• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kewenangan Dan Tanggung Jawab Notaris Dalam Pembuatan Akta Perjanjian Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/Puu-Xiii/2015 (Studi Pada Notaris Di Wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kewenangan Dan Tanggung Jawab Notaris Dalam Pembuatan Akta Perjanjian Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/Puu-Xiii/2015 (Studi Pada Notaris Di Wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur )"

Copied!
168
0
0

Teks penuh

(1)KEWENANGAN DAN TANGGUNG JAWAB NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA PERJANJIAN KAWIN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII/2015 (STUDI PADA NOTARIS DI WILAYAH KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR ). TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Kelulusan Magister Kenotariatan. Disusun Oleh : Wahyuni NIM : 156010200111100. PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2017.

(2) LEMBAR PERSETUJUAN KEWENANGAN DAN TANGGUNG JAWAB NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA PERJANJIAN KAWIN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII/2015 (STUDI PADA NOTARIS DI WILAYAH KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR ). Oleh : Wahyuni NIM : 156010200111100. Menyetujui : Pembimbing I. Pembimbing II. Dr. Rachmad Safa’at ,S.H.,M.Si NIP 19620805 198802 1 001. Dr. Moh Fadli ,S.H.,M.Hum NIP 19650401 199002 1 001. Mengetahui, Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Dr. Imam Koeswahyono,S.H.,M.Hum NIP : 19571021 198601 1 002.

(3) KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, karunia dan hidayah-Nya, sehingga kita masih diberikan kesehatan sampai saat ini. Sholawat serta salam semoga dilimpahkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan para pengikutnya yang insyaallah selalu di ridhoi oleh Allah SWT. Tiada kata-kata yang lebih indah selain Alhamdulillahirobilalamin karena dengan izin-Nya, penulis dapat. menyelasaikan. tesis. ini. yang. berjudul. “KEWENANGAN. DAN. TANGGUNG JAWAB NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA PERJANJIAN KAWIN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUUXIII/2015 (Studi Pada Notaris Di Wilayah Kota Adminitrasi Jakarta Timiur ). Penulisan tesis ini diajukan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn) di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang. Dalam penulisan tesis ini, banyak bantuan dan dukungan yang telah penulis terima baik bantuan moril maupun materiil. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1.. Bapak Prof. Dr. Ir. Muhammad Bisri, M.S., selaku Rektor Universitas Brawijaya.. 2.. Bapak Dr. Rachmad Safa’at, S.H., M.Si., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dan selaku Pembimbing Utama yang telah banyak memberikan inspirasi, arahan maupun masukan dalam penulisan tesis ini.. v.

(4) 3.. Bapak Dr. Imam Koeswahyono, S.H., M.Hum., selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.. 4.. Bapak Dr. Moh Fadli, S.H.,M.Hum., selaku Pembimbing Pendamping yang selalu memberikan motivasi dan bimbingan serta masukan dalam penulisan tesis ini.. 5.. Bapak Dr.Wiryanto, S.H,MH selaku Kepala Sub Bidang Penelitian Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. 6.. Ibu Andriani,S.H,MH selaku staff Bidang Penelitian Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.. 7.. Ibu Dr.Ike Farida S.H, M.H selaku Pemohon Pengujian UU No. 1 Tahun 1974 dan UUPA No 5 Tahun 1960 Terhadap UUD 1945 Kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang telah menjadi Narasumber tesis ini.. 8.. Bapak Gede Ariawan SH,MH., selaku Hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Timur.. 9.. Bapak H. Imanudin Tiflen S.H,M.H., selaku Panitera di Pengadilan Agama Jakarta Timur.. 10. Ibu Dr. Yurisa Martanti S.H selaku Ketua Bidang Diklat INI Pusat dan Notaris di Wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur. 11. Ibu Dr. Purbandari S.H,M.H.,M.Kn., selaku Notaris di Wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur 12. Ibu Neily Iralita Iswari, S.H, M.Si,M.Kn selaku Notaris di Wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur.. vi.

(5) 13. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya yang telah baik hati mau mendidik dan memberikan ilmunya kepada kami semua. 14. Bapak dan Ibu Karyawan/Karyawati Fakultas Hukum Universitas Brawijaya yang selalu memberikan pelayanan akademik yang terbaik kepada kami semua. 15. Ibuku tercinta, Ibu Sulasmi yang selalu mendo’akan dan memberikan semangat kepada penulis untuk terus belajar agar jadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa. 16. Anakku yang tersayang, Galuh Ajeng Pramuditha yang selalu memberikanku dukungan dan kasih sayang dan merelakan waktu bersama ibunya berkurang karena menyelesaikan tesis ini. 17. Keluarga besarku, terima kasih banyak atas dukungan yang kalian berikan selama ini kepadaku. Dan untuk semua teman-teman dan saudara-saudaraku dimana pun berada terima kasih atas dukungannya selama ini. Akhir kata penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan kemampuan yang penulis miliki, untuk itu kritik dan saran sangat diharapkan untuk memperbaiki demi kesempurnaan tesis ini. Semoga tesis ini dapat bermanfaat dan menambah ilmu pengetahuan bagi penulis serta pembaca pada umumnya.. Malang, Juli 2017. Wahyuni. vii.

(6) RINGKASAN Wahyuni, SH, 15601020011110, Program Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Kewenangan dan Tanggung Jawab Notaris Dalam Pembuatan Akta Perjanjian Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 (Studi Pada Notaris di Wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur ), Komisi Pembimbing , Pembimbing Utama : Dr. Rachmad Safa’at, S.H., M.Si., Pembimbing pendamping : Dr. Moh Fadli.S.H.,M.Hum. Perjanjian kawin di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Pokok Perkawinan No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 29 ayat (1) : Pada waktu atau sebelum terjadinya perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. Setelah keluarnya Putusan MK No 69/PUU-XIII/2015 yang memperbolehkan perjanjian kawin dibuat tidak hanya sebelum terjadinya perkawinan, tetapi juga bisa dibuat pada saat dan setelah terjadinya perkawinan sepanjang masa perkawinan. Apa yang menjadi dasar Rasio Legis Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan Putusan No 69/PUU-XIII/2015 ? Apa Implikasi hukum terhadap kewenangan Notaris dalam membuat akta perjanjian kawin pasca Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015 ? Bagaimana tanggung jawab notaris dalam pembuatan akta perjanjian kawin pasca Putusan MK No.69/PUU-XIII/2015 ?. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis empiris yang menganalisis dan mengkaji bekerjanya hukum di dalam masyarakat dengan menggunakan pendekatan Yuridis Sosiologis. Berdasarkan hasil penelitian ini bahwa maksud pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia yang paling pokok adalah untuk menjaga agar tidak ada Undang-Undang yang berlaku dimasyarakat bertentangan dengan UUD 1945. Setiap warga Negara Indonesia berhak menuntut hak-hak dasarnya sesuai yang ada didalam amanat UUD 1945, Putusan MK No 69/PUU-XIII/2015 ini lahir karena adanya permohonan pengujian UUPA No 5 Tahun 1960 Pasal 21 ayat (1),Pasal 21 ayat (3), Pasal 36 ayat (1) dan UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 Pasal 29 ayat (1) , Pasal 35 ayat ( 1) terhadap UUD 1945.Implikasi hukum Putusan MK No 69-PUU/2015 terhadap kewenangan notaris dalam membuat akta perjanjian kawin adalah : Putusan MK ini bersifat final dan mengikat sehingga harus tetap dilaksanakan. Tetapi notaris dan para pihak masih diberikan kebebasan pilihan apakah dalam membuat perjanjian kawin berdasarkan aturan yang ada dalam UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 29 ayat (1) atau boleh berdasarkan pada Putusan MK No.69/PUU-XIII/2015.Tanggung Jawab notaris dalam pembuatan akta perjanjian kawin pasca Putusan MK No 69/PUU-XIII/2015 adalah memastikan tidak ada pihak ketiga yang dirugikan dengan adanya pembuatan perjanjian kawin yang dibuat setelah terjadinya perkawinan..

(7) SUMMARY. Wahyuni, SH, 15601020011110, Master Program of Notary, Faculty of Law Universitas Brawijaya, Authority and Responsibility of Notary in the Establishment of Deed of Marriage Agreement After Decision of Constitutional Court Number 69 / PUU-XIII / 2015 (Study at Notary in East Jakarta Municipality) Supervisor, Main Advisor: Dr. Rachmad Safa'at, S.H., M.Sc., Supervisor: Dr. Moh Fadli.S.H., M.Hum. The marriage agreement in Indonesia shall be governed by the Marriage Act No. 1/1974 concerning Marriage. Article 29 Paragraph (1): At the time or before the marriage takes place both parties of mutual consent may enter into a written agreement authorized by the marriage registry officer, after which The content also applies to third parties as long as the third party is involved. After the issuance of Court Decision No. 69 / PUU-XIII / 2015 which allows the marriage agreement to be made not only before the marriage, but also can be made during and after marriage throughout the marriage. What is the basis of the Legislation Ratios of the Constitutional Court (MK) issued Decision No. 69 / PUU-XIII / 2015? What is the legal implication to the authority of Notary in making the deed of marriage agreement after the Constitutional Court Decision no. 69 / PUU-XIII / 2015? What is the responsibility of a notary in making the deed of marriage agreement after the Constitutional Court Decision No.69 / PUU-XIII / 2015 ?. The research method used in this research is empirical juridical that analyze and study the workings of law in society by using approach of Sociological Juridical. Based on the results of this study that the intention of the establishment of the Constitutional Court in Indonesia is the most fundamental is to keep no law applicable in the community is contradictory to the 1945 Constitution. Every Indonesian citizen has the right to claim his basic rights as contained in the mandate of the 1945 Constitution, MK No. 69 / PUU-XIII / 2015 was born due to the petition for judicial review of UUPA No 5 Year 1960 Article 21 paragraph (1), Article 21 paragraph (3), Article 36 paragraph (1) and Marriage Law No. 1 Year 1974 Article 29 paragraph (1), Article 35 paragraph (1) of the 1945 Constitution. The legal application of the Constitutional Court Decision Number 69-PUU / 2015 on the authority of a notary in making the marriage certificate deed is: This Constitutional Court Decision is final and binding so it must be implemented. However, the notary and the parties are still given the freedom of choice whether in making the marriage agreement based on the rules contained in Law No. 1 Year 1974 concerning Marriage Article 29 paragraph (1) or may be based on the Constitutional Court Decision No.69 / PUU-XIII / 2015.Sponsibility A notary in the deed of the marriage agreement after the Constitutional Court Decision No. 69 / PUU-XIII / 2015 is to ensure that no third party is harmed by the making of a marriage agreement made after the marriage..

(8) DAFTAR TABEL Tabel. 1.1 Desain Hasil Penelitian ......................................................................27 Tabel 1.2. Orisinalitas Penelitian .........................................................................31 Tabel 3.1. Gambaran Wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur………………83 Tabel 3.2 Daftar Kecamatan dan Kelurahan di Jakarta Timur ...........................83 Tabel 3.3 Sebaran Notaris di Jakarta Timur…………………………………....88 Tabel 3.4 Alur dan Prosedur Dalam Hukum Pidana…………………………...137. viii.

(9) ix.

(10) DAFTAR ISI. COVER………………………………………………………………………………………….. LEMBAR PERSETUJUAN…………………………………………………………………….. ABSTRAK…………………………………………………………………………………….... KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………... DAFTAR TABEL………………………………………………………………………………. DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………. BAB I. PENDAHULUAN………………………………………………………………….1. 1.1 Latar Belakang Masalah………………………………………………………………1 1.2 Rumusan Masalah ………………………………………………………………….. 8 1.3 Tujuan Penelitian …………………………………………………... ……………… 9 1.4 Manfaat Penelitian ……………………………………………………………...…… 9 1.4.1 1.4.2. Manfaat Teoritis ………………………………………………………… … 9 Manfaat Praktis …………………………………………………………..…10. 1.5 Kerangka Teori dan Konseptual ……………………………………………..………11 1.5.1 Kerangka Teori ………………………………………………………………..11 1.5.1.1 Teori Keputusan……………………………………………………..…11 1.5. 1.2 Teori Kewenangan…………………………………………………….14 1. 5.1.3 Teori Tanggung Jawab Hukum……………………………………..…15 1.5.2 Kerangka Konseptual……………………………………………………..……18 1.5.2.1 Akta Perjanjian Kawin…………………………………………………18 1.6. Metode Penelitian ……………………………………………………………...…20 1.6.1 1.6.2 1.6.3 1.6.4. 1.6.5 1.6.6. Jenis Penelitian ………………………………………………………..20 Pendekatan Penelitian …………………………………………………21 Lokasi Penelitian …………………………………………...............…21 Jenis dan Sumber Data……………………………………………...…22 a. Jenis Data…………………………………………………...….21 b. Sumber Data……………………………………………...….….22 Teknik Pengumpulan Data ………………………………...…….…... 23 Teknik Populasi dan Sampling …………………………………….....23 a .Populasi ………………………………………………..………….23.

(11) 1.6.7. b Sampel………………………………………………………………24 Teknik Analisis Data …………………………………………………...25. 1.7 Desain Laporan Hasil Penelitian ………………………………………………26-27 1.8 1.9. Orisinalitas Penulisan ………………………………………………………… 28 Sistimatika Penelitian……………………………………………………….…. 32. BAB II KAJIAN PUSTAKA…………………………………………………………………37 2.1 Pengertian Perkawinan…………………………………………………………...37 2.1.1 Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan………...37 2.1.2 Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( KUH Perdata )……….40 2.2 Syarat Sahnya Perkawinan…………………………………………………….…41 2.2.1 Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan…………41 2.2.2 Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata )…………45 2.3 Akibat Perkawinan……………………………………………………………… 49 2.3.1 Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan……….…49 2.3.1.1 Hak dan Kewajiban…………………………………………………..49 2.3.1.2 Harta Bersama…………………………………………………….…50 2.3.2 Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata )…. ……..53 2.3.2.1 Akibat Perkawinan Terhadap Diri Sendiri……………………………53 2.3.2.2 Akibat Perkawinan Terhadap Harta……. ……………………………54 2.3.2.3 Akibat Perkawinan terhadap Anak……. …………………………….55 2.4 Pengertian Perjanjian Kawin………………………………………………...…55 2.5 Isi Perjanjian Kawin………………………………………………………….…58 2.6 Macam- Macam Perjanjian Kawin……………………………………………...61 2.7 Berlakunya Perjanjian Kawin……………………………………………….…69 2.8 Perubahan Perjanjian kawin……………………………………………………71 2.9 Akibat Perjanjian Kawin………….....................................................................71 2.10 Perkawinan Campuran………………………………………………………. 73 2.10.1 Pencatatan Perkawinan Campuran……………………………………..75.

(12) 2.11 Pengertian Notaris Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris………………………………………………….76. BAB III DASAR RASIO LEGIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI (MK) NOMOR 69/PUU-XIII/2015 YANG MEMPERBOLEHKAN PERJANJIAN KAWIN DIBUAT SETELAH ADANYA PERKAWINAN ………….…….81 3.1 Lokasi Penelitian ……………………………………………………...………..81 3.1.1 Gambaran Umum Wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur………..…..81 3.1.2 Kondisi Demografis……………… ……………………………………...85 3.1.3 Keadaan Alam…………………………………………………………… 86 3.1.4 Klimatologi Kota Administrasi Jakarta Timur……………………………86 3.1.5 Perekonomian ……………………………………………………………..87 3.1.6 Gambaran Umum Notaris di Wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur…87. 3.2 Dasar Rasio Legis Putusan Mahkamah Konstitusi (MK ) No.69/PUU-XIII/2015 Yang memperbolehkan perjanjian Kawin Dibuat Setelah Terjadinya Perkawinan ……………………………………………………………………..89 3.2.1 Pengertian,Fungsi, Kedudukan Dan Tugas Mahkamah Konstitusi……...89 3.2.2 Isi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK ) No 69/PUU-XIII/2015……….91 3.2.3 Analisis Rasio Legis Putusan Mahkamah Konstitusi No 69/PUUXIII/2015 Berdasarkan Teori keputusan……………………………………………114. BAB IV IMPLIKASI HUKUM TERHADAP KEWENANGAN NOTARIS DALAM MEMBUAT AKTA PERJANJIAN KAWIN PASCA PUTUSAN PUTUSAN MK NOMOR 69/PUU-XIII/2015 STUDI PADA NOTARIS DI WILAYAH KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR …………………………………………121 4.1 Implikasi Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi (MK ) No.69/PUU-XIII/2015 Terhadap Kewenangan Notaris Dalam Membuat Akta Perjanjian Perkawinan (studi pada Notaris di Wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur ………… ...121.

(13) 4.1.1 Gambaran Umum Perjanjian Perkawinan di Wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur …………………………………………………………..121 4.1.2 Analisis Implikasi Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 69/PUU-XIII/2015 Terhadap Kewenangan Notaris Berdasarkan Teori Kewenangan…………………………………………………………….. 125. BAB V TANGGUNG JAWAB NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA PERJANJIAN KAWIN PASCA PUTUSAN MK NOMOR 69/PUU-XIII/2015 ……………….133 5.1. Tanggung Jawab Notaris Dalam Pembuatan Akta Para Pihak Menurut UndangUndang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris …………….133 5.2 Analisis Tanggung Jawab Notaris Dalam Pembuatan Akta Perjanjian Kawin Pasca Putusan. Mahkamah. Administrasi. Jakarta. Konstitusi Timur. No.69/PUU-XIII/2015. di. Berdasarkan. Tanggung. Teori. Wilayah. Kota Jawab. Hukum………………………………………………………………………..... 138. BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN………………………………………………….. 145 6.1. Kesimpulan………………………………………………………………….… 145 6.2 Saran……………………………………………………………………………146 DAFTAR PUSTAKA ...…………………………………………………………………….149 DAFTAR LAMPIRAN…………………………...………………………………………...153.

(14) BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Hakikatnya manusia diciptakan oleh Allah SWT untuk saling berpasangpasangan satu dengan yang lain untuk membentuk suatu keluarga yang sakinah mawadah wa rahmah dan meneruskan garis keturunannya, yang diikat dalam ikatan suci perkawinan. Seperti tercantum dalam Pasal 1 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.1 Perkawinan merupakan ikatan yang suci yang terjalin antara seorang lakilaki dan seorang perempuan yang didasarkan atas perasaan suka sama suka dan tidak ada paksaan serta di dasari oleh suatu keyakinan dan kepercayaan yang mereka anut .Perkawinan tidak hanya sebagai sebagai suatu proses administrasi atau hanya hubungan keperdataan saja antara suami atau istri, melainkan juga menekankan pada adanya ikatan lahir bathin yang didasarkan atas Ketuhan Yang Maha Esa, dimana pasangan yang akan melangsungkan suatu pernikahan itu harus didasari ikatan satu dengan yang lain , dan tidak hanya karena dorongan alamiah untuk membuat keturunan sebagai penerus keluarga. Pengakuan adanya ikatan lahir bathin antara suami dan istri ini akan menjadi tolok ukur agar perkawinan ini bukan hanya karena paksaan dari orang lain.. 1. Pasal 1 Undang –Undang Pokok Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan : Perkawinan adalah ikatan lahir bathin Antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1. 1.

(15) Suatu perkawinan merupakan perjanjian yang di lakukan oleh dua orang, dalam hal ini sebagai tujuannya merupakan suatu perjanjian, tetapi berbeda dengan perjanjian pada umumnya karena perjanjian pada umumnya dibuat sesuai keinginan para pihak, sepanjang perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang yang berlaku, kesusilaan,dan ketertiban umum. Perkawinan disebut. sebagai suatu bentuk perjanjian karena perkawinan. sebelum terjadinya di awali dengan adanya persetujuan dari kedua belah pihak, baik dari calon mempelai maupun dari keluarga calon mempelai. Akibat dari suatu perkawinan menimbulkan hak dan kewajiban pada pasangan suami-istri sesuai yang diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa suami dan istri harus saling mentaati dan menjalankan hak dan kewajiban nya masing-masing secara seimbang. Selain itu suatu perkawinan dapat melahirkan persoalan tentang harta kekayaan yaitu mengenai harta benda bersama suami istri maupun harta pribadi dan atau harta bawaan.2 Pengaturan tentang harta perkawinan tidak dimasukkan dalam ruang lingkup hukum harta kekayaan disebabkan karena anggapan bahwa perkawinan bukanlah salah satu cara untuk mendapatkan atau memperoleh harta/kekayaan. Meskipun diakui bahwa perkawinan akan berakibat kepada kedudukan seseorang terhadap kekayaan.Kekuatiran yang lain adalah jika harta benda dalam perkawinan di masukkan dalam lapangan hukum harta kekayaan yang di anut oleh sistem KUH Perdata maka makna perkawinan sebagai sebagai suatu ikatan bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk. 2. Elisabeth Nurhaini Butarbutar,Hukum Harta Kekayaan Menurut Sistematika KUH Perdata Dan. Perkembangannya, (Bandung,Refika Aditama, 2012) hal 22.. 2.

(16) keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa akan bergeser menjadi suatu perikatan yang bertujuan mendapatkan harta kekayaan atau dianggap sebagai perikatan.3 Calon pasangan yang akan melangsungkan pernikahan biasanya tidak mempermasalahkan mengenai harta masing-masing atau percampuran harta harta yang akan terjadi setelah perkawinan karena didasari adanya rasa saling percaya dan memahami satu dengan yang lainnya. Tetapi dengan semakin berkembangnya jaman, situasi dan kondisi yang terjadi di masyarakat, dan karena adanya pengaruh dari budaya asing, mempengaruhi sedikit demi sedikit pola pikir dan pandangan di masyarakat. Harta bawaan atau harta masing-masing pihak sebelum terjadinya perkawinan menjadi salah satu fokus sorotan masalah sebelum pasangan melakukan pernikahan, hal ini dikarenakan semakin banyak pasangan perkawinan yang masing-masing bisa menghasilkan harta sendiri, sehingga kebutuhan untuk membuat perjanjian kawin mengenai pemisahan harta ini menjadi perlu diatur. Pembuatan perjanjian kawin adalah hak dari calon suami istri yang hendak melangsungkan perkawinan untuk menyimpang dari peraturan undang-undang yang berlaku terutama mengenai persatuan harta kekayaan. Perjanjian kawin adalah perjanjian yang dibuat oleh dua orang (calon suami istri) sebelum dilangsungkan perkawinan. 3. untuk mengatur akibat-akibat perkawinan yang. Elisabeth Nurhaini Butarbutar,Hukum Harta Kekayaan Menurut Sistematika KUH Perdata dan. Perkembangannya, (Bandung,Refika Aditama, 2012) hal 23.. 3.

(17) menyangkut harta kekayaan4. Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Perjanjian Kawin diatur di dalam Bab V Pasal 29 yang isinya sebagai berikut:5 Perjanjian kawin agar. berlaku kepada semua pihak maka harus ada. pemberitahuan kepada pegawai pencatat pernikahan pada saat pernikahan , di Catatan Sipil untuk pasangan non muslim atau di Kantor Urusan Agama ( KUA) bagi pasangan muslim agar berlaku terhadap pihak ke 3 (tiga) baik bagi para kreditur / pihak-pihak lain yang berkepentingan terhadap harta suami atau isteri. Dengan ketidakjelasan pengertian perjanjian perkawinan ini membuat munculnya perbedaan pendapat dari beberapa ahli yang menafsirkan mengenai pengertian perjanjian perkawinan. Beberapa pendapat tersebut mengacu pada ketentuan yang ada di dalam KUH Perdata , salah satu pendapat mengenai perjanjian perkawinan antara lain adalah sebagai berikut: Perjanjian perkawinan menurut R.Subekti adalah : “Suatu perjanjian mengenai harta benda suami istri selama perkawinannya mereka yang menyimpang dari asas atau pola yang ditetapkan oleh Undang-Undang”6 Dalam uraian pendapat ini penulis setuju dengan konsep perjanjian perkawinan yang di kemukakan oleh Bapak R Subekti, karena poin utama dari suatu perjanjian perkawinan adalah khususnya mengatur tentang perjanjian harta benda selama 4. R.Soetojo Prawirohamidjoyo, Hukum Orang Dan Keluarga (Personen En Familie –Recht), (Surabaya:Airlangga University Press, 2000 ) Hal 73. 5 Pasal 29 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan :Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. Pasal 29 ayat (2) UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan : Perjanjian perkawinan tersebut tidak bisa di sah kan bilamana melanggar batas- batas hukum, agama dan kesusilaan. Pasal 29 ayat (3) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan : Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.Pasal 29 ayat ( 4) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan : Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah kecuali bila kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga. 6 R.Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, ( Jakarta: Intermasa, 1985) hal 39. 4.

(18) perkawinan. Perjanjian kawin yang bisa dibuat antara lain mengenai perjanjian perkawinan percampuran laba-rugi dan perjanjian perkawinan percampuran penghasilan. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 tentang Perjanjian Kawin yang bisa dibuat setelah terjadinya perkawinan atau selama terjadinya perkawinan di latar belakangi oleh permohonan pengajuan Judicial Review oleh Nyonya Ike Farida terhadap pengujian Pasal 21 ayat (1), ayat (3), dan Pasal 36 ayat (1) UUPA; Pasal 29 ayat (1), ayat (3), ayat (4) dan Pasal 35 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan terhadap UUD 1945. Nyonya Ike Farida7 seorang Warga Negara Indonesia (WNI) menikah dengan seorang warga Negara Jepang. Selama perjalanan waktu perkawinan tersebut, nyonya Ike Farida ingin membeli aset berupa apartemen, tetapi karena pada saat mereka menikah dulu tidak membuat Perjanjian Kawin, pihak developer tidak bisa menjual unit apartemen tersebut karena adanya ketentuan sesuai Pasal 36 ayat (1) UUPA dan Pasal 35 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, seorang perempuan WNI yang kawin dengan warga negara asing tidak bisa mempunyai hak milik untuk membeli tanah dan atau bangunan tanpa adanya perjanjian kawin terlebih dahulu. Pihak developer memutuskan untuk tidak melakukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) ataupun membuat Akta Jual Beli (AJB) dengan pemohon (Nyonya Ike Farida), dengan alasan karena hal tersebut akan melanggar Pasal 36 ayat (1) UUPA. Merasa dibedakan haknya sebagai warga Negara Indonesia, kemudian Nyonya Ike Farida mengajukan judicial review mengenai. 7. Nyonya Ike Farida, warga Negara Indonesia yang menikah dengan WNA Jepang yang telah mengajukan pengujian Pasal –Pasal dalam UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap UUD 1945, Jakarta, wawancara, tanggal 17 April 2016, data primer telah diolah.. 5.

(19) permasalahan tersebut. Dalam Amar Putusannya Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan No. 69 /PUU-XIII/2015 yang menerima sebagaian permohonan judicial review dari pemohon (Nyonya Ike Farida) yaitu dalam Pasal 29 ayat (1)8, Pasal 29 ayat (3)9, Pasal 29 ayat (4)10 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Akibat dari perubahan isi perjanjian kawin yang dibuat setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) ini bisa menimbulkan sengketa dengan para pihak dan terumatama pihak ketiga . Cara penyelesaian sengketa ini dengan cara Litigasi dan Non Litigasi. Tetapi bisa juga sengketa di selesaikan dengan cara Alternative Dispute Resolution (ADR)11,yaitu penyelesaian sengketa yang diselesaikan di luar pengadilan seperti negoisasi, mediasi dan konsiliasi. Perjanjian Kawin ini bisa mengikat para pihak dan bisa menjadi pegangan pihak ketiga, maka harus di daftarkan dan di sahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau di Kantor Catatan Sipil setempat, agar ada ke absahan dari pejabat yang berwenang yang akan berdampak pada keberlakuan dari isi perjanjian itu sendiri bagi para pihak maupun pihak ketiga yang terkait dengan perjanjian tersebut. Perjanjian kawin awalnya bertentangan dengan nilai yang ada dalam masyarakat. 8. Pasal 29 ayat (1) Undang –Undang Pokok Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 di ubah oleh Mahkamah Konstitusi menjadi : Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris , setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. 9 Pasal 29 ayat (3) Undang – Undang Pokok Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 diubah oleh Mahkamah Konstitusi menjadi : Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. 10 Pasal 29 ayat ( 4 ) Undang-Undang Pokok Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 diubah oleh Mahkamah Konstitusi menjadi : Selama Perkawinan berlangsung , perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya ,tidak dapat dirubah atau dicabut kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga. 11 Rachmad Safa’at, Advokasi Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Edisi Revisi (Malang : Surya Pena Gemilang, 2016) hal 81-82. 6.

(20) kita, sebagai bangsa timur perjanjian kawin dianggap sebagai hal yang tabu, maraknya kasus perceraian yan disebabkan oleh faktor ekonomi dapat dijadikan salah satu alasan calon pasangan suami istri membuat perjanjian kawin . Walaupun setiap pasangan yang akan menikah tidak mengharapkan adanya perceraian, tetapi hanya mengantisipasi apabila terjadi hal-hal yang tidak di inginkan terjadi di kemudian hari. Perjanjian Kawin di Indonesia tunduk pada hukum barat yaitu golongan Eropa dan golongan Tionghoa. Golongan Eropa dan Tionghoa ini memandang perjanjian kawin sebagai sesuatu yang wajar dan lumrah untuk dilakukan, bahkan ada yang memandangnya sebagai suatu keharusan dimana hal ini bisa menjadi salah satu pencegah munculnya masalah dikemudian hari ketika suatu perkawinan berlangsung. Terutama dengan makin berkembangnya perekonomian di Indonesia, perjanjian kawin ini dapat dibuat sebagai pegangan untuk memecahkan masalahmasalah harta kekayaan dalam perkawinan dan meminimalkan perselisihan yang timbul antara suami dan istri, dengan berkembangnya jaman, perjanjian perkawinan yang pada awalnya dibuat selalu sebelum adanya perkawinan sesuai yang tercantum dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. 12. , tetapi dengan adanya. Putusan Mahkamah Konstitusi, hal ini bisa dibuat sebaliknya. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 tentang ketentuan baru pembuatan perjanjian perkawinan yang bisa di buat tidak hanya sebelum terjadinya pernikahan tetapi bisa di mungkinkan untuk dibuat pada saat dan. 12. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 29 ayat (1) menyatakan : Pada waktu sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”. 7.

(21) setelah terjadinya perkawinan, hal ini bisa menjadikan wacana dan kajian baru untuk mengulasnya. Karena hal ini akan berpengaruh pada semua para pihak yang melakukan perjanjian perkawinan, notaris sebagai pihak yang bertugas membuatkan aktanya . Berdasarkan pada beberapa uraian latar belakang tersebut diatas, maka perlu dilakukan kajian mendalam tentang masalah yang berkaitan. dengan. “KEWENANGAN DAN TANGGUNG JAWAB NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA PERJANJIAN KAWIN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII/2015. ( STUDI PADA NOTARIS DI WILAYAH. KOTA. ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR ).”. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang di uraikan diatas, maka dirumuskan permasalahannya sebagai berikut: 1. Apa dasar rasio legis Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 69/PUUXIII/2015 memperbolehkan perjanjian kawin dibuat setelah adanya perkawinan? 2. Apa implikasi hukum terhadap kewenangan notaris dalam membuat akta perjanjian kawin pasca putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015? 3. Bagaimana tanggung jawab notaris dalam pembuatan akta perjanjian kawin pasca Putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015?. 1.3 Tujuan Penelitian. Bertitik tolak pada perumusan masalah tersebut diatas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui dan menganalisis hal yang mempengaruhi Mahkamah Konstitusi (MK) dalam membuat keputusan MK No.69/PUU-XIII/2015 8.

(22) 2. Untuk menganalisis implikasi hukum terhadap kewenangan Notaris dalam membuat Akta Perjanjian Kawin pasca Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015 yang memperbolehkan suatu Perjanjian kawin yang dibuat setelah adanya perkawinan.. 3. Untuk menganalisis tanggung jawab Notaris dalam membuat Akta Perjanjian Kawin pasca Putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015.. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang ingin dicapai peneliti dalam penelitian ini yaitu: 1.4.1. Manfaat Teoritis. Secara teoritis diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat untuk memberikan kontribusi pemikiran dalam perkembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum Perdata, khususnya dalam hukum keluarga, juga sebagai bahan kajian bagi kalangan akademisi dan notariat untuk mengkaji aspek akibat hukum atas Putusan Mahkamah Konstitusi (MK ) No. 69/PUU-XIII/2015 ini. 1.4.2. Manfaat Praktis. a. Bagi Pasangan suami istri (para pihak) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan penjelasan atas Putusan Mahkamah Konsitusi (MK) No. 69/PUU-XIII/2015 kepada pasangan suami – istri yang akan membuat perjanjian kawin bahwa perjanjian perkawinan bisa dibuat tidak hanya pada saat sebelum terjadinya perkawinan tetapi bisa juga dibuat. perjanjian. perkawinan. setelah. terjadinya. perkawinn. dengan. memperhatikan hal-hal sebelum perjanjian kawin tersebut akan di buat.. 9.

(23) b. Bagi Notaris Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan kepastian hukum notaris mengenai aturan–aturan yang harus dilakukan sehubungan dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 69/PUU-XII/2015 tentang pembuatan akta perjanjian kawin yang bisa dibuat setelah terjadinya perkawinan dimana notaris/pegawai pencatat perkawinan harus memberikan pengesahan agar perjanjian kawin tersebut bisa berlaku bagi semua pihak. c. Bagi Mahkamah Konsitusi (MK) Hasil penelitian ini di harapkan dapat memberikan masukan yang bermanfaat bagi Hakim Konstitusi bahwa ada beberapa produk hukum yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK ) sebagai lembaga peradilan Nomatif. di. Indonesia tetapi dilapangan tidak bisa diaplikasikan secara baik, salah satunya Putusan MK No 69/PUU-XIII/2015 tentang perjanjian kawin yang bisa dibuat setelah terjadinya perkawinan dimana aturan operasional dilapangan belum dibuat secara rinci. d. Bagi Kementrian Hukum Dan HAM Republik Indonesia Putusan MK No 69/PUU-XIII/2015 tentang perjanjian kawin yang bisa dibuat tidak hanya sebelum terjadinya perkawinan tetapi juga pada saat setelah terjadinya perkawinan dan sepanjang masih dalam masa perkawinan, maka pemerintah dalam hal ini Kementrian Hukum dan HAM Republik Indonesia bersama –sama dengan DPR ( legislatif) bisa merumuskan peraturan pemerintah yang mengatur aturan operasional dilapangan, terutama bagi notaris yang berhubungan langsung dengan para pihak.. 10.

(24) 1.5 Kerangka Teori Dan Konseptual Dalam penelitian ini, Penulis mempergunakan teori-teori hukum sebagai pisau analisis. Beberapa teori-teori hukum yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.5.1 Kerangka Teori 1.5.1.1 Teori Keputusan Keputusan adalah hasil pemecahan masalah yang dihadapi dengan tegas , dimana hal itu berkaitan dengan jawaban atas pertanyaan. mengenai “ apa yang harus. dilakukan ?” dan seterusnya. Keputusan sesungguhnya adalah merupakan hasil proses berpikir yang berupa pemilihan satu. diantara beberapa alternatif. yang dapat. digunakan untuk memecahkan suatu masalah yang sedang dihadapi. Dalam setiap pengambilan keputusan selalu akan menghadapi 4 (empat ) keadaan yaitu : a.Kepastian (certainly ) keputusan yang diambil dalam keadaan kepastian apabila semua informasi yang dijadikan dasar keputusan tersebut valid adan tersedia sehingga informasinya bersifat sempurna dan tidak bias b. Ketidakpastian ( uncertainty) keputusan yang diambil dalam kondisi ketidakpastian menunjukkan kondisi suatu keputusan tidak mempunyai informasi yang sempurna dan kemungkinan suatu kejadian yang akan terjadi tidak diketahui dengan pasti. e. Resiko ( risk ) Keputusan dalam kondisi beresiko terjadi apabila suatu keputusan tidak mempunyai informasi yang sempurna , namun mempunyai kemungkinan suatu peristiwa akan terjadi. 11.

(25) f. Konflik ( Conflict ) Keputusan yang dibuat dalam kondisi konflik apabila terdapat 2 (dua ) atau lebih kepentingan, masing-masing kepentingan tersebut mempunyai skala prioritas sehingga keputusan tersebut harus dapat diterima oleh semua pihak . Penelitian ini adalah penelitian empiris yang menggunakan Putusan Hakim yaitu Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi ( MK ) sesuai dengan Pasal 10 UndangUndang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasan Kehakiman.13. Soedikno Mertokusumo berpendapat : “Suatu Putusan Hakim adalah suatu pernyataan yang oleh Hakim sebagai Pejabat Negara yang diberikan wewenang untuk memutuskan suatu permasalahan di ruang persidangan, yang bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak”14 Putusan hakim pada dasarnya adalah suatu karya untuk menemukan hukum, yaitu menetapkan bagimana seharusnya suatu hal menurut hukum. yang menyangkut. kehidupan dalam suatu Negara hukum. Putusan Hakim adalah musyawarah yang bertitik tolak dari surat dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di dalam suatu proses sidang di ruang persidangan. Isi Putusan pengadilan sesuai Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman diatur didalam Pasal 25.15 Syarat sahnya suatu putusan hakim sangat penting karena akan dilihat apakah suatu putusan tersebut memiliki kekuatan hukum 13. Pasal 10 UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan : Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. 14 Soedikno mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, ( Yogyakarta : Liberty, 1999 ), hal 175 15 Pasal 25 ayat (1 )UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasan Kehakiman menyatakan : Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang –undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Pasal 25 ayat (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasan Kehakiman menyatakan : Tiap putusan pengadilan ditanda tangani oleh ketua serta hakim yang memutus dan panitera yang ikut serta bersidang. Pasal 25 ayat (3 ) UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan kehakiman menyatakan : Penetapan , ikhtisar rapat permusyawaratan dan berita acara pemeriksaan sidang ditanda tangani oleh ketua majelis hakim dan panitera sidang.. 12.

(26) atau tidak, mengenai hal ini sesuai dengan Pasal 195 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( KUHP ).16 Teori keputusan ini akan penulis gunakan sebagai pisau analisis persoalan nomor satu tentang apa dasar rasio legis Putusan Mahkamah Konstistusi (MK) Nomor 69/PUU-XII/2015 yang memperbolehkan perjanjian kawin dibuat setelah terjadinya perkawinan. 1.5.1.2 Teori Kewenangan Secara etimologi kewenangan berasal dari kata wewenang dengan variable imbuhan menjadikan kata wewenang menjadi kewenangan yang artinya hak dan kekuasaan yang dipunyai melakukan sesuatu .Sedangkan berwenang yang artinya mempunyai atau mendapatkan hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu.17 Dari kata wewenang ini mempunyai beberapa arti , seperti : a. Hak atau kekuasaan untuk bertindak. b. Kekuasaan membuat keputusan memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain. c. Suatu fungsi yang boleh dilaksanakan. d. Tentang suatu hal yang berwenang. Philipus M Hadjon menyatakan :18” Kewenangan dalam membuat keputusan dapat diperoleh dengan 3 (tiga) cara yaitu kewenangan atribusi , kewenangan delegasi dan mandat”. Kewenangan atribusi adalah kewenangan yang melekat pada suatu jabatan , sedangkan kewenangan delegasi adalah kewenangan untuk pemindahan atau 16. Pasal 195 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP ) menyatakan : Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dimuka sidang yang terbuka untuk umum. 17 Kamus Besar Bahasa Indonesia , cetakan pertama Edisi III, (Jakarta : Balai Pustaka ), Hal1128 18 Philipus M Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia ( Gadjah Mada University press, Yogyakarta, 2005 ) Hal 130. 13.

(27) pengalihan wewenang yang ada, dan mandat adalah suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan, pelimpahan ini bermaksud untuk memberikan wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan atas nama pejabat Tata Usaha Negara yang memberikan mandat.. Ketika suatu kewenangan kurang sempurna berarti suatu. keputusan yang dibuat berdasarkan wewenang tersebut tidak sah menurut hukum, sehingga kewenangan atribusi dan delegasi ini membantu untuk memeriksa apakah suatu badan itu berwenang atau tidak. Istilah kekuasaan dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan dan ilmu hukum sering disamakan istilah kekuasaan, kewenangan dan wewenang, kekuasaan sering disamakan dengan kewenangan demikian pula sebaliknya.seperti pendapat Mirriam Budiharjo dalam bukunya dasar-dasar ilmu politik. 19. menyatakan. :. “kekuasaan biasanya berbentuk hubungan dalam arti bahwa ada satu pihak yang memerintah dan pihak lain yang diperintah.” Atribusi menurut pendapat Sadijono : “Suatu pemberian wewenang oleh pemerintah oleh pembuat Undang-Undang kepada organ pemerintah”20, hal ini diartikan bahwa suatu kewenangan itu selalu bersifat melekat pada pejabat yang dituju atas suatu jabatan yang di embannya. Secara yuridis pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan Perundang-Undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum21 . Teori kewenangan ini dijadikan penulis sebagai pisau analisis untuk menjawab persoalan kedua dalam penulisan tesis ini, mengenai apa impilikasi hukum terhadap kewenangan Notaris dalam membuat Akta Perjanjian Perkawinan bagi para pihak pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 ,agar 19. Miriam Budiharjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik ,( Jakarta: Gramedia Pustaka utama , 1998 ) Hal 35-36 Sadijono, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi,(Yogyakarta : Laksbang Pressindo, 2008 ) hal 58 21 Paulus Efendie Lotulung dari himpunan Makalah asas-asas umum pemerintahan yang baik , (Bandung : Citra Aditya bakti, 1994 ) hal 65 20. 14.

(28) kewenangan notaris ini tidak melebihi dari peraturan yang ada di dalam UndangUndang Jabatan Notaris ( UUJN ) No. 30 Tahun 2004 dan Undang-Undang Jabatan Notaris ( UUJN) Nomor 2 Tahun 2014.. 1.5.1.3 Teori Tanggung Jawab Hukum Teori ini sering dikenal sebagai the theory of legal liability, dimana teori ini menganalisis tentang tanggung jawab subjek hukum atau pelaku yang telah melakukan perbuatan melawan hukum atau perbuatan pidana /atau perdata yang mengakibatkan kerugian pada orang lain. Adapun jenis-jenis tanggung jawab terbagi menjadi 3 hal yaitu: 1. Tanggung jawab perdata/ ganti rugi 2. Tanggung jawab pidana 3. Tanggung jawab administrasi Prinsip-prinsip tanggung jawab hukum ada 2 hal antara lain: a. Liability based on Fault22 Seseorang akan memperoleh ganti rugi setelah berhasil membuktikan kesalahan pada pihak tergugat karena kesalahan adalah merupakan unsur yang menentukan pertanggung jawaban yang artinya bila tidak ada kesalahan tidak ada kewajiban memberikan ganti rugi. Cara membuktikan kesalahan dengan berdasarkan. alat-alat. bukti. seperti:. Tulisan,. saksi-saksi,. Persangkaan–. persangkaan, pengakuan, dan sumpah.. 22. Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Disertasi dan Tesis, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2015. 15.

(29) b. Strict Liability23 Adalah bertanggung jawab secara mutlak, adalah suatu unsur kesalahan yang tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar ganti rugi, dalam ketentuan ayat ini berlaku asas lex spesialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya. Tanggung Jawab ( Responsibility ) merupakan suatu refleksi tingkah aku manusia, penampilan tingkah laku manusia terkait dengan kontrol jiwanya yang merupakan bagian dari bentuk pertimbangan intelektualnya atau mentalnya. Apabila suatu keputusan telah diambil ataupun telah ditolak hal ini sudah meruakan bagian dari tanggung jawab dan akibat dari suatu pilihannya. Tidak ada alasan lain mengapa hal itu dilakukan atau ditinggalkan. Karena keputusan dianggap dianggap telah dipimpin oleh kesadaran inteletualnya.24 Tanggung jawab dalam arti hukum adalah tanggung jawab yang benar-benar terkait dengan hak dan kewajibannya, bukan dalam arti tanggung jawab yang dikaitkan dengan gejolak jiwa sesaat atau yang tidak disadari akibatnya. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan jabatan notaris maka diperlukan tanggung jawab professional yang berhubungan dengan jasa yang diberikan. Hal tersebut seperti tercantum dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.25. Menurut pendapat Komar Kantaatmaja sebagaimana dikutip oleh Sidharta. 26. : “Tanggung jawab. 23. Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata lingkungan, ( Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1998) hal 334-335 24 Masyur Efendi, Dimensi atau Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan Internasional, ( Jakarta : Ghalia Indonesia , 1994) hal 121 25 Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang No 8 Tahun 1999 menyatakan : Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan ,pencemaran dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. 26 Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Edisi Revisi ( Jakarta: Gramedia Widiasarana, 2006 ) hal 73-79. 16.

(30) professional adalah tanggung jawab hukum (legal liability ) dalam hubungan dengan jasa professional yang diberikan kepada klien. Tanggung jawab professional ini bisa timbul karena mereka (para penyedia jasa professional) tidak memenuhi perjanjian yang mereka sepakati dengan klien mereka atau akibat dari kelalaian penyedia jasa tersebut yang berakibat pada terjadinya perbuatan melawan hukum”. Dalam memberikan pelayanan professional itu bertanggung jawab kepada diri sendiri dan kepada masyarakat . Bertanggung jawab kepada diri sendiri itu artinya kita bekerja karena integritas moral, inteletual, dan professional menjadi bagian dari hidupnya. Sehingga dalam memberikan pelayanan ini seorang professional selalu mempertahankan cita-cita luhur profesi sesusai dengan tuntutan kewajiban hati nuraninya dan bukan hanya karena sekedar hobi belaka. Bertanggung juga terhadap masyarakat dengan memberikan pelayanan sebaik mungkin tanpa membedakan antara pelayanan bayaran dan pelayanan cuma-cuma serta menghasilkan layanan yang berkualitas dan berdampak positif bagi masyarakat secara luas dan tidak hanya bermotif keuntungan tetapi juga pengabdian kepada sesama manusia Bertanggung jawab juga berani menanggung segala resiko yang timbul akibat dari pelayananya itu , kelalaian dalam melaksanakan profesi menimbulkan dampak yang membahayakan atau mungkin bisa merugikan bagi diri sendiri ,orang lain dan berdosa kepada Tuhan.27 Di dalam menjalankan tugas dan jabatannya notaris mempunyai tanggung jawab moral terhadap profesinya dengan acuan yang disebut sebagai kode etik profesi notaris yang diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) dimana kode etik ini secara factual merupakan norma-norma atau. 27. Abdulkadir Muhamad,Etika Profesi Hukum,(Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001 ) hal 60. 17.

(31) ketentuan yang ditetapkan dan diterima oleh seluruh anggota kelompok profesi .Teori. tanggung jawab hukum ini akan penulis gunakan untuk menganalisis. rumusan masalah pada nomor 3 (tiga) tanggung jawab notaris dan hal–hal apa yang harus dilakukan oleh notaris dalam pembuatan akta perkawinan pasca Putusan MK No 69/PUU-XIII/2015 .. 1.5.2 Kerangka Konseptual 1.5.2.1 Akta Perjanjian Kawin Akta adalah suatu tulisan atau surat yang dibuat dengan sengaja di depan pegawai yang berwenang untuk dijadikan suatu alat bukti tentang suatu peristiwa bagi para pihak dan ahli warisnya dan ditanda tangani oleh pembuatnya . Pasal 186728 KUHPerdata menyebutkan bahwa suatu pembuktian itu bisa dibuat dengan akta otentik ataupun di bawah tangan. Seperti halnya akta perjanjian kawin isinya adalah perjanjian yang dilakukan 2 (dua) orang yang akan melangsungkan perkawinan dan melakukan perjanjian dengan maksud dan tujuan yang akan dituliskan dalam isi perjanjian kawin ini dalam bentuk akta perjanjian otentik maupun bisa dengan akta di bawah tangan. Perjanjian kawin yang dibuat dengan akta otentik dan dibuat di depan notaris yang berwenang maka perjanjian kawin ini akan bisa berlaku bagi pihak ketiga sepanjang pihak ketika tersangkut, tetapi apabila perjanjian kawin dibuat dengan akta dibawah tangan, maka perjanjian yang dibuat ini hanya akan berlaku bagi kedua belah pihak, yaitu pihak calon istri maupun calon suami saja. Pada dasarnya ada 8 macam akta perjanjian kawin yang umum digunakan di Indonesia, diantaranya :. 28. Pasal 1867 KUHPerdata menyatakan : Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan otentik atau tulisan dibawah tangan.. 18.

(32) a. Perjanjia kawin –di luar persekutuan harta benda b. Perjanjian kawin –persekutuan hasil pendapatan c. Perjanjian kawin – persekutuan untung dan rugi d. Perjanjian kawin –di luar persekutuan dengan bersyarat yaitu : Pasal 140 KUHPerdata29 e. Perubahan perjanjian kawin f. Pemulihan kembali persekutuan g. Syarat-syarat perpisahan meja dan ranjang.. 1.6 Metode Penelitian 1.6.1. Jenis Penelitian Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode sistimatika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.30 Penelitian Tesis ini menggunakan jenis penelitian Yuridis Empiris ( Sosiolegal reseach ), tipe penelitian secara sosial terhadap hukum sesungguhnya merupakan jawaban dari komunitas ilmu hukum terhadap berbagai tantangan dalam perkembangan ilmu hukum.31 Hal ini di maksudkan untuk mengkaji tentang. 29. Pasal 140 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( KUHPerdata) menyatakan : Perjanjian itu tidak boleh mengurangi hak-hak yang bersumber pada kekuasaan si suami sebagai suami dan pada kekuasaan sebagai ayah tidak pula hak-hak yang oleh Undang-Undang diberikan kepada yang masih hidup paling lama. Demikian pula perjanjian itu tidak boleh mengurangi hak-hak yang diperuntukkan bagi si suami sebagai kepala persatuan suami istri, namun hal ini tidak mengurangi wewenang istri untuk mempersyaratkan bagi dirinya pengurusan harta kekayaan pribadi baik barang-barang bergerak maupun barang-barang yang tak bergerak disamping penikmatan penghasilan pribadi secara bebas. Mereka juga berhak untuk membuat perjanjian ,bahwa meskipun ada gabungan harta bersama , barang-barang tetap surat-surat pendaftaran dalam buku besar pinjaman-pinjaman Negara , surat surat berharga lainnya dan piutang-piutang yang diperoleh atas nama istri, atau yang selama perkawinan dari pihak istri jatuh kedalam harta bersama tidak boleh dipindah tangankan atau dibebani oleh suaminya tanpa persetujuan istri. 30 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1986 ) Hal 43 31 Satjipto Rahardjo,Ilmu Hukum Ditengah Arus Perubahan, (Malang, Surya Pena Gemilang,2008 ) Hal 51. 19.

(33) Kewenangan Dan Tanggung Jawab Notaris Dalam Pembuatan Akta Perjanjian Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 69/PUU-XIII/2015 ( Studi Pada Notaris di Wilayah Jakarta Timur) dengan mencari faktor-faktor yang dominan yang mempengaruhi keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi No 69/PUU-XII/2015 dan bagaimana pelaksanaanya dilapangan terutama bagi Notaris dalam menjalankan kewajibannya sesuai Undang-Undang Jabatan Notaris, dan memberikan saran kepada pemerintah dalam hal ini Departemen Hukum dan HAM bersama-sama dengan legislatif (DPR) untuk membuat aturan operasionalnya dilapangan agar Putusan MK ini bisa di aplikasikan secara langsung dilapangan.. 1.6.1. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis sosiologis, dimana pendekatan ini mengkaji kaidah –kaidah hukum yang ada di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 69-XIII/2015. Penelitian ini menitik beratkan pada faktor–faktor yang menjadi dasar rasio legis pembuatan perjanjian perkawinan setelah terjadinya perkawinan dan akibat hukumnya terhadap kewenangan dan tanggung jawab Notaris pasca Putusan MK ini.. 1.6.2. Lokasi Penelitian Penulis memilih lokasi penelitian di Kantor Mahkamah Konstitusi di Jakarta dan di beberapa Kantor Notaris yang tersebar di wilayah Jakarta Timur, kantor INI Pusat, kantor Pengadilan Agama Jakarta Timur, kantor Pengadilan Negeri Jakarta Timur. karena didasarkan pada pertimbangan antara lain:. 20.

(34) 1. Sampai saat ini masih banyak Kantor Notaris yang belum mau menerima pekerjaan membuat Akta Perjanjian Kawin setelah adanya Putusan MK nomor 69/PUU-XIII/2015 dimana perjanjian kawin bisa dibuat sebelum, saat dan setelah terjadinya perkawinan. 2. Karena Hakim Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015 yang kontradiktif dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dimana di dalam peraturan sebelumnya Perjanjian kawin hanya bisa dibuat sebelum perkawinan.. 1.6.3. Jenis dan Sumber Data a. Jenis Data Data primer dalam penelitian ini meliputi data yang berupa pengalaman, pendapat, pernyataan yang penulis peroleh dari keterangan narasumber atau responden yang berkaitan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi ( MK ) No. 69/PUU-XIII/2015 dalam hal Putusan tentang perjanjian kawin yang bisa dibuat setelah terjadinya perkawinan dan harus di sahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau Notaris. Data sekunder dalam penelitian ini didapatkan dari : a. Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 b. Kitab Undang- Undang Hukum Perdata ( KUHPerdata ) c. Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1 ). 21.

(35) d. Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3. e. Putusan Mahkamah Konstitusi ( MK ) Nomor. 69/PUU-XIII/2015 tentang pembuatan perjanjian kawin yang bisa dibuat setelah perkawinan.. b. Sumber Data Sumber data primer dalam penelitian ini diperoleh dari hasil wawancara mendalam dan observasi di beberapa kantor notaris di wilayah Jakarta Timur dan di Kantor Hakim Mahkamah Konstitusi, di kantor Pengadilan Agama Jakarta Timur, Kantor Pengadilan Negeri Jakarta Timur Data sekunder di peroleh dari hasil penelusuran di berbagai tempat seperti: (1) Pusat Dokumentasi Hukum Universitas Brawijaya, (2) Perpustakaan Pusat Universitas Brawijaya, (3) Perpustakaan pusat Universitas Indonesia, (4) Internet.. 1.6.4. Tehnik Pengumpulan Data Tehnik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini dengan: 1. Data Primer: diperoleh penulis dengan wawancara mendalam dengan responden yang telah ditentukan langsung dengan narasumbernya dengan maksud untuk mengetahui lebih mendalam mengenai pokok masalah sehingga relevan dengan 22.

(36) permasalahan yang dibahas dalam tesis ini, hal ini dilakukan agar memudahkan dalam hal penguraian, menganalisis, dan membuat kesimpulan dari konsep – konsep yang sudah ada. 2. Sumber Data Sekunder Data sekunder dalam proposal tesis ini di peroleh dari studi kepustakaan dan buku-buku literatur, internet, jurnal, Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku yang ada hubungannya dengan permasalahan dalam tesis ini untuk membantu dalam mendeskripsikan dan menganalisis permasalahan dalam penelitian.. 1.6.5. Teknik Populasi dan Sampling a. Populasi Populasi adalah masyarakat yang dijadikan objek dalam suatu kegiatan penelitian tertentu. Populasi dalam penelitian ini adalah Notaris yang wilayah kerjanya meliputi wilayah hukum Jakarta Timur baik yang sudah pernah membuat perjanjian kawin sebelum dan sesudah Putusan MK No 69/PUUXIII/2015 untuk para pihak.. b Sampel Sampel adalah bagian yang mewakili populasi dan sampel ditentukan berdasarkan tehnik purposive sample32. Tehnik Purposive Sampel yang akan. 32. Sugiono, Metode Penelitian,( Bandung: Alfabeta, 2011) hal 126. 23.

(37) digunakan dalam penelitian ini akan menjadikan respondennya sebagai nara sumber. a. Hakim Mahkamah Konstitusi yang diwakilkan oleh Staff Bagian Peneliti Mahkamah Konsitusi (MK) dengan Ibu Andriani. 33. dimana dalam. memutuskan suatu pengajuan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) adalah hasil dari musyawarah tim hakim yang memutuskan Putusan MK No. 69/PUUXIII/2015 Putusan itu secara mufakat. b. Beberapa Notaris yang berhubungan langsung dengan para pihak yang membuat perjanjian kawin. pasca Putusan MK No.69/PUU-XIII/2015.. Diantaranya Notaris Ibu Neily Irawati SH, Msi, MKn34, Notaris Ibu Dr. Yurisa Martanti, SH,MH35 dan Ibu Notaris Dr Purbandari, SH, MH, Mkn36 yang berada di wilayah jabatan nya di Jakarta Timur . c. Kantor Pusat INI , untuk mengetahui sikap lembaga secara resmi mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi No 69/PUU-XIII/2015 , di wakilkan oleh Ketua Pendidikan dan Latihan (Diklat ) INI Pusat dengan Ibu Dr.Yurisa Martanti, SH,MH.37. 33. Ibu Andriani , Staff Bagian Peneliti Mahkamah Konstitusi (MK ) ,wawancara tanggal 13 April 2017 , data primer telah diolah 34 Ibu Neily Irawati SH,Msi, Notaris di Jakarta Timur, wawancara tanggal 10 April 2017, data primer telah diolah 35 Ibu Dr.Yurisa Martanti SH, MH, Notaris di Jakarta Timur, wawancara tanggal 17 April 2017, Data primer telah diolah 36 Ibu Dr Purbandari SH,MH,MKn, Notaris di Jakarta Timur, wawancara tanggal 14 April 2017, data primer telah diolah 37 Ibu Dr.Yurisa Martanti SH,MH, Ketua Pendidikan dan latihan (diklat) kantor pusat INI, wawancara tanggal 17 april 2017, data primer telah diolah. 24.

(38) 1.6.6. Tehnik Analisis Data Tehnik analisis data yang dipergunakan penulis dalam penelitian tesis ini adalah deskriptif kualitatif, dimana mendeskripsikan dan menganalis data yang di peroleh dilapangan dan kemudian dikaitkan dengan teori-teori hukum berupa Teori Keputusan, Teori Kewenangan, dan Teori Tanggung Jawab Hukum, serta Peraturan Perundang –Undangan yang berkaitan antara lain: UUD NRI 1945, KUHPerdata , Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang – Undang Jabatan Notaris (UUJN) No.2 Tahun 2014, Putusan MK No. 69/PUUXIII/2015. Agar dapat mengambil suatu kesimpulan dan saran dengan metode berpikir yang induktif dari persoalan yang khusus ke persoalan yang umum, agar menghasilkan gambaran yang sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.. 1.7. Desain Laporan Hasil Penelitian Desain laporan hasil penelitian merupakan bentuk yang dapat digambarkan dalam bentuk alur pikir yang logis dan ilmiah sesuai dengan metodologi penelitian yang ada. Dalam penelitian ini penulis membuat desain penelitian sesuai dengan metodologi penelitian yang ada dengan rancangan sebagai berikut :. 25.

(39) Tabel 1.1 Desain Hasil Penelitian. Latar Belakang. 1) Adanya Putusan MK No. 69 / PUU – XIII / 2015 tentang Pembuatan Perjanjian Kawin yang bisa dibuat setelah Perkawinan berlangsung. 2) Akibat hukum putusan MK No. 69 / PUU – XIII / 2015 terhadap wewenang dan tanggung jawab Notaris. Rumusan Masalah. 1. Apa dasar rasio legis Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 69/PUU – XIII / 2015 memperbolehkan erjanjian kawin dibuat setelah adanya perkawinan? 2. Apa implikasi hukum terhadap kewenangan Notaris dalam pembuatan Akta Perjanjian Kawin pasca putusan MK No. 69/PUU –XIII / 2015 ? 3. Bagaimana Tanggung jawab Notaris dalam membuat akta perjanjian kawin pasca putusan MK No. 69/PUU – XIII /2015 ?. Kerangka Teori. Metode Penelitian. 1. Teori Keputusan. 2. Teori Kewenangan. 1.Jenis Penelitian : Yuridis Empiris. 2. Data Yang Digunakan : Data Primer dan Data Sekunder. 3. Teori Tanggung Jawab Hukum. 3. Pendekatan Penelitian : Yuridis Sosiologis. 4. Wawancara. Hasil Penelitian. Kesimpulan dan. dan Pembahasan. Saran. Bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi itu bersifat final dan mengikat MK adalah peradilan Normatif Kewenangan dan tanggung jawab Notaris pasca putusan MK No.69/PUUXIII/2015 adalah boleh para pihak membuat perjanjian kawin sebelum atau sesudah terjadinya perkawinan. Banyak keputusan Mahkamah Konsitusi yang tidak bisa langsung diaplikasikan di lapangan Pemerintah dan DPR harus bersama-sama merumuskan aturan operasional pelaksanaanya. 26.

(40) 1.8 Orisinalitas Penulisan Penelitian ini memfokuskan pada implikasi hukum tentang kewenangan dan tanggung jawab Notaris pasca Putusan Mahkamah Konstitusi ( MK ) No.69/PUUXIII/2015 (studi pada Notaris di wilayah hukum DKI Jakarta ) tentang di perbolehkan nya pembuatan akta perjanjian kawin dibuat tidak hanya sebelum terjadinya perkawinan tetapi juga bisa di buat pada saat dan setelah terjadinya perkawinan.studi mengenai perjanjian kawin yang bisa dibuat setelah terjadinya perkawinan pasca Putusan MK No 69/PUU-XIII/2015 terbilang masih baru dan belum banyak mahasiswa yang menulisnya. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Yuridis Empiris , yakni menganalisis kenyataan yang benar-benar terjadi dilapangan sebagai bahan hukum primer sebagaimana yang akan disebutkan nanti pada bagian bahan hukum dalam penulisan ini. Adapun beberapa judul –judul tesis yang mempunyai kesamaan alur berpikir dengan tema yang akan penulis ambil dalam penelitian ini antara lain: 1. Tesis yang ditulis oleh Ramadhan Wira Kusuma .Mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan Unversitas Diponegoro Semarang dengan judul “ Pembuatan Perjanjian Kawin setelah Perkawinan dan akibat Hukumnya terhadap Pihak Ketiga” (studi Kasus Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur No.207/Pdt.P/2005/PN) dan penetapan pengadilan Negeri No.459/Pdt.P/2007/PN Jakarta Timur -. Kesamaan dengan hasil penelitian penulis adalah : Meneliti tentang Putusan pengadilan. -. Perbedaannya dengan hasil penelitian penulis adalah : Pertimbangan hakim dalam putuan pengadilan berupa penetapan pembuatan perjanjian kawin setelah perkawinan. 27.

(41) -. Kontribusinya dalam penelitian ini adalah : Dalam tulisan tesis ini mmeberikan penjelasan tentang gambaran pembuatan perjanjian kawin setelah Putusan MK No.69/PUU-XIII/2015.. -. Kebaruan dalam tesis ini adalah : Implikasi Putusan MK No 69/PUU-XIII/2015 bagi wewenang dan tanggung jawab notaris.. 2. Tesis yang ditulis oleh Ane Fany Novitasari Magister Kenotariatan Universitas Brawijaya Malang tahun 2014 dengan judul “Tanggung Jawab Notaris Atas Isi Perjanjian Perkawinan setelah Perkawinan” (studi kasus Putusan Pengadilan Nomor 526/Pdt.G/ 2012/ PN Jkt.sel). -. Persamaan tesis ini dengan penelitian penulis adalah : sama-sama meneliti hasil putusan pengadilan.. -. Perbedaan tesis ini dengan penelitian penulis adalah : yang diteliti dalah putusan yang batal demi hukum atas perubahan isi perjanjian perkawinan.. -. Kontribusinya penelitian ini adalah : Memberikan penjelasan tentang gambaran pembuatan perjanjian kawin setelah adanya Putusan MK No 69/PUU-XIII/2015. -. Kebaruan nya dari hasil penelitian penulis adalah : Perjanjian kawin bisa dibuat setelah terjadinya oerkawinan sesuai Putusan MK No.69/PUU-XIII/2015.. 3. Tesis yang ditulis oleh Rahmadika Sefira Edlynafitri, Mahasiswi program studi Magister kenotariatan Universitas Sam Ratulangi di Manado tahun 2015, dengan judul “ Pemisahan harta melalui perjanjian kawin dan akibat hukumnya terhadap pihak ketiga “. -. Persamaan tesis ini dengan penelitian penulis adalah : meneliti tentang perjanjian kawin dan akibat hukumnya. -. Perbedaan tesis ini dengan penelitian penulis adalah : Akibat hukumnya perjanjian kawin bagi pihak ketiga 28.

(42) -. Kontribusi dalam tesis ini adalah : Memberikan penjelasan dan gambaran pembuatan perjanjian kawin setelah adanya Putusan MK No.69/PUU-XIII/2015.. -. Kebaruan dari hasil penelitian ini adalah : Perjanjian kawin bisa dibuat tidak hanya sebelum perkawinan tetapi juga bisa dibuat setelah terjadinya perkawinan sesuai Putusan MK No.69/PUU-XIII/2015.. 29.

(43) TABEL 1.2 ORISINALITAS PENELITIAN NO. 1.. 2.. 3. Nama/Judul/Lembaga yang mengeluarkan/Tahun Ramadhan Wira Kusuma , Pembuatan Perjanjian kawin setelah perkawinan dan akibat hukumnya terhadap pihak ketiga (studi kasus penetapan pengadilan Negeri Jakarta Timur no.207/Pdt.P/2005/PN) Program studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang/2010 Ane Fany Novitasari, Tanggung Jawab Notaris atas Isi Perjanjian Perkawinan setelah Perkawinan ( studi kasus putusan pengadilan 526/Pdt.G/2012/PN/Jkt .Sel ) Program studi Magister Kenotariatan Universitas Brawijaya Malang / 2014 Rahmadika Sefira Edlynafitri, Pemisahan harta melalui perjanjian kawin dan akibat hukumnya terhadap pihak ketiga,Program studi Magister Kenotariatan Universitas Sam Ratulangi Manado/2015. Persamaan. Perbedaan. Kontribusi. Kebaruan. Sama-sama meneliti tentang putusan pengadilan ( produk dari putusan dari pengadilan Negeri jaktim.. Pertimbangan hakim dalam putusan pengadilan penetapan pembuatan perjanjian kawin setelah perkawinan.. Dalam Tesis ini memberikan penjelasan tentang gambaran pembuatan perjanjian kawin setelah adanya putusan MK No. 69/PUUXIII/2015. Implikasi Putusan MK no.69/PUU.XIII/2015 bagi wewenang dan tanggung jawab Notaris. Sama –sama meneliti putusan pengadilan 526/Pdt.G/2012/PN .Jkt.Sel. Putusan pengadilan yang batal demi hukum Atas perubahan isi perjanjian perkawinan. Dalam Tesis ini memberikan penjelasan tentang gambaran pembuatan perjanjian kawin setelah adanya putusan MK No. 69/PUUXIII/2015. Perjanjian Kawin bisa dirubah ataupun dibuat setelah terjadinya perkawinan sesuai putusan MK no.69/PUU.XIII/2015. Sama –sama meneliti perjanjian kawin dan akibat hukumnya. Akibat hukumnya perjanjian kawin bagi pihak ketiga. Dalam Tesis ini memberikan penjelasan tentang gambaran pembuatan perjanjian kawin setelah adanya putusan MK No. 69/PUUXIII/2015. Perjanjian Kawin bisa dirubah ataupun dibuat setelah terjadinya perkawinan sesuai putusan MK no.69/PUU.XIII/2015. 30.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Selanjutnya, mengenai isi perjanjian perkawinan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) tidak memuat aturan mengenai isi

Jika sebelumnya perjanjian perkawinan hanya mengatur mengenai harta kekayaan calon pasangan suami-istri yang tujuannya agar para pihak bisa mengatur sendiri harta

69/PUU-XIII/2015, Mahkamah Konstitusi telah memperluas makna perjanjian kawin, sehingga perjanjian kawin tidak lagi dimaknai sebagai perjanjian yang dibuat sebelum atau

dilangsungkan, atau selama dalam ikatan perkawinan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019 tidak

Selanjutnya, mengenai isi perjanjian perkawinan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) tidak memuat aturan mengenai isi

Pasal 29 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan (lembar negara Republik Indonesia tahun 1974 Nomor 1, tambahan lembaran negara Republik

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, berakibat hukum bahwa perjanjian perkawinan tidak lagi bermakna perjanjian yang dibuat sebelum atau saat berlangsungnya perkawinan,