• Tidak ada hasil yang ditemukan

1001 Falsafah Jawa Dalam Kehidupan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "1001 Falsafah Jawa Dalam Kehidupan"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

“1001 Falsafah Jawa dalam Kehidupan” Bag. 1 Oleh: Nata Warga

Salam Saudara semua yang dimuliakan Semua Mahluk,

Saya akan coba meluangkan waktu untuk menyampaikan pesan-pesan “Jawa” lewat falsafah nya, yang saya beri judul subjek “1001 Falsafah Jawa dalam Kehidupan”. Di perpustakaan kami ada sedikitnya 400 Falsafah atau lebih, saya akan mulai nulis sehari 1 atau minimal seminggu ada 3, semoga tidak bosan setahun baca ini terus bagi yang ikut di Mailing Diskusi Gantharwa. (Silahkan Gabung di diskusi_gantharwa+subscribe@googlegroups.com kirim email kososng)

Urutan dari falsafah nantinya bukan menujukan berseri atau bersambung, tapi saya tersentuh apa, itu yang saya tulis.

Semoga bisa bermanfaat,

1. “Holopis Kuntul Baris”

Artinya: Bergotong Royong / Bekerja Sama

Dalam hidup manusia yang saling berinterksi satu sama lain, yang mana setiap individu mempunyai keinginan masing-masing yang tentu tidak selalu selaras, maka Kerja Sama adalah cara efektif untuk kembali menyelaraskan keinginan secara kelompok besar dan tentunya dalam hal Benar, semua itu di lakukan dengan tulus tanpa pamrih. Jadi bisa di katakan Gotong royong adalah mempunyai suatu tujuan saling bahu membahu dilakukan dengan tulus tanpa kecurigaan.

- Dalam kehidupan berumah tangga, “Holopis Kuntul Baris” bisa berarti kedua individu yang se”iya” se”kata”, yang mana ini dapat di bangun lewat adanya komunikasi yang efektif. - Dalam hubungan orang tua dengan anak-anak (Guru dan Murid) masing-masing menyelaraskan dan berlaku yang sama sesuai dari hakekat tujuan Hidup.

- Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), lebih mengangkat harkat dan martabat dari nilai kemanusiaan. Nilai kemanusiaan itu adalah cinta kasih, cinta kasih wujudnya adalah selalu saling memaafkan (mengampuni) atau tolerasi, dan selalu saling memberi/murah hati.

2. “Bramara Mangun Lingga”

(2)

Laki-laki dikatakan adalah sosok yang lebih kuat (lambang “Lingga”) secara fisik

dibandingkan dengan wanita, namun secara tidak langsung kebanyakan laki-laki secara psikis sangat lemah dibandingkan dengan wanita… Hal ini di tunjukan dari kesan laki-laki

menutupi diri mereka dengan secara tampak luar bersikap/acting/laku berlebihan, terutama kepada lawan jenis apalagi menaruh hati pada wanita tertentu di sukai.

Tingkah berlebih baik secara verbal maupun non verbal bisa menjadi sangat tampak oleh para penonton di sisi lain.

Dari rayuan sampai cara berpakaian yang berlebih hanya semata-mata untuk menahlukan si wanita.

Secara spiritual, kecenderungan laki-laki ini juga di bawah saat ingin menahlukan seorang wanita dengan berlebihan berpenampilan dengan berpura-pura: berwibawa, santun terkesan bijak, seperti berhati legowo, ingin di tua kan. Yang akkhirnya tujuan untuk menjebak dan mengambil keuntungan dari si wanita. Itulah kira-kira kesan dari falsafah ini.

Maka orang tua (leluhur) mengajarkan untuk bahwa seorang wanita mencintai pria atau sebaliknya haruslah karena masing-masing dalam kejujuran yang bertanggung jawab. Kejujuran bertanggung Jawab adalah bagaimana masing-masing bisa saling membangun bukan mengantikan.

- Dalam kehidupan berumah tangga “Bramara Mangun Lingga”, terjadi biasanya pria nya telah melakukan penyimpangan-penyimpangan atau tidak jujur bertanggung jawab, tingkah laku berlebihan baik secara agresif maupun defensif mengambarkan bahwa pria tersebut sedang bermasalah atau melakukan kesalahan.

- Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), ajaran untuk apa adanya, menjadi diri sendiri dan jujur bertanggung jawab (membangun orang lain), serta tidak minder yang akhirnya bertindak agresif, perlu di contohkan oleh orang tua atau Guru.

- Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), janganlah selalu

menjadikan atau berlomba untuk membuat rumput kita lebih hijau dari tetangga (orang lain), tapi tingkatkanlah kwalitas keluarga (bermasyarakat) dengan niat saling membangun. karena kalau motivasinya adalah untuk pengakuan diri (rumput lebih hijau) maka akan terjebak bahwa terjadi tebar persona, dan bisa berdampak tebar persona pada lawan jenis yang berujung pada penyelewengan/penipuan.

3. “Kenes Ora Ethes”

Artinya: Sombong (harta) tapi Botol (Bodoh dan Tolol)

Antara kesombongan dan kebanggaan kadang menjadi sangat tipis perbedaannya, disaat seseorang menilai perkataan maupun perbuatan orang lain sebagai kesombongan jika hal yang dianggap berlebih dan melecehkan.

Saat ini banyak masyarakat yang mendadak kaya, karena atas dasar kekayaan ini, kadang akhirnya diikuti dengan sikap sombong yang cenderung melecehkan orang lain. Namun

(3)

sangat disayangkan adalah kesombongannya adalah hal yang melekat diluar diri, tidak diikuti dengan pengetahuan atau info yang memadai atau cenderung sangat jauh ketinggalan dan bisa dikatakan Botol.

- Dalam kehidupan berumah tangga “Kenes ora kethes” adalah menyombongkan materi yang dimiliki tapi Botol dalam berumah tangga, seperti contoh

Istri menyombongkan perhiasan didepan temannya, namun soal merawat suami dan anak sangat Botol.

Suami menyombongkan karier/kekayaannya namun soal melindungi istri dan anak sangat botol.

- Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid). Orang tua/guru sering menyombongkan kehebatannya/skill, namun secara transformasi, menyalurkan,

mengestafetkan keilmuan tidak dapat dilakukan karena kebodohan dalam menjaga hubungan orang tua dan anak atau guru dan murid.

- Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), tidak peduli dan cenderung masa bodoh karena ashik pada materi yang dimiliki.

4. “Mburu Uceng Kelangan Dheleg”

Artinya: Memburu hal kecil, kehilangan yang besar.

Perkembangan materialis dalam kehidupan semakin tinggi berbanding lurus dengan banyaknya diciptakan “tools” alat bantu kehidupan manusia yang serba otomatis, semua serba mudah dan gampang, bahkan bisa dikatakan tanpa “tools” penunjang ini manusia tidak bisa hidup.

Hal inilah yang kemudian memberikan input secara terus menerus pada generasi ke generasi untuk akhirnya sangat terantung materialis..

Pada akhirnya ini kemudian yang materialis lebih dikejar dalam hidup daripada yang mistis (kasunyatan).

Ukuran kwalitas hidup akhirnya pula disematkan berkwalitas atau tidak, dilihat bagaimana pencapaian materialis…

Banyak yang berpendapat, biar dapat materi dulu barulah dia mulai masuk pada kasunyatan. Dalam konteks ini sebenarnya adalah mereka telah mempertaruhkan hal besar (nyata) demi suatu hal kecil (maya/materi). Padahal materi dapat diciptakan kalau kita mencapai hal yang nyata ~ “cipto dadi nyato”

Saya tidak mengunakan istilah “korban” atau “berkorban” ataupun “pengorbanan” sesuatu yang besar demi hal kecil.

Karena “pengorbanan” dalam arti sebenarnya adalah kehilangan sesuatu yang baik demi sesuatu yang lebih baik, pada bahasa falsafahnya adalah mengambil kebijaksanaan. Nah.. Falsafah diatas menujukan “ke-Botol-an” bukan kebijakan.

(4)

- Dalam kehidupan berumah tangga “Mburu Uceng Kelangan Dheleg” adalah bahwa lebih penting adalah kesatuan dan kemanunggalan diatas segala-galanya dari apa yang dikejar. Ada satu istilah bahwa kalau usaha atau karier mau bagus maka biasanya keluarga berhasil secara kwalitas.

Kerakusan demi egoisme kenyamanan sering mengorbankan kehidupan keluarga. Saling membangun keluarga, maka hal yang lain (materi) akan mengikuti.

- Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), orang tua sering memaksakan anaknya untuk berprestasi berakedemik dari pada mengajarkan cara logika berpikir, atau lebih senang anaknya sanggup menghapal, daripada anak mengerti. Demikian guru menitik beratkan fanatisme ajaran daripada esensi ajaran.

- Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), nilai kemanusiaan harus diletakan diatas segalanya. Kehilangan nilai kemanusiaan demi pengejaran nilai lain adalah penurunan derajat kemanusiaan itu sendiri..

5. “Mburu Kidang Lumayu” Artinya: mengejar hal yang sia-sia.

Terkadang dalam kehidupan kita, terutama saat kita banyak yang mempertahankan hidup materi dengan berjuang habis-habisan, sering kita terbentur, apakah sudah cukup atau berlebihankah kita mengejar hal-hal materi? Apakah ini bukannya sia-sia kalau memang materi adalah maya? Namun bagaimana tanggung jawab sebagai manusia yang harus menghidupi orang lain/keluarga minimal kepada orang tua, saat mereka membutuhkan bantuan kita dalam kehidupan materi ini.

Ukurannya menjadi sangat sulit sebagai penimbang akan cukup tidaknya dalam mengejar urusan materi. Masing-masing punya ukurannya sendiri..

Tips yang pernah diberikan adalah saat anda mengejar sesuatu materi, maka bersamaan itu buatlah kebajikan, maka itu tanda bahwa anda mengejar sesuatu dengan tidak sia-sia.. Jangan pula terbalik, melakukan kebajikan demi sesuatu.

- Dalam kehidupan berumah tangga “Mburu Kidang Lumayu”, bisa berarti jangan menyombongkan hal yang belum ada yang sedang kita kejar.

- Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), mengajarkan hal yang penting, akan menhindari pengejaran hal yang sia-sia dikemudian hari, hal yang penting adalah meletakan kebajikan diatas pengejaran materi.

- Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), jangalah berdusta dengan membohongin hal yang sebenarnya kita tidak punyai dan dengan memaksakan diri.

6. “Tinggal Nglanggancolong Playu” Artinya: Menghindari Tanggung jawab.

(5)

Kepasrahan atau sumeleh dikatakan sebagai ilmu tertinggi, dan hampir dari semua memakai ilmu ini untuk secara halus menghindari tanggung jawab.

Adalah kepasrahan yang semu jika sesuatu telah terjadi dan kita katakan pasrah saja, yang tentu kita lalu beranggapan: mau apalagi, memang sudah demikian adanya, pernyataan demikian justru menjerumuskan kita menjadi manusia yang tidak bertanggung jawab. Tanggung jawab adalah langkah awal dari suatu kepasrahan yang total / Sumeleh.

Maksudnya adalah bahwa tanggung jawab atau kepasrahan ditaruh diawal suatu kejadian, bukan diakhir atau hasil dari suatu kejadian. Maka kepasrahan adalah suatu laku yang aktif dalam menanggung semua laku kita (jawaban), sehingga inilah yang dinamakan tanggung jawab.

Namun yang sering kita jumpai justru pasrah ditaruh setelah ada kejadian yang sifatnya menderita, kita berseru:” ya.. Pasrah saja deh..” Yang mana ini adalah laku pasif yang menhindari tanggung jawab.

- Dalam kehidupan berumah tangga “Tinggal Nglanggancolong Playu”, adalah sikap yang saling menhancurkan, bisa terjadi karena salah satu atau berdua tidak punya kemauan yang baik untuk tetap manunggal.

Wanita sering memposisikan diri atau diposisikan dalam kepasrahan semu (menghindari tanggung jawab) lantaran adanya budaya Patriakat (laki lebih unggul), akhirnya punya sikap mental bahwa hidup hanya jalani saja, pasrah saja, emang sudah demikian. Dan celakanya banyak para laki yang memanfaatkan cela ini, dan akhirnya berujung egoisme masing-masing.

Sikap baik pria dalam budaya patriakat harusnya mensetarakan wanita, dan parsa wanita harus mensejajarkan dalam kedudukan peran masing-masing, sehingga saat melangkah akan betul pasrah dan bertanggung jawab.

- Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), contoh atau teladan yang benar dari orang tua atau guru adalah hal yang utama dalam mengajarkan bertanggung jawab atau pasrah yang benar. Dimulai dari melakukan apa yang diajarkan dan dimegerti oleh sang guru. Namun murid juga di harapkan agar belajar untuk melakukan yang diajarkan, tidak hanya dari contoh laku yang diberikan.

- Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), yang merasa mengerti lebih aktif berlaku tanpa perlu mendakwa, menuntut, menghakimi, dan akhirnya menghukum. Yang merasa tidak mengerti, agar belajar dan lakukan yang dimengerti saja. Bertanggung Jawab dimasyarakat adalah memiliki sikap mental untuk saling membangun dalam segala perbuatan yang akan dimulai.

7. “Tuna Sathak Bathi Sanak”

Artinya: Kehilangan harta, tambah saudara.

Dewasa ini, hubungan dan status sosial dalam berinteraksi dengan orang lain diukur dari harta, harta yang dimaksud antara lain gaya hidup, jumlah kekayaan, jabatan atau posisi,

(6)

backing.

Interaksi manusia sudah bergeser dari tujuan yang tadinya saling asah asih asuh, telah menjadi mencari komunitas yang sama, yang sewarna, atau membentuk kelompok elit. Hubungan persaudaraan sebenarnya begitu penting bahkan diatas hal materi, atau bisa dikatakan hubungan persaudaraan adalah hubungan kemanusiaan, dimana masing-masing memanusiakan yang lain atau saling menghidupi.

Menjunjung tinggi kerelaan dengan bermurah hati demi kemanusiaan adalah sikap memiliki welas asih.

Pertanyaannya adalah seberapa besar saya harus bermurah hati? Jawabnya adalah berikanlah sampai anda sudah mulai merasa keberatan (terbebani), dan tambahkanlah semangat lebih, melebih diatas keberatan.

- Dalam kehidupan berumah tangga, “Tuna Sathak Bathi Sanak”, tidak dalam kategori pendapat yang kita cukup kita kenal adalah uang tidak mengenal saudara, uang bisa membeli teman (saudara). Namun adalah ada saatnya kita harus melepaskan keterikatan dengan harta demi menjujung kemanunggalan dalam keluarga, janganlah jadikan harta menjadi ukuran atau timbangan.

- Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), mengajarkan untuk senantiasa bermurah hati, mementingkan kesatuan dalam persaudaraan, walau harus kehilangan harta benda.

- Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), menjunjung tinggi saling asah asuh asih melebihi berkompok sesuai latar belakang jauh lebih penting untuk

membangun suatu persaudaraan yang universal. 8. “Sanding Kebo Gupak”

Artinya: Terpengaruh jelek karena lingkungan yang jelek.

Manusia sejarahnya dipengaruhi 4 hal yang membantuk karakter diri mereka, ke-4 hal tersebut adalah dari sejak kecil dipengaruh oleh orang tua, beranjak remaja sampai dewasa mulai dipengaruhi oleh lingkungan, berikutnya lalu akan sama-sama dipengaruhi oleh keyakinannya (agama/kelompok/organisasi/pandangan/ideologi), dan yang terakhir di pengaruhi oleh dirinya sendiri yang apa adanya.

Kalau kita masih merasa bisa di pengaruhi, janganlah coba-coba untuk masuk suatu lingkungan yang mau kita rubah, karena kita akan terpengaruh dan berubah, apalagi lingkungan tersebut adalah lingkungan yang penuh kejelekan.

Induksi yang di terima manusia sepanjang hidupnya, mempengaruhi manusia dalam memiliki keinginan (impian) sampai kepada suatu tindakan. Lain halnya pada suatu saat manusia terbebas dari pengaruh atau induksi, dia sendiri yang mengambil keputusan secara sadar, yang benar maupun yang jahat.

(7)

bergaul dengan pencundan… Ini juga sebagai gambaran bahwa karakter manusia sangat tergantung lingkungan yang mempengaruhi, atau lingkungan mempengaruhi manusia.. Nah.. lalu kalau lingkungan sudah seperti kumbangan, apakah lantas kita kebagian jeleknya saja?

Baik secara langsung dan tidak maka mau tidak mau memang demikian itu terjadi, namun permasalahannya pengaruh kuat yang ke-4 yaitu dari dirinya sendiri yang apa adanya, suatu saat akan muncul, disaat itulah seseorang manusia memilih untuk tetap dalam pengaruh lingkungan atau menjadi berbeda (ngeli) positif dengan menyempurnakan pengertian dia (cara berpikir/kesadarannya) untuk menjadi unik tanpa pengaruh.

Menjadi manusia yang beperanan utama itulah hakekat dari hidup secara duniawi. Yang menentukan harga diri manusia adalah diri nya sendiri.

- Dalam kehidupan berumah tangga, “Sanding Kebo Gupak” masing-masing bertanggung jawab untuk bisa mempengaruhi secara positif terus menerus, jangan sampai memberi pengaruh yang jelek terutama atas dasar ketidak percayaan, ketidak terbukaan, sehingga komunikasi menjadi mandek.

- Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), orang tua atau guru diharapkan menjadi katalisator positif agar anak atau murid bisa menjadi manusia menemukan diri mereka apa adanya agar bertumbuh menjadi pribadi yang unik. Jika orang tua atau guru bersifat seperti memerangkan diri sebagai Durno yang mempersonifikasikan hal jelek, maka anak atau murid haruslah menjadi bimo yaitu “sapa temen tinemu”

- Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), menjaga kondisi yang tetap kondusif dilingkungan masing-masing dan juga lingkungan dalam suasana positif terhindar dari gosif, bisa akan membangun karakter yang positif secara kolektif.

9. “Jalma Angkara Mati Murka”

Artinya: “Kemalangan karena tindak anarkis sendiri”

Secuil bentuk emosional adalah senjata penghancur ampuh dan efektif yang sangat

tradisional sejak manusia ada. Penghancuran ini lebih ditujukan kepada diri sendiri, memang kadang kita melihat bahwa tindakan yang agresif dengan kemarahan, kebengisan, buas, yang menjadi korban adalah orang lain, namun sebenarnya seperti bumerang yang akan berbalik dengan kekuatan yang sama atau lebih karena efek dorongan hal lain.

Untuk itulah dibutuhkan suatu bentuk “Kesadaran” dan “Pengamatan” sehingga emosional tidak menjadi energi agresif yang mendorong terjadinya kemalangan pada diri sendiri yang terus menerus baik saat ini, sampai kedepan maupun kehidupan ini sampai kehidupan berikutnya.

Angkara Murka akan merusak Kesadaran Roh (Sukma) Sejatinya manusia, disebut merusak artinya mundurnya kesadaran akan kemanunggalan/Unity, lalu mundurnya welas asih/Budhi, lalu mundurnya kemampuan/potensi, dan akhirnya menjadi perusak.

(8)

- Dalam kehidupan berumah tangga, “Jalma Angkara Mati Murka”, menghindarilah cara berpikir yang mencela, menghindarilah dengan berkata-kata mengitimidasi pasangan, menghindarilah berlaku kasar. Lebih menjaga “Tata Basa lan Tata Laku”

- Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), orang tua / guru yang welas asih bukan dilihat dari usia nya, tapi bagaimana mereka bisa menjaga dan menyelaraskan kawruh (pengertian) mereka dengan laku mereka. Anak / Murid dalam menghargai orang tua/guru bukan dengan memuji-muji sambil berlaku anarkis, tapi yang menerapkan ajaran welas asih/budhi-lah.

- Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), saling selalu

memaafkan/mengampuni kesalahan dari orang lain, dan berlomba-lomba menjadi yang utama menjunjung kesatuan ukuran dalam menciptakan kemanunggalan akan menghindari dari tindakan anarkis. Tidak hanya menghargai perbedaan tapi kita harus melangkah menjadi Bhinneka Tunggal Ika – We are One – No you no me but Us – Aku adalah engkau dan engkau adalah aku.

10. “Ciri Wanci Lali Ginawa Mati”

Artinya: Hal buruk yang hanya bisa dirubah setelah mati.

Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama. Pribahasa ini akrab dengan kita sebagai nasehat untuk manusia agar berbuat baik agar namanya bisa dikenan dan menjaga nama baik keluarga.

Ada juga yang mengatakan, ukuran hebat tidaknya seseorang (bisa positif – bisa negatif), bukan dilihat dari berapa banyak orang yang datang menghadiri undangan saat

perkawinannya atau mengawinkan anaknya, tapi hebat tidaknya adalah dilihat dari banyak tidaknya yang datang melayat saat dia mati.

Terlepas dari kenangan orang lain dan banyak penghargaan yang diberikan kepada yang sudah meninggal, yang lebih penting adalah apakah kita pribadi telah meninggalkan hal benar/budhi bagi kehidupan orang lain? Dan hal benar tadi sebagai kesadaran dalam perjalan Roh pribadi sendiri.

Jika hal buruk yang kita lakukan, tidak hanya membuat kita terhambat, tapi lebih pula mempengaruhi orang lain. Sehingga jika sepanjang masih hidup maka kita masih berlaku buruk, hal ini akan membuat menjadi permanen sehingga sampai tidak dapat diubah, maka untuk orang lain, pengaruh buruk bisa jadi baru hilang kalau kita sudah mati, dan hal buruk akan diperbaiki jika kita alami kematian fisik untuk kembali belajar lagi.

- Dalam kehidupan berumah tangga, “Ciri Wanci Lali Ginawa Mati”, mumpung kita masih hidup dan bersama dengan pasangan, hendaklah bisa merubah segala hal buruk yang dapat menyakiti pasangan, baik secara pikiran, perkataan, maupun tingkah laku.

(9)

- Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), pengaruh hal buruk dari orang tua / guru sangat dapat membuat anak/murid bertingkah buruk, dan kadang harus menunggu orang tua / guru mati dulu, baru sang anak/murid bisa terbebas dari doktrin buruk.

- Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), tinggalkanlah hal baik, maka akan membangun masyarakat yang baik di generasi yang akan datang.

11. “Ngalasake Negara”

Artinya: “Tidak nurut aturan negara”

Kehidupan berbangsa dan bertanah air adalah suatu komitmen hidup bersama dibawah naungan suatu ideologi yang telah di rumuskan oleh pendahulu kita, sehingga itulah komitmen yang harus di pegang setiap insan kebangsaan.

Hari-hari kita selalu disuguhi informasi mengenai kondisi bangsa dan negara, kita sering merasa ngreget, geram tentang tingkah laku yang dilakukan oleh dari level bawah sampai atas kehidupan berbangsa dan bernegara.

Keprihatinan kita bahwa kandungan komitment dari ideologi telah di ingkar (tidak nurut) menjadi sumber dari masalah negara saat ini.

Salah satu ideologi untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur, telah menjadi menciptakan “aku” adil dan makmur dengan segala cara adalah bentuk dari pelanggaran terhadap negara.

Kita semua harus kembali lagi kepada semangat yang sama yaitu semangat “Gotong Royong” dalam segala aspek hidup, karena gotong royong bisa di katakan unsur pengikat dalam kebebasan/kemerdekaan yang dalam kemanunggalan.

- Dalam kehidupan berumah tangga,”Ngalasake Negara”, Keluarga adalah unsur terkecil atau miniatur dari suatu negara, jika semua keluarga melaksanakan kehidupan kenegaraan secara baik, maka negara tentu kuat. Seorang motivator keluarga dipanggil Ayah Eddy mempunyai motto: “Indonesia Strong From Home”, yang menjadi perenungan bagi saya bahwa keluarga punya peran penting menentukan nasib suatu negara.

- Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), pendidikan -> transfer ilmu -> ngasuh kawruh, menjadi kunci dari menghindari adanya ketidak nurutnya terhadap negara. Maka penting bagi orang tua / guru memberikan pandangan kenegaraan yang tepat, dari sekedar menciptakan fanatisme dan menciptakan utopia yang tak ada manfaat tentang kenegaraan.

(10)

- Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), kembali lagi mari kita bergotong royong. Mari kita ciptakan tertip dan disiplin pada aturan. Mulai dari keluarga masing-masing, maka akan berdampak besar karena secara akumulatif menciptakan kondisi yang kondusif. Mother Theresa mengatakan: “Dunia ini akan bersih, jika setiap orang (Rumah) mengambil sapu dan menyapu halamannya sendiri”

12. “Obah Ngarep Kobet Mburi”

Artinya: Bersusah dahulu, bersenang kemudian.

Apa yang telah menjadi komitmen hidup untuk mencapai kesejatian diri sudah jelas bahwa semua kembali kepada diri sendiri. Pepatah tua mengatakan, sebelum mengalahkan apapun maka harus mengalahkan diri sendiri.

Memanjakan diri dengan suguhan dispensasi yang sering diberikan dengan mantra ajaib: “gimana entar saja” akan membuat manusia semakin tidak peka dan tidak “sadar diri”. Jika seseorang tidak mau mengakhiri secara sungguh-sungguh kemanjaan diri yang memabukan, maka sungguh tragis nanti kehidupan yang sesungguhnya.

Kesusahan yang dirasa bagi suatu kesungguh untuk mencapai kesejatian diri adalah

kesusahan fisik semata (materi). Jika seseorang berani mempertaruhkan diri, itu ibaratnya dia sedang menyusun batu demi batu untuk jalannya sendiri agar menjadi mulus.

- Dalam kehidupan berumah tangga, “Obah Ngarep Kobet Mburi”, kata-kata aku akan selalu setia dalam untung dan malang, sehat dan sakit, sampai kematian memisahkan kita.. Suatu pernyataan hidup yang menyatakan diri untuk senantiasa siap dalam kesusahan apapun untuk mencapai keluarga yang berkwalitas.

Masing-masing harus siap untuk suatu kesusahan yang semu, demi untuk saling membangun diri yang sejati.

- Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), senantiasa akan mengajarkan kedisplinan bagi anak/murid, dan hal ini tentunya bisa dianggap sebaga suatu kesusahan yang membatasi semua “semau gue-nya” anak/murid. Maka kadang larangan bukanlah ditujukan untuk sebagai ajaran, tapi lebih menunjukan bahwa anak/siswa belum bertumbuh atau belum mengerti.

- Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), kondisi susah dalam hal ini jangan dianggap bahwa kita berbuat menyusahkan orang lain itu benar adanya, hal itu sama sekali tidak sama.

Sesama penghuni kehidupan ini, hendaknya kita saling support untuk mencapai agar lebih baik dalam bermasyarakat. Mari kita tetap saling bergandeng tangan dalam menapaki kehidupan ini. Berat sama dipikul, kalau ringan kita jangan bebankan/beratkan yang lain. 13. “Kethek Saranggon”

(11)

Jahat disini adalah orang yang melakukan balas dendam yang tak pernah habis dan orang yang merebut hak yang bukan miliknya dengan cara pemaksaan (apapun). Kekhawatiran terbesar dari kita adalah bahwa siklus dendam dan rakus dari manusia yang tidak habis akan menyebabkan keterkaitan Karma Buruk bagi kesatuan umat manusia, yang menyebabkan degladasi Atma yang terus menerus merosot.

Sejak awal bahwa banyak ajaran yang tidak memiliki sifat larangan – Jangan – Ojo – Tidak – dsb-nya, namun beriring dengan terbentuknya kelompok-kelompok yang lepas dari ajaran Budhi, maka pada tingkat ajaran yang lebih bawah muncullah ajaran yang bersifat kata negatif atau larangan tadi, contohnya bisa dikatakan awal ajaran adalah Maafkan/Ampuni orang lain, karena kemerosotan maka kata depannya ada kata larangan seperti Jangan Mendendam/membalas (Ojo mbalas dendam).

Sekarang inilah saatnya setiap dari kita agar keluar dari lingkaran laku jahat (dendam dan rakus), jika sudah demikian maka saatnyalah kita ada penyadaran diri tidak karena larangan bahkan ancaman. Karena kalau kita terus menerus dalam lingkaran laku jahat, maka kita telah menciptakan pusaran kesengsaraan/penderitaan yang mendalam bagi Atma diri kita maupun yang ikut terseret didalamnya karena tak berdaya upaya karena memiliki upaya jahat.

- Dalam kehidupan berumah tangga, “Kethek Saranggon”, senantiasa selalu menciptakan suasana saling mengampuni dan memberi, jika saat ini terlibat dalam dendam dan kerakusan, segeralah keluar dari sana, sebelum terseret dan terjadi kehancuran dalam keluarga. Dendam dan kerakusan tak mengenal saudara, sahabat, semuanya bisa dilibas dan menjadi korban. Kita tidak bisa menduga kita menciptakan kerusakan yang parah, jika tidak segera keluar dari sana.

- Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), yang mengajarkan dendam dan kerakusan akan merusak anak/murid secara “dalam”. Efeknya bergenerasi generesi terus menerus, dan ini sangat menyedihkan semua mahluk, sebab untuk kembali atau membalikan, sangatlah sulit dan akan banyak memakan korban.

- Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), fungsi budaya, segala seni, dan tataran kemasyarakat yang ada ritual acara adalah ajaran/pesan dari leluhur kita untuk membangun masyarakat dalam kumpulan dan kegiatan yang baik, agar masyarakat tidak terjebak pada kumpulan yang jahat.

Saya sangat bangga dengan beberapa daerah di Sumatera, dan juga pagelaran wayang di jawa, seni tari, dan kebgiatan budaya, karena memberi dampak kehidupan yang baik.

Kebanggaan juga di tujukan kepada Pulau Dewata yang terus kegiatan setiap hari tidak lepas dari budaya kegiatan yang bersifat saling kumpul, seni, kegiatan yang melepaskan

berkembangnya kumpulan yang jahat.

Mari kita dukung segala bentuk upaya orang-orang yang senantiasa akan melakukan

kegiatan-kegiatan seni budaya. Termasuk budaya Sarasehan – Diskusi harus kita tingkatkan. 14. “Rukun Agawe Santosa, Crah Agawe Bubrah”

(12)

Artinya: Dalam kesatuan ukuran hidup sentosa, dalam perselisihan hidup sengsara/rusak Saat terjadi diskusi politik di media televisi, para politikus berteriak-teriak sambil menunjuk lawan bicaranya, dan yang lain ikut mensoroki, terkesan memang inilah yang patut di pertontonkan akan moral sebenarnya manusia Indonesia. Dalam arti jika kita melepaskan semua sekat dan aturan atau formula dalam kehidupan ini (tanpa hukum), maka secara jelas bahwa sikap mental dan kondisi batin yang apa adanya yang menunjuk pada tingkah laku yang berselisih, ketidak puasan, iri, dengki, ingin mengalahkan. Inilah kita, ya.. inilah kita yang belum hidup dalam kesatuan ukuran..

Sehari-hari kita banyak hidup dengan memakai topeng, karena kita masih memelihara prinsip mental yang tidak “Rukun”. Ternyata kita masih dalam tingkatan merusak.

Namun demikian, beberapa cahaya walau kecil bersinar dari orang-orang yang mau tetap Rukun atau hidup dalam berkesatuan ukuran, menjadi secerca harapan bagi terciptanya Ke-Sentosa-an hidup. Apakah anda adalah salah satunya? Apakah anda MAU menjadi bagian darinya?

Jika IYA maka terSENYUMlah dan lepaslah dari segala masalah. Seorang bijak berbisik pada saya puluhan tahun lalu:

“Aku adalah AKu yang apa adanya, itu sudahlah cukup…

Walaupun tidak ada yang pedulikan aku didunia ini, aku tetap puas, sebab Aku senang bukan karena dunia ini baik adanya, tetapi dunia ini baik adanya karena Aku Senang”.

Perenungan yang baik untuk bisa kita saling tetap RUKUN.

- Dalam kehidupan berumah tangga, “Rukun Agawe Santosa, Crah Agawe Bubrah”, saat terjadi perselisihan, segeralah selesaikan dengan Komunikasi yang efektif dan tetap tersenyum, jangan biarkan perselisihan sampai matahari melewati ubun kita atau matahari melewati telapak kaki kita. Jangan Menunda.

- Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), pendidikan atau transfer pengertian sangat dipentingkan adalah untuk mengajarkan Kesatuan Ukuran dalam konteks tidak

mengedapankan maksud-maksud/pengertian dasar, yang cenderung merusak atau agresif brutal.

- Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), selalulah adanya membuka tali silaturami dengan prinsip ajaran Budhi yang saling Asah, Asih, Asuh. 15. “Jer Basuki Mawa Bea”

Artinya: Setiap keberhasilan ada harga yang dibayar.

Dalam dunia bisnis, kata-kata “no free lunch” menjadi slogan, bagi yang mau sukses harus berani bayar harganya… Harga dibayar bisa dari hal apa saja… Ukuran kesuksesan juga tidak ada standarlisasi, masing-masing berbeda. Sehingga harga yang dibayar juga tidak sama, walau standar nilai pencapaian bisa sama.

(13)

Kenapa bisa berbeda, karena dari setiap diri berbeda tanggungan, berbeda proses, atau berbeda karma spiritualnya.

Basuki berarti Rahayu, keselamatan, pencapaian pembebasan. Untuk setiap diri yang menuju pada “Basuki”, harus sangat menyadari bahwa tanpa adanya pembayaran: siap terima

konswekensi apapun, dan pengorbanan: menyerahkan yang baik demi sesuatu yang lebih baik, maka tanpa “harga itu” akan mengalami kebuntuhan.

- Dalam kehidupan berumah tangga, “Jer Basuki Mawa Bea”, tanpa meninggalkan

kepentingan diri dan gengsi maka pencapaian kemanunggalan keluarga. Untuk meninggalkan semua itu (bayar harga) perlu selalu SALING adaptasi, SALING toleransi, SALING orentasi dalam hidup.

- Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), seorang anak atau murid yang tidak menyerahkan diri secara penuh, maka sulit mencapai hasil maximal. Orang tua atau guru harus senantiasa selalu siap untuk memberikan hal baik untuk mencapai ke-basuki-an anak/murid.

- Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), jangan menuntuk

pengorbanan orang lain dulu untuk mencapai masyarakat adil makmur, tapi mari setiap dari keluarga/masyarakat kecil berlomba-lomba yang paling cepat memberikan yang terbaik untuk masyarakat agar mencapai adil dan makmur.

17. “Omahe Dhewe, Meksa Luwih Becik Ing Omahe Dhewe”

Artinya: Sebagus-bagusnya rumah lain, masih tetap bagus rumah sendiri.

“Home sweet home” mungkin adalah kalimat yang bisa menandingi falsafah diatas… Pernah saya juga mendapatkan 1 kiriman SMS bahwa kita dengan uang bisa membeli House

(Tempat tinggal), tapi belum tentu bisa membeli Home (tempat kehidupan berkembang).. Rumah sendiri disini adalah kata yang tidak hanya sebagai kata benda, tapi bisa berfungsi sebagai kata kerja, kata tempat, seperti yang bisa bermakna proses kehidupan, juga menunjuk disini dan disitu.

Sehingga sisi makna ini boleh dikatakan kita sering mengkultuskan kehidupan orang lain, tapi lupa bahwa kita sendiri memiliki kehidupan yang harus di kembangkan, kehidupan yang harus terus berproses untuk maju..

Walaupun memang secara materi memang lebih nyaman di rumah sendiri (dalam arti harus dirawat terus), yang mengajarkan kita hendaklah tetap selalu bersyukur dengan apa yang kita punya.

Ini juga penyebab budaya Pulang Kampung pada saat liburan, karena merasa nyaman dan bangga milik sendiri.

- Dalam kehidupan berumah tangga, “Omahe Dhewe, Meksa Luwih Becik Ing Omahe Dhewe”, jika dari salah satu personal di keluarga sudah tidak betah di rumahnya sendiri, itulah tanda-tanda bahaya yang harus di waspadai, karena baik semangat hidup dalam

(14)

kebersamaan dan ketetapan hati, pastinya ada gangguan. Cara efektif adalah mulai berpikir untuk merawat bersama, bukan menunggu perawatan dari orang lain (pasangan, pembantu), ciptakan kenyamanan dengan mulai hidup bersih.

- Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), orang tua / guru haruslah dapat membuat anak-anak/murid nya agar nyaman, sehingga pada saat transfer pengertian dapat terjadi tanpa adanya gangguan lain. Cara yang sederhana adalah selalu membuka diri untuk menyambut mereka.

- Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), walau masing-masing keluarga mempunyai rumah-nya yang terbaik, itu bukan berarti saling menjelekan atau menjatuhkan, tapi hendaklah saling menjadi pelengkap untuk membangun kenyamanan di keluarga masing-masing, sehingga proses kehidupan bersosial dapat terbangun secara sehat. Datang dan kunjungilah saudara kita yang lain secara rutin, itu juga berdampak pada

kerinduan akan ‘pulang’ kerumah kita. 18. “Obah Mamah”

Artinya: Ada usaha, akan dapat rejeki (makan)

Siapa bilang mencari uang itu sulit, mempertahankan urusan perut itu sukar? Jika iya, maka boleh jadi karena memang usaha yang tidak dilakukan (tidak mau gerak), atau yang kedua adalah rakus atau tidak pernah puas.

Manusia hanya bisa dijatuhkan oleh dirinya sendiri, maka jika orang mengatakan dia kekurangan maka yang salah adalah dirinya sendiri.

Lalu pertanyaanya muncul, saya sudah berusaha keras, telah banting daging remukan tulang, kerja keras, tapi saya tetap masih kekurangan, saya tetap masih miskin, saya tetap makan secara teratur yaitu sehari makan sehari tidak, sehari makan, sehari tidak.

Padahal katanya kalau ada usaha pasti dapat rejeki (makan).

Mungkin akan di jawab, “Ooohh.. kalau memang bukan rejekinya maka mau di kejar akan tetap tidak dapat”, atau ada juga mengatakan bahwa “anda tidak beruntung, coba lagi”. Semua itu sebagai penghibur agar kita tetap bersemangat.

Usaha tidak hanyalah dari keras tidaknya, lama tidaknya, banting remuk tidaknya, tapi Usaha adalah suatu aktifitas yang harus didukung dengan ketepatan seperti gerak mengunyah (Obah), mengunyah aktifitas yang penuh ketepatan sehingga lidah tidak tergigit sendiri, dan kalau setiap kunyah dan tergigit lidahnya maka usaha yang tidak tepat atau ngawur. Jadi ibarat orang kerja keras tanpa hasil malah sengsara, itu adalah mengunyah dengan lebih banyak tergigit lidahnya.

Untuk bisa tepat, maka belajar dan berlatih, belajar dan berlatih, kemudian belajar dan berlatih.. Demikian juga dalam kehidupan kita ini.

- Dalam kehidupan berumah tangga,”Obah Mamah”, saling mendukung dan memberikan semangat adalah penambahan darah seger terus menerus agar usaha-usaha yang dilakukan

(15)

secara tepat akan menghasilkan. Pembelajaran diri untuk peningkatan diri adalah sebagai kewajiban untuk/demi usaha yang lebih maximal dan menuju pada sikap mental untuk selalu haus akan ilmu, harus ditanamkan dalam hidup berumah tangga.

- Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), anak/murid hendaknya senantiasa berusaha apa yang diamanatkan kepada mereka, karena itulah yang akan menjadi

pengembangan diri secara utuh.

- Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), usaha-usaha yang kita lakukan haruslah berbentuk atau menjadi suatu karya nyata yang bisa menjadi manfaat bagi orang lain, jika usaha yang bersifat menhancurkan kesatuan masyarakat, nah ini bukanlah maksud falsafah yang dimaksud.

19. “Nek Wis Kecekel Kuncunge, Kecekel Sarimu”

Artinya: Saat terpengang ekornya (kepercayaan), maka terpengang sari jiwamu.

Kemajuan manusia ternyata sangat tergantung pada para pemeran utama (leader) dalam kehidupan kita, demikian halnya kemunduran juga tergantung dari para pemeran utama. Hal ini dikarenakan bahwa para pengikut (follower), sangat sekali tergantung akan para pemeran utama.

Maka para pengikut yang telah terpegang sari jiwa-nya, akan sangat mudah diarahkan oleh para pemeran utama, secara baik maupun jelek. Ibarat kerbau yang dicucuk hidung, kemana saja akan ikut.

Setiap manusia adalah beperanan utama dalam bidangnya masing-masing, maka hendaklah bahwa memiliki sifat Budhi welas asih, agar bisa membangun, memperbaiki kehidupan manusia lainnya dalam jangkauannya.

Maka sederhananya adalah mari kita berlomba berbuat kebajikan.

- Dalam kehidupan berumah tangga, “Nek Wis Kecekel Kuncunge, Kecekel Sarimu”, jika salah satu pasangan telah percaya, mempercayai, maka hendak dipakai dengan kesadaran kebenaran, bukan untuk dikhianati.

- Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), orang tua dan murid adalah penyembuh bagi anak/murid, jangan sebaliknya menjadi racun/virus yang menghancurkan anak/murid.

Orang tua/guru, juga harus tidak berhenti belajar.. Harus terus senantiasa meningkatkan diri.. - Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), kalau sebagai pemimpin di masyarakat, maka harus bisa menjadi yang adil dan bijak bagi semua golongan, bukan mengadu dan memecah kesatuan bermayarakat.

(16)

Hal ini bisa di tempuh dengan tidak menjadi fanatik dan munafik, tapi apa adanya dengan hati nurani yang paling jujur.

20. “Becik Ketitik, Ala Ketara”

Artinya: Kebaikan akan tampak, keburukan akan terlihat.

Pamrih… Adalah kata yang mendasari tindakan dari yang dilakukan oleh kita, segala hal yang akan di lakukan selalu didasari dengan pamrih. Padahal tanpa dasar itu maka segalanya akan tanpak jelas nantinya. Yang berbuat baik berpamrih untuk di hargai, disanjung, diakui, sedangkan yang berbuat keburukan berpamrih agar tidak ketahuan, niatnya disembunyikan, menuduh.

Segala hal yang terjadi atau yang kita lakukan akan senantiasa muncul dan tampak dengan jelas, ibarat baik adalah aroma Durian, ibarat jelek adalah bau bangkai, akan tercium pula. Maka maksud dari falsafah ini adalah Jika berbuat baik, maka lakukan saja, jangan berpikir/menimbang, jika akan ada perbuatan baik, maka hentikan, janganlah beragumen/dispensasi pada diri untuk memberikan alasan kuat agar melakukan. - Dalam kehidupan berumah tangga, “Becik Ketitik, Ala Ketara”, Perhatianlah dan dengerkanlah dengan penuh pasangan anda. Janganlah cuek/mengeluh, janganlah suka membantah, tapi hargailah apapun itu, saling mendengerkan.

- Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), Ketulusan orang tua/guru menuntun anak/murid akan terlihat jelas dan tampak dari laku mereka kelak, ibarat merawat tanaman dengan baik, tinggal menunggu bunga dan berbuah. Anak/murid secara serius menghargai dan mengenang orang tua/guru, cara menghargai adalah dengan melakukan apa yang di ajarakan, karena akan tampak jelas hasil dari tuntunan jika dilakukan.

- Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), ibarat pepatah bahwa jika tangan kanan berbuat kebajikan maka jangan sampai ketahuan tangan kiri, maka perbuatan baik tidaklah harus karena untuk di hargai dan di pandang, tapi karena memang kita bagian dari satu tubuh yang utuh (seperti tangan).

Berbuat kebajikan sendiri di bagi atas, tidak melakukan hal yang jelek dan berbuatlah hal yang baik.

21. “Ana Catur Mungkur”

Artinya: Membicarakan hal negatif orang lain.

Dalam interaksi dengan orang lain, siapa yang tidak mau menjaga nama baik mereka, semua orang selalu senantiasa menjaga nama baiknya dalam pembawaan diri. Pengakuan atas diri sebagai identitas yang unik adalah bagian dari keberadaan diri.

Untuk itulah setiap orang harus berprestasi dalam bidang mereka masing-masing agar secara mutlak keberadaan diri dapat berfungsi secara maximal.

(17)

Nah.. Masalahnya lain adalah banyak sekali orang yang ingin diakui keberadaannya dengan cara menjelekan, mengunjingkan, menfitnah orang lain untuk sebenarnya ingin menunjukan keberadaan diri atau secara ego dianggap diakui.

Yang lebih parah, jika seorang melakukan kesalahan fatal, dan orang lain berusahan memberitahu, orang tersebut malah menjadikan orang lainnya seperti tameng diri untuk menghindari atau menutupi kesalahannya, bahkan bisa berbalik menuduh orang yang menasehatinya sebagai biang, dan membicaran hal yang jelek tentang orang lain.

Maka menjadi yang berperan utama dan berprestasi, jauh lebih baik sebagai diakuai orang lain akan keberadaan diri.

- Dalam kehidupan berumah tangga, “Ana Catur Mungkur”, pantang untuk membicarakan hal buruk tentang pasangannya kepada orang lain, apalagi sekedar untuk gagah-gagahan kalau semua temannya bercerita tentang kejelekan pasangan mereka. Jika ada masalah hendaklah diselesaikan masalah, masalah negatifnya pribadi pasangan tetaplah dibawa hanya sampai pintu utama rumah, artinya tidak perlu dibawa-bawa kemana-mana, malah bercerita hanya untuk pembenaran diri.

- Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), sebagai orang tua/guru, perannya sebagai pemimpin, memimpin dengan

memberikan contoh, bukan memimpin dengan menjatuhkan orang lain agar terlihat lebih hebat. Kalau demikian terjadi, maka akan berdampak pada anak/murid cenderung punya alasan untuk melakukan sesuatu yang jahat. Berbahaya!!!

- Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), ada kata-kata bahwa jangan mencampuri urusan orang lain, yang bermakna jangan menyematkan tuduhan yang negatif kepada orang lain, agar kita dianggap baik.

22. “Jajah Desa Malang Kori” Artinya: Menjelajah kemana-mana.

Saat kehidupan wadah fisik kita kali ini, merupakan bagian yang sangat kecil penjelajahan kita dalam kehidupan sebenarnya yang begitu luas sebelum dan sesudahnya.

Kita sudah kemana-mana dan akan juga kemana-mana, yang hanya ada tujuan untuk kita menjadi tabib ataupun menjadi pasien untuk kehidupan ini.

(18)

Hidup kita saat ini juga tidak lepas dari pencarian, agar kita bisa terus menerus mendapatkan keilmuan pengertian (Kawruh), yang mana intinya adalah apakah kwalitas diri (hidup) anda meningkat? Kalau belum, maka anda belum kemana-mana walaupun anda telah pergi jauh menyeberang samudra, melewati benua.

- Dalam kehidupan berumah tangga, “Jajah Desa Malang Kori”, juga mengajarkan untuk tidak pernah berhenti mencari, menambah pengertian senantiasa untuk membangun keluarga yang tetap utuh.

- Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), orang tua dan guru yang hebat (benar) adalah mereka yang mempersiapkan langkah/jalan/ anak-anak/murid mereka untuk senantiasa selalu bersih dan benar.

- Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), senantiasa berbagi dan menerima semua saudara yang telah datang dan pergi guna untuk selalu menjadi suatu motivasi saling asah asih asuh.

23. “Rawe Rawe Rantas Malang-Malang Putung” Artinya: Maju tak gentar, pantang Mundur.

Berjuang untuk selalu mencapai apa yang menjadi kemauan diperlukan suatu semangat lebih yang tak kenal menyerah.

Manusia yang sengsara atau menderita bukan lantaran ada garis hidup demikian, tapi kebanyakan karena mereka yang mudah menyerah.

- Dalam kehidupan berumah tangga, “Rawe Rawe Rantas Malang-Malang Putung”, bubarnya suatu keluarga, lantaran salah satu atau dua-duanya mudah menyerah dan tidak berani

menghadapi apa yang ada di depan, cenderung khawatir. Maka pesan orang tua, sekali sudah melangkah dalam membagun rumah tangga, pertahankan seumur hidup.

- Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), anak/murid yang berhasil yang maju tak gentar, pantang mundur.. Merekalah yang berhasil akan mencapai ilmu yang dicari. - Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), saling menyemangati, saling mendukung agar terus maju dalam setiap usaha, akan saling meningkatkan kwalitas, sehingga terbentuk suatu masyarakat yang beradab.

24. “Ugak Ugak Pager Arang” Artinya: Mempermalukan orang lain.

(19)

Kata malu disini adalah lebih kearah merendahkan yang lain, yang memperlihatkan aib orang lain. Satu tindakan yang bisa berakibatkan dendam yang tak berkesudahaan, yang

memperpanjang sejarah permusuhan yang tak pernah berhenti.

Jika satu batang pohon bisa menghasilkan seribu batang korek api, demikian pula dengan satu batang korek api dapat membakar habis isi satu hutan.

Artinya bahwa satu lembaga/keyakinan/organisasi/agama bisa menghasilkan ribuan orang tercerahkan, namun satu orang dari sana juga bisa menghancurkan moral (hal benar) seisi dunia.

Hal ini tak lain adalah karena bersifat agresif untuk mempermalukan satu sama lain, dan merasa puas, sehingga dendam tak kunjung usai.

Berhentilah menilai buruk orang lain dan berhentilah memperburuk keadaan. Anda butuh di sembuhkan, Aku butuh disembuhkan, Dia butuh disembuhkan, Mereka butuh disembuhkan, jadi mari kita semua berhenti sejenak saja untuk tidak mempermalukan orang lain, dengan label penilaian buruk kita.

- Dalam kehidupan berumah tangga, “Ugak Ugak Pager Arang”, cinta itu adalah membangun dan memperbaiki, jika ada sesuatu yang buruk, bukanlah untuk dipermalukan, tapi untuk diperbaiki dan dibangun kembali.

Aib pasangan aib anda juga, demikian sebaliknya, maka perbaikilah!

- Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), anak/murid yang baik dan tidak mempermalukan orang tua dan gurunya adalah menjalankan dengan sungguh-sungguh yang dimengertinya.

- Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), saling hormat

menghormati, sopan santun, dan menjaga martabat dari orang lain adalah ciri masyarakat membangun komunitas secara sehat tanpa ada saling mencurigai dan menuduh.

25. “Weruh Ing Grubyug, Ora Weruh Ing Rembug.” Artinya: Ikut-ikutan namun tidak mengerti permasalahannya.

Jaman telah berubah, dan akan terus berubah, jika kita tidak mau berubah maka akan punah tergilas perubahan itu sendiri. Namun demikian, jangan sampai kita ikut-ikutan yang tidak jelas jentrungannya, perubahan tidaklah melulu masalah dari A menjadi B (berubah) tapi bisa jadi adalah dari A menjadi memahami secara utuh A, yang bisa beperan secara lengkap fungsi A secara utuh.

Kasihan banyak generasi ikut-ikutan era globalisasi karena merasa bahwa adalah suatu jaman era modern (serba iptek), akhirnya terjebak sendiri dalam ikuta-ikuta tidak jelas, sehingga gampang untuk di jajah dalam segala bidang.

(20)

Kita diajak untuk harus tahu/weruh segala permasalahan yang ada, jangan ikut-ikutan arus.. Jika tidak mengerti maka lebih baik berhenti sejenak dan belajar…

- Dalam kehidupan berumah tangga, “Weruh Ing Grubyug, Ora Weruh Ing Rembug.”, jika komunikasi mandeg pada salah satunya, maka yang lain harusnya bisa menunggu sejenak jangan ikut-ikutan untuk mutung mandeg juga, dalam hal lain berlaku untuk emosional. Berhenti/menunggu sejenak agar mengerti dan dapat melihat secara jernih dan jelas. - Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), jangan menjadi penonton yang terlalu ashik untuk ikut-ikutan terhadap apa yang di lakukan oleh orang tua/guru, karena kita belum bisa memahami apa maksud dari laku-nya.

Kerjanya anak dan murid adalah belajar bukan sebagai juri yang menilai apa yang dilakukan orang tua dan murid.

- Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), mencampuri urusan dan permasalahan yang terjadi, padahal tidak mengerti apa-apa, justru akan memperkeruh suasana, justru membuat hubungan masyarakat dari kita menjadi memburuk, bahkan cennderung rusak.

Lebih bijak kita tetap menjaga ke”ashik”an dalam gotong royong. 26. “Dhemit Ora Ndulit Setan Ora Doyan”

Artinya: Selalu dalam keselamatan tanpa adanya goda.

Semboyan sakti sebagai alasan dan kabing hitam sering kita denger adalah kalau seseorang tidak selamat karena berbuat salah, kita akan denger bahwa manusia itu tidak bisa luput dari kesalahan atau manusia tempatnya salah.

Ah… kenapa manusia malang seperti itu? Padahal harusnya manusia selalu dalam keselamatan bahkan tidak ada gangguan yang berarti.

Menunut dasarnya sesuatu terjadi pada manusia, sebenarnya bukanlah karena manusia tempatnya salah, jika tidak terjadi keselamatan, tapi memang lantaran dari dasar manusia tidak memiliki kesadaran, kenapa bisa tidak sadar, karena tidak mau belajar, kenapa tidak mau belajar, karena merasa sudah tahu, kenapa merasa sudah tahu, karena bersikap mental bodoh, kenapa bersikap mental bodoh, karena tak berbudi, kenapa tak berbudi, karena tidak berkemauan baik.

Atau kalau dibalik bahwa Jika kita tidak Berkemauan Baik, maka kita akan tak memiliki budi, sehingga menyebabkan sikap mental yang bodoh, yang membawa kita menjadi manusia yang merasa tahu, akibatnya kita tidak mau belajar lagi, yang akhirnya menjadi tidak

memiliki kesadaran.

Keselamatan adalah milik semua manusia yang memiliki Kemauan yang baik, namun kalau masih malang maka kemauannya masih semu/palsu.

(21)

- Dalam kehidupan berumah tangga, “Dhemit Ora Ndulit Setan Ora Doyan”, keluarga yang terhindar dari bencana, adalah mereka yang membangun komunikasi yang efektif… Keluarga yang membangun komunikasi efektif adalah mereka akan bahagia menikmati keselamatan. - Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), orang tua dan guru, senantiasa akan menyiapkan agar anak-anak dan murid mereka selalu akan dalam keadaan selamat, maka selalu akan memberikan yang terbaik segala yang di minta, tapi bahayanya kalau Kemauan Baik tidak di tanamkan dari awal, maka nanti berbentuk suatu hal yang sebaliknya dari keinginan awal.

- Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), kita diajarkan untuk selalu saling bertegur sapa dan selalu siap untuk membantu yang lain, dan pada hakekatnya adalah membangun masyarakat yang dalam keselamatan/kebahagiaan. Untuk itu kita jangan lupa juga harus saling menanamkan sikap Jiwa besar agar kita saling memaafkan/mengampuni, dan jiwa murah hati, agar bisa saling memberi.

27. “Kebo Bule Mati Setra”

Artinya: Yang pintar tapi tidak dipergunakan kepintarannya.

Kita yang hidup bersama senantiasalah selalu saling untuk mengisi, salah satu yang

terlupakan dalam saling mengisi kehidupan ini adalah kadang kita melupakan kepintaran dari orang lain untuk mengisi hidup kita, kita malahan lebih sering mencurigai, menilai orang lain dengan ukuran kepintaran kita, sehingga banyak yang pintar disekitar kita, justru kita tidak bisa belajar dari mereka karena tidak bisa memanfaatkan kepintaran mereka, lantaran kita merasa lebih pinter.

Maka lepaskanlah diri dari belenggu bahwa kita paling tahu dan paling pinter, orang lain belum tahu apa-apa!

Demikian juga kita kadang tidak bisa memanfaatkan kepintaran sendiri untuk bisa membantu diri sendiri dan orang lain, kita lebih cenderung ashik membanding-bandingkan dan

memberikan kesimpulan yang disematkan pada orang lain.

Setiap orang memiliki kepintaran pada bidang tertentu, jangan menganggurkan kepintaran orang lain dan diri sendiri.

- Dalam kehidupan berumah tangga, “Kebo Bule Mati Setra”, hampir dari semua budaya menganut paham patriakat atau laki-laki lebih unggul, sehingga banyak dari para istri selalu menjadi pelengkap (bahkan penderita), manfaatkanlah kepintaran istri/pasangan hidup kita, untuk bisa membangun keluarga yang benar-benar menjadi sigaraning nyowo, bukan merasa lebih unggul atau lebih pintar, tapi seiya sekata, sejiwa.

(22)

- Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), manfaatkan sebaik-baiknya orang tua/guru kita, selagi mereka masih mendampingi, jangan menyesal saat mereka sudah tidak ada, karena anak/murid tidak memanfaatkan setiap moment.

- Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), ciri-ciri mereka yang selalu siap berbagi kepintarannya dan juga orang yang pintar kita bisa manfaatkan

kepintarannya untuk membangun masyarakat yang lebih baik adalah mereka yang mengerti dan melakukan apa yang dimengertinya, bukan mereka yang bisa menjawab semua

pertanyaan.

28. “Timun Wungkuk Jaga Imbuh” Artinya: Menjadi pelengkap atau cadangan.

Pribahasa yang cukup kita kenal yaitu “Tak ada rotan, akar pun jadi”, apapun yang bisa kita pakai untuk melengkapi kekurangan yang ada, maka bisa secara baik dipakai. Itu adalah cerminan bagaimana kreatifitas berjalan, ini gambaran pemanfaatan barang tapi bukan untuk manusia. Namun sebagai manusia, untuk usaha dan sikap mental pada diri, maka kita tidak boleh hanya sekedar menjadi cadangan atau pelengkap penderita, yang artinya bahwa kita bukan yang beperanan utama atas diri kita.

Kita bisa menjadi manusia yang punya peran penting dalam hidup kita sendiri maupun orang lain. Andalah yang menentukan harga diri anda sendiri, seorang bijak mengatakan bahwa “yang dapat menyakiti diri kita, hanya jika kita sendiri mengijinkannya”, jadi sebenarnya kita tidak bisa disakiti selama kita menjadi berperanan.

Demikian hal nya peran kita, kita hanya bisa memerankan diri atau tidak, itu kitalah yang berpegang pada diri sendiri.

Jadilah manusia yang memiliki peranan utama.

- Dalam kehidupan berumah tangga, “Timun Wungkuk Jaga Imbuh”, Hai… para istri/wanita, anda bukanlah pelengkap penderita, atau ban serep bagi suami/pasangan anda. Maka

tampillah menjadi istri/wanita yang memiliki peran penting dalam mencintai dan membangun keluarga. Dan hai.. para suami/lelaki, jangan menyia-nyiakan istri hanya diperankan sebagai pembantumu, gundikmu, yang hanya engkau manfaatkan saat untuk memenuhi keegoisan diri, cintailah dan bangunlah bersama agar keluarga menjadi beperan utama dalam

kepemimpinan yang tunggal, bukan hanya satu pribadi saja.

- Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), anak atau murid bukanlah hanya untuk menjadi sekedar diberitahu saja, yang hanya melaksanakan perintah-perintah, tapi suatu saat akan menjadi mengerti dan yang berperan utama yaitu menjadi orang tua atau guru itu sendiri.

(23)

- Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), kalau kita adalah pemengang peran utama, maka estafetkan pula kepada yang lain agar punya kesempatan untuk berperan, itulah sikap untuk membangun masyarakat yang saling melengkapi untuk lebih baik. Janganlah “one man show” dan orang lain selalu salah atau hanya pelengkap saja. 29. “Kekudhung Walulang Macan”

Artinya: Melakukan perbuatan jelek/jahat dengan berlindung dibalik nama besar.

Menurut para psikolog dan ahli tingkah laku, bahwa hampir 90% tingkah laku atau apa yang dilakukan sehari-hari oleh manusia, sepenuhnya di gerakan atau tanpa sadar di kendalikan oleh alam bawah sadar yang kita sendiri bisa jadi tidak menyadari.

Dari pernyataan di atas tersebut, tentunya tingkah yang tidak sadar adalah suatu aktiftitas yang dilakukan secara berturut-turut dilakukan dengan terus menerus sehingga terbentuk suatu kebiasaan. Dan kebiasaan tentunya dilakukan sebelumnya dengan sadar, dengan demikian bahwa apapun dilakukan dengan sadar, nantinya berujung pada tingkah laku yang dilakukan dengan kebiasaan yang telah tertanam dalam alam bawah sadar.

Ini juga bisa menandakan kita bertanggung jawab atas tindak tanduk kita.

Zaman ini adalah jaman seperti manusia kehilangan jati diri sendiri, mengapa? Karena kita banyak lihat bahwa orang-orang banyak melakukan sesuatu karena membawa nama dan mengatas namakan nama besar baik pribadi, kelompok, golongan, organisasi bahka agama. Celakanya adalah kelakukan yang dilakukan adalah tindakan atau perbuatan jelek/jahat pada orang lain, ini bisa disebut tidak bertanggung jawab atau berlindung atas nama besar, untuk men-legal-kan perbuatan-nya.

Sungguh memang di sayangkan, bahwa kita masih menjalankan kehidupan ini dalam tatanan yang tak bertanggung jawab, atau bersifat mempertahankan diri, bisa juga disebut

Kahewanan (mempertahankan hidup dengan mengorbankan yang lain).

Mari kita menjadi pribadi-pribadi yang lebih bertanggung jawab atas apa yang kita lakukan, tidaklah perlu menuntut pertanggung jawaban orang lain yang sebenarnya mungkin karena anggapan-anggapan kita yang tidak bertanggung jawab pula. Yang jelas janganlah mengatas namakan!

- Dalam kehidupan berumah tangga, “Kekudhung Walulang Macan”, perselisihan bisa terjadi, selesaikan dengan pikiran jernih hati yang gembira, tidak perlu mencela atau menyudutkan pasangan dengan mengatas namakan nama besar seperti: cinta, kebahagian, orang tua, bahkan Tuhan, misalnya tidak cocok, mau cerai, berselingkuh lalu mengatas namakan bahwa kalau memang bukan kehendak tuhan pasti tidak terjadi, semua kan sudah kehendaknya…

Ini rusak dan Parah bukan? Kalau arek Surabaya bilang “Kehendak gundulmu!!!”, bikin salah tapi masih berlindung atau melempar tanggung jawab.

(24)

- Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), ngasuh pengertian dari orang tua atau guru, hendaklah akan membuat anak/murid menjadi pribadi yang menjadi bertanggung jawab, yang tentu tidak boleh berlindung pada nama besar orang tua dan guru. Banyak anak/murid yang tidak maju, karena melakukan segala tindakan mengatas namakan nama besar orang tua dan guru mereka. Menjadi anak dan murid membuat kita menjadi

berkesadaran, bukan menjadi bayi raksasa.

- Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), Ahaaa…. disinilah sering kita temukan bahwa pergesekan sering terjadi lantaran kalau hubungan antar

keluarga/bermasyarakat tidak memiliki dasar kemunusiaan atau humanity, tapi lebih banyak karena kelompok yang menganggap lebih dari dari kelompok lain. Padahal jelas yang berkelompok itu kan bersifat Kahewanan, justru bukan Karobanan (Kemanusiaan).

Sehingga menjatuhkan kemasyarakatan ini dengan mengatas namakan kelompok dan nama besar disana.

Kemasyarakatan ini harus dibangun dengan Kemanusiaan, kemanusian dari pribadi kita tak lain adalah dengan adanya Budhi Welas Asih.

30. “Setan Nunggang Gajah” Artinya: Berbuat se-mau-nya sendiri.

Saat kita berada didalam kendaraan sering kita melihat saudara kita dimobil depan, keluar tangan membuang tisue atau plastik keluar dijalan.

Ada juga kadang di ruang terbuka maupun tertutup, orang yang merokok seenaknya

membuang puntungnya, belum lagi sampah dan lainnya. Dari cerminan ini maka tidak heran secara akumulatif, masyarakat kita terdidik secara tidak sengaja untuk berlaku semaunya, masa bodoh, cuek tingkat tinggi, maka kalau ada korupsi waktu, fasilitas sampai uang dan jabatan, kemungkinan karena didikan dari hal-hal sepele…

Ah… dalam hati kok terdetik, kenapa berbuat semaunya ya…

Kita hidup dalam masyarakat beradab, tapi karena toleransi yang tinggi, kadang kita

memperkosa hak-hak orang yang hidup toleran, kita lebih mementingkan keagungan diri dan kelompok, daripada menjadi manusia pribadi yang unik dan beradab yang sebenarnya harus kita junjung tinggi.

Mulailah untuk tidak semaunya sendiri dari hal-hal kecil.

Dalam kehidupan berumah tangga, “Setan Nunggang Gajah”, sering ditunjukan oleh pasangan yang seenaknya memperlakukan pasangan yang lain, dimulai dari ketidak jujuran hal kecil biasanya… Pasangan sering dianggap tidak perlu tahu terlalu banyak urusan

(25)

pasangan yang lain… Sehingga muncul semaunya tanpa memperhatikan perhatian dan perasaan dari pasangannya.

Menjadi saling peduli dalam kejujuran adalah tips mujarap untuk menghindari sikap mental yang masa bodoh dan berlaku semuanya.

- Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), kalau anak atau murid sudah memulai kebohongan sekecil apapun, maka itu nantinya akan menjadi bibit unggul untuk tumbuhnya sikap semaunya sendiri, maka orang tua/guru harus berusaha untuk jeli dan juga memberikan pengarahan yang tepat agar anak/murid mengerti menjadi manusia bertanggung jawab.

- Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), perhatikanlah kiri kanan kita, tetangga kita, bukan ikut campur, tapi tunjukan kepedulian kita dan rasa sikap empati dalam segala hal, janganlah kita hanya maunya sendiri merasa tidak menganggu dan tidak diganggu orang lain itu sudah dianggap menjadi orang yang baik/hidup yang baik. Itu akan menimbulkan pembangunan masyarakat yang seutuhnya tidak terjadi, dan akan menjadi tumpul, sehingga masyarakat gampang di adu domba dan dipecah belah.

31. “Golek Banyu Bening”

Artinya: Belajar pada guru yang benar.

Sejarah perjalanan manusia tidak lepas dari guru dan belajar, istilahnya “Tiada kehidupan tanpa disentuh oleh guru” dan “Tiada kehidupan tanpa belajar”. Kenapa? Setiap jengkal kehidupan kita adalah belajar untuk mengerti dan lebih mengerti, baik itu lewat bimbingan maupun pengalaman.

Berguru itu banyak, bisa kemana-mana, sejarahnya setiap manusia itu berguru, dimulai dari berguru pada guru mati, yang artinya belajar dari prasasti, buku, kitab, litelatur, bahkan seni, yang sifatnya komunikasi satu arah. Lalu berguru kepada guru hidup, seperti berguru kepada, orang tua, sekolah, pemuka agama, yang sifatnya 2 arah komunikasinya.

“Guru-guru” inilah yang membuat kita dibimbing dalam hal yang benar… Permasalahannya muncul ketika kita bertanya, apa itu yang bisa disebut benar?

Seorang bijak menjelaskan bahwa:

“ngupadi ilmu mangkono kudu ateken tekun atemah tekan.. kanthi syarat 3 perkara”, yaiku :

(“menuntut ilmu harus berpedoman kepada ketekunan.. niscaya sampai pada tujuan.. dengan syarat 3 perkara”, yaitu

(26)

1. ilmu kang bener..bener kanggo pribadine dewe..

bener tumraping sesami gesang..lan bener tumraping Pengeran. (1.ilmu yang benar..benar bagi pribadi kita sendiri..

benar bagi sesama hidup..dan benar bagi Tuhan..) 2. ilmu kang tanpa sirikan..

(2.ilmu yang tanpa pantangan..) 3. ilmu kang asipat langgeng..

(3.ilmu yang bersifat langgeng – Abadi..)

Walau padangannya mungkin bersifat abstrak ataupun butuh penjelasan lebih ditail, tapi minimal bahwa ini mengindikasikan bahwa Benar itu bersifat mencakupi dan menaungi tanpa tanpa syarat.

Dalam kehidupan ini ibaratnya kita sedang naik perahu dengan dayung ditangan, dan kita berada di sungai dengan ada arus, perahu kita menantang arus, saat mendayung adalah belajar, maka kalau kita belajar maka kita sedang mendayung maju, tapi kalau saat kita berhenti belajar, maka kita berhenti mendayung, dan bisa dipastikan kita akan terseret dibawa arus sungai.

- Dalam kehidupan berumah tangga, “Golek Banyu Bening”, sama-sama harus selalu tidak pernah puas untuk saling belajar dan saling mengajar (menjadi guru)/ saling mengisi, sehingga rumah tangga yang kokoh dan penuh kebahagian akan tercipta, dan akhirnya membawa kita menjadi pribadi yang senantiasa membangun keluarga yang utuh atau tunggal. - Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), Hai murid, taati ajaran guru, tapi jangan ikuti teladannya yang bertentangan dengan ajarannya… Nasehat ini jelas agar, anak atau murid, senantiasa memetik setiap pengertian benar untuk pribadinya bukan untuk memuaskan orang lain, orang tua, maupun guru-nya.

- Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), saling belajar atau memerankan diri menjadi guru, agar hal-hal yang benar yang bentuknya seperti gotong royong, haruslah menjadi perhatian utama dalam interaksi bermasyarakat, jika kita bisa mempertahankan kondisi dan sikap yang demikian, maka keberadaban dalam

berprikemanusiaan kita akan semakin berbudi luhur.

(27)

Artinya: Berjiwa besar memaafkan.

Setiap hari kita disugguhi dari berbagai macam peristiwa melalui mata kepala kita sendiri dan juga melalui media, bagaimana “Maaf” menjadi hal yang sangat langkah sekali…

Mulai dari pemimpin dan pemuka agama tidak memberikan contoh untuk memberikan maaf pada sesama.

Untuk dapat memaafkan diperlunya jiwa besar dalam diri kita. Jiwa besar dapat terbentuk jika secara pengertian dan pandangan benar akan hidup ini dan hidup dalam berinteraksi dengan manusia lainnya.

- Dalam kehidupan berumah tangga, “Jembar Segarane”, yang bisa dikatakan berlapang dada untuk memaafkan sebesarnya, maka jika ini di junjung, niscaya kehidupan rumah tangga senantiasa akan utuh, namun kekhawatiran muncul bahwa nanti akan menjadi memanjakan, tentunya ini harus kita ingat bahwa kehidupan berumah tangga bukan terikat, tapi harus saling mengikatkan diri dalam batasan-batasan berumah tangga.

- Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), orang tua dan guru, senantiasa adalah manusia yang memiliki semangat memaafkan paling banyak terhadap anak dan murid nya. Berjiwa besar yang ada pada orang tua dan guru, inilah yang menjadi titik takar, kwalitas dari mereka, dan ini pula yang akan menjadikan anak dan murid mereka menjadi murid yang memiliki teladan yang benar dan baik. Dalam hal ini orang tua dan guru dalam memaafkan bisa berarti selalu memberikan kesempatan kepada anak dan murid dalam meningkatkan pengertian dan pemahaman.

- Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), mari kita saling

memanfaatkan diantara kehidupan bermasyarakat dan memasyarakatkan saling memaafkan.

33. “Ojo Leren Lamun Durung Sayah” Artinya: Jangan berhenti sebelum capek.

Semangat berkarya/laku haruslah senantiasa selalu tumbuh, menjadi manusia yang penuh aktifitas adalah suatu hal pasti karena design tubuh manusia memungkinkan demikian. Akan tetapi mudah menyerah dan bermalasan (dalam segi negatif) pada hal belum mengalami titik puncak, atau belum capek kita sudah beristirahat. Jangan terlalu cepat menyerah, senantiasa semangat tinggi berkarya, karena kalau kita cepat menyerah nanti akan menjadi satu

kebiasaan malas yang berulang-ulang untuk karya selanjutnya.

Capek dalam hal ini adalah lebih menitik beratkan tidak adanya keseimbangan antara pikiran dan perasaan. Dimana kedua hal ini tidak sinkron lagi. Karena kalau capek dipaksakan maka akan membuat frustasi, kalau frustasi akan menghasilkan karya yang jelek.

(28)

- Dalam kehidupan berumah tangga, “Ojo Leren Lamun Durung Sayah”, jangan berhenti untuk selalu saling membangun dan saling berkomunikasi secara efektif dalam segala hal, jangan mudah menyerah kepada pasangan yang ngeyel, tetaplah selalu mempertahankan semangat dan daya juang yang tinggi, agar selalu dalam kemanunggalan.

- Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), anak dan murid melakukan tanpa harus memikirkan kapan harus berhenti karena orang tua atau guru tahu/wruh kapan anaknya dan muridnya kapan capeknya.

- Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), janganlah kita berkilah atau menghindar untuk selalu senantiasa punya kesempatan membangun masyarakat yang beradab.

34. “Ajining Diri Dumunung Aneng Lathi” Artinya: Kwalitas diri tercermin dari tutur kata.

Tentu kita pernah mengalami suatu situasi dalam kesempatan diskusi, dimana terjadi perdebatan, ada yang saling cerca atau maki, berteriak dan juga saling adu keras suara, seolah-olah semua harus mendengerkan yang berteriak paling keras. Atau mungkin kita pernah dalam situasi dimana ada suatu diskusi monolog, dimana kita sebagai pendenger, dan justru yang berbicara memaki, berteriak dengan suara keras, seolah-olah bahwa yang

mendengerkan harus nurut dan tidak boleh membantah.

Diantara kedua pengalaman, tentu kalau secara jernih kita melihat, tentu ada rasa prihatin yang muncul. Gus Dur pernah mengatakan DPR itu seperti anak TK, kalau di tangkap sebenarnya itu adalah menunjukan rasa prihatin, karena Gus Dur mungkin pernah dalam situasi pertama yaitu adanya saling debat, cercam, maki, teriak, walaupun belum tentu Gus Dur belum tentu tidak melakukan kepada yang lain.

Namun dari pesan ini, bisa kita mengungkapkan bahwa pribadi diri, harga diri, sangat tercermin pada kata-kata yang kita ucapkan.. Pernah saya bertanya pada seorang bijak, kalau saya sudah baik, bagaimana saya meningkatkan kwalitas diri, beliau hanya pesankan “Jaga tata basa lan tata laku”.

Dari sana bisa kita merenungkan bahwa ternyata “tata basa” /

berkata-kata/berbahasa/berkomunikasi merupakan petunjuk atau indikator bagi diri sendiri apakah kita sudah cukup baik kwalitas kita atau hanya anggapan-anggapan sendiri.

Kalau dalam dunia persilatan dikatakan, “Tajamnya pedang sakti, tidak setajam lidah”, artinya kata-kata bisa melukai orang lain, kata-kata bisa menjadi racun, dan bisa membunuh orang lain.

(29)

Kata-kata disini yang mencerminkan diri adalah kata-kata yang mengandung motif, kata-kata yang isinya “Berkemauan” atau “Karsa”, diantara pilihan pengertian inilah bisa sangat

menjadi indikator kwalitas diri yang baik atau justru sebaliknya.

- Dalam Kehidupan berumah tangga, “Ajining Diri Dumunung Aneng Lathi”, menurut penelitian, bahwa sehari laki-laki menghabiskan 7.000 kata untuk berbicara, sedangkan wanita menghabiskan 20.000 kata. Sangat indah kalau misalnya kata-kata ini adalah saling untuk menghidupkan. Disini peran wanita sangat penting juga bahwa bahasanya sangat dinanti untuk bisa menjaga stabilitas keluarga, maka jangan heran ada istilah bahasa ibu, karena ibu memang lebih sebagai pembicara keluarga, lewat bahasalah ibu

mendidik/membangun keluarga. Namun laki-laki harus secara serius memperhatikan, tidak boleh asal melempar kata-kata walau pengunaan katanya lebih sendikit. Intinya cara berkomunikasi mencerminkan kwalitas keluarga.

- Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), cara penyampaian bahasa kasih sangat penting dalam hubungan orang tua dan anak… Guru juga demikian halnya, tahu tata basa yang akan dipakai untuk murid, namun repotnya murid sering suka untuk mengambil kesimpulan sendiri. Kadang guru tidak mengeluarkan suara dalam bertutur, tapi dari sikap itu juga mencerminkan bahasa tertentu. Ada istilah, kalau sudah sampai ditegur beberapa kali oleh guru, itu sudah berarti keterlaluan. Guru selalu akan berusaha memilih kata-kata, agar walaupun murid tidak jadipun, tapi murid setidaknya bisa baik dalam bertutur kata. Demikian halnya hendaknya semua orang tua demikian.

- Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), mengendalikan diri dalam berkata-kata agar tidak memberikan efek negatif, tidaklah menyendiri dalam hal prinsip hidup. Berbahasa dan berkata mengandung energi, energi yang menunjukan diri kita, yang bisa membangun dan juga merusak, maka tercermin diri kita apakah sebagai pembangun (penuh welas asih) atau perusak (penuh kemauan jahat).

35. “Menthung Koja Kena Sembagine”

Artinya: Membohongi, justru sebenarnya dibohongi.

Saat kehidupan ini, dimana ketika kita berinteraksi dengan orang-orang disekitar kita, dengan ego yang begitu kuat dalam mempertahankan diri, maka jurus ampuh yang sering dipakai adalah dengan membohongi, agar selamat dari resiko maupun tanggung jawab.

Bohong disini yang di maksud tentunya bukan sekedar matematis, tapi lebih kepada motivasi yang bersifat merusak atau tidak membangun.

Pemangku jabatan pada negara sering sekali dianggap membohongi rakyatnya jika dianggap suatu janji tidak terealisasi, lalu dicarilah akal-akalan untuk menipu/membohongi rakyat dengan motivasi yang merusak, pejabat boleh saja berhasil dan senang membohongi, namun

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk Untuk mengetahui sejarah falsafah 3H Hamoraon,hagabeon,hasangapon pada orang Batak Toba dan mengetahui hubungan serta implementasi

Perbandingan owa Jawa yang hidup di tiga habitat berbeda ini akan dikemas dalam karya tugas akhir yang berjudul Mengamati Kehidupan Owa Jawa dalam Penyutradaraan Film Dokumenter

Dengan kehidupan yang telah hidup di dalam hidup kita, kita bisa membantu orang lain untuk juga menemukan dan menghidupkan Kehidupan di dalam hidup mereka

bahwa pintu gerbang yang sempit dan jalannya sulit yaitu jalan Yesus menuju kepada hidup dan setiap orang yang memilih jalan Yesus mereka mengalami kehidupan yang

Kesadaran untuk hidup rukun dikombinasi dengan tidak menjadikan agama sebagai kesadaran penting dalam kehidupan sosialnya membuat masyarakat Bojonegoro memiliki kekenyalan

Jadi, secara umum, agama adalah upaya manusia untuk mengenal dan menyembah Ilahi yang dipercayai dapat memberi keselamatan serta kesejahteraan hidup dan kehidupan kepada manusia;

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi falsafah hidup orang Lampung, yaitu piil pesenggiri, sakai sambayan, nengah nyappur, nemui nyimah, dan juluk adek yang

Melalui wawancara tersebut didapatkan hasil bahwa film tersebut sudah baik dan cukup mengingatkan mengenai peran permainan tradisional bagi orang tua untuk