• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASUHAN KEPERAWATAN PADA TRAUMA PSIKIS KE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ASUHAN KEPERAWATAN PADA TRAUMA PSIKIS KE"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

ASUHAN KEPERAWATAN PADA TRAUMA PSIKIS/ KEJIWAAN PADA KORBAN BENCANA

OLEH : KELOMPOK VII

Sr. Febiola Mantika Silaban

Mariati Butar-butar

Marton Sianturi

David Samosir

Monika Sihotang

Neno Tambunan

Noni Naibaho

(2)

PROGRAM STUDI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SANTA ELISABETH MEDAN

2016

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kelompok ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya kelompok dapat menyelesaikan tugas Makalah ini tepat pada waktunya.

Adapun judul dari Makalah ini ialah: “Asuhan Keperawatan Pada Trauma Psikis/ Kejiwaan Pada Korban Bencana”. Tidak lupa kelompok mengucapkan terima kasih pada dosen pembimbing atas bimbingan dan arahannya kolompok dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik.

Kelompok menyadari bahwa tugas makalah ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu kelompok berharap agar dosen pembimbing memberikan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan makalah dikemudian hari.

Atas perhatian dan kerjasamanya kolompok mengucapkan terima kasih.

Medan, Maret 2016

(3)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap orang pasti pernah mengalami kejadian yang hebat, mengejutkan, atau bahkan mengerikan. Kejadian-kejadian tersebut seringkali akan mengganggu kondisi kejiwaan. Salah satu peristiwa mengerikan yang mungkin dialami oleh seseorang adalah bencana alam. Dampak dari bencana selain merusak bangunan fisik juga dapat menimbulkan dampak psikologis. Bencana alam yang terjadi seringkali dapat menyebabkan trauma bagi para korban.

Bencana alam yang berkepanjangan di dunia termasuk di Indonesia sepanjang tahun 2010, disebabkan oleh faktor alam yang berbeda. Dampak bencana alam tidak hanya mengakibatkan hilangnya harta benda tetapi juga nyawa masyarakat di wilayah bencana. Berdasarkan data dari 644 kejadian bencana di Indonesia total kerugian material diperkirakan mencapai lebih 15 trilyun rupiah. Kerugian tersebut meliputi kehilangan harta benda, kerusakan rumah-rumah masyarakat, sarana dan prasarana umum, lahan pertanian, perkebunan, peternakan, dan sebagainya. Selain itu juga menimbulkan kehilangan orang yang dicintai, trauma, dan timbuln ya gangguan kesehatan (Nugroho, 2010).

(4)

dalam ingatannya dan mengusiknya, ia juga merasa tak mampu untuk mengatasinya (Koentara, 2016).

Jika berbicara tentang tindak kekerasan atau trauma, ada suatu istilah yang dikenal sebagai Post Traumatic Stress Disorderatau PTSD (gangguan stres pasca trauma) yaitu gangguan stres yang timbul berkaitan dengan peristiwa traumatis luar biasa. Misalnya, melihat orang dibunuh, disiksa secara sadis, korban kecelakaan, bencana alam, dan lain-lain. PTSD merupakan gangguan kejiwaan yang sangat berat, karena biasanya penderita mengalami gangguan jiwa yang mengganggu kehidupannya (Koentara, 2016).

Profesi keperawatan bersifat luwes dan mencakup segala kondisi, dimana perawat tidak hanya terbatas pada pemberian asuhan dirumah sakit saja melainkan juga dituntut mampu bekerja dalam kondisi siaga tanggap bencana. Situasi penanganan antara keadaan siaga dan keadaan normal memang sangat berbeda, sehingga perawat harus mampu secara skill dan teknik dalam menghadapi kondisi seperti ini (Anggi, 2010).

Kegiatan pertolongan medis dan perawatan dalam keadaan siaga bencana dapat dilakukan oleh profesi keperawatan. Berbekal pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki seorang perawat bisa melakukan pertolongan siaga bencana dalam berbagai bentuk (Anggi, 2010).

1.1 Tujuan 1.1.1 Tujuan umum

Mengetahui asuhan keperawatan pada trauma psikis/kejiwaan pada korban bencana

1.1.2 Tujuan khusus

1. Mengetahui masalah psikososial dan spiritual pada pengungsi.

2. Mengetahui intervensi pada fase kedaruratan akut (intervensi sosial, psikososial, spiritual).

(5)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Teori 2.1.1 Trauma

Trauma adalah sebuah respon emosi terhadap kejadian yang sangat buruk seperti kecelakaan, pemerkosaan, atau bencana alam.

Trauma adalah reaksi fisik dan psikis yang bersifat stress buruk akibat suatu peristiwa, kejadian atau pengalaman spontanitas atau secara mendadak (tiba-tiba), yang membuat individu kaget, menakutkan, shock, tidak sadarkan diri yang tidak mudah hilang begitu saja dalam ingatan manusia. Sebagaimana yang disebutkan The American Psychological Association (2010), trauma as an emotional response to a terrible event like an accident, rape or natural disaster.

2.1.2 Jenis-jenis trauma

Berdasarkan kajian psikologi (dalam Trauma: Deteksi Dini dan Penanganan awal, 2010) berikut ini adalah jenis-jenis trauma yang dilihat dari sifat dan sebab terjadinya trauma yaitu sebagai berikut :

a. Trauma Psikologis

Trauma ini adalah akibat dari suatu peristiwa atau pengalaman yang luar biasa, yang terjadi secara spontan (mendadak) pada diri individu tanpa berkemampuan untuk mengontrolnya (loss control and loss helpness) dan merusak fungsi ketahanan mental individu secara umum. Akibat dari jenis trauma ini dapat menyerang individu secara menyeluruh (fisik dan psikis).

b. Trauma Neurosis

(6)

c. Trauma Psikosis

Trauma psikosis merupakan suatu gangguan yang bersumber dari kondisi atau problema fisik individu, seperti cacat tubuh, amputasi salah satu anggota tubuh, yang menimbulkan shock dan gangguan emosi. Pada saat-saat tertentu gangguan kejiwaan ini biasanya terjadi akibat bayang-bayang pikiran terhadap pengalaman atau peristiwa yang pernah dialaminya, yang memicu timbulnya histeris atau fobia.

d. Trauma Diseases

Gangguan kejiwaan jenis ini oleh para ahli ilmu jiwa dan medis dianggap sebagai suatu penyakit yang bersumber dari stimulus-stimulus luar yang dialami individu secara spontan atau berulang-ulang, seperti keracunan, terjadi pemukulan, teror, ancaman.

2.1.3 PTSD (Post Traumatic Stress Disorder)

Post-traumatic stress disorder (PTSD) adalah gangguan kecemasan yang dapat terbentuk dari sebuah peristiwa atau pengalaman yang menakutkan/mengerikan, sulit dan tidak menyenangkan dimana terdapat penganiayaan fisik atau perasaan terancam (American Psychological Association, 2004).

Post-traumatic stress disorder (PTSD) adalah sebuah gangguan yang dapat terbentuk dari peristiwa traumatik yang mengancam keselamatan anda atau membuat anda merasa tidak berdaya (Smith & Segal, 2008).

2.1.4 Fase-fase PTSD

Fase-fase keadaan mental pasca bencana: a. Fase Kritis

Fase dimana terjadi gangguan stres pasca akut (dini/cepat) yangmana terjadi selama kira-kira kurang dari sebulan setelah menghadap bencana. Pada fase ini kebanyakan orang akan mengalami gejala-gejala depresi seperti keinginan bunuh diri, perasaan sedih mendalam, susah tidur,dan dapat juga menimbulkan berbagai gejala psikotik.

b. Fase setelah kritis

(7)

tersebut (PTSD) sehingga bila bencana tersebut terulang lagi, orang akan memasuki fase ini dengan cepat dibandingkan pengalaman terdahulunya.

c. Fase stressor

Fase dimana terjadi perubahan kepribadian yang berkepanjangan (dapat berlangsung seumur hidup) akibat dari suatu bencana dimana terdapat dogma “semua telah berubah”.

2.1.5 Peristiwa traumatik yang dapat mengarah kepada munculnya PTSD termasuk: 1. Perang (War)

2. Pemerkosaan (Rape)

3. Bencana alam (Natural disasters)

4. Kecelakaan mobil / Pesawat (A car or plane crash) 5. Penculikan (Kidnapping)

6. Penyerangan fisik (Violent assault)

7. Penyiksaan seksual / fisik (Sexual or physical abuse)

8. Prosedur medikal - terutama pada anak-anak (Medical procedures - especially in kids).

2.1.6 Tiga kategori utama gejala yang terjadi pada PTSD

Pertama, mengalami kembali kejadian traumatic (re-eksperience). Seseorang kerap teringat akan kejadian tersebut dan mengalami mimpi buruk tentang hal itu. Gejala flashback (merasa seolah-olah peristiwa tersebut terulang kembali), nightmares (mimpi buruk tentang kejadian-kejadian yang membuatnya sedih), reaksi emosional dan fisik yang berlebihan karena dipicu oleh kenangan akan peristiwa yang menyedihkan.

(8)

Ketiga, gejala ketegangan (hyperarousal). Gejala ini meliputi sulit tidur atau mempertahankannya, sulit berkonsentrasi, wasapada berlebihan, respon terkejut yang berlebihan, termasuk meningkatnya reaktivitas fisiologis.

2.1.7 Dampak PTSD

Gangguan stress pascatraumatik ternyata dapat mengakibatkan sejumlah gangguan fisik, kognitif,emosi,behavior (perilaku),dan sosial.

Gejala gangguan fisik:  pusing,

 gangguan pencernaan,  sesak napas,

 tidak bisa tidur,

 kehilangan selera makan,  impotensi, dan sejenisnya. Gangguan kognitif:

 gangguan pikiran seperti disorientasi,  mengingkari kenyataan,

 linglung,

 melamun berkepanjangan,  lupa,

 terus menerus dibayangi ingatan yang tak diinginkan,  tidak fokus dan tidak konsentrasi.

 tidak mampu menganalisa dan merencanakan hal-hal yang sederhana,  tidak mampu mengambil keputusan.

Gangguan emosi :

 halusinasi dan depresi (suatu keadaan yang menekan, berbahaya, dan memerlukan perawatan aktif yang dini),

 mimpi buruk,  marah,

 merasa bersalah,  malu,

(9)

 menurunnya aktivitas fisik, seperti gerakan tubuh yang minimal. Contoh, duduk berjam-jam dan perilaku repetitif (berulang-ulang).

Gangguan sosial:

 memisahkan diri dari lingkungan,  menyepi,

 agresif,  prasangka,

 konflik dengan lingkungan,

 merasa ditolak atau sebaliknya sangat dominan.

2.1.8 Pandangan hukum tentang PTSD

UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang berisi hak dan kewajiban pemerintah dan masyarakat saat bencana maupun pasca bencana. Salah satu pasalnya yaitu pasal 26 menyatakan bahwa setiap orang berhak:

a. Mendapat perlindungan sosial dan rasa aman bagi kelompok masyarakat yang rentan bencana.

b. Mendapat pendidikan, pelatihan, ketrampilan dalam penyelenggaraan penaggulangan bencana.

2.1.9 Peran pemerintah

Dalam mengatasi trauma psikologis pada anak dan perempuan telah dan akan dilanjutkan pelayanan trauma konseling melalui women trauma center dan children center, sekaligus untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan dan perdagangan anak, dengan dibentuknya Gugus Tugas Anti-trafficking dan Pencegahan Tindak Kekerasan. Di samping itu, juga perlu terus dilakukan upaya untuk mempertemukan kembali anak-anak dengan keluarganya dilakukan melalui kegiatan ”reunifikasi keluarga”, sejalan dengan terus mengupayakan pemulihan spiritual (spiritual healing), pemulihan emosional (emotional healing) terhadap kejadian traumatik yang dihadapi dengan memberikan semangat hidup dan bangkit kembali menjadi sangat penting, penyembuhan fisik (physical healing); dan penyembuhan terhadap kemampuan otak manusia (intelligential healing).

2.1.10 Dampak Spiritual pada Korban Bencana

(10)

digambarkan sebagai pengalaman seseorang atau keyakinan seseorang, dan merupakan bagian dari kekuatan yang ada pada diri seseorang dalam memaknai kehidupannya. Spiritual juga digambarkan sebagai pencarian individu untuk mencari makna. Forman (1997) menyatakan bahwa spiritual menggabungkan perasaan dari hubungan dengan dirinya sendiri, dengan ornag lain dan dengan kekuatan yang lebih tinggi.

Kejadian bencana dapat merubah pola spiritualitas seseorang. Ada yang bertambah meningkat aspek spiritualitasnya ada pula yang sebaliknya. Bagi yang meningkatkan aspek spiritualitasnya berarti mereka meyakini bahwa apa yang terjadi merupakan kehendak dan kuasa sang pencipta yang tidak mampu di tandingi oleh siapapun. Mereka mendekat dengan cara mendekatkan spiritualitasnya supaya mendapatkan kekuatan dan pertolongan dalam menghadapi bencana atau musibah yang dialaminya. Sedangkan bagi yang menjauh umumnya karena dasar keimanan atau keyakinan terhadap sang pencipta rendah atau kaarena putus asa

2.1.11 Dampak Psikososial pada Korban Bencana

Berdasarkan hasil penelitian empiris, dampak psikologis dari bencana dapat diketahui berdasarkan tiga faktor yaitu faktor pra bencana, faktor bencana dan faktor pra bencana (Tomoko, 2009) :

1) Faktor pra bencana : dampak psikologi pada faktor pra bencana ini dapat ditinjau dari beberapa hal dibawah ini ;

a) Jenis kelamin : perempuan mempunyai resiko lebih tinggi terkena dampak psikologis dibanding laki-laki dengan perbandingan 2:1.

b) Usia dan pengalaman hidup : kecenderungan kelompok usia rentan stres masing-masing negara berbeda karena perbedaan kondisi sosial politik ekonomi dan latar belakang sejarah negara yang bersangkutan.

(11)

profesi. Individu dengan kedudukan sosio ekonomi yang rendah akan mengalami stress pasca trauma lebih berat.

e) Keluarga : Pengalaman bencana akan mempengaruhi stabilitas keluarga seperti tingkat stress dalam perkawinan, posisi sebagai orang tua terutama orang tua perempuan.

f) Tingkat kekuatan Mental dan kepribadian : Hampir semua hasil penelitian menyimpulkan bahwa kondisi kesehatan mental pra bencana dapat dijadikan dasar untuk memprediksi dampak patologis pasca bencana. Individu dengan maslah kesehatan jiwa akan mengalami stress yang lebih berat dibandingkan dengan individu dengan kondisi psikologis yang stabil.

2) Faktor bencana : pada faktor ini, dampak psikologis dapat ditinjau dari beberapa hal dibawah ini ;

a) Tingkat keterpaparan : Keterpaparan seseorang akan masalah yang dihadapi merupakan variabel penting untuk memprediksi dampak psikologis korban bencana.

b) Ditinggal mati oleh sanak keluarga atau sahabat. c) Diri sendiri atau keluarga terluka.

d) Merasakan ancaman keselamatan jiwa atau mengalami kekuatan yang luar biasa.

e) Mengalami situasi panik pada saat bencana

f) Pengalaman berpisah dengan keluarga terutama pada korban usia muda g) Kehilangan harta benda dalam jumlah besar

h) Pindah tempat tinggal akibat bencana

i) Bencana yang menimpa seluruh komunitas. Hal ini mengakibatkan rasa kehilangan pada individu dan memperkuat perasaan negatif dan memperlemah perasaan positif.

Semakin banyak fakltor yang diatas, maka akan semakin berat gangguan jiwa yang dialami korban bencana. Apalagi pada saat-saat seperti ini mereka cenderung menolak intervensi tenaga spesialis, sehingga menghambat perbaikan kualitas hidup pasca bencana.

(12)
(13)

2.2 Konsep Keperawatan

2.2.1 Pengkajian

Pengkajian untuk klien dengan PTSD meliputi empat aspek yang akan bereaksi terhadap stress akibat pengalaman traumatis, yaitu :

a. Pengkajian Perilaku (Behavioral Assessment) Yang dikaji adalah:

1. Dalam keadaan yang bagaimana klien mengalami perilaku agresif yang berlebihan. 2. Dalam keadan yang seperti apa klien mengalami kembali trauma yang dirasakan. 3. Bagaimana cara klien untuk menghindari situasi atau aktifitas yang akan

mengingatkan klien terhadap trauma. 4. Seberapa sering klien terlibat aktivitas sosial.

5. Apakah klien mengalami kesulitan dalam masalah pekerjaan semenjak kejadian traumatis.

b. Pengkajian Afektif (Affective Assessment)

1. Berapa lama waktu dalam satu hari klien merasakan ketegangan dan perasaan ingin cepat marah.

2. Apakah klien pernah mengalami perasaan panik.

3. Apakah klien pernah mengalami perasaan bersalah yang berkaitan dengan trauma. 4. Tipe aktivitas yang disukai untuk dilakukan.

5. Apa saja sumber - sumber kesenangan dalam hidup klien.

6. Bagaima hubungan yang secara emosional terasa akrab dengan orang lain c. Pengkajian Intelektual (Intellectual Assessment)

1. Kesulitan dalam hal konsentrasi.

 Perasaan yang tidak adekuat  Berfokus pada diri sendiri

(14)

 Tremor tangan

 Cenderung menyalahkan orang lain

(15)

 Ancaman pada:

 Satatus ekonomi  Lingkungan

 Status kesehatan  Pola interaksi

 Fungsi peran  Status peran

 Konsep diri

 Konflik yang tidak disadari mengenai tujuan penting  Kebutuhanyangtidakdipenuhi.

NOC: Anxiety Self – Control (1402)

Setelah dilakukan tindakan Keperawatan selama 3 x 24 jam nyeri dapat teratasi dengan indikator:

 (140201) monitor intensitas dari ansietas  (140206) gunakan strategi koping efektif

 (140207) menggunakan teknik relaksasi untuk menurunkan ansietas NIC: Anxiety Reduction (5820)

 Gunakan pendekatan yang menenangkan

 Nyatakan dengan jelas harapan terhadap pelaku pasien

 Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur  Temani pasien untuk memberikan keamanan dan mengurangi takut

 Berikan informasi faktual mengenai diagnosis, tindakan prognosis  Libatkan keluarga untuk mendampingi klien

 Instruksikan pada pasien untuk menggunakan tehnik relaksasi

 Dengarkan dengan penuh perhatian  Identifikasi tingkat kecemasan

 Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan, persepsi  Kelola pemberian obat anti cemas

(16)

Domain 9 : koping/ toleransi stress kelas 2 : respons koping

Defenisi : respons terhadap persepsi ancaman yang secara sadar dikenali sebagai sebuah bahaya.

Batasan karakteristik:

 Melaporkan isyarat/ peringatan  Melaporkan kegelisahan  Melaporkan rasa takut

 Melaporkan penurunan kepercayaan diri  Melaporkan ansietas

 Melapokan kegembiraan

 Melaporkan peningkatan ketegangan

 Melaporkan kepanikan  Melaporkan terror Fakor yang berhubungan:

 Berasal dari luar (mis: kebisingan tiba-tiba, ketinggian, nyeri, penurunan dukungan fisik)

 Berasal dari dalam (neurotransmiter)  Kendala bahasa

 Stimulus fobik  Gangguan sensorik

 Berpisah dari system pendukung dalam situasi yang berpotensi menimbulkan stress

 Tidak familier dengan pengalaman lingkungan.

NOC : Anxiety control, Fear control

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama...takut klien teratasi dengan kriteria hasil :

 Memiliki informasi untuk mengurangi takut

 Menggunakan tehnik relaksasi

 Mempertahankan hubungan sosial dan fungsi peran

(17)

 Jelaskan pada pasien tentang proses penyakit

 Jelaskan semua tes dan pengobatan pada pasien dan keluarga

 Sediakan reninforcement positif ketika pasien melakukan perilaku untuk mengurangi takut

 Sediakan perawatan yang berkesinambungan

 Kurangi stimulasi lingkungan yang dapat menyebabkan misinterprestasi

 Dorong mengungkapkan secara verbal perasaan, persepsi dan rasa takutnya

 Perkenalkan dengan orang yang mengalami penyakit yang sama

 Dorong klien untuk mempraktekan tehnik relaksasi

3. Koping Defensif (00071) Domain 9 : Koping/ Toleransi Stres Kelas 2 : Respons Koping

Defenisi : Proyeksi evaluasi- diri positif yang salah dan berulang yang didasarkan pada pola perlindungan-diri untuk bertahan terhadap ancaman yang dirasakan terhadap ancaman yang dirasakan terhadap harga diri yang positif

Batasan Karakteristik:

 Penyangkalan masalah yang jelas terjadi  Penyangkalan kelemahan yang jelas terjadi

 Kesulitan membina hubungan  Kesulitan memelihara hubungan

 Kesulitan dalam persepsi pengujian realita  Waham kebesaran

 Tertawa menghina

 Hipersensitif terhadap kritik

 Hipersensitif terhadap ejekan/ penghinaan  Tidak komplet menjalani terapi

 Tidak adekuat menjalani pengobatan

 Kurang partisipasi dalam terapi

 Sedikit partisipasi dalam menjalani pengobatan

(18)

 Rasionalisasi kegagalan

 Distorsi realitas  Menghina orang lain

 Sikap superior terhadap orang lain.

Faktor yang berhubungan:

 Konflik antara persepsi diri dan sistem nilai

 Kurangnya system dukungan  Takut gagal

 Takut akan penghinaan  Takut akan karma

 Kurangnya penyesuaian

 Tingkat kepercayaan yang rendah pada orang lain

 Tingkat kepercayaan diri rendah  Ragu/ tidak percaya

 Harapan diri yang tidak realistic NOC:

Kriteria hasil:

 Mengungkapkan kemampuan untuk menaggulangi dan meminta bantuan jika perlu  Menunjukkan kemampuan untuk memecahkan masalah dan ikut serta bermasyarakat

 Mempertahankan bebas dari perilaku yang destruktif pada diri sendiri maupun orang lain

 Mengkomunikasikan kebutuhan dan berunding dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan

 Mendiskusikan bagaimana tekanan kehidupan yang ada melebihi strategi penanggulangan yang normal

 Menemukan kecepatan penyakit dan kecelakaan tidak melebihi tingkat perkembangan dan usia

(19)

 Amati penyebab tidak efektifnya penaggulanagn seperti konsep diri yang buruk, kesedihan, kurangnya ketrampilan dalam memecahkan masalah, kurangnya dukungan, atau perubahan yang ada dalam hidup.

 Amati kekuatan seperti kemampuan untuk menceritakan kenyataan dan mengenali sumber tekanan

 Monitor risiko membahayakan diri atau orang lain dan tangani secara tepat

 Bantu pasien menentukan tujuan yang realistis dan mengenali ketrampilan dan pengetahuan pribadi

 Gunakan komunikasi empatik, dan dorong pasien/keluarga untuk mengungkapkan ketakutan, mengekspresikan emosi, dan menetapkan tujuan

 Anjurkan pasien untuk membuat pilihan dan ikut serta dalam perencanaan perawatan dan aktivitas yang terjadwal

 Berikan aktivitas fisik dan mental yang tidak melebihi kemampuan pasien (misal bacaan, televisi, radio, ukiran, tamasya, bioskop, makan keluar, perkumpulan sosial, latihan, olahraga, permainan)

 Jika memiliki kemampuan fisik, anjurkan latihan aerobik yang sedang

 Gunakan sentuhan dengan izin. Berikan pasien pijatan punggung berupa usapan perlahan dan berirama dengan tangan. Gunakan 60 kali usapan dalam semenit selama 3 menit pada luasan 2 inchi pada kedua sisi mulai dari daerah atas ke bawah  Berikan informasi perihal perawatan sebelum perawatan diberikan

4. Duka Cita (00136)

Domain 9 : Koping/Toleransi Stres Kelas 2 : Respons Koping

Defenisi : Proses kompleks normal yang meliputi respons dan perilaku emosional, fisik, spiritual, sosial, dan intelektual yakni individu, keluarga, dan komunitas

memasukan kehilangan yang actual, adaptif, atau dipersepsikan ke dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Batasan Karakteristik:

 Perubahn tingkat aktivitas

 Perubahan pola mimpi  Perubahan fungsi imun

(20)

 Marah

 Menyalahkan

 Berpisah/ menarik diri

 Putus asa

 Disorganisasi/kacau

 Gagngguan pola tidur  Mengalami kelegaan

 Memelihara hubungan dengan almarhum/ah

 Membuat makna kehilangan  Kepedihan

 Perilaku panic

 Pertumbuhan personal

 Distress psikologis  Menderita

Faktor yang Berhubungan

 Mengantisipasi kehilangan hal yang bermakna  Mengantisipasi kehilangan orang terdekat  Kematian orang terdekat

 Kehilangan objek penting NOC: Resolusi dukacita (1304)

 Mampu mengespresikan kepercayaaan dengan kematian

 Menggambarkan tentang kehilangan  Partisipasi dalam perencanaan

NIC: Fasilitasi Pendampingan dukacita (5290)

 Kaji persepsi klien dan makna kehilangannya. Izinkan penyangkalan yang adaptif.

 Dorong atau bantu klien untuk mendapatkan dan menerima dukungan.

 Dorong klien untuk mengkaji pola koping pada situasi kehilangan masa lalu saat ini.

 Dorong klien untuk meninjau kekuatan dan kemampuan personal.  Dorong klien untuk merawat dirinya sendiri.

(21)

 Gunakan komunikasi yang efektif.

 Tawarkan kehadiran dan berikan pertanyaan terbuka  Gunakan refleksi

 Bina hubungan dan pertahankan keterampilan interpersonal

 Kehadiran yang penuh perhatian

 Menghormati proses berduka klien yang unik

 Menghormati keyakinan personal klien

5. Risiko Sindrom Pasca Trauma (00145) Domain 9 :Koping/Toleransi Stress

Kelas 1 :Respon Pascatrauma

Definisi:Berisiko Mengalami respon maladaftif yang terus menerus terhadap peristiwa traumatitis dan memilukan

faktor resiko:

 Penurunan kekuatan ego

 Pindah rumah.  Durasi peristiwa.

 Rasa tanggung jawab yang berlebihan.

 Dukungan sosial yang tidak adekuat.

 Pekerjaan (Mis.,Polisi pemadam kebakaran, petugas penyelamat, staf unit gawat darurat, petugas kesehatan jiwa, tenaga reparasi).  Persepsi peristiwa.

 Parah sebagai orang yang selamat dalam peristiwa.

 Lingkungan yang tidak mendukung

NOC: Spiritual Health (2001)  Quality Of Faith (200101)

 Quality Of Hope (200102)

(22)

 Menggunakan komunikasi untuk membangun kepercayaan dan terapi empatik peduli

 Mengobati individu dengan martabat dan menghormati

 Mendorong melalui meninjau kehidupan melalui kenang-kenangan  Memberikan privasi dan tenang kali untuk activitas rohani

 Mendorong partisipasi dalam kelompok pendukung

 Mengajari metode relaksasi , meditasi , citra dan memberinya petunjuk

 Berdoa dengan sendiri

 Selalu terbuka untuk individu ekspresi perhatian

 Mengungkapkan perasaan empati secara pribadi  Tersedia untuk mendengarkan individu perasaan

6. Sindrom Stress Akibat Perpindahan 00114 Domain 9 : Koping / Toleransi stress

Kelas : Respon pascatrauma.

Defenisi : Gangguan fisiologis dan atau psikososial setelah pindah dari satu lingkungan ke lingkungan lain.

 Harga diri rendah kronik

 Khawatir terhadap perpindahan

 Kehilangan penghargaan terhadap diri

 Pesimisme

 Gangguan tidur

 Mengatkan tidak bersedia pindah

 Menarik diri

 Khawatir.

Faktor yang berhubungan

(23)

 Gangguan kesehatan psikososial

 Isolasi

 Kurang sistem dukungan yang adekuat

 Kurangnya konseling pra keberangkatan

 Kendala bahasa

 Tersesat

 Pindah dari satu lingkungan ke lingkungan lain.

 Koping pasif

 Menyatakan perasaaan tidak berdaya NOC: Stress level (1212)

 Depresi (121221)  Kegelisahan (121222)

NIC: Pengurangan Kecemasan Stres (Stress Anxiety Reduction) (5820)

 Menggunakan pendekatan meyakinkan membuat pasien tenang

 Tetap bersama pasien untuk keamanan dan mengurangi rasa takut

 berusaha untuk memahami pasien dari situasi stres

 Memberikan informasi berdasarkan fakta

 Mendengarkan dengan perhatian

 Memberi dukungan untuk mekanisme koping pasien

 Membantu pasien mengenali situasi yang memicu kecemasan

 Mengidentifikasi pasien ketika mengalami perubahan tingkat kecemasan

 Mendorong verbalisasi perasaan persepsi dan ketakutan

(24)

BAB 3 PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Bencana merupakan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/ atau faktor non- alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Bencana menimbulkan trauma psikologis bagi semua orang yang mengalaminya.

Peran perawat sangatlah penting pada kasus ini. Peran perawat sangat berguna untuk memberikan asuhan keperawatan yang sesuai dengan standar keperawatan dan kode etik dalam menangani pasien dengan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) pasca bencana alam.

Dan diharapkan kepada pembaca dan penulis bisa lebih memahami materi mengenai penyakit dengan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) pasca bencana alam dilihat dari perbandingan data di lahan dan konsep teori yang sesungguhnya.

3.2 Saran

(25)

DAFTAR PUSTAKA

Efendi, Ferry.Keperawatan Kesehatan Komunitas Teori dan praktik dalam keperawatan . Jakarta. Penerbit Salemba Medika,2009.

Herdman, T. heather. 2011. Diagnose Keperawatan 2015-2017. Jakarta: EGC

Koentara.(2006).MenanganiKasusBencana(online)(http://www.dispsiad.mil.id/index.php/ en/publikasi/artikel/221-post-traumatic-stress-disorder-ptsddiakses 09 Mar 2016) Mccloskey, Joanne. 2004. Nursing intervention classification. St. Louis, Missouri

Moorhead, Sue. 2004. Nursing outcomes classification. St. Louis, Missouri

Referensi

Dokumen terkait

Based on data analysis above, it can be explained some important thing associated with variable Internship (X) that the sub-variables: 1) quality of internship implementation: there

terbagi dua, freehold yang boleh memiliki properti selamanya dan leasehold yang memiliki properti dengan waktu terbatas. Penulis berpendapat semakin banyak jenis

Kejadian hipertensi yang didasarkan pada hasil pengukuran tekanan darah adalah 32,2%, selanjutnya sekitar 7,8% prevalensi hipertensi didiagnosis berdasarkan riwayat minum

Abbrevi- ations: ga: galena, cp: chalcopyrite, sph: sphalerite, fah I: freibergite- tetrahedritess, fah II: secondary tetrahedrite, py: pyrite, plb: polybasite, ac: acanthite,

Dari segi masa kerja, dapat diketahui bahwa karyawan dengan masa kerja antara 5-10 tahun cenderung memiliki tingkat motivasi kerja yang tertinggi jika

Dari kajian elektrofasies yang telah dikoreksi terhadap litofasies pada batubara seam X25 dari data bor inti ( coring ), maka dapat diinterpretasikan bahwa

berkurangnya kepercayaan publik terhadap pemerintah sehingga menyebabkan kurangnya legitimasi publik; serta restrukturisasi hubungan masyarakat dengan pemerintah dalam

Contoh idiom yang tersusun dari jumlah ismiyah bermakna yang paling mulia dari suatu kaum,   bermakna fulan musuh, bermakna mereka menonton (Munawwir:1984). Dalam bidang