BAB 1
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Produksi karet di Indonesia meningkat secara perlahan dari 2.440.347 ton di tahun
2009 menjadi 2.990.184 ton pada 2011. Kemudian jumlah ini terus meningkat di tahun
2012 sebesar 3.040.376 dan diperkirakan pada tahun 2013 sebesar 3.100.000 ton.
Produksi karet Indonesia masih didominasi oleh karet rakyat dengan luasan terbesar
diusahakan oleh jutaan petani mandiri dan memberikan kontribusi besar dalam
menghasilkan devisa negara. Selain itu, karet rakyat mampu menyerap CO2 sebesar
121.942.555 ton per tahun yang dapat mengurangi pemanasan global (Reducing
Global Warming). Dengan demikian proses produksi karet rakyat tetap dapat menjaga
nilai-nilai ramah lingkungan (Environmentally Friendly Values) (Virdhani, 2013)
Produksi karet ini tentu akan bisa ditingkatkan dengan memberdayakan
lahan-lahan kosong yang masih tersedia dan disertai dengan perbaikan sistem tanam yang
lebih produktif. Namun, selain upaya perluasan lahan, inovasi peningkatan mutu dan
pemberian nilai tambah secara ekonomi pada produk-produk karet terus dilakukan
sehingga produk-produk tersebut dapat dimanfaatkan dalam berbagai bidang, bahkan
menjadi komponen barang-barang berteknologi tinggi. Salah satu cara adalah
pemanfaatan mineral alam yang tersedia melimpah seperti montmorillonit (MMT),
bentonit, zeolit dan clay (Bandyopadhyay, 2011).
Indonesia mempunyai deposit batuan bentonit yang sangat melimpah di
Indonesia dan tersebar di beberapa lokasi yaitu di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan
dan Sulawesi dengan jumlah cadangan lebih dari 380 juta ton. Ini merupakan aset yang
sangat potensial dan harus dimanfaatkan sebaik-baiknya (Syuhada dkk, 2009).
Sampai saat ini pengolahan bentonit masih terbatas, terutama bentonit alam
Aceh. Penelitian yang sudah dilakukan terhadap bentonit Aceh hanya sebatas
2003), untuk uji aktivitasnya pada reaksi kimia (Sheilatina, 2005) dan (Lubis, 2007)
dan bentonit yang digunakan hanya bentonit dari salah satu daerah di Aceh Utara.
Aceh merupakan daerah yang banyak mengandung bentonit yang mencapai
2.618.224.030,20 ton (Pusat Sumber daya geologi Aceh, 2009)
Kandungan utama bentonit adalah mineral monmorilonit (80%) dengan rumus
kimia Mx(Al4- xMgx)Si8O20(OH)4.nH2O. Kandungan lain dalam bentonit merupakan
pengotor dari beberapa jenis mineral seperti kwarsa, ilit, kalsit, mika dan klorit.
Struktur monmorilonit terdiri dari 3 lapis yang terdiri dari 1 lapisan alumina (AlO6)
berbentuk oktahedral pada bagian tengah diapit oleh 2 buah lapisan silika (SiO4)
berbentuk tetrahedral. Diantara lapisan oktahedral dan tetrahedral terdapat kation
monovalent maupun bivalent, seperti Na+, Ca2+ dan Mg2+ dan memiliki jarak (d-spacing) sekitar 1,2 – 1,5 μm. Studi tentang organobentonit menjadi suatu hal yang penting dalam pembuatan komposit berbasis bentonit. Lapisan-lapisan dalam bentonit
teraglomerasi (menggumpal) karena adanya gaya tarik menarik antar partikel. Dengan
teknik tertentu seperti modifikasi permukaan gaya tersebut dapat dikurangi sehingga
jarak antar lapis dalam struktur bentonit (d-spacing) akan bertambah besar (>1,5 nm).
Modifikasi dapat dilakukan dengan penambahan surfaktan, dimana bentonit yang
semula bersifat hidrofilik berubah menjadi hidrofobik sehingga memungkinkan
bentonit berinteraksi antarmuka dengan beberapa matriks polimer yang berbeda.
Bentonit hasil modifikasi dengan rantai alkil organik panjang yang disebut
organo-clay. Tanpa perlakuan organik ini, bentonit tidak akan menyebar ke polimer dan tetap
sebagai partikel berukuran mikron dan hanya sebagai pengisi biasa. Senyawa organik
yang paling umum digunakan adalah alkilamonium, yang memiliki berbagai panjang
rantai dan adanya gugus fungsi, bisa sebagai amina primer, amina sekunder, amina
tersier atau amina kuarterner. Alkilammonium, sampai saat ini sangat sukses dalam
sintesis dan dalam pengembangan bahan polimer nanokomposit (Morgan, 2007).
Perubahan sifat bentonit merupakan hasil dari penggantian kation anorganik
pembuatan nanokomposit antara material polimer dan organoclay pada fasa leleh,
diharapkan dengan adanya gaya puntir (shear) jarak antar layer pada organoclay akan
semakin membesar dan akhirnya terjadi delaminasi struktur pada bentonit atau lebih
dikenal dengan istilah eksfoliasi, dimana lapisan-lapisan bentonit dalam ukuran nano
ini akan terdispersi dalam matriks polimer (Syuhada, 2009). Kation eksternal dan
internal dapat ditukar dengan ion organik atau non organik lainnya, seperti ion alkil
ammonium kuaterner (Lagaly,1991). Syuhada pada tahun 2005 memodifikasi
permukaan bentonit dengan menggunakan
di-(hydrogenatedtallow)-dimetilamoniumklorida (DTAC) dengan rumus kimia [(CH3)2N+R1R2Cl], ternyata
terjadi peningkatan stabilitas panas dan d-spacing dibandingkan bentonit murni.
Yun-Hwei Shen pada tahun 2000 meneliti beberapa jenis surfaktan untuk memodifikasi
permukaan clay dengan membandingkan surfaktan non ionik dan kationik, dapat
disimpulkan bahwa surfaktan non ionik meningkatkan jarak antar lapis clay lebih baik
dibandingkan dengan menggunakan surfaktan kationik. Singla et al, (2012)
membuktikan bahwa pada modifikasi bentonit menjadi organobentonit terjadi
peningkatan basal spacing sebanding dengan bertambahnya panjang rantai alkil dari
ion alkil ammonium kuaterner yang digunakan sebagai surfaktan.
Bahan pengisi yang dimasukkan ke dalam suatu elastomer dalam upaya untuk
mengubah sifat bahan komposit sesuai yang diinginkan dan juga ditujukan untuk
mengurangi biaya. Pengisi yang biasa digunakan dalam industri karet termasuk karbon
hitam, mineral pengisi seperti karbonat tanah liat, silika dan kalsium. Okada et al,
(1995) meneliti bahwa karet akrilonitril-butadien dengan hanya 10 phr organoclay
dapat mencapai kekuatan tarik yang sama dengan menggunakan 40 phr karbon hitam.
Permeabilitas gas dari Ethylene Propylene Diene Monomer (EPDM)-clay meningkat
30% jika dibandingkan dengan EPDM-pristin (Usuki, 2002). Organoclay
meningkatkan derajat ikatan silang jika dibandingkan dengan karbon hitam, dimana
hanya dengan 10 phr organoclay memiliki sifat mekanik yang sama seperti kompon
Nanofillers merupakan sebuah seni dan paling menarik di antara pengisi karena
dapat berfungsi sebagai pengisi yang lebih baik dalam jumlah yang lebih sedikit.
Bidang nanoteknologi merupakan salah satu penelitian yang populer dalam ilmu
pengetahuan dan teknologi, terutama nanokomposit berbasis karet untuk difungsikan
dalam berbagai aplikasi. Beberapa tahun terakhir ini nanokomposit polimer berlapis
silikat (PLS) telah menarik minat yang besar karena dapat meningkatkan sifat material
yang luar biasa jika dibandingkan dengan polimer alami atau komposit konvensional.
Peningkatan sifat ini meliputi peningkatan modulus (Biswas, 2001), kekuatan dan
ketahanan panas (Giannelis, 1998), penurunan permeabilitas gas (Messersmith, 1995),
mudah terbakar (Gilman, 2000), serta peningkatan biodegradabilitas polimer (Ray,
2002; Vijaylekshmi, 2009).
Vijaylakshmi (2009) melakukan studi tentang pembuatan nanokomposit karet
alam/clay nanokomposit dengan menggabungkan karet alam-g-maleat anhidrat
dengan nanopartikel cloisit 30B. Penggunaan organoclay sebagai bahan pengisi juga
telah diteliti oleh Viet et al, (2008) dimana terjadi peningkatan modulus dan kekerasan
nanokomposit karet alam. Carli et al, (2011), telah membandingkan silika dan
organoclay sebagai bahan pengisi untuk nanokomposit karet alam dimana 50 phr silika
dapat digantikan dengan 4 phr organoclay dengan sifat mekanik yang sama.
Pemanfaatan nanokomposit karet alam-clay telah banyak digunakan dalam
bidang automotif antara lain sebagai komponen badan kendaraan, seal, dan ban.
Nanokomposit dibutuhkan dalam hal ini harus bersifat tahan panas, murah,
permeabilitas rendah, tahan lama, tahan kikis, hemat energi, tahan cuaca dan tidak
berisik. Sifat-sifat yang diperlukan ini dapat dipenuhi oleh nanokomposit karet
alam-clay. Mineral clay mudah tersedia di alam dan tidak memerlukan pengolahan dan
modifikasi yang rumit untuk menghasilkan nanopartikel clay (Bandyopadhyay, 2011).
Dalam bidang non-automotif nanokomposit karet alam/lempung menghasilkan
material yang lebih tahan lama dengan kualitas lebih baik dan telah digunakan untuk
Bentonit yang akan digunakan dari penelitian ini adalah dari bentonit alam
Aceh dan telah diambil dari Kecamatan Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Penelitian dilakukan dengan beberapa
pengujian untuk menyelidiki karakteristik dari bentonit alam Kabupaten Bener Meriah
sehingga menjadi bentonit nanopartikel dan akan digunakan sebagai filler
nanokomposit karet alam/organobentonit.
Selanjutnya penelitian ini membandingkan modifikasi organik dari surfaktan
anion, kation dan non ionik untuk dijadikan nanofiller dalam komposit karet alam.
Karet alam dengan sifat istimewanya yang elastis, sementara nanopartikel bentonit
yang telah dimodifikasi secara organik sedemikian rupa akan berikatan dengan karet
alam diharapkan dapat menghasilkan nanokomposit dimana adanya organobentonit
diharapkan dapat meningkatkan kekuatan karet alam tanpa mengurangi sifat
elastisitasnya.
1.2Permasalahan
Adapun permasalahan yang ditemui pada penelitian ini adalah :
1. Bagaimana teknik isolasi bentonit dan penyediaan nanopartikel bentonit
2. Bagaimana metode pembuatan organobentonit dengan menggunakan surfaktan
anion, kation dan non ionik
3. Bagaimana memanfaatkan bentonit termodifikasi surfaktan tersebut untuk
pembuatan nanokomposit karet alam/organobentonit
4. Bagaimana karakteristik bentonit termodifikasi surfaktan dan nanokomposit karet
alam/organobentonit yang terbentuk.
1.3Pembatasan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini dibatasi sebagai berikut:
1. Bentonit yang digunakan berasal dari Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten
2. Karet Alam yang digunakan berasal dari Perkebunan PTPN III Kecamatan Dolok
Merawan, Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara
3. Pembuatan nanopartikel bentonit dengan menggunakan high-energy Ball Mill
4. Modifikasi organobentonit menggunakan surfaktan CTAB, SDS dan PEG yang
didapat secara komersial
5. Pembuatan nanokomposit dengan cara pencampuran terbuka menggunakan two-
roll mill pada suhu kamar.
1.4Tujuan Penelitian
1. Mengisolasi bentonit dan mengubahnya menjadi nanopartikel bentonit
2. Memodifikasi permukaan nanopartikel bentonit menjadi bentonit termodifikasi
dan mengkarakterisasinya
3. Membuat nanokomposit karet alam/organobentonit
4. Menguji kekuatan tarik, kestabilan thermal, struktur dan uji morfologi dari
nanokomposit karet alam/organobentonit.
1.5Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah terhadap karet
alam dan bentonit dalam menghasilkan nanokomposit serta memberikan sumbangan
bagi peningkatan teknologi industri khususnya industri karet dan bahan galian
bentonit.
1.6Metodologi Penelitian
Penelitian ini bersifat eksperimen laboratorium, yaitu untuk memodifikasi permukaan
bentonit dan membuat nanokomposit karet alam/bentonit serta dilakukan dalam
beberapa tahap yaitu :
Tahap I : Proses pembuatan dan karakterisasi nanopartikel bentonit
CTAB, PEG dan SDS
Tahap III: Pembuatan dan karakterisasi nanokomposit karet alam/organobentonit
Adapun variabel yang digunakan adalah :
Variabel bebas : Komposisi nanopartikel bentonit
Variabel terikat : Hasil analisa uji XRD, SEM, uji tarik dan uji kestabilan
termal, analisa ukuran partikel dan pengukuran viskositas
Variabel tetap :1.Konsentrasi surfaktan 2,5 M
2. Temperatur Hot Press 150oC 3. Waktu vulkanisasi 15 menit
1.7. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan mulai bulan Januari 2013 sampai dengan Mei 2013 di
Laboratorium Kimia Polimer FMIPA USU, Laboratorium Pengujian Mutu Pabrik
Gunung Para PTPN III, Laboratorium Penelitian Teknik Kimia USU, Laboratorium