• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENGKAJI TAFSIR DI BEBERAPA WILAYAH Cata

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MENGKAJI TAFSIR DI BEBERAPA WILAYAH Cata"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

MENGKAJI TAFSIR DI BEBERAPA WILAYAH:

Catatan Pengalaman di Indonesia, Mesir, Jerman, dan Yordania1

Wardani

A. Pendahuluan

Seiring dengan datang era globalisasi, kini ASEAN menjadi suatu wilayah ekonomi tunggal, yaitu suatu kondisi di mana negara-negara di Asia Tenggara akan mempertimbangkan mata uang tunggal (single currency), seperti negara-negara Eropa menggunakan Euro sebagai mata uang tunggal sejak 1 Januari 1999. Globalisasi segala aspek di Asia Tenggara menguat kembali ketika pada pertemuan seluruh pemimpin negara-negara ASEAN di Bali pada 2003 menyepakati pemberlakuan pasar tunggal ASEAN yang dilaksanakan secara bertahap, dari sektor pariwisata, transportasi, barang manufaktur, elektronik, hingga otomotif.2

Di era globalisasi seperti sekarang ini, perguruan tinggi diharuskan fokus melakukan perbaikan kurikulum dan peningkatan komptensi para mahasiswa dengan mempertimbangkan penerimaan di pasar kerja ASEAN. Tuntutan baru ini seiring dengan perjanjan di Bali pada Oktober 2015 yang menetapkan mulai berlakunya free flow service. Dengan perjanjian ini, sepuluh negara ASEAN, termasuk Indonesia, menjadi pasar tunggal bagi para sarjana berbagai perguruan tinggi ASEAN. Implikasi dari pergeseran global ini adalah perlunya merancang ulang perguruan tinggi dari berbagai aspek yang memungkinkan sarjana-sarjana lulusannya bisa diterima di seluruh negara ASEAN. Keadaan ini yang meniscayakan adanya universitas berkelas dunia (World Class University).3

Di antara aspek penting dalam sebuah perguruan tinggi berkelas internasional ini adalah karya-karya penelitian dosen. Begitu juga, keterlibatan mahasiswa dalam penelitian. Ini menjadi indikator penting keunggulan sebuah perguruan tinggi, agar

1Disampaikan pada The Second Borneo Undergraduate Academic Forum (BUAF), kerja sama UIN Antasari Banjarmasin, IAIN Samarinda, dan IAIN Palangkaraya, di Auditorium Mastur Jahri UIN Antasari Banjarmasin pada 18-20 Juli 2017.

2Dede Rosyada, “Research University”, dalam http://www.uinjkt.ac.id/research-university/ (3-7-2017).

(2)

memperoleh pengakuan internasional. Keadaan ini meniscayakan untuk tidak lagi memperkuat posisi perguruan tinggi sebagai universitas pembelajaran (teaching university), melainkan menggesernya menjadi universitas riset (research university). Dengan cara begitu, pembelajaran yang dilaksanakan memang bertolak dari hasil-hasil penelitian mutakhir, karena pada hakikatnya, ilmu pengetahuan yang diajarkan di bangku kuliah adalah hasil akumulasi riset-riset terdahulu yang tak terhitung jumlahnya. Begitu juga, dengan asumsi bahwa dosen adalah “ilmuwan yang mengajar”, ilmu yang diajarkan bertolak dari riset-riset mutakhir yang berakar secara faktual di lapangan.4 Salah satu implikasi tuntutan ini adalah bahwa untuk memberi waktu yang lebih banyak bagi dosen untuk penelitian, pembelajaran diformat lebih banyak dalam bentuk penugasan-penugasan, dibandingkan pengajaran di kelas, kepada mahasiswa, dalam bentuk penelitian-penelitian dengan skala yang relevan.

Beberapa universitas yang telah mendapat predikat World Class University, seperti Universitas Harvard, Universitas Oxford, Universitas Stanford, dan Universitas UC Berkeley, memiliki kualitas terbaik, antara lain, mendorong, memberi fasilitas mahasiswa untuk meneliti. Menurut Quachquarelli Symonds (QS), sebuah lembaga yang bergerak dalam penelitian perguruan tinggi, salah satu kriteria akreditasi internasional adalah produktivitas dari universitas riset berdasarkan jurnal nasional dan internasional.5 Jurnal menjadi cerminan sejauh mana dosen dan mahasiswa melakukan penelitian-penelitian yang menjadi indikator kualitas perguruan tinggi.

Penelitian sebenarnya adalah sebagian kecil adalah penguasaan teori, dan sebagian besar adalah aplikasi, baik kajian literatur maupun kajian empiris di lapangan. Oleh karena itu, profesionalitas meneliti yang dituntut kepada dosen dan mahasiswa lebih banyak ditempa dengan berbagai pengalaman-pengalaman penelitian.

Tulisan ini merupakan catatan tentang sedikit pengalaman selama merancang dan proses melakukan penelitian di beberapa tempat. Seperti kata pepatah yang sudah sering kita dengar, “pengalaman adalah guru terbaik”, pengalaman yang dituangkan di sini semoga bisa dijadikan bahan pertimbangan untuk melaksanakan penelitian-penelitian.

Pengalaman penelitian ini meliputi (1) pengalaman dan sebagiannya merupakan persepsi secara akademis dalam melakukan penelitian, (2) pengalaman

4Ibid.

(3)

kultural berinteraksi dengan budaya berbeda di berbagai tempat, agar pembaca tidak terkejut menghadapi kultur berbeda (culture shock), atau menghadap kultur akademik berbeda (academic culture shock).6 Pengalaman penelitian tersebut adalah (1) pengalaman selama menulis disertasi di jenjang pendidikan doktor di UIN Sunan Ampel Surabaya (2006-2010) dengan mendapat fasilitas sambil mengikuti Pendidikan Kader Mufassir (PKM) di Pusat Studi al-Qur`an (PSQ) di Tangerang selama enam bulan di Tangerang (2009), dilanjutkan dengan penyelesaian penulisan disertasi selama dua bulan di Cairo (2010), dan dengan kursus singkat (short course) menulis akademik di Universitas Leipzig, Jerman (2010); (2) pengalaman melakukan pengayaan terhadap penelitian tentang trend perkembangan pemikiran kontemporer tentang metodologi tafsir al-Qur`an di Indonesia selama mengikuti postdoc melalui

Postdoctoral Fellowship Program for Islamic Higher Education (Posfi) yang diselenggarakan Subdit Ketenagaan, Direktorat Perguruan Tinggi Keagamaan Islam, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama di Universitas Âl al-Bayt di Provinsi al-Mafraq, Yordania (2016).

B. Dari Surabaya, Jakarta, Mesir, Hingga Jerman: Pengalaman Menulis Disertasi tentang “Ayat Pedang” (Ayat al-Sayf)

1. Tentang Disertasi

Sebagai syarat akhir menyelesaikan studi di program doktor (S3) di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, penulis menulis disertasi berjudul “Kontroversi Penganuliran Ayat-ayat Damai dengan Ayat Pedang dalam al-Qur`an: Kajian Analitis Kritis”. Disertasi ini mulai ditulis pada 2008 dan selesai, serta dipertahankan dalam ujian promosi pada 2010. Disertasi ini kemudian terpilih dalam program penerbitan disertasi-disertasi terbaik se-Indonesia pada 2011 oleh Litbang Kementerian Agama untuk diterbitkan, dengan judulAyat Pedang versus Ayat Damai:

Menafsir Ulang Teori Naskh dalam al-Qur`an.7

6Lihat “Academic Culture Shock”, dalam http://quic.queensu.ca/students/academic-culture-shock-2/ (4-7-2017).

7Buku ini bisa diunduh di: (1) http://idr.iain-antasari.ac.id/7604/; (2)

https://scholar.google.co.id/citations?view_op=view_citation&hl=id&user=IuR3lJYAAAAJ&cstart=2 0&btnA=1&citation_for_view=IuR3lJYAAAAJ:bEWYMUwI8FkC; (3)

https://www.academia.edu/32265468/AYAT_PEDANG_VERSUS_AYAT_DAMAI_MENAFSIR_U LANG_TEORI_NASKH_DALAM_AL-QURAN; (4)

https://www.researchgate.net/publication/315784315_AYAT_PEDANG_VERSUS_AYAT_DAMAI_

(4)

Ide untuk menulis tema ini muncul di benak pikiran muncul ketika penulis melihat problem relasi antaragama di Indonesia yang diwarnai dengan ketegangan-ketegangan berupa rentetan pemboman, seperti peristiwa Bom Bali dan Bom Kuningan. Uniknya, memang bahwa penganuliran (naskh) “ayat-ayat damai” (âyât al-silm, peace-verses) yang jumlah dalam kajian ini mencapai 135 ayat, bahkan Yûsuf al-Qarâdhâwî mengklaim sampai 140 ayat, dan ada penulis mengklaim sampai 200 ayat, dengan “ayat pedang” (âyat al-sayf, sword-verse) yang hanya satu atau sedikit ayat, tidak hanya dianut oleh para mufassir klasik, melainkan ternyata juga masih kuat menggema dalam argumentasi pelaku pemboman untuk memerangi non-Muslim, meski mereka tidak bersalah.

Imam Samudra, salah seorang pelaku pemboman di Bali, ketika ditanyakan kepadanya, “tampaknya Anda sangat terpengaruh dengan konflik di Afganistan, dan juga mungkin di Palestina, apakah Anda akan berhenti kalau konflik itu selesai?”, menjawab dengan berargumentasi begini:

“Saya menjawab ini dengan mengutip firman Allah Swt., ‘Dan perangilah mereka sampai tak ada fitnah.’8 Hanya ada satu jalan, yaitu jihâd. Ada tafsir dari Ibn Katsîr soal fitnah itu. Pertama, kemusyrikan. Kedua, tidak menegakkan hukum Allah.9 Jadi, untuk mengeliminasi fitnah itu, hanya ada satu cara, dengan jihâd. Bukan lewat pemilihan umum, bukan dengan demokrasi. Itu konsep Barat dan yang sekarang menjadi dîn atau agama baru. Lalu banyak umat Islam sekarang yang pengecut. Mereka menyembunyikan hadîtsshahîh. Dalam satu hadîts yang diriwayatkan Bukhârî-Muslim disebutkan, ‘Aku diutus oleh Allah menjelang hari kiamat dengan membawa pedang.’10 Itu hadîtsshahih.”11

ariant%5D=default&_iepl%5Bcontexts%5D%5B0%5D=prfpi&_iepl%5BtargetEntityId%5D=PB%3A 315784315&_iepl%5BinteractionType%5D=publicationTitle.

8Yang dimaksud oleh Imam Samudra adalah "Dan perangilah mereka sampai tak ada fitnah (penindasan) dan agama bagi Allah. Jika mereka berhenti (dari menindasmu), tidak ada lagi permusuhan, kecuali terhadap orang-orang aniaya" (Q.2/87:193).

9Ibn Katsîr juga mengemukakan penafsiran yang menekankan konteks hukum timbal-balik (reciprocity) dengan mengemukakan riwayat lain. Penafsiran ini didasarkan pendapat Ibn ‘Abbâs, Abû al-‘Âliyah, Mujâhid, al-Hasan al-Bashrî, Qatâdah, al-Rabî’, Muqâtil, al-Suddî, dan Zayd bin Aslam. Sebenarnya, Q.2/87:193, sebagaimana dikutip, berada dalam kelompok ayat-ayat lain (ayat 190-193), sebagaimana dikelompokkan oleh Ibn Kathîr, yang harus dipahami dalam korelasi (munâsbah) ayat-ayat tersebut. Ibn Katsîr mencatat bahwa kebolehan berperang didasarkan perlakuan yang sama terhadap umat Islam, karena mereka diperangi (asas timbal-balik,qishash, mu’âwadhah, reciprocity), seperti dalam Q.2/87:191. Oleh karena itu, fitnah dipahami dalam konteks seperti pembunuhan, penindasan, atau pengusiran yang dilakukan oleh kaummusyrik Arab kepada umat Islam ketimbang karenashirkmereka. Lihat Ibn Kathîr,Tafsîr Ibn Katsîr,vol. 1 (Beirut: Dâr al-Fikr, 1986), h. 227-229.

10Hadîts yang dimaksud oleh Imam Samudera tersebut tercantum dalamMusnadAhmad bin Hanbal. Lihatal-Musnad,edisi Ahmad Muhammad Syâkir, vol. 7 (Mesir: Maktabat al-Turâts al-Islâmî, t.th.), 121-122, hadîth nomor 5.115. Hadîth tersebut berbunyi:

ᓫ atab ᓫma b ঐ䙕䕈aa䕈ᓫ䙕a a 䙕ma ᓫb b aᓫm aᓫ ᓫ ᓫmᓫ ᓫm Ϧmᓫ aᓫm tᓫ a䙕a a ᓫb ᓫ aᓫ˸ 䙕a ama ᓫ Ϧᓫ˸Α 䙕 ᓫ ͉Ϊa˴Σ a�䙕 Ϧ a䕈 R aϦ ᓫ Σ aᓫa ᓫΪa 䙕ᓫ Ϛᓫ 䙕ᓫm bᓫ 䙕a Ϧ ᓫ m aϦᓫ˸Ϊam �ᓫΣ � �b 䙕�ᓫ ᓫa a aᓫ ᓫ

(5)

Dari kutipan di atas, jelas sekali bahwa agama, dalam hal ini teks-teks ayat al-Qur’an yang “ditafsirkan”, menjadi lokomotif sebuah tragedi kemanusiaan, yaitu pemboman yang menyebabkan tewasnya banyak orang yang tidak berdosa, dengan dalih menghapuskan “fitnah” (syirk) dengan jihâd sebagai kekerasan. Ibn Katsîr sebagai otoritas yang dikutip oleh Imam Samudera adalah namamufassiryang cukup terkenal dengan tafsir al-Qur’annya, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm atau dikenal dengan

Tafsîr Ibn Katsîr. Pengutipan sumber pendapat oleh Imam Samudra dari tafsir tersebut memang benar. Akan tetapi, persoalan sesungguhnya adalah penafsiran Ibn Katsir, seorang murid Ibn Taymiyah, juga dipengaruhi mindsetmasa lalu yang sudah tertanam kuat, baik terkait dengan penafsiran kata fitnah tersebut, maupun teori lain yang juga turut memback-upnya, yaitu teori penganuliran (naskh) ayat-ayat damai dengan ayat pedang.

Ibn Katsir mengaitkan tafsir kata fitnah ini dengan “ayat pedang” dengan mencantumkan riwayat Sufyân bin ‘Uyainah dari perkataan ‘Alî bin Abî Thâlib “Nabi Muhammad saw diutus dengan empat pedang….” untuk memerangi kaum musyrik Arab, Ahl al-Kitâb, para munafiq, dan pemberontak (bughâh).12Bahkan, Ibn Kathîr meriwayatkan adanya naskh (penghapusan) oleh “ayat pedang” tersebut,

Tidak seperti klaim Imam Samudera, kitab hadîts koleksi al-Bukhârî dan Muslim tidak memuat hadîts ini, kecuali hanya potongan (tharf) yang berbunyi “ju’ila rizqî tahta zhill rumh î wa ju’ila al-dhillah wa al-saghâr ‘alâ man khâlafa” yang terdapat dalam Shahih al-Bukhârî secara mu’allaq karena al-Bukhârî menyebut sanad secara langsung dari ‘Abdullâh bin ‘Umar. Lihat al-Bukhârî, Shahih al-Bukhârî bi Syarh al-Kirmânî, vol. 12 (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), 172. Menurut keterangan Ibn Hajar al-‘Asqalânî, semua rawi hadîts ini dinilai thiqah, kecuali Ibn Tsawbân yang masih diperdebatkan, namun pada umumnya kritikusrijâlmenilainya jugatsiqah.Lihat Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb(Beirut: Dâr al-Fikr, 1984), vol. 2, 219-220, vol. 6, 136-137, vol. 12, 18-19, 271. Atas dasar ini, Ahmad Muhammad Syâkir berkesimpulan bahwa sanadhadîts ini adalah shahîh. ‘Abd al-Rahmân bin Tsâbit bin Tsawbân, meskipun dinilai oleh sebagian kritikusrijâlsebagai rawi yang tidak kredibel,seperti Ahmad bin Hanbal yang menilai hadîts-hadîts yang diriwayatkannya munkar, dan Yahyâ bin Ma’în yang menilainyadha’îf,sebagian kritikus lain tetap memandang sebagai rawi yang kredibel, seperti ‘Alî ibn al-Madînî, Abū Hatim, dan Ibn Hibbân. Perlu dijelaskan bahwa istilah munkar yang digunakan oleh Ahmad bin Hanbal hanya menunjukkan bahwa hadîts tersebut tidak didukung (tafarrud) oleh hadîts lain. Lihat Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Nukat ‘alâ Kitâb Ibn al-Shalâh(Beirut: Dâr al-kutub al-‘Ilmîyah, 1994), h. 274. Hadîts ini juga tercantum dalam Fath al-Kabîr, vol. 3, 8 yang berasal dari Musnad Ahmad bin Hanbal tersebut. Penulis al-Fath al-Kabîr mempersoalkan kredibilitas Ibn Tsawbân yang masih kontroversial. Lihat catatan Ahmad Muhammad Syâkir dalamMusnad,vol. 5, 96, vol. 7, 121. Di kalanganmuhadditsūn, ada salah satu dari dua kaedah yang bisa digunakan untuk menyikapi kontroversi penilaian tersebut, yaitu “al-jarh muqaddam ‘alâ al-ta’dîl” dan “al-ta’dîl muqaddam ‘alâ al-jarh. Kaedah pertama tampak lebih hati-hati, apalagi h adîth tersebut tidak ditopang oleh hadîts lain (syâhid), kecuali hadîth yang mursal. Dengan demikian, hadîts tersebut dari segisanadadalahdha’îf.

11http://www.tempointeraktif.com/hg/narasi/2004/09/10/nrs,20040910-08,id.html (14 September 2004).

(6)

terhadap ayat-ayat lain tentang hubungan dengan non-muslim yang lebih lunak dan konsiliatif.

Sebenarnya mana ayat yang disebut oleh para mufassir sebagai “ayat pedang” itu yang katanya secara unik menganulir (dikatakan sebagai kasus “naskh unik, luar biasa”, ‘ajîb al-naskh, karena satu ayat menganulir ratusan ayat lain)? Begitu juga, ayat-ayat mana saja yang disebut sebagai “ayat-ayat damai” itu? Persoalan yang lebih krusial adalah: bagaimana argumentasi klaim penganuliran itu? Apakah faktor sosio-politis, seperti momen perang Salib yang berlangsung lama itu, berperan dalam mengkondisikan kesadaran mufassir hingga mengklaim penganuliran tersebut? Sejumlah pertanyaan muncul di benak penulis yang melihat permasalahan ini krusial untuk dikaji, karena masalah membentang dari mindset mufassir, bahkan fuqaha`, klasik hingga pemikir-pemikir dan kaum Muslim yang hidup di era kontemporer sekalipun.

2. Dari Surabaya ke Jakarta: Mendesain Proposal Disertasi (2008)

Bagi penulis, memperluas wawasan pengetahuan dengan memahami isu-isu klasik hingga kontemporer tentang tafsir berikut literatur-literatur terkait dan mengenal tradisi akademik distingtif merupakan suatu keniscayaan. Oleh karena itu, meskipun UIN Sunan Ampel adalah tempat studi penulis, saya ketika itu berpikir bahwa kajian kitab kuning berupa karya-karya naskh dan tafsir seperti ini meniscayakan hunting literatur yang harus sungguh-sungguh, karena memerlukan kajian analitis-historis tidak hanya terhadap literatur-literatur yang ditulis belakangan, melainkan literatur-literatur yang ditulis pada fase formatif ilmu-ilmu al-Qur`an, sejak abad ke-2 H, seperti karya Ibn Syihâb al-Zuhrî, berikut karya-karya sesudahnya, seperti karya Abû ‘Ubayd al-Qâsim bin Sallâm, Abû Ja’far al-Nahhâs, dan sebagainya. Oleh itu, penulis memutuskan untuk melacak literatur, membuka wawasan metodologi, dan konsultasi pakar di beberapa tempat. Upaya hunting

literatur serupa sebelumnya sebenarnya sudah dilakukan dengan meminta bantuan Muhammad Khairuddin, seorang mahasiswa magister di Universitas Cairo (Jâmi’at al-Qâhirah) untuk menelusuri literatur-literatur naskh klasik di beberapa maktabah

(toko buku) di Cairo. Sejumlah literatur penting telah penulis peroleh. Namun, kini penelusuran literatur juga dilakukan di perpustakaan-perpustakaan dan toko-toko kitab di Jakarta.

(7)

Islam umumnya maupun tafsir khususnya, seperti Islamic College for Advanced Studies (ICAS) di Universitas Paramadina,Islamic Cultural Center (ICC) al-Huda di Pejaten yang didirikan oleh Syi’ah dengan perpustakaanya yang lengkap, baik berbahasa Arab maupun Parsi, perpustakaan Imam Jama’ di Lebak Bulus, dan Pusat Studi al-Qur`an (PSQ) di Jalan Kertamukti, Pisangan, Ciputat, Tangerang yang tidak hanya menyediakan perpustakaan yang representatif dengan koleksi klasik dan mutakhir, melainkan juga menyediakan program-program kajian tafsir, termasuk Pendidikan Kader Mufassir (PKM) untuk menyahuti kebutuhan mahasiswa magister dan doktor yang sedang menulis karya akademisnya.

Dengan tekad kuat untuk memperoleh informasi lengkap dan mutakhir dalam kajian tafsir dengan fasilitas yang lengkap dan kesempatan konsultasi dengan pakar, penulis memutuskan hijrah sementara dari kota Surabaya menuju Jakarta. Selama dua bulan lamanya penulis habiskan di Jakarta, dengan nge-kost di Jl. Semanggi, untuk menyusun proposal disertasi. Beruntung sekali, penulis memperoleh kesempatan mengakses literatur-literatur di perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah yang tidak didapatkan di perpustakaan lain. Memang, universitas Islam negeri ini sedang giat-giatnya, dengan visinya untuk menjadi universitas kelas dunia, membenahi segala aspek. Kesempatan ini juga penulis gunakan untuk konsultasi dengan pakar, antara lain, Dr. Yusuf Rahman, MA. (yang menulis disertasi tentang hermeneutika Abu Zayd) dan Kusmana (yang menulis tesis di Universitas McGill tentang konsepnaskhmenurut Imam al-Syâfi’î).

Alhamdulillah, dengan kesungguhan yang penuh, akhir waktu selama dua bulan menghasilkan proposal disertasi tentang “ayat pedang” (ayat al-sayf) siapkan untuk diujikan. Ibarat pepatah “sambil menyelam minum air”, waktu tersebut juga digunakan untuk menyusun proposal penelitian kompetitif kolektif (bersama Dr. Saifuddin, M.Ag.) untuk diajukan ke Kementerian Agama Jakarta dengan judul “Tafsir Relasi Gender di Nusantara: PerbandinganTarjumân al-Mustafîd Karya ‘Abd al-Ra`uf Singkel dan Tafsir al-Mishbah Karya M. Quraish Shihab” yang kini pada 2017 telah diterbitkan oleh Penerbit LKiS dengan judul, Tafsir Nusantara: Analisis Isu-isu Gender dalam Mishbah Karya M. Quraish Shihab dan Tarjuman al-Mustafid Karya ‘Abd al-Ra`uf Singkel.

3. Menulis Disertasi sambil Mengikuti “Pendidikan Kader Mufassir” (PKM) di Pusat Studi al-Qur`an (PSQ),Tangerang (2009)

Setelah proposal disertasi diujikan, kini tugas berat berikutnya adalah menulisnya bab demi bab. Pada 2009, penulis berangkat kembali ke Jakarta untuk mengikuti program Pendidikan Kader Mufassir (PKM) di Pusat Studi al-Qur`an (PSQ).

(8)

Shihab, M.A., dengan tujuan “untuk ‘membumikan’ al-Qur`an kepada masyarakat yang pluralistik” dan “ingin menciptakan kader mufasir al-Qur`an yang profesional”.

Pusat Studi al-Qur`an (PSQ), di bawah nanungan Yayasan Lentera Hati

Selain mendirikan gedung utama di Jl. Kertamukti sebagai kantor Yayasan Lentera Hati yang menanungi PSQ dan penerbit Lentera Hati dan tempat kegiatan dan pertemuan-pertemuan, Quraish juga mendirikan Bayt al-Qur`an di Pondok Cabe untuk menjadi tempat kegiatan pesantren pasca-tahfîzh al-Quran. Belakangan, pada 23 Februari 2016 yang lalu, PSQ resmi memiliki gedung baru di Komplek South City Pondok Cabe, Tangerang Selatan dengan diresmikan oleh Grand Syekh al-Azhar, yaitu Prof. Dr. Syekh Ahmad Muhammad Ahmad al-Thayyeb.

Program Pendidikan Kader Mufassir merupakan salah satu di antara program-program andalan yang bertujuan untuk melahirkan kader-kader penafsir (mufassir) yang handal. Kegiatan yang diikuti berlangsung selama 6 bulan, sejak Maret-Agustus 2009.

Untuk mewujudkan tujuan tersebut, sejumlah kegiatan dirancang: bimbingan penulisan tesis dan disertasi yang diasuh oleh Prof. Dr. Hamdani Anwar, M.A., pertemuan rutin khusus tanya-jawab isu-isu tafsir yang diasuh oleh Prof. Dr. M. Quraish Shihab, M.A., Pendekatan Studi Tafsir yang diasuh oleh Prof. Dr. Nasaruddin Umar, M.A.., halaqah tafsir dengan mengkaji kitab-kitab tafsir klasik standar, seperti Jâmi’ al-Bayân karya al-Thabarî dan al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân

(9)

Universitas al-Azhar), kajian balâghah al-Qur`an dengan referensi Lamsât Bayâniyyah fî Nushûsh min al-Tanzîl karya Fâdhil Shâlih al-Sâmirâ`î yang diasuh oleh Dr. Basyiri Abdul Mu’thi (pengajar asal Mesir), telaah buku (qira`at al-kutub) ensiklopedi akhlaq al-Qur`an, Mawsû’at Akhlâq al-Qur`ân (6 volume) karya Ahmad al-Syarbâshî yang diasuh oleh Dr. A. Wahib Mu’thi, M.A. (almarhum), Membentuk Kemampuan Menafsirkan (takwîn malakat al-tafsîr) yang diasuh oleh Dr. Mukhlish M. Hanafi, MA., dan pengembangan diri, seperti sistem berpikir, kerja kelompok, dan pemecahan problema yang diasuh oleh Najelaa Syihab, S.Psi. (salah seorang putri M. Quraish Shihab). Di samping menulis disertasi dan mengikuti PKM, saya juga berinisiatif menerjemahkan sebuah buku berbahasa Inggris tentang nazhm, yaitu

Coherence in the Qur`ankarya Mustansir Mir.

Banyak ilmu yang diperoleh selama mengikuti program ini. Di samping wawasan tentang literatur-literatur tafsir yang sudah tidak lagi tersekat sunni, melainkan lebih beragam “sunni-syi’i”, “klasik-modern”, saya juga memperoleh wawasan yang luas dan lebih pluralistik, sesuai dengan visi PSQ sendiri.

4. Menyelesaikan Penulisan Disertasi di Cairo (2010)13

Pendidikan Kader Mufassir (PKM) sebenarnya menawarkan pendidikan dua jenjang. Pertama, pendidikan intensif selama enam bulan di PSQ dengan mengikuti berbagai kegiatan dan menulis tesis/ disertasi yang kemudian dilaporkan secara berkala setiap bulan. Kedua, memberikan fasilitasi berupa kesempatan untuk menulis disertasi secara lebih intensif dengan kesempatan mendapatkan literatur lebih memadai dan bimbingan dari profesor mitra PSQ di Cairo, yaitu Prof. Hassan Hanafi (intelektual dan penulis terkenal, dosen Universitas Cairo). Program kedua ini berlangsung selama 2-3 bulan. Peserta kegiatan kedua ini diseleksi dari peserta kegiatan pertama yang dianggap berprestasi dan sangat membutuhkan program kedua ini.

Setelah diadakan seleksi terhadap para peserta program pertama dengan melalui wawancara tentang perkembangan penulisan tesis/ disertasi dan kesiapan (proposal berbahasa Arab, dan alasan akademik mengikuti program) di hadapan pewawancara, Dr. H. A. Wahib Mu’thi, M.A. dan Dr. H. Mukhlish M. Hanafi, M.A., akhirnya saya terpilih sebagai satu-satunya peserta yang dianggap layak mendapat program tersebut.

Selama dua bulan (9 Maret-9 Mei 2010), penulis menghabiskan waktu untuk menulis disertasi. Kesempatan ini sangat berharga, karena penulis bisa memperoleh literatur-literatur langka yang selama ini dicari. Meskipun even penting, yaitu

(10)

pameran (ma’radh) buku internasional telah berlalu, toko-toko buku (maktabah) di Cairo masih menyimpan koleksi berharga. Dengan menginap di kawasan Darmalak (Dir al-Malak), perjalanan dengan hanya menaiki bus kota dalam beberapa menit, saya bisa mendatangi kawasan toko buku. Berbeda dengan toko-toko di Indonesia, di Mesir setiap toko buku biasanya juga menjadi penerbit. Kita bisa menemukan jejeran tokok-toko buku di sekitar Masjid Hussein, seperti al-Maktabah al-Tawfiqiyyah dan

Dâr al-Salâm. Begitu juga, di sekitar Masjid al-Azhar yang yang terletak hanya bersebarangan jalan dengan Masjid Hussein, juga berjejer sejumlah toko buku, seperti

Maktabat Ibn ‘Affan.

Di samping melengkapi pembahasan disertasi dengan literatur-literatur standar yang diperoleh di Cairo, penulis juga berkesempatan pada 4 Mei 2010 berkonsultasi dengan Prof. Hassan Hanafi. Meskipun ia tinggal masih di sekitar Cairo, yaitu di kota Nashr (madînat Nashr, Nashr City), di perkampungan depan (hayy tsâmin), terasa agak agak jauh perjalanan saya menuju tempat ini dari Darmalak. Kedatangan saya ke rumahnya didampingi oleh Saifuddin, Lc., seorang mahasiswa master di Universitas al-Azhar asal Indonesia. Kami diterima di rumah yang merupakan sebuah gedung megah (satu ‘imârah) miliknya yang menampung seluruh keluarga dan anak-anaknya. Kami diterima di ruang perpustakaan pribadi di lantai 1. Meskipun ia adalah seorang pemikir besar, namun terasa kehangatannya sebagai orang biasa ketika menyambut kami. Ia sendiri, tanpa bantuan istri atau pembantu, yang membawakan minuman berupa jus jeruk kaleng dan menuangkannya ke gelas di hadapan kami.

Sambil beramah-tamah, saya membuka pembicaraan dan menceritakan garis besar isi proposal disertasi dengan ringkasannya dalam bahasa Arab dalam beberapa lembar kertas. Pandangan saya bahwa tidak terjadi naskh dalam al-Qur`an ditentang keras oleh Prof. Hassan Hanafi. Bahkan, dengan tegas, ia bertanya, “a anta salafî, yâ ustâzd? (apakah kamu seorang salafi, Mas?)”. Menurut informasi Saifuddin, Lc., ternayata ada trend kajian-kajian yang berupaya keberadaannaskhdalam al-Qur`an di kalangan pengikut salafisme. Dari pengamatan saya, memang juga, orang bisa saja meniliti objek yang sama dengan maksud berbeda. ‘Abd al-Muta`âl al-Jabrî yang menulis beberapa karya tentang tema ini, seperti Lâ Naskh fîal-Qur`ân, bertolak dari semangat kritiknya terhadap kajian orientalis yang menganggap al-Qur`an tidak otentik, karena keberadaan naskh di dalamnya menunjukkan telah terjadi revisi, dan banyak ayat yang “tercecer”, atau sebaliknya, banyak ungkapan bukan al-Qur`an yang terselipkan dalam al-Qur`an, seperti kasus ayat-ayat Setan (satanic verses).14

14Lihat, misalnya, John Burton, “Those Are The High-Flying Cranes”, dalam The Qur`an:

(11)

Tapi, tidak semua penulis menulis dengan semangat ideologis dan pembelaan yang menggebu-gebu. Di sisi lain, satu hal yang perlu direvisi bahwa seorang semisal al-Jabrî yang menunjukkan bukti-bukti valid, ketika membela otentisitas al-Qur`an, selalu cenderung dinilai di mata Barat, sebagai seorang apologetis.

Prof. Hassan Hanafi memang, di mata saya, “dibesarkan” dalam kajian ushûl al-fiqh, sehingga wajar ia mengakui adanya naskh, bukan dikenal kepakarannya dalam ‘ulûm al-Qur`ân, meskipun ia juga menulis di bidang ini. Dalam kenyataannya, naskh adalah diskursus yang disikapi berbeda dalam konteks pembicaraanushûliyyûn

dan pakar ‘ulûm al-Qur`ân. Tidak hanya naskh dilihat secara lebih luas (naskh membentang dari naskh al-Qur`an, sunnah, ijmâ’, dan akal) di mata ushûliyyûn, melainkan juga perbedaan cara pandang mereka yang berbeda dengan pakar ‘ulûm al-Qur`ân. Ternyata, berdasarkan cerita Saifuddin, Lc., setiap orang Indonesia yang berdiskusi dengannya juga mengalami hal yang sama.15

(12)

Bersama Prof. Hassan Hanafi di rumahnya di Perkampungan Delapan, Kota Nashr, Mesir

Namun, Prof. Hassan Hanafi juga memberikan saran-saran perbaikan untuk disertasi saya. Kedatangan kami, di samping bermaksud untuk berkonsultasi, juga ingin membeli sebagian karya-karyanya. Memang, ia adalah seorang penulis yang produktif yang menulis karya-karya besar yang berisi pembaruan, seperti Min al-’Aqîdah ilâ al-Tsawrah (Dari Akidah ke Revolusi) dan Muqaddimah fî ‘Ilm al-Istighrâb (Pengantar Oksidentalisme). Kali ini, ia menunjukkan karya barunya,

Tashawwuf Iqbal, yang cukup tebal. Karya-karyanya umumnya diterbitkan oleh Maktabat Madbûlî, Mesir, yang sering menerbitkan karya-karya liberal. Namun, karena fokus saya pada kajian tafsir, akhirnya, saya tertarik membeli Min al-Naql ilâ al-’Aql: Juz I: ‘Ulûm al-Qur`ân min al-Mahmul ilâ al-Hâmil (sebuah karya yang meringkas bahasan-bahasan inti dalam ‘ulûm al-Qur`ân),Min al-Nashsh ilâ al-Wâqi’: Juz I Takwîn al-Nash(tentang formasi teks), Min al-Nashsh ilâ al-Wâqi’: Juz II Bun-yat al-Nash(tentang struktur teks),danTa`wîl al-Zhâhiriyyât:al-Hâlah al-Râhinah li al-Manhaj al-Zhâhiriyyâtî wa Tathbîquh fî al-Zhâhirah al-Dîniyyah (tentang fenomenologi untuk mengkaji fenomena keagamaan). Tampak dari judul-judulnya, “Dari..ke…”, bahwa ia memiliki pola pikir oposisi binner, selalu melihat pertentangan, dan memang dari kondisi sekarang, ia selalu menginginkan perubahan secara radikal.

(13)

al-Qur`an (Fordian) yang beralamat di Madînat Nashr, yaitu sebuah forum diskusi tentang al-Qur`an di kalangan mahasiswa-mahasiswa Universitas al-Azhar asal Indonesia. Forum ini diketuai oleh Rais Fata, seorang mahasiswa asal Madura, dan beranggotakan, antara lain, Thoyib Arifin, Agus Salim, dll. Saya beruntung bisa berhadir di tengah mereka untuk berdiskusi. Di samping sebagai narasumber, saya juga berperan sebagai peserta dalam diskusi bertema: “Naskh al-Tilâwah” yang dipresentasikan oleh Rais Fata (19 April 2010) dan diskusi bertema “Gugatan terhadap Qira`at Tujuh” oleh Agus Salim (26 April 2010).

Keunggulan mereka adalah kuatnya akses ke sumber-sumber primer dan penguasaan mereka terhadap kitab kuning. Di samping itu, mereka juga hapal al-Qur`an, bahkan sebagian dari mereka menghapal qira`at sepuluh, seperti yang dilakukan oleh Agus Salim (Jawa) dan Agus Salim (dengan nama yang sama, asal Makassar). Namun, kelemahannya yang sering dikonsultasikan kepada saya adalah tata cara penulisan makalah dan metodologi, karena mahasiswa-mahasiswa S1 Universitas al-Azhar tidak diwajibkan menuliskan makalah, seperti halnya di Indonesia. Perkuliahan di sini lebih banyak dilaksanakan dengan metode ceramah, bahkan di hadapan ratusan mahasiswa (biasanya di aula,qâ’ah), kondisi yang hampir sama terjadi di Universitas Âl al-Bayt, Yordania, bahkan mungkin menjadi ciri umumnya perkuliahan di Timur Tengah.

Kesempatan berharga ini juga penulis gunakan untuk mengenal objek-objek wisata di Mesir. Pertama, pada 2 Mei 2010 mengunjungi museum yang terletak di sekitar Tahrir Square (Maidân Tahrir). Dengan menaiki kereta api bawah tanah berkecepatan tinggi, Metro, yang konon seperti di Perancis, saya berangkat sendirian, tanpa guide, dari Darmalak. Kereta api tepat berhenti di perhentian bawah tanah yang muaranya tepat di Tahrir Square, dan saya langsung menuju museum berwarnai orange tua yang di halamannya berjejer patung dan benda sejarah lain. Setelah membeli tiket, saya masuk melewati pintu penjagaan. Penjaga bertanya, “min nîn

(min aina) (dari mana)?”. Saya jawab: “Indonesia”. Mendengar jawaban saya, sang penjaga, cepat mempersilakan saya dengan ramah. Dari beberapa kasus hampir sama, saya berkesimpulan, nama Indonesia, di samping sebagai negara mayoritas, juga barangkali dan reputasi baiknya, menjadikan mereka welcome. Khusus di kalangan Universitas al-Azhar, menurut keterangan sebagian mahasiswa Indonesia, nama Indonesia memiliki reputasi baik, antara lain, karena jasa duta besarnya, A. M. Fakhir, dalam mendorong mahasiswa-mahasiswa Indonesia agar sukses belajar di universitas ini. Pada waktu ujian, duta besar ini sering blusukan ke kamar-kamar kost mahasiswa mendorong mahasiswa belajar serius.

(14)

yang terbuat dari emas seberat 11 kg. Konon, benda-benda sejarah di sini adalah hasil evekuasi di Giza dan di Luxor.

Mengunjungi museum ini tidak lengkap jika kita tidak masuk ke ruang khusus berisi mumi-mumi keluarga Fir`aun yang terbagi ke dalam dua ruangan. Dengan bayar 100 pound Mesir (junaih mishrî, gineih mashrî), saya bisa melihat dari dekat mumi-mumi tersebut, di antaranya deretan beberapa orang Ramses dan istri-istrinya. Di satu ruangan, saya bisa menyaksikan mumi Ramses II, yaitu Fir`an yang hidup dan berseteru dengan Nabi Musa as. Memang, sesuai dengan janji Allah swt, bahwa Dia akan menjadikan jasad Ramses II yang tenggelam di Laut Merah itu awet sehingga menjadi pelajaran bagi manusia. Jasadnya kini bisa disaksikan di kaca dalam keadaan utuh, bahkan dengan rambutnya yang memutih, meski tentu saja kulitnya menyusut.

Kedua, di kesempatan lain, pada 3 Mei 2010, saya juga mengunjungi Piramida di Giza (al-Jîzah). Lagi-lagi, keberangkatan kali ini juga sendiri, tanpa guide, untuk memberanikan berinteraksi dengan orang-orang Mesir dengan bahasa Arab, adakalanya dengan fushhâatau ‘âmiyah.Di sini, ditemukan piramida-piramida yang merupakan tumpukan batu-batu berukuran besar dengan tinggi ratusan meter. Ada beberapa piramida: piramida Khufu (Great Pyramid of Giza), piramida Khafre, dan piramida Menkaure. Piramida-piramida tersebut adalah tempat kuburan para raja dan permaisurinya. Selain piramida, juga ada Spinx, yaitu patung manusia berkepala singa).

Ketiga, mengunjungi makam-makam ulama tokoh Islam. Pada 1 Mei 2010, saya berkesempatan menziarahi makam Imam al-Syafi’i (w. 204 M/ 820 H) di kota al-Qarafah al-Shugra. Dari Darmalak, saya menaiki bus dan turun persimpangan yang dikenal dengan persimpangan Sayyidah ‘A`isyah, karena di pinggir jalan di persimpangan ini berdiri sebuah mesjid yang di dalamnya dimakamkan Sayyidah ‘A`isyah. Saya menyempatkan ziarah ke makam ini. Dari sini, saya menaiki bus menuju makam al-Syafi’i melalui jalan yang sempit. Akhirnya, saya sampai di sebuah masjid al-Imam al-Syafi’i, di mana di dalamnya dimakamkan beliau dan seorang imam pengikut madzhabnya, yaitu Syekh Zakariyyâ al-Anshârî (w. 1520 M/926 H) yang merupakan penulis produktif yang menulis sejumlah karya, seperti

Asnâ al-Mathâlib fî Syarh Rawdhat al-Thâlib dan Syarh Îsâghûjî. Saya juga sempat berziarah pada 30 April 2010 ke makam Ahmad al-Dardiri (w. 201 H). Makam ini terletak tidak jauh dari area sekitar mesjid al-Azhar.

(15)

dengan kubah menjulang 52 meter model Turki Utsmani, juga ada museum permata (Qashr al-Jawharah), dan museum polisi (Muthaf al-Syurthah). Pada 15 April 2010, Keluarga Mahasiswa Kalimantan Mesir (KMKM) menyelenggarakan penelusuran tempat-tempat bersejarah di sekitar Cairo, khususnya di sekitar belakang Masjid Hussein, dengan tema “Old Cairo Discovery”. Melalui kegiatan ini, saya bisa ikut mengenal beberapa tempat bersejarah, seperti Bâb al-Futûh (Gerbang Kemenangan) berupa benteng yang didirikan pada 480 H/ 1087 M atas upaya menteri Badr al-Dîn al-Jamâlî pada masa Dinasti Fatimiyyah, Bâb Zuwaylah yang juga dibangun oleh sang menteri tersebut, zâwiyah milik seorang sufi, Abu al-Khair, Masjid al-Aqmar (519 H), Khanqâh, Madrasah, Kubah (mausoleum) al-Zhâhir Barqûq (786-788 H/ 1384-1386 M), dan Kubah (mausoleum) al-Shâlih Najm al-Dîn Ayyûb (641-648 H/ 1243-1250 M) (di dinding tertulis dibangun oleh istrinya, Syajarat al-Durr).

Benteng Shalahuddin al-Ayyûbî dengan

mesjid di dalamnya Di teras samping Masjid Muhammad Alidi komplek Benteng Shalahuddin al-Ayyubi

3. Short Course Menulis Akademik di Universitas Leipzig untuk Menopang Penulisan Disertasi (2010)

(16)

pengetahuan tentang menulis akademik memang bagi mahasiswa program doktor yang sedang menulis disertasi.

Secara keseluruhan, pada tahun 2010 program ini bertempat di beberapa universitas luar negeri yang mewakili Timur Tengah, Eropa, dan Asia Tenggara, yaitu: Universitas Leipzig (Jerman), Universitas Göttingen (Jerman), Universitas al-Azhar (Mesir), Universitas Melbourne (Australia), dan National University of Singapore (Singapura).

Penulis berkesempatan mengikuti short course ini di Universitas Leipzig (Jerman), sebuah universitas yang cukup tua. Univeritas ini berdiri pada 1409, jadi hingga ketika itu (2010) sudah berusia 601 tahun.16 Universitas ini konon telah melahirkan tokoh-tokoh pemikir kaliber dunia, seperti Habermas, dan pernah dipimpin oleh rektor Hans-George Gadamer, penulis terkenal hermeneutika Truth and Method, dan pernah melahirkan setidaknya 30 orang peraih hadiah Nobel. Dalam kancah kajian al-Qur`an, universitas ini telah melahirkan sejumlah orientalis terkenal seperti Theodor Nöldeke, sang pemenang lomba penulisan “sejarah kritis teks al-Qur`an” yang disponsori oleh the Parisian Academie des Incriptions et Belles-Lettres

pada 1857, yang hasilnya kemudian diterbitkan di Göttingen dengan judulGeschichte des Qorans.

Rombongan short course ke Jerman sebenarnya terdiri dari dua kelompok, yaitu satu kelompok ditempatkan di Universitas Leipzig dan satu kelompok lainnya di Universitas Göttingen. Masing-masing rombongan terdiri dari guru besar, doktor, dan calon doktor.

Rombongan peserta ke Universitas Leipzig berjumlah 12 orang: 3 guru besar, 3 doktor, dan 6 calon doktor. Memang, pada tahun ini, penyelenggaraan short course

ini masih memasukkan guru besar sebagai peserta yang sebenarnya pada kenyataannya lebih difokuskan pada studi banding untuk pengembangan keilmuan dan kelembagaan, sehingga lebih banyak dengan kunjungan.

Rombongan dengan Prof. Dr. Nur Kholis Setiawan, seorang alumnus universitas Bonn (Jerman) sebagai pendamping, terbang dari bandara Soekarno-Hatta, Tangerang menuju bandara Frankfurt am Main (disebut juga bandara Rhein-Main). Setibanya di bandara Frankfurt, saya bersama rombongan dijemput oleh Dr. Fritz Schulze (Adjunct Professor di Goethe Universität) untuk menuju ke kota Leipzig dengan naik kereta api cepat. Setibanya di stasiun kereta api Leipzig (Leipziger Volkszeitung), kami diterima oleh sepasang suami istri yang kelak menemani kami dalam perjalanan dan kegiatan, yaitu Dr. Thoralf Hanstein dan Esie Hartiyanty (asal Palangka Raya).

(17)

Kami diterima di Universitas Leipzig (Universität Leipzig), tepatnya di

Fakultät für Geschichte, Kunst- und Orientalwissenschaften (Fakultas Sejarah, Seni, dan Kajian Ketimuran).

Di depan perpustakaan Fakultas Sejarah, Seni,

Kajian Ketimuran Suasana Fakultas dilihat dari jauh, berbaurdengan pertokoan

Universitas Leipzig meliputi beberapa fakultas dengan fasilitas yang lengkap. Salah satu yang menjadi jantung universitas ini adalah perpustakaan. Kami telah diperkenalkan dengan perpustakaan universitas dan perpustakaan Fakultas Kajian Ketimuran. Setiap peserta dari rombongan kami didaftarkan sebagai anggota perpustakaan Leipzig (Universität Bibliotik Leipzig). Dengan kartu identitas semacam kartu atm, setiap anggota bisa mengakses setiap koleksi, termasuk memfotokofi buku-buku dengan voucher yang tersimpan dalam kartu tersebut. Perpustakaan yang berlantai tiga ini memuat koleksi yang sangat kaya, baik buku maupun jurnal berbagai bahasa dari terbitan awal hingga modern. Para pengguna perpustakaan dimudahkan dengan tersedianya mesin fotokofi yang bisa dioperasikan sendiri kapan saja dengan mengisi voucher pada kartu anggota (10 Euro = 200 lembar). Selain itu, perpustakaan juga dilengkapi program digitalisasi yang memungkinkan setiap pengguna mengakses dengan mudah koleksi perpustakaan, serta dilengkapi jurnal-jurnal internasional berbagai disiplin hasil kerjasama perpustakaan ini dengan perpustakaan lain dan penerbit. Di samping perpustakaan milik Universitas, juga tersedia perpustakaan milik Institut Kajian Ketimuran. Perpustakaan ini tidak luas, tapi memiliki koleksi-koleksi literatur beberapa bahasa: Jerman, Inggris, Arab, China, India, dsb.

(18)

Kedatangan kami disambut oleh pustakawan, Kerstin Kubitzky. Perpustakaan ini didirikan pada tahun 1912 M dengan nama “Deutsche Bibliothek” ini berisi koleksi tidak hanya literatur modern, melainkan juga literatur-literatur sejak tahun 1913 M., dan mengoleksi buku-buku terjemahan selain bahasa Jerman, di samping yang ditulis dengan bahasa Jerman.

Memang, harus diakui bahwa format kegiatan short course ini berbeda-beda antara yang diselenggarakan di Universitas Leipzig ini dengan beberapa universitas lain, baik di al-Azhar, di ANU, Melbourne, maupun di Singapura. Khusus di Universitas Leipzig, kegiatan diselenggarakan secara bersamaan antara kegiatan menulis akadamik bagi calon doktor dengan konsultasi dengan professor dengan pengembangan lembaga bagi doktor dan professor dengan pertemuan-pertemuan dan kunjungan-kunjungan untuk studi banding dan menjajagi kemungkinan memperluas jaringan ke berbagai tempat atau lembaga.

Di perpustakaan milik Institut Kajian Ketimuran

Bersama Prof. Eckehard Schulz di Institut Kajian Ketimuran

(19)

orang-orang asing di Universitas ini dengan metode yang efektif, sehingga memungkinkan orang yang sama sekali baru belajar bahasa Arab bisa menguasainya dengan pengajaran intensif dalam beberapa bulan. Di samping itu, ia memberikan pengajaran bahasa Arab untuk orang-orang asing (ghayr al-nâthiqîn bihâ) di Qatar. Memang, terasa janggal ketika kita mendengar pengajar bahasa Arab di Qatar adalah seorang Jerman. Namun, inilah faktanya bahwa kalangan islamisis (orientalis) dengan ketekunannya bisa menguasai ilmu keislaman, dalam hal ini bahasa Arab. Keunggulan mereka selanjutnya adalah temuan metodologi (tharîqah), satu hal yang sering luput dari perhatian umat Islam yang lebih mementingkan materi (mâddah).

Kami beruntung diberi dua buku pegangan, yaitu karya Eckehard Schulz bersama Günter Krahl dan Wolfgang Reuschel, Standar Arabic: An Elementary Intermediate Course17 dan karya Eckehard Schulz, Bahasa Arab Baku dan Modern:

al-Lughah al-’Arabiyyah al-Mu’âshirah (dilengkapi dengan CD), versi bahasa Indonesia yang diterjemahkan oleh Esie Hartianty, SS. dan suaminya, Dr. Thoralf Hanstein.18

Kami juga berkesempatan mengikuti ceramah dan tanya-jawab bersama dengan Ibu Dr. Tuba Işik-Yigit (associate professor di Institut Teologi Islam, Universität Paderborn, Jerman).19Kehadirannya di Institut Kajian Ketimuran kali ini adalah dalam kapasitasnya sebagai seorang muslimah, atau lebih khususnya, sebagai ketua asosiasi muslimah Jerman. Ia berbicara di sini tentang Islam di Jerman. Banyak topik yang dibahas, seperti isu-isu yang pernah dimunculkan dalam Konferensi Islam Kedua yang dilaksanakan tentang institusionalisasi Islam (seperti tentang lembaga pendidikan Islam), kesetaraan gender, dan radikalisme Islam (munculnya Islam-Phobia di Jerman). Memang, sebagai minoritas, kalangan muslim masih mengalami kesulitan, sebagaimana kami saksikan sendiri, misalnya, mesjid-mesjid yang menjadi tempat ibadah Islam masih sangat sedikit. Mesjid-mesjid yang berdiri umumnya didirikan oleh komunitas muslim yang didominasi dari Turki.

17(Cambridge: Cambridge University Press, 2010).

18(Yogyakarta: LKiS, 2009). Buku ini, sebelum diterbitkan, ditelaah ulang oleh beberapa dosen di Indonesia yang dipercayakan oleh Kementerian Agama, antara lain: Dr. Sukamto, Drs. Muhbib Abdul Wahab, M.A., dan Prof. Dr. H.D. Hidayat.

(20)

Sesi tanya-jawab dengan Ibu Tuba

Işik-Yigit Foto bersama Ibu Tuba Işik-Yigit

Di antara kunjungan-kunjungan yang dilakukan adalah kunjungan Max Planck Institute for Social Anthropology di Advokatenweg 36, 06114, kota Halle, Saale, yaitu sebuah kota bersejarah yang penuh dengan bangunan-bangunan dengan arsitektur lama. Nama lembaga diambil dari seorang fisikawan Jerman bernama lengkapnya, Max Karl Ernst Ludwig Planck (lahir pada 23 April 1858 di Schleswig-Holstein, Jerman, dan meninggal pada 4 Oktober 1947 di Göttingen, Jerman). Lembaga yang kami kunjungi kota Halle ini hanya merupakan salah satu dari sekian

Max Planck Institute yang tersebar di Jerman dengan berbagai fokus kajian. Kunjungan ini dipimpin oleh Dr. Thoralf Hanstein, dan merupakan kunjungan gabungan dengan delegasi Göttingen di bawah pimpinan Prof. Fritz Schulz. Kunjungan ini bertujuan untuk mendengar pengalaman lembaga ini dalam melakukan riset-riset ilmiah, sejak berdiri hinggi eksis sampai sekarang. Kunjungan disambut oleh Von Benda dan Nyonya Martin (fasih berbahasa Indonesia), dan Fajar Ibnu Thufayl (peserta posdok asal LIPI).

(21)

oleh Fajar Ibnu Thufayl, serta melakukan kerjasama dengan universitas dan lembaga riset.20

Bersama rombongan di Max Planck Institute

(penulis: baris ketiga dari kanan) Menyimak sambutan dari pihak lembaga

Halle adalah kota tua yang dipenuhi dengan

bangunan arsitektur lama Dijamu dengan hidangan makanan Asia direstoran terdekat. Bagian dari etika kesopanan orang Jerman adalah tidak membayarkan makanan untuk tamunya yang diajaknya

makan, karena membayarkan makanan

dianggap merendahkan harga diri orang lain.

Kunjungan juga dilakukan Georg-August-Universität Göttingen, di kota ini delegasi lain sebanyak 12 orang melakukan riset. Kunjungan ini bertujuan untuk

(22)

menjalin jaringan (network), konsultasi, dan belajar dari sejarah lembaga pendidikan ini. Kunjungan disambut oleh Prof. Irene Scheider (pakar hukum Islam) dan Prof. Fritz Schulz (pendamping delegasi Gottingen; professor di Department of Southeast Asian Studies di Goethe Universitat). Kedua professor ini dengan tekun menyimak perkenalan dan penjelasan para peserta tentang riset yang dilakukannya. Sebagai peserta, saya juga menyampaikan fokus kajian saya tentang “ayat pedang” (âyat al-sayf) dan problematika penganuliran (naskh).

Konsultasi dengan Prof. Irene tidaklah berlebihan karena ia seorang ahli hukum Islam, sedangkan disertasi saya juga akan menelisik pengaruh penganuliran ayat-ayat damai dengan ayat pedang terhadap formasi fiqh jihâd. Prof. Irene kemudian merekomendasikan untuk mengikuti seminar tentang al-Qur`an di Berlin (yang sebelumnya diinformasikan oleh Prof. Nur Kholis Setiawan, dan salah seorang pembicaranya adalah perempuan pengkaji terkenal al-Qur`an di Barat, yaitu Angelika Neuwirth dari Freie Universität, Berlin). Akhir pertemuan ini disudahi dengan kunjungan ke perpustakaan.

Di samping kunjungan-kunjungan ilmiah, para peserta juga diberikan fasilitas kunjungan wisata ke beberapa tempat menarik. Kota Leipzig sendiri adalah kota wisata, tidak hanya diwarnai dengan pusat-pusat perbelanjaan dan pusat kuliner, melainkan juga objek-objek bersejarah. Awal kedatangan kami saja sudah disuguhi makanan khas Turki, yaitu kebab (roti diisi dengan daging kambing, sayuran, dan mayones), di restoran Istanbul dekat penginapan kami di Pansion Forte Piano. Kebab Turki ini memang sali dibuat oleh orang Turki, dengan rasa khas dan dengan ukuran besar, tidak seperti kebab Turki yang ditemukan di Indonesia. Memang, restoran Turki dianggap sebagai restoran tujuan bagi muslim dari luar Jerman ketika datang ke sini, karena menyediakan makanan halal bagi muslim.

Meski demikian, kami “ditantang” juga dengan kuliner lokal di sini. Di Brunch Moritzbaestei, makan pagi kami disuguhi dengan makanan khas Jerman, “Snitzel”, yaitu daging kalkun tepung goreng, kentang goreng, dan kol merah dengan bumbu kari yang rasanya mirip citra rasa masakan Timur Tengah umumnya. Ternyata, makanan ini dijual di mall dalam bentuk siap untuk dimasak cepat.

Memang restoran Turki tidak selalu mudah untuk ditemukan di setiap daerah ketika melakukan perjalanan. Bahkan, kami pernah makan di restoran India,

(23)

kita. Begitu juga, ketika berkunjung ke Praha, ibukota Cekoslovakia, negara yang mayoritas penduduknya beragama Katholik, kami makan di restoran China.

Di samping wisata kuliner, peserta juga diberi pengalaman berkunjung ke kota-kota bersejarah.

Kota Dresden

Di sela-sela kegiatan ilmiah, waktu kami isi dengan mengunjungi sejumlah kota, antara lain kota Dresden, ibukota negara bagian Sachsen, Jerman. Kota ini dibelah oleh sungai Elbe. Letaknya tidak jauh dari perbatasan Cekoslovakia dan Polandia. Jarak antara Leipzig, tempat kami tinggal, dengan Dresden adalah kurang lebih 112 km (69 mil). Untuk menuju Dresden, kami menaiki mobil travel dengan lama perjalanan kurang lebih 1 jam 20 menit.

Banyak bangunan-bangunan bersejarah di kota ini, antara lain, Drsedner Frauenkirche(“Gereja Bunda Kita di Dresden”). Nama gereja ini memiliki kesamaan dengan beberapa gereja di Eropa, baik Protestan maupun Katholik Roma. Gereja ini adalah gereja Lutheran (Protestan) yang dibangun pada masa Frederick August I (1670-1733). Pada masa Perang Dunia II, gereja ini hancur karena pengeboman. Setelah penyatuan kembali Jerman pada 1990, muncul keinginan untuk merenovasi hingga pada 1994 dimulai renovasi dan selesai pada 2005.

Bangunan bersejarah lain yang dikunjungi adalah Semperoper, yaitu rumah opera, tempat konser, dan pertunjukan-pertunjukan. Bangunan ini semula dibangun oleh seorang arsitek Gottfried Semper pada 1841. Setelah sempat mengalami kerusakan pada 1869, bangunan ini dibangun kembali dan selesai pada 1878.

(24)

Di kota Dresden, di tepi sungai Ebe. Di

belakang, tampak jembatan yang

menghubungkan Jerman dengan Polandia Di depan komplek Zwinger

Zwinger dan Residenzschloss adalah bangunan bersejarah lain yang tak lupa dikunjungi. Zwinger adalah adalah sebuah istana dengan sebuah lapangan luas dengan dikelilingi oleh bangunan-bangunan megah dengan gaya Barok, didesain oleh Matthäus Daniel Pöppelmann. Sekarang, komplek bangunan tersebut museum galeri foto-foto. Sedangkan, Residenzschloss (atau Dressdner Schloss) adalah istilana kerajaan (royal palace) yang dibangun pada 1533 M.

Kota Berlin

Menjelejah Jerman tidak lengkap jika tidak mengenal kota Berlin, yang merupakan ibukotanya, dari dekat. Kami berangkat dari Leipzig pagi jam 05.30 menuju Berlin yang jarak 190 km (118 mil) dengan waktu tempuh sekitar 2 jam dengan menaiki kereta api cepat. Setibanya, di Berlin, masih terasa masih pagi dengan udara dingin. Di udara yang dingin, kami menyusuri jalan-jalan di kota ini sambil melihat pemandangan (sightseeing). Tiba-tiba di pinggir jalan, kami temuan sekelompok orang-orang mengelar buku-buku untuk dijual. Sayang sekali, semua buku yang dijual di sini berbahasa Jerman. Begitu juga, sangat sulit menemukan buku-buku agama di tanah bekas Hitler ini. Namun, akhirnya, karena tertarik dengan kajian filsafat, saya memutuskan untuk membeli Das Kapital karya Karl Max dan

(25)

Di sini, objek wisata pertama yang kami kunjungi adalah gedung parlemen (Deutscher Bundestag) Jerman, di manaReichstag, atau parlemen kekaisaran Jerman, bersidang. Gedung ini dibuka pada 1894 dan memberi tempat bagiReichstagsampai 1933.21 Gedung ini sangat bersejarah sejak perang dunia pertama, kehancurannya, dan renovasinya secara modern. Gedung ini megah dengan arsitek model Romawi, terlihat dari pilar-pilarnya yang menjulang. Di depannya tertulis “Dem Deutschen Volke” (Kepada Rakyat Jerman). Di bagian atas, dibangun semacam kubah dari kaca. Tampak, bendera Jerman berkibar di atasnya. Berbeda dengan Indonesia, Gedung Parlemen di Jerman juga bernilai sebagai objek wisata dan bernilai sejarah yang panjang.

Setibanya kami di depan gedung ini, ternyata sudah banyak orang yang antri akan masuk. Memang, memasuki gedung bernilai sejarah ini perlu pemeriksaan keamanan ketat. Dengan naik lift, kami naik ke atas hingga bangunan bundar semacam kubah. Menaiki kubah ini tidak perlu lift, melainkan cukup dengan menapaki lantai yang dirancang naik perlahan secara memutar. Sesampainya di atas, kami bisa menikmati pemandangan kota Berlin yang indah, meski agak sedikit berkabut karena cuaca dingin. Pemandangan menjadi lebih indah lagi, karena di samping dan belakang Gedung, terbentang pemandangan sungai.

Di depan stasiun kereta api Berlin Di depan Gedung Parlemen Jerman (Deutscher Bundestag)

(26)

Bertolak dari gedung ini, kami kemudian menyusuri jalan menuju Gerbang

Brandenburg (Brandenburger Tor) yang terletak dekat gedung parlemen tersebut. Selain Gedung Parlemen, Gerbang ini menjadi simbol atau ikon utama kota Berlin. Gerbang ini dalam sejarahnya diusulkan oleh Friedrich Wilhelm II sebagai simbol perdamaian dan dibangun oleh Carl Gotthard Langhans sejak 1788 hingga 1791. Gerbang ini terdiri pilar-pilar megah, dua belas kolom, dan enam di setiap barisnya. Di atasnya, Quadriga dengan Viktoria (dewi kemenangan Romawi) menghadap ke timur.

Dari Gerbang tersebut, kami menyisiri jalan sambil melihat suasana kota menuju ke Alexanderplatz, untuk dari situ menyaksikan sebagian sisa Tembok Berlin (Berliner Mauer). Hanya sedikit yang tersisa dari Tembok bersejarah yang diruntuhkan 20-an tahun yang lalu. Yang kami kunjungi hanyalah sisa potongan tembok yang berdiri dengan dihiasi warna-warni di tengah lalu-lintas kota. Perjalanan kami di kota Berlin diakhiri dengan makan siang di restoran Mabuhay, yaitu sebuah restoran sederhana yang menyajikan makanan khas Indonesia dan Philipina.

Di depan Gerbang Brandenburg

(27)

Kota Praha (Prague), Ibukota Republik Cekoslovakia

Di samping kota-kota di Jerman, panitia penyelenggara memfasilitasi peserta mengenal budaya negara lain, yang terdekat. Sebagian dari rombongan berangkat ke Belanda untuk menikmati perpustakaan Universitas Leiden yang kononnya terlengkap, sedangkan saya bersama rombongan yang lain diberi fasilitas berangkat ke Praha, ibukota Cekoslovakia. Selama dua hari lamanya kami habis waktu untuk menikmati wisata sejarah dan berbelanja buku-buku.

Salah satu objek wisata menarik dan terkenal di Praha adalah Jembatan Charles (Karlův Most, atau Charles Bridge). Jembatan ini menghubungkan dua distrik bersejarah, yaitu Old Town dan Lesser Town (Malá Strana), juga menjadi penghubung antara Kastil Praha di Castle District (Hradcany) dan kota tua di Praha, yaitu Old Town. Di samping karena keindahannya, jembatan ini banyak dikunjungi karena sejarahnya.

Jembatan ini dibangun pada 1357-1402 dengan disponsori oleh King Charles IV dan disupervisi oleh Peter Parler yang ketika itu juga sedang membangun Vitus Cathedral. Jembatan ini membujur di atas 16 lengkungan, dengan lebar hampir 10 m dan panjang 621 m. Di kedua ujung jembatan, terdapat menara yang khas, dan di kedua sisinya berderet 30 patung yang kebanyakan bergaya Baroque, bersama deretan lampu bergaya vintage. Dengan keindahan arsitektur itu ditambah dengan rumah-rumah di dekatnya yang warna-warni dengan atap merah, diperindah dengan air yang jernih dan tenang, sekan-akan kita berada di negeri dongeng.

Wisata di Praha dilengkapi dengan membeli buku-buku di Big Ben Bookshop yang terletak di Mala Stupartska 636/5 Praha 1, Stare Mestro, belakang Gereja Tyn sekat Old Town Square. Toko buku yang hanya berukuran kecil ini menjual buku-buku berbahasa Inggris. Khusus tentang agama dikelompokkan dalam rak buku inspirasonal, seperti A History of God, dan buku-buku filsafat. Sebagian besar buku berupa sejarah dan novel. Toko buku lain di sekitar kota ini, sepertiKafka

(28)

Di jembatan Charles (Karlův Most, atau

Charles Bridge) dengan airnya yang jenih dan tenang

Di depan jembatan dengan menaranya yang khas

(29)

Kewajiban Pasca-Short Course: Mini-disertasi dan Artikel Berbahasa Inggris

Di samping kewajiban pelaporan administratif, seperti laporan perjalanan dan dokumen, setiap peserta diharuskan menyerahkan mini-disertasi dan ringkasan dari mini-disertasi tersebut dalam bentuk artikel berbahasa Indonesia dan bahasa Inggris.

Short course selama sebulan tentu saja bukan waktu yang cukup untuk menyelesaikan penulisan disertasi. Akan tetapi, program ini telah memfasilitasi setidaknya akses setiap penulis ke literatur secara lebih luas dan konsultasi dengan para professor.

Salah satu yang menarik untuk dicatat di sini adalah bahwa kewajiban menyerahkan mini-disertasi sebenarnya mengkondisikan setiap penulis untuk memiliki gambaran singkat, padat, dan komprehensif tentang disertasi sesungguhnya. Kita bisa menulis sesuatu secara lebih detil dengan lebih dahulu bertolak dari gambaran ide-ide pokok disertasi yang akan ditulis, layaknya “miniatur” bagi disertasi sebenarnya. Tidak setiap penulis bisa menulis hanya dalam simpul-simpul pokok idenya. Mini-disertasi bisa berfungsi sebagai “peta jalan”, karena di dalamnya harus ada ide-ide pokok dan yang lebih penting setiap penulis harus memancangkan sejak awal “tesis” (kesimpulan besar yang ingin dibuktikan dalam setiap bab disertasi, sehingga bab-bab disertasi haruslah logis dan memiliki hubungan kuat yang bisa memperkuat tesis itu). Banyak mahasiswa S1 dalam skripsinya tidak memiliki posisi pandangannya terhadap masalah yang diangkat, sehingga kontribusinya terhadap ilmu pengetahuan masih belum jelas.

4. Mendapat Penghargaan Indonesian Scholar Dissertation Award (ISDA) dariIndonesian International Education Foundatian(IIEF) Jakarta

(30)

antara lain, pemberian beasiswa, pertukaran pelajar, dan penyelenggaran tes bahasa Inggris.

Sebagaimana disebutkan dalam ketentuannya, penghargaan ini diberikan kepada calon doktor di berbagai perguruan tinggi Indonesia yang mampu memformulasikan persoalan krusial yang dihadapi oleh bangsa Indonesia sekarang, dan memberikan solusi yang berpengaruh secara luas.

Dari sekitar 500 pelamar (seleksi tahap I), kemudian 50 pelamar (seleksi tahap II), saya termasuk pelamar yang lulus di antara 21 pelamar pada seleksi akhir (tahap III). Dari rangkaian seleksi ini, tampak sekali bahwa kapasitas pelamar (dibuktikan dengan karya-karya dan keterlibatan di organisasi) serta signifikansi penelitian yang dilakukan dalam hal kontribusinya dalam penyelesaian problem-problem penting sangat ditekankan. Khusus pada seleksi terakhir, di samping kualitas proposal disertasi, di antara pewawancara ada yang menekankan pentingnya pelamar terlibat dalam jaringan (network) keilmuan, karena dengan begitu kiprah yang dilakukannya tidak hanya berpangruh terbatas, melainkan berpengaruh secara luas.

Sambutan dari direktur IIEF, Dr. Irid

(31)

C. Di Yordania: Meneliti Tafsir dan Menerjemahkan buku Tafsir Tematik (Mawdhû’î) sambil Mengikuti Postdoctoral Fellowship Program for Islamic Higher Education(2016)

1.Tentang Postdoctoral Fellowship Program for Islamic Higher Education

(Posfi)22

Program ini merupakan program posdoktor (postdoc) yang diselenggarakan oleh Subdit Ketenagaan Direktorat Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama. Program ini diselenggarakan selama dua bulan, dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing kelembagaan perguruan tinggi agama Islam (PTKI) menuju perguruan tinggi bertarap internasional, mengembangkan kompetensi dosen PTKI dalam bidang academic research, academic writing dan academic networking di luar negeri melalui presentasi ilmiah, riset ilmiah, penerbitan naskah di jurnal internasional; dan sosialisasi dan internasionalisasi kajian dan Islam Nusantara.

Kegiatan ini dikemas dalam bentuk kegiatan berikut: (1) diseminasi (menyebarkan) informasi ilmiah secara internasional (international dissemination) di hadapan mahasiswa asing melalui mengajar sebagai dosen tamu (guest lecturer) tentang Islam di Indonesia Nusantara dan tentang bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi dan bahasa ilmu pengetahuan; (2) penulisan artikel ilmiah berbahasa asing yang siap untuk diterbitkan di jurnal-jurnal internasional yang terindeks; (3) penelitian tentang kajian Islam, dalam hal ini tafsir al-Qur`an, sebagai langkah untuk penulisan buku referensi yang siap terbit; (4) terjalinnya jaringan dan kerjasama, baik secara individual antara peserta program dengan professor di perguruan tinggi tujuan (host) maupun antara perguruan tinggi Islam yang menjadi tempat tugas dengan perguruan tinggi tempat kegiatan.

Program Posfi 2016 ini diikuti oleh empat orang, yang berasal dari berbagai perguruan tinggi keagamaan Islam di Indonesia. Keempat orang tersebut semua bertugas di Jâmi’at Âl al-Bayt (Universitas Âl al-Bayt) yang terletak di Provinsi Mafraq, Yordania.

(32)

2. Universitas Âl al-Bayt

Universitas Âl Bayt (Âl al-Bayt University) ini didirikan pada 17 Agustus 1992 melalui keputusan Kerajaan Yordania yang didasari oleh keinginan agar negara ini memiliki sebuah universitas model baru yang menggabungkan antara tuntutan-tuntutan metodologi ilmiah dalam pembelajaran dan riset sehingga relevan di dunia Arab dan Islam di satu sisi dengan tuntutan-tuntutan spiritualitas yang meniscayakan keimanan dan kebeningan jiwa sebagai keperibadian yang sempurna

di sisi lain yang menyahuti spirit zaman, begitu juga menyeimbangkan (equilibrium) antara tuntutan ilmu pengetahuan dan rasio di satu sisi dengan tuntutan iman, akidah, dan nilai-nilai di sisi lain. Dengan ide tentang keseimbangan itu, universitas ini didirikan atas dasar keinginan untuk mewujudkan sebuah universitas yang menjunjung prinsip kebebasan, keadilan, toleransi, penghormatan terhadap iman dan kepercayaan orang lain, dan prinsip hidup bersama (co-existence) secara damai.

Pada tanggal 16 Desember 1992 M (21 Jumada al-Tsani 1413 H), Kerajaan Yordania (al-Mamlakah al-Urduniyyah al-Hâsyimiyyah) kembali mengeluarkan surat keputusan untuk menindaklanjuti pengembangan universitas ini dengan membentuk Komite Khusus Âl al-Bayt dengan anggotanya dari kalangan intelektual Yordania dan dari beberapa belahan dunia Islam. Tugas utama komite itu adalah untuk meletakkan dasa-dasar yang kokoh untuk membangun universitas ini, dan juga untuk menentukan keputusan-keputusan dan memberikan rekomendasi-rekomendasi bersifat operasional dan administratif kepada Raja Husein untuk mengeluarkan pengesahan atau keputusan finalnya.

Akan tetapi, Komite tersebut berakhir pada tahun 1999. Hal itu karena pihak kerajaan kemudian mengeluarkan keputusan untuk membentuk Panitia Orang-orang Kepercayaan Universitas pada 5 September 1998. Panitia baru ini bertugas untuk melaksanakan kewajiban, tugas, dan tanggung-jawab Komisi Kerajaan untuk Universitas Âl al-Bayt.

(33)

Oktober 1994. Program yang dibuka adalah program strata satu (sarjana) dan strata dua (magister).

Pada 6 Februari 1995 M (6 Ramadhan 1415 H), universitas ini dibuka secara resmi oleh Raja Husein. Perhatian pihak kerajaan terhadap universitas ini tetap berlanjut. Raja Abdullah II juga mengikuti kebijakan ayahnya, Raja Husein, dalam hal memberikan dukungan yang tak terhingga, sepenuh hati, dan tak ada bandingnya. Pada kesempatan wisuda sarjana angkatan pertama pada tahun 1999, Raja Abdullah II berkesempatan hadir, dan berkenan mengunjungi serta bertemu dengan segenap civitas akademika kampus. Bahkan, Raja berkeinginan kuat membentuk suatu komite kerajaan untuk pengembangan universitas. Begitu juga, setelah diadakannya dialog terbuka dengan mahasiswa dan pihak fakultas, Raja menyatakan mendukung dibukanya Institut Studi Islam di kampus supaya universitas bisa memainkan peran dan misi awal yang menjadi alasan didirikannya universitas ini. Karena kebanggaan pihak universitas atas segala perhatian ini, pihak universitas kemudian menganugerahi gelar doktor honoris causa dalam bidang ilmu administrasi kepada Raja Abdullah II pada 7 Juli 2004, karena kemampuan memimpinnya pada level nasional dan internasional serta langkah-langkah strategis kongkretnya dalam membangun hubungan yang erat dengan negara Arab tetangga dan negara-negara lainnya.

3. Penelitian Tafsir “Trend Perkembangan Kontemporer Metodologi Tafsir al-Qur`an di Indonesia”

Penelitian ini sebenarnya dilakukan di Indonesia dengan biaya dari Dipa IAIN (UIN) Antasari melalui LP2M. Penelitian yang selanjutnya akan diterbitkan sebagai buku referensi ini telah selesai secara keseluruhan.23 Namun, penelitian ini tetap memerlukan penyempurnaan dari beberapa aspek. Hal ini dilakukan di Yordania selama mengikuti program Posfi di Universitas Âl al-Bayt.

Penelitian ini pada dasarnya memang berisi kajian tentang pemikiran metodologi tafsir di Indonesia, suatu topik yang sumbernya tentu berasal dari tulisan-tulisan intelektual Indonesia, yang tidak atau sedikit diketahui oleh intelektual Timur

23Penelitian ini kini telah diterbitkan dengan judul Trend Perkembangan Kontemporer

(34)

Tengah. Akan tetapi, pendekatan dalam kajian ini terdiri dari dua persepektif; pertama, kajian historis yang memang sumbernya dari karya-karya intelektual Indonesia; kedua, kajian kritis yang sumber bahan analisisnya adalah karya-karya ulama Timur Tengah, yang tentu banyak diketahui oleh intelektual/ guru besar di Universitas Âl al-Bayt. Penulisan buku ini disempurnakan dari perspektif kedua, yaitu pengayaan analisis kritis dari berbagai referensi ‘ulum al-Qur`ân mutakhir dari karya-karya Timur Tengah sebagai perbandingan (komparasi) dan tandingan (kontestasi), antara lain perlunya menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an tidak melulu dari perspektif-perspektif yang ditawarkan oleh intelektual Indonesia, seperti al-Fatihah sebagai paradigma tafsir sebagai ditawarkan oleh M. Dawam Rahardjo atau kaedah-kaedah alternatif yang cenderung liberalis sebagai ditawarkan oleh Abd. Moqsith Ghazali dengan mengangkat kaedah-kaedah dan maqâshid al-syarî’ah, melainkan dari perspektif baru, yaitumaqâshid al-Qur`ân (tujuan-tujuan pokok al-Qur`an) yang banyak digagass oleh Ahmad al-Raysûnî(Maroko) akhir-akhir ini.

4. Penerjemahan buku al-Tafsîr al-Mawdhû’î wa Manhajiyyat al-Bahts Fîh

karya Prof. Dr. Ziyâd Khalîl al-Daghâmîn

Buku ini berisi tentang metode tafsir tematik (al-tafsîr al-mawdhû’î) disertai dengan contoh-contoh penerapannya. Judul al-Tafsîr al-Mawdhû’î wa Manhajiyyat al-Bahts Fîh adalah edisi revisi24terhadap edisi lama yang berjudul Manhajiyyat

al-Bahts fî al-Tafsîr al-Mawdhû’î. Pada edisi revisi, banyak hal yang ditambahkan, baik dari segi uraian tentang metodologi maupun dari segi contoh penerapan yang dikemukakan.

Penulisnya sendiri, al-Daghâmîn, adalah seorang guru besar dan dosen senior di Fakultas Syariah di Universitas Âl al-Bayt. Ia adalah seorang penulis yang produktif yang tidak hanya menulis buku ini, melainkan beberapa karya lain, antara lain: I’jâz al-Qur`ân wa Ab’âduh al-Hadhâriyyah fî Fikr al-Nursî25 dan Da`wâ

al-Naskh fî al-Qur`ân al-Karîm fî Dhaw` Wâqi’iyyat al-Khithâb al-Qur`ânî,26 dan sejumlah arikel di jurnal-jurnal ilmiah bereputasi. Ia adalah termasuk di antara penulis-penulis tentang tafsir yang dikenal di Yordania, di samping nama besar semisal Shalâh ‘Abd al-Fattâh al-Khâlidî dari Universitas Yordania (Jâmi’ah al-Urduniyyah, University of Jordan), seorang pengkaji pemikiran tafsir Sayyid Quthb dan seorang penulis yang juga produktif.

24(Amman, Yordania: Dâr ‘Imâr, 2007)

25(Turki: Ozemir, 1998). Karya kemudian dicetak ulang (cetakan ke-2) dan didistribusikan oleh pihak Universitas (al-Mafraq: Jâmi’at Âl al-Bayt, 2009).

(35)

5. Kegiatan Ilmiah Lain

Di sela-sela kegiatan, tim Posfi berkesempatan diundang sebagai pembicara di Himpunan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia (HPMI) dan PCI-NU Yordania. Begitu juga, kesempatan ini juga dimanfaatkan untuk berkunjung, menimba ilmu, dan menjalin kerjasama dengan International Institute of Islamic Thought (IIIT) atau al-Ma’had al-’Âlamî li al-Fikr al-Islâmî cabang Yordania yang berkedudukan di Amman. Lembaga yang kini dipimpin oleh direktur cabangnya (mudîr iqlîmî) Dr. Fathî Hasan Malkâwî, berafiliasi dengan sentralnya di Amerika Serikat. Di negara asalnya ini, lembaga ini didirikan pada 1981 M (1401 H) di Washington bertolak dari idealisasi untuk mengusung ide-ide pembaruan di dunia Islam. Kantor cabangnya sendiri di Amman didirikan pada 1988 dengan melakukan kerjasama dengan berbagai universitas dan lembaga keilmuan, dan lembaga ini tercatat secara resmi di Kementerian Kebudayaan Yordania pada 1990. Islamisasi ilmu pengetahuan dengan bertolak dari pandangan yang integratif antara epistemologi keilmuan menjadi visi ke depan yang ingin dituju lembaga ini. Ide-ide semisal Ismail R. al-Faruqi menjadi ide yang ditawarkan, sebagai alternatif terhadap paradigma keilmuan Barat.

Selain menerbitkan banyak sekali karya-karya intelektual yang mengusung ide-ide pembaruan Islam, IIIT menerbitkan dua jurnal, yaitu Islâmiyyat al-Ma’rifah:

Majallat al-Fikr al-Islâmî al-Mu’âshir (Islamisasi Ilmu: Jurnal Pemikiran Islam Kontemporer) yang terbit sejak 1995 dalam bahasa Arab, dan jurnal yang diterbitkan oleh Association of Muslim Social Scientists (AJISS) yang berbahasa Inggris, yaitu

American Journal of Islamic Sciences, terbit sejak 1984.

IIIT Yordania telah menjalin kerjasama dengan Indonesia melalui Dewan Dakwah Islamiyah yang berkedudukan di Jakarta, yang dipimpin oleh Dr. Habib Chirzin (direktur). Tokoh ini merupakan pegiat psikologi Islami yang tergabung dalam Asosiasi Psikologi Islami (API) Indonesia. Kita bersyukur, pada tanggal 2 Desember 2016, Fakultas Ushuluddin dan Humaniora menjajagi kerjasama ini, dengan menerima kedatangan Dr. Habib Chirzin beserta rombongan. Lembaga yang skopnya lebih luas dari API adalahInternational Association of Muslim Psychologists

(IAMP). Lembaga berafiliasi dengan dan bekerjasama intensif dengan IIIT, seperti pelaksanaan 5th Internationational Conference of Association of Muslim

Phsycologists di UGM Yogyakarta pada 4-5 November 2016 yang lalu. Penyelenggaraan konferensi ini dibiayai penuh oleh IIIT.

6. Menikmati Kekayaan Wisata di Yordania

(36)

Di Jerash (Jarasy), yaitu wilayah berbukit dengan tanahnya yang subur, kegubernuran ini berbatasan dengan Kegubernuran Irbid di utara, Kegubernuran Ajloun di barat, Kegubernuran Mafraq dan Kegubernuran Zarqa di timur, dan Kegubernuran Balqa di selatan. Rata-rata curah hujan di Kegubernuran Jerash berkisar 400–500 mm, di antara daerah yang memiliki curah hujan tertinggi di negara ini. Ketinggian kegubernuran ini antara 300 sampai 1300 meter diatas permukaan laut dengan aliran air

bersih dan Sungai Zarqa yang melaluinya, dikelilingi dataran subur, perbukitan, pegunungan dengan iklim mediterania Wilayah kekuasaan Romawi menyisakan jejak kejayaan yang masih bisa kita saksikan sampai saat ini. Salah satu wilayah kekuasaannya yang terletak di Asia adalah Jerash, suatu kota yang terletak di Negara Yordania. Kota ini memiliki situs peninggalan kerajaan Romawi yang disinyalir sebagai kota tua yang menyimpan arkeologi sejarah.

Menurut Petugas Jerash bahwa Yordania merupakan negara yang terletak di Asia Barat yang identik dengan padang pasir nan gersang, namun kali ini mata anda akan dimanjakan dengan indahnya pemandangan ladang pertanian yang tampak saat melintasi jalan menuju Jerash dari Kota Amman. Bagi anda yang pernah mengarungi lintasan jalan bukit yang berkelok di Indonesia maka anda pun akan merasakan kesan yang sama saat mengunjungi Jerash, ini merupakan suatu hal yang luar biasa untuk negara yang bukan beriklim tropis.

(37)

Di samping Jerash, saya juga sempat mengunjungi Petra, yaitu komplek perkampungan dengan bangunan-bangunan kunonya yang terletak di Ma'an, Yordania. Tempat ini terkenal dengan bangunan arsitektur yang dipahat pada bebatuan serta sistem pengairannya. Diperkirakan dibangun pada awal tahun 312 sebelum masehi, sebagai ibu kota dari Nabath. Situs ini tidak pernah diketemukan oleh dunia barat hingga 1812, ketika pengelana dari Swiss, Johann Ludwig Burckhardt menemukannya untuk pertama kalinya. Situs ini digambarkan seperti "sebuah kota mawar merah yang antik" dalam salah satu puisi yang menang dalam lomba Newdigate Prize, karya dari John William Burgon.

Objek wisata alam yang sempat dikunjungi adalah Laut Mati, yaitu laut yang membelah dan menjadi perbatasan antara Israel dan Yordania. Disebut sebagai Laut Mati, karena dengan kandungan garamnya yang tinggi yang mencapai 33,7% (sekitar 8,6 kali lebih banyak dari kandungan garam di laut biasa), tidak ada makhluk hidup yang bisa hidup di dalamnya. Keunikan inilah yang membuat banyak benda akan terapung, termasuk tubuh manusia.

Referensi

Dokumen terkait

Jumlah stadia larva 2 hama penggerek bonggol yang dimangsa oleh larva kumbang buas relatif lebih banyak dibandingkan dengan yang dimangsa kumbang buas dewasa, yaitu berturut-turut

Jl. Muara juga termasuk tempat terjadinya siklus dekomposisi unsur-unsur hara. Ketersediaan unsur hara didalam suatu perairan dapat menjadi indikator kesuburan

Pembuatan kotak tissue ini yang disiapkan adalah membuat pola dari karton,memotong sesuai pola, membuat anyaman pelepah,menempel anyaman pelepah pada karton,melapisi bagian

[r]

Gas mulia adalah unsur-unsur yang terdapat dalam golongan VIIIA yang memiliki kestabilan yang sangat tinggi dan sebagian ditemukan di alam dalam

permasalahan yang ada, seperti pembelajaran mengenai sekuritas informasi, SMM, proses pembuatan SMSI serta standar yang digunakan dalam pembuatan SMSI..

Kelarutan Zat Ekstraktif (%) Kayu Kerai Payung (Filicium decipiens) yang Terlarut Dalam Air Panas Berdasarkan Letak Pada Cabang Dari gambar histogram diatas, terlihat

Sesuai dengan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah di jabarkan di atas, maka maksud dari Penelitian ini adalah untuk memperoleh data– data mengenai sistem informasi