• Tidak ada hasil yang ditemukan

TRADISI PERSEMBAHYANGAN TANPA MENGGUNAKAN API DI PURA KAHYANGAN ALAS KEDATON DESA PAKRAMAN KUKUH KECAMATAN MARGA KABUPATEN TABANAN (Perspektif Pendidikan Agama Hindu)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TRADISI PERSEMBAHYANGAN TANPA MENGGUNAKAN API DI PURA KAHYANGAN ALAS KEDATON DESA PAKRAMAN KUKUH KECAMATAN MARGA KABUPATEN TABANAN (Perspektif Pendidikan Agama Hindu)"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

113 TRADISI PERSEMBAHYANGAN TANPA MENGGUNAKAN API DI PURA

KAHYANGAN ALAS KEDATON DESA PAKRAMAN KUKUH KECAMATAN MARGA KABUPATEN TABANAN

(Perspektif Pendidikan Agama Hindu) Oleh

Ni Putu Ayu Putri Suryantari Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

Ayuputrisuryantari30@gmail.com Abstract

Worship generally requires the form of incense, flowers and kwangen. The fire of intercessors for those who worship and be worshiped. But different in Pura Kahyangan Alas Kedaton. When the implementation of piodalan and other religious ceremonies, has a unique tradition of praying without using fire. The problems to be discussed include (1) Why in the prayer should not use fire at Pura Kahyangan Alas Kedaton? (2) How is the form of procession from the tradition of Fire-Based Worship in Pura Kahyangan Alas Kedaton? (3) What are the values of Hindu Religious Education contained in the Tradition of Fireless Disembody in Pura Kahyangan Alas Kedaton ?. Specific objectives of this research are: (1) the reason in the prayer is not allowed to use fire at Pura Kahyangan Alas Kedaton, (2) the form of procession of Worship Tradition without Using Fire in Pura Kahyangan Alas Kedaton, (3) the values of Hindu Religious Education contained in Tradition of Worshiping Without Using Fire in Pura Kahyangan Alas Kedaton. The theory used to analyze the problem is the Theory of Religion of Geertz, and The Value Theory of the Spranger. Methods of data collection are observation, interview, literature, and documentation. While for data analysis using descriptive qualitative. The results of the research show: (1) The reason in the prayer should not use fire in Pura Kahyangan Alas Kedaton because the people believe in the existence of sekala niskala, (2) the form of procession from the Tradition of Worship Without Using Fire in Pura Kahyangan Alas Kedaton Desa Pakraman Kukuh is divided into three stages (3) the values of Hindu religious education contained in the tradition of praying without using fire in Pura Kahyangan Alas Kedaton namely (1) the value of education tattwa, ( 2) The value of harmony is based on the teachings of Tri Hita Karana, (3) The Value of Cultural Politics.

Keywords: Disembamyangan Without Using Fire, Hindu Religion Education I. PENDAHULUAN

Masyarakat Hindu khususnya di Bali tidak lepas dari tradisi, agama, budaya dan adat-istiadat. Agama merupakan suatu jalan hidup untuk mencapai kesempurnaan, kesejahteraan umat manusia dan sesama makhluk hidup di dunia ini. Kehidupan agama Hindu di Bali terlihat adanya hubungan yang erat antara agama dan adat. Kedua hal itu saling bersinergi antara satu dengan yang lainnya dan berpondasikan Tri Kerangka Dasar Agama Hindu. Tri Kerangka Dasar tersebut meliputi tattwa,etika, dan upacara. Penerapan Tri Kerangka Dasar yang serasi dan seimbang tentu akan menciptakan kerukunan hidup bersama.

Mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam ajaran Agama Hindu merupakan hal yang wajib untuk dilakukan guna mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan yang sejati. Ada berbagai cara untuk melakukan sujud bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi

(2)

114 Wasa yang disebut dengan istilah Catur Marga. Catur Marga merupakan empat jalan atau cara umat Hindu untuk menghormati dan menuju kejalan Tuhan Yang Maha Esa. Catur Marga terdiri dari Bhakti Marga adalah mendekatkan diri kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan sujud bhakti. Jnana Marga adalah mendekatkan diri kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan jalan pengetahuan. Karma Marga adalah mendekatkan diri kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan jalan pelayanan melalui kerja tanpa pamrih. Yoga Marga adalah mendekatkan diri kepada Tuhan dengan cara yoga atau Samadhi (Supatra, 2007: 8).

Salah satu jalan yang diajarkan untuk menghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa adalah bhakti marga. Bhakti Marga adalah mendekatkan diri dengan jalan sujud bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang paling mudah diikuti oleh umat pada umumnya.

Persembahyangan adalah suatu bentuk kegiatan keagamaan yang menghendaki terjalinnya hubungan dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Prahyangan) dengan melakukan kegiatan yang disengaja. Penyembah menyerahkan dirinya dengan penuh ketulusan kepada yang disembah yakni penyerahan diri yang tulus kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Karena itu dalam persembahyangan dilakukan pemujaan kehadapan yang disembah, kemudian dilanjutkan dengan permohonan kehadapan yang disembah. Didalam persembahyangan tersebut umat Hindu menggunakan media seperti bunga, dupa, air, bija, kwangen, sikap diri, dan sikap batin.

Api atau dupamerupakan lambang dari Dewa Agni yang berfungsi sebagai pendeta pemimpin upacara, sebagai perantara yang menghubungkan antara pemuja dengan yang dipuja, sebagai pembasmi segala kekotoran dan mengusir roh jahat, serta sebagai saksi dalam upacara. Namun tidak demikian halnya di Pura Kahyangan Alas Kedaton yang terletak Desa Pakraman Kukuh, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan. Pada saat pelaksanaan piodalan maupun upacara keagamaan lainnya di Pura Kahyangan Alas Kedaton, masyarakat Desa Pakraman Kukuh, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan memiliki tradisi yang unik dan asing bagi umat Hindu pada umumnya, yakni pelaksanaan persembahyangan tanpa boleh menggunakan dupa ataupun segala jenis api.

Menurut keyakinan masyarakat Desa Pakraman Kukuh apabila saat persembahyangan mempenggunakan api atau dupa, maka Dewa Siwa beserta saktinya yakni Dewi Durga tidak akan berkenan turun ke dunia untuk menerima persembahan atau yadnya umatnya. Oleh karena itu tradisi persembahyangantanpa menggunakan api yang dilaksanakan masyarakat Desa Pakraman Kukuh sebagai salah satu bentuk upacara Dewa Yadnya yang dianggap sebagai suatu keharusan yang tidak boleh dilanggar. Tradisi ini sampai sekarang tetap dilaksanakan pada setiap upacara keagamaan baik itu pada saat piodalan maupun saat dilaksanakan persembahyangan pada hari-hari suci lainnya. Padahal pada umumnya menggunakan dupamaupun api merupakan salah satu sarana persembahyangan yang tergolong penting dalam setiap upacara keagamaan.

II. PEMBAHASAN

Adapun hasil dari penelitian dari pelaksanaan Tradisi Persembahyangan Tanpa Menggunakan Api Di Pura Kahyangan Alas Kedaton Desa Pakraman Kukuh Kecamatan Marga Kabupaten Tabanan adalah

Alasan dalam Persembahyangan Tidak Boleh Menggunakan Api Di Pura Kahyangan Alas Kedaton yaitu terdapat dua faktor yang menjadi alasan pengempon pura Kahyangan Alas Kedaton tidak menggunakan api pada persembahyangan di Pura Kahyangan Alas Kedaton Desa Pakraman Kukuh Kecamatan Marga Kabupaten Tabanan yakni faktor internal dan faktor eksternal.Faktor Internal dalam Persembahyangan Tidak Boleh Menggunakan Api di Pura Kahyangan Alas Kedaton Desa Pakraman Kukuh Kecamatan Marga Kabupaten Tabanan adalah keyakinan masyarakat Desa Pakraman Kukuh yang merupakan Pengempon Pura Kahyangan Alas Kedaton tentang adanya dunia sekala niskala. Sekala yang berbentuk

(3)

115 manusia dan niskala yang berbentuk seperti mahluk halus (wong samar) serta roh-roh lainnya. Masyarakat meyakini adanya roh-roh yang lain atau mahluk halus yang berwujud seperti api di Pura Kahyangan Alas Kedaton, sehingga agar tidak ada yang menyamainya maka tidak dipergunakan api ataupun dupa dalam pelaksanaan persembahyangan di Pura Kahyangan Alas Kedaton. Sedangkan faktor eksternal dalam persembahyangan tidak boleh menggunakan api di Pura Kahyangan Alas Kedaton Desa Pakraman Kukuh Kecamatan Marga Kabupaten Tabanan adalah pelestarian hutan yang ada di sekitar Pura Kahyangan Alas Kedaton.Hutan merupakan sumber daya alam karunia Tuhan Yang Maha Esa yang sangat penting untuk pengaturan tata air, mencegah bahaya banjir dan erosi, pemeliharaan kesuburan tanah dan pelestarian lingkungan hidup.

Bentuk Prosesi Dari Tradisi Persembahyangan Tanpa Menggunakan Api di Pura Kahyangan Alas Kedaton Desa Pakraman Kukuh Kecamatan Marga Kabupaten Tabanan adalah :(1) Persiapan persembahyangan yaitu dalam persembahyangan di Pura Kahyangan Alas Kedatonhanya menggunakan bunga. Putra (2009: 81), dalam persembahyangan bunga adalah simbul dari Ida Sang Hyang Widhi, sebagai sarana persembahan, simbul dari ketulusan dan lambang kesucian pikiran. Bunga juga digunakan sebagai lambang untuk melukiskan keagungan-Nya seperti yang disuratkan oleh Sang Kawi yang memahami tentang hakikat-Nya. (2) Pelaksanaan persembahyangan yaitu sembahyang memiliki pengertian melakukan pemujaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sebelum melaksanakan persembahyangan (muspa) kramapengempon Pura Kahyangan Alas Kedaton terlebih dahulu melaksanakan puja Tri Sandhya. Setelah itu dilanjutkan dengan muspa atau mebhakti. Untuk penangkil yang datang belakangan hanya melaksanakan persembahyangan muspa atau mebhakti saja.(3) Metirta dan Mabija yaitu Setelah rangkaian persembahyangan dengan hanya menggunakan bunga dilaksanakan kemudian dilanjutkan dengan nunas tirtha atau wangsuh pada Ida Betara. Metirtha dilakukan dengan memerciki kepala tiga kali, meminum tiga kali, dan meraup tiga kali. Hal ini adalah sebagai simbolis dari pembersihan atau penyucian pikiran dan hati agar menjadi bersih dan suci, yaitu bebas dari kotoran dan kesucian hati adalah pangkal ketenangan, kedamaian, dan kebahagiaan lahir dan batin.

Nilai-nilai Pendidikan Agama Hindu Yang Terdapat Dalam Tradisi Persembahyangan Tanpa Menggunakan Api di Pura Kahyangan Alas Kedaton Desa Pakraman Kukuh Kecamatan Marga Kabupaten Tabanan yaitu : (1) Nilai Pendidikan Tattwa adalah meyakini dewa yang melinggih atau berstana di Pura Kahyangan Alas Kedaton adalah Sang Hyang Widhi Wasa yang prabhawa-Nya sebagai Dewa Siwa serta dengan saktinya Dewi Durga beserta putranya Dewa Ganesa. menyakini dengan memuja atau bersembahyang di pura Kahyangan Alas Kedaton dapat memberikan kesehatan, kesejahteraan dan keselamatan bagi penangkil, serta masyarakat pengempon menyakini dengan memuja di Pura Kahyangan Alas Kedaton akan dapat memberikan keselamatan bagi binatang peliharaan yang dipelihara oleh masyarakat pengempon pura Kahyangan Alas Kedaton. (2) Nilai Keharmonisan berlandaskan ajaran Tri Hita Karana adalahMelalui tradisi persembahyangan ini masyarakat Desa Pakraman Kukuh mewujudkan keseimbangan dan keharmonisan hubungan antara manusia dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, manusia dengan sesama yang terlihat pada kebersamaan dan solidaritas tampak pada saat pelaksanaan persembahyangan dan padamanusia dengan lingkungan terlihat pada tujuan untuk melestarikan hutan yang ada di lingkungan Pura Kahyangan Alas Kedaton agar terhindar dari peristiwa yang tidak diinginkan seperti keba6karan. (3) Nilai Politik Budaya adalahSecara umum politik budaya merujuk pada keyakinan, simbol, dan nilai-nilai. Dalam pelaksanaan tradisi persembahyangan tanpa menggunakan api di Pura Kahyangan Alas Kedaton terdapat nilai politik budaya seperti pola perilaku masyarakat dalam meyakini adat istiadat dan norma kebiasaan yang melandasi pelaksanaan tradisi persembahyangan tanpa menggunakan api di Pura Kahyangan Alas Kedaton. Pengempon Pura Kahyangan Alas Kedaton benar-benar meyakini apabila tradisi tersebut dilanggar akan menimbulkan akibat buruk bagi diri pribadi

(4)

116 maupun masyarakat lainnya. Keyakinan yang demikian kuat membuat tradisi persembahyangan tetap dipertahankan sampai saat ini oleh masyarakat Desa Pakraman Kukuh.

III. SIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan tentang tradisi Persembahyangan Tanpa Menggunakan Api Di Pura Kahyangan Alas Kedaton Desa Pakraman Kukuh Kecamatan Marga Kabupaten Tabanan dapat disimpulkan sebagai berikut :(1)Alasan dalam persembahyangan tidak boleh menggunakan api di Pura Kahyangan Alas Kedaton Desa Pakraman Kukuh Kecamatan Marga Kabupaten Tabanan, terdapat dua faktor yang menjadi alasan tidak menggunakan api dalam persembahyangan yakni faktor internal yaitu masyarakat percaya dengan adanya sekala niskala, sekala yang berbentuk manusia dan niskala yang berbentuk seperti mahluk halus serta roh-roh lainnya. Dalam persembahyangan tidak boleh menggunakan api karena roh-roh yang lain atau mahluk halus ada yang berbentuk atau berwujud seperti api, agar tidak ada yang menyamainya maka dalam kegiatan keagamaan apapun di Pura Kahyangan Alas Kedaton ini tidak menggunakan api atau dupa dalam pelaksanaan persembahyangan. Sedangakan faktor eksternal yaitu sebagai pelestarian hutanyang ada di sekitar Pura Kahyangan Alas Kedaton.(2)Bentuk prosesi dari Tradisi Persembahyangan Tanpa Menggunakan Api di Pura Kahyangan Alas Kedaton Desa Pakraman Kukuh Kecamatan Marga Kabupaten Tabanan, pelaksaanaan tradisi persembahyangan tanpa menggunakan api di Pura Kahyangan Alas Kedaton Desa Pakraman Kukuh Kecamatan Marga Kabupaten Tabanan, dilaksanakan dengan tiga tahapan yang dimulai dari tahap awal mempersiapkan sarana persembayangan yaitu bunga, selanjutnya tahapan kedua melaksanakan persembahyangan yaitu melakukan puja Tri Sandhya yang kemudian dilanjutkan dengan kramaning sembah yang dipimpin oleh Jero Mangku Pura Kahyangan Alas Kedaton. Kemudian tahapan ketiga setelah melaksanakan persembahyangan pemedekPura Kahyangan Alas Kedaton menerima wangsuh pada dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan memerciki tirtha dan bija.(3)Nilai-nilai Pendidikan Agama Hindu yang terdapat dalam tradisi persembahyangan tanpa menggunakan api di Pura Kahyangan Alas Kedaton Desa Pakraman Kukuh Kecamatan Marga Kabupaten Tabanan, diantaranya: 1) Nilai tattwa yakni memperkuat keyakinan pengempon pura dalam pemujaan Ida Sang Hyang WidhiWasa serta segala manifestasinya, 2) Nilai keharmonisan berlandaskan ajaran Tri Hita Karana tampak pada hubungan pengempon pura dengan Ida Sang Hyang Widi saat melaksanakan persembahyangan, hubungan manusia dengan manusia terlihat pada keakraban pengempon pura yang ikut melaksanakan persembahyangan, dan hubungan harmonis antara pengempon pura dengan lingkungan terlihat pada tujuan dari tradisi persembahyangan tanpa menggunakan api adalah untuk tetap melestarikan keberadaan hutan yang ada di sekitar wilayah pura, 3) Nilai politik budaya tampak pada pola perilaku masyarakat dalam meyakini adat istiadat dan norma kebiasaan dalam melaksanakan tradisi persembahyangan tanpa menggunakan api di Pura Kahyangan Alas Kedaton.

DAFTAR RUJUKAN

Cahayani. 2016. Penggunaan Dupa Tanpa Api pada Palinggih Jero Alus di Desa Tukadmungga Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng (Perspektif Pendidikan Sosio Religius).Skripsi tidak diterbitkan. IHDN Denpasar.

Happy. 2009. Api Linting Dalam Upacara Manusa Yandnya Di Desa Pangsan. Skripsi Tidak Diterbitkan. IHDN Denpasar.

Putra, I Nyoman Miarta.2009.Mitos-Mitos Tanaman Upakara. Denpasar : Manikgeni.

Subawa. 2014. Pelaksanaan Upacara Yadnya Tanpa Menggunakan Dupa dan Mantra Pada Masyarakat Desa Pakraman Tigawasa Kecamatan Banjar Kabupaten Buleleng. Skripsi tidak diterbitkan. IHDN Denpasar.

(5)

117 Sudarsana, I. K. (2016). PEMIKIRAN TOKOH PENDIDIKAN DALAM BUKU LIFELONG LEARNING: POLICIES, PRACTICES, AND PROGRAMS (Perspektif Peningkatan Mutu Pendidikan di Indonesia). Jurnal Penjaminan Mutu, (2016), 44-53. Sudarsana, I. K. (2015). PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH

DALAM UPAYA PEMBANGUNAN SUMBER DAYA MANUSIA. Jurnal Penjaminan Mutu, (Volume 1 Nomor 1 Pebruari 2015), 1-14.

Sudarsana, I. K. (2017). Interpretation Meaning of Ngaben for Krama Dadia Arya Kubontubuh Tirtha Sari Ulakan Village Karangasem District (Hindu Religious Education Perspective). Vidyottama Sanatana: International Journal of Hindu Science and Religious Studies, 1(1), 1-13.

Sujarweni, Wiratna.2014. Metedologi Penelitian. Yogyakarta : Pustaka Baru Press.

Sunarta. 2008 .Kontribusi Gatra Persembahyangan Motivasi Belajar Terhadap Prestasi Belajar Agama Hindu Siswa SMA Negeri 6 Denpasar Tahun Pembelajaran 2008/2009. Skripsi tidak diterbitkan. IHDN Denpasar.

Supatra, I.N.K. 2007.Penuntun Dasar dan Praktis Sembahyang. Denpasar : CV Kayu Mas. Swastika, I Ketut Pasek. 2008. Arti dan Makna Puja Tri Sadhya dan Panca Sembah.

Denpasar : CV Kayumas Agung.

Wiana, I Ketut. 2000. Arti dan Fungsi Sarana Persembahyangan. Surabaya : Paramita. ... 2006. Sembahyang Menurut Hindu. Surabaya : Paramita.

Referensi

Dokumen terkait

Suatu konsep dasar pemograman atau juga yang di sebut dengan PERULANGAN adalah suatu cara untuk mengulang satu atau sekumpulan perintah sampai mencapai kondisi

menimpali, "Tentu saja, tidak ada seorang pun berharap demikian." Beliau melanjutkan, "Apakah kamu rela melakukan perzinaan dengan anak perempuanmu?"

Kegiatan pembelajaran Bahasa Inggris dikembangkan untuk mencapai kompetensi komunikatif yang tidak hanya menguasai keterampilam berbicara, mendengarkan, membaca, dan

§ Bahwa Pasal 9 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 yang isinya adalah sebagai "Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib

Stratovolcano seperti kerucut dengan sisi yang curam. Tipe gunung api ini terbentuk pada letusan besar yang terdiri dari aliran lava, tefra, dan aliran piroklastik. Letusan

Undang-undang No. Menua merupakan bagian dari proses tumbuh kembang. Menua memerlukan proses dan waktu, dan tidak tumbuh secara tiba-tiba. Tua atau yang biasa disebut

Seorang yang salih, yang ada di Jalan yang benar, melihat Sultan Mahmud 2 dalam mimpi dan berkata padanya, “O Raja yang bahagia, bagaimana keadaan dalam Kerajaan Baka?” Sultan

Bila pengajuan surat wesel atau penyelenggaraan protesnya dalam jangka waktu yang ditentukan terhalang oleh rintangan yang tidak dapat diatasi (peraturan undang-undang dari