BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk sosial sangat membutuhkan rasa aman,
tenteram dan terlindungi. Terutama segala yang berkaitan dengan hubungan atau
interaksi terhadap sesama, sekitar dan komunitasnya. Setiap manusia memiliki
kepentingan namun jika kepentingan itu salah sasaran maka dapat merugikan atau
bahkan membahayakan orang lain. Negara sebagai payung tempat masyarakat
berteduh wajib memberikan solusi dan melindungi segala kepentingan
masyarakat agar tidak mengganggu dan saling merugikan antara yang satu
dengan yang lainnya.
Indonesia sebagai negara hukum, sebagaimana telah dinyatakan dengan
tegas dalam penjelasan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yaitu Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum
(rechstaat),2
Kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum. Sepanjang sejarah
peradaban manusia, peran sentral hukum dalam upaya menciptakan suasana yang
memungkinkan manusia merasa terlindungi, hidup berdampingan secara damai, hendaknya dapat melindungi warga negaranya berdasarkan
tujuan-tujuan negara, sebagaimana yang termuat dalam alinea ke-4 (empat) Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negeri Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan
ketertiban dunia.
2
dan menjaga eksistensinya di dunia telah diakui.3 Pengertian tersebut didasarkan
pada penglihatan hukum dalam arti kata materiil, sedangkan dalam arti kata
formil, hukum adalah kehendak manusia ciptaan manusia berupa norma-norma
yang berisikan petunjuk tingkah laku tentang apa yang boleh dilakukan dan
tentang apa yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang dan dianjurkan untuk
dilakukan.4
Kerusuhan yang pernah terjadi ialah demonstrasi menuntut pemekaran
daertah Sumatera Utara menjadi provinsi Tapanuli pada hari Selasa tanggal 3
Februari 2009 di Medan, yang berkembang menjadi kerusuhan, pemukulan Perlindungan hukum dirasakan begitu pentingnya dewasa ini karena
semakin maraknya permasalahan hukum, khususnya terjadinya tindak pidana.
Tindak pidana merupakan perbuatan yang merugikan tata kehidupan sosial.
Perkembangan tindak pidana menimbulkan dampak yang begitu besar kepada
kehidupan masyarakat. Berbagai macam kualifikasi tindak pidana yang terjadi
tengah- tengah masyarakat. Salah satu tindak pidana yang tidak jarang ditemukan
adalah kejahatan terhadap ketertiban umum sebagaimana diatur dalam KUHP.
Kejahatan terhadap ketertiban umum merupakan tindak kejahatan yang
meresahkan dan mengganggu ketertiban umum dalam masyarakat. Hal ini tampak
dari banyaknya kasus-kasus kejahatan yang diberitakan di berbagai media, baik
media cetak maupun media elektronik. Salah satu fenomena bentuk kejahatan
yang sering terjadi seperti tawuran pelajar, pengeroyokan, pembegalan, kerusuhan
dan sebagainya.
3
Jhonny Ibrahim, Teori & Metode Penelitian Hukum Normatif, (Bayumedia Publishing : Malang, 2005), hlm. 1.
4
terhadap ketua DPRD Abd. Azis Angkat yang mengakibatkan kematiannya,
perusakan gedung DPRD dan perabotnya. Kasus ini merupakan salah satu bentuk
kejahatan terhadap ketertiban umum yang diatur dalam Pasal 170 KUHP, di
samping delik lain yang dapat diterapkan sesuai dengan fakta di lapangan.5 Tidak
hanya itu, selama kurun waktu 2012 hingga awal 2013 tercatat ada 10 kasus
tindak kejahatan baik penganiayaan maupun pengeroyokan yang melibatka
kasusnya terjadi pada tanggal 13 April 2012 pukul 01.35 WIB di Jalan RE
Martadinata, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Pelaku segerombolan pengendara
motor dengan kurang lebih 200 orang dengan membawa parang, kayu, dan
lain-lain datang dari arah Kemayoran ke RE Martadinata - Permai dan melintas depan
Polsek Metro Tanjung Priok, selanjutnya ke Jalan Warakas I Gang 21 Belok
kanan masuk ke Kampung Bahari, selanjutnya melintasi rel kereta api dan masuk
ke Jalan RE Martadinata. Ada tiga korban, Nahrowi luka tusuk dibagian pinggang
kanan dan kiri, Ramdani luka sobek pada tangan kanan dan kiri, dan Tuherman
luka bengkak pada muka akibat pukulan.6
5
Andi Hamzah, Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) di dalam KUHP, (Sinar Grafika : Jakarta, 2009), hlm. 7.
Kasus kejahatan yang lain adalah
kejahatan kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama di muka umum oleh
beberapa orang di Lubuk Pakam yang menyebabkan seseorang luka parah karena
adanya dendam belaka. Perbuatan pidana yang dilakukan tersebut dalam
penerapan hukumnya menyatakan bahwa pelaku dibebaskan dari segala tuntutan
hukum.Oleh karena itu disinilah dibutuhkan pelaksanaan dan penegakan hukum
secara tegas, agar dapat memberantas tindak pidana yang meresahkan masyarakat
6
Pelaksanaan hukum merupakan salah satu cara untuk menciptakan tata
tertib, keamanan, ketentraman, dalam masyarakat. Pelaksanaan hukum ini, dapat
melalui usaha penegakan, maupun usaha pemberantasan atau penindakan karena
terjadinya pelanggaran hukum, dengan kata lain melalui upaya represif maupun
preventif. Secara umum, hukum pidana berfungsi mengatur kehidupan masyarakat
agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum.
Tujuan dari negara yang menganut sistem negara hukum sebagaimana
negara Indonesia adalah untuk mencapai suatu kehidupan yang adil dan makmur
bagi warganya, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Salah satu cara dalam
mencapai tujuan tersebut adalah dengan menempatkan masalah hukum pada
tempatnya, sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Artinya, hukum dijadikan
kaidah yang disepakati bersama sebagai alat untuk mencapai ketertiban dalam
masyarakat. Oleh karena itu harus ditaati bersama oleh seluruh lapisan
masyarakat, terlebih oleh aparatur penegak hukum, dengan cara menjalankan hak
dan kewajibannya sebagaimana mestinya.
Pengadilan merupakan salah satu tempat mencari keadilan dan kebenaran
dari suatu permasalahan hukum yang terjadi di negara Indonesia. Badan peradilan
ini adalah salah satu jalan untuk mendapatkan penyelesaian suatu perkara dalam
sebuah negara hukum. Sebagaimana disebutkan pada Pedoman Pelaksanaan
KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman, disebutkan bahwa tujuan
Hukum Acara Pidana adalah sebagai berikut :
dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”.
Hukum pidana di Indonesia dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
atau disebut sebagai KUHP telah memuat beberapa Pasal mengenai tindak pidana
dan sanksi bagi para pelaku kejahatan maupun pelanggar terutama terhadap
ketertiban umum. Ini semua tentu demi tercapainya masyarakat yang sejahtera dan
merdeka, dalam arti bebas melaksanakan segala kepentingan namun tetap dalam
koridor Undang-undang atau dengan kata lain tidak salah jalan.
Hukum Acara Pidana juga berperan dalam mengatur dan menentukan
bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan,
dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan dari hukum acara pidana
sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Jadi, hukum acara pidana ini
memberikan pembatasan kekuasaan badan-badan pemerintah tersebut sehingga
tidak terjadi kesewenangan, karena di lain pihak kekuasaan badan-badan tersebut
juga merupakan jaminan bagi berlakunya hukum, sehingga hak asasi setiap warga
negara terjamin.
Upaya penegakan hukum ini, harus didukung dengan adanya kerjasama
antara kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan sesuai dengan tugasnya masing-
masing sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang- undang. Selain itu, aparat
penegak hukum juga harus memiliki kredibilitas dan moralitas yang tinggi dalam
mewujudkan cita- cita hukum yang sebenarnya, supaya kiranya keadilan dapat
terwujud. Dalam mengahadapi tugasnya, aparat penegak hukum diharapkan
mampu melaksanakan tugas sebaik- baiknya. Tingkah laku penegak hukum
hukum berbuat kesalahan dalam menjalankan tugasnya yang mengakibatkan
kerugian warga masyarakat, akan menurunkan citra dan wibawa penegak hukum
itu sendiri.
Hakim memegang peranan penting dalam memutus suatu perkara, karena
kewajibannya menegakkan hukum di tengah- tengah masyarakat. Dalam
melaksanakan tugasnya tersebut, Hakim harus selalu berpegang pada prinsip
keadilan yang bebas dan tidak memihak seperti yang dituangkan dalam pasal 1
Undang- undang Nomor 4 tahun 2004 :
“Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”.
Hakim harus memperhatikan keadilan berdasarkan Pancasila, yang tidak
hanya didasarkan pada kodifikasi hukum saja, melainkan juga harus
mempertimbangkan dan mengingat perasaan keadilan yang hidup di dalam
masyarakat. Pembuktian juga turut mempengaruhi dan menjadi dasar
pertimbangan Hakim dalam membuat putusannya. Unsur pembuktian menjadi
unsur vital yang dijadikan bahan pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan
putusan, apakah itu putusan bebas, pemidanaan, atau bahkan putusan lepas dari
segala tuntutan hukum. Oleh karena itu pembuktian tentang benar tidaknya
terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian terpenting
dalam hukum acara pidana.7
Pertimbangan Hakim memegang peranan penting dalam memutuskan
terdakwa dalam suatu perkara pidana yang membebaskan Terdakwa. Namun,
7
apakah selamanya pertimbangan Hakim tersebut sudah bisa diterima oleh
terdakwa, Penuntut Umum, bahkan masyarakat? Hal ini perlu dicermati pula.
Kemudian, setelah putusan bebas ini ditetapkan oleh Hakim, masih ada hal yang
perlu diteliti, yaitu sesuai tidaknya putusan tersebut dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, karena kemungkinan itu selalu ada. Karena putusan
tersebut tidak diterima oleh Penuntut Umum, maka Penuntut umum mengajukan
kasasi ke Mahkamah Agung, untuk mengetahui apakah sudah benar putusan yang
telah dijatuhkan sebelumnya. Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang di atas,
maka penulis tertarik untuk menelaah lebih lanjut permasalahan mengenai apa
saja yang menjadi dasar pertimbangan hakim baik di Pengadilan Negeeri maupun
di Mahkamah Agung dalam menjatuhkan putusan kepada pelaku tindak pidana
kejahatan terhadap ketertiban umum dan menuangkannya dalam skripsi yang
berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana
Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum di dalam KUHP (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 1914/K/Pid/2012)”.
B. Perumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam skripsi ini adalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana pengaturan tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban umum
di dalam KUHP?
2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana bagi pelaku tindak pidana
kejahatan terhadap ketertiban umum berdasarkan Putusan Mahkamah
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengaturan tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban
umum menurut KUHP.
2. Untuk menganalisa dan mengkaji putusan Mahkamah Agung No. 1914
K/PID/2012 mengenai penerapan sanski pidana bagi pelaku tindak pidana
kejahatan terhadap ketertiban umum atas Terdakwa bernama Jufri
Antono.
Penulisan skripsi ini juga bermanfaat untuk :
1. Manfaat Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikirana secara
teoritis kepada disiplin ilmu hukum sehingga dapat berguna bagi pengembangan
ilmu hukum pidana di Indonesia khususnya berkaitan dengan
pengaturan-pengaturan penjatuhan hukuman tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban
umum.
2. Manfaat Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat untuk kepentingan
penegak hukum, sehingga dapat dijadikan masukan kepada aparatur pelaksana
penegakan hukum dalam rangka melaksanakan tugas-tugas mulianya
memperjuangkan keadilan dan mewujudkan tujuan hukum yang dicita-citakan.
D. Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi dengan judul Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku
Agung No. 1914 K/PID/2012) berdasarkan arsip hasil-hasil penulisan skripsi di
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) belum pernah dilakukan.
Penulisan skripsi ini adalah asli dari ide, gagasan pemikiran dan usaha
penulis sendiri tanpa ada penipuan, penjiplakan atau dengan cara lain yang dapat
merugikan pihak-pihak tertentu. Hasil dari upaya penulis dalam mencari
keterangan-keterangan yang berkaitan dengan judul baik berupa buku-buku
maupun internet, peraturan perundang-undangan dan pihak-pihak lain yang sangat
erat kaitannya dengan pemberantasan tindak pidana korupsi. Dengan demikian,
penulisan skripsi ini merupakan penulisan pertama dan asli adanya.
E. Tinjauan Pustaka
1. Pertanggungjawaban Pidana
a. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana
Seseorang dapat dihukum sekaligus memenuhi tuntutan keadilan dan
kemanusiaan, harus ada suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan
yang dapat dipersalahkan kepada pelakunya. Tambahan pada syarat-syarat ini
adalah bahwa pelaku yang bersangkutan harus merupakan seseorang yang dapat
dimintai pertanggungjawaban (toerekeningsvatbaar).8
Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing disebut sebagai
toerekeningsbaarheid, criminal responsibility, criminal liability, pertanggungjawaban pidana di sini dimaksudkan untuk menentukan apakah
8
seseorang tersebut dapat dipertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak
terhadap tindakan yang dilakukannya itu.9
Pertanggungjawaban pidana adalah pertangungjawaban orang terhadap
tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang
itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Dengan demikian, terjadinya
pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana pada hakikatnya
merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi
terhadap pelanggaran atas ‘kesepakatan menolak’ suatu perbuatan tertentu.10
Mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana bukan hanya
berarti sah menjatuhkan pidana terhadap orang itu, tetapi juga sepenuhnya dapat
diyakini bahwa memang pada tempat-tempatnya meminta pertanggungjawaban
atas tindak pidana yang dilakukannya. Pertanggungjawaban pidana tidak hanya
berarti ‘rightfully sentenced’ tetapi juga ‘rightfully accused’. Pertanggungjawaban pidana pertama-tama merupakan keadaan yang ada pada diri pembuat ketika
melakukan tindak pidan. Kemudian pertangungjawaban pidana juga berarti
menghubungkan antara keadaan pembuat tersebut dengan perbuatan dan sanksi
yang sepatutnya dijatuhkan. Dengan demikian, pengkajian dilakukan dua arah.
Pertama, pertanggungjawaban pidana ditempatkan dalam konteks sebagai
syarat-syarat faktual (conditioning facts) dari pemidanaan, karenanya mengemban aspek preventif. Kedua, pertanggungjawaban pidana merupakan akibat hukum (legal consequensces) dari keberadaan syarat faktual tersebut, sehingga merupakan bagian dari aspek represif hukum pidana. Pertanggungjawaban pidana
9
S. R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, (Alumni Ahaem-Peteheam : Jakarta, 1996), hlm. 245.
10
berhubungan dengan keadaan yang menjadi syarat adanya pemidanaan dan
konsekuensi hukum atas adanya hal itu.11
Pelaku tindak pidana dapat dikenakan sanksi pidana jika memenuhi
keseluruhan unsur-unsur pidana yang didakwakan dan dapat
dipertanggungjawabkan pidana. Sedangkan jika pelaku tidak memenuhi salah satu
unsur mengenai pertanggungjawaban pidana, maka tidak dapat dipidana. Adapun
unsur-unsur pertanggungjawaban pidana pidana adalah sebagai berikut:
b. Unsur-Unsur Pertanggungjawaban Pidana
12
Unsur pertanggungjawaban pidana dalam bentuk melakukan perbuatan
yang melawan hukum (wederrechtelijkheid) sebagai syarat mutlak dari tiap-tiap melakukan perbuatan pidana. Sifat melawan hukum dari tindak pidana yang
terdapat pada KUHP merumuskan delik tersebut secara tertulis dan juga tidak
tertulis. Jika rumusan delik tidak mencantumkan adanya sifat melawan hukum
suatu perbuatan pidana, maka unsur delik tersebut dianggap dengan diam-diam
telah ada, kecuali jika pelaku perbuatan dapat membuktikan tidak adanya sifat
melawan hukum tersebut.
1. Melakukan perbuatan yang melawan hukum atau perbuatan pidana ;
2. Untuk adanya pidana harus mampu bertanggungjawab ;
3. Mempunyai suatu bentuk kesalahan ;
4. Tidak adanya alasan pemaaf.
Ad. 1. Melakukan perbuatan yang melawan hukum atau perbuatan pidana
13
11Ibid.
, hlm. 63-64.
12
Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, (Bina Aksara : Jakarta, 1983,hlm. 71.
13Ibid.
Sifat melawan hukum dibedakan antara sifat melawan hukum formil
dan sifat melawan hukum materil. Sifat melawan hukum formil, maksudnya
adalah semua bagian yang tertulis dalam rumusan delik telah dipenuhi (jadi semua
syarat tertulis untuk dapat dipidana).14 Sedangkan sifat melawan hukum materil,
maksudnya adalah melanggar atau membahayakan kepentingan umum yang
hendak dilindungi oleh pembentuk undang-undang dalam rumusan delik
tertentu.15
Kemampuan bertanggung jawab merupakan unsur yang diwajibkan guna
memenuhi pertanggungjawaban suatu perbuatan pidana. Menurut Moeljatno, yang
menjadi dasar adanya kemampuan bertanggungjawab adalah : Ad. 2. Untuk adanya pidana harus mampu bertanggungjawab
16
KUHP tidak memberikan batasan tentang “mampu bertanggung jawab”
(teorekeningsvatbaarheid). Yang ada dalam KUHP ialah sebaliknya, pengertian negatifnya yakni “tidak dapat dipertanggungjawabkan”. Batasan-batasan
mengenai perbuatan pidana (dader) dianggap tidak mampu bertanggungjawab
menurut KUHP adalah :
1. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan
yang buruk yang sesuai hukum dan yang melawan hukum.
2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan
tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.
17
14
Sahetapy, Hukum Pidana, (Liberty : Yogyakarta, 2003), hlm. 39.
15
Ibid.
16
Moeljatno, Op. Cit., hlm. 165.
17
1. Kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akalyaa (Pasal 44 ayat (1)
KUHP) ;
2. Anak yang belum dewasa (Pasal 45 KUHP).
Dasar ketentuan KUHP tersebut di atas menyatakan bahwa pelaku
perbuatan pidana (dader) tidak termasuk mempunyai pertanggungjawaban pidana dalam melakukan perbuatan pidana.
Satochid Kartanegara mengatakan, bahwa dapat dipertanggungjawabkan
(toerekeningsyabaarheid) adalah mengenai keadaan jiwa seseorang, sedangkan pertanggunggjawaban adalah mengenai perbuatan yang dihubungkan dengan si
pelaku atau pembuat. Selanjutnya Satochid mengatakan, seseorang dapat
dipertanggungjawabkan jika : 18
Roeslan Saleh mengatakan dalam hal kemampuan bertanggung jawab
ada 2 faktor yaitu :
a. Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga dia dapat
mengerti atau tahu akan nilai perbuatannya itu, juga akan mengerti
akibatnya.
b. Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga menentukan
kehendaknya atas perbuatan yang dilakukan.
c. Orang itu sadar dan insyaf, bahwa perbuatan yang dilakukan adalah
perbuatan yang dilarang atau tidak dibenarkan dari sudut hukum,
masyarakat dan tata susila.
19
2. Kehendak. 1. Akal
18Ibid.
, hlm. 31.
19Ibid.
Akal atau daya pikir menentukan orang dapat membedakan antara
perbuatan yang diperbolehkan dan perbuatan yang tidak diperbolehkan. Dan
dengan kehendak atau kemauan atau keinginan orang dapat menyesuaikan tingkah
laku mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak diperbolehkan. Kemudian
Roeslan Saleh lebih lanjut mengatakan bahwa adanya kemampuan
bertanggungjawab ditentukan oleh dua faktor. Dengan akal dapat membedakan
antara perbuatan yang diperoleh atau tidak diperbolehkan, sedangkan faktor
kehendak bukan faktor yang menentukan mampu bertanggung jawab melainkan
salah satu faktor dalam menentukan kesalahan karena faktor kehendak adalah
tergantung dan kelanjutan dari faktor akal.20
Orang dikatakan mempunyai kesalahan jika dia pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihhat dari segi masyarakat dapat tercela karenanya, yaitu kenapa melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat padahal mampu untuk mengetahui makna (jelek) perbuatan tersebut dan karenanya dapat bahkan harus menghindari untuk berbuat demikian.
Ad. 3. Mempunyai suatu bentuk kesalahan
Perbuatan manusia dianggap mempunyai kesalahan atau “schuld” merupakan bagian dari unsur pertanggungjawaban pidana. Asas yang
dipergunakan dalam pertanggungjawaban pidana yaitu tidak dipidana jika tidak
ada kesalahan (geen straf zonder schuld ;actus non fasit reum nisi mens sir rea). Menurut Moeljatno, perbuatan manusia dianggap mempunyai kesalahan, jika :
21
Sedangkan menurut Simons sebagaimana dikutip dari bukunya
Moeljatno, kesalahan adalah “keadaan psychis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut
20Ibid.
, hlm. 33.
21
dengan perbuatan yang dilakukan yang sedemikian rupa, sehingga orang itu dapat
tercela karena melakukan perbuatan tadi.”22
Pertanggungjawaban pidana seseorang yang melakukan perbuatan
pidana dapat dibatalkan demi hukum jika terdapat alasan pemaaf atau
verontschukdiginsgrond. Alasan pemaaf menurut teori hukum adalah alasan yang menghapus kesalahan. Menurut Moeljatno, kalau ada alasan-alasan yang
menghapuskan kesalahan (alasan pemaaf), maka masih ada perbuatan pidana,
tetapi orangnya tidak dipidana (tidak dapat dipertanggungjawabkan). Dampak
yang terjadi akibat adanya alasan pemaaf bagi seseorang yang melakukan
perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat
melawan hukum, jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi tidak dipidana
karena tidak ada kesalahan. Menurut Andi Zainal Abidin mengemukakan sebagai
berikut : “Ketidakmampuan bertanggungjawab menghapuskan kesalahan dalam
arti luas dan oleh karena itu termasuk alasan pemaaf”.23
Sudarto berpendapat, alasan-alasan tidak dapat
dipertanggungjawabkannya seseorang atau tidak dipidananya seseorang karena 2
(dua) hal, yaitu :
Ad. 4. Tidak adanya alasan pemaaf
24
22
Ibid., hlm. 168.
23
Andi Zainal Abidin, Azas-Azas Hukum Pidana Bagian Pertama, (Alumni : Bandung, 1997), hlm. 223.
24
Sudarto dan Wonosusanto, Catatan Kuliah Hukum Pidana II, (Fakultas Hukum Universitas Surakarta : Surakarta, 1987), hlm. 1.
a. Meskipun perbuatan itu telah mencocoki rumusan delik, namun tidak
merupakan suatu tindak pidana karena tidak bersifat melawan hukum
b. Meskipun perbuatannya itu dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan
pidana, namun orangnya tidak dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatannya, karena padanya tidak ada kesalahan.
c. Hapusnya Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana bisa terhapus karena adanya sebab, baik
yang berkaitan dengan perbuatan si pelaku tindak pidana maupun sebab yang
berkaitan dengan pembuat delik. Adapun terhapusnya pertanggungjawaban pidana
karena adanya alasan-alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang
atau alasan-alasan tidak dapat dipidananya seseorang. Hal ini berdasarkan pada
dua alasan yaitu :25
Hukum pidana membedakan adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf.
Mengenai alasan pembenar dan alasan pemaaf, sebenarnya pembedaan ini tidak 1. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak
pada diri orang tersebut ;
2. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorant yang terletak di
luar dari diri orang tersebut.
Kedua alasan di atas menimbulkan kesan bahwa pembuat undang-undang
dengan tegas merujuk pada penekanan tidak dapat dipertanggungjawabkannya
orang, tidak dapat dipidananya pelaku / pembuat, bukan tidak dapat dipidananya
tindakan / perbuatan. Hal ini dipertegas lagi dalam Pasal 58 KUHP :
“Keadaan diri yang menyebabkan penghapusan, pengurangan atau penambahan hukumannya hanya boleh dipertimbangkan terhadap yang mengenai diri orang yang melakukan perbuatan itu atau diri si pembantu saja”.
25
penting bagi pembuat sendiri, karena jika ternyata ada alasan penghapusan pidana,
maka teranglah tidak akan dipidana.
Alasan penghapus pidana adalah alasan yang memungkinkan orang yang
melakukan perbatan yang sebenarnya telah memenuhi rumusan delik, untuk tidak
dipidana, dan ini merupakan kewewangan yang diberikan undang-undang kepada
hakim.26
Alasan penghapus pidana dapat dibagi dua ditinjau dari sudut pandang
doktrin, yaitu : 27
Diatur dalam Pasal 48 KUHP. Yang dimaksud keadaan darurat ialah
karena :
1. Alasan pembenar (rechtsvaardigingsgronden)
Alasan pembenar adalah alasan-alasan yang menghapuskan sifat melawan
hukumnya perbuatan. Artinya tidak dipidananya seseorang yang telah
melakukan perbuatan yang mencocoki rumusan delik disebabkan karena
hal-hal yang mengakibatkan tidak adanya sifat melawan hukumnya
perbuatan. Oleh karena alasan penghapus pidana ini menyangkut tentang
perbuatan, maka alasan ini berlaku untuk semua orang yang melakukan
perbuatan tersebut. Perbuatan yang pada umumnya dipandang sebagai
perbuatan yang keliru, dalam kejadian yang tertentu itu dipandang sebagai
perbuatan yang dibenarkan, bukanlah perbuatan yang keliru, meskipun
perbuatan ini telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang.
Adapun yang termasuk dalam alasan pembenar adalah :
a. Keadaan darurat (noodtostand)
26Ibid.
, hlm. 27.
27Ibid
1. Terdapat pertentangan antara dua kepentingan hukum / hak
(conflicht vanrechtplichten) ;
2. Terdapat pertentangan antara kepentingan hukum dengan kewajiban
hukum (conflicht van rechtsbelang on rechtsplicht) ;
3. Terdapat pertentangan antara kewajiban hukum dengan kewajiban
hukum (conflicht van rechtsbelangen). b. Pembelaan darurat / terpaksa (noodweer)
Diatur dalam Pasal 49 ayat 1 KUHP menentukan beberapa syarat yang
harus dipenuhi agar dapat disebut sebagai noodweer, yaitu : 1. Harus ada serangan :
a) yang seketika (ogenblikkelijk)
b) mengancam secara langsung (onmiddelijkdreigend) c) melawan hak
2. Ada pembelaan :
a) sifatnya mendesak (noodzakelijk)
b) pembelaan itu menunjukkan keseimbangan antara kepentingan
hukum yang dilanggar dan kepentingan hukum yang dibela
(geboden)
c) kepentingan hukum yang dibela hanya badan, kehormatan , harta
sendiri maupun orang lain.
c. Menjalankan peraturan perundang-undangan (wettelijkkvoorshrift) Diatur dalam Pasal 50 KUHP yang menentukan bahwa apa yang
diperintahkan oleh undang-undang atau wewenang yang diberikan oleh
suatu peristiwa pidana. Yang dimaksud dengan peraturan hukum di sini
ialah segala peraturan yang dikeluarkan oleh penguasa yang berhak
menetapkan peraturan di dalam batas wewenangnya.
d. Menjalankan perintah jabatan yang sah / berwenang (ambtelijkbevel) Diatur dalam Pasal 51 ayat (1) KUHP. Perlu diketahui dan diingat
bahwa dalam menjalankan perintah jabatan antara yang memerintah dan
yang diperintah harus ada hubungan yang didasarkan pada hukum
publik. Perintah yang diberikan untuk seorang majikan kepada
bawahannya di dalam hubungan hukum perdata tidak termasuk dalam
Pasal 51 KUHP ini.
2. Alasan pemaaf (schulduitsluitingsgronden)
Alasan pemaaf adalah alasan-alasan yang menghapuskan kesalahan dari si
pelaku / terdakwa. Artinya tidak dipidananya seseorang yang telah
melakukan perbuatan yang mencocoki rumusan delik disebabkan karena
tidak sepantasnya orang itu dicela, tidak sepatutnya dia disalahkan, maka
hal-hal yang menyebabkan dia tidak sepantasnya dicela itu disebut sebagai
hal-hal yang dapat memafkannya. Oleh karena alasan ini menyangkut
tentang kesalahan pelaku, maka alasan penghapus pidana ini berlaku hanya
untuk diri piribadi si pelaku / terdakwa. Adapun yang termasuk alasan
pemaaf adalah :
a. Ketidakmampuan bertanggungjawab (ontoerekeningsvatbaarheid) Diatur dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP menentukan bahwa orang yang
1. Jiwa / akal yang tumbuhnya tidak sempurna (gebrekkige outwikelling). Orang yang jiwanya tidak sempurna sebenarnya tidak sakit, akan tetapi karena cacat yang dibawa sejak lahir
2. Jiwa yang diganggu oleh penyakit, pada waktu lahirnya sehat, akan
tetapi kemudian dihinggapi penyakit seperti penyakit gila dan
sebagainya. Menurut Memorie van Toelichting (MVT), seseorang itu dikatakan tidak mampu bertanggungjawab apabila :
a) keadaan jiwa orang itu sedemikian rupa sehingga ia tidak
mengerti akan harga dan nilai sikap tindaknya ;
b) ia tidak dapat menentukan kehendaknya terhadp sikap tindaknya ;
c) ia tidak dapat menginsyafi bahwa sika tindak itu terlarang.
b. Daya paksa (overmacht)
Diatur dalam Pasal 48 KUHP menentukan bahwa suatu tindakan yang
dilakukan oleh seseorang karena terpaksa tidak dapat dihukum.
Menurut Memorie van Toelichting, yang dimaksud dengan overmacht
yaitu tiap kekuatan, tiap dorongan, tiap paksaan yang tidak dapat
dielakkan. Perkataan keterpaksaan bukan saja berarti fisik / jasmani,
tetapi jua tekanan psikis dan rohani. Menrut J. E. Jonkers, overmacht itu berwajah tiga rupa :
1. Overmacht yang bersifat mutlak (vis absoluta). Dalam hal ini orang terpaksa tidak mungkin dapat berbuat lain.
2. Overmacht dalam arti sempit yang bersifat nisbi (vis compulsiva) atau berat lawan. Orang yang terpaksa masih ada kesempatan untuk
layak tidak mungkin dapat dielakkan. Perbedaannya dengan
overmacht mutlak adalah dalam overmacht mutlak, orang yang memaksa itulah yang berbuat. Sedangkan dalam overmacht relatif, orang yang dipaksa itu yang berbuat.
3. Overmacht dalam arti noodtoestand atau keadaan darurat. c. Noodweer Excess
Diatur dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP menentukan bahwa pembelaan
yang melampaui batas merupakan perbatan yang terlarang, akan tetapi
karena perbuatan tersebu akibat dari suatu goncangan rasa yang
disebabkan oelah serangan misalnya naik darah, maka perbuatan
tersebut dapat dimaafkan oleh undang-undang.
d. Menjalankan perintah jabatan yang tidak sah (ambtelijk bevel)
Diatur dalam Pasal 51 ayat (2) KUHP. Orang yang melaksanakan
perintah tidak sah tidak dapat dipidana bila memenuhi syarat-syarat :
1. jika ia dengan itikad baik mengira bahwa perintah itu sah ;
2. jika perintah itu terletak dalam lingkungan kekuasaan orang yang
diperintah. Perlu diingat bahwa di dalam menjalankan perintah
jabatan antara yang memerintah dan yang diperintah harus ada
hubungan yang didasarkan pada hukum publik.
2. Tindak Pidana
a. Pengertian Tindak Pidana
Masalah pokok yang berhubungan dengan hukum pidana adalah
membicarakan tiga hal, yaitu :
b. Orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu
c. Pidana yang diancamkan terhadap pelanggar larangan itu
Kata “perbuatan yang dilarang” dalam hukum pidana mempunyai banyak
istilah dengan pengertiannya masing-masing, karena merupakan istilah yang
berasal dari bahasa Belanda : “strafbaarfeit” yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, antara lain :28
Tindak pidana (strafbaarfeit) adalah kelakuan yang diancam dengan pidana, bersifat melawan hukum, dan berhubung dengan kesalahan yang
dilakukan oleh orang yang bertanggung jawab. 1. Tindak Pidana
2. Peristiwa Pidana
3. Delik
4. Pelanggaran Pidana
5. Perbuatan yang boleh dihukum
6. Perbuatan yang dapat dihukum
7. Perbuatan pidana
Istilah dan pengertian tentang hal ini dapat dihindari dengan
menggunakan istilah “tindak pidana”. Dalam peraturan perundang-undangan
Indonesia tidak ditemukan defenisi tindak pidana, tetapi pengertian tindak pidana
yang dipahami selama ini merupakan kreasi teoritis para ahli hukum.
Pengertian tindak pidana (strafbaar feit), menurut para ahli hukum adalah: 1. Simons
29
28
Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (USU Press : Medan, 2013), hlm. 73.
29
2. Van Hamel
Tindak pidana (strafbaarfeit) adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam undang-undang, bersifat melawan hukum, patut dipidana dan dilakukan
dengan kesalahan.30
Tindak pidana adalah perbuatan manusia yang termasuk dalam lingkup
rumusan delik, bersifat melawan hukum, dan dapat dicela. 3. Schaffmeister
31
Suatu strafbaar feit (defenisi menurut hukum positif) itu sebenarnya adalah tidak lain daripada suatu tindakan yang menurut sesuatu rumusan
Undang-Undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. 4. Pompe
32
Tindak pidana merupakan perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan
diancam dengan pidana, di mana pengertian perbuatan disini selain perbuatan
yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum)
juga perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya
diharuskan oleh hukum). 5. Indriyanto Seno Adji
33
Teguh Prasetyo, HukumPidana, (PT Raja Grafindo Persada : Jakarta, 2014), hlm. 50. Pengertian tindak pidana dapat disimpulkan adalah suatu perbuatan yang
dilakukan manusia yang dapat bertanggung jawab yang mana perbuatan tersebut
dilarang atau diperintahkan atau dibolehkan oleh undang-undang hukum pidana
Tindak pidana dapat dibagi menjadi dua kelompok dalam KUHP, yaitu :34
Pelaku tindak pidana (Dader) menurut doktrin adalah barang siapa yang
melaksanakan semua unsur-unsur tindak pidana sebagai mana unsur-unsur tersebut
dirumuskan di dalam undang-undang menurut KUHP. Pelaku adalah orang yang
melakukan tindak pidana yang bersangkutan, dalam arti orang yang dengan suatu
kesengajaanatau suatu tidak sengajaan seperti yang diisyaratkan oleh
Undang telah menimbulkan suatu akibat yang tidak dikehendaki oleh
Undang-Undang, baik itu merupakan unsur-unsur subjektif maupun unsur-unsur obyektif,
tanpa memandang apakah keputusan untuk melakukan tindak pidana tersebut
timbul dari dirinya sendiri atau tidak karena digerakan oleh pihak ketiga.
1. Kejahatan (seperti yang termuat dalam buku II dari Pasal 104 sampai Pasal
488)
2. Pelanggaran (seperti yang termuat dalam buku III dari Pasal 489 sampai
Pasal 569)
b. Pelaku Tindak Pidana
Pengertian pelaku terbagi atas :
1. Pelaku menurut doktrin
35
Pelaku tindak pidana menurut KUHP adalah sebagai berikut : 2. Pelaku menurut KUHP
36
34
Moch. Lukman Fatahullah Rais, Tindak Pidana Perkelahian Pelajar, (Pustaka Sinar Harapan : Jakarta, 1997), hlm. 5.
35
Barda Nawawi Arif, Sari Kuliah Hukum Pidana II, (Fakultas Hukum Undip : Semarang, 1984), hlm. 37.
36
Leden Marpaung, Unsur-Unsur Perbuatan yang Dapat Dihukum, (Sinar Grafika : Jakarta, 1991), hlm. 94.
a. Orang yang melakukan
c. Orang yang turut serta melakukan
d. Orang yang membujuk melakukan
ad.a. Orang yang Melakukan (plegen)
Pelaku tindak pidana ini adalah seseorang yang secara langsung
melakukan semua unsur-unsur dari suatu tindak pidana, artinya orang tersebutlah
yang melakukan tindak pidana sebenarnya. Dalam hal ini, pelaku tindak pidana
terbagi dua, yaitu pelaku dalam arti sempit (hanya orang yang melakukan tindak
pidana) dan pelaku dalam arti luas (orang yang melakukan, orang yang menyuruh
melakukan, orang yang turut serta melakukan, dan orang yang membujuk
melakukan tindak pidana tersebut).37
Pelaku tindak pidana ini adalah seseorang yang menyuruh orang lain
untuk melakukan suatu tindak pidana. Dalam hal ini, orang tersebut tidak
melaksanakan sendiri. Paling sedikit harus ada dua orang, yaitu orang yang
menyuruh melakukan dan orang yang disuruh melakukan. Orang yang menyuruh
melakukan tindak pidana itu tidak melakukan secara langsung unsur-unsur dari
suatu tindak pidana, tetapi orang yang disuruhlah yang melakukan unsur-unsur
dari suatu tindak pidana tersebut. Dan orang yang disuruh itu adalah orang-orang
yang tidak dapat dipertanggungjawabkan (orang yang dikecualikan dari
hukuman). Dengan demikian, meskipun orang yang menyuruh ini tidak secara
langsung melakukan tindak pidana, akan tetapi dialah yang dianggap sebagai ad.b. Orang yang Menyuruh Melakukan (doen plegen)
37Ibid.
pelaku tindak pidana yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang
dilakukan oleh orang yang disuruhnya tersebut.38
Pelaku tindak pidana ini adalah seseorang yang bersama-sama dengan
orang lain melakukan unsur-unsur dari suatu tindak pidana. Dalam hal ini juga
paling sedikit ada dua orang yang secara sadar bersama-sama melakukan tindak
pidana tertentu. Dengan demikian, mereka juga secara bersama-sama dapat
dipertangungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan tersebut. ad.c. Orang yang Turut Serta Melakukan (medeplegen)
39
Pelaku tindak pidana ini adalah orang yang membujuk, menggerakkan
orang lain untuk melakukan unsur-unsur dari suatu tindak pidana. Dalam hal ini
juga paling sedikit ada dua orang pelaku tindak pidana, yaitu orang yang
membujuk dan orang yang dibujuk untuk melakuan tindak pidana tertentu. Orang
yang membujuk memberikan sarana atau cara-cara yang telah ditentukan secara
limitatif di dalam undang-undang (lihat Pasal 55 ayat (1) sub (2)) kepada orang
yang dibujuk agar mau melakukan tindak pidana tersebut. Dan orang yang
dibujuk tersebut adalah orang-orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan
demikian, orang yang dibujuklah yang secara langsung melakukan tindak pidana
tersebut dan pertanggungjawaban orang yang membujuk / menggerakkan adalah
pada apa yang digerakkannya, artinya apabila perbuatan tersebut melebihi apa
yang digerakkan oleh orang yang membujuk, maka perbuatan tersebut
dipertanggungjawabkan oleh orang yang dibujuk.
ad.d. Orang yang Membujuk Melakukan (uitlokking)
40
38Ibid.
, hlm. 96
39Ibid.
, hlm. 98
40Ibid.
3. Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum
a. Pengertian Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum
Kata kejahatan terhadap ketertiban umum atau misdrijven tegen de openbare orde telah dipakai oleh pembentuk undang-undang sebagaimana kumpulan bagi kejahatan-kejahatan, yang oleh pembentuk undang-undang telah
diatur dalam Buku II Bab V KUHP.41
Apabila orang melihat ke dalam Buku II Bab KUHP, maka segera orang
akan mengetahui, bahwa kejahatan yang diatur dalam Buku II Bab V KUHP
sebenarnya mempunyai sifat yang berbeda antara yang satu dengan yang lain,
bahkan dengan tepat Simons telah mengatakan, bahwa hubungan antara kejahatan
yang satu dengan kejahatan yang lain di dalam Buku II Bab V KUHP sifatnya
uiterst gering atau hampir tidak ada hubungannya sama sekali antara yang satu dengan yang lain.42
Simons menyebutkan kata kejahatan terhadap ketertiban umum yang
sifatnya kurang jelas atau vaag atau yang menurut sifatnya dapat diartikan secara lebih luas dari arti yang sebenarnya menurut pembentuk undang-undang telah
dipakai untuk menyebutkan sekumpulan kejahatan, yang menurut sifatnya dapat
menimbulkan bahaya bagi maatschappelijke orde en rust, atau dapat mendatangkan bahaya bagi ketertiban dan ketenteraman umum. 43
41
P. A. F. Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap Kepentingan Hukum Negara, (Sinar Grafika : Jakarta, 2010), hlm. 445.
42Ibid. 43Ibid.
Van Bemmelen dan Van Hattum telah menyebut kejahatan-kejahatan yang
diatur dalam Buku II Bab V KUHP sebagai kejahatan terhadap berfungsinya
masyarakat dan negara.44
Ketertiban umum di dalam Memorie van Toelichting diartikan dengan kejahatan yang sifatnya dapat menimbulkan bahaya bagi kehidupan masyarakat
(maatschappelijke leven) dan yang dapat menimbulkan bagi ketertiban alamiah di dalam masyarakat (‘de natuurlijke orde der maatschappij). Adapun kejahatan yang diatur dalam Buku II Bab V bukanlah kejahatan yang secara langsung
ditujukan terhadap :45
6. Tindak pidana menawarkan bantuan untuk melakukan tindak pidana ; 1. Keamanan dari negara ;
2. Tindakan-tindakan dari alat-alat perlengkapannya ;
3. Tubuh atau harta kekayaan dari seseorang tertentu.
b. Bentuk-Bentuk Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum
Bentuk-bentuk kejahatan terhadap ketertiban umum yang diatur dalam
Buku II Bab V KUHP adalah sebagai berikut:
1. Tindak pidana penodaan terhadap bendera kebangsaan, lagu kebangsaan,
dan lambang Negara ;
2. Tindak pidana menyatakan perasaan tak baik terhadap pemerintah ;
3. Tindak pidana menyatakan perasaan tak baik terhadap golongan tertentu ;
4. Tindak pidana menyelenggarakan pemilihan anggota untuk suatu lembaga
kenegaraan asing ;
5. Tindak pidana menghasut di muka umum ;
44Ibid.
7. Tindak pidana pembujukan (Uitlokking) melakukan suatu tindak pidana yang gagal ;
8. Tindak pidana tidak melaporkan akan adanya tindak pidana tertentu ;
9. Tindak pidana merusak keamanan di rumah (Huisvrede-Breuk) ;
10. Tindak pidana memasuki dengan paksa suatu ruangan dinas umum
(Openbare Dienst) ;
11. Tindak pidana turut serta dalam perkumpulan terlarang ;
12. Tindak pidana mengganggu ketentraman ;
13. Tindak pidana mengganggu dan merintangi rapat umum ;
14. Tindak pidana menggangg upacara agama dan upacara penguburan
jenazah ;
15. Tindak pidana mengenai kuburan atau mayat ;
F. Metode Penelitian Tinjauan 1. Jenis Penelitian
Penelitian dalam penulisan ini diarahkan kepada penelitan hukum normatif
dengan studi kasus. Kasus yang diteliti berkaitan dengan tindak pidana kejahatan
terhadap ketertiban umum dalam menganilis putusan Mahkamah Agung No.
1914/K/Pid/2012.
Metode penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah
untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi
normatifnya. Logika keilmuan dalam penelitian hukum normatif dibangun
berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja hukum itu sendiri. Dengan
demikian, tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah yuridis
kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.46 Penelitian hukum jenis ini
mengkonsepsi hukum sebagai apa yang tertulis dalam peraturan
perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepsikan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap pantas.47
2. Sumber Data
Sumber data penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang
diperoleh secara langsung dari masyarakat (data primer) dan dari bahan-bahan pustaka (data sekunder).48 Metode penelitian hukum normatif hanya mengenal data sekunder saja.49 Data sekunder tersebut terdiri dari bahan hukum primer ;
bahan hukum sekunder ; dan bahan hukum tersier.50
a) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri
dari :
1. Norma kaidah dasar yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia 1945 ;
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ;
3. Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam Nomor Perkara
346/Pid.B/2012/PN.LP ;
4. Putusan Mahkamah Agung Nomor Register 1914/K/Pid/2012.
b) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, diantaranya :
1. Buku-buku yang terkait dengan hukum ;
46
Johnny Ibrahim, Op. Cit., hlm. 321.
47
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (PT Raja Grafindo Persada : Jakarta, 2004), hlm. 18.
48
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (PT Raja Grafindo Persada : Jakarta, 2009), hlm. 12.
49
Amiruddin dan Zainal Asikin, Op. Cit.,hlm. 18.
50Ibid.
2. Artikel di jurnal hukum ;
3. Karya dari kalangan praktisi hukum ataupun akademis yang ada
hubungannya dengan penelitian ini.
c) Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, diantaranya :51
1. Kamus hukum dan kamus bahasa Indonesia
2. Ensiklopedia ;
3. Indeks kumulatif, dan seterusnya.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengambilan dan pengumpulan data dilaksanakan dengan cara
penelitian kepustakaan (library research) atau disebut juga dengan studi dokumen yang meliputi bahan hukum primer, sekunder maupun tersier.52
Proses analisis data dimulai dengan menelaaah seluruh data yang tersedia
dari berbagai sumber.
Studi kepustakaan
yang dimaksudkan dalam skripsi ini dieterapkan dengan mempelajari dan
menganalisa secara sistematis bahan-bahan yang utamanya berkaitan dengan
penjatuhan hukuman pidana kejahatan terhadap ketertiban umum, termasuk juga
bahan-bahan lainnya yang ada kaitannya dan dibahas dalam skripsi ini.
4. Analisis Data
53
51
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Penerbit Universitas Indonesia : Jakarta, 2008), hlm. 52.
52
Amiruddin dan Zainal Asikin, Loc. Cit.,hlm. 68.
53Ibid.
, hlm. 190
Adapun yang menjadi sumber utama dalam penulisan
skripsi ini adalah dari data sekunder. Analisis data dalam penelitian hukum
menggunakan metode penelitian kualitatif, yaitu dengan mengumpulkan data dari
menghubungkannya dengan masalah yang dibahas, kemudian menarik
kesimpulan dari penelitian.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini secara keseluruhan terbagi dalam 4
(empat) bab dan terdiri dari beberapa sub bab yang menguraikan permasalahan
dan pembahasan secara tersendiri dalam konteks yang saling berkaitan satu sama
lain. Sistematika penulisan skripsi ini secara terperinci adalah sebagai berikut :
BAB I : Berisikan pendahuluan yang didalamnya memaparkan mengenai
latar belakang penulisan skripsi, perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan
kepustakaan, yang mengemukakan berbagai defenisi, rumusan dan
pengertian dari istilah yang terkait dengan judul untuk memberi
batasan dan pembahasan mengenai istilah-istilah tersebut sebagai
gambaran umum dari skripsi ini, metode penulisan dan terakhir dari
bab ini diuraikan sistematika penulisan skripsi.
BAB II : Menguraikan tentang pengaturan tindak pidana kejahatan terhadap
ketertiban umum di dalam KUHP. Bab ini secara khusus
menguraikan konsep tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban
umum di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1 Tahun 1946
Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
BAB III : Merupakan pembahasan mengenai pertanggungjawaban pidana
pelaku tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban umum dalam
putusan Mahkamah Agung Nomor Register 1914/K/Pid/2012. Pada
pertimbangan hakim, amar putusan dan selanjutnya akan dianalisa
dan dikaji secara mendalam terhadap putusan yang diberikan
Majelis Hakim terhadap Terdakwa dalam perkara ini.