• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan Acquired Immuno

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan Acquired Immuno"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian HIV

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS). HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh manusia. Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500. Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin menurun (bahkan pada beberapa kasus bisa sampai nol) (KPA, 2007).

Virus HIV diklasifikasikan ke dalam golongan lentivirus atau retroviridae. Virus ini secara material genetik adalah virus RNA yang tergantung pada enzim reverse transcriptase untuk dapat menginfeksi sel mamalia, termasuk manusia, dan menimbulkan kelainan patologi secara lambat. Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing grup mempunyai lagi berbagai subtipe, dan masing-masing subtipe secara evolusi yang cepat mengalami mutasi. Diantara kedua

(2)

grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih ganas di seluruh dunia adalah grup HIV-1 (Zein, 2006).

2.2. Pengertian AIDS

AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yang berarti kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi virus HIV. Tubuh manusia mempunyai kekebalan untuk melindungi diri dari serangan luar seperti kuman, virus dan penyakit. AIDS melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh ini, sehingga akhirnya berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain (Yatim, 2006).

HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup dalam sel atau media hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh ke dalam kondisi AIDS, apalagi tanpa pengobatan. Umumnya keadaan AIDS ini ditandai dengan adanya berbagai infeksi baik akibat virus, bakteri, parasit maupun jamur. Keadaan infeksi ini yang dikenal dengan infeksi oportunistik (Zein, 2006).

(3)

2.3. Epidemiologi

Gambar 2.1 Daerah Epidemi HIV/AIDS di dunia.

UNAIDS dan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah membunuh lebih dari 25 juta jiwa sejak pertama kali diakui tahun 1981, membuat AIDS sebagai salah satu epidemik paling menghancurkan pada sejarah. Meskipun baru saja, akses perawatan antiretrovirus bertambah baik di banyak region di dunia, epidemik AIDS diklaim bahwa diperkirakan 2,8 juta (antara 2,4 dan 3,3 juta) hidup di tahun 2005 dan lebih dari setengah juta (570.000) merupakan anak-anak. Secara global, antara 33,4 dan 46 juta orang kini hidup dengan HIV. Pada tahun 2005, antara 3,4 dan 6,2 juta orang terinfeksi dan antara 2,4 dan 3,3 juta orang dengan AIDS meninggal dunia, peningkatan dari 2003 dan jumlah terbesar sejak tahun 1981.(UNAIDS 2006)

Sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajam akibat penggunaaan narkotika suntik. Fakta yang mengkhawatirkan adalah pengguna narkotika ini sebagian besar adalah remaja dan dewasa muda yang merupakan kelompok usia produktif. Pada akhir Maret 2005 tercatat 6789 kasus HIV/AIDS yang dilaporkan (Djauzi, S & Djoerban Z, 2007). Sampai akhir Desember 2008, jumlah

(4)

kasus sudah mencapai 16.110 kasus AIDS dan 6.554 kasus HIV. Sedangkan jumlah kematian akibat AIDS yang tercatat sudah mencapai 3.362 orang. Dari seluruh penderita AIDS tersebut, 12.061 penderita adalah laki-laki dengan penyebaran tertinggi melalui hubungan seks (Depkes RI, 2008).

2.4. Etiologi dan Patogenesis

Human Immunodeficiency Virus (HIV) dianggap sebagai virus penyebab AIDS. Virus ini termaksuk dalam retrovirus anggota subfamili lentivirinae. Ciri khas morfologi yang unik dari HIV adalah adanya nukleoid yang berbentuk silindris dalam virion matur. Virus ini mengandung 3 gen yang dibutuhkan untuk replikasi retrovirus yaitu gag, pol, env. Terdapat lebih dari 6 gen tambahan pengatur ekspresi virus yang penting dalam patogenesis penyakit. Satu protein replikasi fase awal yaitu protein Tat, berfungsi dalam transaktivasi dimana produk gen virus terlibat dalam aktivasi transkripsional dari gen virus lainnya. Transaktivasi pada HIV sangat efisien untuk menentukan virulensi dari infeksi HIV. Protein Rev dibutuhkan untuk ekspresi protein struktural virus. Rev membantu keluarnya transkrip virus yang terlepas dari nukleus. Protein Nef menginduksi produksi khemokin oleh makrofag, yang dapat menginfeksi sel yang lain (Brooks, 2005). Setelah virus masuk dalam tubuh maka target utamanya adalah limfosit CD4 karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Virus ini mempunyai kemampuan untuk mentransfer informasi genetik mereka dari RNA ke DNA dengan menggunakan enzim yang disebut reverse transcriptase. Limfosit CD4 berfungsi mengkoordinasikan sejumlah

(5)

fungsi imunologis yang penting. Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan respon imun yang progresif (Borucki, 1997).

Setelah infeksi primer, terdapat 4-11 hari masa antara infeksi mukosa dan viremia permulaan yang dapat dideteksi selama 8-12 minggu. Selama masa ini, virus tersebar luas ke seluruh tubuh dan mencapai organ limfoid. Pada tahap ini telah terjadi penurunan jumlah sel-T CD4. Respon imun terhadap HIV terjadi 1 minggu sampai 3 bulan setelah infeksi, viremia plasma menurun, dan level sel CD4 kembali meningkat namun tidak mampu menyingkirkan infeksi secara sempurna. Masa laten klinis ini bisa berlangsung selama 10 tahun. Selama masa ini akan terjadi replikasi virus yang meningkat. Diperkirakan sekitar 10 milyar partikel HIV dihasilkan dan dihancurkan setiap harinya. Waktu paruh virus dalam plasma adalah sekitar 6 jam, dan siklus hidup virus rata-rata 2,6 hari. Limfosit T-CD4 yang terinfeksi memiliki waktu paruh 1,6 hari. Karena cepatnya proliferasi virus ini dan angka kesalahan reverse transcriptase HIV yang berikatan, diperkirakan bahwa setiap nukleotida dari genom HIV mungkin bermutasi dalam basis harian (Brooks, 2005).

Akhirnya pasien akan menderita gejala-gejala konstitusional dan penyakit klinis yang nyata seperti infeksi oportunistik atau neoplasma. Level virus yang lebih tinggi dapat terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi yang lebih lanjut. HIV yang dapat terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi yang lebih lanjut dan lebih virulin daripada yang ditemukan pada awal infeksi (Brooks, 2005). Infeksi oportunistik dapat terjadi karena para pengidap HIV terjadi penurunan daya tahan tubuh sampai pada tingkat yang sangat rendah, sehingga beberapa jenis

(6)

mikroorganisme dapat menyerang bagian-bagian tubuh tertentu. Bahkan mikroorganisme yang selama ini komensal bisa jadi ganas dan menimbulkan penyakit (Zein, 2006).

2.5. Cara Penularan

HIV berada terutama dalam cairan tubuh manusia. Cairan yang berpotensial mengandung HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina dan air susu ibu (KPA, 2007). Penularan HIV dapat terjadi melalui berbagai cara, yaitu melalui cairan tubuh seperti darah ,cairan genitalia, dan ASI. Virus terdapat juga dalam saliva, air mata dan urin (sangat rendah). HIV tidak dilaporkan terdapat dalam air mata dan keringat. Pria yang sudah di sunat memiliki resiko HIV yang lebih kecil dibandingkan dengan pria yang tidak dissunat (Widoyono, 2008).

Selain melalui cairan tubuh, HIV ditularkan juga melalui : 1. Ibu Hamil

a. Secara interaurin, intrapartum, dan postpartum (ASI) b. Angka transmisi mencapai 20-50%

c. Angka transmisi melalui ASI dilaporkan lebih dari sepertiga

d. Laporan lain menyatakan resiko penularan melalui ASI adalah 11-29%

e. Sebuah studi meta-analisis prosfektif yang melibatkan penelitian pada dua kelompok ibu, yaitu kelompok ibu yang menyusui sejak awal kelahiran bayi dan kelompok ibu yang menyusui setelah beberapa waktu usia bayinya, melaporkan angka penularan HIV pada bayi yang belum dissusui adalah 14%

(7)

(yang diperoleh dari penularan melalui mekanisme kehamilan dan persalinan), dan angka HIV meningkat menjadi 29% setelah bayinya dissusui. Bayi normal dengan ibu HIV bisa memperoleh antibodi HIV dari ibunya selama 6-15 bulan.

2. Jarum Suntik

a. Pervalensi 5-10 %

b. Penularan HIV pada anak dan remaja biasanya melalui jarum suntik karena penyalahgunaan obat

c. Di antara tahanan (tersangka atau terdakwa tindak pidana) dewasa, pengguna obat suntik di Jakarta sebanyak 40% terinfeksi HIV, di Bogor 25% dan di Bali 53%

3. Transfusi Darah

a. Resiko penularan sebesar 90% b. Prevalensi 3-5%

4. Hubungan seksual a. Prevalensi 70-80%

b. Kemungkinan tertular adalah 1 dalam 200 kali hubungan intim

c. Model penularan ini adalah yang tersering di dunia. Akhir-akhir ini dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat untuk menggunakan kondom, maka penularan melalui jalur ini cenderung menurun dan digantikan oleh penularan melalui jalur penasun (pengguna narkoba suntik) (Widoyono 2008).

(8)

2.6. Gejala Klinis

Orang yang terinfeksi virus HIV belum tentu AIDS. Perlu waktu 3-10 tahun untuk menjadi AIDS. HIV positif belum tentu AIDS, tetapi akhirnya akan menjadi AIDS, dan status HIV positif tidak pernah berubah menjadi HIV negatif. (Djuanda A, 2007). Menurut Mayo Foundation for Medical Education and Research (MFMER) (2008), gejala klinis dari HIV/AIDS dibagi atas beberapa fase.

2.6.1. Fase Awal

Pada awal infeksi, mungkin tidak akan ditemukan gejala dan tanda-tanda infeksi. Tapi kadang-kadang ditemukan gejala mirip flu seperti demam, sakit kepala, sakit tenggorokan, ruam dan pembengkakan kelenjar getah bening. Walaupun tidak mempunyai gejala infeksi, penderita HIV/AIDS dapat menularkan virus kepada orang lain.

2.6.2. Fase Lanjut

Penderita akan tetap bebas dari gejala infeksi selama 8 atau 9 tahun atau lebih. Tetapi seiring dengan perkembangan virus dan penghancuran sel imun tubuh, penderita HIV/AIDS akan mulai memperlihatkan gejala yang kronis seperti pembesaran kelenjar getah bening (sering merupakan gejala yang khas), diare, berat badan menurun, demam, batuk dan pernafasan pendek.

2.6.3. Fase Akhir

Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir pada penyakit yang disebut AIDS.

(9)

2.7. Pengobatan

Pemberian anti retroviral (ARV) telah menyebabkan kondisi kesehatan para penderita menjadi jauh lebih baik. Infeksi penyakit oportunistik lain yang berat dapat disembuhkan. Penekanan terhadap replikasi virus menyebabkan penurunan produksi sitokin dan protein virus yang dapat menstimulasi pertumbuhan. Obat ARV terdiri dari beberapa golongan seperti nucleoside reverse transkriptase inhibitor, nucleotide reverse transcriptase inhibitor, non nucleotide reverse transcriptase inhibitor dan inhibitor protease. Obat-obat ini hanya berperan dalam menghambat replikasi virus tetapi tidak bisa menghilangkan virus yang telah berkembang (Djauzi, S. Djoerban Z.,2007).

Vaksin terhadap HIV dapat diberikan pada individu yang tidak terinfeksi untuk mencegah baik infeksi maupun penyakit. Dipertimbangkan pula kemungkinan pemberian vaksin HIV terapeutik, dimana seseorang yang terinfeksi HIV akan diberi pengobatan untuk mendorong respon imun anti HIV, menurunkan jumlah sel-sel yang terinfeksi virus, atau menunda onset AIDS. Namun perkembangan vaksin sulit karena HIV cepat bermutasi, tidak diekspresi pada semua sel yang terinfeksi dan tidak tersingkirkan secara sempurna oleh respon imun inang setelah infeksi primer (Brooks, 2005).

2.8. Pencegahan

Menurut Muninjaya (1998), tiga cara untuk pencegahan HIV/AIDS adalah Puasa (P) seks (abstinensia), artinya tidak (menunda) melakukan hubungan seks,

(10)

Setia (S) pada pasangan seks yang sah (be faithful/fidelity), artinya tidak berganti-ganti pasangan seks, dan penggunaan Kondom (K) pada setiap melakukan hubungan seks yang beresiko tertular virus AIDS atau penyakit menular seksual (PMS) lainnya. Ketiga cara tersebut sering disingkat dengan PSK.

Bagi mereka yang belum melakukan hubungan seks (remaja) perlu diberikan pendidikan. Selain itu, paket informasi AIDS untuk remaja juga perlu dilengkapi informasi untuk meningkatkan kewaspadaaan remaja akan berbagai bentuk rangsangan dan rayuan yang datang dari lingkungan remaja sendiri (Muninjaya, 1998).

Mencegah lebih baik daripada mengobati karena kita tidak dapat melakukan tindakan yang langsung kepada si penderita AIDS karena tidak adanya obat-obatan atau vaksin yang memungkinkan penyembuhan AIDS. Oleh karena itu kita perlu melakukan pencegahan sejak awal sebelum terinfeksi. Informasi yang benar tentang AIDS sangat dibutuhkan agar masyarakat tidak mendapat berita yang salah agar penderita tidak dibebani dengan perilaku yang tidak masuk akal (Anita, 2000).

Peranan pendidikan kesehatan adalah melakukan intervensi faktor perilaku sehingga perilaku individu, masyarakat maupun kelompok sesuai dengan nilai-nilai kesehatan. Pengetahuan kesehatan akan berpengaruh kepada perilaku sebagai hasil jangka menengah (intermediate impact) dari pendidikan kesehatan. Kemudian perilaku kesehatan akan berpengaruh pada peningkatan indikator kesehatan masyarakat sebagai keluaran (outcome) pendidikan kesehatan. (Notoadmodjo, 2007).

(11)

Paket komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang masalah AIDS adalah salah satu cara yang perlu terus dikembangkan secara spesifik di Indonesia khususnya kelompok masyarakat ini. Namun dalam pelaksanaannya masih belum konsisten (Muninjaya, 1998).

Upaya penanggulangan HIV/AIDS lewat jalur pendidikan mempunyai arti yang sangat strategis karena besarnya populasi remaja di jalur sekolah dan secara politis kelompok ini adalah aset dan penerus bangsa. Salah satu kelompok sasaran remaja yang paling mudah dijangkau adalah remaja di lingkungan sekolah (closed community) (Muninjaya, 1998).

Keimanan dan ketaqwaan yang lemah serta tertekannya jiwa menyebabkan remaja berusaha untuk melarikan diri dari kenyataan hidup dan ingin diterima dalam lingkungan atau kelompok tertentu. Oleh karena itu diperlukan peningkatan keimanan dan ketaqwaan melalui ajaran-ajaran agama. (Badan Narkotika Nasional, 2009).

Cara-cara mengurangi resiko penularan AIDS antara lain melalui seks aman yaitu dengan melakukan hubungan seks tanpa melakukan penetrasi penis ke dalam vagina, anus, ataupun mulut. Bila air mani tidak masuk ke dalam tubuh pasangan seksual maka resiko penularan akan berkurang. Apabila ingin melakukan senggama dengan penetrasi maka seks yang aman adalah dengan menggunakan alat pelindung berupa kondom (Yatim, 2006).

Hindari berganti-ganti pasangan dimana semakin banyak jumlah kontak seksual seseorang, lebih mungkin terjadinya infeksi. Hindari sexual intercourse dan lakukan outercourse dimana tidak melakukan penetrasi. Jenis-jenis outercourse

(12)

termaksuk masase, saling rangkul, raba, dan saling bersentuhan tubuh tanpa kontak vaginal, anal, atau oral (Hutapea, 1995).

Bagi pengguna obat-obat terlarang dengan memakai suntik, resiko penularan akan meningkat. Oleh karena itu perlu mendapat pengetahuan mengenai beberapa tindakan pencegahan. Pusat rehabilitasi obat dapat dimanfaatkan untuk menghentikan penggunaan obat tersebut (Badan Narkotika Nasional, 2009).

Bagi seorang ibu yang terinfeksi AIDS bisa menularkan virus tersebut kepada bayinya ketika masih dalam kandungan, melahirkan atau menyusui. ASI juga dapat menularkan HIV, tetapi bila wanita sudah terinfeksi HIV pada saat mengandung maka ada kemungkinan si bayi lahir sudah terinfeksi HIV. Maka dianjurkan agar seorang ibu tetap menyusui anaknya sekalipun HIV. Bayi yang tidak diberi ASI beresiko lebih besar tertular penyakit lain atau menjadi kurang gizi (Yatim, 2006). Bila ibu yang menderita HIV tersebut mendapat pengobatan selama hamil maka dapat mengurangi penularan kepada bayinya sebesar 2/3 daripada yang tidak mendapat pengobatan (MFMER, 2008).

2.9. Sikap

2.9.1. Definisi Sikap

Menurut L.L Thursione dalam Ahmadi (2007) Sikap sebagai tingkatan kecenderungan yang bersifat positif dan negatif yang berhubungan dengan objek psikologi, objek psikologi meliputi: simbol, kata, selogan, orang, lembaga, ide dan sebagainya.

(13)

Sikap adalah organisasi yang tetap dari proses motivasi, emosi, persepsi, atau pengamatan atas suatu aspek dari kehidupan individu.

Menurut Gerungan dalam Ahmadi (2007). Pengertian attitude dapat dierjemahkan dengan kata sikap terhadap objek tertentu, yang dapat merupakan sikap, pandangan atau sikap perasaan, tetapi sikap mana disertai oleh kecendrungan untuk bertindak sesuai dengan sikap terhadap objek tadi itu. Jadi attitude itu lebih diterjemahkan sebagai sikap dan kesediaan beraksi terhadap satu hal.

Jadi sikap ialah suatu hal yang menentukan sifat, hakikat, baik perbuatan sekarang maupun perbuatan yang akan datang.

Menurut Ahmadi tiap-tiap sikap mempunyai tiga aspek, yaitu :

1. Aspek Kognitif: yaitu yang berhubungan dengan gejala mengenak pikiran. Ini berarti berwujud pengolahan, pengalaman dan keyakinan serta harapan-harapan individu tentang objek tau kelompok objek tertentu.

2. Aspek Afektif: berwujud proses yang menyangkut perasaan-perasaan tertentu seperti ketakuttan, kedengkian, simpati, antipasti dan sebagainya yang ditujukan kepada objek-objek tertentu.

3. Aspek Konatif: berwujud proses tendensi/kecendrungan untuk berbuat sesuatu objek, misalnya kecendrungan member pertolongan, menjauhkan diri dan sebagainya.

(14)

2.9.2. Sikap Sosial dan Individual 2.9.2.1. Sikap Sosial

Sikap sosial dinyatakan tidak oleh seorang saja tetapi dipehatikan oleh orang-orang sekelompoknya. Objeknya adalah objek sosial (objeknya banyak orang-orang dalam kelompok) dan dinyatakan berulang-ulang. Misalnya: sikap bergabung seluruh anggota kelompok karna meninggalnya seorang pahlawannya.

Jadi yang menandai adanya sikap moral adalah: a. Subjek yaitu orang-orang dalam kelompoknya. b. Objek yaitu objeknya sekelompok, objeknya sosial. c. Dinyatakan berulang-ulang

2.9.2.2. Sikap Individual

Ini hanya dimiliki secara individual seorang demi seorang. Objeknya pun bukan merupakan objek sosial. Misalnya: sikap yang berupa kesenangan atas salah satu jenis makanan atau salah satu jenis tumbuh-tumbuhan.

Individu akan sangat senang dengan rujak cingur. Senang yang bersifat individual. Mungkin orang-orang lain meskipun dalam kelompoknya belum tentu senang akan rujak cingur. Objeknya bukan objek sosial.

Menurut Ahmadi (2007), sikap dapat dibedakan menjadi 2 bagian yaitu:

1. Sikap Positif: sikap yang menunjukkan atau memperlihatkan, menerima, mengakui, menyetujui serta melaksanakan norma-norma yang berlaku dimana individu itu berada.

(15)

2. Sikap Negatif: sikap yang menunjukkan atau memperlihatkan penolakan atau tidak menyetujui norma-norma yang berlaku dimana individu itu berada.

Apabila individu memiliki sikap yang positif terhadap suatu obyek ia akan siap membantu, memperhatikan, berbuat sesuatu yang menguntungkan obyek itu. Sebaliknya bila ia memiliki sikap yang negatif terhadap suatu objek, maka ia akan mengancam, mencela,menyerang bahkan membinasakan obyek itu (Ahmadi,2007).

Menurut Notoatmojo (2007) sikap terdiri dari beberapa tingkatan yaitu: 1. Menerima (Receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).

2. Merespon (Responding)

Memberi jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.

3. Menghargai (Valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

4. Bertanggung Jawab (Responsible)

Bertanggung jawab atas sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.

2.9.3. Prasangka Sosial

Prasangka timbul dari adanya norma sosial. Pada kebanyakan anak-anak di Amerika Serikat prasangka terhadap orang Negrosudah terlihat pada tahu-tahun

(16)

prasekolah. Anak menyadari bahwa ia telah masuk dalam kelompoknya yaitu keluarganya dan meluas kepada bangsanya (Ahmadi, 2007).

Prasangka sosial (social prejudice) merupakan gejala psikologi sosial. Prasangka sosial ini merupakan masalah yang penting dibahas dalam intergroup relation. Prasangka sosial atau juga prasangka kelompok yaitu suatu prasangka yang diperlihatkan anggota-anggota suatu kelompok terhadap kelompok-kelompok lain termasuk para anggotanya.

Beberapa ahli meninjau pengertian prasangka sosial dari berbagai sudut: Menurut Kimball Young dalam (Ahmadi, 2007) prasangka adalah mempunyai ciri khas petentangan antara kelompok yang ditandai oleh kuatnya in group dan out group.

Sherif and Sherif dalam (Ahmadi,2007) mengatakan prasangka sosial adalah sikap negatif para anngota suatu kelompok, berasal dari norma mereka yang pasti, kepada kelompok lain beserta anggotanya. Jadi prangsaka sosial adalah suatu sikap negatif yang diperlihatkan oleh individu lain atau kelompok lain.

Orang tidak begitu saja secara otomatis berprasangka terhadap orang lain. Tetapi ada factor-faktor tertentu yang menyebabkan ia berprasangka di sini. Berkisar pada masalah yang bersifat negatif terhadap orang (kelompok lain). Ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya prasangka:

1. Orang berprasangka dalam rangka mencari kambing hitam. Dalam berusaha, seseorang mengalami kegagalan atau kelemahan sebab dari kegagalan itu dicari pada dirinya sendiri tetapi pada orang lain. Orang lain inilah yang dijadikan

(17)

kambing hitam sebagai sebab kegagalannya, misalnya: terjajah dengan penjajahan. Suatu bangsa dijajah dalam waktu yang vukup lama. Setelah bebas kembali, bangsa itu berusaha membangun negaranya usaha pembangunan ini ternyata tidak berhasil atau gagal. Sebab kegagalan ini tidak dicari pada diri bangsa itu sendiri, tetapi ditemukan atau dibebankan kepada bangsa penjajahan. 2. Orang berprasangka, karna ia sudah dipersiapkan didalam lingkungannya atau

kelompoknya untuk berprasangka. Misalnya: seorang anak Amerika Serikat (kulit putih) dilahirkan didalam keluarga kulit putih. Didalam keluarga itu sudah dianut atau ditegakkan suatu norma tertentu yaitu bahwa orang Negro itu pemalas, bodoh, tidak tahu kesusilaan dan kotor.

Anggapan semacam ini sudah tertanam pada diri anak sejak kecil, sehingga anak akan mengikuti pula anggapan semacam ini. Berdasarkan ini maka tidak mustahil bila terjadi seorang anak kulit putih telah berprasangka terhadap terhadap orang Negro, meskipun anak tersebut belum pernah bergaul dengan orang Negro. Hal semacam ini tentu saja merugikan perkembangan anak.

3. Prasangka timbul karena adanya perbedaan,dimana perbedaan ini menimbulkan perasaan superior. Perbedaan di sini bisa meliputi

a. Perbedaan fisik/biologis, ras

Misalnya: Amerika Serikat dan Negro. b. Perbedaan lingkungan/geografis.

(18)

c. Perbedaan kekeyaan

Misalnya: orang kaya dan orang miskin d. Perbedaan status sosial

Misalnya: majikan dan buruh e. Perbedaan kepercayaan/agama f. Perbedaan norma sosial.

Dan masih banyak lagi perbedaan-perbedaan diman perbedaan itu menimbulkan perasaan superior.

4. Prasangka timbul karena kesan yang menyakitkan atau pengalaman yang tidak menyenangkan.

Misalnya: bangsa yang dijajah dengan bangsa penjajah. Kesan dari bangsa dari bangsa yang dijajah ialah bahwa penjajah itu kejam, mengharuskan kerja paksa, merampas kebebasan dan sebagainya. Dengan kesan tau pengalaman semacam ini terjajah akan berprasangka terhadap penjajah.

5. Prasangka timbul karena adanya anggapan yang sudah menjadi pendapat umum atau kebiasaan didalam lingkunagn tertentu. Misalnya: orang selalu berprasangka terhadap status ibu tiri, atau anak tiri.

2.10. Stigma

2.10.1. Pengertian Stigma

Stigma berasal dari bahasa Inggris yang artinya noda atau cacat, sering juga disebut sebagai pandangan yang negatif. Stigma juga berarti pencemaran, perusakan

(19)

yang memberikan pengaruh yang buruk pada penerimaan sosial seorang individu yang terkena (Dadang, 2001).

Menurut Busza (2004) secara umum stigma merujuk pada persepsi yang negatif pada suatu keadaan yang sebenarnya tidak terbukti. Stigma adalah suatu hal yang dipakai seseorang atau kelompok dalam menganggap suatu keadaan yang negatif yang kemudian akan dipakai menjadi suatu norma pada seseorang atau kelompok dalam masyarakat.

Maman dalam Leslie Butt (2010) mendefenisikan stigma sebagai perbedaan-perbedaan yang merendahkan yang secara sosial dianggap mendiskreditkan, dan dikaitkan dengan berbagai stereotip negatif. Diskriminasi sendiri merupakan aksi-aksi spesifik yang didasarkan pada berbagai stereotip negatif ini yakni aksi-aksi yang dimaksudkan untuk mendiskredit dan merugikan orang. Dalam praktek, seseorang yang terkena stigma dianggap sebagai tantangan bagi tatangan moral (stigmatisasi), sehingga orang tersebut mesti dijatuhkan/direndahkan, atau dikucilkan (diskriminasi). Parker dan Aggleton dalam Leslie Butt (2010) menekankan bagaimana stigma terjadi pada berbagai tingkat. Keduanya mengidentifikasi 4 tingkat utama terjadinya stigma: 1. Diri: berbagai mekanisme internal yang dibuat diri sendiri, yang kita sebut

stigmatisasi diri.

2. Masyarakat: gosip, pelanggaran dan pengasingan di tingkat budaya dan masyarakat

(20)

4. Struktur: lembaga-lembaga yang lebih luas seperti kemiskinan, rasisme, serta kolonialisme yang terus-menerus mendiskriminasi suatu kelompok tertentu. Menurut Adam (2000) Perhatian terhadap stigma sesuai dengan perhatian yang lebih luas tentang penyimpangan dan penamaannya. Tindakan penamaan seringkali menggerakkan proses rekonstruksi kognitif yang merusak, yang memberikan data perilaku sebuah makna yang hampa dan tidak menyenangkan, karena itu muncul kecenderungan kuat bagi reaksi stigmatisasi untuk bergerak di dalam arah stereotype yang merasionalkan atau menjelaskan pengaruh negatif yang ada. Meskipun demikian banyak reaksi stigmatisasi pada awalnya dicirikan oleh kegelisahan yang samar-samar dan pengaruh yang tidak pada tempatnya.

2.10.2. Stigma Orang dengan HIV/AIDS

Stigma adalah label negatif yang diberikan pada orang dengan HIV/ AIDS atau ODHA (Orang dengan HIV/AIDS). Ini akibat persepsi yang keliru. Gambaran negatif pada ODHA dibangun dari informasi yang tidak lengkap, tidak benar dan tidak jelas. Hukuman sosial atau stigma oleh masyarakat di berbagai belahan dunia terhadap pengidap AIDS terdapat dalam berbagai cara, antara lain tindakan-tindakan pengasingan, penolakan, diskriminasi, dan penghindaran atas orang yang diduga terinfeksi HIV; diwajibkannya uji coba HIV tanpa mendapat persetujuan terlebih dahulu atau perlindungan kerahasiaannya; dan penerapan karantina terhadap orang-orang yang terinfeksi HIV. Kekerasan atau ketakutan atas kekerasan, telah mencegah banyak orang untuk melakukan tes HIV, memeriksa bagaimana hasil tes mereka, atau berusaha untuk memperoleh perawatan; sehingga mungkin mengubah suatu sakit

(21)

kronis yang dapat dikendalikan menjadi "hukuman mati" dan menjadikan meluasnya penyebaran HIV. (Humas BNN 2011)

Menurut Herek and Capitanio (1999) stigma ODHA lebih jauh dapat dibagi menjadi tiga kategori:

1. Stigma Instrumental ODHA

2. Stigma Simbolis ODHA yaitu penggunaan HIV/AIDS untuk mengekspresikan sikap terhadap kelompok sosial atau gaya hidup tertentu yang dianggap berhubungan dengan penyakit tersebut.

yaitu refleksi ketakutan dan keprihatinan atas hal-hal yang berhubungan dengan penyakit mematikan dan menular.

3. Stigma Kesopanan ODHA

Stigma ODHA sering diekspresikan dalam satu atau lebih stigma, terutama yang berhubungan dengan

yaitu hukuman sosial atas orang yang berhubungan dengan issu HIV/AIDS atau orang yang positif HIV.

homoseksualitas, biseksualitas, pelacuran, dan penggunaan narkoba melalui suntikan. Di banyak negara maju, terdapat penghubungan antara AIDS dengan homoseksualitas atau biseksualitas, yang berkorelasi dengan tingkat prasangka seksual yang lebih tinggi, misalnya sikap-sikap anti homoseksual. Demikian pula terdapat anggapan adanya hubungan antara AIDS dengan hubungan seksual antar laki-laki, termasuk bila hubungan terjadi antara pasangan yang belum terinfeksi

Menurut Laila Erni Yusnita (2012) ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi stigma terhadap HIV/AIDS yakni HIV/AIDS adalah penyakit yang mengancam jiwa, orang-orang takut terinfeksi HIV, penyakit dihubungkan dengan

(22)

perilaku yang telah terstigma dalam masyarakat, ODHA sering dianggap sebagai yang bertanggung jawab bila ada terinfeksi, nilai-nilai moral atau agama membuat orang yakin bahwa HIV/AIDS sebagai hasil dari pelanggaran moral.

Hukuman sosial bagi penderita HIV/AIDS, umumnya lebih berat bila dibandingkan dengan penderita penyakit mematikan lainnya. Kadang-kadang hukuman sosial tersebut juga turut tertimpakan kepada petugas kesehatan atau sukarelawan, yang terlibat dalam merawat

Menurut Leslie Butt (2010) dari hasil penelitian mereka di pegunungan Papua dengan 28 responden dari latar belakang yang beragam, para responden mengungkapkan mereka mengalami stigma dari berbagai sumber. Diantaranya:

orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA).

1. Pengungkapan status mereka tanpa sepengetahuan mereka oleh orang-orang lain 2. Pengungkapan status mereka secara sukarela oleh orang-orang lain

3. Pengungkapan status mereka oleh seseorang yang berpengaruh seperti pemimpin gereja atau petugas kesehatan

4. Pengungkapan status mereka oleh orang tua 5. Kesalahan dalam penyediaan layanan kesehatan

6. Kurangnya akses ke obat-obatan ARV atau akses yang diketahui orang lain 7. Kurangnya pengetahuan tentang HIV, transmisi dan ARV

8. Diskriminasi oleh kerabat jauh dan masyarakat

(23)

10. Nilai-nilai budaya yang berkenaan dengan kematian dan menjelang kematian/sekarat

a. Nilai-nilai budaya tentang pengasingan

b. Kondisi-kondisi politik yang menyebabkan rasisme c. Tak adanya atau kurangnya layanan kesehatan d. Penundaan dalam penyediaan berbagai layanan dasar e. Stigmatisasi diri

2.10.3. Issu Mengenai Stigma ODHA

Berikut beberapa issu mengenai stigma ODHA menurut Kesrepro (2007): 1. Dukungan Bagi ODHA dan Keluarga

ODHA mengalami proses berduka dalam kehidupannya, sebuah proses yang seharusnya mendorong pada penerimaan terhadap kondisi mereka. Namun, masyarakat dan lembaga terkadang memberikan opini negatif serta memperlakukan ODHA dan keluarganya sebagai warga masyarakat kelas dua. Hal ini menyebabkan melemahnya kualitas hidup ODHA.

2. Tempat Layanan Kesehatan

Sering terjadi, lembaga yang diharapkan memberikan perawatan dan dukungan, pada kenyataannya merupakan tempat pertama orang mengalami stigma dan diskriminasi. Misalnya, memberikan mutu perawatan medis yang kurang baik, menolak memberikan pengobatan -seringkali sebagai akibat rasa takut tertular yang salah kaprah. Contoh dari stigma dan diskriminasi yang dihadapi ini adalah: alasan dan penjelasan kenapa seseorang tidak diterima di rumah sakit (tanpa

(24)

didaftar berarti secara langsung telah ditolak), isolasi, pemberian label nama atau metode lain yang mengidentifikasikan seseorang sebagai HIV positif, pelanggaran kerahasiaan, perlakuan yang negatif dari staf, penggunaan kata-kata dan bahasa tubuh yang negatif oleh pekerja kesehatan, juga akses yang terbatas untuk fasilitas-fasilitas rumah sakit.

3. Akses untuk Perawatan

ODHA seringkali tidak menerima akses yang sama seperti masyarakat umum dan kebanyakan dari mereka juga tidak mempunyai akses untuk pengobatan ARV mengingat tingginya harga obat-obatan dan kurangnya infrastruktur medis di banyak negara berkembang untuk memberikan perawatan medis yang berkualitas.Bahkan ketika pengobatan ARV tersedia, beberapa kelompok mungkin tidak bisa mengaksesnya, misalnya karena persyaratan tentang kemampuan mereka untuk mengkonsumsi sebuah zat obat, yang mungkin terjadi pada kelompok pengguna narkoba suntikan.

4. Pendidikan

Hak untuk mendapat pendidikan bagi ODHA dan kelompok lain yang rentan terkadang diremehkan melalui penolakan untuk memasukkan murid ke sekolah dan universitas, penolakan untuk mengakses fasilitas sekolah, perlakuan yang negatif dari teman sebaya dan lainnya di lingkungan sekolah, pengucilan di kelas, dan tidak adanya keinginan untuk mengajak siswa mengikuti pemeriksaan kesehatan, dll. Lebih jauh lagi, cara mengajar tanpa diskriminasi HIV/AIDS seringkali tidak masuk dalam kurikulum.

(25)

5. Sistem Peradilan

Perilaku negatif atau prasangka terhadap ODHA dapat direfleksikan dengan penolakan atau akses yang lebih sedikit untuk sistem peradilan dan penilaian menyangkut issu-issu seperti kerahasiaan status HIV dan perlindungan dalam kasus perkosaan/penganiayaan. Sistem peradilan juga dapat meningkatkan stigmatisasi, misalnya ketika kelompok yang rentan, misalnya pekerja seks dan pengguna narkoba, dianggap bersalah ketimbang diberi dukungan untuk mencegah penularan HIV.

6. Politik

Kalangan eksekutif yang tidak berbuat apa-apa di bidang HIV/AIDS dapat melegitimasi stigma dan diskriminasi, khususnya ketika sikap diskriminasi ditujukan kepada AIDS dan orang-orang di sekitarnya, ODHA atau kelompok marjinal lainnya diabaikan dalam proses penegakan hukum, dan mereka yang melakukan diskriminasi dibiarkan saja.

7. Organisasi Kepercayan

Pada beberapa kejadian, organisasi kepercayaan turut memberikan prasangka buruk terhadap ODHA dan keluarganya. Ini secara khusus terlihat lewat perlakuan terhadap issu seksualitas, seks dan penggunaan narkoba, penggunaan alat kontrasepsi, pasangan seksual lebih dari satu, dan adanya kepercayaan bahwa HIV/AIDS adalah merupakan kutukan dari Tuhan.

(26)

8. Media

Beberapa jurnalis tidak mempunyai pengetahuan yang cukup atau informasi dasar ketika memberitakan situasi yang menyangkut kelompok rentan dan ODHA. Kesalahan informasi bisa mendorong adanya komentar yang tidak pantas, penggunaan istilah yang negatif, sensasionalisasi pelanggaran kerahasiaan dan terus berlangsungnya perlakuan negatif terhadap ODHA dan mereka yang terkena dampaknya, seperti juga terhadap kelompok yang rentan.

9. Tempat Kerja

Kemampuan untuk membiayai hidup dan untuk dipekerjakan adalah merupakan hak dasar manusia. Issu-issu yang berhubungan dengan HIV/AIDS menyangkut pengangkatan dan pemecatan, keamanan karyawan, pemecatan yang tidak adil, asuransi kesehatan, absen dari kerja untuk tujuan kesehatan, alokasi kerja, lingkungan yang aman, gaji dan tunjangan, perlakuan atasan dan rekan kerja, skining HIV untuk semua karyawan, promosi dan pelatihan.Seringkali pemikiran di balik issu-issu terkait ini adalah adanya kepercayaan bahwa tidak ada gunanya menginvestasi uang pada seseorang yang akhirnya toh akan meninggal. Tidak adanya kebijakan perekrutan adalah kondisi rumit yang seringkali terabaikan. 2.10.4. Ketakutan Akan Stigma dan Diskriminasi, Kendala Utama Penanganan

HIV/AIDS

Masyarakat masih memberikan stigma dan diskriminasi kepada penderita HIV /AIDS. Faktor-faktor yang menimbulkan stigma dan diskriminasi di masyarakat adalah karena penyakit HIV / AIDS dapat mengancam jiwa, informasi yang kurang

(27)

tepat mengenai penyakit HIV / AIDS dan adanya kepercayaan dimasyarakat bahwa penyakit ini adalah merupakan suatu “hukuman” atas perbuatan yang melanggar moral atau tidak bertanggungjawab sehingga penderita HIV / AIDS itu “pantas” untuk menerima perlakuan-perlakuan yang tidak selayaknya mereka dapatkan. Adanya ketakutan, stigmatisasi dan diskriminasi menimbulkan dampak penolakan dari masyarakat bahkan penolakan dari akses pendidikan dan kesehatan. Tindakan penolakan itu bisa berupa sekedar ucapan hingga berupa penyiksaan psikologis dan fisik yang traumatis. Trauma yang diterima penderita HIV menjadi bertumpuk-tumpuk, selain trauma karena tahu yang akan terjadi pada tubuhnya bila menderita HIV, juga trauma karena adanya stigma dan diskriminasi yang melekat terus sepanjang hidupnya (Wikipedia 2011).

Ketakutan tidak diterima masyarakat dan ditolak dimana-mana bisa menghambat kemauan para resiko tinggi menderita HIV dan orang yang dicurigai menderita HIV untuk dilakukan pemeriksaan. Mereka tidak ingin tahu dan tidak mau tahu kalau mereka menderita HIV. Padahal kemauan secara sadar untuk mendatangi fasilitas untuk mengetes positif tidaknya orang ini sangat dibutuhkan saat ini. Perkembangan di bidang kesehatan memberikan kemudahan pengetesan HIV yang sebanding dengan pengetesan gula darah, dimana Rapid Test HIV dapat dilakukan hanya dengan menggunakan sedikit darah dapat dilakukan ditingkat Puskesmas tertentu. Akan menjadi percuma dibangunnya klinik VCT di tiap RSUD dan puskesmas berbasis reproduksi bila stigma dan diskriminasi masih saja menghantui para resiko tinggi HIV/AIDS untuk menggunakan fasilitas ini.

(28)

Perkembangan penelitian obatan antiretroviral maupun penelitian obat-obatan peningkat sistem imun mampu mengurangi dampak buruk dari penyakit ini. Seharusnya, penderita HIV bisa diperlakukan yang sama dengan pengindap virus yang lain. Bukankah virus Flu Babi lebih menakutkan karena bisa menular tanpa adanya kontak fisik sekalipun?. Fakta sudah membuktikan bahwa disaat ini HIV / AIDS sudah menjadi penyakit yang dapat dicegah dan diterapi maka diharapkan perubahan perilaku penolakan, stigma dan diskriminasi akan dapat dikurangi.

2.10.5. Stigma HIV/AIDS Masih Berkutat pada Masalah Seks

Awalnya memang perkembangan HIV/AIDS dikalangan yang suka berganti-ganti pasangan, Homoseksual, dan Pekerja Seks Komersial (PSK) cukup tinggi, tetapi itu terjadi pada tahun sekitar tahun 1970 hingga tahun 1980 an. Sehingga yang terjadi di masyarakat memberikan stigma bahwa yang terkena HIV/ AIDS biasanya juga dari kalangan homoseksual dan PSK. Penularan melalui hubungan seksuallah yang digembar-gemborkan sebagai penyebab utama penyakit HIV/AIDS sehingga kampanye penggunaan kondom dan safe sex pun digalakkan dimana-mana.

Kampanye dan konseling juga dilakukan pada kalangan yang dianggap beresiko tinggi terhadap penyakit HIV/AIDS ini. Bermunculan LSM dan lembaga-lembaga milik pemerintah yang menekankan perilaku seksual sebagai penyebab utama penularan penyakit ini, dan ini masih berlangsung hingga sekarang. Usaha-usaha yang telah dilakukan antara lain adalah adanya Peer Konseling, Penyuluhan Kesehatan Reproduksi, Penyuluhan Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR), penyuluhan kepada organisasi yang menampung para homoseksual, skreening kepada

(29)

PSK, serta fokus – fokus lain yang masih saja berkutat pada “seks”. Usaha – usaha ini sudah cukup berhasil menekan penularan HIV / AIDSlewat transmisi seksual.(PKM Mojongagung 2009)

2.11. Penerimaan

Penerimaan adalah : suatu proses, cara, perbuatan menerima : penyambutan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2007).

Penerimaan akan memperlihatkan perlakuan yang positif, menerima sepenuhnya sesuatu perkara dengan hati yang ikhlas tanpa ada unsur-unsur terpaksa. (Kementerian Penerangan Komunikasi dan Kebudayaan, 2011).

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa penerimaan masyarakat adalah suatu proses atau perbuatan menerima dengan memperlihatkan perlakuan yang positif dengan ikhlas tanpa unsur-unsur paksaan.

2.12. Landasan Teori

Pada penelitian ini, landasan teori yang digunakan adalah teori-teori relevan, yang dissusun untuk menjelaskan tentang variabel-variabel yang akan diteliti dalam penelitian ini (Ridwan, 2005). Konsep umum yang dijadikan landasan teori adalah sikap.

Penerimaan masyarakat terhadap stigma ODHA berawal dari bagaimana sikapnya. Menurut Gerungan dalam Ahmadi (2007) pengertian attitude dapat diterjemahkan dengan kata sikap terhadap objek tertentu, yang dapat merupakan

(30)

sikap, pandangan atau sikap perasaan, tetapi sikap mana disertai oleh kecenderungan untuk bertindak terhadap objek tadi. Jadi attitude itu lebih diterjemahkan sebagai sikap dan kesediaan beraksi terhadap suatu hal.

Menurut Zimbardo and Ebbesen, sikap adalah suatu predisposisi (keadaan mudah terpengaruh) terhadap seseorang, ide, atau objek yang berisi komponen-komponen cognitive, affective, dan behaviour.

Sikap terbagi dua yaitu sikap sosial dan individual, dan dibedakan atas :

1. Sikap Positif : sikap menunjukkan atau memperlihatkan menerima, mengakui, menyetujui serta melaksanakan norma-norma yang berlaku dimana individu berada.

2. Sikap Negatif : sikap yang menunjukkan atau memperlihatkan penolakan atau tidak menyetujui norma-norma yang berlaku dimana individu itu berada.

Menurut Sherif and Sherif dalam Ahmadi (2007), prasangka sosial adalah suatu sikap negatif para anggota suatu kelompok berasal dari norma mereka yang pasti kepada kelompok lain beserta anggotanya. Dengan demikian prasangka sosial adalah suatu prasangka negatif yang diperlihatkan oleh individu atau kelompok terhadap individu lain atau kelompok lain. Dengan adanya prasangka sosial ini akan mempengaruhi masyarakat dalam mengambil suatu sikap penerimaan masyarakat terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA)

(31)

2.13. Kerangka Konsep

Stigma masyarakat terhadap Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) adalah label negatif yang diberikan pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Ini akibat adanya prasangka sosial yang negatif terhadap ODHA. Variabel-variabel yang merupakan objek dalam penelitian ini, dikumpulkan dan dihubungkan satu dengan yang lainnya dalam bentuk bagan sesuai dengan tujuan penelitian, sebagai kerangka konsep penelitian. Jadi kerangka konsep penelitian adalah sebagai berikut:

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian Stigma terhadap ODHA:

- Stigma Instrumental - Stigma Simbolis - Stigma Kesopanan

Penerimaan Masyarakat terhadap ODHA

Gambar

Gambar 2.1 Daerah Epidemi HIV/AIDS di dunia.

Referensi

Dokumen terkait

Hubungan yang terjadi adalah semakin baik derajat modified Singh index maka semakin memiliki kecenderungan terjadi fraktur collum femur, dan semakin jelek

akan dianalisis dalam penelitian ini berupa kutipan-kutipan (kata, frasa, kalimat naratif, maupun dialog), yang berkaitan dengan tubuh dan penubuhan yang digambarkan

Berdasarkan Tabel 13, hasil uji korelasi Spearman menunjukan bahwa terdapat hubungan yang nyata dan positif antara penerapan GDFP dengan pendapatan peternak, nilai

Kebijakan puritanisme oleh sultan Aurangzeb dan pengislaman orang-orang Hindu secara paksa demi menjadikan tanah India sebagai negara Islam, dengan menyerang berbagai praktek

Penilaian gejala depresi seperti perasaan sedih atau kekecewaan yang kuat dan terus menerus yang mempengaruhi aktivitas normal, menunjukan prevalensi seumur hidup

Tingkat kemudahan pembacaan simbol pada peta multiskala cetak dan web diperoleh hasil sebesar 74% responden memilih web cartography sebagai bentuk penyajian peta multiskala yang

Atas dasar penelitian dan pemeriksaan lanjutan secara seksama terhadap berkas yang diterima Mahkamah Pelayaran dalam Berita Acara Pemeriksaan Pendahuluan (BAPP),

Variabel keunggulan kompetitif tidak berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan pada PT Sumber Air Pagar Batu tetapi berdasarkan persamaan regresi, jika