• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMEROLEHAN KALIMAT PADA ANAK USIA DUA TAHUN TUJUH BULAN (2;7)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMEROLEHAN KALIMAT PADA ANAK USIA DUA TAHUN TUJUH BULAN (2;7)"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

125

PEMEROLEHAN KALIMAT PADA ANAK

USIA DUA TAHUN TUJUH BULAN (2;7)

Oleh: Pipi Suhadmida Sari (Dosen STAI-YAPTIP Pasaman Barat)

Abstrak

Artikel ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang pemerolehan kalimat pada anak usia dua tahun tujuh bulan (2;7), yaitu pemerolehan kalimat pola kalimat deklaratif, pola kalimat interogatif, dan pola kalimat imperatif. Pemerolehan bahasa anak dapat mempunyai ciri yang sistematis, memiliki suatu rangkaian kesatuan, yang bergerak dari ucapan satu kata sederhana menuju gabungan-gabungan kata yang lebih rumit, yaitu kalimat. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian tentang pemerolehan kalimat pada anak usia dua tahun tujuh bulan (2;7) berdasarkan kalimat tunggal yang difokuskan pada kalimat deklaratif, interogatif, dan imperatif.

Kata kunci; pemerolehan kalimat, usia dua tahun tujuh bulan (2;7), kalimat deklaratif, kalimat interogatif, dan kalimat imperatif.

A. PENDAHULUAN

Bahasa pada hakikatnya hanya diperoleh manusia karena manusia lahir ke dunia memiliki kemampuan dan kapasitas berbahasa. Bahasa diperoleh melalui proses alamiah dan dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, faktor biologis, yaitu faktor yang dimilik oleh anak yang lahir dalam keadaan normal, dan dibekali dengan organ-organ tubuh yang cukup, tidak mengalami cacat fisik seperti: tuli, bisu, lemah mental dan gagap. Kedua, faktor sosial, yaitu interaksi dengan orang-orang yang berada di lingkungan anak dalam pemerolehan bahasa. Anak dapat menguasai bahasa pertama melalui proses pemerolehan. Proses pemerolehan bahasa tersebut berlangsung secarah alamiah melalui komunikasi sehari-hari bukan dengan pembelajaran yang membutuhkan guru, tempat dan waktu yang khusus. Bahasa pertama anak cenderung mengacu kepada bahasa daerah atau bahasa lingkungan tempat anak dibesarkan.

Pada awal pemerolehan bahasa, seorang anak akan lebih banyak memperhatikan dan menyimak, kemudian anak akan berusaha menirukan kata-kata

(2)

126

yang pernah didengarnya. Dengan demikian, kematangan yang pertama dikuasai anak adalah mendengar atau menyimak pembicaraan orang lain, selanjutnya anak belajar mengujarkannya melalui kata-kata. Tarigan (2011:6) menyatakan bahwa pemerolehan bahasa anak dapat dikatakan mempunyai ciri yang sistematis, memiliki suatu rangkaian kesatuan, yang bergerak dari ucapan satu kata sederhana menuju gabungan-gabungan kata yang lebih rumit, yaitu kalimat. Hal ini menandakan bahwa pemerolehan bahasa anak berada pada grafik naik. Maksud pemerolehan bahasa anak berada pada grafik naik ini adalah bahwa pada tahap awal anak mengujarkan bentuk-bentuk bahasa terkecil terlebih dahulu, kemudian meningkat menjadi ujaran-ujaran yang lebih besar seperti, kata, frase, dan kalimat.

Pemerolehan bahasa anak dimulai pada rentangan usia 0—5;0 tahun. Pada rentang waktu yang cukup lama tersebut anak perlu mendapatkan perhatian khusus. Perhatian khusus ini diberikan karena anak perlu diajak berdialog oleh orang tua untuk memudahkan anak dalam pemerolehan ataupun penguasaan bahasa, khususnya sintaksis. Kematangan berbicara anak berhubungan dengan latar belakang orang tua. Hal ini sesuai dengan pendapat Templin (dalam Pateda, 1990:61) yang menyatakan bahwa anak-anak yang sosio-ekonomi orang tuanya baik, kematangan berbicaranya akan lebih cepat dari pada, anak-anak sosio-ekonomi orang tuanya lemah.

Rod Ellis (1994) menyatakan bahwa salah satu temuan yang dapat menembus hasil penelitian pemerolehan bahasa pertama adalah bahwa anak-anak lahir untuk mengikuti sebuah pola yang didefinisikan dengan baik. Pola ini adalah bukti bagaimana cara semua sistem ilmu kebahasaan diperoleh. Anak-anak memulai satu perkataan yang berfungsi sebagai holofrase, misalnya mengungkapkan keseluruhan hal. Mereka secara lambat mengembangkan jumlah ucapan mereka melalui tahap-tahap ketika bagian terbesar dari celotehan mereka hanya terdiri atas dua kata pertama, kemudian menjadi tiga dan empat ungkapan. Pada waktu yang sama mereka secara sistematis memperoleh berbagai macam peraturan sintaksis dan morfologi bahasa.

Anak usia dua tahun sudah memasuki masa kontruksi sederhana. Pada usia ini anak juga telah mampu menguasai tata bahasanya sendiri, meskipun penguasaan

(3)

127

fonologinya belum sempurna. Penguasaan fonologi yang belum sempurna tersebut misalnya seperti /k/ menjadi /t/, /r/ menjadi /l/, dan lain sebagainya. Berdasarkan kemampuan tersebut anak dapat membentuk kalimat sederhana, bahkan kalimat kompleks seperti kalimat deklaratif, kalimat interogatif, dan kalimat imperatif. Menurut Piaget (dalam Maksan, 1993:52), pada usia 2;0—5;0 anak sudah menggunakan kalimat sederhana, bahkan kalimat kompleks. Sesuai dengan pendapat ahli diatas, dapat diyakini bahwa anak usia dua tahun tujuh bulan dapat memperoleh bentuk-bentuk kalimat orang dewasa dan dapat menirukan kata-kata yang didengarnya.

Dalam bidang sintaksis anak dimulai dengan ujaran satu kata (one ord utterance), kemudian ujaran dua kata (two word utterance), dan akhirnya ujaran tiga dan multikata. Meskipun ujaran satu kata secara sintaksis sangat sederhana, secara semantis ujaran ini bermulti arah. Hal ini disebabka karena makna dari ujaran tersebut hanya dapat ditafsirkan sesuai dengan situasi yang ada, dan itu pun belum tentu bermakna tunggal (Dardjowidjojo, 2000:26).

Pemerolehan bahasa oleh anak-anak memang merupakan salah satu prestasi manusia yang paling hebat dan paling menakjubkan. Pemerolehan bahasa ini sangat banyak ditentukan oleh interaksi rumit aspek-aspek kematangan biologis, kognitif, dan sosial (Tarigan, 2011:5). Slobin dalam Tarigan (2011:5) menyatakan bahwa setiap pendekatan modern terhadap pemerolehan bahasa akan menghadapi kenyataan bahwa bahasa dibangun sejak semula oleh setiap anak, memanfaatkan aneka kapasitas bawaan sejak lahir yang beraneka ragam dalam interaksinya dengan pengalaman-pengalaman dunia fisik dan sosial.

Tarigan (2011:5) juga menjelaskan bahwa mengenai pemerolehan bahasa ini terdapat beberapa pengertian. Pengertian yang satu mengatakan bahwa pemerolehan bahasa mempunyai suatu permulaan yang tiba-tiba atau mendadak. Kemerdekaan bahasa mulai usia satu tahun di saat anak-anak mulai menggunakan kata-kata lepas atau kata-kata terpisah dari sandi linguistik untuk mencapai aneka tujuan sosial mereka. Pengertian lain yang disampaikan oleh Mc.Graw (dalam Tarigan, 2011:5)

(4)

128

bahwa pemerolehan bahasa memiliki suatu permulaan yang gradual yang muncul dari prestasi-prestasi motorik, sosial, dan kognitif pralinguistik.

Bayi mendengar bunyi-bunyi bahasa dari bahasa ibunya saja dan pada saat itulah baru terdengar kombinasi antara vokal dan konsonan yang dibunyikan oleh bayi seperti "ma ... ma", "pa ... pa". Bahasa ibu tidak sama dengan bahasa sang ibu. Bahasa ibu adalah bahasa pertama yang diperoleh atau dikuasai oleh anak. Bahasa ibu cenderung mengacu pada bahasa daerah. Berdasarkan hal tersebut, Sofa (2008:2) menyimpulkan baha proses anak mulai mengenal komunikasi dengan lingkungannya secara verbal disebut dengan pemerolehan bahasa. Pemerolehan bahasa pertama terjadi bila anak yang sejak semula tanpa bahasa kini telah memperoleh satu bahasa. Pada masa pemerolehan bahasa, anak lebih mengarah pada fungsi komunikasi dari pada bentuk bahasanya.

Kemudian, Sofa (2008:3) menjelaskan bahwa bahasa pertama (bahasa ibu) yang diperoleh anak bisa didapatinya dengan empat cara. Pertama, dengan cara meniru apa yang dikatakan orang lain. Tiruan akan digunakan anak terus-menerus, meskipun ia sudah dapat sempurna melafalkan bunyi. Kedua, strategi produktifitas, yaitu keefektifan dan keefisienan dalam pemerolehan bahasa, sehingga dengan satu kata seorang anak dapat "bercerita atau mengatakan" sebanyak mungkin. Ketiga,

berkaitan dengan hubungan umpan balik antara produksi ujaran dan respon orang lain. Keempat, prinsip operasi yang digunakan anak untuk memikirkan serta menetapkan bahasa.

Pemerolehan bahasa juga berbeda dengan pembelajaran bahasa. Menurut Maksan (1993:20), pemerolehan bahasa (language acqiosition) merupakan proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh seseorang (bukan cuma anak-anak) secara tidak sadar, implisit, dan informal. Sebaliknya, pembelajaran bahasa (language learning) merupakan penguasaan bahasa yang dilakukan secara terencana, memanfaatkan jasa pengajar/guru dan dipersiapkan segala sesuatunya. Pembelajaran bahasa biasanya mengacu pada proses penguasaan bahasa kedua. Meskipun demikian, pola perkembangan antara keduanya adalah sama. Seperti yang dinyatakan Rod Ellis (1994) bahwa sebuah diskusi singkat memberi jawaban sementara bahwa

(5)

129

pola-pola perkembangan dalam pemerolehan bahasa pertama sama dengan pemerolehan bahasa kedua. Menurut pendekatan ini “pemerolehan” didefiniskan sebagai “peristiwa pertama”.

Clark dan Clark (salam Ellis, 1994) mengilustrasikan bagaimana anak-anak pada mulanya mempelajari untuk menampilkan tuntutan dan permintaan. Kemudian mengembangkan kemampuan untuk mengungkapkan sesuatu secara langsung. Misalnya, meminta, menawarkan, melarang dan mengizinkan serta yang bersifat janji seperti perjanjian dan pernyataan terima kasih. Anak-anak harus mampu secara formal, fungsional dalam pemerolehan semantik dari sebuah bahasa.

Anak dari segi umur menurut Piaget dapat dibagi menjadi empat periode.

Pertama, tahap bayi (0;0—2;0), pada tahap ini bayi lahir dengan sejumlah refleks bawaan dan dorongan untuk mengeksplorasi dunianya. Skema awalnya dibentuk melalui diferensiasi refleks bawaan tersebut. Piaget (dalam Sekolah Minggu) berpendapat bahwa tahapan ini menandai perkembangan kemampuan dan pemahaman dalam enam sub-tahapan:

1. Sub-tahapan skema refleks yang muncul saat bayi berumur 0;0 sampai 6 minggu) dan berhubungan terutama dengan refleks.

2. tahapan fase reaksi sirkular primer dari usia 6 minggu sampai 0;4. Sub-tahapan ini berhubungan terutama dengan munculnya kebiasaan-kebiasaan. 3. Sub-tahapan fase reaksi sirkular sekunder yang muncul saat bayi berumur

0;4—09 dan berhubungan terutama dengan koordinasi antara penglihatan dan pemaknaan.

4. Sub-tahapan koordinasi reaksi sirkular skunder yang muncul saat bayi berumur 0;9—1;0, saat berkembangnya kemampuan untuk melihat objek sudut berbeda (permanensi objek).

5. Sub-tahapan fase reaksi sirkular tersier yang muncul saat bayi berumur 1;0—1;6 dan berhubungan terutama dengan penemuan cara-cara baru untuk mencapai tujuan.

6. Sub-tahapan awal representasi simbolik yang muncul saat bayi berumur 1;6—2;0) berhubungan terutama dengan tahapan awal kreativitas.

(6)

130

Kedua, kanak-kanak (2;0—7;0). Dalam tahapan ini, anak belajar menggunakan dan merepresentasikan objek dengan gambaran dan kata-kata serta anak mengembangkan keterampilan berbahasanya. Ketiga, tahap anak-anak (7;0— 12;0). Pada tahap ini anak mengenal objek, nama benda, mempertimbangkan aspek permasalahan, memahami jumlah atau benda dapat diubah, dan dapat melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain. Keempat, tahap remaja (12;0—15;0). Dalam tahapan ini, anak dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Anak tidak melihat segala sesuatu hanya dalam bentuk hitam dan putih, namun ada "gradasi abu-abu" di antaranya. Dilihat dari faktor biologis, tahapan ini muncul saat pubertas (saat terjadi berbagai perubahan besar lainnya).

Selanjutnya menurut Piaget (dalam artikel Sekolah Minggu), anak dari segi kejiwaan dapat dilihat pada empat tahap. Pertama, tahap sensorimotor (0;0—2;0), dalam tahap ini perkembangan panca indra sangat berpengaruh dalam diri anak. Keinginan (emosi) terbesarnya adalah keinginan untuk menyentuh atau memegang, karena didorong oleh keinginan untuk mengetahui reaksi dari perbuatannya. Kesukaan anak pada masa ini adalah anak senang dinyanyikan, diceritai, mendengar radio dan televisi, serta melihat gambar-gambar yang berwarna cerah seperti merah, kuning, hijau, dan lainnya. Kedua, tahap praopersional (2;0—7;0), pada usia ini anak menjadi egosentris, sehingga berkesan pelit karena ia tidak bisa melihat dari sudut pandang orang lain. Anak tersebut juga memiliki kecenderungan untuk meniru orang di sekelilingnya. Meskipun pada saat berusia 6—7 tahun sudah mulai mengerti motivasi, namun mereka tidak mengerti cara berpikir yang sistematis rumit. Pikiran anak praoperasional bersifat ireversibel. Anak pada masa ini senang diceritai dengan disertai alat peraganya. Warna kesukaannya juga bervariasi.

Ketiga, tahap operasional kongkrit (7;0—12;0), pada tahap ini anak mulai meninggalkan egosentrisnya dan dapat bermain dalam kelompok dengan aturan kelompok (bekerja sama). Anak sudah dapat dimotivasi dan mengerti hal-hal yang sistematis. Tingkat ini merupakan permulaan berpikir rasional. Anak memiliki operasi-operasi logis yang dapat diterapkan pada masalah-masalah kongkret. Anak dalam periode ini dapat menyusun satu seri obyek dalam urutan. Selama periode ini

(7)

131

anak kurang egosentris dan lebih sosiosentris. Emosi anak pada masa ini seperti marah dan cemburu. Kesukaan anak pada masa ini adalah anak suka bermain, bekerja sama, dan berolahraga dengan teman-temannya. Keempat, tahap operasional formal (12;0—15;0). Pengajaran pada anak praremaja ini menjadi sedikit lebih mudah karena mereka sudah mengerti konsep dan dapat berpikir, baik secara konkrit maupun abstrak, sehingga tidak perlu menggunakan alat peraga. Emosi anak pada masa ini meninggi seperti merajuk, ledakan amarah, dan murung jika keinginannya tidak sesuai yang ia harapkan. Kesukaan anak pada masa ini adalah berkumpulan dengan teman-teman remaja lainnya dan rekreasi.

Perkembangan kognitif merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan bahasa anak. Hal ini disebabkan karena perkembangan kognitif menuntun kemahiran berbahasa seseorang. Perkembangan kognitif anak seperti berfikir, membentuk konsep, dan mengingat erat kaitannya dengan pemerolehan bahasa. Apabila perkembangan kognitif anak maju, lancar, dan normal maka pemerolehan bahasa pun akan cepat maju, lancar, dan normal pula. Selanjutnya akan diikuti oleh pemerolehan kemampuan-kemampuan lain.

Piaget (dalam Maksan, 1993:13) membagi tahap perkembangan kognitif menjadi empat tahap. Pertama, tahap sensori motor yang berkisar pada umur 0;0— 2;0 yang dikenal dengan masa melatih pola aksi dan gerak refleks. Pada tahap ini terlihat jelas bahwa perkembangan kognitif anak mulai terbentuk. Kedua, masa praoperasi yang berlangsung pada umur 2;0—7;0. Pada masa ini anak mampu membentuk representasi simbolik, yaitu anak mulai mengerti lambang dan yang dilambangkan. Anak sudah mampu membedakan antara lambang dengan objek.

Ketiga, masa operasi konkret yang berlangsung pada umur 7;0—12;0, pada masa ini anak sudah mampu menguasai struktur linguistik secara umum. Keempat, masa operasi formal yang berlangsung pada umur 12;0—15;0, pada masa ini anak sudah bisa memantapkan segala sesuatunya untuk menjadi manusia dewasa dan dia sudah mampu berpikir berdasarkan preposisi.

Ada beberapa teori yang membagi tahapan-tahapan perkembangan bahasa pada anak. Tarigan (1986:262) membagi tahap perkembangan bahasa menjadi dua

(8)

132

tahapan, yaitu pralinguistik dan linguistik. Tahapan pralinguistik terdiri lagi atas dua tahap, pertama, meraban (pralinguistik pertama) pada bulan-bulan awal kehidupan bayi-bayi menangis, mendekut, mendeguk, menjerit, dan tertawa (membunyikan bahasa sedunia), dan kedua, tahap meraban (pralinguistik kedua), disebut juga tahap kata omong kosong, yaitu tahap kata tanpa makna yang terjadi pada pertengahan tahun pertama kehidupannya.

Kemudian Tarigan membagi lagi tahapan linguistik menjadi lima tahap.

Pertama, tahap holofrastik (tahap linguistik pertama), yaitu tahap satu kata dengan menyatakan makna keseluruhan frase atau kalimat yang dimulai sekitar usia satu tahun. Tahap kedua, tahap ucapan dua kata, yaitu anak-anak mengucapkan dua holofrase dalam rangkaian yang cepat. Tahap ketiga, pengembangan tata bahasa, yaitu anak-anak mengembangkan sejumlah sarana ketatabahasaan. Kalimat anak bertambah panjang dan rumit (kalimat telegram). Tahap keempat, tata bahasa menjelang dewasa, yaitu struktur tata bahasa anak lebih rumit. Tahap kelima, kompetensi lengkap yaitu anak telah mempelajari semua sarana sintaksis bahasa ibunya, sehingga ia bisa memahami dan menghasilkan bahasa seperti bahasa orang dewasa.

Selanjutnya Subyakto (1988:70) membagi perkembangan bahasa anak menjadi empat tahap. Pertama, tahap pengocehan (0;0—0;6), anak mengucapkan sejumlah bunyi ujar yang sebagian besar tidak bermakna, dan sebagian kecil menyerupai kata atau penggalan kata yang bermakna hanya karena kebetulan saja.

Kedua, tahap satu kata satu frase (0;6—1;0), anak mengucapkan satu kata yang berarti suatu konsep yang lengkap. Ketiga, tahap dua kata satu frase (1;0—2;0), seorang anak mulai mengucapkan ujaran-ujaran yang terdiri dari dua kata. Keempat, tahap menyerupai telegraf (2;0 dan seterusnya), anak sudah mulai menguasai kalimat yang lebih lengkap.

Lain halnya menurut Lenneberg (dalam Pateda, 1990:55) perkembangan bahasa anak dapat dibagi atas tiga tahap. Tahap pertama adalah tahap semantik dasar dan hubungan-hubungan gramatikal. Pada tahap ini muncul kalimat dua kata. Tahap kedua, kata dan kalimat makin jelas. Kata kerja, kata benda, kata sambung, dan kata

(9)

133

depan telah digunakan secara tepat. Pada tahap ketiga, kalimat- kalimat lebih abstrak. Menurut Maksan (1993:47), secara tradisional pemerolehan kalimat pada anak terbagi alas empat tahap. Pertama, masa pralingual (0;0—1;0), pada masa ini pemerolehan fonologi masih merupakan tahapan pasif. Anak hanya mendengarkan ucapan orang dewasa, tanpa bisa mengucapkan kalimat tersebut. Kedua, masa kalimat satu kata atau masa holofrasa (1;0—2;0), pada masa ini anak menyampaikan maksudnya hanya dengan satu kata saja. Ketiga, masa kalimat dengan rangkaian kata kalimat telegram (2;0—3;0), pada masa ini anak sudah mulai menggabungkan kalimat dua kata menjadi kalimat tiga kata dengan mengikuti pola-pola tertentu.

Keempat, masa konstruksi sederhana dan kompleks (3;0—5;0). Pada masa ini anak sudah menggunakan kalimat sederhana dan berangsur-angsur menjadi kalimat kompleks.

Dalam pemerolehan kalimat, seorang anak bukanlah menggabungkan kata-kata yang diucapkannya itu dengan sewenang-wenang melainkan mengikuti aturan-aturan tertentu yakni konteks. Anak secara berangsur-angsur telah mengetahui konteks dan dengan konteks itulah anak mulai menyusun kalimat. Mulai dari ujaran satu kata menjadi ujaran dua kata dan seterusnya menjadi kalimat-kalimat yang sempurna seperti kalimat orang dewasa (Maksan, 1993:46). Kemudian Dardjowidjojo (2000:159) menyatakan bahwa perkembangan kalimat anak terjadi dengan cepat setelah anak menguasai ujaran dua kata, anak akan beralih kepada ujaran tiga kata bahkan juga ke multi kata. Anak pada usia 3;0 dalam menyampaikan gagasannya sudah dapat menggunakan kalimat tunggal bahkan kalimat majemuk, meskipun kalimat majemuk itu jarang muncul bila dibandingkan dengan kalimat tunggal.

Hal ini terlihat jelas dalam penelitian Dardjowidjojo (2000:174) terhadap cucunya sendiri, yakni perkembangan kalimat Echa setelah melewati umur 2;0 sangat pesat. Echa sudah dapat mengungkapkan sesuatu tidak hanya dalam kalimat tunggal tetapi juga dalam kalimat majemuk, kalimat tunggal yang sudah mulai dikuasainya menjelang umur 2;0 dan berlanjut ke umur 3;0 terbatas pada tipe-tipe yang secara universal muncul: deklaratif, imperatif, dan interogatif. Menyuk (dalam Dardjowidjojo, 2000:175) menyatakan, bahwa kalimat deklaratif menduduki urutan

(10)

134

paling atas, imperatif di bawahnya, dan interogatif di bawahnya lagi.

Tulisan ini difokuskan pada pemerolehan kalimat anak usia dua tahun tujuh bulan (2;7) yang berua kalimat tunggal. Kalimat tunggal yang diteliti ini difokuskan pada kalimat deklaratif, kalimat interogatif, dan kalimat imperatif. Oleh karena itu, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah (1) bagaimanakah pola kalimat deklaratif anak usia dua tahun tujuh bulan? (2) bagaimanakah pola kalimat interogatif pada anak usia dua tahun tujuh bulan? (3) bagaimanakah pola kalimat imperatif anak usia dua tahun tujuh bulan?

B. METODE

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang menghasilkan data deskritif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Bodgan dan Taylor, dalam Moleong, 2001:3). Metode yang digunakan adalah metode deskriptif, yaitu metode yang mendeskripsikan data untuk mendapatkan simpulan secara umum. Menurut Nazir (2005:63), metode deskriptif adalah cara yang digunakan untuk meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran pada masa sekarang.

Data yang diamati dalam penelitian ini adalah anak perempuan yang berusia 2;0 tahun 0;7 bulan dan bernama Vindira Raisya Nurhaqihi. Lahir di Padang pada tanggal 11 Oktober tahun 2008 dan berdomisili di Jalan Madani 3 Blok C nomor 2 Perumahan Griya Madani, Padang. Penelitian juga dilakukan di lokasi ini, di rumah responden. Ibu dari anak yang diamati sebagai informan pembantu dalam penelitian ini bernama Lysda Ardianty yang berpendidikan terakhir Diploma PGTK UNP dan bekerja sebagai guru TK.

Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode simak. Metode ini dilakukan dengan menyimak pemakaian kalimat untuk memperoleh data lingual (Sudaryanto, 1992:2). Metode simak dijabarkan menjadi beberapa teknik. Pertama, teknik simak libat bebas cakap (SLBC), peneliti berperan sebagai penyimak pasif (penyadap) atau pemerhati.

(11)

135

Ketiga, teknik mencatat data pada lembar pengamatan. Keempat, teknik pancing untuk mengajak anak berdialog.

Data penelitian ini dianalisis dengan cara menyajikan data yang diperoleh secara deskriptif. Pertama, data yang diperoleh melalui rekaman dan catatan diinventarisasikan ke dalam format berdasarkan kategori kalimat. Kedua, menentukan pola kalimat berdasarkan jenis-jenis kalimatnya, yaitu pola kalimat deklaratif, pola interogatif, dan pola kalimat imperatif. Ketiga, mendeskripsikan hasil rekaman.

Keempat, membuat simpulan dari hasil deskripsi tersebut.

C. PEMBAHASAN

Sesuai dengan hasil temuan penelitian, responden yang berusia 2;7 bulan sudah mampu menuturkan beberapa kalimat. Kalimat-kalimat ini diteliti berdasarkan bentuk-bentuk sintaksisnya, yaitu pola kalimat deklaratif, pola kalimat interogatif, dan pola kalimat imperatif. Pola kalimat yang dituturkan oleh responden pun beragam, diantaranya adalah S, P, S-P, P-O, P-S, S-P-O, S-Kw-P, P,Kt, S-Kt, Kt, dan S-P-pel. Tuturan-tuturan tersebut di antaranya berupa satu kata, dua kata, tiga kata, empat kata, lima kata, dan enam kata.

Data yang telah diperoleh dikelompokkan berdasarkan jenis kalimat. Kemudian jenis kalimat itu dikelompokkan pula sesuai bentuk-bentuk ujarannya. Jenis kalimat tunggal berdasarkan sintaksis terdiri atas kalimat deklaratif, inteogatif, dan imperatif. Pola yang diujarkan responden diantaranya adalah S, P, S-P, P-O, P-S, S-P-O, S-Kw-P, P,Kt, S-Kt, Kt, dan S-P-Pel. Bentuk ujarnya adalah satu kata, dua kata, tiga kata empat kata, lima kata, enam kata.

Cook (dalam Tarigan, 1986:10) menjelaskan bahwa kalimat pernyataan deklaratif adalah kalimat yang dibentuk untuk menyiarkan informasi kepada orang lain. Kalimat ini disebut juga dengan kalimat berita. Contoh pola kalimat deklaratif yang ditemukan pada responden adalah sebagai berikut:

Penanya : ” Dira, ini siapa?” Anak : ” Ini Mama”

(12)

136

Dari contoh di atas dapat diketahui bahwa responden sudah mampu menjawab pertanyaan yang diberikan. Dengan mengajukan pertanyaan ”ini siapa?” yang merujuk pada foto ibunya, responden memberikan jawaban yang jelas dan mudah dimengerti. Maksud dari kalimat deklaratif yang dituturkan responden adalah memberitahukan kepada penanya bahwa yang gambar foto itu merupakan ibunya.

Menurut Ramlan (1987:33) kalimat interogatif (tanya) berfungsi untuk menanyakan sesuatu. Kalimat ini mempunyai pola intonasi bernada akhir naik. Kemuian Chaer (1998:397) menyatakan bahwa kalimat interogatif (tanya) adalah kalimat yang isinya mengharapkan reaksi atau jawaban berupa pengakuan, keterangan, a1asan atau pendapat dari pihak pendengar atau pembaca. Contoh pola kalimat interogatif yang dituturkan oleh responden adalah sebagi berikut:

Anak : “Ini kaset apa?”

“Ini kaset untuk untuk apa?” Penanya : “Ini kaset untuk merekam”

Dari contoh tersebut, responden telah mampu untuk bertanya dalam bentuk kalimat tanya atau kalimat interogatif. Kalimat interogatif yang dituturkan responden berpola Subjek-Predikat (S-P). Maksud kalimat yang diujarkan responden adalah menanyakan kepada penanya kaset ini digunakan untuk apa.

Kalimat imeratif merupakan kalimat perintah yang ditujukan kepada orang lain dengan maksud orang lain tersebut mau melakukan apa yang sudah di perintahkan. Kalimat perintah terbagi atas beberapa bagian yaitu kalimat perintah biasa, kalimat permintaan, kalimat ijin, kalimat ajakan, kalimat persyaratan, kalimat sindiran, dan kalimat larangan. Contoh pola kalimat imperatif yang dituturkan oleh responden adalah sebagai berikut:

Anak : “Tante main yok!”

“Tante mari kita bermain!”

Penanya : ”Tante capek Dira. Tante mau bobok” Anak : “Boboklah!”

(13)

137

Dari contoh di atas dapat diketahui bahwa responden telah mampu untuk menuturkan kalimat imperatif yang berupa kalimat ajakan dan kalima ijin. Kalimat dituturkan responden adalah kalimat imperatif yang menggunakan pola kalimat Pelengkap (P). Pada kalimat “Tante main yok!”, responden bermaksud untuk mengajak tantenya bermain. Kemudian pada kalimat “Boboklah!”, responden

bermaksud bahwa responden mengizinkan tantenya untuk tidur.

Dalam penelitian ini diperoleh bahwa kalimat yang dituturkan oleh responden terdiri atas tiga jenis, yaitu kalimat deklaratif, kalimat interogatif, dan kalimat imperatif. Hal ini sesuai dengan pendapat para pakar linguistik (dalam Maksan, 1993: 52) bahwa pada usia 2;7 bulan semua anak yang normal sudah menguasai kontruksi atau bentuk-bentuk sintaksis bahasa ibunya. Pada usia 2;0-5;0 anak-anak sudah mulai dengan kalimat yang sederhana dan berangsur-angsur menjadi kalimat kompleks. Anak usia 2;7 bulan dapat memperoleh bentuk kalimat orang dewasa dan dapat menirukan kata-kata yang didengarkannya.

Anak usia 2;7 bulan sudah bisa menggunakan sabjek, prediket, objek, pelengkap, dan keterangan (S, P, O, Pel, K) dalam kalimatnya. Pola kalimat yang dihasilkan pun beragam jenisnya. Dalam penelitian ini ditemukan 11 macam pola kalimat yang digunakan responden, yaitu S, P, S-P, P-O, P-S, S-P-O, S-Kw-P, P,Kt, S-Kt, Kt, dan S-P-Pel. Responden sudah memasuki masa menjelang tata bahasa dewasa. Pada masa ini responden sudah bisa menghasilkan kalimat-kalimat yang rumit, yaitu sudah bisa menngunakan kalimat yang sempurna dan sudah bisa menggunakan beberapa pola kalimat dengan teratur. Namun masih ada juga pola yang tidak teratur yang digunakan responden dalam kalimatnya.

Berdasarkan data yang diperoleh dapat dikatakan bahwa responden masih menggunakan kalimat satu kata, dua kata, tiga kata, dan empat kata dalam kalimatnya, meskipun responden sudah berada pada tahap atau masa kontruksi sederhana. Respnden kadang menyampaikan maksudnya, bertanya, dan memerintah menggunakan kalimat satu kata dan bergerak menjadi kalimat komplek. Oleh karena itu, pemerolehan kalimat responden dapat dikatakan sudah sempurna. Responden sudah bisa mengnuturkan beberapa jenis kalimat, di antaranya kalimat deklaratif,

(14)

138

kalimat interogatif, dan kalimat imperatif. Berdasarkan pola kalimat yang dituturkan, responden sudah bisa menngunakan subjek, predikat, objek, pelengkap, dan keterangan. Kemudian berdasarkan bentuk tuturannya, responden sudah bisa mengujarkan kalimat yang pendek sampai ke kalimat yang panjang.

D. KESIMPULAN

Pada usia 2;7 bulan semua anak yang normal sudah menguasai kontruksi atau bentuk-bentuk sintaksis bahasa ibunya. Dimulai dari usia 2;0-5;0 anak-anak sudah mulai dengan kalimat yang sederhana dan berangsur-angsur menjadi kalimat kompleks. Kemudian pada usia 2;7 bulan anak dapat memperoleh bentuk kalimat orang dewasa dan menirukan kata-kata yang didengarkannya.

Berdasarkan analisis data dan pembahasan yang telah dilakukan dalam penelitian ini, yaitu pemerolehan kalimat berupa kalimat deklaratif, kalimat inrerogatif, dan kalimat imperatif anak usia dua tahun tujuh bulan (2;7), diperoleh beberapa kesimpulan. Pertama, pemerolehan kalimat deklaratif pada anak usia dua tahun tujuh bulan terdiri atas beberapa bentuk pola kalimat, seperti S, P, S-P, O, P-S, S-P-O, S-Kw-P, P-Kt, S-Kt, Kt, dan S-P-Pel. Kedua, pemerolehan kalimat interogatif pada anak usia dua tahun tujuh bulan (2;7) juga terdiri atas beberapa bentuk pola kalimat, seperti S-P, P-S, S-Kt, S-P-O. Pola ini merupakan pola yang sering digunakan. Ketiga, pemerolehan kalimat imperatif pada anak usia dua tahun tujuh bulan juga terdiri atas beberapa bentuk pola kalimat, seperti P, S-P, S-P-O.

DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 1998. Tata Bahasa Praktis Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Dardjowidjojo, Soenjono. 2000. Echa: Kisah Pemerolehan Anak Indonesia: Jakarta: Grasindo. http.//Www.Pemudakristen.Com/ Artikel/ Sekolah Minggu.Php diakses 1 April 2012

Ellis, Rod. 1994. The Study of Second Language Acquistion. New York: Oxford University Press.

(15)

139

Moleong, Lexy J. 2001. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Nazir, Mohammad. 2005. Metode Penelitian. Jakarta: Galia Indonesia. Pateda, Mansoer. 1990. Aspek-aspek Psikolinguistik. Ende: Nusa Indah. Piaget, John. Sekolah Minggu.

Ramlan, M. 1987. Sintaksis. Yogyakarta: CV Karyono.

Sofa. 2008.“Peranan Pemerolehan Bahasa Terhadap Pemerolehan Bahasa Kedua“. http://www.scribd.com/doc/22785154/peranan-pemerolehan-bahasa-pertama-terhadap-pemerolehan-bahasa-kedua diakses tanggal 1 April 2012.

Subyakto, Sri Utami. 1988. Psikolinguitik: Suatu Pengantar. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Proyek Perkembangnan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan.

tanggal 1 April 2012

Tarigan, Henry Guntur. 1986. Psikolinguistik. Bandung: Angkasa.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini berujuan untuk mengevaluasi kinerja mesin pompa satu silinder berbahan bakar LPG dalam memanfaatkan air tanah dangkal untuk irigasi sawah pada musim kering..

Dalam menggali kebutuhan akan pengetahuan, literasi, keterampilan kewirausahaan bagi nelayan maka di himpun data lewat angket survey, FGD dan wawancara mendalam dengan

[r]

Manfaat yang diperoleh dari penelitian dan percobaan (experiment) ini adalah untuk mengetahui kekuatan impact pada variasi sudut bevel butt joint akibat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rute angkutan kota di Kota Bogor memiliki jaringan sirkuit, faktor yang paling berpengaruh pemilihan rute bagi supir yaitu biaya dan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan varietas unggul baru lebih efisien dibandingkan dengan penggunaan varietas unggul lama dengan tingkat efisiensi teknis, alokatif

Dengan mengetahui penggunaan asap cair kayu karet konsentrasi 4,45% dengan dosis 120,12 ml/kg kk sebagai koagulan lateks dan pengeringan menggunakan energi matahari mampu

Kondisi paling ekstrim terjadinya slamming terjadi pada sudut 180 derajat pada tinggi gelombang 6 meter dengan nilai probabilitas terjadinya slamming mencapai 0.71