• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum Di Dalam Kuhp (Studi Putusan Ma No. 1914/K/Pid/2012)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum Di Dalam Kuhp (Studi Putusan Ma No. 1914/K/Pid/2012)"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia sebagai makhluk sosial sangat membutuhkan rasa aman,

tenteram dan terlindungi. Terutama segala yang berkaitan dengan hubungan atau

interaksi terhadap sesama, sekitar dan komunitasnya. Setiap manusia memiliki

kepentingan namun jika kepentingan itu salah sasaran maka dapat merugikan atau

bahkan membahayakan orang lain. Negara sebagai payung tempat masyarakat

berteduh wajib memberikan solusi dan melindungi segala kepentingan

masyarakat agar tidak mengganggu dan saling merugikan antara yang satu

dengan yang lainnya.

Indonesia sebagai negara hukum, sebagaimana telah dinyatakan dengan

tegas dalam penjelasan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 yaitu Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum

(rechstaat),2

Kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum. Sepanjang sejarah

peradaban manusia, peran sentral hukum dalam upaya menciptakan suasana yang

memungkinkan manusia merasa terlindungi, hidup berdampingan secara damai, hendaknya dapat melindungi warga negaranya berdasarkan

tujuan-tujuan negara, sebagaimana yang termuat dalam alinea ke-4 (empat) Pembukaan

Undang-Undang Dasar Negeri Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu melindungi

segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan

kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan

ketertiban dunia.

2

(2)

dan menjaga eksistensinya di dunia telah diakui.3 Pengertian tersebut didasarkan

pada penglihatan hukum dalam arti kata materiil, sedangkan dalam arti kata

formil, hukum adalah kehendak manusia ciptaan manusia berupa norma-norma

yang berisikan petunjuk tingkah laku tentang apa yang boleh dilakukan dan

tentang apa yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang dan dianjurkan untuk

dilakukan.4

Kerusuhan yang pernah terjadi ialah demonstrasi menuntut pemekaran

daertah Sumatera Utara menjadi provinsi Tapanuli pada hari Selasa tanggal 3

Februari 2009 di Medan, yang berkembang menjadi kerusuhan, pemukulan Perlindungan hukum dirasakan begitu pentingnya dewasa ini karena

semakin maraknya permasalahan hukum, khususnya terjadinya tindak pidana.

Tindak pidana merupakan perbuatan yang merugikan tata kehidupan sosial.

Perkembangan tindak pidana menimbulkan dampak yang begitu besar kepada

kehidupan masyarakat. Berbagai macam kualifikasi tindak pidana yang terjadi

tengah- tengah masyarakat. Salah satu tindak pidana yang tidak jarang ditemukan

adalah kejahatan terhadap ketertiban umum sebagaimana diatur dalam KUHP.

Kejahatan terhadap ketertiban umum merupakan tindak kejahatan yang

meresahkan dan mengganggu ketertiban umum dalam masyarakat. Hal ini tampak

dari banyaknya kasus-kasus kejahatan yang diberitakan di berbagai media, baik

media cetak maupun media elektronik. Salah satu fenomena bentuk kejahatan

yang sering terjadi seperti tawuran pelajar, pengeroyokan, pembegalan, kerusuhan

dan sebagainya.

3

Jhonny Ibrahim, Teori & Metode Penelitian Hukum Normatif, (Bayumedia Publishing : Malang, 2005), hlm. 1.

4

(3)

terhadap ketua DPRD Abd. Azis Angkat yang mengakibatkan kematiannya,

perusakan gedung DPRD dan perabotnya. Kasus ini merupakan salah satu bentuk

kejahatan terhadap ketertiban umum yang diatur dalam Pasal 170 KUHP, di

samping delik lain yang dapat diterapkan sesuai dengan fakta di lapangan.5 Tidak

hanya itu, selama kurun waktu 2012 hingga awal 2013 tercatat ada 10 kasus

tindak kejahatan baik penganiayaan maupun pengeroyokan yang melibatka

kasusnya terjadi pada tanggal 13 April 2012 pukul 01.35 WIB di Jalan RE

Martadinata, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Pelaku segerombolan pengendara

motor dengan kurang lebih 200 orang dengan membawa parang, kayu, dan

lain-lain datang dari arah Kemayoran ke RE Martadinata - Permai dan melintas depan

Polsek Metro Tanjung Priok, selanjutnya ke Jalan Warakas I Gang 21 Belok

kanan masuk ke Kampung Bahari, selanjutnya melintasi rel kereta api dan masuk

ke Jalan RE Martadinata. Ada tiga korban, Nahrowi luka tusuk dibagian pinggang

kanan dan kiri, Ramdani luka sobek pada tangan kanan dan kiri, dan Tuherman

luka bengkak pada muka akibat pukulan.6

5

Andi Hamzah, Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) di dalam KUHP, (Sinar Grafika : Jakarta, 2009), hlm. 7.

Kasus kejahatan yang lain adalah

kejahatan kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama di muka umum oleh

beberapa orang di Lubuk Pakam yang menyebabkan seseorang luka parah karena

adanya dendam belaka. Perbuatan pidana yang dilakukan tersebut dalam

penerapan hukumnya menyatakan bahwa pelaku dibebaskan dari segala tuntutan

hukum.Oleh karena itu disinilah dibutuhkan pelaksanaan dan penegakan hukum

secara tegas, agar dapat memberantas tindak pidana yang meresahkan masyarakat

6

(4)

Pelaksanaan hukum merupakan salah satu cara untuk menciptakan tata

tertib, keamanan, ketentraman, dalam masyarakat. Pelaksanaan hukum ini, dapat

melalui usaha penegakan, maupun usaha pemberantasan atau penindakan karena

terjadinya pelanggaran hukum, dengan kata lain melalui upaya represif maupun

preventif. Secara umum, hukum pidana berfungsi mengatur kehidupan masyarakat

agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum.

Tujuan dari negara yang menganut sistem negara hukum sebagaimana

negara Indonesia adalah untuk mencapai suatu kehidupan yang adil dan makmur

bagi warganya, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Salah satu cara dalam

mencapai tujuan tersebut adalah dengan menempatkan masalah hukum pada

tempatnya, sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Artinya, hukum dijadikan

kaidah yang disepakati bersama sebagai alat untuk mencapai ketertiban dalam

masyarakat. Oleh karena itu harus ditaati bersama oleh seluruh lapisan

masyarakat, terlebih oleh aparatur penegak hukum, dengan cara menjalankan hak

dan kewajibannya sebagaimana mestinya.

Pengadilan merupakan salah satu tempat mencari keadilan dan kebenaran

dari suatu permasalahan hukum yang terjadi di negara Indonesia. Badan peradilan

ini adalah salah satu jalan untuk mendapatkan penyelesaian suatu perkara dalam

sebuah negara hukum. Sebagaimana disebutkan pada Pedoman Pelaksanaan

KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman, disebutkan bahwa tujuan

Hukum Acara Pidana adalah sebagai berikut :

(5)

dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”.

Hukum pidana di Indonesia dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

atau disebut sebagai KUHP telah memuat beberapa Pasal mengenai tindak pidana

dan sanksi bagi para pelaku kejahatan maupun pelanggar terutama terhadap

ketertiban umum. Ini semua tentu demi tercapainya masyarakat yang sejahtera dan

merdeka, dalam arti bebas melaksanakan segala kepentingan namun tetap dalam

koridor Undang-undang atau dengan kata lain tidak salah jalan.

Hukum Acara Pidana juga berperan dalam mengatur dan menentukan

bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan,

dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan dari hukum acara pidana

sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Jadi, hukum acara pidana ini

memberikan pembatasan kekuasaan badan-badan pemerintah tersebut sehingga

tidak terjadi kesewenangan, karena di lain pihak kekuasaan badan-badan tersebut

juga merupakan jaminan bagi berlakunya hukum, sehingga hak asasi setiap warga

negara terjamin.

Upaya penegakan hukum ini, harus didukung dengan adanya kerjasama

antara kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan sesuai dengan tugasnya masing-

masing sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang- undang. Selain itu, aparat

penegak hukum juga harus memiliki kredibilitas dan moralitas yang tinggi dalam

mewujudkan cita- cita hukum yang sebenarnya, supaya kiranya keadilan dapat

terwujud. Dalam mengahadapi tugasnya, aparat penegak hukum diharapkan

mampu melaksanakan tugas sebaik- baiknya. Tingkah laku penegak hukum

(6)

hukum berbuat kesalahan dalam menjalankan tugasnya yang mengakibatkan

kerugian warga masyarakat, akan menurunkan citra dan wibawa penegak hukum

itu sendiri.

Hakim memegang peranan penting dalam memutus suatu perkara, karena

kewajibannya menegakkan hukum di tengah- tengah masyarakat. Dalam

melaksanakan tugasnya tersebut, Hakim harus selalu berpegang pada prinsip

keadilan yang bebas dan tidak memihak seperti yang dituangkan dalam pasal 1

Undang- undang Nomor 4 tahun 2004 :

“Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”.

Hakim harus memperhatikan keadilan berdasarkan Pancasila, yang tidak

hanya didasarkan pada kodifikasi hukum saja, melainkan juga harus

mempertimbangkan dan mengingat perasaan keadilan yang hidup di dalam

masyarakat. Pembuktian juga turut mempengaruhi dan menjadi dasar

pertimbangan Hakim dalam membuat putusannya. Unsur pembuktian menjadi

unsur vital yang dijadikan bahan pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan

putusan, apakah itu putusan bebas, pemidanaan, atau bahkan putusan lepas dari

segala tuntutan hukum. Oleh karena itu pembuktian tentang benar tidaknya

terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian terpenting

dalam hukum acara pidana.7

Pertimbangan Hakim memegang peranan penting dalam memutuskan

terdakwa dalam suatu perkara pidana yang membebaskan Terdakwa. Namun,

7

(7)

apakah selamanya pertimbangan Hakim tersebut sudah bisa diterima oleh

terdakwa, Penuntut Umum, bahkan masyarakat? Hal ini perlu dicermati pula.

Kemudian, setelah putusan bebas ini ditetapkan oleh Hakim, masih ada hal yang

perlu diteliti, yaitu sesuai tidaknya putusan tersebut dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku, karena kemungkinan itu selalu ada. Karena putusan

tersebut tidak diterima oleh Penuntut Umum, maka Penuntut umum mengajukan

kasasi ke Mahkamah Agung, untuk mengetahui apakah sudah benar putusan yang

telah dijatuhkan sebelumnya. Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang di atas,

maka penulis tertarik untuk menelaah lebih lanjut permasalahan mengenai apa

saja yang menjadi dasar pertimbangan hakim baik di Pengadilan Negeeri maupun

di Mahkamah Agung dalam menjatuhkan putusan kepada pelaku tindak pidana

kejahatan terhadap ketertiban umum dan menuangkannya dalam skripsi yang

berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana

Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum di dalam KUHP (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 1914/K/Pid/2012)”.

B. Perumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam skripsi ini adalah sebagai

berikut :

1. Bagaimana pengaturan tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban umum

di dalam KUHP?

2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana bagi pelaku tindak pidana

kejahatan terhadap ketertiban umum berdasarkan Putusan Mahkamah

(8)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui pengaturan tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban

umum menurut KUHP.

2. Untuk menganalisa dan mengkaji putusan Mahkamah Agung No. 1914

K/PID/2012 mengenai penerapan sanski pidana bagi pelaku tindak pidana

kejahatan terhadap ketertiban umum atas Terdakwa bernama Jufri

Antono.

Penulisan skripsi ini juga bermanfaat untuk :

1. Manfaat Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikirana secara

teoritis kepada disiplin ilmu hukum sehingga dapat berguna bagi pengembangan

ilmu hukum pidana di Indonesia khususnya berkaitan dengan

pengaturan-pengaturan penjatuhan hukuman tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban

umum.

2. Manfaat Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat untuk kepentingan

penegak hukum, sehingga dapat dijadikan masukan kepada aparatur pelaksana

penegakan hukum dalam rangka melaksanakan tugas-tugas mulianya

memperjuangkan keadilan dan mewujudkan tujuan hukum yang dicita-citakan.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi dengan judul Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku

(9)

Agung No. 1914 K/PID/2012) berdasarkan arsip hasil-hasil penulisan skripsi di

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) belum pernah dilakukan.

Penulisan skripsi ini adalah asli dari ide, gagasan pemikiran dan usaha

penulis sendiri tanpa ada penipuan, penjiplakan atau dengan cara lain yang dapat

merugikan pihak-pihak tertentu. Hasil dari upaya penulis dalam mencari

keterangan-keterangan yang berkaitan dengan judul baik berupa buku-buku

maupun internet, peraturan perundang-undangan dan pihak-pihak lain yang sangat

erat kaitannya dengan pemberantasan tindak pidana korupsi. Dengan demikian,

penulisan skripsi ini merupakan penulisan pertama dan asli adanya.

E. Tinjauan Pustaka

1. Pertanggungjawaban Pidana

a. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Seseorang dapat dihukum sekaligus memenuhi tuntutan keadilan dan

kemanusiaan, harus ada suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan

yang dapat dipersalahkan kepada pelakunya. Tambahan pada syarat-syarat ini

adalah bahwa pelaku yang bersangkutan harus merupakan seseorang yang dapat

dimintai pertanggungjawaban (toerekeningsvatbaar).8

Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing disebut sebagai

toerekeningsbaarheid, criminal responsibility, criminal liability, pertanggungjawaban pidana di sini dimaksudkan untuk menentukan apakah

8

(10)

seseorang tersebut dapat dipertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak

terhadap tindakan yang dilakukannya itu.9

Pertanggungjawaban pidana adalah pertangungjawaban orang terhadap

tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang

itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Dengan demikian, terjadinya

pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana pada hakikatnya

merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi

terhadap pelanggaran atas ‘kesepakatan menolak’ suatu perbuatan tertentu.10

Mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana bukan hanya

berarti sah menjatuhkan pidana terhadap orang itu, tetapi juga sepenuhnya dapat

diyakini bahwa memang pada tempat-tempatnya meminta pertanggungjawaban

atas tindak pidana yang dilakukannya. Pertanggungjawaban pidana tidak hanya

berarti ‘rightfully sentenced’ tetapi juga ‘rightfully accused’. Pertanggungjawaban pidana pertama-tama merupakan keadaan yang ada pada diri pembuat ketika

melakukan tindak pidan. Kemudian pertangungjawaban pidana juga berarti

menghubungkan antara keadaan pembuat tersebut dengan perbuatan dan sanksi

yang sepatutnya dijatuhkan. Dengan demikian, pengkajian dilakukan dua arah.

Pertama, pertanggungjawaban pidana ditempatkan dalam konteks sebagai

syarat-syarat faktual (conditioning facts) dari pemidanaan, karenanya mengemban aspek preventif. Kedua, pertanggungjawaban pidana merupakan akibat hukum (legal consequensces) dari keberadaan syarat faktual tersebut, sehingga merupakan bagian dari aspek represif hukum pidana. Pertanggungjawaban pidana

9

S. R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, (Alumni Ahaem-Peteheam : Jakarta, 1996), hlm. 245.

10

(11)

berhubungan dengan keadaan yang menjadi syarat adanya pemidanaan dan

konsekuensi hukum atas adanya hal itu.11

Pelaku tindak pidana dapat dikenakan sanksi pidana jika memenuhi

keseluruhan unsur-unsur pidana yang didakwakan dan dapat

dipertanggungjawabkan pidana. Sedangkan jika pelaku tidak memenuhi salah satu

unsur mengenai pertanggungjawaban pidana, maka tidak dapat dipidana. Adapun

unsur-unsur pertanggungjawaban pidana pidana adalah sebagai berikut:

b. Unsur-Unsur Pertanggungjawaban Pidana

12

Unsur pertanggungjawaban pidana dalam bentuk melakukan perbuatan

yang melawan hukum (wederrechtelijkheid) sebagai syarat mutlak dari tiap-tiap melakukan perbuatan pidana. Sifat melawan hukum dari tindak pidana yang

terdapat pada KUHP merumuskan delik tersebut secara tertulis dan juga tidak

tertulis. Jika rumusan delik tidak mencantumkan adanya sifat melawan hukum

suatu perbuatan pidana, maka unsur delik tersebut dianggap dengan diam-diam

telah ada, kecuali jika pelaku perbuatan dapat membuktikan tidak adanya sifat

melawan hukum tersebut.

1. Melakukan perbuatan yang melawan hukum atau perbuatan pidana ;

2. Untuk adanya pidana harus mampu bertanggungjawab ;

3. Mempunyai suatu bentuk kesalahan ;

4. Tidak adanya alasan pemaaf.

Ad. 1. Melakukan perbuatan yang melawan hukum atau perbuatan pidana

13

11Ibid.

, hlm. 63-64.

12

Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, (Bina Aksara : Jakarta, 1983,hlm. 71.

13Ibid.

(12)

Sifat melawan hukum dibedakan antara sifat melawan hukum formil

dan sifat melawan hukum materil. Sifat melawan hukum formil, maksudnya

adalah semua bagian yang tertulis dalam rumusan delik telah dipenuhi (jadi semua

syarat tertulis untuk dapat dipidana).14 Sedangkan sifat melawan hukum materil,

maksudnya adalah melanggar atau membahayakan kepentingan umum yang

hendak dilindungi oleh pembentuk undang-undang dalam rumusan delik

tertentu.15

Kemampuan bertanggung jawab merupakan unsur yang diwajibkan guna

memenuhi pertanggungjawaban suatu perbuatan pidana. Menurut Moeljatno, yang

menjadi dasar adanya kemampuan bertanggungjawab adalah : Ad. 2. Untuk adanya pidana harus mampu bertanggungjawab

16

KUHP tidak memberikan batasan tentang “mampu bertanggung jawab”

(teorekeningsvatbaarheid). Yang ada dalam KUHP ialah sebaliknya, pengertian negatifnya yakni “tidak dapat dipertanggungjawabkan”. Batasan-batasan

mengenai perbuatan pidana (dader) dianggap tidak mampu bertanggungjawab

menurut KUHP adalah :

1. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan

yang buruk yang sesuai hukum dan yang melawan hukum.

2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan

tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.

17

14

Sahetapy, Hukum Pidana, (Liberty : Yogyakarta, 2003), hlm. 39.

15

Ibid.

16

Moeljatno, Op. Cit., hlm. 165.

17

(13)

1. Kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akalyaa (Pasal 44 ayat (1)

KUHP) ;

2. Anak yang belum dewasa (Pasal 45 KUHP).

Dasar ketentuan KUHP tersebut di atas menyatakan bahwa pelaku

perbuatan pidana (dader) tidak termasuk mempunyai pertanggungjawaban pidana dalam melakukan perbuatan pidana.

Satochid Kartanegara mengatakan, bahwa dapat dipertanggungjawabkan

(toerekeningsyabaarheid) adalah mengenai keadaan jiwa seseorang, sedangkan pertanggunggjawaban adalah mengenai perbuatan yang dihubungkan dengan si

pelaku atau pembuat. Selanjutnya Satochid mengatakan, seseorang dapat

dipertanggungjawabkan jika : 18

Roeslan Saleh mengatakan dalam hal kemampuan bertanggung jawab

ada 2 faktor yaitu :

a. Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga dia dapat

mengerti atau tahu akan nilai perbuatannya itu, juga akan mengerti

akibatnya.

b. Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga menentukan

kehendaknya atas perbuatan yang dilakukan.

c. Orang itu sadar dan insyaf, bahwa perbuatan yang dilakukan adalah

perbuatan yang dilarang atau tidak dibenarkan dari sudut hukum,

masyarakat dan tata susila.

19

2. Kehendak. 1. Akal

18Ibid.

, hlm. 31.

19Ibid.

(14)

Akal atau daya pikir menentukan orang dapat membedakan antara

perbuatan yang diperbolehkan dan perbuatan yang tidak diperbolehkan. Dan

dengan kehendak atau kemauan atau keinginan orang dapat menyesuaikan tingkah

laku mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak diperbolehkan. Kemudian

Roeslan Saleh lebih lanjut mengatakan bahwa adanya kemampuan

bertanggungjawab ditentukan oleh dua faktor. Dengan akal dapat membedakan

antara perbuatan yang diperoleh atau tidak diperbolehkan, sedangkan faktor

kehendak bukan faktor yang menentukan mampu bertanggung jawab melainkan

salah satu faktor dalam menentukan kesalahan karena faktor kehendak adalah

tergantung dan kelanjutan dari faktor akal.20

Orang dikatakan mempunyai kesalahan jika dia pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihhat dari segi masyarakat dapat tercela karenanya, yaitu kenapa melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat padahal mampu untuk mengetahui makna (jelek) perbuatan tersebut dan karenanya dapat bahkan harus menghindari untuk berbuat demikian.

Ad. 3. Mempunyai suatu bentuk kesalahan

Perbuatan manusia dianggap mempunyai kesalahan atau “schuld” merupakan bagian dari unsur pertanggungjawaban pidana. Asas yang

dipergunakan dalam pertanggungjawaban pidana yaitu tidak dipidana jika tidak

ada kesalahan (geen straf zonder schuld ;actus non fasit reum nisi mens sir rea). Menurut Moeljatno, perbuatan manusia dianggap mempunyai kesalahan, jika :

21

Sedangkan menurut Simons sebagaimana dikutip dari bukunya

Moeljatno, kesalahan adalah “keadaan psychis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut

20Ibid.

, hlm. 33.

21

(15)

dengan perbuatan yang dilakukan yang sedemikian rupa, sehingga orang itu dapat

tercela karena melakukan perbuatan tadi.”22

Pertanggungjawaban pidana seseorang yang melakukan perbuatan

pidana dapat dibatalkan demi hukum jika terdapat alasan pemaaf atau

verontschukdiginsgrond. Alasan pemaaf menurut teori hukum adalah alasan yang menghapus kesalahan. Menurut Moeljatno, kalau ada alasan-alasan yang

menghapuskan kesalahan (alasan pemaaf), maka masih ada perbuatan pidana,

tetapi orangnya tidak dipidana (tidak dapat dipertanggungjawabkan). Dampak

yang terjadi akibat adanya alasan pemaaf bagi seseorang yang melakukan

perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat

melawan hukum, jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi tidak dipidana

karena tidak ada kesalahan. Menurut Andi Zainal Abidin mengemukakan sebagai

berikut : “Ketidakmampuan bertanggungjawab menghapuskan kesalahan dalam

arti luas dan oleh karena itu termasuk alasan pemaaf”.23

Sudarto berpendapat, alasan-alasan tidak dapat

dipertanggungjawabkannya seseorang atau tidak dipidananya seseorang karena 2

(dua) hal, yaitu :

Ad. 4. Tidak adanya alasan pemaaf

24

22

Ibid., hlm. 168.

23

Andi Zainal Abidin, Azas-Azas Hukum Pidana Bagian Pertama, (Alumni : Bandung, 1997), hlm. 223.

24

Sudarto dan Wonosusanto, Catatan Kuliah Hukum Pidana II, (Fakultas Hukum Universitas Surakarta : Surakarta, 1987), hlm. 1.

a. Meskipun perbuatan itu telah mencocoki rumusan delik, namun tidak

merupakan suatu tindak pidana karena tidak bersifat melawan hukum

(16)

b. Meskipun perbuatannya itu dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan

pidana, namun orangnya tidak dapat dipertanggungjawabkan atas

perbuatannya, karena padanya tidak ada kesalahan.

c. Hapusnya Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana bisa terhapus karena adanya sebab, baik

yang berkaitan dengan perbuatan si pelaku tindak pidana maupun sebab yang

berkaitan dengan pembuat delik. Adapun terhapusnya pertanggungjawaban pidana

karena adanya alasan-alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang

atau alasan-alasan tidak dapat dipidananya seseorang. Hal ini berdasarkan pada

dua alasan yaitu :25

Hukum pidana membedakan adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf.

Mengenai alasan pembenar dan alasan pemaaf, sebenarnya pembedaan ini tidak 1. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak

pada diri orang tersebut ;

2. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorant yang terletak di

luar dari diri orang tersebut.

Kedua alasan di atas menimbulkan kesan bahwa pembuat undang-undang

dengan tegas merujuk pada penekanan tidak dapat dipertanggungjawabkannya

orang, tidak dapat dipidananya pelaku / pembuat, bukan tidak dapat dipidananya

tindakan / perbuatan. Hal ini dipertegas lagi dalam Pasal 58 KUHP :

“Keadaan diri yang menyebabkan penghapusan, pengurangan atau penambahan hukumannya hanya boleh dipertimbangkan terhadap yang mengenai diri orang yang melakukan perbuatan itu atau diri si pembantu saja”.

25

(17)

penting bagi pembuat sendiri, karena jika ternyata ada alasan penghapusan pidana,

maka teranglah tidak akan dipidana.

Alasan penghapus pidana adalah alasan yang memungkinkan orang yang

melakukan perbatan yang sebenarnya telah memenuhi rumusan delik, untuk tidak

dipidana, dan ini merupakan kewewangan yang diberikan undang-undang kepada

hakim.26

Alasan penghapus pidana dapat dibagi dua ditinjau dari sudut pandang

doktrin, yaitu : 27

Diatur dalam Pasal 48 KUHP. Yang dimaksud keadaan darurat ialah

karena :

1. Alasan pembenar (rechtsvaardigingsgronden)

Alasan pembenar adalah alasan-alasan yang menghapuskan sifat melawan

hukumnya perbuatan. Artinya tidak dipidananya seseorang yang telah

melakukan perbuatan yang mencocoki rumusan delik disebabkan karena

hal-hal yang mengakibatkan tidak adanya sifat melawan hukumnya

perbuatan. Oleh karena alasan penghapus pidana ini menyangkut tentang

perbuatan, maka alasan ini berlaku untuk semua orang yang melakukan

perbuatan tersebut. Perbuatan yang pada umumnya dipandang sebagai

perbuatan yang keliru, dalam kejadian yang tertentu itu dipandang sebagai

perbuatan yang dibenarkan, bukanlah perbuatan yang keliru, meskipun

perbuatan ini telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang.

Adapun yang termasuk dalam alasan pembenar adalah :

a. Keadaan darurat (noodtostand)

26Ibid.

, hlm. 27.

27Ibid

(18)

1. Terdapat pertentangan antara dua kepentingan hukum / hak

(conflicht vanrechtplichten) ;

2. Terdapat pertentangan antara kepentingan hukum dengan kewajiban

hukum (conflicht van rechtsbelang on rechtsplicht) ;

3. Terdapat pertentangan antara kewajiban hukum dengan kewajiban

hukum (conflicht van rechtsbelangen). b. Pembelaan darurat / terpaksa (noodweer)

Diatur dalam Pasal 49 ayat 1 KUHP menentukan beberapa syarat yang

harus dipenuhi agar dapat disebut sebagai noodweer, yaitu : 1. Harus ada serangan :

a) yang seketika (ogenblikkelijk)

b) mengancam secara langsung (onmiddelijkdreigend) c) melawan hak

2. Ada pembelaan :

a) sifatnya mendesak (noodzakelijk)

b) pembelaan itu menunjukkan keseimbangan antara kepentingan

hukum yang dilanggar dan kepentingan hukum yang dibela

(geboden)

c) kepentingan hukum yang dibela hanya badan, kehormatan , harta

sendiri maupun orang lain.

c. Menjalankan peraturan perundang-undangan (wettelijkkvoorshrift) Diatur dalam Pasal 50 KUHP yang menentukan bahwa apa yang

diperintahkan oleh undang-undang atau wewenang yang diberikan oleh

(19)

suatu peristiwa pidana. Yang dimaksud dengan peraturan hukum di sini

ialah segala peraturan yang dikeluarkan oleh penguasa yang berhak

menetapkan peraturan di dalam batas wewenangnya.

d. Menjalankan perintah jabatan yang sah / berwenang (ambtelijkbevel) Diatur dalam Pasal 51 ayat (1) KUHP. Perlu diketahui dan diingat

bahwa dalam menjalankan perintah jabatan antara yang memerintah dan

yang diperintah harus ada hubungan yang didasarkan pada hukum

publik. Perintah yang diberikan untuk seorang majikan kepada

bawahannya di dalam hubungan hukum perdata tidak termasuk dalam

Pasal 51 KUHP ini.

2. Alasan pemaaf (schulduitsluitingsgronden)

Alasan pemaaf adalah alasan-alasan yang menghapuskan kesalahan dari si

pelaku / terdakwa. Artinya tidak dipidananya seseorang yang telah

melakukan perbuatan yang mencocoki rumusan delik disebabkan karena

tidak sepantasnya orang itu dicela, tidak sepatutnya dia disalahkan, maka

hal-hal yang menyebabkan dia tidak sepantasnya dicela itu disebut sebagai

hal-hal yang dapat memafkannya. Oleh karena alasan ini menyangkut

tentang kesalahan pelaku, maka alasan penghapus pidana ini berlaku hanya

untuk diri piribadi si pelaku / terdakwa. Adapun yang termasuk alasan

pemaaf adalah :

a. Ketidakmampuan bertanggungjawab (ontoerekeningsvatbaarheid) Diatur dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP menentukan bahwa orang yang

(20)

1. Jiwa / akal yang tumbuhnya tidak sempurna (gebrekkige outwikelling). Orang yang jiwanya tidak sempurna sebenarnya tidak sakit, akan tetapi karena cacat yang dibawa sejak lahir

2. Jiwa yang diganggu oleh penyakit, pada waktu lahirnya sehat, akan

tetapi kemudian dihinggapi penyakit seperti penyakit gila dan

sebagainya. Menurut Memorie van Toelichting (MVT), seseorang itu dikatakan tidak mampu bertanggungjawab apabila :

a) keadaan jiwa orang itu sedemikian rupa sehingga ia tidak

mengerti akan harga dan nilai sikap tindaknya ;

b) ia tidak dapat menentukan kehendaknya terhadp sikap tindaknya ;

c) ia tidak dapat menginsyafi bahwa sika tindak itu terlarang.

b. Daya paksa (overmacht)

Diatur dalam Pasal 48 KUHP menentukan bahwa suatu tindakan yang

dilakukan oleh seseorang karena terpaksa tidak dapat dihukum.

Menurut Memorie van Toelichting, yang dimaksud dengan overmacht

yaitu tiap kekuatan, tiap dorongan, tiap paksaan yang tidak dapat

dielakkan. Perkataan keterpaksaan bukan saja berarti fisik / jasmani,

tetapi jua tekanan psikis dan rohani. Menrut J. E. Jonkers, overmacht itu berwajah tiga rupa :

1. Overmacht yang bersifat mutlak (vis absoluta). Dalam hal ini orang terpaksa tidak mungkin dapat berbuat lain.

2. Overmacht dalam arti sempit yang bersifat nisbi (vis compulsiva) atau berat lawan. Orang yang terpaksa masih ada kesempatan untuk

(21)

layak tidak mungkin dapat dielakkan. Perbedaannya dengan

overmacht mutlak adalah dalam overmacht mutlak, orang yang memaksa itulah yang berbuat. Sedangkan dalam overmacht relatif, orang yang dipaksa itu yang berbuat.

3. Overmacht dalam arti noodtoestand atau keadaan darurat. c. Noodweer Excess

Diatur dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP menentukan bahwa pembelaan

yang melampaui batas merupakan perbatan yang terlarang, akan tetapi

karena perbuatan tersebu akibat dari suatu goncangan rasa yang

disebabkan oelah serangan misalnya naik darah, maka perbuatan

tersebut dapat dimaafkan oleh undang-undang.

d. Menjalankan perintah jabatan yang tidak sah (ambtelijk bevel)

Diatur dalam Pasal 51 ayat (2) KUHP. Orang yang melaksanakan

perintah tidak sah tidak dapat dipidana bila memenuhi syarat-syarat :

1. jika ia dengan itikad baik mengira bahwa perintah itu sah ;

2. jika perintah itu terletak dalam lingkungan kekuasaan orang yang

diperintah. Perlu diingat bahwa di dalam menjalankan perintah

jabatan antara yang memerintah dan yang diperintah harus ada

hubungan yang didasarkan pada hukum publik.

2. Tindak Pidana

a. Pengertian Tindak Pidana

Masalah pokok yang berhubungan dengan hukum pidana adalah

membicarakan tiga hal, yaitu :

(22)

b. Orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu

c. Pidana yang diancamkan terhadap pelanggar larangan itu

Kata “perbuatan yang dilarang” dalam hukum pidana mempunyai banyak

istilah dengan pengertiannya masing-masing, karena merupakan istilah yang

berasal dari bahasa Belanda : “strafbaarfeit” yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, antara lain :28

Tindak pidana (strafbaarfeit) adalah kelakuan yang diancam dengan pidana, bersifat melawan hukum, dan berhubung dengan kesalahan yang

dilakukan oleh orang yang bertanggung jawab. 1. Tindak Pidana

2. Peristiwa Pidana

3. Delik

4. Pelanggaran Pidana

5. Perbuatan yang boleh dihukum

6. Perbuatan yang dapat dihukum

7. Perbuatan pidana

Istilah dan pengertian tentang hal ini dapat dihindari dengan

menggunakan istilah “tindak pidana”. Dalam peraturan perundang-undangan

Indonesia tidak ditemukan defenisi tindak pidana, tetapi pengertian tindak pidana

yang dipahami selama ini merupakan kreasi teoritis para ahli hukum.

Pengertian tindak pidana (strafbaar feit), menurut para ahli hukum adalah: 1. Simons

29

28

Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (USU Press : Medan, 2013), hlm. 73.

29

(23)

2. Van Hamel

Tindak pidana (strafbaarfeit) adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam undang-undang, bersifat melawan hukum, patut dipidana dan dilakukan

dengan kesalahan.30

Tindak pidana adalah perbuatan manusia yang termasuk dalam lingkup

rumusan delik, bersifat melawan hukum, dan dapat dicela. 3. Schaffmeister

31

Suatu strafbaar feit (defenisi menurut hukum positif) itu sebenarnya adalah tidak lain daripada suatu tindakan yang menurut sesuatu rumusan

Undang-Undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. 4. Pompe

32

Tindak pidana merupakan perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan

diancam dengan pidana, di mana pengertian perbuatan disini selain perbuatan

yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum)

juga perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya

diharuskan oleh hukum). 5. Indriyanto Seno Adji

33

Teguh Prasetyo, HukumPidana, (PT Raja Grafindo Persada : Jakarta, 2014), hlm. 50. Pengertian tindak pidana dapat disimpulkan adalah suatu perbuatan yang

dilakukan manusia yang dapat bertanggung jawab yang mana perbuatan tersebut

dilarang atau diperintahkan atau dibolehkan oleh undang-undang hukum pidana

(24)

Tindak pidana dapat dibagi menjadi dua kelompok dalam KUHP, yaitu :34

Pelaku tindak pidana (Dader) menurut doktrin adalah barang siapa yang

melaksanakan semua unsur-unsur tindak pidana sebagai mana unsur-unsur tersebut

dirumuskan di dalam undang-undang menurut KUHP. Pelaku adalah orang yang

melakukan tindak pidana yang bersangkutan, dalam arti orang yang dengan suatu

kesengajaanatau suatu tidak sengajaan seperti yang diisyaratkan oleh

Undang telah menimbulkan suatu akibat yang tidak dikehendaki oleh

Undang-Undang, baik itu merupakan unsur-unsur subjektif maupun unsur-unsur obyektif,

tanpa memandang apakah keputusan untuk melakukan tindak pidana tersebut

timbul dari dirinya sendiri atau tidak karena digerakan oleh pihak ketiga.

1. Kejahatan (seperti yang termuat dalam buku II dari Pasal 104 sampai Pasal

488)

2. Pelanggaran (seperti yang termuat dalam buku III dari Pasal 489 sampai

Pasal 569)

b. Pelaku Tindak Pidana

Pengertian pelaku terbagi atas :

1. Pelaku menurut doktrin

35

Pelaku tindak pidana menurut KUHP adalah sebagai berikut : 2. Pelaku menurut KUHP

36

34

Moch. Lukman Fatahullah Rais, Tindak Pidana Perkelahian Pelajar, (Pustaka Sinar Harapan : Jakarta, 1997), hlm. 5.

35

Barda Nawawi Arif, Sari Kuliah Hukum Pidana II, (Fakultas Hukum Undip : Semarang, 1984), hlm. 37.

36

Leden Marpaung, Unsur-Unsur Perbuatan yang Dapat Dihukum, (Sinar Grafika : Jakarta, 1991), hlm. 94.

a. Orang yang melakukan

(25)

c. Orang yang turut serta melakukan

d. Orang yang membujuk melakukan

ad.a. Orang yang Melakukan (plegen)

Pelaku tindak pidana ini adalah seseorang yang secara langsung

melakukan semua unsur-unsur dari suatu tindak pidana, artinya orang tersebutlah

yang melakukan tindak pidana sebenarnya. Dalam hal ini, pelaku tindak pidana

terbagi dua, yaitu pelaku dalam arti sempit (hanya orang yang melakukan tindak

pidana) dan pelaku dalam arti luas (orang yang melakukan, orang yang menyuruh

melakukan, orang yang turut serta melakukan, dan orang yang membujuk

melakukan tindak pidana tersebut).37

Pelaku tindak pidana ini adalah seseorang yang menyuruh orang lain

untuk melakukan suatu tindak pidana. Dalam hal ini, orang tersebut tidak

melaksanakan sendiri. Paling sedikit harus ada dua orang, yaitu orang yang

menyuruh melakukan dan orang yang disuruh melakukan. Orang yang menyuruh

melakukan tindak pidana itu tidak melakukan secara langsung unsur-unsur dari

suatu tindak pidana, tetapi orang yang disuruhlah yang melakukan unsur-unsur

dari suatu tindak pidana tersebut. Dan orang yang disuruh itu adalah orang-orang

yang tidak dapat dipertanggungjawabkan (orang yang dikecualikan dari

hukuman). Dengan demikian, meskipun orang yang menyuruh ini tidak secara

langsung melakukan tindak pidana, akan tetapi dialah yang dianggap sebagai ad.b. Orang yang Menyuruh Melakukan (doen plegen)

37Ibid.

(26)

pelaku tindak pidana yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang

dilakukan oleh orang yang disuruhnya tersebut.38

Pelaku tindak pidana ini adalah seseorang yang bersama-sama dengan

orang lain melakukan unsur-unsur dari suatu tindak pidana. Dalam hal ini juga

paling sedikit ada dua orang yang secara sadar bersama-sama melakukan tindak

pidana tertentu. Dengan demikian, mereka juga secara bersama-sama dapat

dipertangungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan tersebut. ad.c. Orang yang Turut Serta Melakukan (medeplegen)

39

Pelaku tindak pidana ini adalah orang yang membujuk, menggerakkan

orang lain untuk melakukan unsur-unsur dari suatu tindak pidana. Dalam hal ini

juga paling sedikit ada dua orang pelaku tindak pidana, yaitu orang yang

membujuk dan orang yang dibujuk untuk melakuan tindak pidana tertentu. Orang

yang membujuk memberikan sarana atau cara-cara yang telah ditentukan secara

limitatif di dalam undang-undang (lihat Pasal 55 ayat (1) sub (2)) kepada orang

yang dibujuk agar mau melakukan tindak pidana tersebut. Dan orang yang

dibujuk tersebut adalah orang-orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan

demikian, orang yang dibujuklah yang secara langsung melakukan tindak pidana

tersebut dan pertanggungjawaban orang yang membujuk / menggerakkan adalah

pada apa yang digerakkannya, artinya apabila perbuatan tersebut melebihi apa

yang digerakkan oleh orang yang membujuk, maka perbuatan tersebut

dipertanggungjawabkan oleh orang yang dibujuk.

ad.d. Orang yang Membujuk Melakukan (uitlokking)

40

38Ibid.

, hlm. 96

39Ibid.

, hlm. 98

40Ibid.

(27)

3. Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum

a. Pengertian Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum

Kata kejahatan terhadap ketertiban umum atau misdrijven tegen de openbare orde telah dipakai oleh pembentuk undang-undang sebagaimana kumpulan bagi kejahatan-kejahatan, yang oleh pembentuk undang-undang telah

diatur dalam Buku II Bab V KUHP.41

Apabila orang melihat ke dalam Buku II Bab KUHP, maka segera orang

akan mengetahui, bahwa kejahatan yang diatur dalam Buku II Bab V KUHP

sebenarnya mempunyai sifat yang berbeda antara yang satu dengan yang lain,

bahkan dengan tepat Simons telah mengatakan, bahwa hubungan antara kejahatan

yang satu dengan kejahatan yang lain di dalam Buku II Bab V KUHP sifatnya

uiterst gering atau hampir tidak ada hubungannya sama sekali antara yang satu dengan yang lain.42

Simons menyebutkan kata kejahatan terhadap ketertiban umum yang

sifatnya kurang jelas atau vaag atau yang menurut sifatnya dapat diartikan secara lebih luas dari arti yang sebenarnya menurut pembentuk undang-undang telah

dipakai untuk menyebutkan sekumpulan kejahatan, yang menurut sifatnya dapat

menimbulkan bahaya bagi maatschappelijke orde en rust, atau dapat mendatangkan bahaya bagi ketertiban dan ketenteraman umum. 43

41

P. A. F. Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap Kepentingan Hukum Negara, (Sinar Grafika : Jakarta, 2010), hlm. 445.

42Ibid. 43Ibid.

(28)

Van Bemmelen dan Van Hattum telah menyebut kejahatan-kejahatan yang

diatur dalam Buku II Bab V KUHP sebagai kejahatan terhadap berfungsinya

masyarakat dan negara.44

Ketertiban umum di dalam Memorie van Toelichting diartikan dengan kejahatan yang sifatnya dapat menimbulkan bahaya bagi kehidupan masyarakat

(maatschappelijke leven) dan yang dapat menimbulkan bagi ketertiban alamiah di dalam masyarakat (‘de natuurlijke orde der maatschappij). Adapun kejahatan yang diatur dalam Buku II Bab V bukanlah kejahatan yang secara langsung

ditujukan terhadap :45

6. Tindak pidana menawarkan bantuan untuk melakukan tindak pidana ; 1. Keamanan dari negara ;

2. Tindakan-tindakan dari alat-alat perlengkapannya ;

3. Tubuh atau harta kekayaan dari seseorang tertentu.

b. Bentuk-Bentuk Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum

Bentuk-bentuk kejahatan terhadap ketertiban umum yang diatur dalam

Buku II Bab V KUHP adalah sebagai berikut:

1. Tindak pidana penodaan terhadap bendera kebangsaan, lagu kebangsaan,

dan lambang Negara ;

2. Tindak pidana menyatakan perasaan tak baik terhadap pemerintah ;

3. Tindak pidana menyatakan perasaan tak baik terhadap golongan tertentu ;

4. Tindak pidana menyelenggarakan pemilihan anggota untuk suatu lembaga

kenegaraan asing ;

5. Tindak pidana menghasut di muka umum ;

44Ibid.

(29)

7. Tindak pidana pembujukan (Uitlokking) melakukan suatu tindak pidana yang gagal ;

8. Tindak pidana tidak melaporkan akan adanya tindak pidana tertentu ;

9. Tindak pidana merusak keamanan di rumah (Huisvrede-Breuk) ;

10. Tindak pidana memasuki dengan paksa suatu ruangan dinas umum

(Openbare Dienst) ;

11. Tindak pidana turut serta dalam perkumpulan terlarang ;

12. Tindak pidana mengganggu ketentraman ;

13. Tindak pidana mengganggu dan merintangi rapat umum ;

14. Tindak pidana menggangg upacara agama dan upacara penguburan

jenazah ;

15. Tindak pidana mengenai kuburan atau mayat ;

F. Metode Penelitian Tinjauan 1. Jenis Penelitian

Penelitian dalam penulisan ini diarahkan kepada penelitan hukum normatif

dengan studi kasus. Kasus yang diteliti berkaitan dengan tindak pidana kejahatan

terhadap ketertiban umum dalam menganilis putusan Mahkamah Agung No.

1914/K/Pid/2012.

Metode penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah

untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi

normatifnya. Logika keilmuan dalam penelitian hukum normatif dibangun

berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja hukum itu sendiri. Dengan

demikian, tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah yuridis

(30)

kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.46 Penelitian hukum jenis ini

mengkonsepsi hukum sebagai apa yang tertulis dalam peraturan

perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepsikan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap pantas.47

2. Sumber Data

Sumber data penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang

diperoleh secara langsung dari masyarakat (data primer) dan dari bahan-bahan pustaka (data sekunder).48 Metode penelitian hukum normatif hanya mengenal data sekunder saja.49 Data sekunder tersebut terdiri dari bahan hukum primer ;

bahan hukum sekunder ; dan bahan hukum tersier.50

a) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri

dari :

1. Norma kaidah dasar yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik

Indonesia 1945 ;

2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ;

3. Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam Nomor Perkara

346/Pid.B/2012/PN.LP ;

4. Putusan Mahkamah Agung Nomor Register 1914/K/Pid/2012.

b) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer, diantaranya :

1. Buku-buku yang terkait dengan hukum ;

46

Johnny Ibrahim, Op. Cit., hlm. 321.

47

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (PT Raja Grafindo Persada : Jakarta, 2004), hlm. 18.

48

Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (PT Raja Grafindo Persada : Jakarta, 2009), hlm. 12.

49

Amiruddin dan Zainal Asikin, Op. Cit.,hlm. 18.

50Ibid.

(31)

2. Artikel di jurnal hukum ;

3. Karya dari kalangan praktisi hukum ataupun akademis yang ada

hubungannya dengan penelitian ini.

c) Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk atau

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, diantaranya :51

1. Kamus hukum dan kamus bahasa Indonesia

2. Ensiklopedia ;

3. Indeks kumulatif, dan seterusnya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengambilan dan pengumpulan data dilaksanakan dengan cara

penelitian kepustakaan (library research) atau disebut juga dengan studi dokumen yang meliputi bahan hukum primer, sekunder maupun tersier.52

Proses analisis data dimulai dengan menelaaah seluruh data yang tersedia

dari berbagai sumber.

Studi kepustakaan

yang dimaksudkan dalam skripsi ini dieterapkan dengan mempelajari dan

menganalisa secara sistematis bahan-bahan yang utamanya berkaitan dengan

penjatuhan hukuman pidana kejahatan terhadap ketertiban umum, termasuk juga

bahan-bahan lainnya yang ada kaitannya dan dibahas dalam skripsi ini.

4. Analisis Data

53

51

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Penerbit Universitas Indonesia : Jakarta, 2008), hlm. 52.

52

Amiruddin dan Zainal Asikin, Loc. Cit.,hlm. 68.

53Ibid.

, hlm. 190

Adapun yang menjadi sumber utama dalam penulisan

skripsi ini adalah dari data sekunder. Analisis data dalam penelitian hukum

menggunakan metode penelitian kualitatif, yaitu dengan mengumpulkan data dari

(32)

menghubungkannya dengan masalah yang dibahas, kemudian menarik

kesimpulan dari penelitian.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini secara keseluruhan terbagi dalam 4

(empat) bab dan terdiri dari beberapa sub bab yang menguraikan permasalahan

dan pembahasan secara tersendiri dalam konteks yang saling berkaitan satu sama

lain. Sistematika penulisan skripsi ini secara terperinci adalah sebagai berikut :

BAB I : Berisikan pendahuluan yang didalamnya memaparkan mengenai

latar belakang penulisan skripsi, perumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan

kepustakaan, yang mengemukakan berbagai defenisi, rumusan dan

pengertian dari istilah yang terkait dengan judul untuk memberi

batasan dan pembahasan mengenai istilah-istilah tersebut sebagai

gambaran umum dari skripsi ini, metode penulisan dan terakhir dari

bab ini diuraikan sistematika penulisan skripsi.

BAB II : Menguraikan tentang pengaturan tindak pidana kejahatan terhadap

ketertiban umum di dalam KUHP. Bab ini secara khusus

menguraikan konsep tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban

umum di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1 Tahun 1946

Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

BAB III : Merupakan pembahasan mengenai pertanggungjawaban pidana

pelaku tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban umum dalam

putusan Mahkamah Agung Nomor Register 1914/K/Pid/2012. Pada

(33)

pertimbangan hakim, amar putusan dan selanjutnya akan dianalisa

dan dikaji secara mendalam terhadap putusan yang diberikan

Majelis Hakim terhadap Terdakwa dalam perkara ini.

Referensi

Dokumen terkait

Daun yang sudah halus kemudian ditambahkan buffer sebanyak 800 µL, lalu disimpan dalam lemari es dengan suhu -20°C.. Kemudian sampel ditambahkan larutan chisam yang berisi kloroform

c) Faktor budaya, ras, karakter khas etnis : Dampak yang ditimbulkan bencana ini lebih besar di negara berkembang dibandingkan dengan negara maju. Pada kelompok usia muda tidak

Tabel ( tables ) adalahangka yang disusun sedemikian rupa menurut kategori tertentu sehingga memudahkan pembahasan dan analisisnya, sedangkan grafik (

[r]

Penelitian ini bertujuan untuk mengukur karakteristikkinerja sensor serat optik pada konsentrasi larutan gula yang berbeda, menentukan hubungan indeks bias larutan

Akan tetapi, hasil penelitian ini tidak mendukung penelitian Yeh (2009) yang menunjukkan bahwa bagi negara berkembang pertumbuhan ekonomi tidak menyebabkan inflasi. Hasil

[r]

adsorpsi ion Al dan Fe oleh karbon aktif Dalam Gambar juga terlihat waktu kontak yang relatif singkat dapat menyebabkan proses adsorpsi belum optimal hal ini disebabkan