• Tidak ada hasil yang ditemukan

8 3. Perkembangan Anak Sekolah Masa anak ditandai beberapa ciri baik perkembangan dari fisik, 7 kepandaian, emosi dan sosial (Setiawan, 2000): a. Ciri

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "8 3. Perkembangan Anak Sekolah Masa anak ditandai beberapa ciri baik perkembangan dari fisik, 7 kepandaian, emosi dan sosial (Setiawan, 2000): a. Ciri"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

A. Konsep Anak Sekolah

1. Pengertian Anak Usia Sekolah

Usia anak sekolah dimulai dari umur 5 tahun sampai umur 11 tahun. Usia anak adalah usia dimana anak sedang mengembangkan segala kemampuannya seperti kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dengan orang lain, dan kemampuan mengemukakan pendapat (Pascal, 2010).

Menurut Piag (1896-1980), Anak adalah seorang yang aktif membentuk atau menyusun pengetahuan mereka sendiri pada saat mereka mengeksplorisasi lingkungan dan kemudian tumbuh secara kognitif terhadap pemikiran-pemikiran yang logis. Anak kecil berfokus pada perilaku dan bukan pada motivasi atau akibat. Mereka melihat alternatif sebagai sesuatu yang konkret, dan mereka tidak mampu membedakan antara informasi yang diplot secara sentral atau perifer. Anak kecil mengingat berbagai hal di dalam program, misal mereka mengingat suatu tindakan, bukan motifasi atau akibatnya (Wong, 2009)

2. Pertumbuhan Anak Sekolah

Pertumbuhan (Growth) berkaitan dengan masalah perubahan dalam besar, jumlah, ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu, yang bisa diukur dengan ukuran berat (gram, pound, kilogram), ukuran panjang (cm, meter), umur tulang dan keseimbangan metabolik (retensi natrium dan nitrogen tubuh) (Soetjiningsih, 2000).

Pada usia sekolah pertumbuhan tinggi dan berat badan cenderung lebih stabil, rata–rata akan tumbuh 5cm (2 inci) setiap tahunnya, serta berat badan akan bertambah 2–3 kg (4,5–6,5 pon) pertahun, terdapat sedikit perbedaan pertumbuhan antara laki–laki dengan perempuan anak laki–laki akan lebih tinggi serta lebih berat dibanding perempuan (Wong, 2009).

(2)

3. Perkembangan Anak Sekolah

Masa anak ditandai beberapa ciri baik perkembangan dari fisik, kepandaian, emosi dan sosial (Setiawan, 2000):

a. Ciri fisik

1) Pertumbuhannya sangat lambat, tetapi mantap.

2) Takaran makanannya bertambah karena ia bisa menjadi gemuk bila terlalu banyak makan.

3) Secara lahiriah tidak rapi, tidak suka berdandan

4) Mudah terserang penyakit campak, cacar air, atau batuk. b. Kepandaiannya

1) Ketrampilan

Anak menjadi terampil bagi dirinya sendiri, ia dapat berpakaian dan berdandan sendiri.

2) Perkembangan komunikasi

Dengan bertambahnya luasnya pergaulan mereka, maka komunikasi merupakan salah satu teknik yang sangat penting. c. Secara emosi

1) Takut

Anak takut pada kegelapan, takut pada ke dokter. 2) Marah

Ini terjadi apabila pekerjaanya terganggu, dibandingkan dengan teman, sadar dengan kelemahannya, sadar telah ditipu,disalahpahami,atau melihat ketidakadilan.

3) Rasa ingin tahu

Pemuasan rasa ingin tahunya dilakukan dengan menyelidiki dan bertanya.

4) Kasih.

Pengertian ini agak sedikit kabur. Anak laki-laki merasa kurang enak bila dicium atau dipeluk. Sedangkan anak perempuan tidak

7

(3)

suka berterus terang dan lebih suka menyatakan diri secara tidak langsung.

d. Secara sosial

1) Masih berkelompok

Anak mulai menyukai kehidupan berkelompok. 2) Bekerja sama

Anak-anak pada masa ini sudah dapat mangatasi egonya, kurang bertengkar dan mampu bekerja sama. Mereka perlu dilatih untuk dapat masuk dalam masyarakat. Perantara yang baik adalah bergaul dengan teman-teman yang lain.

3) Penerimaan masysarakat

Anak yang tidak dapat diterima oleh teman-temannya kebanyakan pendiam atau agresif. Anak yang bermasalah, sering tidak bisa hidup bersama dengan teman yang lain; ia merasa terasing, tidak memiliki suka cita, dan selalu gusar.

Ciri anak sekolah secara perkembangan intelek dan emosi; perkembangan bahasa; dan perkembangan moral, sosial, dan sikap (Sofa, 2008) sebagai berikut:

a. Perkembangan Intelektual dan Emosi:

Perkembangan intelektual anak sangat tergantung pada berbagai faktor utama, antara lain kesehatan gizi, kebugaran jasmani, pergaulan dan pembinaan orang tua. Akibat terganggunya perkembangan intelektual tersebut anak kurang dapat berpikir operasional, tidak memiliki kemampuan mental dan kurang aktif dalam pergaulan maupun dalam berkomunikasi dengan teman-temannya.

Perkembangan emosional berbeda satu sama lain karena adanya perbedaan jenis kelamin, usia, lingkungan, pergaulan dan pembinaan orang tua maupun guru di sekolah. Perbedaan perkembangan emosional tersebut juga dapat dilihat berdasarkan ras, budaya, etnik dan bangsa.

(4)

Perkembangan emosional juga dapat dipengaruhi oleh adanya gangguan kecemasan, rasa takut dan faktor-faktor eksternal yang sering kali tidak dikenal sebelumnya oleh anak yang sedang tumbuh. Namun sering kali juga adanya tindakan orang tua yang sering kali tidak dapat mempengaruhi perkembangan emosional anak. Misalnya sangat dimanjakan, terlalu banyak larangan karena terlalu mencintai anaknya. Akan tetapi sikap orang tua yang sangat keras, suka menekan dan selalu menghukum anak sekalipun anak membuat kesalahan sepele juga dapat mempengaruhi keseimbangan emosional anak.

b. Perkembangan Bahasa

Bahasa telah berkembang sejak anak berusia 4–5 bulan. Orang tua yang bijak selalu membimbing anaknya untuk belajar berbicara mulai dari yang sederhana sampai anak memiliki keterampilan berkomunikasi dengan mempergunakan bahasa. Oleh karena itu bahasa berkembang setahap demi setahap sesuai dengan pertumbuhan organ pada anak dan kesediaan orang tua membimbing anaknya. c. Perkembangan Moral, Sosial, dan Sikap

Kepada orang tua sangat dianjurkan bahwa selain memberikan bimbingan juga harus mengajarkan bagaimana anak bergaul dalam masyarakat dengan tepat, dan dituntut menjadi teladan yang baik bagi anak, mengembangkan keterampilan anak dalam bergaul dan memberikan penguatan melalui pemberian hadiah kepada ajak apabila berbuat atau berperilaku yang positif.

Terdapat bermacam hadiah yang sering kali diberikan kepada anak, yaitu yang berupa materiil dan non materiil. Hadiah tersebut diberikan dengan maksud agar pada kemudian hari anak berperilaku lebih positif dan dapat diterima dalam masyarakat luas.

4. Bermain Pada Anak Sekolah

Bermain merupakan istilah yang digunakan secara bebas sehingga arti utamanya mungkin hilang. Arti yang paling tepat ialah setiap kegiatan

(5)

yang dilakukan untuk kesenangan yang ditimbulkannya tanpa mempertimbangkan hasil akhir. Bermain dilakukan secara suka rela dan tidak ada paksaan atau tekanan dari luar atau kewajiban (Hurlock, 1999).

Tujuan bermain anak usia prasekolah antara lain: mendorong imajinasi / kreativitas anak, mengoptimalkan pertumbuhan seluruh organ tubuh, untuk bersosialisasi dengan orang lain, dan mengembangkan kemampuan intelektual (Soetjiningsih, 2000).

B. Persepsi

1. Pengertian Persepsi

Terdapat berbagai pengertian mengenai persepsi yang dikemukakan oleh para ahli. Menurut Rakhmat (2000), persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkannya. Persepsi adalah memberikan makna pada stimuli inderawi atau sensori stimuli.

Persepsi merupakan suatu proses yang dilakukan oleh penginderaan yaitu merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui responnya. Stimulus dilanjutkan ke susunan saraf otak dan terjadilah proses kognitif sehingga individu mengalami persepsi (Walgito, 1997).

Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah suatu proses penangkapan stimulus yang kemudian disimpulkan menjadi suatu yang bermakna dan berarti melalui proses seleksi, organisasi, interpretasi. Persepsi juga merupakan suatu proses kognisi yang melibatkan cara-cara dimana individu memproses informasi yang didapatnya, dengan proses kognisi tersebut menimbulkan perbedaan dan keunikan masing-masing individu yang mempersepsikan.

2. Syarat untuk mengadakan persepsi

a. Adanya objek yang dipersepsi

Objek menimbulkan stimulus yag mengenai alat indera atau reseptor. Stimulus dapat datang dari luar individu yang mempersepsi,

(6)

tetapi juga dapat datang dari dalam diri individu yang bersangkutan yang langsung mengenai syaraf penerima yang bekerja sebagai reseptor. Namun sebagian terbesar stimulus datang dari luar individu.

b. Alat indera atau reseptor

Alat indera atau reseptor merupakan alat untuk menerima stimulus. Di samping itu juga harus ada syaraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus yang diterima reseptor ke pusat susunan syaraf. c. Perhatian

Untuk menyadari atau untuk mengadakan persepsi diperlukan adanya perhatian, yaitu merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam rangka mengadakan persepsi. Perhatian merupakan pemusatan atau konsentrasi dari seluruh aktivitas individu yang ditujukan kepada sesuatu atau sekumpulan objek,

3. Proses terjadinya persepsi

Untuk dapat memahami persepsi secara lebih jelas, perlu kita ketahui bagaimana proses persepsi itu berlangsung dalam diri manusia, seperti diutarakan oleh Gibson yang diterjemahkan oleh Wahid (1998).

Proses persepsi meliputi 3 tahapan, yaitu :

a. Kenyataan dalam kehidupan individu (sebagai stimulus)

Misalnya informasi yang diterima baik dari sekolah maupun dari luar sekolah.

b. Pengolahan persepsi

Stimulus tersebut diolah, diorganisasi dan ditafsirkan dengan perangkat-perangkat yang ada. Terdapat juga tiga bagian dalam tahap pengolahan ini, yaitu :

1) Pengamatan stimulus

(7)

Tahap ini disebut juga sensasi, yang melibatkan panca indera sebagai pintu-pintu masuk stimulus ke dalam psikis manusia. Jadi sensasi merupakan bagian dari persepsi.

2) Faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang terhadap stimuli yang diterimanya

Menurut Krech dan Field (1977) yang dikutip oleh Rakhmat (2005), persepsi ditentukan oleh faktor perhatian, fungsional, dan struktural. 3) Evaluasi dan penafsiran kenyataan

Dalam hal ini kenyataan-kenyataan (sebagai stimuli) tadi sudah diolah dalam suatu mekanisme psikis yang rumit dan tak selalu bisa dijelaskan. c. Hasil proses persepsi

Hasil proses persepsi adalah perilaku tanggapan dan sikap yang terbentuk. Dua bentuk hasil tersebut bisa bersifat positif dan negatif. Selanjutnya dua bentuk hasil persepsi tadi akan memberikan umpan balik terhadap stimuli, pengamatan stimuli dan faktor-faktor berpengaruh.

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi

Berikut ini beberapa faktor yang dapat mempengaruhi persepsi baik dari faktor internal maupun eksternal. Menurut Rachmat (2000), adalah sebagai berikut :

a. Faktor Internal 1) Alat Indra

Alat indra atau reseptor merupakan alat untuk menerima stimulus, disamping itu juga harus ada syaraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus yang diterima reseptor ke pusat susunan syaraf, yaitu otak sebagai pusat kesadaran. Sebagai alat untuk mengadakan respon diperlukan syaraf motoris

2) Perhatian

Untuk menyadari atau mengadakan persepsi diperlukan adanya perhatian, yaitu merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan

(8)

merupakan pemusatan atau konsentrasi dari seluruh aktivitas individu yang ditujukan kepada sesuatu atau sekumpulan objek.

3) Pengalaman

Pengalaman mempengaruhi kecermatan persepsi. Pengalaman tidak selalu lewat proses belajar formal. Pengalaman bisa bertambah melalui rangkaian peristiwa yang pernah dihadapi.

b. Faktor Eksternal

1) Objek yang dipersepsi

Objek menimbulkan stimulus yang mengenai alat indra atau reseptor. Stimulus dapat datang dari luar individu yang mempersepsi, tetapi juga dapat datang dari individu yang bersangkutan yang langsung mengenai syaraf penerima yang bekerja sebagai reseptor. Namun sebagian besar stimulus datang dari luar individu.

2) Informasi

Era teknologi zaman sekarang ini lebih dari kata maju, banyak sekali cara untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan dari berbagai sumber yang terpercaya. Baik dari media cetak seperti koran, majalah, tabloid, dll. Serta dari media elektronik seperti TV, internet dengan acara yang kita bisa langsung ikut dalam interaktif didalamnya.

3) Budaya / lingkungan

Kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara sosial oleh para anggota suatu masyarakat.

C. Peran Orang Tua

1. Pengertian Peran Orang Tua

Peran adalah perilaku yang berkenaan dengan siapa yang memegang posisi tertentu, posisi mengidentifikasi status atau tempat seseorang dalam

(9)

suatu sistem sosial. Setiap individu menempati posisi – posisi multipel, orang dewasa, dan pria suami (Friedman, 1998) yang berkaitan dengan masing – masing posisi ini adalah sejumlah peran, di dalam hal posisi ibu, beberapa peran yang terkait adalah sebagai penjaga rumah, merawat anak, pemimpin kesehatan dalam keluarga, masak, sahabat atau teman bermain (Friedman, 1998).

Orang tua merupakan seorang atau dua orang ayah – ibu yang bertanggung jawab pada keturunannya semenjak terbentuknya hasil pembuahan atau zigot baik berupa tubuh maupun sifat – sifat moral dan spiritual (Widnaningsih, 2005).

Orang tua adalah tokoh panutan anak, maka diharapkan orang tua dapat ditiru, sehingga anak yang bersekolah pun sudah mau dan mampu menyikat gigi dengan baik dan teratur melalui model yang ditiru dari orang tuanya (Maulani, dkk 2005).

Peran orang tua adalah seperangkat tingkah laku dua orang ayah – ibu dalam bekerja sama dan bertanggung jawab berdasarkan keturunannya sebagai tokoh panutan anak semenjak terbentuknya pembuahan atau zigot secara konsisten terhadap stimulus tertentu baik berupa bentuk tubuh maupun sikap moral dan spiritual serta emosional anak yang mandiri (Maulani, dkk 2005).

2. Macam-macam Peran Orang Tua

Dalam BKKBN (1997) peran orang tua terdiri dari peran sebagai pendidik, peran sebagai pendorong, peran sebagai panutan, peran sebagai teman, peran sebagai pengawas, peran sebagi konselor.

a. Peran sebagai pendidik

Orang tua perlu menanamkan kepada anak-anak arti penting dari pendidikan dan ilmu pengetahuan yang mereka dapatkan dari sekolah. Selain itu nilai-nilai agama dan moral perlu ditanamkan kepada anaknya sejak dini sebagi bekal dan benteng untuk menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi.

(10)

b. Peran sebagai pendorong

Sebagai anak yang sedang menghadapi masa peralihan, anak membutuhkan dorongan orang tua untuk menumbuhkan keberanian dan rasa percaya diri dalam menghadapi masalah.

c. Peran sebagai panutan

Orang tua perlu memberikan contoh dan teladan bagi anak, baik dalam saat menonton televisi maupun dalam menjalankan kehidupan sehari-hari dan bermasyarakat.

d. Peran sebagi teman

Menghadapi anak yang sedang menghadapi masa peralihan. Orang tua perlu lebih sabar dan mengerti tentang perubahan anak. Orang tua dapat menjadi informasi, teman bicara atau teman bertukar pikiran tentang kesulitan atau masalah anak, sehingga anak merasa nyaman dan terlindungi.

e. Peran sebagai pengawas

Kewajiban orang tua adalah melihat dan mengawasi sikap dan perilaku anak agar tidak keluar jauh dari jati dirinya, terutama dari pengaruh menonton televisi.

f. Peran sebagai konselor

Orang tua dapat memberikan gambaran dan pertimbangan nilai positif dan negatif sehingga anak mampu mengambil keputusan yang terbaik. 3. Faktor Yang Mempengaruhi Peran

a. Faktor Kelas Sosial

Menurut Notoatmodjo, (2003) mengemukakan bahwa kelas sosial ditentukan oleh unsur – unsur seperti pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan. Pendapatan seseorang dari segi finansial akan mempengaruhi status ekonomi, dimana dengan pendapatan yang lebih besar memungkinkan lebih bisa terpenuhinya kebutuhan sehingga yang ada di masyarakat bahwa semakin tinggi status ekonomi seseorang maka akan semakin tinggi pula kelas sosialnya.

(11)

Pada keluarga dengan status ekonomi kurang, peran orang tua merupakan hal paling penting dari sang Ibu, di mana Ibu lebih jauh bersifat tradisional dalam pandangannya terhadap pengasuhan anak dengan suatu penekanan yang lebih besar pada kehormatan, kepatuhan, kebersihan, dan di siplin bila dibandingkan dengan keluarga menengah keatas yang lebih menitik beratkan pada pengembangan pengendalian kekuatan sendiri dan kemandirian prinsip perkembangan dan psikologi dengan orang tua dan anak (Besmer dalam Friedman, 1998).

b. Faktor bentuk keluarga

Keluarga dengan orang tua lengkap yaitu dengan adanya ayah dan Ibu akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anggota keluarga terutama anak, dimana anggota keluarga dengan adanya ayah dan Ibu akan menimbulkan perasaan aman dan nyaman dalam mengembangkan dan memenuhi kebutuhan fisik, mental dan sosial dibandingkan dengan keluarga dengan orang tua tunggal yang hanya mengenal salah satu sosok orang tua sehingga anggota keluarga atau anak mengalami kesulitan mencari identitas diri.

c. Faktor tahap perkembangan keluarga

Tahap perkembangan keluarga di mulai dari terjadinya pernikahan yang menyatukan dua pribadi yang berbeda, dilanjutkan dengan tahap persiapan menjadi orang tua. Tahap selanjutnya adalah menjadi orang tua dengan anak usia bayi sampai tahap – tahap berikutnya yang berakhir dengan tahap berduka kembali dimana dalam setiap tahap individu mempunyai peran yang berbeda sesuai dengan keadaan.

d. Faktor model peran

Individu merupakan bagian dari masyarakat, informasi yang diterima individu terkait dengan masalah sehari – hari dalam masyarakat akan menyebabkan masalah peran pada diri individu tersebut sehingga akan terjadi transisi peran dan konflik peran (Friedman, 1998)

e. Faktor peristiwa situasional khususnya masalah kesehatan atau sakit.

(12)

Kejadian kehidupan situasional yang berhadapan dengan keluarga dengan pengaruh sehat – sakit terhadap peran keluarga. Peran sentral Ibu sebagai pembuat keputusan tentang kesehatan utama, pendidik, konselor, dan pemberi asuhan dalam keluarga (Litman dalam Friedman, 1998).

4. Peran Orang Tua Dalam Mendampingi Anak Menonton Televisi

Keberadaan orang tua dituntut untuk berperan lebih terutama saat menonton televisi yaitu (Maharani, 2010) :

a. Memberi kesepakatan dengan jadwal kepada anak tentang mana acara yang boleh ditonton atau tidak, kapan boleh menonton, waktu beribadah, waktu belajar, waktu tidur, bahkan waktu membantu orang tua di rumah dan berikan sanksi bila melanggar.

b. mendampingi anak-anak pada saat menyaksikan acara televisi dan upayakan dialog atau diskusi mengenai tayangan yang ditonton termasuk juga iklan-iklannya.

c. Memantau terus kegiatan anak di luar rumah, bergaul dengan siapa, dikhawatirkan kalau menonton film-film porno yang ada di rumah temannya yang tidak terpantau oleh orang tuanya.

d. Memberi pendidikan yang mengandung nilai-nilai agama yang harus selalu diterapkan dan ditumbuhkan di rumah yaitu dengan cara mengikutsertakan pendidikan keagamaan di luar jam sekolah, agar anak-anak kita mendapatkan bekal nilai-nilai agama sehingga mampu berpikir jernih, punya rencana dan masa depan yang baik. Apabila ditumbuh-kembangkan pendidikan agama kepada anak-anaknya niscaya apapun arus informasi yang bersifat negative yang datang dari luar ataupun dari kecanggihan teknologi tidak akan berpengaruh bagi anak-anak karena sudah memiliki bekal dan filter untuk menyerap atau menyaring informasi-informasi yang sifatnya negatif.

D. Budaya Televisi

1. Pengertian Televisi

(13)

Televisi adalah sebuah alat penangkap siaran bergambar. Kata televisi berasal dari kata tele dan vision; yang memiliki arti masing-masing jauh (tele) dan tampak (vision). Jadi televisi berarti tampak atau dapat melihat dari jarak jauh. Penemuan televisi disejajarkan dengan penemuan roda, karena penemuan ini mampu mengubah peradaban dunia. Di Indonesia 'televisi' secara tidak formal disebut dengan TV, tivi, teve atau tipi (Wikipedia, 2010).

2. Pengertian Menonton Televisi

Menonton televisi merupakan media peniruan dan penanaman nilai negatif, padahal anak-anak belum mampu membedakan mana yang baik dan buruk serta mana yang pantas dan tidak pantas. Beberapa tayangan anak-anak di televisi memberi pembenaran atas perilaku negatif seperti mencontek, mempertontonkan aib orang lain dan menipu. Belum lagi film-film kartun yang penuh dengan kemunculan bahasa kekerasan, seperti kata-kata goblok, enyahlah, dan sebagainya. Konsumtivisme anak-anak sekarang juga banyak dikaitkan dengan tayangan dan iklan di televisi (Prima, 2009).

3. Pengertian Budaya Televisi

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari budi atau akal, yang diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. (Mobi, 2010).

Budaya televisi adalah budaya yang terbentuk akibat banyaknya tayangan televisi yang menampilkan sesuatu seolah-olah sesuatu tersebut adalah budaya Indonesia (Setyono, 2010).

4. Dampak Televisi

Menonton televisi secara berlebihan bagi anak dapat berdampak dari 3 aspek yaitu:

a. Fisik

(14)

Menonton televisi yang berlebihan juga berkaitan dengan obesitas dan kadar kolesterol darah yang tinggi pada anak (Gortmaker, Dietz, dan Cheng,1990). Aktivitas pasif sering disertai dengan makan. Selanjutnya,anak dapat menggunakan energi mental yang besar dalam memproses pesan audio visual dari televisi, yang mungkin sangat melelahkan dan membuat mereka kurang keinginan melakukan aktivitas fisik selanjutnya.

Menonton televisi mempunyai efek cukup besar dalam menurunkan laju metabolisme dan mungkin terdapat mekanisme hubungan antara obesitas dan jumlah menonton televisi (Klesges, Shelton, dan Klesges,1993). Insidens lemak tubuh meningkat proporsinya sering dengan peningkatan jumlah jam menonton TV. (Wong, 2009).

b. Psikologi

Dampak profil kekerasan TV yang disajikan dalam jangka panjang akan memperparah perasaan kerentanan, ketergantungan, dan ketidakpekaan terhadap kekerasan. Dampak nyata acara kekerasan ditelevisi adalah meningkatnya persepsi pemirsa bahwa dunia ini memang tempat yang kejam dan berbahaya. (Intisari,1999)

Dr. Leonard Eron memulai pengkajian longitudinal yang luar biasa terhadap sekitar 800 anak usia 8 tahun. Ia mendapati bahwa anak-anak yang berjam–jam menonton televisi keras cenderung lebih agresif diruang kelas maupun di tempat bermain (Chen,1996)

Sekalipun seorang anak tidak agresif pada usia 8 tahun, tetapi menonton acara kekerasan di TV dalam jumlah cukup yang banyak, ia akan menjadi lebih agresif pada usia 19 tahun dibanding rekan-rekan sebaya yang tidak menyaksikan kekerasan di TV (Chen,1996)

Tokoh di televisi biasanya di gambarkan dengan berbagai stereotip. Anak kemudian berpikir bahwa semua orang dalam kelompok tertentu mempunyai sifat yang sama dengan orang ditelevisi. Ini mempengaruhi sikap anak terhadap mereka. Karena

(15)

anak suka meniru, mereka merasa bahwa apa saja yang disajikan dalam acara televisi tentunya merupakan cara yang dapat diterima baginya dalam bersikap sehari-hari. Karena para pahlawan yang patuh kepada hukum kurang menonjol ketimbang mereka yang memenangkan perhatian dengan kekerasan dan tindakan sosial lainnya, anak-anak cenderung menggunakan cara yang terakhir untuk mengidentifikasikan diri dan menirunya (Hurlock, 2000)

Kebiasaan menonton televisi dapat membuat anak menjadi pemalu, karena terisolasi dari pergaulannya dengan teman-teman sebaya lainnya. Hal itu yang dapat mempengaruhi psikologi anak. Pengaruh televisi yang merangsang keinginan anak untuk membeli (konsumerisme) demikian besar. Terutama melalui program anak-anak yang diselingi iklan komersial yang demikian gencar. Di negara-nagara maju kemungkinan untuk pindah dari chanel TV komersial ke stasiun non-komersial masih memadai dibandingkan dengan negara-negara yang siaran televisinya terbatas dan didominasi oleh TV komersial. Akibatnya konsumerisme semakin subur, bahkan menggejala sebagai gaya hidup, terutama di tengah-tengah remaja kota-kota besar yang memiliki fasilitas mall dan hyper market seperti di Jakarta atau kota-kota besar lainnya di Indonesia (Firmansyah, 2010).

Menurut psikolog Dadang Hawari, tayangan televisi menjadi modeling bagi perkembangan anak-anak, jika mereka terus-menerus menjadi penonton. Apalagi jika orangtua secara bersama-sama menjadi penonton acara sejenis. Anak-anak akan menemukan pembenaran bahwa acara yang ditonton itu adalah acara yang baik, sehingga muncul naluri meniru segala yang ditayangkan (Firmansyah, 2010).

c. Sosial

Dampak sosial yang muncul apabila anak yang sering menonton tv sendiri tanpa kawan akan memupuk jiwa egoistisnya dan

(16)

melemahkan jiwa empatinya. Untuk itu, anak harus didampingi oleh kawannya atau orang tua sambil mengarahkan berdasarkan isi siaran TV. Oleh karena anak berkembang dari tahap imitasi, kekuatan menirunya akan lebih tinggi tanpa dipikir lebih dahulu (Olivia, 2009). 5. Diet Televisi

Diet televisi adalah rencana penggunaan TV yang orang tua buat bersama-sama anak-anak. Ini suatu pendekatan terhadap TV yang bisa dijalankan oleh seluruh keluarga, dengan memperhatikan tiga prinsip pokok (Chen, 1996), yaitu:

a. Prinsip pertama: mengendalikan menonton TV, maksimum Dua Jam Sehari.

Pada kebanyakan keluarga, menerapkan diet TV berarti memotong waktu nonton total mereka setengahnya, hingga mencapai rata-rata dua jam sehari atau total lima belas jam seminggu. Bagi kebanyakan keluarga, bagian paling sulit dari Diet TV Keluarga adalah mengubah kebiasaan.

Dari pengalaman menentukan batas waktu menonton TV, berhasil mempelajari dua hal penting. Pertama : kejelasan mengenai peraturan amat penting. Agar peraturan bisa dijalankan, kejelasan ini harus ada pada semua anggota keluarga. Kedua : sekali anak-anak tahu batasnya, mereka akan bereaksi. sebagaimana dengan bidang-bidang lain dalam kehidupan mereka, dengan TV pun anak-anak lebih suka mempunyai harapan-harapan yang jelas.

b. Prinsip Kedua: Siapkan Hidangan TV yang seimbang

Pikirkan usaha menyeleksi acara TV sebagaimana orang tua memilih makanan di supermarket. Untuk menyiapkan hidangan TV yang seimbang, buatlah pilihan-pilihan yang dipikir masak mengenai acara TV yang dilihat anak-anak. Orang tua menjadikan kegiatan menonton TV serangkaian tindak yang berpertimbangan, bukan sekadar membiarkan anak menonton apa pun yang ditayangkan. Orang tua juga mengevaluasi program-program dan memilih program

(17)

dengan kandungan tidak berdampak negatif pada anak mengesampingkan program yang tidak terkendali.

Untuk “hidangan utama”, pilihlah program – program yang mempunyai nilai pendidikan atau informative tinggi. Hidangan ini harus berwujud program-program yang mampu mengarah pada bidang pengetahuan dan kegiatan lain serta mempunyai keterkaitan dengan khasanah kehidupan anak-anak

Diet TV keluarga menuntut orang tua agar menjadi konsumen berwawasan luas mengenai TV anak-anak. Jika Anda mempertimbangkan acara-acara apa yang perlu dicantumkan dalam Diet TV keluarga, latihlah anak dengan pemikiran yang sama. Pertimbangkan program acara yang orang tua inginkan agar ditonton anak-anak, begitu pula tokoh-tokoh utama serta pesan – pesannya.

Cara terbaik untuk belajar mengenai apa yang ditonton anak-anak. Orang tua dengan menonton satu–dua acara serial bersama mereka. Dengan menonton bersama anak-anak, orang tua mengirimkan pesan bahwa orang tua menilai tinggi program–program itu, dan orang tua akan lebih siap mendiskusikan program acara mereka dan mengaitkannya dengan kegiatan-kegiatan lanjutan.

c. Prinsip Ketiga : Setelah menonton televisi, jangan cuma duduk – duduk

Jika orang tua dan anak menyeleksi acara-acara bermutu sebagai “hidangan utama”, langkah dalam Diet TV ini dapat benar-benar memberikan hasil edukasional bagi anak.

Setelah menonton suatu program utama bermutu, jangan orang tua duduk-duduk saja. Secara alami acara-acara pendidikan bisa dengan mudah dikaitkan pada kegiatan-kegiatan lanjutan yang bisa dilakukan anak, sendirian atau bersama-sama orang tua setelah pesawat TV dimatikan. Misal dengan kegiatan membaca buku, mengunjungi museum, bermain dengan potongan-potongan papan, dan kegiatan-kegiatan keluarga lain.

(18)

Kegiatan–kegiatan menonton TV seharusnya tidak berbeda dengan kegiatan lain manapun. Gunakan hak prerogratif sebagai orang tua. Ini tidak berarti orang tua harus bertindak semena-mena dan mendikte. Ketika anak memasuki usia sekolah, sebaiknya orang tua melibatkannya dalam pengambilan keputusan yang menyangkut hal-hal ini, sebagaimana anak menyuarakan pendapatnya mengenai apa yang ingin ia makan.

Jika diet TV keluarga meliputi diskusi dan perundingan bersama, anak akan lebih patuh pada rencana menonton. Diet TV harus memberinya saham dalam kegiatan anak menonton TV sendiri, serta pemahaman bahwa menonton TV adalah kegiatan yang bisa anak kendalikan, bukan sebaliknya anak yang dikendalikan oleh TV.

6. Penelitian Terkait

Berdasarkan hasil penelitian Wahyuningtyas (2009), dengan judul : Memahami komunikasi orang tua dan anak dalam proses pendampingan anak menonton televisi. Penelitian ini menggunakan Teori Intraksi Simbolik (George Herbert Mead & Herbert Blumer) dan teori fungsional Ekman and Friesen of Kinesics untuk menjawab tujuan penelitian yaitu memahami pengalaman subjektif komunikasi orang tua-anak dalam proses pendampingan anak menonton televisi. Subjek penelitian ini adalah orang tua atau anggota keluarga inti lain yang terlibat komunikasi tatap muka dengan anak dalam proses pendampingan menonton televisi. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologis. Fenomenologis dipilih karena peneliti berupaya menggambarkan secara mendalam fenomena parental mediation dalam hal ini proses komunikasi orang tua-anak pada aktivitas anak menonton televisi menurut pandangan mereka sendiri.

Penelitian ini yang dikelompokkan dalam tiga tema pokok : 1) Situasi komunikasi antar pribadi orang tua-anak sehari-hari, 2) Persepsi orang tua mengenai tayangan televisi dan perlunya proses pendampingan anak menonton televisi, dan 3) Proses komunikasi tatap muka orang

(19)

anak dalam proses pendampingan anak menonton televisi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proses pendampingan anak menonton televisi tersebut diawali dengan kedekatan hubungan antar pribadi orang tua dan anak sehingga terbangun komunikasi yang terbuka, termasuk ketika mendiskusikan tayangan televisi. Selain itu, proses diskusi yang berlangsung juga dilatarbelakangi oleh persepsi orang tua mengenai tayangan televisi favorit anak. Melalui penelitian ini dapat diketahui tahap-tahap berlangsungnya proses diskusi, yaitu tahap inisiatif awal berupa ungkapan pertanyaan atau gagasan yang disampaikan baik pihak anak maupun orang tua, tahap mendengarkan, dan tahap orang tua memberikan respon atau penjelasan pada anak. Proses komunikasi tatap muka yang berlangsung juga menemukan hambatan komunikasi berupa kesulitan orang tua untuk memberikan penjelasan yang tepat pada anak. Solusi yang dilakukan orang tua adalah dengan menggunakan bahasa anak-anak yang sederhana ketika sedang memberikan penjelasan pada anak mengenai tayangan televisi sehingga anak mudah memahami penjelasan yang diberikan orang tua. (Wahyuningtyas, 2009).

(20)

E. Kerangka teori

Bagan 2.1 Kerangka Teori

Sumber : Friedman (1998), Maharani (2010)

Peran orang tua dalam

mendampingi anak

menonton televisi :

1. Memberi kesepakatan dengan jadwal

2. Mendampingi anak-anak saat menyaksikan cara televisi

3. Memantau terus kegiatan Faktor yang mempengaruhi

peran :

1. Faktor kelas sosial 2. Faktor bentuk keluarga

3. Faktor tahap perkembangan keluarga

Peran orang tua :

1. Peran sebagai pendidik 2. Peran sebagai pendorong 3. Peran sebagai panutan 4. Peran sebagai teman

Dampak televisi bagi anak :

a. Fisik b. Psikologis c. Sosial

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pada Gambar 3 dapat diketahui bahwa semakin tinggi prosentase Roadcel-50 yang ditambahkan ke dalam campuran lapis tipis beton aspal, HRS-WC akan menyebabkan nilai Kadar

Sebaiknya Dinas Pekerjaan Umum dalam kelembagaan pembangunan dan pengelolaan infrastruktur wilayah dalam konteks desentralisasi, memanfaatkan faktor kekuatan yang dimiliki

Pengamatan menggunakan SEM menunjukkan bentuk polihedra pada isolat HearNPV Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, dan Jawa Timur dengan ukuran yang tidak jauh berbeda.. armigera yang

tidak tahan dan kurang tahan yang proporsinya cukup besar mencapai 94%, maka kondisi sosial ekonomi rumah tangga petani, dengan umur yang relatif produktif, pendidikan petani

Menggunakan ventilasi silang untuk penghawaan alami di dalam bangunan dengan bentuk bukaan dan kisi-kisi yang variatif, edukatif dan tidak monoton sehingga anak juga dapat

Merupakan bagian untuk memeriksa apa yang ditekankan atau ditonjolkan atau yang dianggap penting oleh seseorang yang dapat diamati dari teks. Dalam wacana berita,

Karya tulis ini dimaksudkan memberi sumbangan bahan permenungan yang diharapkan dapat membantu para Suster SJD dalam upaya mendalami penghayatan pengabdian kepada Yesus dalam

Oleh karena itu, peneliti berkeinginan untuk mengadakan penelitian dan meneliti skripsi yang berjudul: “ Penerapan Strategi Matrik Ingatan dalam Meningkatkan