• Tidak ada hasil yang ditemukan

EKSISTENSI ANCAMAN PIDANA MATI TERHADAP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "EKSISTENSI ANCAMAN PIDANA MATI TERHADAP"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

EKSISTENSI ANCAMAN PIDANA MATI TERHADAP PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM KONTEKS ANALISIS EKONOMI ATAS HUKUM PIDANA

ABSTRAK

A. Pengertian dan Kontribusi Analisis Ekonomi atas Hukum dalam Hukum Pidana.

Pengertian klasik mengenai hukum adalah kewajiban yang diikuti oleh sanksi yang ditentukan oleh Negara. Bagi ekonom pengertian ini penting eksistensinya mengingat ekonomi menyediakan suatu teori ilmiah untuk memprediksi efek yang timbul dari sanksi hukum pada tingkah laku seseorang. Sedangkan bagi para eonom, sanksi hukum tidak ada bedanya dengan harga, dalam arti orang orang merespon keberadaan sanksi hukum sama halnya ketika mereka merespon keberadaan harga. Mereka merespon terhadap harga yang tinggi melalui pengurangan mengkonsumsi makanan makanan mahal. Orang orang akan merespon keberadaan sanksi hukum yang berat dengan cara melakukan tindakan-tindakan yang ancaman hukum atas tindakan-tindakan itu sangat ringan.

Analisis ekonomi atas hukum hakikatnya adalah ilmu interdisipliner yang mencoba melihat keberadaan hukum terutama sanksinya dari sisi atau prinsip-prinsip ekonomi. Ekonomi sendiri merupakan ilmu tentang pilihan-pilihan rasional dimana sumber-sumber daya yang ada dibatasi dalam hubungannya dengan kebutuhan-kebutuhan manusia. Tugas ekonomi dalam hukum adalah menjelaskan implikasi dari suatu asumsi bahwa manusia merupakan pemaksimal rasional atas keinginan-keinginan, yakni kepuasan dirinya.

Dalam hubungannya dengan kejahatan dan pidana, analisis ekonomi (empiris) paling tidak memberikan tiga konstribusi penting. Pertama, ekonomi memberikan suatu model yang sederhana tentang bagaimana individu berperilaku di hadapan hukum, yang secara lebih khusus menganalisis bagaimana individu merespon kehadiran sanksi pidana. Kebanyakan dari kita punya, atau dalam bahasa ekonomi, memaksimalkan keuntungan didalam melakukan suatu aktivitas tertentu. Kedua, ekonomi relative kaku dalam analisis empirisnya. Priorits utama dalam analisis ekonomi empiris adalah untuk membedakan antara hubungan dan sebab. Hal ini dikarenakan para ekonom berasumsi bahwaa manusia di dalam berperilaku adalah rasional dan memiliki tujuan tertentu. Ketiga, ekonom menyediakan sebuah metric yang jelas di dalam mengevaluasi sukses tidaknya suatu kebijakan hukum pidana. Dalam hal ini criteria normative yang digunakan adalah efisiensi, dan efisiensi sendiri memiliki implikasi pada penegakan hukum yang optimal. Dalam praktik pandangan ini diimplementasikan dalam bentuk perbandingan antara ongkos dan keuntungan dari suatu kebijakan.

B. Karakter, Prinsip Rasionalitas dan Efisiensi

(2)

sarana-sarana yang paling baik untuk tujuan pemilih. Dalam konteks analisis ekonomi atas hukum rasionalitas mengandung pengertian bahwa manusia di dalam melakukan suatu aktivitas tertentu, termasuk melakukan kejahatan, berpikir secra rasional dengan tujuan utama adalah untuk memaksimalkan keuntungan yang diharapkan seperti tindak pidana korupsi.(maximizing the expected utility). Pengertian rasionalitas itu sendiri bukanlah pengertian yang tunggal, dalam artitidak ada pengertian rasionalitas yang diterima secara luas. Russel dan Thomas Ulen mengemukakan paling tidak ada empat pengertian tentang rasionalitas. Pertama, manusia dalah pemaksimal yang rasional didalam mencapai keuntungan ( a man is a rational maximize of his ends ).

Rasionalitas disini tanpa diikuti oleh sarana apa yang digunakan untuk memaksimalkan tujuannya (keuntungan) itu. Kedua, rasionalitas dikonsepsikan dengan keuntungan yang diharapkan (the expected utility). Pengertian ini lebih kuat dibandingkan dengan pengertian yang pertama, karena didalamnya telah menspesipikasikan sarana yang denganya pelaku akan memuaskan tujuan dan pilihannya. Ketiga, kepentingan diri ( self interest ) yang mengandung arti bahwa pelaku akan berusaha mewujudkan keuntungan dan dengan sara apa ia mewujudkan tujuan/keuntungan itu bergantung pada kepentingan masing-masing pelaku. Pengertian ini lebih konkret dibandingkan dengan keuntungan yang diharapkan. Keempat, maksimalisasi kekayaan (the wealth maximization) yang mengandung arti bahwa berusaha untuk memaksimalkan kekayaan yang ada. Pengertian ini merupakan pengertian yang paling spesifik dan paling kuat mengarah pada tindak pidana korupsi.

Jika konsep rasionalitas dikaitkan dengan hukum pidana terkait pidana korupsi, asusmsi yang dilahirkan adalah pelaku kejahatan korupsi merupakan makhluk yang nasional ekonomis yang menimbang antara ongkos yang harus dikeluarkan dari melakukan kejahatan dengan keuntungan yang akan didapat. Ketika keuntungan lebih besar dibandingkan dengan ongkos yang dikeluarkan, maka pelaku akan melakukan kejahatan. Para individu yang melakukan rasional untuk memaksimalkan keuntungan yang mereka dapatkan ( individual behave rationally ti maximize their untility ). Mereka melakukan kejahatan ketika keuntungan dari melakukan perbuatan melanggar hukum melebihi ongkos yang diharapkan dari pemidanaan. Ongkos ini meliputi waktu yang diperlukan baik sebelum atau pada saat melukan kejahatan. sementara keuntungan berupa keuntungan yang berbentuk fisik seperti harta, kekayaan, dan keuntungan yang berbetuk psikis seperti kesenangan dan lain-lain.

Analisis ongkos dan keuntungan sangat penting dalam kebijakan public dana dalam kaitannya dengan usaaha menanggulangi kejahatan. masalah penanggulangan kejahatan. masalah penanggulangan kejahatan berkaitan erat dengan alokasi anggaran tersedia dan dialokasikan untuk mengurangi risiko yanag akan timbul dari suatu kebijakan yang diambil, sementara analisis ongkos dan keuntungan ini juga terkait dengan beberapa banyak sumber daya yang harus dialokasikan untuk menanggulangi kejahatan itu. Dalam model ekonomi di dalam memandang kejahatan pembuat kebijakan memiliki dua mekanisme untuk mengurangi aktivitas penjahat, yaitu kemungkinan ditangkap damn beratnya sanksi pidana (the probality of apprehension and the magnitude of sanction). Tentu usaha untuk mengurangi kejahatan merupakan ongkos bagi masyarakat karena kemungkinan ditangkap (the probability of apprehension) mensyaratkan penggunaan polisi dan jaksa. Sementara, menurut model yang resmi (ditetapkan oleh undang-undang) sanksi disamakan dengan denda daripada pemenjaraan, dan denda itu sendiri tidak membutuhkan pengeluaran sumber daya.

(3)

dan yang bukan penjahat, sehingga diketahui mana yang dapat mendatangkan keuntungan yang paaling besar.

Semua orang (tidak hanya penjahat) adalah pelaku rasional yang berdasarkan subjektivitasnya menimbang ongkos dan keuntungan dari kegiatan yang dilakukan. Beberapa orang memilih kegiatan yang dilabeli penjahat, karena bagi mereka keuntungan yang diperoleh dari kegiatan tersebut melebihi ongkos yang harus dikeluarakan. Untuk mencegah agar mereka dari melakukan tindak pidana yang dikeluarkan, sehingga dengan demikian, keuntungan yang diperoleh lebih kecil. Caranya adalah dengan meningkatkan jumlah pidana yang akan dijatuhkan atau kesempatan untuk ditangkap dan diadili. Pada saat yang sama ongkos sosial yang harus ditanggung dari penegakan hukum harus ditekan sedemikian rupa sehingga berada pada posisi minimal. Ongkos penegakan hukum jangan sampai melebihi kerugian sosial yang mau dicegah melalui saran penegakan hukum. Singkatnya, untuk meminimalisir ongkos sosial yang harus ditanggung adalah dengan cara meningkatkan sanksi pidana yang cukup berat serta meningkatkan jumlah penjahat yang ditangkap.

Ketiga, eksistensi kategori penjahat (the existence of criminal category). Masalah ini berhubungan dengan analisis terhadap hukum pidana substantive dan berusaha menjelaskan sampai sejauh mana kehadiran hukum pidana memang diperlukan. Prinsip kedua analisis ekonomi atas hukum pidana adalah prinsip efisiensi yang mengandung makna pengematan, pengiritan, ketepatan, atau pelaksanaan sesuai dengan tujuan. Efisiensi berkaitan dengan tujuan dan saran yang digunakan untuk mencapai tujuan. Bila saran yang ingin dicapai membutuhkan lebih banyak biaya dibandingkan dengan tujuan yang ingin dicapai, maka hal itu dikatakan tidak efisien. Sebaliknya, jika penggunaan saran membutuhkn lebih sedikit biaya yang harus dikeluarkan dibandingkan dengan tujuan yang ingin dicapai, maka hal itu dikatakan efisien.

Dalam hukum pidana efisien berkaitan dengan dua hal. Pertama, apakah perbuatan-perbuatan yang ingin ditanggulangi dengan hukum pidana tidak banyak memerlukan ongkos untuk menanggulanginya sehingga keuntungan yang ingin diraih darinya lebih besar. Kedua, apakah sanksi pidana yang dijatuhkan lebih besar atau berat dibanddingkan dengan keuntungan yang diraih pelaku dari melakukan perbuatan pidana. Jika sanksi pidana lebih berat dari ngkos yang harus dikeluarkan oleh pelaku, dapat dipastikan bahwa pelaku akan menghindar untuk melakukan kejahatan. Apabila dihubungkan penjatuhan sanksi pidana bagi pelaku kejahatan, yang pertama kali harus diperhatikan adalah bentuk-bentuk sanksi pidana apa saja yang tersedia yang akan dijatuhkan kepadanya, harus baru kemudian dianalisis dari bentuk-bentuk sanksi pidana yang ada, mana yang paling efisisendilihat dari pprinsip ongkos dan keuntungan. Umumnya bentuk-bentuk sanksi pidana berupa pidana mati, pidana seumur hidup, pidana penjara dan pidana denda.

C. Teori Pencegahan sebagai Dasar Analisis Ekonomi Atas Hukum

Dilihat dari teori pemidanaan analaisis ekonomi atas hukum menggunakan teori pencegahan (deterrence) dar pada teori retribusi (retribution), rehabilitasi (rehabilitation) dan inkapasitasi (incapacitation). Asumsi teori pencegahan adaalah bahwa manusia adalah makhluk rasional. Impliklasinya ketika seseorang melakukan kejahatan, maka sanksi pidana yang dijatuhkan harus melebihi seriusitas tindak pidana. Teori pencegahan yang dimaksud adalah pencegahan umum (general deterrence), bukan pencegahan khusus (special deterrence). Penjatuhan sanksinpidana bertujuan untuk mencegah seseorang atau orang lain/ masyarakat melakukan kejahatan. sanksi pidana dijatuhkan agar pelaku dan orang lain tidak melakukan kejahatan itu, karena kalau itu yang terjadi, sanksi pidana akan dijatuhkan untuk kedua kalinya.

(4)

(soecial dterrence). Asumsi pencegahan umum adalah ketika pelaku kejahatn ditangkap, tentu saj dikatakan terlambat untuk mencegah pelaku dari melakukan suatu kejahatan tertentu. Namun demikian, dengan memidana pelaku kejahatan dan membuat masyarakat memiliki kesadaran mngenai pidana yang akan dikenakan jika mereka melakukan kejahtan, para anggota masyarakat itu akan terhindar dari melakukan aktivitas yang sama, karena kalau tidak, mereka akan ditangkap dan kemudia dijatuhi pidana.Dalam teori retribusi yang memandang bahwa pidanaa bagi prlaku kejahatan harus setimpal (proportional) dengan seriusitas kejahatan yang dilakukan, mengindikasikan bahwa Negara memiliki keleluasan untuk menyesuaikan pencelaan dan ongkos yang harus ditanggung individu akibat dmasukkan ke penjara sampai ia sesuai/ setimpal engan seriusitas kejahatan yang dilakukan . dalam prinsip ekonomi teori ini tidak banayaak diikuti mengingat bagi sebagian pelaku kejahatan, adanya peluang yang sama antar keuntungan dan ongkos (pidana) yang harus ditanggung akan menyebabkannya memilih untuk melakukan kejahatan.

Sementara, teori rehabilitasi yang berasumsi bahwa pelaku-pelaku kejahataan dimasukkan ke penjara kemudian dididik di dalamnya, yang tujuan utamanya adalah tidak lain kecuali agar mereka tidak melakukan lagi kejahatan di masa mendatang, pada kenyataanyaa tidak banyak memberkan hasil yang diharapkan. Programprogram rehabilitasi menunjukkan hasil yang bagus (rehabilitative programs show poor results). Yang terakhir adalah teori inkapasitasi. Teori ini memandang bahwa pelaku kejahatan tidak akan melakukan kejahatan ketika mereka berada dipenjara. Berdasarkan penelitian, teori inkapasitasi ini secara signifikan mengurangi angka kejahatan. tentu saja fakta ini harus melalui suatu penelitian yang cermat. Setidaknya dua syarat yang harus dipenuhi untuk mengatakan bahwa teori inkapasitasi berhasil di dalam menurunkan angka kejahatan; ertama, pelaku-pelaku kejahtan yang dipenjara tidak digantikan dengan pelaku-pelaku baru kurun waktu yang cukup lama.

Dengan kata lain teori inkapasitasi paling efektif di dalam mengurangi kejahatan ketika persediaan pelau-pelaku kejahtan tidak elastis (incapacitation is most effective at reducing crime when the supply of criminals is inelastic). Syarat ini sangat sulit dipenuhi mengingat elastisitas persediaan pelaku kejahatan. Kedua, pemenjaraan harus dapat mengurangi jumlah keseluruhan kejahatan yang dilakukan oleh residivis. Syarat ini pun juga sangat sulit dipenuhi, dikarenakan residivis melakukan kejahatan disebabkan oleh factor-faktor biologis dan sosiologis.

D. Konteks Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi a. Motif Ekonomi Pelaku Tindak Pidana Korupsi

Secara teoritis terdapat dua motif seseorang melakukan tindak pidana korupsi yang umum terjadi dimasyarakat. Pertama, corruption by need. Motif pertama lebih menekankan pada adanya kebutuhan hidup yang harus ditanggung oleh seseorang. Kebutuhan hidup ini bisa kebutuhan hidup dirinya sendiri, kebutuhan hidup istri dan anaknya maupun hidup sanak keluarganya. Seseorang melakuka korupsi karena “terpakas” harus memenuhi kebutuhan dirinya, keluarga dan sanak kerabatnya. Himpitan ekonomi menjadi salah satu alasan mengapanorang tersebut melakukan korupsi. Kedua, corruption by greed. Berbeda dengan yang pertama, pada yang kedua motif pelaku melakukan tindak pidana korupsi semata mata karena motif ekonomi karena rakus. Secara materi pelaku merupakan orang yang terpandang baik dari sisi kedudukan maupun dari sisi kemampuan financial. Karena motif rakus itulah menyebabkan orang tersebut dengan tanpa dosa menjarah uang rakyat (uang Negara).

(5)

dirasa tidak relevan karena sejak awal, analisis ini hanya berhubungan dengan tindak pidana yang berkharakter ekonomi dan pelaku tindak pidana melakukan pelanggaran hukum semata-mata didorong oleh ekonomi. Dalam banyak perkara tindak pidana korupsi yang muncul.

Dalam banyak perkara tindak pidana korupsi yang muncul ke public yang diduga merugikan keuangan Negara yang banyak, hakikatnya merupakan tindak pidanaa korupsi yang disebabkan oleh motif ekonomi sehingga penggunaan analisis ekonomi atas hukum tepat pada konteks ini. Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi pemberantasan tindak pidana korupsi salah satu tujuannya adalah untuk menjerat pelaku korupsi kelas kakap yang disebabkan oleh motif ekonomi atau karena rakus. Tidak mengherankan jika dewasa ini muncul istilah banalisme, suatu ungkapan yang menyiratkan titik terendah moralitas koruptor. Kalau seseorang melakukan tindak pidana korupsi karena hendak memenuhi kebutuhan bertahan hidup ( corruption by need ), ia masih memiliki alasan yang dimaklumi untuk itu, akan tetapi jika seorang kaya dan memiliki jabatan penting dipemerintahan melakukan tindak pidana korupsi dan kebetulan tertangkap, maka pendapat yang muncul adalah karena yang bersangkutan apes atau kurang beruntung. Hal demikian menunjukkan bahwa moralitas orang tersebut berada pada titik terendah, karena yang dipentingkan hanyalah aspek ekonomi semata.

b. Formulasi Pidana Denda

Jika pidana denda dalam undang-undang tindak pidana korupsi hendak disuaikan dengan prinsip-prinsip dalam analisis ekonomi atas hukum pidana, yang perlu dilakukan adalah dengan merubah formulasi dan ancaman pidana denda dalam semua ketentuan pasal dalam undang undang tersebut. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, dalam analisis ekonomi eksistensi pidana denga tidak akan bertemu atau bebarengan dengan pidana penjara untuk dijadikan sebagai alat penjatuhan sanksi pidana bagi pelaku. Pidana penjara tidak efisien karena memboroskan keuangan Negara. Kedua, perumusan ancamaan pidana denda menurut analisis ekonomi atas hukum pidana tidak dirumuskan secara eksplisit jumlah nominal denda yang harus dibayar disesuaikan dengaan keuntungan pelaku korupsi dengan biaya penegakan hukum yang dikeluarkan oleh Negara. Misalnyaa jika kerugian Negara yang ditimbulkan oleh pelaku dan biaya penegaakan hukum sebesar Rp. 10.000.000.000 maka pdana denda yang dijatuhkan kepada pelaku minimal dua kali lipat dan maksimal empat kali lipat yakni antara Rp. 20.000.000.000 sampai Rp. 40.000.000.000.

Mengapa harus demikian ? sebab, berdasarkan analisis ekonomi terhadap hukum pidana, kesejahteraan sosial (penjatuhan pidana denda) dapat ditempuh dengan memperhatikan jumlah keuntungan yang diperoleh pelaku dari melakukan perbuatan yang terlarang, dikurangi kerugian yang disebabkan oleh perbuatan itu, dann pengeluaran yang dikeluarkan dalam rangka penegakan hukum. Kerugian akibat tindak pidana ini meliputi kerugian sosial yang ditimbulkan, biaya yang harus dikeluarkan korban [otensial untuk melakukan pencegahan agar tidak menjadi korban, dan kerugian yang secara langsung dialami oleh korban. Sementara biaya penegakan hukum pidana meliputi biaya pencegahan, pengungkapan, penangkapan, dan penjatuhan sanksi pidana. Semua itu harus diukur dan dibandingkan dengan jumlah keuntungan yang diperoleh dari melakukan tindak pidana.

(6)

operasionalisasi penegakan hukumnya.

Begitu juga dengan kemungkinan dipidana dengan pidana yang tinggi yang melebihi keuntungan yang diperoleh pelaku. Karena dengan itu, pelaku akan menggung semua biaya dari tindakannya itu. Pemikiran ini umumnya disebut dengan pemidanaan yang efisien. Dalam analisis ekonomi terhadap hukum pidana, dikenal dua model yang dapat digunakan untuk mewujudkan penjatuhan sanksi pidana yang optimal, yaitu shaping the individual’s apportunities dan shaping the individual’s preferences. Yang pertama memiliki konsepsi bahwa seseorang bahwa seseorang secara rasional memilih kesempatan-kesempatan yang ada untuk newujudkan kepuasan yang paling besar berdasarkan pilihan yang ada. Sementara yang kedua memiliki konsepsi bahwa seseorang akan bertindak secara rasional selama pilihan-pilihan yang dimiliki lengkap, dan dia akan memilih kesempatan yang didalamnya terdapat keuntungan yang paling besar berdasarakan pilihan-pilihan yang dimiliki.

Seseorang akan melakukan tindak pidana berdasarkan kesempatan dan pilihan yang dimiliki. Ketika kesempatan dan pilihan yang dimiliki.ketika kesempatan yang dimiliki besar, agar seseorang itu tidak melakukan kejahatan, yang harus dilakukan adalah dengan memperbesar kemungkinan ditangkap., dipidana dan dijatuhi dengan sanksi pidana yang besar (berat) pula. Begitu juga ketika pilihan-pilihan untuk melakukan tindak pidana lengkap, ia akan memiliki banyak kesempatan untuk melakukan kejahatan. hanya dengan caraa itulah, penegakan hukum pidana optimal, sehingga kesejahteraan sosial yang menjadi tujuan utama dapat terwujud.

Upaya lain yang dapat dilakukan adalah dengn menyamakan kesempatan untuk melakukan tindak pidana maupun kesempatan untuk tidak melakukan tindak pidana. Ketika kesempataan antara melakukan dan tidak melakukan tindak pidana sama, maka biaya yang diperlukan dalam penegakan hukum ketika terjadi tindak pidana akan optimal. Tidak akan banyak orang yang melakukan tindak pidana. Penegakan hukum pidana dapat menurunkan angka kejahatan dikatakan optimal dan itu dikatakn mencegah kejahatan. penjatuhan sanksi pidana yang optimal dalam analisis ekonomi terhadap hukum pidana ini harus dalam batas batas yang masih ditoleransi, sehinnga tidak menimbulkan apa yang disebut penegakan hukum yang berlebihan (over on forcement ). Penjatuhan sanksi pidana yang berlebihan terjadi manakala jumlah keseluruhan sanksi pidana dijatuhkan kepada pelanggar melebihi jumlah optimal dari upaya pencegahan. Penegakan hukum yang berlebihan dapat juga terjadi ketika kerugian yang ingin dijatuhkan kepada pelaku melebihi upaya pencegahan yang diharapkan dari dijatuhinya sanksi kepadanya.

Ketika seorang merugikan orang lain atau keuangan Negar sebesar Rp. 20.000.000.000 akan dikatakan jika ia dijatuhi sanksi pidana sebesar Rp. 80.000.000.000 jika pengenaan denda sebesar Rp. 40.000.000.000 dikatakan kita tidak dapaat mencegahnya dari melakukan tindak pidana. Yang akan timbul jika penegakan hukum pidana tidak memperhatikn aspek pencegahan yang diharapkan Mampu mencegah seseorang melakukan tindak pidana adalaah potensi pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh aparat penegak hukum terhadap pelaku. Dapat saja pelaku tindak pidana dipidana melebihi batas maksimal dari kesalahan yang dilakukan.

c. Pidana Mati Lebih Diefektifkan

(7)

harus ditanggung oleh negara.

Ongkos ini meliputi ongkos langsung dari membangun suatu gedung penjara, pemeliharaanya, menggaji pegawai-pegawai yang bertugas dipenjara, ongkos kesempatan yang hulang dari produktivitas bagi mereka yang dipenjara. Belum lagi ongkos hidup stiap orang yang dimasukkan penjara akibat perbuatan yang dilakukan. Selain itu pidana penjara lebih banyak menguntungkan terpidana yang memiliki kekayaan banyak dan dekat dengan kekuasaan. Realitas yang demikian tentu sja menurt analisis ekonomi atas hukum pidana tidak efisien dan menimbulkan biaya yang sangat tinggi. Resistensi dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kinerja aparat penegak hukum khusunya petugas lembaga pernasyarakatan karena buruknya kinerja mereka dalam perlakuan dan pembinaan yang diskriminatif terhadap warga binaan (narapidana) harus dihitung dan ditanggung oleh Negara. Hal itu semua pasti memerlukan biaya dan ongkos yang sangat banyak. Dengan demikian pidana penjara sangat tidak lah efisien. Harus diakui bahwa sejak undang No. 3 Tahun 1971 hingga undang-undang No. 20 Tahun 2001 diberlakukan, belum pernah ada pelaku tindak pidana korupsi yang dijatuhi pidana mati berdasarkan putusan pengadilan.

Paling tidak terdapat dua hal mengapa pidana mati belum pernah diterapkan, pertama, ketentuan penjatuhan pidana mati dalam undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-undang No. 21 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sangat sulit terpenuhi seperti apabila tindak pidana korupsi dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulanagn keadaan bahaya. Negara dalam keadaan bencana Nasional, krisis moneter, dank arena pengulangan tindak pidana korupsi. Kedua, ancaman pidana mati hanya diperuntukkan bagi pelaku tindak pidana korupsi yang melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri/orang lain/suatu korporasi secara melawan hukum sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) undang-undang No. 31 Tahun 1999. Secara teoritis makn aperorangan atau setiap orang menunjuk kepada siapa orangnya yang harus bertanggung jawab atas perbuatan (tindak pidana) yang didakawakan itu atau setidak-tidaknya mengenai siapa orangnya yang harus dijadika terdakwa. Kata setiap orang identik dengan terminology kata barang siapa. Oleh karena itu , kata setiap orang atau barang siapa sebagai siapa saja yang harus dijadikan sebagainsubjek hukum pendukung hak dan kewajibn yang dpat dimintai pertanggung jawaban pidan atas tindak pidana yang dilakukan sehingga secara histories kronologis manusia sebagai subjek hukum telah dengan sendirinya memiliki kemampuan bertanggung jawab kecuali secara tegas undang-undang menentukan lain.Ini artinya, selain pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (1) pidana mati tidak dapat dijatuhkan.

Menurut Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK) 1971, yang dimaksud dengan unsure memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan dalam ayat ini dapat dihubungkan dengan pasal 18 ayat (2) yang memberi kewaajiban kepada terdakwa untuk memberikan keterangan tentang sumber kekayaan sedemikian rupa sehingga kekayaan tentang sumber kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau penambahan kekayaan tersebut digunakan untuk memperkuat keterangan saksi lain bahwa telah melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 37 ayat (4) UU PTPK 1999). Penafsiran istilah memperkaya antara yang farfiah dan yang dari pembuat undang-undang hamper sama. Hal yang jelas, keduanya menunjukkan perubahan kekayaan seseorang atau bertambah kekayaanya, diukur dari penghasilan ya g telah diperolehnya.

Sementara ,maksud “memperkaya orang lain ” adalah akibat dari perbuatan melawan hukum pelaku, ada orang lainyang menikmati bertambahnya harta bendanya. Jadi disini yang diuntungkan bukan pelaku langsung, atau mungkin juga mendaoat keuntungan dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku adalah suatu korporasi, yaitu kumpulan orang atau kumpulan kekayaan terorganisasi, baik berupa badan hukum maupun bukan badan hukum.

(8)

Referensi

Dokumen terkait

Jadi menurut hukum islam/ fiqh kontemporer ini, apabila ada poligami tanpa izin dari isteri atau hakim maka poligami tersebut dapat di-fasakhmelalui hakim tentunya

Data yang sudah diolah diproses dengan tools Power BI memberikan output data visual yang memberikan informasi detail tentang data kecelakaan lalu lintas.. Data ini akan di

Perbedaan nilai germination test pada setiap contoh benih dipengaruhi oleh beberapa parameter benih (ISTA, 2020) antara lain, (1) normal seeds yaitu kecambah

Kegiatan Tematik Karyawan : Narasumber Hari Kartini Jasa Lainnya  Pemilihan  Langsung/Seleksi  Langsung  X

Perbandingan antara data percobaan dan permodelan apabila digunakan nilai D = 2.71 diperoleh hasil seperti pada Gambar 2 yaitu perbandingan antara kadar air

Pada tahap ini dilakukan perencanaan campuran ( mix design ) (SNI-03-2834- 2000) berdasarkan hasil pengujian dari masing masing bahan yang akan digunakan untuk

Analisis keseluruhan menggunakan data hasil pemantauan GPS yang dipasang di enam titik stasiun berkala dan di sembilan titik stasiun kontinyu sebagai referensi hingga

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Res2Dinv dengan hasil berupa gambar tampang lintang resistivitas model bawah permukaan 2D yang digunakan untuk