energi anak yang terpakai selama belajar, juga dapat meningkatkan gizi anak, yang mungkin di rumah kurang memperoleh asupan makan yang bergizi. Kegiatan tersebut menjadi ajang anak-anak saling bersosialisasi baik dengan teman sekelas atau lain kelas. Di Indonesia, program ini pernah dilaksanakan melalui program Pemberian Makanan
g. Adanya program sekolah ramah anak 2.6.4. Anak dan Lingkungan Bermain
Pemerintah perlu mempelajari cara anak memenuhi hasratnya mendapatkan tempat bermain dengan mengikuti cara anak, dan bersedia bekerjasama dengan anak untuk menata ruang yang ada. Menurut Hendricks (Hendricks: 2002:14)
perencanaan taman bermain yang ramah terhadap anak harus mempertimbangkan hasil konsultasi dengan anak, seperti bagaimana mereka menggunakan ruang dan apa yang mereka ingin lakukan, sehingga dalam proses pengembangannya tidak perlu melakukan pengekangan terhadap anak. Proses konsultasi dengan anak harus dilakukan dengan baik seperti yang
dilakukan terhadap orang dewasa. Di beberapa negara seperti Inggris, Belgia dan Belanda, telah banyak contoh konsultasi yang dilakukan dengan anak mengenai tempat bermain (Hendricks: 2002:14).
Topik penting yang perlu diperhatikan oleh perencana dan perancang ketika melakukan diskusi dengan anak mengenai pembangunan taman bermain adalah masalah keselamatan anak.
Ada dua persoalan yang terkait dengan keselamatan anak: a. dibutuhkan tindakan pencegahan dan tenaga profesional
yang berpengalaman untuk menjamin bahwa ruangan terbebas dari hal-hal berbahaya yang bisa menyebabkan anak-anak mendapatkan luka serius; dan
b. orang dewasa, khususnya orang-tua anak dan pengawas tempat bermain diduga juga berpotensi untuk
membahayakan keselamatan anak dan membuat anak takut. Persoalan ini menyangkut kasus child abuse.
Selain itu, perencana dan perancang perlu mempertimbangkan pengamanan dan pengawasan terhadap anak. Menurut
Sheridan Bartlett, dengan mempertimbangkan pengamanan dan pengawasan terhadap tempat bermain anak, sehingga memungkinkan mereka merasa tenang dan nyaman.
permainan.
2.6.5. Anak dan Pelayanan Transportasi
Pemerintah kota agar menyediakan layanan transportasi yang mempertimbangkan kebutuhan anak. Selain itu pemerintah kota dalam membuat kebijakan mengenai transportasi umum, menurut Jill Swart Kruger dan Louise Chawla (Kruger, 2002:85) perlu:
a. memperkenalkan jarak, jenis dan ukuran transportasi umum;
b. mempertimbangkan pembuatan tiket tunggal untuk semua jenis transportasi umum; dan
c. mempertimbangkan penggunaan bus khusus pada hari minggu dan libur untuk anak dan keluarganya ke tempat rekreasi.
2.6.6. Anak dan Pelayanan Kesehatan
Informasi mengenai kesehatan anak merupakan hal yang perlu diketahui oleh seorang anak, supaya mereka mengetahui sumber penyakit, jenis penyakit dan upaya pencegahannya. Melalui pemberian informasi kesehatan, seorang anak secara bertahap belajar memahami mengapa seorang anak bisa sakit, dan bagaimana mencegahnya Hasil belajar anak mengenai kesehatan anak, menghasilkan persepsi anak mengenai kesehatan anak.
Kehidupan anak berpusat pada rumah, sekolah dan lingkungan sekitarnya. Karena itu, wilayah tersebut harus menjadi tempat yang aman dan sehat bagi anak. Kenyataan, tak jarang tempat-tempat itu tidak aman bahkan menjadi penyebab timbulnya penyakit bagi anak. Menurut WHO, sebagian besar penyakit anak-anak berhubungan erat dengan lingkungan tempat mereka tinggal (rumah), belajar (sekolah) dan bermain (masyarakat) (WHO, 2002:7). Resiko utama ditimbulkan oleh lingkungan seperti air yang kurang bersih, sanitasi buruk, polusi udara, dan higiene makanan yang buruk. Resiko lainnya
ditimbulkan oleh serangga yang menjadi perantara bibit
air bersih untuk mencuci, mempercepat penyebaran berbagai penyakit (UNICEF & UNEP, 1990:25). Bagi masyarakat
perkotaan, resiko juga ditimbulkan dari kekurang hati-hatian dalam menggunakan bahan kimia yang berbahaya,
pembuangan sampah toxic dan degradasi lingkungan. Pemakaian zat kimia yang tidak aman untuk produk rumah tangga dan alat permainan anak seperti boneka, bisa pula menjadi sebuah ancaman.
Upaya kesehatan yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko lingkungan terhadap kesehatan anak dan warga kota lainnya menurut Jorge E. Hardoy, dkk. penulis buku
“Environmental Problems in an Urbanizing World: Finding Solution for Cities in Africa, Asia, dan Latin America,” adalah pencegahan penyakit yang disebabkan oleh resiko lingkungan. Tindakannya dapat dilakukan di dua tingkatan yakni rumah tangga dan masyarakat. Tingkat rumah tangga yang dapat dilakukan dengan:
a. menyediakan air bersih;
b. tempat penampungan/tanki air selalu dibersihkan untuk menjaga higiene;
c. menyediakan fasilitas WC yang bersih;
d. mengatur pembuangan sampah dan air buangan; dan e. melakukan kampanye dengan menyebarkan poster atau
leaflet tentang desain kompor dan dapur.
Sedangkan tindakan di masyarakat hampir sama dengan tindakan di rumah tangga, tetapi sifatnya lebih ditingkatkan pada pengawasan dan penyediaan fasilitas yang tidak tersedia di tingkat rumah tangga seperti sumur umum dan MCK.
a. institusi bertanggung jawab terhadap peraturan tentang polusi yang bisa merusak perkembangan otak dan tubuh anak;
b. pemerintah bertanggungjawab terhadap keadaan jalan yang bisa menimbulkan kecelakaan dan luka;
c. peraturan mengenai air dan sanitasi yang dapat menjadi sumber penyakit diare dan infeksi cacing; dan
d. polisi mengatur taman dan tempat umum lain yang banyak dikunjungi anak.
2.7. Anak dan Masalah Sosialnya
2.7.1. Anak yang Berhadapan Dengan Hukum
Berdasarkan hasil analisis situasi, dalam sistem peradilan anak di Indonesia ditemukan lebih dari 4.000 anak dibawa ke
pengadilan setiap tahunnya. Sebagian besar pelanggaran yang dilakukan adalah kejahatan ringan dengan jumlah kerugian yang sedikit. Tetapi hampir 9 dari 10 anak tersebut berakhir dipenahanan atau penjara anak, dan sebagian besar harus tinggal bersama/dicampur dengan orang-orang dewasa
(Sumber: Media Perlindungan Anak Konflik Hukum, RESTORASI, edisi 9-IV/2008).
Anak yang berkonflik dengan hukum sebanyak 4.277 anak < 16 tahun sedang menjalani proses pengadilan, anak yang
dipenjara sebanyak 13.242 anak dengan variasi usia antara 16-18 tahun, 98% diantaranya adalah anak laki-laki dan 83% yang menjalani pengadilan di hukum penjara, jumlah anak di penjara usia < 18 tertinggi di Jakarta, Jabar, Jatim. Sumsel (Sumber: Bareskrim, Polri).
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Departemen Hukum dan HAM, tahun 2008 menunjukkan bahwa penghuni Lapas, Rutan dan anak binaan sebanyak 127.995 orang yang terdiri dari narapidana (73.686 orang) dan tahanan (54.309 orang). Dari jumlah tersebut sebanyak 121.845 pria dan 6.150 wanita. Sedangkan jumlah narapidana dan tahanan anak sebanyak 4.301 (3.36%) dengan rincian jumlah
narapidana anak 2.282 (Laki-laki 2.161; Perempuan 121). Tahanan anak sebanyak 2.019 orang (Laki-laki 1.838;
Perlindungan anak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, menjamin terpenuhinya hak anak sesuai harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi. Berdasar atas Pasal 64 Undang-Undang Perlindungan Anak dinyatakan bahwa
pemerintah dan masyarakat berkewajiban dan
bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan khusus yang salah satunya adalah perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum, baik yang berkonflik dengan hukum maupun anak korban tindak pidana.
Perlindungan khusus bagi Anak yang berhadapan dengan hukum dilaksanakan antara lain melalui perlakuan atas anak secara manusiawi, sesuai dengan martabat dan haknya,
penyediaan petugas pendamping khusus sejak dini, penyediaan sarana dan prasarana khusus, penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan terbaik bagi anak, pemantauan dan
pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum, pemberian jaminan untuk
mempertahankan hubungan dengan orang tua atau
keluarganya, dan perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media masa serta untuk menghindari labelisasi. Anak dalam menjalani proses hukum sering mengalami permasalahan terutama terhadap pemenuhan haknya antara lain tidak adanya kesempatan sekolah karena harus ditahan, akses pelayanan kesehatan yang tidak memadai, kondisi hidup anak sangat tidak baik misalnya tempat tidur yang tidak
memadai, dan sanitasi yang tersedia juga kurang baik. Anak-anak dibawah usia yang ditahan bersama dengan orang dewasa sangat rentan terhadap kekerasan. Penahanan anak sering menyebabkan anak mengalami stres berat.
Perlu peningkatan pemahaman aparat penegak hukum bahwa anak yang berhadapan hukum (pelaku tindak pidana) tidak diperlakukan sama seperti orang dewasa. Hal ini mengingat bahwa anak yang berhadapan dengan hukum memiliki hak atas perlindungan khusus, sebagaimana diamanatkan dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Bagi anak yang menjadi korban tindak pidana,
untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.
Persoalan yang masih sering dipertanyakan publik tentang anak yang berhadapan dengan hukum adalah sejauhmana
penerapan atas kebijakan-kebijakan penanganan anak yang berhadapan dengan hukum telah dilaksanakan dan berjalan sesuai harapan sebagaimana diamanatkan dalam prinsip-prinsip perlindungan anak. Sudahkah perspektif kepentingan terbaik bagi anak menjadi fokus perhatian dalam proses penanganan anak yang berhadapan dengan hukum? Hal lain yang mendasar adalah, apakah aparat penegak hukum sudah memahami bahwa setiap anak memiliki hak dan martabat yang harus dihormati dan dihargai sebagaimana orang dewasa? Hal ini bukan merupakan masalah yang sederhana, tetapi
membutuhkan pendekatan yang komprehensif.
Ketika menangani anak sebagai pelaku, solusi yang terbaik melalui Diversi atau Peradilan Restorative, bukan melalui Sistem Peradilan Formal atau Pemenjaraan. Diversi dirancang untuk mengalihkan anak dari proses peradilan formal dan mengarahkannya pada dukungan komunitas baik formal maupun informal, yang melibatkan pelaku, pihak korban, masyarakat, orang tua pelaku dan orang tua korban, tokoh agama, tokoh masyarakat, guru untuk mencari solusi yang terbaik yang memberikan rasa adil dan merasa puas bagi semua pihak.
2.7.2. Kekerasan Terhadap Anak
Anak rentan menjadi obyek kekerasan, eksploitasi dan perlakuan salah.
Banyak kasus yang menjadikan anak sebagai korban kekerasan baik secara seksual, fisik, psikis, maupun penelantaran, selain itu, ada juga kekerasan yang diakibatkan oleh kondisi sosial-ekonomi. Anak dianggap sebagai komoditas, tenaga kerja murah, diperdagangkan, dilacurkan, dan terjerat dalam sindikat pengedar narkoba, atau yang dipaksa berada di jalanan karena berbagai sebab.
Sementara itu, penculikan terhadap anak-anak terjadi
Hasil penelitian yang dilakukan oleh UNICEF menunjukkan bahwa “Dua per tiga anak laki-laki dan sepertiga anak perempuan pernah dipukul. Lebih dari seperempat anak perempuan mengalami perkosaan.” Pada tahun 2003 yang melibatkan sekitar 1.700 anak, terungkap bahwa “Sebagian besar anak mengaku pernah ditampar, dipukul, atau dilempar dengan benda.”
Awal 2006, terungkap kekerasan terhadap anak di Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara. Di Jawa Tengah,
sebanyak 80 persen guru pernah menghukum anak-anak dengan berteriak di depan kelas. Sebanyak 55 persen guru pernah menyuruh murid berdiri di depan kelas. Di Sulawesi Selatan, sebanyak 90 persen guru pernah menyuruh murid berdiri di depan kelas, 73 persen pernah berteriak kepada murid, dan 54 persen pernah menyuruh murid untuk
membersihkan atau mengelap toilet. Di Sumatera Utara, lebih dari 90 persen guru pernah menyuruh murid berdiri di depan kelas, dan 80 persen pernah berteriak pada murid.
Fakta-fakta di atas memperlihatkan bahwa potensi terjadinya kekerasan berada disekitar kehidupan anak. Tidak tempat yang membuat anak terbebas dari ancaman kekerasan dan
eksploitasi. Kekerasan dan eksploitasi terhadap anak akan melahirkan sederet penderitaan yang berkepanjangan yang tertanam dalam benak anak baik secara fisik maupun psikis. Sebagian besar dari pelaku tindak kekerasan, ternyata
dilakukan oleh orang-orang terdekat korban, bahkan oleh orang tua sendiri, baik ibu maupun bapak. Statistik menunjukkan bahwa, ternyata pelaku tindak kekerasan terhadap anak dilakukan oleh lebih 80 % pelaku yang dikenal korban. Hal ini sesuai dengan apa yang dilansir oleh Komnas Perlindungan Anak bahwa, lebih dari 69 % pelaku tindak kekerasan terhadap anak adalah orang yang dikenal baik oleh korban. Kenyataan ini setidaknya mengindikasikan bahwa pada sebagian keluarga, rumah yang seharusnya menjadi tempat yang paling aman bagi anak, kini bukan lagi merupakan tempat yang aman dan
nyaman bagi anak, karena justru di rumah sering terjadi tindak kekerasaan terhadap anak.
Anak di lokasi bencana menjadi sangat rentan karena mereka memerlukan bantuan orang dewasa untuk: menyelamatkan diri, mendapatkan pertolongan medis, shelter; dan kebutuhan emergensi lainnya; rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana.
Antisipasi perlindungan anak di lokasi bencana harus disiapkan sebelum bencana terjadi. Saat ini sebagian besar anak tidak mengetahui kemana dan bagaimana
memperoleh bantuan bila bencana datang.
Lingkungan yang layak anak akan memperhitungkan dengan cermat hal-hal semacam itu, termasuk antisipasi anak-anak menjadi korban perdagangan orang.
Anak merupakan kelompok yang mendapat proritas
sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Pasal 55 ayat (2).
b. Anak di Daerah Konflik Bersenjata
Di daerah konflik bersenjata umumnya anak-anak
dimanfaatkan oleh kelompok yang sedang berkonflik untuk menjadi kurir, benteng manusia dan tentara anak,
biasanya yang memiliki badan besar walaupun usianya masih belasan tahun.
Selain bertentangan dengan undang-undang, hal tersebut secara psikologis berdampak buruk pada anak,
menimbulkan trauma yang sangat panjang dan bisa jadi seumur hidupnya. Menyuburkan tumbuhnya budaya kekerasan dari dan pada anak. Pelecehan seksual, perkosaan dan pedofilia, merupakan bentuk kekerasan yang sangat ditakuti anak-anak.
Strategi pembangunan yang peduli anak di daerah konflik dapat mengurangi berbagai resiko fatal tersebut.
c. Anak Cacat
Kondisi anak cacat relatif telah mendapat perhatian
dengan didirikannya berbagai panti dan pusat rehabilitasi, khususnya di perkotaan.
memprihatinkan, misalnya; tidak semua gedung, pasar, pusat perbelanjaan, stasiun, terminal dan pelabuhan dilengkapi dengan akses bagi anak cacat secara memadai. Dalam kehidupan sosialpun anak-anak cacat diperlakukan sebagai warga Negara kelas dua atau kelas tiga. Terlihat jelas adanya diskriminasi pada anak cacat.
Undang-Undang mengamanatkan agar negara
memberikan perlindungan khusus pada anak cacat. Dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat pasal 6 huruf b disebutkan bahwa anak penyandang cacat mempunyai hak yang san antuk
menumbuhkembangkan bakat, kemampuan dan kehidupan sosialnya dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. d. Anak Jalanan
Anak jalanan identik dengan masalah anak di perkotaan, masalah ini semakin kompleks karena bukan saja faktor kemiskinan yang menyebabkan anak menjadi anak jalanan, selain itu faktor sosial budaya juga
mempengaruhi.
Anak jalanan menghadapi resiko yang lebih besar menjadi obyek eksploitasi, kekerasan dan pelecehan seksual, kehidupannya sangat rentan terhadap narkoba, premanisme dan kejahatan lainnya.
Selain itu anak dalam dalam keadaan darurat, anak dalam kelompok minoritas, anak dengan kemampuan berbeda dan anak dalam komunitas adat terpencil, juga memerlukan perlindungan khusus.
2.8. Kekuatan, Peluang dan Tantangan 2.8.1. Kekuatan
a. Undang-Undang Perlindungan Anak (UU PA) dan Rativikasi KHA.
Adanya UU PA dan rativikasi konvensi hak anak merupakan kekuatan yang dapat dijadikan sebagai faktor pendorong pelaksanaan kebijakan KLA.
Beberapa daerah telah memiliki peraturan daerah yang mendukung, secara langsung maupun tidak, terhadap upaya perlindungan anak. Hal ini merupakan indikasi yang positif terhadap pelaksanaan kebijakan KLA
c. Renstra Kesejahteraan dan Perlindungan Anak Isu kesejahteraan dan perlindungan anak telah masuk dalam rencana strategis Kemeterian Negara
Pemberdayaan Perempuan RI sehingga pelaksanaan kebijakan KLA mendapat kepastian dari sisi prioritas dan keberlanjutannya.
2.8.2. Peluang
a. Pengetahuan masyarakat meningkat
Semaraknya jumlah lembaga-lembaga sosial yang bergerak di bidang pendidikan anak, seperti pendidikan anak usia dini (PAUD), Taman Kanak-Kanak, Kelompok bermain merupakan indikasi meningkatnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat di bidang perlindungan anak. b. Dukungan lembaga internasional kuat.
Dukungan internasional, baik lembaga PBB maupun Internasional NGO di bidang anak, telah memberikan dukungan kepada Pemerintah Indonesia.
c. Jumlah ahli di bidang anak meningkat.
Semakin banyaknya jumlah ahli di bidang perlindungan anak, semakin terbuka peluang bagi pelaksanaan
kebijakan KLA yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah kabupaten/kota.
2.8.3. Hambatan
a. Kemauan politik terbatas
Isu anak belum menjadi prioritas bagi pembuat kebijakan dan pengambil keputusan. Hal ini dikarenakan isu anak kurang laku di jual, bila dibandingkan dengan isu ekonomi dan politik lainnya.
Rendahnya frekuensi sosialisasi dan advokasi konvensi dan peraturan perundang-undangan di bidang anak
menyebabkan pemahaman dan pengetahuan masyarakat mengenai pentingnya perlindungan dan pemenuhan hak anak sangat terbatas.
2.8.4. Ancaman
a. Kondisi sosial ekonomi yang belum kondusif
Kebijakan KLA merupakan implementasi dari perlindungan anak, jika kondisi sosial ekonomi tidak kondusif seperti kemiskinan, krisis energi, maka pelanggaran terhadap hak anak meningkat, misalnya anak putus sekolah,
meningkatnya jumlah anak bekerja, kekerasan terhadap anak meningkat dan asupan gizi yang rendah.
b. Adanya resistensi budaya
Hingga saat ini masih banyak dijumpai adanya kebiasaan mendidik anak dengan cara kekerasan, terutama pada pendidikan informal, seperti semboyan “ada mutiara di ujung rotan’ pada pendidikan; mendisiplinkan anak dengan cara hukuman dan tindakan fisik.
c. Perubahan global
Perubahan global di bidang teknologi informasi dan iklim (climate change) berdampak pada sosial ekonomi
Lingkungan yang bersih merupakan tempat yang ideal bagi tumbuh kembang anak.
BAB III
LANDASAN KEBIJAKAN, STRATEGI DAN ARAH
3.1. LANDASAN KEBIJAKAN
3.1.1. Peraturan Perundang Undangan
3.1.1.1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Pasal 28B Ayat (2) “Setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi”.
3.1.1.2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Pasal 4 “Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Pasal 10 “Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat
kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan”. Pasal 24 “Negara dan pemerintah menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam
menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak”.
3.1.1.3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pasal 2 ayat (1) “Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi: (a). suami, isteri, dan anak; (b). orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan,
menetap dalam rumah tangga; dan/atau (c). orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
Pasal 4 “Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan antara lain : (a). mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga; (b)
melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga; c. menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga”. Pasal 5 “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara : a. kekerasan fisik; b. kekerasan psikis; c. kekerasan seksual; atau d. penelantaran rumah tangga”.
Pasal 11 “Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga”. 3.1.1.4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan
Pasal 27 (1) Setiap kelahiran wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya peristiwa kelahiran paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak kelahiran. (2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Kelahiran dan menerbitkan Kutipan Akta Kelahiran. 3.1.1.5. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025
Tujuan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025 untuk
memberikan arah sekaligus menjadi acuan bagi seluruh komponen bangsa (pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha) di dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional melalui visi, misi, dan arah
pembangunan yang disepakati bersama sehingga seluruh upaya yang dilakukan oleh pelaku
Dalam lampiran undang-Undang tersebut
disebutkan bahwa pemerintah menetapkan arah pembangunan pemberdayaan perempuan dan anak yang diarahkan pada peningkatan kualitas hidup dan peran perempuan, kesejahteraan, dan perlindungan anak di berbagai bidang pembangunan; penurunan jumlah tindak kekerasan, eksploitasi, dan
diskriminasi terhadap perempuan dan anak; serta penguatan kelembagaan dan jaringan
pengarusutamaan gender dan anak di tingkat nasional dan daerah, termasuk ketersediaan data dan statistik gender.
3.1.1.6. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
Pasal 17 “Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 dilakukan
terhadap anak, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga)”.
3.1.1.7. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal
Pasal 2 “(1) Pedoman Penyusunan dan Penerapan SPM menjadi acuan dalam penyusunan SPM oleh Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-Departemen dan dalam penerapannya oleh Pemerintahan Provinsi dan Pemerintahan
Kabupaten/Kota. (2) SPM disusun dan diterapkan dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan pelayanan dasar sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Pasal 4 “(1) Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-Departemen menyusun SPM sesuai dengan urusan wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2). (2) Penyusunan SPM sebagaimana
pada ayat (1) ditetapkan jenis pelayanan dasar, indikator SPM dan batas waktu pencapaian SPM”. Dalam menentukan indikator KLA telah disesuaikan dengan SPM yang dikeluarkan oleh masing-masing instansi teknis.
3.1.1.8. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota
Urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan
sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (1) adalah semua urusan pemerintahan yang antara lain
…”Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak merupakan urusan wajib…” Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan teknis untuk masing-masing sub bidang atau sub sub bidang urusan
pemerintahan diatur dengan peraturan menteri/kepala lembaga pemerintahan non
departemen yang membidangi urusan pemerintahan yang bersangkutan setelah berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri.
3.1.1.9. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah
Untuk pengaturan penanganan urusan pemerintahan pada Pasal 22 ayat (5) huruf i ditetapkan “Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana.” 3.1.1.10. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005
tentang Rencana Pembangunan Jangka Menegah Nasional 2004-2009
a. mengembangkan berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan dalam rangka pemenuhan hak hak anak terutama di bidang pendidikan, kesehatan, sosial, hukum dan ketenagakerjaan di tingkat nasional dan daerah; b. melakukan komunikasi informasi dan edukasi
peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak;
melaksanakan kebijakan dan peraturan perundang-undangan untuk menjamin dan melindungi hak hak anak;
c. meningkatkan upaya-upaya dalam rangka pemenuhan hak hak anak seperti penyediaan akta kelahiran dan penyediaan ruang bermain yang aman;
d. mengembangkan mekanisme perlindungan bagi anak dalam kondisi khusus seperti konflik
bersenjata dan konflik sosial;
e. mengembangkan sistem prosedur penanganan hukum yang ramah anak termasuk peningkatan upaya perlindungan khusus terhadap anak dalam situasi darurat, konflik dengan hukum, eksploitasi, trafiking dan perlakuan salah lainnya;
g. membentuk wadah-wadah guna mendengarkan dan menyuarakan pendapat dan harapan anak sebagai bentuk partisipasi anak dalam proses pembangunan; dan
h. melaksanakan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan peraturan perundang-undangan di tingkat nasional dan propinsi.
3.1.2. Kesepakatan Internasional
3.1.2.1. Konvensi PBB Hak Anak Tahun 1989
secara tegas menetapkan hal-hal penting tentang: a. hak yang melekat pada diri anak untuk hidup,
kelangsungan hidup dan perkembangan diri mereka;
b. hak atas sebuah nama dan kewarganegaraan sejak lahir;
c. hak perlindungan dari penelantaran dan kekerasan fisik atau pun mental, termasuk siksaan dan eksploitasi;
d. hak atas pemeliharaan, pendidikan, dan perawatan khusus;
e. hak atas standar kesehatan tertinggi yang dapat dicapai dengan menitikberatkan pada upaya-upaya preventif, pendidikan, kesehatan, dan penurunan angka kematian anak;
f. hak atas pendidikan dasar yang harus disediakan oleh negara, dengan penerapan disiplin dalam sekolah yang menghormati harkat dan martabat anak;
g. hak untuk beristirahat dan bermain, dan mempunyai kesempatan yang sama atas kegiatan-kegiatan budaya dan seni;
h. hak memperoleh perlindungan dari eksploitasi ekonomi dan pekerjaan yang dapat merugikan pendidikan mereka, atau membahayakan kesehatan dan kesejahteraan mereka;
i. hak atas perlindungan dari penyalahgunaan obat-obat terlarang dan keterlibatan dalam produksi atau peredarannya;
j. hak memperoleh perlindungan dari upaya penculikan dan perdagangan anak;
l. hak mendapat perlakuan manusiawi dalam proses hukum sehingga memajukan rasa harkat dan martabat anak-anak yang terlibat kasus hukum untuk kepentingan mengintegrasikan mereka ke dalam masyarakat.
3.1.2.2. Agenda 21 bab 25
Pada KTT Bumi di Rio de Janeiro, Brasil 1992, para Kepala Pemerintahan dari seluruh dunia menyepakati prinsip-prinsip Agenda 21 yaitu Program Aksi untuk Pembangunan Berkelanjutan. Kesepakatan di Bab 25 Agenda 21 ditujukkan untuk anak dan remaja yang secara khusus mendesak pemerintah:
a. melaksanakan program-program untuk
menjangkau sasaran-sasaran yang ditetapkan oleh pertemuan puncak dunia untuk anak; b. menekankan partisipasi anak dalam
pengelolaan lingkungan;
c. melaksanakan Konvensi Hak Anak;
d. memperluas pendidikan bagi anak, terutama anak perempuan; dan
e. memasukkan semua kepentingan anak ke dalam semua kebijakan dan strategi yang sesuai dengan pembangunan berkelanjutan. 3.1.2.3. Agenda Habitat
Pada Konferensi Habitat II atau City Summit,
dan UNHABITAT memperkenalkan Child Friendly City Initiative (Inisiatif Kota Ramah Anak), terutama menyentuh anak kota, khususnya yang miskin dan yang terpinggirkan dari pelayanan dasar dan perlindungan untuk menjamin hak dasar mereka. Kota Ramah Anak adalah kota yang menjamin hak setiap anak sebagai warga kota. Sebagai warga kota, anak dapat:
a. berkontribusi terhadap kebijakan yang akan mempengaruhi kotanya;
b. mengekspresikan pendapat mereka tentang kota yang mereka inginkan;
c. dapat berpartisipasi dalam kehidupan keluarga, komunitas, dan sosial; dan
d. berpartisipasi dalam kegiatan budaya dan sosial. 3.1.2.4. World Fit For Children
Pada UN Special Session on Children, Mei 2002, para walikota menegaskan komitmen mereka untuk aktif menyuarakan hak anak, dan merekomendasikan kepada walikota seluruh dunia untuk:
a. mengembangkan rencana aksi untuk menjadi kota ramah anak; dan
b. mempromosikan partisipasi anak sebagai aktor perubah dalam proses pembuatan keputusan di kota terutama dalam proses pelaksanaan dan evaluasi kebijakan pemerintah kota.
Pertemuan ini mendeklarasikan Gerakan Global yang membantu membangun suatu dunia yang layak bagi anak dengan 10 komitmen:
a. dahulukan kepentingan anak;
c. jangan sampai seorang anak tertinggal; d. perawatan bagi setiap anak;
e. didiklah setiap anak;
f. lindungi anak terhadap penganiayaan dan eksploitasi;
g. lindungi anak dari peperangan; h. berantas HIV/AIDS;
i. dengarkan anak dan pastikan partisipasi mereka; dan
j. lindungi bumi untuk anak.
3.2. STRATEGI
a. Menumbuhkan pemahaman stakeholders di bidang perlindungan anak.
b. Memaksimalkan peran kepemimpinan kabupaten/kota dalam memenuhi hak anak.
c. Mengembangkan pendidikan dan kesadaran publik mengenai visi baru tentang anak.
d. Mengembangkan kebijakan pemenuhan hak anak yang komprehensif.
e. Melakukan analisis situasi anak secara berkelanjutan untuk advokasi, perencanaan, monitoring dan evaluasi.
f. Membuat laporan tahunan kabupaten/kota tentang anak. g. Membangun kemitraan dan memperluas aliansi untuk anak. h. Memberdayakan keluarga melalui kelembagaan dan program
pembangunan masyarakat.
i. Memperkuat jaringan untuk pemantauan pelaksanaan perlindungan anak dalam situasi khusus.
k. Memberikan penghargaan kepada pimpinan daerah yang berhasil dalam melaksanakan kebijakan KLA.
3.3. ARAH KEBIJAKAN KLA
Kebijakan KLA diarahkan pada upaya secara sadar, terencana dan sungguh-sungguh untuk mewujudkan:
a. Bupati/Walikota yang mengembangkan Kabupaten/Kota Layak Anak di wilayah kerjanya.
b. Kesadaran publik mengenai visi baru tentang anak, yaitu anak dipandang sebagai investasi masa depan dan bukan sebagai asset atau factor produksi.
c. Kebijakan pemenuhan hak anak secara komprehensif.
d. Hasil analisis situasi anak di setiap kabupaten/kota yang telah dipergunakan secara efektif dalam penyusunan program.
e. Adanya laporan kemajuan kabupaten/kota tentang pemenuhan hak anak.
f. Kemitraan semua pihak dan aliansi untuk anak.
g. Pemberdayaan keluarga melalui kelembagaan dan program pembangunan masyarakat.
h. Jaringan untuk pemantauan pelaksanaan perlindungan anak dalam situasi khusus.
i. Peraturan perundang-undangan dan penegakan hukum yang kuat.
j. Bupati/Walikota yang mendapatkan penghargaan sebagai pejuang Kabupaten/Kota Layak Anak.
BAB IV
PRINSIP, PRA-SYARAT DAN LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN KLA
4.1. Prinsip Kota Layak Anak
Empat prinsip kunci Konvensi Hak Anak yang menjadi dasar membangun KLA:
a. Non-diskriminasi;
Pelaksanaan dan pengembangan kebijakan KLA dilaksanakan dalam rangka perlindungan anak tanpa membedakan suku, ras, agama, jenis kelamin, status social, asal daerah, kondisi pisik maupun psikis anak.
b. Kepentingan yang terbaik bagi anak;
Menjadikan kepentingan yang terbaik bagi anak sebagai pertimbangan utama dalam setiap pengambilan keputusan yang dilakukan oleh, pemerintah, badan legislatif, badan yudikatif dan lembaga lainnya yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan anak.
c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan; Perlindungan hak asasi anak sebagai hak yang paling mendasar dalam kehidupan anak yang perlu dilindungi oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua.
d. Penghargaan terhadap pendapat anak.
Penghormatan atas hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam penambilan keputusan terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupan anak.
4.2. Pra-syarat Kota Layak Anak
Pra-syarat pengembangan KLA adalah:
a. Adanya Kemauan dan komitmen pimpinan daerah: membangun dan memaksimalkan kepemimpinan daerah dalam
b. Baseline data: tersedia sistem data dan data dasar yang digunakan untuk perencanaan, penyusunan program, pemantauan dan evaluasi.
c. Sosialisasi hak anak: menjamin adanya proses penyadaran hak anak pada anak dan orang dewasa secara terus menerus. d. Produk hukum yang ramah anak: tersusunnya peraturan
perundangan yang sesuai dengan prinsip-prinsip perlindungan hak anak.
e. Partisipasi anak: tersedia wadah untuk mempromosikan kegiatan yang melibatkan anak dalam program-program yang akan mempengaruhi mereka; mendengar pendapat mereka dan mempertimbangkannya dalam proses pengambilan keputusan. f. Pemberdayaan keluarga: adanya program untuk memperkuat
kemampuan keluarga dalam pengasuhan dan perawatan anak. g. Kemitraan dan jaringan: adanya kemitraan dan jaringan dalam
pemenuhan hak dan perlindungan anak.
h. Institusi Perlindungan Anak: Adanya kelembagaan yang mengkoordinasikan semua upaya pemenuhan hak anak. i. Program peduli anak: Adanya program-program yang peduli
anak.
4.3. Langkah-Langkah Pengembangan Kebijakan KLA 4.3.1. Pembentukan Gugus Tugas “KLA”
Gugus Tugas KLA merupakan lembaga koordinatif yang beranggotakan wakil dari unsur eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang membidangi anak, perguruan tinggi,
organisasi non pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, sektor swasta, orang tua, dan anak. Bagi kabupaten/kota yang telah mempunyai Gugus Tugas/Tim/Pokja terkait dengan perlindungan anak tidak perlu membentuk gugus tugas baru namun harus menyesuaikan dengan
keanggotaan dan uraian tugas Gugus Tugas KLA (terlampir). Tugas Pokok Gugus Tugas KLA adalah:
b. Menetapkan tugas-tugas dari anggota Gugus Tugas; c. Melakukan sosialisasi, advokasi, fasilitasi dan KIE
konsep KLA;
d. Mengumpulkan data dasar;
e. Melakukan analisis kebutuhan yang bersumber dari data dasar;
f. Melakukan deseminasi data dasar;
g. Menentukan fokus dan prioritas program dalam mewujudkan KLA, yang disesuaikan dengan potensi daerah (masalah utama, kebutuhan, dan sumber daya); h. Menyusun Rencana Aksi Daerah KLA (5 tahun) dan
mekanisme kerja pelaksanaannya;
i. Menyiapkan Peraturan Daerah atau Surat Keputusan Bupati/Walikota tentang Rencana Aksi Daerah KLA; dan j. Melakukan monitoring, evaluasi dan pelaporan minimal
1 tahun sekali.
4.3.2. Pengumpulan Data Dasar
Pengumpulan data dasar dimaksudkan untuk mengetahui kondisi obyektif awal sebuah kabupaten/kota sebagai dasar pertimbangan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi pembangunan KLA. Pengumpulan data dasar dilakukan oleh lembaga yang memiliki kompetensi dan otoritas di daerah yaitu Badan Pusat Statistik
Kabupaten/Kota dan melakukan updating secara berkala. 4.3.3. Penentuan Fokus dan Prioritas Program
Memperhatikan hasil analisis data dasar, permasalahan dan potensi kabupaten/kota ditentukan fokus dan prioritas program dalam mewujudkan KLA. Program ini dimaksudkan supaya setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), pemangku kepentingan di bidang anak dan dunia usaha dapat berperan aktif sesuai dengan tugas dan fungsinya. 4.3.4. Rencana Aksi Daerah (RAD) KLA
terfokus dan berdasarkan prioritas diperlukan adanya pembagian peran dan fungsi dari setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah, pemangku kepentingan di bidang anak dan dunia usaha diuraikan secara sistematis, terstruktur dan terukur dalam Rencana Aksi Daerah KLA.
Untuk memperkuat kedudukan Rencana Aksi Daerah KLA ditetapkan melalui Keputusan Bupati/Walikota.
Rencana Aksi Daerah KLA meliputi substansi pokok perlindungan anak di kabupaten/kota yang meliputi: a. telaah kebutuhan atau need assessment KLA; b. harmonisasi kebijakan perlindungan anak;
c. pelayanan dasar, rujukan, penyelidikan epidemiologi, penanggulangan KLB dan pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan;
d. pelayanan pendidikan dasar, menengah umum dan kejuruan, formal dan informal;
e. perlindungan anak di bidang hak sipil dan partisipasi, program bagi anak yang memerlukan perlindungan khusus;
f. pelayanan bidang perumahan, sarana dan prasarana lingkungan dan pelayanan fasilitas umum;
g pelayanan lingkungan hidup, kebutuhan dasar sanitasi dan penanganan akibatnya.
Format RAD KLA dapat disesuaikan dengan matriks RAD dalam lampiran d.
4.3.5. Monitoring dan Evaluasi
a. Monitoring dilakukan sejak awal proses perencanaan sampai dengan pelaksanaan RAD KLA yang
dilaksanakan di tingkat kabupaten/kota.
b. Evaluasi dilakukan secara periodik untuk melihat
kemajuan pembangunan KLA yang telah dicapai dalam kurun waktu satu tahun sebagai masukan bagi
BAB V
INDIKATOR PROGRAM KLA
Indikator keberhasilan pengembangan kebijakan KLA dibagi dalam dua kategori yaitu indikator umum dan indikator khusus.
Indikator umum adalah dampak jangka menengah dan jangka panjang dari pengembangan kebijakan KLA dimana Kementerian Negara
Pemberdayaan Perempuan (KPP) dan Badan Pemberdayaan Perempuan di provinsi dan kabupaten/kota tidak terlibat secara langsung dalam upaya mencapai indikator tersebut. Dalam hal ini peran KPP lebih pada pembuatan kebijakan agar tercipta suatu keadaan yang kondusif dalam rangka mempercepat pencapaian indikator tersebut.
Indikator khusus adalah dampak jangka pendek dan jangka menengah dari pengembangan kebijakan KLA dimana Kementerian Negara
Pemberdayaan Perempuan (KPP) dan Badan Pemberdayaan Perempuan di provinsi dan kabupaten/kota terlibat secara langsung dalam upaya
mencapai indikator tersebut.
Dalam perspektif kota layak anak, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan melalui Deputi Bidang Perlindungan Anak antara lain
mempunyai dua tugas membuat kebijakan KLA dan mempromosikan pelaksanaan kebijakan tersebut. Kebijakan perlindungan anak antara lain meliputi: Peraturan Menteri, Keputusan Menteri, Peraturan Daerah,
Keputusan Bupati/Walikota, Instruksi Bupati/Walikota, nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) dengan lembaga-lembaga yang secara langsung berhubungan dengan kegiatan KLA.
Dengan demikian maka fokus kegiatan KLA yang akan diukur adalah pembuatan kebijakan dan promosi pelaksanaan kebijakan perlindungan anak dan/atau kota layak anak. Masing-masing kabupaten/kota dapat mengembangkan indikator yang ada sesuai dengan spesifikasi
daerahnya. Upaya tersebut meliputi: 1. Pembuatan kebijakan KLA 2. Promosi kebijakan KLA
3. Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE KLA) 4. Fasilitasi di bidang