• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ijtihad dan Penerapannya dalam Ekonomi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Ijtihad dan Penerapannya dalam Ekonomi "

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Ijtihad dan Penerapannya dalam Ekonomi

Keuangan

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah DOSEN : SARIFUDDIN DALIMUNTE

DISUSUN O L E H

Kelompok 5

SEMESTER 1-U Perbankan Syariah 1. INDAH SARI DALIMUNTE 2. NURZUKHAIRI SYAFITRI 3. DEWI INDRIANI

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM

JAM’IYAH MAHMUDIYAH

(2)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan tugas kelompok mata kuliah yang berjudul “Ijtihad dan Penerapannya dalam Ekonomi Keuangan “

Dalam penyelesaian makalah ini penulis banyak mendapatkan bantuan dan bimbingan dari beberapa pihak, untuk itu melalui kata pengantar ini penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini. Dan tidak pula penulis mengucapkan terima kasih kepada Dosen BAPAK SARIFUDDIN DALIMUNTE Sebagai bantuan dan dorongan serta bimbingan yang telah diberikan kepada penulis dapat diterima dan menjadi amal sholeh dan diterima Allah sebagai sebuah kebaikan. Semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan semua pembaca pada umumnya.

Tanjung Pura Oktober 2017

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI...ii

BAB I PENDAHULUAN...1

A. Latar Belakang...1

B. Rumusan Masalah...1

C. Tujuan Penulisan...1

BAB II PEMBAHASAN...2

A. Pengertian Ijtihad Perkembangan Ijtihad...2

B. Syarat-syarat mujtahid dan Kualifikasi mujtahid...6

C. Pembagian Ijtihad...8

D. Lapangan Ijtihad...9

E. Penerapan Ijtihad dalam Ekonomi Keuangan Kontemporer...10

F. Ijtihad dalam Inovasi Produk Perbankan dan Keuangan Syariah...12

G. Ijtihad Dalam Ekonomi Mikro dan Makro...13

BAB III PENUTUP...15

A. Kesimpulan...15

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada pada zaman Rasulullah SAW. Hingga dalam perkembangannya, ijtihad dilakukan oleh para sahabat, tabi’in serta masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini. Meskipun pada periode tertentu apa yang kita kenal dengan masa taqlid, ijtihad tidak diperbolehkan, tetapi pada masa periode tertentu pula (kebangkitan atau pembaharuan), ijtihad mulai dibuka kembali.

Sekarang, banyak ditemui perbedaan-perbedaan madzab dalam hukum Islam yang itu disebabkan dari ijtihad. Misalnya bisa dipetakan Islam kontemporer seperti Islam liberal, fundamental, ekstrimis, moderat, dan lain sebagainya.

B. Rumusan Masalah

1. Apa itu Ijtihad dan bagaimana Perkembangan Ijtihad ?

2. Bagaimana Syarat-syarat mujtahid dan Kualifikasi mujtahid ? 3. Bagaimana Pembagian Ijtihad ?

4. Lapangan Ijtihad ?

5. Bagaimana Penerapan Ijtihad dalam Ekonomi Keuangan Kontemporer ? 6. Bagaimana Ijtihad dalam Inovasi Produk Perbankan dan Keuangan

Syariah ?

7. Bagaimana Ijtihad Dalam Ekonomi Mikro dan Makro ? C. Tujuan Penulisan

1. Untuk Mengetahui Ijtihad dan bagaimana Perkembangan Ijtihad 2. Untuk Mengetahui Syarat-syarat mujtahid dan Kualifikasi mujtahid 3. Untuk Mengetahui Pembagian Ijtihad

4. Untuk Mengetahui Lapangan Ijtihad

(5)

6. Untuk Mengetahui Ijtihad dalam Inovasi Produk Perbankan dan Keuangan Syariah

7. Untuk Mengetahui Ijtihad Dalam Ekonomi Mikro dan Makro

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijtihad Perkembangan Ijtihad

a. Pengertian Ijtihad

Secara etimologi, ijtihad diambil dari kata al-jahd atau al-juhd, yang berarti al-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan ath-thaqat (kesanggupan dan kemampuan). Dengan kata lain, Ijtihad secara etimologi adalah pencurahan segenap kesanggupan untuk mendapatkan sesuatu urusan atau sesuatu perbuatan. Dalam Al-Qur’an disebutkan:1

ممههددهمجه اللدإإ ندودهجإيد الد نديذإللداود

Artinya:

“Dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan) selain kesanggupan.” Q.S. At-Taubah:79)

Kata al-jahd bbeserta seluruh derivasinya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa dan sulit untuk dilaksanakan atau disenangi.

Dalam pengertian inilah, Nabi mengungkapkan kata-kata:

ءءاععدددلا ىفء وو اددهءتعجووع يدعلععع اوولددصع Artinya:

Bacalah salawat padaku dan bersungguh-sungguhlah dalam berdoa.”

ءءاععدددلا ىفء اووددهءتعجوافع ددووجدسددلاامدعأعوع Artinya:

Pada waktu sujud, bersungguh-sungguhlah dalam berdoa.”

Demikian pula pada jihad (perang) yang derivasinya sama dengan ijtihad mengandung arti sungguh-sungguh dan tidak disenangi.

Ijtihad adalah masdar dari fiil madzi ijtahada. Penambahan hamzah dan ta’ pada kata ja-ha-da menjadi ijtahada pada wajan if-ta-a’-la berarti, “usaha itu lebih sungguh-sungguh”. Seperti halnya ka-sa-ba menjadi iktasaba, yang berarti “usaha

(6)

lebih kuat dan sungguh-sungguh”. Oleh sebab itu, ijtihad berarti usaha keras atau pengerahan daya upaya (istifragh al-wus’ atau badzl al-wus’). Dengan demikian, ijtihad berarti usaha maksimal untuk mendapatkan atau memperoleh sesuatu. Sebaliknya, suatu usaha yang dilakukan tidak maksimal dan tidak menggunakan daya upaya yang keras tidak disebut ijtihad, melainkan daya nalar biasa, ar-ra’y atau at-tafkir.

b. Perkembangan Ijtihad

1. Ijtihad Fiqih pada Masa Nabi SAW

Umat Islam pada masa rasul tidak melakukan ijtihad bila menghadapi suatu masalah yang baru, mereka medatangi Nabi untuk bertanya. Mereka bertanya, lalu Nabi menjawab dengan petunjuk wahyu yang diturunkan kepadanya, atau dengan pet unjuk Ijtihadnya yang mendapat kebenaran dari wahyu. Mereka hanya mempwegunakan ijtihad bila mereka tak dapat bertanya. Ijtihad itu mereka sampaikan kepada Nabi, lalu Nabi memberikan putusannya.

Sesudah Nabi wafat, para ulama mulai melakukan Ijtihad, karena dirasa sangat perlu. Mereka mulai memutar otak (nadhar) memikirkan soal-soalyang terjadi karena wahyu telah putus. Memang mereka memerlukan ijtihad karena Al Quran sebagai Undang-undang dasar yang kulli hanya menetapkan pokok-pokok undang-undang yang umum (qawaaid kulliyah) yang dapat dipersesuaikan dengan segala masa dan tempat, yang semuanya itu bertujuan menyelamatkan manusia baik dunia ataupun di akhirat.2

2. Periode-periode Ijtihad sesudah Nabi SAW

Dengan meneliti perjalanan sejarah Islam, terutama sejarah tasyri’nya, kita dapat menetapkan, bahwa Ijtihad sesudah Nabi wafat adalah memlalui tiga periode:

a) Periode sahabat bsar, periode Khulafaur Rasyidin

b) Periode sahabat kecil, pemuka tabi’in di Masa bani Umayyah c) Periode tabiin dan Imam Mujtahiddin di permulaan masa bani abbas

3. Ijtihad dan Fiqih di Masa Khulafaur Rasidin

Para sahabat besar, sepeninggal Rasul mengahadapi berbagai permasahalan baru. Maka mereka melakukan istinbat terhadap permasalahan

(7)

tersebut, namun tidak menetapkan masalah-masalah yang belum terjadi dan tidak member jawaban (fatwa) terhadap yang belum timbul.

Bila terjadi satu masalah, barulah mereka melakukan Ijtihad. Mereka berpegang dalam urusan tersebut, kepada:

1) Al Quran, merupakan sendi Islam, yang telah mereka pahami dengan sempurna karena Al Quran itu diturunkan dalam bahasa merka disamping itu mereka pun dapat menyaksikan sebab-sebab turunnya.

2) Sunatur Rasul, mereka telah bermufakat mengikuti sunnah yang mereka Abu bakar bila mengalami peristiwa yang baru, beliau mencarinya dalam memperhatikan Al quran. Jika terdapat didalamnya, beliau menetapkan hokum dengannya. Jika tidak terdapat didalamnya beliau lalu mencarinya dalam hadits. Jika terdapat di Hadits, beliaupun menetapkan hokum dengannya. Jika tidak mendapati hokum itu didalam hadits, sesudah beliaua memeriksanya dengan seksama, beliau lalu bertanya kepada sahabat. Jika ada seseorang sahabat yang memberitahukan tentang putusan nabi, beliaupun berpegang kepadanya.3

Umar juga menuruti jejak itu. Apabila Umar tidak mendapatkan hokum dalam Al Quran dan Al Hadits, beliau bertanya tentang penetapan yang dilakukan oelh Abu Bakar dan beliau mengamalkannya jika penetapan Abu bakar itu tidak beliau temukan dalam sumber lain

Utsman dan Ali bersikap demikian pula. Mereka sangat berhati-hati menerima riwayat. Diantaranya ada yang menerima riwayat sesudah perawi disumpah dan ada yang meminta saksi.

Adapun cara Ijtihad yang mereka terapkan adalah, sebagai berikut:

a) Mengeluarkan hokum dengan dasar ra’yu perseorangan (Ijtihad Fardi) b) Menetapkan hokum dengan cara mengadakan ijma’ (Ijtihad Jama’i) Apabila timbul soal-soal yang tidak ada nash nya di dalam Al Quran dan Al hadits,para sahabat itu menjalankan ra’yu atau mempergunakan pikiran dan daya akal, yakni “mendasarkan, hokum pada kemaslahatan dengan bersendikan kaidah-kaidah umum.”

Apabila tidak mendapat hokum dalam Kitab dan Sunnanh, abu Bakar mengumpulkan para ulama di kalangan sahabat dan merembukkan permasalahan

(8)

itu. Kemudian bila para ulama itu bermufakat menetapkan suatu pendapat, Abu Bakar pun menghukumi masalah itu menurut pendapat yang disepakati. Pendapat yang diambil dengan perembukan harus diikuti oleh rakyat. Mengeluarkan pendapat (menetapkan hukum) dengan jalan berkumpul itu dinamakan ijma’.

Pada masa tersebut, jumlah mereka yang dikumpulkan untuk berunding, masih sedikit. Tegasnya, melakukan ijma’ (menyatukan pendapat) sebagaimana yang dikehendaki ulama ushul masih dapat dijalankan dengan mudah, yang sesuai dengan kehendak ahli politik.

Sikap Abu Bakar itu tidak ubahnya seperti yang dilakukan oleh kepala Negara pada saat inin, yaitu memerintahkan badan eksekutif dan legislatif bersidang untuk menetapkan undang-undang yang harus dipatuhi oleh Negara dan masyarakat. Penetapan badan-badan itu yang diambil dengan suara bulat dinamai ijma’.

Kesimpulannya, para sahabat yang memegang Ijtihad (yang dapat dikatakan menjadi anggota badan perancang) pada periode iini, mengeluarkan hokum dari dalil-dalilnya (Al Kitab dan Sunnah). Sesudah menyelidikanya dengan seksama, barulah mereka mempergunakan penyelidikan akal dan membuat keputusan yang sempurna.

Ahli-ahli fatwa dimasa itu, yang member fatwa secara pribadi, tidak menentukan hokum untuk masalah yang belum terjadi. Karena itu, pemakaian qiyas kurang terjadi dalam masaini. Bahkan sebagaian mereka mencela pemakaian qiyas (dengan tdak memakai batas) dalam urusan menetapkan hokum. Dan perlu ditegaskan bahwa hokum-hukum yang mereka tetapkan secara pribadi dengan kekuatan Ijtihad mereka masing-masing, tidak harus dituruti oleh rakyat.4

Abu Bakar apabila berijtihad mengatakan, “Ini pendapatku. Jika benar maka dia dari Allah. “Umar apabila berijtihad mengatakan, “Inilah pendapat Umar. Jika benar maka dia dari Allah. Jika salah, maka dia dari Umar sendiri. Sunah itu, hanyalah yang di sunahkan Allah dan Rasul Nya; jangan kamu menjadikan pikiran yang salah, sunah bagi rakyat.”

Adapun para ulama setelah masa sahabat menetapkan pokok-pokok dengan memperhatikan sikap-sikap para sahabat dalam menetapkan hokum bahwa

(9)

“pokok-pokok pegangan” dalam menetapkan hokum dan menciptakan hokum fiqih ada empat perkara.

1) Kitabullah 2) Sunatur Rasul

3) Al Ijtihad (Ar Ra’yu) ; menetapkan suatu hokum berdasarkan kemaslahatan dan berdasarkan kaidah syara’ yang umum dan illat-illat hokum.

4) Al Ijma ; menetapkan hokum dengan dimusyawarahkan bersama-sama, baik penetapan itu berdasarkan kaidah pada keterangan Kitab, ataupun keterangan Sunah, maupun ketetapan Ra’yu, Al Ijma adalah cara membuahkan hokum yang di istinbatkan dari Al Quran dan As Sunah, secara tersendiri dan secara bersama.5

B. Syarat-syarat mujtahid dan Kualifikasi mujtahid

a. Syarat-syarat mujtahid

Berbicaratentang syarat-syarat ijtihad tidak lain dari berbicara tentang syarat-syarat mujtahid. Demikian pula sebaliknya, yaitu berbicara syarat-syarat mujtahid tidak lain berbicara

ilmu syara’, mampu melihat yang dzon didalam hal-hal yang syar’i, tentang syarat-syarat ijtihad.

Imam al-Ghazali dalam kitabnya al-Mustasyfa [5](II/102) menyatakan mujtahid mempunyai dua syarat :

1. Mengetahui dan menguasai mendahulukan apa yang wajib didahulikan dan membelakangkan apa yang mesti dikemudiankan.

2. Ia hendaknya sorang yang adil. Menjauhi segala ma’siyat membuat cemarkan sifat dan sikap keadilan (‘adalah). Ini yang penting karena syarat ini menjadi landasan apakah fatwanya dapat dijadikan pegangan atau tidak. Orang yang tidak mempunyai sifat yang demikian , fatwanya tidak boleh dijadikan pegangan. Adapun sifat yang tidak adil untuk dirinya sendiri, artinya fatwa atau ijtihadnya itu untuk dirinya sendiri, sifat tidak adil itu tidaklah menjadi halangan. Artinya didalam ia bersifat tidak adil itu boleh saja boleh saja berijtihad untuk dirinya sendiri, dan fatwanya menjadi pegangan untuk dirinya sendiri.

(10)

adapun syarat lebih rincinya pendapat ulama ushul terhadap orang yang mengemukakan ijtihad adalah sebagai berikut:

a. Mempunyai pengetahuan yang luas tentang al-Qur’an serta memahaminya mencakup ilmu yang berkaitan denganya, seperti nasikh mansukh, asbabu al-Nuzul mujmaldan mubayyan, muthlaq muqayyad, mantuq dan mafhum lafadz ‘amm khas.

b. Hafal al-Qur’an seluruhnya (Imam syafi’i )

c. Mempunyai pengetahuan Sunnah Nabi meliputi al-Jarh wata’dil, asbabulwurud al-Hadist, ilmu hadist dirayah wa riwayah dan ilmu lain yang berhubungan dengan hadist.

d. Mengetahui masalah-masalah hukum yang menjadi ijma’ para ulama terdahulu.

e. Mengetahui bahasa Arab dengan baik dan sempurna, paham ilmu nahwu dan lainya.

f. Mengetahui Ushul fiqh

g. Mengetahui maqashid as-Syari’ah h. Iman, cerdas dan lainya6

b. Kualifikasi mujtahid

Tanpa memenuhi syarat, seseorang tidak dapat dikategorikan sebagai mujtahid yang berhak melakukan ijtihad. Dikalangan ulama yang melakukan ijtihad ada beberapa tingkatan. Dan tingkatan ini tergantung pada aktivitas yang dilakukan mujtahid itu sendiri. Tingkatan-tingkatan dikalangan mujtahid itu sebagai berikut:

1. Mujtahid muthlaq mustaqil ( mujtahid Independen), yaitu mujtahid yang membangun teori dan istinbath sendiri tanpa bersandar kepada kaidah istinbat pihak lain. Yang termasuk dalam jajaran ini adalah Imam 4 Madzhab, laist ibn sa’ad. Al-‘auza’I, sufyan al-Sauri , Abu Saur dan lainya 2. Mujtahid Muntasib ( Mujtahid Berafiliasi ) yaitu para ulama yang berijtihad

dengan menggunakan kaidah Imam madzhab yang diikutinya. Tapi, dalam masalah furu’ biasanya ia berbeda dengan ulama madzhab yang diikutinya.

(11)

Diantaranya adalah Abu Yusuf, Hanafiyyah, malikiyyah, syafi’iyyah, ibnu taimiyah dan lainya.

3. Mujtahid fi al-Madzhab ialah mujtahid yang mengikuti ulama madzhabnya baik dalam kaidah istimbat dan furu’

4. Mujtahid Murajjih ialah mujtahid yang tidak mengistimbatkan hukum furu’. Mereka sebatas membandingkan pemikiran hukun mujtahid sebelumnya, kemudian memilih yang dianggap (rajjih) paling kuat.

C. Pembagian Ijtihad

1. ijtihad Istinbathi

Pengertian dari Ijtihad Istinbathi adalah ijtihad yang ditujukan untuk mengeluarkan hukum tetang sebuah masalah yang belum ada aturan pastinya atau nash. Juga pada sebuah masalah yang sudah ada nashnya tetapi masih bersifat dhanni atau belum bermakna pasti.

Menjadi keharusan dalam ijtihad Istibanthi ini adalah bahwa hal yang diijtihadi itu belum pernah dilakukan proses ijtihad sebelumnya. 7

2. Ijtihad Tathbiqi

Ijtihad ini membahas tentang masalah yang sudah dilakukan proses ijtihad sebelumnya. Namun secara spesifik belum membahas mengenai sebuah kasus atau masalah, karena pada waktu dilakukan ijtihad sebelumnya kasus tersebut belum terjadi. Sehingga, dengan kata lain ijtihad Tathbiqi adalah sebuah ijtihad yang bersifat mengkhususkan sebuah masalah.

3. Ijtihad tathbiqi

Ijtihad ini merupakan proses ijtihad dalam upaya untuk menjadikan proses ijtihad terdahulu sebagai sebuah aturan formal dalam bentuk Undang-undang yang bersifat mengikat. Karena, apabila sebuah proses ijtihad hanya disampaikan dalam bentuk pernyataan atau fatwa, maka hasil ijtihad tersebut tidak memiliki kekuatan hukum untuk mengikat secara formal.

4. Ijtihad intiqa’i

adalah ijtihad yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang untuk memilih pendapat para ahli fikih terdahulu mengenai masalah-masalah tertentu,

(12)

sebagai mana tertulis dalam kitab fikih, kemudian menyeleksi mana yang lebih kuat dalilnya dan lebih relevan dengan kondisi kita sekarang

5. Ijtihad insya’i

usaha untuk menetapkan kesimpulan hukum mengenai peristiwa-peristiwa baru yang belum diselesaikan oleh para ahli fikih terdahulu

Dalam ijtihad ini diperlakukan pemahaman yang menyeluruh terhadap kasus-kasus baru yang akan ditetapkan hukumnya. Jadi dalam menghadapi persoalan yang sama sekali baru diperlukan pengetahuan mengenai maasalah yang sedang dibahas, tampa mengetahui kasus yang baru tersebut maka kemungkinan besar hasil ijtihadnya akan membawa kepada kekeliruan.

6. Ijtihad Muqorin (Komperatif)

adalah menggabungkan kedua bentuk ijtihad diatas ( intiqa’i dan Insya’i ) dengan demikian disamping untuk menguatkan atau mengkompromikan beberapa pendapat , juga diupayakan adanya pendapat baru sebagai jalan keluar yang lebih sesuai dengan tuntunan zaman8

D. Lapangan Ijtihad

Secara ringkas lapangan ijtihad ada dua:

1. Perkara syari’ah yang tidak ada nashnya sama sekali.

2. Perkara syari’ah yang ada nashnya tetapi tidak qath’i wurud ataupun dalalahnya (tidak pasti penunjukan maknanya).

Kalau di dalam lapangan ijtihad itu kemudian ada ijtihad dalam suatu perkara, lantas hasil ijtihad itu menjadi undang-undang, kalau dikaitkan dengan wewenang qodhi/ hakim, maka wewenang hakim hanya terbatas pada pemberian keputusan berdasarkan undang-undang, bukan untuk mengadili undang-undang itu sendiri.

Qodhi tidak berhak menghakimi undang-undang, karena wewenangnya hanya menerapkan undang-undang atau memutuskan perkara berdasarkan undang-undang. Hal itu sebagaimana mujtahid pun tidak berhak untuk mengijtihadi perkara-perkara yang sudah ada nashnya yang qoth’i (teksnya yang sudah pasti penunjukan maknanya).

(13)

Bila ada yang nekat melakukan “ijtihad” terhadap yang sudah ada nash qoth’inya, dan hasil “ijtihadnya” itu menyelisihi nash, maka bukan sekadar ijtihadnya itu tidak berlaku, tetapi berarti menentang nash. Sebagaimana hakim memutuskan perkara dengan sengaja menyelisihi undang-undang, maka bukan hanya batal keputusannya itu, namun bahkan sengaja melanggar undang-undang. Ijtihad Terhadap Hukum yang Sudah Ada Nash Qath’inya Itu Dilarang

Contohnya, tidak bolehnya berijtihad tentang kewajiban puasa atas umat Islam, larangan khamr, larangan makan daging babi, larangan makan riba, kewajiban memotong tangan pencuri –bila tidak ada keraguan dan telah memenuhi syarat untuk dipotong–. Juga tentang hukum pembagian harta waris mayit di antara anak-anaknya, di mana bagian seorang laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan, dan hukum-hukum lainnya yang telah ditetapkan dalil Al-Qur’an yang pasti atau dalil hadits yang pasti, yang telah disepakati umat Islam dan telah diketahui dari ajaran agama dengan pasti sehingga telah menjadi sendi pemikiran dan perilaku umat Islam.

Hendaknya kita jangan sampai terbawa arus orang-orang yang hendak mempermainkan agama, yang ingin mengubah nash-nash muhkamat menjadi mutasyabihat dan hukum-hukum qath’i dianggap sebagai hukum-hukum yang dzanni, yang bisa digunakan dan bisa juga ditolak atau bisa dilepas atau bisa diikat. Karena pada pokoknya nash yang muhkam merupakan tempat kembalinya nash yang mutasyabihat, dan hukum-hukum yang qath’i merupakan tempat rujukan hukum-hukum yang dzanni. Sehingga hukum qath’ilah yang menjadi pegangan hukum dan ukuran ketika terdapat suatu pertentangan. Maka apabila hukum-hukum qath’i ini dijadikan hukum yang tidak qath’i dan masih dianggap sebagai letak perselisihan dan pertentangan, berarti sudah tidak ada lagi di sana hukum yang dijadikan tempat rujukan dan dijadikan sandaran, serta tidak ada pula ukuran yang dijadikan landasan hukum. 9

E. Penerapan Ijtihad dalam Ekonomi Keuangan Kontemporer

Syariat Islam telah memberikan pedoman khusus dalam menetapkan hukum dalam bidang muamalah yang berbeda dengan furu’ fiqih lainnya, selain itu Islam juga telah memberikan beberapa kaedah dalam bidang muamalah

(14)

ini.Oleh karena itu, setiap orang yang ingin membahas tentang transaksi atau muamalah keuangan syariah kontemporer mesti memahami pedoman khusus ini dan karakteristiknya. Karakteristik yang paling penting dipahami adalah bahwa fiqih muamalah berdiri di atas dasar prinsip-prinsip umum.

Sumber dasar muamalah serta cabang-cabang fiqih lainnya adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah.Tetapi dalam bidang muamalah pensyariatannya juga didasarkan kepada prinsip-prinsip umum (ةماعلا ئدابملا) dan kaedah-kaedah umum (

ةيلكا دعاوقلا), hal tersebut agar memudahkan para fuqaha’ untuk melakukan ijtihad pada perkara-perkara baru yang dibuat oleh manusia. Di antara prinsip-prinsip umum tersebut adalah:

a. Melarang tindak kezaliman dan harus saling redho

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.(QS. An-Nisa’: 29).

Artinya :“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.

(QS. Al-Baqarah: 275) c. Melarang gharar

(ملسم هوار رإردغدلما عإيمبد نمعدود ةإاصدحدلما عإيمبد نمعد ملسو هيلع هللا ىلص هإللدلا لهوسهرد ىهدند لداقد ةدرديمردهه ىبإأد نمعد ) - - Artinya: “Dari Abu Hurairah RA berkata: Rasulullah SAW telah melarang jual beli al-hashah dan jual beli gharar”. (HR. Muslim)

d. Melarang maisir (perjudian) atau spekulasi10

(15)

termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”. (QS. Al-Maidah: 90)

e. Memerintahkan jujur dan amanah

دإوقهعهلمابإ اوفهومأد اونهمدآ نديذإللدا اهديلهأد ايد

:ةدئاملا﴿ ١

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu”. (QS. Al-Maidah: 01)

f. Sadd Adz-Dzariah (عئارذلا دس).

Sadd adz-dzariah adalah menutup semua jalan atau cara yang zahirnya mubah tetapi tujuannya haram. Dalam menggunakan kaedah ini, para ulama telah menetapkan beberapa pedoman yaitu:

- Perkara tersebut secara umum mendatangkan mafasadat.

- Mafsadat yang ditimbulkan sama dengan maslahat yang diperoleh atau lebih. - Niat untuk melakukan mafsadat tidak menjadi syarat dalam mengamalkan kaedah ini.

- Kaedah ini tidak melarang untuk melakukan hal yang mubah jika merupakan kebutuhan, misalnya pelamar atau dokter melihat perempuan ajnabi (bukan mahram), hal ini dibolehkan karena hajat apabila terjamin tidak terjadi mafsadat.

Nilai-nilai dalam Al-Qur’an dan Hadits terkait dengan ekonomi sangatlah banyak, sehingga pilar ekonoimi Islam perlu dijabarkan lebih lanjut menjadi nilai-nilai yang lebih terinci agar dapat menjadi rumusan penuntun perilaku para pelaku ekonomi. Keberadaan nilai semata padaperilaku ekonomi dapat mengasilkan suatu perekonomian yang normatif, tidak akan bias berjalan secara dinamis. Oleh karena itu, implementasi nilai-nilai ini harus secara bersama-sama didasarkan atas prinsip ekonomi11

F. Ijtihad dalam Inovasi Produk Perbankan dan Keuangan Syariah

Inovasi produk dan keuangan menjadi kunci perbankan syariah untuk lebih kompetitif dan lebih berkembang dengan cepat sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Keberhasilan sistem perbankan syari’ah di masa depan akan banyak tergantung kepada kemampuan bank-bank syari’ah menyajikan produk-produk yang menarik, kompetitif dan memberkan kemudahan transaksi, sesuai dengan kebutuhan masyarakat..

(16)

Inovasi produk harus menjadi strategi prioritas bagi bank-bank syariah , sebab inovasi memiliki peran penting di tengah pasar yang kompetitif. karena itu industri perbankan syariah harus dapat terus melakukan inovasi-inovasi baru.Produk-produk bank syari’ah yang ada sekarang cendrung statis, hanya terbatas di tabungan, deposito, giro, pembiyaan murabahah, mudharabah, syirkah, dan itu sangat sedikit sekali. Makanya bank-bank syariah harus mengembangkan variasi dan kombinasinya, sehingga menambah daya tarik bank syari’ah. Hal itu akan meningkatkan dinamisme perbankan syari’ah menghadapi keutuhan masyarakat modern yang semakin kompleks.Karena itu bank-bank harus mengalokasikan dana untuk peningkatan kualitas SDM dengan menggelar training atau wokrshop inovasi produk.

G. Ijtihad Dalam Ekonomi Mikro dan Makro

Mikro ekonomi dominan bicara tentang prilaku individual yang berorientasi pada pemaksimalan kepuasan dan keuntungan, dari prilaku ekonomi (konsumen dan produsen) sampai prilaku pasar (deman dan supply). Sementara pada makro ekonomi akan banyak bicara tentang dinamika ekonomi negara dengan orientasi pembangunan (pendapatan nasional), kesejahteraan (tingkat kesempatan kerja termasuk pemerataan) dan kestabilan sistem (tingkat harga dan laju inflasi. Namun dilihat dari dua pembahasan yang ada di mikro dan makro dengan kaca mata lebih dalam, akan terlihat ketidaksinkronan orientasi keduanya. Betul secara besaran variabel instrumen mikro dan makro terlihat berjenjang dan korelatif, tetapi jika dianalisis orientasi instrumen tadi akan terlihat tidak ada korelasinya, bahkan cenderung paradoksial.12

Ketika instrumen makro bicara tentang upaya mewujudkan pertumbuhan ekonomi dan pencapaian stabilitas ekonomi dengan basis analisis makro (kolektif), mikro ternyata bicara tentang kepentingan individual dalam pemaksimalan kepuasan dan keuntungan yang relatif tidak peduli dengan pencapaian kolektif tadi. Dinamika makro ekonomi tentu akan menjadi lancar dan optimal ketika langkah-langkah kolektif berjalan sesuai dengan visi dan orientasi mikro ekonomi. Namun realitanya akan sulit dicapai jika melihat nature ilmu mikro ekonomi, yang visi dan orientasinya lebih bersifat individualistik. Contoh

(17)

sederhana, bagaimana men-sinkronkan teori utility mikro ekonomi dengan misi wealth and income distribution-nya makro ekonomi?

Yang juga menarik, meski banyak membahas prilaku individual (baik perseorangan maupun unit bisnis), pada himpunan ilmu mikro tidak akan ditemukan pembahasan filosofi prilaku ekonomi seperti nilai-nilai hidup yang diyakini mampu mempengaruhi tingkat preferensi ekonomi, misalnya nilai akhlak dan moral atau nilai agama dan keyakinan. Pembahasan prilaku individu terkesan betul-betul bersandar pada human nature (fitrah) manusia, tanpa memperhitungkan faktor-faktor yang dapat men-shape human nature, seperti agama dengan nilai-nilai akhlak dan moralnya.

Boleh jadi disinilah letak jurang antara mikro dan makro ekonomi. Sekaligus, disinilah pula letak jembatan yang sepatutnya ada atau dibangun agar mikro dan makro menjadi satu teori yang tidak bisa dipisahkan atau bahkan sampai berkorelasi paradok secara orientasi. Nah, inti dari tulisan ini adalah sekedar ingin menawarkan bahwa dalam perspektif ekonomi Islam, jurang itu tidak ada, atau mungkin dapat secara moderat saya katakan ada jembatan antara mikro dan makro ekonomi, yaitu nilai Islam itu sendiri. Islam memiliki akidah dan akhlak yang lengkap untuk menjadi nilai bagi prilaku ekonomi pada ranah mikro ekonomi dan nilai-nilai itu harmonis dengan guidance syariah pada ranah makro ekonominya. Islam baik mikro dan makro menuntun ekonomi untuk konsisten dengan nilai dan parameter ekonomi yang bersifat kolektif. Kepentingan kolektif mendominasi aktifitas mikro maupun makro. Secara sederhana, instrumen yang melekatkan itu misalnya zakat, dimana zakat pada satu sisi mempengaruhi prilaku individual maupun pasar di level mikro dan mempengaruhi konstelasi ekonomi negara pada level makro.13

(18)

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ijtihad adalah berusaha bersungguh-sungguh atau mengarahkan segala kemampuan. Ijtihad berfungsi sebagai penggerak, tanpa ijtihad sumber syari’at Islam itu akan rapuh, itulah sebabnya ijtihad sebagai sumber ketiga yang tidak dapat dipisahkan dari Al-qur’an dan Al-Hadits.

Dengan pendekatan istinbath akan diperoleh hukum Islam dari sumber-sumbernya. Usaha ushul fiqih tidak akan berhasil tanpa didukung oleh cara-cara pendekatan istinbath yang benar dan tepat, disamping ditopang oleh pengetahuannya yang memadai tentang sumber-sumber hukum Islam.

Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada pada zaman Rasulullah SAW. Hingga dalam perkembangannya, ijtihad dilakukan oleh para sahabat, tabi’in serta masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini. Meskipun pada periode tertentu apa yang kita kenal dengan masa taqlid,

(19)

DAFTAR PUSAKA

Rachmat Syafe’i. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.

Harjan Syuhada et.al. 2011. Fikih Madrasah Aliyah. Jakarta: PT Bumi Aksara Amir Syarifuddin. 1997. Ushul Fiqih. PT. Logos Wacana Ilmu. Ciputat Jakarta.

jilid 2,

Referensi

Dokumen terkait

Rata-rata pemahaman konsep, miskonsepsi dan tidak paham konsep pada Gambar 1 dan 2, Secara keseluruhan pada pokok bahasan Kingdom Plantae dan Kingdom Animalia

Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian pengaruh komunikasi dakwah Majelis Ulama Indonesia terhadap kepatuhan umat Islam di Cinere Depok dalam melaksanakan

Pengujian ini dimaksudkan untuk melihat kolagen yang dihasilkan dari cangkang kerang darah dan hijau dapat melembabkan kulit tikus atau tidak dari kandungan

bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 13 tahun 2010 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pencalonan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan

Airil Haimi, dibangunkan pula Inventori Psikometrik Keusahawanan Riza-Airil atau IKRA-Azam dengan 270 item yang melihat, mengukur serta menilai kecenderungan serta potensi

pembuangan dan itu mengakibatkan dampak bagi lingkungan di sekitar tetapi sekarang banyak ditemukan cara atau solusi untuk menangani dampak-dampak yang dihasilkan oleh limbah,

Karakter seleksi jagung hibrida yang berpengaruh langsung terhadap hasil pada kondisi kekeringan adalah tinggi tanaman, luas daun, panjang tongkol, diameter tongkol, dan

10% 6,7 Mahasiswa mampu mengalokasika n produk dari sumber yang ada ke tempat tujuan degan biaya minimum dengan menggunakan metode-metode transportasi  Representasi