• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI OLEH PT. BANK SYARIAH MANDIRI KCP PETISAH DALAM PELAKSANAAN PEMBIAYAAN AR- - Problematika Pelaksanaan Pembiayaan Ar-Rahn Dengan Akad Al-Qardh Pada PT. Bank Syariah Mandiri Kantor Cabang Pembantu Petisah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI OLEH PT. BANK SYARIAH MANDIRI KCP PETISAH DALAM PELAKSANAAN PEMBIAYAAN AR- - Problematika Pelaksanaan Pembiayaan Ar-Rahn Dengan Akad Al-Qardh Pada PT. Bank Syariah Mandiri Kantor Cabang Pembantu Petisah"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

A. Problematika Hukum

Praktek pembiayaan ar-rahn di Bank Syariah Mandiri KCP Petisah secara umum menggunakan beberapa akad yaitu Pembiayaanar-rahn dengan akadal-qardh dan akad ijarah. Pembiayaan ar-rahn dengan akadal-qardh adalah akad pemberian pinjaman dari bank untuk nasabah yang disertai dengan penyerahan tugas agar bank menjaga barang jaminan berupa emas yang diserahkan. Akadijarahdigunakan untuk menarik ongkos sewa atas tempat penyimpanan dan pemeliharaan jaminan emas di bank. Akad qardhsendiri dapat didefenisiskan sebagai perjanjian penyerahan barang untuk menjadi agunan dari fasilitas pembayaran yang diberikan.62

Secara etimologi rahn berarti tetap, kekal dan berkesinambungan.Rahn juga bermakna al-habsu yang berarti menahan atau jaminan. Pembiayaan rahn dalam istilah terminologi positif disebut dengan barang jaminan, dan agunan. Dalam Islam rahn merupakan sarana saling tolong-menolong bagi umat Islam, tanpa adanya imbalan. Secara terminologi Rahn adalah “Menjadikan sesuatu (barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) itu, baik seluruhnya maupun sebagian dari barang tersebut”. Dalam Fatwa

62 Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum

(2)

DSN MUI nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn dan Fatwa nomor 26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas, rahn didefinisikan dengan “Menahan barang sebagai jaminan atas utang”.63

Sedangkan qardh Secara etimologi adalah al-qath’u yang berarti potongan. Potongan dalam konteks akad qardh adalah potongan yang berasal dari harta orang yang memberikan uang. Qardh juga bisa berarti salaf. Secara terminologi ada beberapa defenisi qardh yang dikemungkakan oleh ulama fiqih, Ulama Hanafiyah mendefinisikannya dengan : “Akad yang khusus mengenai penyerahan harta mitsly kepada seseorang untuk kemudian dikembalikan dengan jumlah yang sama”. Harta mitsly(mal mitsly) adalah harta yang ada jenisnya di pasaran, atau harta yang dapat ditimbang, ditakar seperti gandum, beras, dan kapas.64Merujuk pada Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) nomor 19/DSN-MUI/IV/2010 tentang Al-Qardh, dinyatakan qardh adalah; “Suatu akad pinjaman kepada nasabah dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya kepada lembaga keuangan syariah (LKS) pada waktu yang telah disepakati oleh LKS dan nasabah” atau “Pinjaman yang diberikan kepada nasabah (muqtaridh) yang memerlukan”.

Ijarah dalam bahasa Arab berarti upah, sewa, jasa, atau imbalan. Ijarah merupakan salah satu kegiatan muamalah dalam rangka memenuhi keperluan hidup manusia, seperti sewa-menyewa, kontrak atau menjual jasa perhotelan, dan lain-lain.

63Fatwa DSN MUI nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn dan Fatwa nomor

26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas.

(3)

Secara etimoligi dapat berarti ba’i al-manfaah yang berarti pemilikan atas manfaat. Secara terminologi ijarah adalah ”Akad terhadap manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubahdan boleh dimanfaatkan dengan imbalan tertentu”. Menurut Wahbah Zuhaili bahwa akad ijarah tidak berlaku pada pepohonan untuk diambil buahnya, karena buah itu sendiri adalah materi, sedangkan ijarah hanya ditujukan kepada manfaat bukan benda/barang.65

Terkait dengan skim pembiayaan Ar-rahn dengan akad qardh dalam praktek pembiayaan syariah pada BSM KCP Petisah, di dalamnya terdapat 3 akad, yaitu ar-rahn, al-qardh dan ijarah. Pada dasarnya para ulama telah menyepakati bahwa al-qardhboleh dilakukan. Kesepakatan ulama ini didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan bantuan saudaranya. Tidak ada seorang pun yang memiliki segala barang yang dibutuhkan. Oleh karena itu, pinjam-meminjam sudah menjadi satu bagian dari kehidupan di dunia ini. Dan Islam adalah agama yang sangat memperhatikan segenap kebutuhan ummatnya.

Para ulama fiqh telah sepakat bahwa qardh merupakan suatu bentuk akad tamlikatau akad atas harta, seperti halnya jual beli (bai’), sehingga mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi, untuk selanjutnya akadqardhitu dapat dikatakan sah menurut syara’. Oleh karena akadqardhmenyerupai akad jual beli (akad atas harta), jadi sedikit banyak komponen rukun dan syarat al-qardh sama dengan rukun dan syarat yang ada dalam jual beli (bai’).

(4)

a. Adanya yang berpiutang/pemberi pinjaman (muqridh)

Dalam term ini yang disyaratkan adalah harus dari orang yang berhak untuk bertasarruf (jaaizu at-tasarruf) dalam arti, mempunyai kecakapan dalam bertindak hukum dan boleh (secara hukum) menggunakan harta, juga berdasarkan iradah (kehendak bebas).66

b. Adanya orang yang berutang/peminjam (muqtaridh) Syaratnya sama dengan ketentuan point a.

c. Obyek/ barang yang diutangkan/ barang yang dipinjamkan (qardh)

Harta benda yang menjadi obyeknya harus mal-mutaqawwim(jelas dan dapat memberikan manfaat kepada yang dipinjami).

Mengenai jenis harta benda yang dapat menjadi obyek utang-piutang terdapat perbedaan pendapat di kalangan fuqaha Mazhab. Adapun perbedaan itu adalah: 1) Menurut fuqaha mazhab Hanafiyah akad qardh hanya berlaku pada harta-benda

al-misliyat, yakni harta benda yang banyak padanannya, yang lazimnya dihitung melalui timbangan, takaran dan satuan. Sedangkan harta-benda al-qimiyyattidak sah dijadikan obyek al-qardh, seperti hasil seni, rumah, tanah, hewan dan lain-lain.

2) Menurut fuqaha mazhab Malikiyyah, Syafi’iyah dan Hanabilah setiap harta benda yang boleh diberlakukan atasnya akad salam boleh diberlakukan atasnya akad qardh, baik berupa harta-benda al-misliyat, seperti mas, perak dan beberapa

66 Khairuman Pasaribu dan Suharwadi k. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta:

(5)

makanan, maupun al-qimiyyat. Pendapat ini didasarkan pada sunnah Rasulullah SAW. dimana beliau pernah berhutang seekor bakr (unta berumur 2 tahun). Ini jelas bukan takaran dan timbangan, dan karena barang yang dimiliki dengan akad salam bisa dimiliki dengan bai’ dan bisa diketahui dengan sifat, maka qardh hukumnya jawaz (boleh) seperti takaran dan timbangan. Adapun barang-barang yang tidak bisa diakad salam seperti mutiara, dan lain-lain, maka tidak sah qardhnyadalamQaul Ashoh. Karenaqardhitu menuntut ganti yang sama.

3) Atas dasar pendapat di atas, menurut Jumhurul Fuqaha’, setiap barang yang dijual sah menggunakan akad qardh, kecuali bani adam dan tidak sah menghutang beberapa kemanfaatan. Ini berbeda dengan pendapat Ibnu Taimiyyah, seperti: mengajak orang berpanen supaya orang tersebut mengajak orang lain agar berpanen sepertinya. Atau menyuruh orang lain bertempat tinggal ditempatnya agar orang tersebut menempati tempat tinggal orang lain sebagai ganti.

d. Adanya serah terima (ijab qabul)

Oleh karena qardhmerupakan akad atas harta, sepertibai’ dan hibah (seperti yang teruraikan di atas), maka teknis dalam akadnya harus dengan ijab qabul, disamping itu juga al-qardh ini merupakan pemilikan yang manusiawi. Adapun maksud dari ijab qabul tersebut adalah adanya pernyataan baik dari pihak yang mengutangkan/meminjamkan maupun dari pihak yang berutang/meminjam.67 Dan teknis dalam ijab qabul tersebut, bisa/boleh dengan menggunakan lafal qardh, salaf

(6)

atau yang sepadan dengannya, contohnya: “Aku milikkan harta ini kepadamu supaya lain hari engkau mengembalikan gantinya kepadaku”. Tapi apabila berkata, “Aku milikkan harta ini kepadamu tanpa menyebutkan kata gantinya, otomatis menjadi hibah (pemberian cuma-cuma). Maka apabila dua orang yang berakal dan qardh berselisih, maka perkataan si penghutanglah yang dipercaya/dimenangkan, karena harta tersebut jelas ada padanya, dan si pemberi pinjaman tidak berhak meminta gantinya atas harta tersebut.

Satu syarat lagi yang berkaitan dengan hal di atas, bahwa akad qardh tidak boleh dikaitkan dengan suatu persyaratan di luar qardh itu sendiri yang menguntungkan pihak muqridh (pihak yang menghutangi). Misalnya persyaratan memberikan keuntungan (manfaat) apapun bentuknya atau tambahan, fuqaha sepakat yang demikian ini haram hukumnya.68

Jika keuntungan tersebut tidak dipersyaratkan dalam akad atau jika hal itu telah menjadiurf (adat kebiasaan di masyarakat) menurut mazhab Hanafiyah adalah boleh. Sedangkan fuqaha Malikiyah membedakan utang-piutang yang bersumber dari jual beli dan utang-piutang ansih(al-qardh). Dalam hal yang bersumber dari jual beli, penambahan pembayaran yang tidak dipersyaratkan adalah boleh. Sedangkan dalam hal utang-piutang (al-qardh) penambahan pembayaran yang tidak dipersyaratkan dan tidak dijanjikan karena telah menjadi adat kebiasaan di masyarakat, hukumnya adalah

68Ghufron A. Mas’adi,Fiqh Muammalah Kontekstual, cet. Ke-1, (Jakarta: PT. Raja Grafindo

(7)

haram. Penambahan yang tidak dipersyaratkan dan tidak menjadi kebiasaan di masyarakat baru boleh diterima.

Penambahan perlunasan hutang yang diperjanjikan oleh muqtaridh (pihak yang berhutang), menurut Syafi’iyyah pihak yang menghutangi makruh menerimanya. Sedangkan menurut Hanabilah pihak yang menghutangi dibolehkan menerimanya.

Jadi sebenarnya akad al-qardh merupakan bentuk mu’amalah yang bercorak ta’awun (pertolongan) kepada pihak lain untuk memenuhi kebutuhannya. Maka sebenarnyaal-qardh disamping masuk pada term utang piutang, dalam literaturefiqh klasik juga menyebutkan bahwa al-qardh dikategorikan dalam akad tabarru’ atau tathawwui,yang sebenarnya dalam bahasanfiqhmuamalah kalau dilihat dari segi ada atau tidak adanya kompensasi, maka akad dibagi menjadi dua bagian, yakni akad tabarru’i/tathawwuidanakad tijarah/mu’awadah.69

Al-qardh yang masuk pada term akad tabarru’i (gratuitous contract) adalah karena segala macam perjanjian yang terjadi di dalamnya menyangkut not-for profit transaction (transaksi nirlaba). Transaksi ini pada hakikatnya bukan transaksi bisnis untuk mencari keuntungan komersil. Akad tabarru’i dilakukan dengan tujuan tolong menolong dalam rangka berbuat kebaikan (tabarru’ berasal dari kata birr dalam bahasa Arab, yang artinya kebaikan). Dalam akad tabarru’, pihak yang berbuat kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan imbalan apapun kepada pihak lainnya.

69 Karnaen Perwataatmadja, Apa dan Bagaimana Bank Islam, (Yogyakarta: Dana Bhakti

(8)

Imbalan akad ini adalah dari Allah SWT, bukan dari manusia. Namun demikian, pihak yang berbuat kebaikan tersebut boleh meminta kepadacounter-part-nya untuk sekadar menutupi biaya (cover the cost) yang dikeluarkannya untuk dapat melakukan akad tersebut. Tapi tidak boleh sedikitpun mengambil laba dari akad itu.70

Rahn/gadai merupakan salah satu kategori dari perjanjian utang-piutang yang mana untuk suatu kepercayaan dari orang yang berpiutang. Maka orang yang berutang menggadaikan barangnya sebagai jaminan terhadap utangnya tersebut. Barang jaminan adalah tetap milik orang yang menggadaikan (rahin) tetapi dikuasai oleh penerima gadai (murtahin). Karena itu, tampak bahwa gadai syari’ah merupakan perjanjian antara seseorang untuk menyerahkan harta benda berupa emas/perhiasan/ kendaraan dan/atau harta benda lainnya sebagai jaminan dan/atau agunan kepada seseorang dan/atau lembaga pegadaian syari’ah berdasarkan hukum gadai syari’ah, sedangkan pihak lembaga pegadaian syari’ah menyerahkan uang sebagai tanda terima dengan jumlah maksimal 90% dari nilai taksir terhadap barang yang diserahkan oleh penggadai Gadai dimaksud, ditandai dengan mengisi dan menandatangani Surat Bukti Gadai (Rahn).

Gadai syari’ah atau rahn telah diperbolehkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah untuk bermuamalah berdasarkan rahn. Dasarnya adalah: “Dan jika kamu dalam perjalanan (safar) dan kamu tidak dapati penulis, maka hendaklah ada jaminan (borg sebagai barang gadaian) yang kamu pegangi. Maka jika sebagian kamu mempercayai

70Adiwarman Karim,Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan,(Jakarta:The International of

(9)

sebagian yang lain, maka hendaklah orang yang dipercayai itu menunaikan amanahnya (hutangnya) dan hendaklah ia takut kepada Allah Tuhannya.” (Qs. Al-Baqarah, 283).

Ar-Rahnadalah produk bank syariah berupa fasilitas pembiayaan dengan cara memberikan utang (qardh) kepada nasabah dengan jaminan emas (perhiasan/ lantakan) dalam sebuah akad gadai (rahn). Bank syariah selanjutnya mengambil upah (ujrah, fee) atas jasa penyimpanan/penitipan yang dilakukannya atas emas tersebut berdasarkan akad ijarah (jasa). Jadi, gadai emas merupakan akad rangkap (uqud murakkabah, multi-akad), yaitu gabungan akadrahndanijarah.

Menurut beberapa pandangan dalam Islam, gadai emas haram hukumnya, dengan tiga alasan sebagai berikut:71

a. Dalam gadai emas terjadi pengambilan manfaat atas pemberian utang. Walaupun disebut ujrah atas jasa penitipan, namun hakikatnya hanya rekayasa hukum (hilah) untuk menutupi riba, yaitu pengambilan manfaat dari pemberian utang, baik berupa tambahan (ziyadah), hadiah, atau manfaat lainnya. Padahal manfaat-manfaat ini jelas merupakan riba yang haram hukumnya. Dari Anas RA, bahwa Rasulullah SAW, ”Jika seseorang memberi pinjaman (qardh), janganlah dia mengambil hadiah.” (HR Bukhari, dalam kitabnya At-Tarikh Al-Kabir).

b. Dalam gadai emas, fee (ujrah) untuk jasa penitipan/penyimpanan dibebankan kepada penggadai (rahin), yaitu nasabah. Padahal seharusnya biaya itu

71Hukum Gadai Emas,

(10)

dibebankan kepada penerima gadai (murtahin), yaitu bank syariah, bukan nasabah. Dalilnya sabda Rasulullah SAW, ”Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya, dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan.” (HR Jama’ah, kecuali Muslim dan Nasa’i).

c. Dalam gadai emas terjadi akad rangkap, yaitu gabungan akad rahn dan ijarah. Bagi kami akad rangkap tidak boleh menurut syara’, mengingat terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud RA, beliau berkata, ”Nabi SAW melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan (shafqatain fi shafqatin)” (HR Ahmad, Al-Musnad, I/398).

Gadai emas syariah ialah produk Unit Usaha Syariah berupa fasilitas pembiayaan dengan cara memberikan utang (qardh) kepada nasabah dengan jaminan emas (perhiasan/lantakan) dalam sebuah akad gadai (rahn). Dari kesepakatan ini Unit Usaha Syariah (bank syariah) mengambil upah (ujrah) atas jasa penyimpanan/ penitipan yang dilakukan atas emas tersebut berdasarkan akad jasa (ijarah).72

Pada hakikatnya prinsip yang mendasari gadai ialah keterdesakan, bila dalam keadaan terdesak dan membutuhkan sejumlah dana maka salah satu solusinya berkunjung ke penggadaian. Namun, masih ada beberapa oknum mencoba menyamarkan prinsip gadai dengan menawarkan produk investasi yang jelas-jelas tidak ada unsur keterdesakan.

(11)

Seperti hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari A’isyah r.a., ia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah s.a.w pernah membeli makanan dengan berutang dari seorang Yahudi, dan Nabi menggadaikan sebuah baju besi kepadanya”.

Hadits di atas menggambarkan bahwa dalam kebutuhan mendasar dan keadaan terdesaklah Nabi menggadaikan baju perangnya, karena yang dibeli Nabi dengan menggadaikan baju perangnya ialah makanan. Makanan termasuk dalam kebutuhan dasar dan sangat dibutuhkan. sehingga penggadaian emas sebaiknya diorientasikan pada kebutuhan dasar bukan pada kebutuhan investasi (investment oriented) mau pun mencari modal (capital oriented).

Syariah telah memberi petunjuk yang jelas tentang apa yang diharamkan dan apa yang dihalalkan berdasarkan ajaran Al-Quran dan Sunnah. Menurut syariah, segala bentuk muamalat adalah mubah, kecuali yang ditentukan lain oleh Al-Quran dan Sunnah Rasul. Dengan demikian hukum Islam memberi kesempatan luas perkembangan bentuk dan macam muamalat baru sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hidup masyarakat.73

Perkembangan ekonomi syari’ah di Indonesia demikian cepat, khususnya pegadaian dan lembaga keuangan mikro syari’ah. Sehubungan dengan pesatnya pertumbuhan lembaga ekonomi dan keuangan syari’ah tersebut, maka para praktisi ekonomi syari’ah, masyarakat dan pemerintah (regulator) membutuhkan fatwa-fatwa syari’ah dari lembaga ulama (MUI) berkaitan dengan praktek dan produk di

lembaga-73Hasil wawancara dengan Bapak HM. Hasballah Thaib, MUI Kota Medan, tanggal 09

(12)

lembaga keuangan syari’ah tersebut. DSN adalah lembaga yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mempunyai fungsi melaksanakan tugas-tugas MUI dalam menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan aktifitas lembaga keuangan syari’ah.74

Gadai emas merupakan cara investasi yang marak ditawarkan perbankan syariah akhir-akhir ini. Gadai emas mencuat dan diminati banyak orang sejak harga emas terus membumbung tinggi. Dewan Syariah Nasional melalui fatwanya nomor 25/DSN-MUI/III/2002 memperbolehkan praktek gadai emas ini. Pada fatwa tersebut DSN menyatakan: “Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun (barang gadai) tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.”

Sementara dalam fatwa DSN No: 26/DSN-MUI/III/2002 yang secara khusus menjelaskan aturan gadai emas, dinyatakan: “Ongkos sebagaimana dimaksud ayat 2 besarnya didasarkan pada pengeluaran yang nyata-nyata diperlukan.” Jika bank syariah bersedia menerapkan fatwa di atas, tentunya dalam menentukan biaya pemeliharaan emas yang digadaikan, bank akan menentukan berdasarkan hargaSafe Deposit Box (SDB). Akan tetapi, fakta menunjukkan bahwa ongkos penyimpanan yang dibebankan nasabah tidak sesuai dengan biaya riil yang dibutuhkan untuk

74 Hasil wawancara dengan Bapak HM. Hasballah Thaib, MUI Kota Medan, tanggal 09

(13)

standar penyimpanan dan penjagaan bank, atau melebihi nilai harga SDB untuk penyimpanan emas.75

Ada 4 (empat) point yang tercantum dalam fatwa DSN MUI No 26/DSN-MUI/III/2002 yaitu :

a. Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan barang (marhun) tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.

b. Ongkos dan biaya penyimpanan barang (marhun) ditanggung oleh penggadai (rahin).

c. Ongkos sebagaimana dimaksud ayat sebelumnya, besarnya didasarkan pada pengeluaran yang nyata-nyata diperlukan.

d. Biaya penyimpanan barang (marhun) dilakukan berdasarkan akad Ijarah.

Dalam praktiknya, ongkos (fee) penyimpanan emas atausafe deposit boxyang dilaksanakan oleh beberapa bank syariah tidak sesuai dengan point c. Contohnyatarif safe deposit box(SDB) yang ditawarkan Bank Syariah Mandiri; ukuran kecil (3x5x24 inch) seharga Rp.100.000 per tahun, ukuran sedang (5x10x24 inch) seharga Rp.250.000 per tahun dan ukuran besar (15x10x24 inch) seharga Rp.700.000 per tahunnya. Jika nasabah ingin menyimpan emas seberat 2 gram (kurang lebih sebesar koin Rp. 500) maka safe deposit inbox (SDB) yang dibutuhkan ialah ukuran yang paling kecil. Salah satu bank syariah, dalam brosurnya menetapkan tarif untuk emas 2

75 Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia, “Fatwa DSN MUI vs Praktek Perbankan

(14)

gram sebesar 11.800/15 hari.76Dengan demikian, untuk penyimpanan selama 6 bulan saja, nasabah membayar Rp 141.600. Kenyataan di atas membuktikan bahwa produk gadai emas bank syariah ini berarti tidak menerapkan fatwa DSN tentang rahnemas sebagaimana yang dinyatakan di atas.

Mayoritas tabungan di bank syariah menggunakan akad mudharabah yang merupakan akad kemitraan dalam investasi.77 Sebagai investasi, tentu nasabah mengharap agar bank menyalurkan dana mereka ke berbagai jenis bisnis yang menghasilkan keuntungan, bukan untuk aktivitas sosial. Keperluan sosial dipenuhi dari alokasi dana terpisah, seperti zakat dan sadaqah. Lain halnya jika investasi tersebut ditanamkan pada bisnis yang juga memberikan banyak manfaat pada masyarakat. Yang pasti, bank syariah tidak boleh menggunakan dana tersebut untuk selain aktivitas bisnis, misal untuk bonus karyawan bank, dipinjamkan, maupun diberikan pada fakir miskin.

Masalah kemudian muncul ketika bank syariah memiliki beberapa variasi produk yang menggunakan akad pinjaman (qardh), seperti talangan haji, gadai emas syariah, anjak piutang, dan kartu kredit syariah. Pada produk-produk ini, bank syariah memperoleh penghasilan atas jasa yang mereka berikan pada nasabah. Pada produk talangan haji, bank syariah memberikan jasa pengurusan haji. Pada gadai emas

76Mustafa Edwin Nasution,et.al.,Pengenalan Eksklusif: Ekonomi Islam,(Jakarta: Kencana,

2007), hlm.314.

77 Hasil Wawancara dengan Bayu Pratomo, Officer Gadai Bank Syariah Mandiri KCP

(15)

syariah, bank syariah memberikan jasa titipan barang gadai. Pada kartu kredit syariah, bank syariah memberikan jasa pembayaran kemerchant.

Di samping menyediakan jasa, pada produk-produk ini bank syariah juga memberikan pinjaman ke nasabah. Dana yang dipinjamkan bisa jadi berasal dari modal bank sendiri maupun dari dana nasabah, yang mana keduanya ditanamkan untuk mendapatkan keuntungan, bukan dana sosial.

Jika dana pinjaman berasal dari nasabah, berarti bank syariah telah menyalahi kontrak kemitraan dengan nasabah yang menyatakan penggunaan dana untuk investasi. Karena itu, sebagian, kalau bukan seluruh, bank syariah mengalokasikan sebagian pendapatan mereka dari produk-produk berbasis akad qardh tadi sebagai bagi hasil ke nasabah tabungan. Praktik ini kemudian tidak hanya dibolehkan, namun juga diwajibkan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) pada Fatwa DSN nomor 79 tahun 2011 tentangQardhMenggunakan Dana Nasabah.

Penggunaan dana investasi untuk pinjaman ini menjadi dimaklumi atau dibenarkan, oleh pemilik dana dan DSN, ketika pinjaman itu mendatangkan keuntungan bagi pemilik dana. Alasan ini juga berlaku ketika dana pinjaman bersumber dari modal bank sendiri. Pemilik bank syariah tidak akan keberatan jika modal mereka disalurkan sebagai pinjaman tanpa bunga, selama dengan adanya pinjaman itu jasa perbankan yang mereka tawarkan menjadi lebih laku atau bisa mengenakan tarif lebih tinggi.

(16)

keuntungan bank akan lebih besar jika modal diinvestasikan, bukan dipinjamkan cuma-cuma. Kalaupun pemilik bank ingin berbuat kebaikan dengan pinjaman itu, biasanya mereka akan mengalokasikan dana terpisah untuk keperluan sosial, misal dalam bentuk program-programcorporate social responsibility(CSR).

Di sinilah perlu kehati-hatian akan kemungkinan terdapatnya riba karena pinjaman itu diberikan dengan niat untuk mendapat keuntungan. Memang keuntungan itu didapat tidak secara langsung dengan meminta tambahan pengembalian atas pinjaman yang diberikan. Akan tetapi, keuntungan tersebut diperoleh dari pendapatan jasa yang menyertai pinjaman tersebut.

Jika riba didefinisikan secara sempit sebagai tambahan pembayaran atas pokok pinjaman, maka seorang yang ingin mencari keuntungan dari bisnis pemberian pinjaman dengan mudah berkelit dari tuduhan riba dengan menyelinapkan keuntungan itu melalui segala macam transaksi jual-beli barang maupun jasa yang menyertai pemberian pinjaman. Mereka sebenarnya bukan berbisnis jual-beli barang dan jasa tersebut, melainkan berbisnis pinjaman. Mereka menitipkan keuntungan bisnis pinjaman ke dalam harga barang dan jasa tersebut.

(17)

terkait gadai emas, talangan haji, dan pengalihan utang, serta fatwa nomor 54 tahun 2006 tentang syariah card. DSN bukannya tidak tahu atas kemungkinan riba pada produk berbasis pinjaman ini. Mereka sesungguhnya telah mengantisipasi agar produk itu tidak terjatuh pada riba melalui fatwa-fatwa tersebut dengan mengatur bahwa jasa yang diberikan oleh bank dan tarifnya tidak boleh dikaitkan dengan pinjaman yang diberikan.78

Larangan pengkaitan antara pinjaman dengan jasa ini seharusnya sudah menolak eksistensi produk yang diaturnya sendiri, karena semua produk tersebut selalu menawarkan pinjaman dan jasa dalam sebuah paket. Tidak ada bank syariah yang menawarkan pinjaman tanpa bunga secara terpisah dari jasa yang mereka berikan. Kalau memang tidak ada kaitan antara pinjaman dan jasa tersebut, semestinya nasabah bisa meminjam uang tanpa harus disertai menggunakan jasa bank syariah tersebut, baik dalam bentuk pengurusan haji, titipan gadai, jasa pembayaran, atau jasa apapun. Faktanya, bank syariah hanya menawarkan pinjaman tanpa bunga dalam paket-paket jasa mereka.

Bisa dikatakan bahwa fatwa-fatwa DSN yang mengatur larangan pengkaitan pinjaman dengan jasa bukanlah fatwa yang membolehkan, tapi justru melarang penjualan produk perbankan syariah tersebut. Kenyataan bahwa produk-produk berbasiskanqardhitu bisa terus dijual bank syariah hanya bisa dijelaskan oleh

78 Hasil wawancara dengan Bapak HM. Hasballah Thaib, MUI Kota Medan, tanggal 09

(18)

keengganan untuk mengakui secara jujur bahwa semua produk itu mengkaitkan antara pinjaman dan jasa bank.

Fatwa halal belum cukup untuk menjadi jaminan halal atau tidaknya suatu transaksi, sebab bisa saja fatwanya benar akan tetapi aplikasi di lapangan, karena berbagai alasan, menyeleweng dari fatwa tersebut. Terlebih-lebih fatwa DSN MUI tidak sampai membahas pada teknis aplikasinya di lapangan, padahal bisa saja pada tahap aplikasi terdapat penyelewengan. Dan kenyataannya fatwa DSN MUI jumlahnya lebih sedikit dibanding jenis transaksi dan akad yang dijalankan oleh perbankan syariat yang ada.79

Sebenarnya ketentuan perbankan syariah sendiri telah mengatur ketentuan larangan bagi bank umum syariah, unit usaha syariah dan bank pembiayaan syariah melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip syariah.80 Usaha yang bertentangan dengan prinsip syariah antara lain usaha yang dianggap riba, maisir, gharar,haram, danzhalim.81

B. Problematika Sosial

Di antara jenis transaksi yang sekarang sedang marak digandrungi masyarakat adalah transaksi gadai. Namun masih banyak manusia, termasuk umat Islam yang belum memahami bagaimana konsep gadai sesuai Al-Quran dan Sunnah atau

79Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia, “Diskusi Perbankan Syariah (bag.1)”,

http://pengusahamuslim.com/diskusi-perbankan-syariah-bag-1/#.VBBE-VfDp64, terakhir diakses tanggal 04 September 2014.

80Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah,

Pasal 24-26.

81 Hasil wawancara dengan Bapak HM. Hasballah Thaib, MUI Kota Medan, tanggal 09

(19)

minimal tidak memahami konsep gadai secara umum dan menyeluruh. Akibat tidak adanya pemahaman yang menyeluruh mengenai gadai dalam Islam, ada di antara masyarakat yang melakukan transaksi gadai dengan melanggar prinsip syari’ah.82

Salah satu fenomena tersebut adalah ar-rahn yang dalam beberapa kasus berorientasi menjadi kebun emas. Gadai emas yang awalnya berfungsi memberikan pinjaman kepada orang yang mendesak berkebutuhan, berubah menjadi transaksi yang bernilai investasi. Salah satu pertimbangan pemanfaatan gadai emas tersebut karena gadai emas memiliki risiko yang rendah dengan hitung-hitungan yang mudah dipahami nasabah dan apresiasi terhadap emas dari waktu ke waktu terus meningkat sehingga nilai emas pun ikut terdongkrak, masyarakat pun banyak yang tergiur dan akhirnya terjun berinvestasi di penggadaian emas.

Munculnya kebun emas tidak urung memunculkan perdebatan seputar halal-haramnya transaksi tersebut. Sebagian berpendapat bahwa berkebun emas hukumnya halal karena tidak ada dalil yang melarangnya. Sebenarnya tentang segala sesuatu yang diharamkan telah diatur dalam ketentuan Allah SWT dan juga petunjuk Rasul dalam Sunnah-nya yang telah dijelaskan setiap aspeknya. Tidak boleh mengada-ada dengan menghalalkan yang haram. Perbuatan ini merupakan perbuatan munafik karena yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya akan tetap haram sampai hari kiamat. Menurut Al-Quran, orang-orang Yahudi mencari alasan untuk mengusahakan yang

82 Hasil wawancara dengan Bapak HM. Hasballah Thaib, MUI Kota Medan, tanggal 09

(20)

haram menjadi halal. Jika Allah telah mengharamkan sesuatu, maka hal itu tidak boleh dilanggar.83

Sebaliknya, sebagian yang lain menyatakan haram karena mengandung unsur riba yakni beberapa persen dari emas untuk dibayarkan kepada bank yang menerima gadai. Selain itu berkebun emas tidaklah sama dengan menggadai emas yang dimaksudkan dalam fatwa MUI No.26/DSN-MUI/III/2002 karena berkebun emas tidak lagi membawa spirit untuk membantu yang membutuhkan melainkan mencari keuntungan dari berinvesatasi emas. Di sisi lain, praktek berkebun emas mengandung unsur spekulasi, karena keuntungan rahin ditentukan oleh meningkatnya harga emas dalam satu waktu, sedangkan harga emas bersifat fluktuatif dan tidak pasti.

Berkebun emas pada dasarnya adalah berinvestasi emas. Yakni seseorang memiliki sejumlah dana tertentu yang kemudian uang tersebut digunakan untuk membeli emas. Emas ini kemudian digadaikan di bank dengan harapan akan mendapatkan keuntungan yang besar setelah berlalunya masa tertentu, dengan spekulasi bahwa harga emas akan naik sekian persen.

Dalam praktek kebun emas, pelaku kebun emas menggunakan 2/3 modal dari bank. Menurut Bank Indonesia skema kebun emas merupakan skema gadai yang memberikan pinjaman dana sekitar 90-100 persen dari nilai emas itu sendiri. Uang gadai tersebut kemudian dibelikan emas lagi, kemudian digadaikan kembali pada beberapa bank.

83 Hasil wawancara dengan Bapak HM. Hasballah Thaib, MUI Kota Medan, tanggal 09

(21)

Dari sistem berinvestasi emas diatas dapat diketahui bahwa ada sifat spekulasi dalam transaksi tersebut, kalau harga emas naik berarti untung, kalau harga emas turun berarti rugi, meskipun kecenderungan harga emas naik, tetapi tidak ada yang dapat memastikan akan selalu naik. Dalam bahasa Arab, spekulasi disebut sebagai gharar yang diterjemahkan sebagai risiko, sesuatu yang tidak pasti, atau ketidakpastian (uncertainty), sebagaimana disebutkan dalam hadits: Dari Abdullah Bin Mas’ud ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, Janganlah kalian membeli ikan di dalam air (laut), karena perbuatan semacam itu termasukgharar (tidak pasti).” (HR. Ahmad). Dengan demikian praktek berinvestasi emas menggunakan sistem berkebun emas merupakan penyalahgunaan gadai emas secara fungsional dari membantu orang yang mempunyai keperluan atau kebutuhan mendesak kepada tujuan investasi yang mengandung spekulasi yang hukumnya haram karena melanggar prinsip-prinsip Syariah.84

Hal tersebut menunjukkan bahwa pada kenyataannya dan kebiasaan yang terjadi di masyarakat Indonesia terkait dengan gadai emas sedikit banyak telah mengalami pergeseran makna dan penyimpangan dari kaidah-kaidah mengenai gadai emas tersebut. Selain itu kekurangtahuan masyarakat terhadap konsep pembiayaan ar-rahn dengan akad al-qardh menjadikan masyarakat tidak dapat membedakan mana akad al-qardh yang sesuai dengan ketentuan hukum Islam dan yang bertentangan. Dengan demikian peran DSN sebagai lembaga yang mengayomi

84Hasil wawancara dengan Bapak HM. Hasballah Thaib, MUI Kota Medan, tanggal 09

(22)

lembaga keuangan syariah di Indonesia harus lebih konsisten mengatur masalah regulasi di perbankan syariah Indonesia.

Kreativitas perbankan syariah dalam hal membuat pembuatan produk baru maupun adaptasi produk yang dibutuhkan pasar tidak hanya memicu perkembangan perbankan syariah secara signifikan. Di sisi lain, kreativitas tersebut justru mengundang perdebatan seputar keabsahan dan kesesuaian syariah dari produk-produk hasil inovasi para bankir syariah. Perdebatan pertama terhadap Gadai Emas iB mengarah pada kombinasi akad yang digunakan. Secara umum, seluruh bank syariah menggunakan 3 (tiga) akad dalam produk Gadai Emas iB, yaitu rahn, qardh dan ijarah. Perdebatan yang muncul adalah dalam konteks penggabungan akadqardhdan akad ijarah. Penggabungan kedua akad tersebut menyebabkan muncul opini di kalangan akademisi dan pemerhati ekonomi syariah, bahwa perbankan syariah telah melakukan kekeliruan karena telah menggabungkan akad yang berbentuk hutang-piutang (dalam hal ini akad qardh) dengan akad ijarah atas sewa tempat penyimpanan emas.85

Kelompok yang mengkritisi, berargumen bahwa dalam produk Gadai Emas iB dengan kombinasi akad tersebut bisa menjerumuskan bank syariah pada riba. Kombinasi akadqardh dan ijarah menyebabkan terkaitnya jumlah pinjaman dengan biaya gadai yang dikenakan kepada nasabah. Dalam hal ini bank syariah secara tidak langsung telah mengambil tambahan keuntungan dari perjanjian hutang-piutang (akad

85Hasil wawancara dengan Bapak HM. Hasballah Thaib, MUI Kota Medan, tanggal 09

(23)

qardh) walaupun keuntungan tersebut diperoleh dari akad sewa yang secara hukum boleh digunakan. Artinya, bank syariah sama saja telah mengambil riba.

Perdebatan kedua terhadap Gadai Emas iB adalah terdapat indikasi bahwa bank syariah membebankan biaya gadai melebihi dari biaya yang dikeluarkan untuk operasional dan pemasaran produk tersebut. Dengan maksud lain, perhitungan biaya tidak jelas sehingga memunculkan opini bahwa besaran biaya yang dibebankan bank syariah untuk produk ini mengikuti besaran pembiayaan yang diberikan serta jangka waktu pembiayaan.86

C. Problematika Manajemen Perusahaan

Problematika manajemen perusahaan yang menjadi salah satu masalah yang dihadapi dalam praktek pembiayaanar-rahnadalah penyesuaian manajemen lembaga keuangan syariah terhadap adanya perubahan regulasi di bidang pembiayaanar-rahn. Seperti yang terjadi pasca terbitnya ketentuan Bank Indonesia (BI), yang membatasi pembiayaan ar-rahn dengan akad qardh tidak boleh melebihi batas Rp.250 juta dan jangka waktu gadai selama 4 bulan dan hanya bisa diperpanjang selama 2 bulan. Hal tersebut menjadi hambatan dalam pelaksanaan pembiayaan ar-rahn, karena pihak perbankan syariah harus menyesuaikan mekanisme pembiayaan ar-rahn sesuai ketentuan yang baru berlaku.

Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia terjadi setelah diterbitkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah 86 Irham Fachreza Anas, “Kritik dan Perbaikan Praktek Gadai Emas Bank Syariah”,

(24)

dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, kemudian terbit Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan diikuti dengan diterbitkannya sejumlah ketentuan pelaksanaan dalam bentuk SK Direksi BI/Peraturan Bank Indonesia salah satunya Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/17/PBI/2008 tentang Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah juga turut menjadi landasan hukum yang lebih luas bagi pengembangan perbankan syariah di Indonesia. Perbankan Syariah secara umum terus mengalami perkembangan selama tahun 2011 sampai tahun 2012. Volume usaha perbankan syariah dalam kurun waktu 2011 sampai 2012, khususnya Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (Unit Usaha Syariah) juga mengalami pertumbuhan yang sangat pesat.87

Dari sisi penyaluran dana berdasarkan Outlook Perbankan Syariah Indonesia 2012, piutang murabahah mendominasi yaitu sebesar Rp.52,06 triliun atau 42,42%, kemudian diikuti oleh pembiayaanmusyarakah sebesar Rp.17,73 triliun atau 14,45% dan piutang qardh sebesar Rp.13,02 triliun atau 10,61%. Penyaluran dana berupa piutangqardhmengalami peningkatan yang sangat tinggi yaitu sebesar 295,17% dan hal tersebut didominasi oleh peningkatanqardhberagun emas.

Meningkatnya penyaluran dana dalam bentuk qardh sebesar 295,17% yang didominasi oleh qardh beragun emas ini dipandang oleh Bank Indonesia sebagai produk yang memiliki risiko tinggi baik dari sisi operasional maupun reputasi yang dapat merugikan industri Perbankan Syariah apabila tidak diantisipasi, meskipun resiko kredit ini relatif kecil karena jangka waktu tidak lama serta marhun dapat

(25)

dilelang jika rahin tidak mampu melunasi pembiayaan. Selain itu, peningkatan produk ini dikhawatirkan akan mengurangi kecepatan penyaluran pembiayaan perbankan syariah ke sektor ekonomi yang lebih produktif, yang seharusnya menjadi fokus utama bisnis bank syariah.

Untuk produkqardh beragun emas ini atau biasa disebut gadai emas syariah, sebelumnya BI hanya memberikan himbauan kepada bank syariah dan unit usaha syariah (Unit Usaha Syariah) untuk mengatur transaki gadai emas syariah masing-masing. BI meminta bank syariah dan unit usaha syariah yang memiliki produk gadai emas syariah untuk menjalankan transaksi sesuai dengan prinsip akadqardh. Masing-masing bank syariah menyerahkan standard operating procedure (SOP) gadai emas syariah ke BI. Kemudian BI melakukan supervisory approach atau pendekatan pengawasan ke empat bank syariah dan empat unit usaha syariah. BI akan menetapkan aturan gadai emas syariah di bank syariah setelah ada bank syariah yang melanggar SOP gadai emas syariah, kebijakan ditetapkan melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI).

(26)

hingga terjun untuk berspekulasi dengan istilah berkebun emas. Bank Indonesia menemukan sejumlah penyelewengan pada praktek gadai emas syariah, antara lain: a. Bank Indonesia menemukan adanya pelanggaran komitmen yang dilakukan oleh

bank syariah terkait nilai rasio pinjaman terhadap nilai jaminan atau financing to value(FTV) dan total plafon pembiayaan yang melebihi ketentuan.

b. Bank Indonesia menemukan ada salah satu nasabah gadai emas bank syariah mendapatkan pembiayaan dengan nilai lebih dari Rp.100 miliar melalui cara gadai bertingkat.

c. Berdasarkan data BI per September 2011, jumlah nasabah gadai emas syariah mencapai 104.863 rekening dengan total portfolio Rp.6,1 triliun dan didominasi oleh pembiayaan di atas Rp.100 juta.

Berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan di atas maka BI memberikan surat pembinaan kepada delapan bank syariah yang memiliki produk gadai emas syariah. Empat diantaranya merupakan bank umum syariah dan sisanya unit usaha syariah. BI meminta mereka melakukan penyesuaian transaksi gadai emas syariah sesuai dengan komitmen awal. BI juga melakukan pengecekan langsung di lapangan melalui pengawasan untuk melihat benar atau tidaknya penyesuaian yang telah dilakukan dalam praktik gadai emas.

(27)

benar-benar ditujukan untuk masyarakat yang membutuhkan pembiayaan, bukan orang-orang yang menggadaikan emas untuk investasi atau spekulasi. BI meminta bank syariah menerapkan Know Your Customer (KYC) untuk mengenali tujuan nasabah melakukan gadai emas syariah dan melarang transaksi gadai emas untuk spekulasi dan investasi. BI resmi memperketat aturan gadai emas dengan menerbitkan Surat Edaran (SE) No.14/7/DPbs tertanggal 29 Februari 2012 tentangqardhberagun emas. SE yang diterbitkan di bawah Peraturan Bank Indonesia untuk produk perbankan syariah. BI memperketat SOP gadai emas untuk menghindari pembiayaan tersebut disalahgunakan menjadi investasi bagi nasabah. Dengan adanya aturan ini, diharapkan intermediasi bank syariah bisa lebih optimal.

(28)

produktif, Bank Indonesia telah menerbitkan pula ketentuan mengenai produk Pembiayaan Kepemilikan Emas (PKE) bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.

Diterbitkannya Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/7/DPbS untuk memperketat aturan gadai emas syariah membawa sejumlah perubahan serta dampak, baik bagi Perbankan Syariah pada umumnya dan Bank Syariah Mandiri KCP Petisah pada khususnya. Terdapat setidaknya empat Bank Umum Syariah yang diminta untuk menghentikan layanan gadai emas. Ekspansi produk gadai emas dihentikan sementara sejak 14 Desember 2011.

Selama masa pembenahan, mereka dilarang untuk menerima nasabah baru yang mengajukan pembiayaan beragun emas. Selama masa tersebut, yang dilakukan oleh pihak bank yaitu melayani pelunasan pembiayaan dan perpanjangan bagi nasabah yang jatuh tempo namun belum bisa melunasi. Selain itu agar sesuai dengan aturan dalam ketentuan SEBI Nomor 14/7/DPbS, bank syariah melakukan penurunan nilai outstanding pembiayaan beragun emas yang melebihi Rp.250 juta melalui pelunasan secara bertahap. Penyesuaian yang dilakukan secara bertahap diberi jangka waktu satu tahun oleh BI untuk diselesaikan.

(29)

pembiayaan menjadi dibatasi yang awalnya tanpa batas namun sekarang memiliki batas yaitu Rp.250 juta bagi nasabah dan Rp.50 juta bagi nasabah mikro dan kecil.

Setelah perberlakuan SEBI Nomor 14/7/DPbs tersebut, pembiayaan gadai emas di bank syariah menurun menjadi Rp.4 triliun pada 2012. Angka ini turun Rp 3 triliun dari Rp 7 triliun pada 2011.88Bank Syariah Mandiri sendiri memangkas target gadai emas pada tahun 2013 sebesar 74,07% dibandingkan dengan tahun sebelumnya menjadi Rp.135 miliar karena pembatasan dari Bank Indonesia. Kadiv Pawning Division Bank Syariah Mandiri Jeffry Prayana mengutarakan realisasi gadai emas Bank Syariah Mandiri se-Indonesia pada 2012 sebesar Rp.235 miliar. Namun, target realisasi gadai emas BSM pada tahun ini diturunkan menjadi Rp.135 miliar.89 Diterbitkannya SEBI Nomor 14/7/DPbS juga memiliki pengaruh terhadap pelaksanaan gadai emas syariah di Bank Syariah Mandiri KCP Petisah. implikasi diterbitkannya peraturan tersebut dalam pelaksanaan gadai emas yaitu sebagai berikut:

a. Aturan BI ini menyebabkan pasar untuk gadai emas syariah semakin kecil, awalnya pasar gadai emas syariah berasal dari semua kalangan, nasabah menengah ke atas dapat menggadaikan emasnya dengan jumlah di atas Rp.250 juta. Dengan aturan baru BI, pasar gadai emas syariah hanya akan berkisar pada nasabah kelas menengah ke bawah atau segmen retail. Pasar yang semakin 88 Republika Online, “Dampak Aturan BI, Gadai Emas Turun Rp. 3 Trilyun”,

http://www.republika.co.id/berita/koran/news-update/13/04/10/ml1sz8-dampak-aturan-bi-gadai-emas-turun-rp-3-triliun, terakhir diakses tanggal 29 Juni 2014

89 Syariah Mandiri, “Bank Syariah Mandiri Pangkas Target Gadai Emas”,

(30)

mengecil akan membuat kompetisi antar bank syariah semakin besar atau semakin kompetitif.

b. Dengan pembatasan plafon maksimum Rp.250 juta artinya Perbankan Syariah menjalankan gadai emas syariah dalam range pembiayaan seperti Pegadaian Syariah karena nasabah Pegadaian Syariah umumnya melakukan gadai dengan nominal kecil untuk keperluan memenuhi kebutuhan. Fitur yang ditawarkan sama dan membuat persepi masyarakat juga sama ketika mereka ingin melakukan gadai emas baik di Pegadaian Syariah dan Perbankan Syariah. Nasabah yang melakukan gadai umumnya menginginkan mudah dan cepat namun untuk meningkatkan daya saing maka Bank Syariah Mandiri KCP Petisah mengunggulkan murah dalam biaya penyimpanan dan pemeliharaan.

c. Financing To Value (FTV) yang digunakan Pegadaian Syariah berbeda dengan yang digunakan Perbankan Syariah, misalnya Bank Syariah Mandiri KCP Petisah menggunakan HDE dalam melakukan penaksiran, sesuai ketentuan peraturan BI bank syariah boleh memiliki acuan sendiri untuk menetapkan FTV sepanjang lebih kecil atau sama dengan yang ditetapkan dalam peraturan (80% dari rata-rata harga jual emas 100 gram dan harga beli emas ANTAM). Namun Pegadaian Syariah bisa menetapkan FTV hingga 93% dari nilai acuan yang mereka gunakan. Hal ini menyebabkan nilai pembiayaan yang diterima nasabah melalui Pegadaian Syariah akan berbeda dengan melalui Bank Syariah Mandiri KCP Petisah.

(31)

tidak memiliki nilai maksimum pembiayaan bagi setiap nasabah dan tidak memiliki batas untuk melakukan perpanjangan sedangkan bank syariah terdapat pembatasan. Selama bank syariah melakukan penyesuaian plafon bagi nasabah yang memperoleh pembiayaan di atas Rp.250.000.000, banyak nasabah yang akhirnya beralih ke Pegadaian Syariah. Selama model bisnis seperti ini, maka dapat berpotensi penurunan kinerja gadai emas Perbankan Syariah.

e. Pertumbuhan Perbankan Syariah menjadi terhambat, hal ini dibuktikan sepanjang kuartal I tahun 2012, pembiayaan qardh beragun emas turun sekitar 12% dibandingkan posisi Desember 2011 dengan nilai hanya Rp.11,4 triliun dari sebelumnya Rp.13,1 triliun, kemudian pada Oktober 2012 turun lagi menjadi Rp.11,19 trilyun.

f. BI meminta dual control dalam menjalankan praktik gadai emas, untuk itu bank syariah ini melakukan penambahan fungsi Admin Gadai, sehingga Penaksir sudah tidak bisa lagi melakukan peng-input-an pencairan, perpanjangan, serta pelunasan. Hal ini memang memperlambattime deliveryke nasabah namun pihak Bank Syariah Mandiri KCP Petisah merespon positif pelaksanaan dual control ini.

(32)

Mandiri KCP Petisah harus meningkatkan kapasitas SDM yang memiliki kemampuan untuk pencapaian target pembiayaan gadai emas syariah.

Penerbitan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/7/DPbS pada tanggal 29 Februari 2012 perihal Produk Qardh Beragun Emas bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah ini berdampak sangat besar terhadap praktek ar-rahn, dalam ketentuan SEBI ini diatur bahwa Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah dalam menjalankan pembiayaan ar-rahn dengan akad al-qardh wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:90

1. Mengajukan permohonan izin terlebih dahulu kepada Bank Indonesia.

2. Memiliki kebijakan dan prosedur (Standard Operating Procedure/SOP) tertulis secara memadai, termasuk penerapan manajemen risiko.

3. Jumlah portofolio pembiayaanar-rahndengan akad al-qardh Bank Syariah pada setiap akhir bulan paling banyak adalah jumlah terkecil antara 20% dari jumlah seluruh pembiayaan yang diberikan atau 150% dari modal bank (Kewajiban Penyediaan Modal Minimum/KPMM); dan untuk Unit Usaha Syariah, sebesar 20% dari jumlah seluruh pembiayaan yang diberikan.

4. Jumlah pembiayaan paling banyak sebesar Rp.250.000.000,00 untuk setiap nasabah, dengan jangka waktu paling lama 4 bulan dan dapat diperpanjang paling banyak 2 kali. Khusus untuk nasabah UMK dapat diberikan pembiayaan paling

90 Surat Edaran Bank Indonesia No.14/7/DPbS tanggal 29 Februari 2012 perihal Produk

(33)

banyak sebesar Rp.50.000.000,00, dengan jangka waktu paling lama 1 tahun dengan angsuran setiap bulan dan tidak dapat diperpanjang.

5. Jumlah pembiayaan dibandingkan dengan nilai agunan atau Financing to Value (FTV) paling banyak 80% dari rata-rata harga jual emas 100 gram dan harga beli kembali (buyback) emas PT. ANTAM (Persero) Tbk.

6. Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah wajib menjelaskan secara lisan atau tertulis (transparan) kepada nasabah antara lain karakteristik produk (antara lain fitur, risiko, manfaat, biaya, persyaratan, dan penyelesaian apabila terdapat sengketa) dan hak dan kewajiban nasabah termasuk apabila terjadi eksekusi agunan emas.

Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah yang menjalankan produk pembiayaan ar-rahn dengan akad al-qardh sebelum memperoleh izin dari BI dikenakan sanksi teguran tertulis dan denda uang, dan bagi Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah yang menjalankan produk pembiayaan ar-rahn dengan akad al-qardh yang tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam SE dapat dikenakan sanksi berupa penghentian produk tersebut. Sehingga bagi Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah yang telah menjalankan produk pembiayaanar-rahn dengan akad al-qardh sebelum berlakunya SE ini wajib menyesuaikan:

(34)

2. Jumlah portofolio pembiayaanar-rahndengan akadal-qardh, jumlah dan jangka waktu pembiayaan setiap nasabah, dan FTV paling lama 1 tahun terhitung sejak berlakunya SE ini.

Contoh akibat dampak regulasi BI terhadap pembiayaanar-rahndengan akad al-qardh ini tampak dalam kasus gugatan Butet Kartaradjasa terhadap BRI Syariah, Butet Kartaradjasa menjadi nasabah gadai emas BRI Syariah di Yogyakarta pada Agustus 2011. Meski kontraknya adalah gadai emas, praktiknya tidak demikian. Dalam transaksi itu, Butet Kartaradjasa tidak menyerahkan emas. Skemanya justru lebih mirip kepemilikan logam mulia (KLM) atau membeli emas secara mencicil. Butet Kartaradjasa membeli emas di BRI Syariah sebanyak 4,83 kilogram dan 600 gram. Harga saat itu Rp 500.000-Rp 505.000 per gram. Ia menyetor dana 10% dari total harga emas. Sisanya diangsur tiga tahun. Butet Kartaradjasa juga harus membayar biaya titip hingga kontrak berakhir.

(35)

karena tidak sesuai dengan prinsip syariah. Dan akhirnya pihak bank melelang emas tersebut, selanjutnya Butet Kartaradjasa menuntut pihak BRI Syariah.

Dari uraian kasus tersebut terlihat bahwa perubahan kebijakan BI terhadap regulasi perbankan syariah, menyebabkan pihak manajemen perbankan mengambil sikap merevisi setiap praktek muamalah syariahnya, permasalahannya adalah apabila akad tersebut telah terjadi, kemudian dengan alasan adanya regulasi yang baru pihak manajemen perbankan syariah merombak seluruh aturannya, hal ini akan berimbas merugikan konsumen dan pihak perbankan syariah sendiri.

Perombakan seluruh aturan oleh manajemen perbankan syariah setelah terbitnya Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/7/DPbS pada tanggal 29 Februari 2012 perihal Produk Qardh Beragun Emas bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah (UUS), karena dengan adanya ketentuan BI tersebut, Bank Syariah dan Bank Syariah atau UUS yang akan melakukan penyaluran dana dalam produk pembiayaan ar-rahn dengan akad al-qardh harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia. Tata cara, persyaratan, dan dokumen dalam rangka permohonan persetujuan produk pembiayaan ar-rahn dengan akad al-qardh mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. Bank Syariah atau UUS juga wajib melaporkan realisasi pengeluaran produk pembiayaan ar-rahn dengan akad al-qardh paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah dikeluarkan produk tersebut.

(36)

4 bulan dan hanya bisa diperpanjang selama 2 bulan, walaupun ada pengecualian khusus bagi nasabah Usaha Mikro dan Kecil dapat diberikan pembiayaan ar-rahn dengan akad al-qardh paling banyak sebesar Rp.50.000.000,- dan jangka waktu pembiayaan paling lama 1 (satu) tahun dengan angsuran setiap bulan serta tidak dapat diperpanjang. Sebelum terbitnya Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/7/DPbS tidak ada batasan jumlah pembiayaan ar-rahn dengan akad al-qardh dan tidak ada batasan jangka waktu pembiayaan.

PT Bank Syariah Mandiri (BSM) sendiri sebelum terbitnya Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/7/DPbS pada tanggal 29 Februari 2012 sempat menghentikan sementara layanan gadai emasnya, karena harus melakukan peninjauan ulang dan konsolidasi internal guna penyesuaian prosedur operasional standar dalam praktek pembiayaanar-rahndengan akadal-qardh. Setelah terbit Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/7/DPbS tersebut, BSM melakukan perubahan pengaturan internal menyangkut produk pembiayaan ar-rahn dengan akad al-qardh, misalnya mengenai Financing To Value (FTV) dan jumlah maksimal pembiayaan menjadi maksimal Rp. 250 juta serta jangka waktu pembiayaan menjadi 4 (empat) bulan dan dapat diperpanjang atau dapat digadai ulang (setelah dilakukan penaksiran dan melunasi biaya gadai).

(37)

Penetapan FTV untuk produk pembiayaan ar-rahn dengan akad al-qardh PT Bank Syariah Mandiri adalah sebagai berikut:

1. FTV Perhiasan yaitu 85%. 2. FTV Logam Mulia yaitu 90%

Referensi

Dokumen terkait

Sekolah Menengah Pertama Islam Terpadu Nurul Islam yang ada di Tengaran Kabupaten Semarang adalah merupakan salah satu sekolah yang menggunakan metode ummi dalam

Ilustrasi atau gambar dalam media interaktif mudah dipahami dan memperjelas materi konsep dasar grading dan grade pola badan depan dengan media interaktif Saya merasa

Sementara itu transformasi Fourier F( ω ) diperoleh dengan mengembangkan perioda sinyal menjadi tak-hingga guna mencakup sinyal aperiodik yang kita anggap sebagai sinyal

Penelitian ini berfokus pada kehidupan anak dan peranan orang tua terhadap anak setelah putus sekolah. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan jenis penelitian

Dari hasil analisis tersebut dapat dikatakan bahwa perangkat pembelajaran yang dikembangkan dengan model PBL ini dapat digunakan untuk membantu mengatasi

Kode 1605 : Kontrol nyeri yaitu tindakan pribadi untuk mengon trol nyeri, meningkat dari 2 (jarang menunjukan) menjadi 4 (sering menunjukan) Indikator 160502 :

«Eski bedestenin Bizans yapısı olma­ sına karşılık Sandal bedesteni denilen yeni bedesten bir Türk eseridir».. Mehmed Zeki Pakalın'ın «Osmanlı Ta­ rih

Hasil penelitian kombinasi media ampas kelapa sawit dan dedak padi berdasarakan hasil Analisis Varian (ANAVA) menunjukan bahwa kombinasi media pada perlakuan A 50 % amapas