18
A. Pengertian dan Susunan Hierarki Perundang-undangan di Indonesia Sebelum membahas hierarki perundang-undangan, terlebih dahulu akan mengulas tentang sumber hukum. Sumber hukum adalah segala sesuatu yang dapat menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan hukum yang bersifat memaksa. Artinya aturan-aturan yang jika dilanggar
mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata.1 Sumber pokok dari segala
peraturan perundang-undangan Negara Republik Indonesia adalah Pancasila
dan Undang-undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.2
Pada hakikatnya, sumber-sumber hukum dibedakan atas dua jenis, yaitu:
1. Sumber hukum materiil adalah sumber hukum yang menentukan isi suatu peraturan atau kaidah hukum yang mengikat setiap orang.
2. Sumber hukum formil merupakan sumber hukum yang menentukan bentuk dan sebab terjadinya suatu peraturan atau kaidah hukum. Sumber hukum formil yang dikenal dalam ilmu hukum berasal dari enam jenis, yaitu undang-undang, kebiasaan, traktat, yurisprudensi, doktrin dan hukum
agama.3
1 Zainal Asikin, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012), hlm. 79 2
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 22
Hierarki dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti urutan tingkatan
atau jenjang jabatan (pangkat kedudukan).4 Sedangkan Undang-undang
berarti ketentuan dan peraturan negara yang dibuat oleh pemerintah (menteri, badan eksekutif, dsb), disahkan oleh parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat, badan legislatif dsb), ditandatangani oleh kepala negara (presiden, kepala
pemerintah, raja), dan mempunnyai kekuatan yang mengikat.5
Dalam terminologi ilmu hukum, undang-undang dibedakan atas dua jenis, yaitu:
1. Undang-undang dalam arti materiil, yaitu setiap peraturan yang dikeluarkan oleh negara yang isinya langsung mengikat masyarakat umum.
2. Undang-undang dalam arti formal, yaitu setiap peraturan negara yang karena bentuknya disebut undang-undang atau dengan kata lain setiap
keputusan/peraturan yang dilihat dari cara pembentukannya.6
Dengan demikian, hierarki peraturan perundang-undangan adalah urutan sistematis peraturan perundang-undangan dari yang tertinggi hingga terandah. Peraturan yang lebih tinggi menjadi sumber dan dasar peraturan-peraturan dibawahnya. Setiap peraturan-peraturan tidak boleh bertentangan dengan
peraturan diatasnya.7
4
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 497
5 Ibid., hlm.1527 6
Zainal Asikin, Pengantar Ilmu Hukum, Op. Cit., hlm.80
7
http://artasite.blogspot.com/2010/08/hirarki-peraturan-perundang-undangan.html,diakses
Di dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dalam pasal 7 ayat (1) diatur tentang Jenis, Hierarki dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan sebagai berikut:
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang d. Peraturan Pemerintah
e. Peraturan Presiden
f. Peraturan Daerah Provinsi dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.8
Mengenai kekuatan berlakunya suatu undang-undang, ilmu hukum membedakan dalam tiga jenis, yaitu:
1) Kekuatan berlaku yuridis, yaitu bila seluruh persyaratan formal pembentukannya terpenuhi.
2) Kekuatan berlaku sosiologis, yaitu apabila undang-undang secara nyata diterima dan berlaku dalam masyarakat.
3) Kekuatan berlaku filosofis, apabila undang-undang berlaku karena sesuai
dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.9
B. Asas-asas Hukum Perundang-undangan
Perkataan asas berasal dari bahasa Arab, asasun. Artinya dasar, basis, pondasi. Kalau dihubungkan dengan sistem berpikir, yang dimaksud dengan
asas adalah landasan berpikir yang sangat mendasar.10
8Pasal 7 Ayat (1) UU No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
9
Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Op. Cit., hlm. 67
10
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, (Jakarta: PT.RajaGrafindoPersada, 2006), hlm.126.
Asas hukum adalah aturan dasar dan prinsip-prinsip hukum yang abstrak dan pada umumnya melatarbelakangi peraturan konkret dan
pelaksanaan hukum.11 Asas hukum memiliki landasan, yaitu berakar dalam
masyarakat dan pada nilai-nilai yang dipilih dalam kehidupan bersama. Fungsi asas hukum dalam hukum dapat mengesahkan dan mempunyai pengaruh yang normatif dan mengikat para pihak. Bersifat mengikat karena
eksistensinya para rumusan oleh pembentuk undang-undang dan hakim.12
Menurut Van Der Vlies, dalam membentuk peraturan perundang-undangan yang baik, perlu diperhatikan asas formil dan asas materiil, yaitu sebagai berikut;
1. Asas-asas formil, meliputi: asas tujuan yang jelas, asas organ/lembaga yang tepat, asas perlunya peraturan, asas dapat dilaksanakan, asas konsesnsus.
2. Asas-asas materiil, meliputi: asas terminologi dan sistematika yang benar, asas dapat dikenali, asas perlakuan yang sama di bawah hukum, asas
kepastian hukum, asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual.13
Dalam ilmu hukum, bahwa acapkali hukum yang telah
dikodifikasikan dalam suatu undang-undang yang kemudian berlaku sebagai hukum positif terdapat konfllik norma (conflict of norms). Asas hukum yang paling populer dalam menyelesaikan konflik norma hukum ialah:
11
Ibid., hlm.109
12
Zainal Asikin, Pengantar Ilmu Hukum, Op. Cit., hlm. 101
1. Lex superior derogat legi inferiori, peraturan perundang-undangan bertingkat lebih tinggi mengesampingkan peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah, kecuali apabila substansi peraturan perundang-undangan lebih tinggi mengatur hal-hal yang oleh undang-undang ditetapkan menjadi wewenang peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah.
2. Lex specialis derogat legi generalis, asas ini mengandung makna bahwa aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum.
3. Lex posterior derogat legi priori, aturan hukum yang lebih baru
mengesampingkan atau meniadakan aturan hukum yang lama.14
Dalam kepustakaan ilmu hukum, terdapat beberapa asas hukum yang bersifat spesifik, sebagai berikut:
1. Asas the binding force of precedent, yaitu putusan hakim sebelumnya mengikat hakim-hakim lain dalam perkara yang sama.
2. Asas nullun delictum nulla poena sine praevia lege poenadi atau asas legalitas, yaitu tidak ada perbuatan yang dapat dihukum kecuali sebelumnya ada Undang-undang yang mengaturnya.
3. Asas restitutio in intregum, yaitu ketertiban dalam masyarakat haruslah dipulihkan pada keadaan semula, apabila terjadi konflik.
4. Asas cogatitionis poenam nemo patitur, yaitu tidak seorang pun dapat
dihukum karena apa yang dipikirkan dalam batinnya.15
C. Ketentuan Isbat Nikah dalam KHI dan Undang-undang
Itsbat nikah sebenarnya sudah menjadi istilah dalam Bahasa Indonesia
dengan sedikit revisi yaitu dengan sebutan isbat nikah. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, isbat nikah adalah penetapan tentang kebenaran atau
(keabsahan) nikah.16
Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat
oleh Pegawai Pencatat Nikah. Lembaga pencatatan perkawinan merupakan syarat
administratif dan substansinya bertujuan untuk mewujudkan ketertiban hukum.
Dalam kaidah hukum Islam, pencatatan perkawinan dan
membuktikannya dengan akta nikah, sangat jelas mendatangkan maslahat bagi tegaknya rumah tangga. Sejalan dengan prinsip:
حلاصملا بلج ىلع مدقمدسافملاأرد “Menolak kemadharatan lebih didahulukan daripada memperoleh kemaslahatan”.
ةحلصملاب طونم ةيعرلا ىلع ماملاا فرصت “Suatu tindakan (peraturan) pemerintah, berintikan terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya”.
Praktek pemerintah yang mengatur tentang pencatatan perkawinan dan dibuktikannya dengan akta nikah, meminjam istilah teknis dalam epistimologis hukum Islam, adalah metode istislah atau maslahah mursalah. Hal ini karena meski secara formal tidak ada ketentuan ayat atau sunnah yang
15
Ibid., hlm.111
16
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op. Cit., hlm.549
memerintahkan pencatatan, kandungan maslahatnya sejalan dengan tindakan
syara’ yang ingin mewujudkan kemaslahatan bagi manusia.17
Di dalam pasal 7 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam, “Dalam hal perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama”. Ketentuan pasal ini telah memberikan kompetensi absolut yang sangat luas tentang isbat nikah, melebihi kewenangan yang telah diberikan undang-undang. Karena itu ketentuan ini rancu sebab sebagaimana telah diuraikan dimuka, bahwa Akta Nikah merupakan bukti otentik tentang telah terjadinya suatu perkawinan yang sah. Mestinya jika suatu perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, maka sesuai dengan ketentuan PERMENAG Nomor 3 Tahun 1975 pasal 39 ayat (4), atas permintaan yang berkepentingan, KUA mengeluarkan duplikat
akta nikah. Jadi untuk memperoleh bukti otentik perkawinan yang
dilaksanakan setelah berlakunya Undang-undang Perkawinan, tidak dengan cara mengisbatkannya ke Pengadilan Agama, tetapi dengan jalan
mencatatkannya ke Pegawai Pencatat Nikah.18
Pasal 7 ayat (3) huruf (a) KHI, “Isbat Nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan: (a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian.” Ketentuan pasal ini bersifat umum dan tidak memberikan kriteria secara tegas, bahwa perkawinan yang dapat dimintakan isbatnya adalah perkawinan yang
17
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia. (Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 1998) hlm. 116-121
dilakukan sebelum berlakunya Undang-undang perkawinan, dan perkawinan tersebut telah memenuhi syarat dan rukun nikah sesuai dengan hukum Islam. Jika perkawinan yang dilakukan setelah berlakunya Undang-undang perkawinan mengajukan isbat nikah, maka hal ini menyalahi ketentuan Penjelasan pasal 49 huruf (a) angka (22) Undang-undang Peradilan Agama.
Pasal 7 ayat (3) huruf (b) KHI: “Isbat Nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan: (b) Hilangnya Akta Nikah”. Jika hanya sekedar hilangnya Buku Kutipan Akta Nikah, tentu dapat dimintakan duplikatnya ke KUA, dan untuk tindakan preventif jika catatan Akta Nikah yang asli hilang tentu masih dapat menemukan helai kedua dari Akta Perkawinan itu di Pengadilan Agama, sebab sesuai dengan ketentuan pasal 13 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 bahwa helai kedua dari Akta Perkawinan itu harus dikirim oleh Pegawai Pencatat Nikah kepada Panitera Pengadilan untuk disimpan pada Pengadilan Agama. Kemudian data itu diserahkan kepada KUA sebagai dasar
untuk dikeluarkannya Duplikat Akta nikahnya. 19
Berikutnya di dalam pasal 7 ayat (3) huruf (d) KHI “Isbat Nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan: (d) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974”, dapat dipahami bahwa permohonan isbat nikah yang dapat dimohonkan ke Pengadilan Agama pada dasarnya hanya terhadap perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang
Perkawinan. Sehingga secara a contrario (mafhum mukhalafah) perkawinan yang dilakukan pasca Undang-undang Perkawinan, Pengadilan Agama tidak
berwenang untuk mengisbatkannya.20
Dalam kompetensi absolut Pengadilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah tentang masalah isbat nikah, meliputi:
a. Perkara permohonan isbat nikah itu adalah bersifat voluntair murni.
b. Perkawinan yang dapat diisbatkan adalah perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang Perkawinan, bukan perkawinan yang terjadi
sesudahnya.21
Ketentuan pasal undang-undang yang menjadi landasan yuridis bagi Pengadilan Agama untuk melukukan isbat nikah adalah penjelasan pasal 49 huruf (a) angka (22) Undang-undang Peradilan Agama dan pasal 7 ayat (2) dan (3) huruf d Kompilasi Hukum Islam (KHI). Sedangkan kedua ketentuan tersebut membatasi perkawinan yang dapat dimohonkan isbat nikah ke Pengadilan Agama hanya perkawinan yang dilangsungkan sebelum berlakunya Undang-undang Perkawinan. Dengan pembatasan tersebut, maka Pengadilan Agama tidak mempunyai payung hukum untuk menjalankan
fungsinya secara optimal melakukan isbat nikah.22
20 Chatib Rasyid dan Syaifuddin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik pada Peradilan Agama, (Yogyakarta: UII Press, 2009), hlm.21
21
M.Anshari MK, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Op. Cit., hlm. 34
22http://Drs. Abd. Rasyid As’ad M.H (HakimPengadilanAgamaKraksaan)//Isbat-Nikah-Justice-for-all. Diakses tgl. 26 Desember 2014
D. Kedudukan KHI dalam Tata Perundang-undangan di Indonesia 1. Sejarah KHI
Keberhasilan umat Islam Indonesia (menteri Agama, ulama) dalam menggolkan Rancangan Undang-undang Pengadilan Agama menjadi Undang-undang Peradilan Agama, tidaklah berarti semua persoalan yang berkaitan dengan implementasi hukum Islam di Indonesia menjadi selesai. Ternyata persoalan krusial yang dihadapi adalah berkenaan dengan tidak adanya keseragaman para hakim dalam menetapkan keputusan hukum
terhadap persoalan-persoalan yang mereka hadapi.23
Dalam menghadapi penyelesaian kasus perkara di lingkungan Peradilan Agama, para hakim menoleh kepada kitab-kitab fikih. Rujukan utama mereka lari kepada kitab-kitab fikih para madzhab. Akibat sikap dan perilaku para hakim yang mengidentikkan fikih dengan syari’ah atau hukum Islam, lahirlah putusan-putusan Peradilan Agama yang sangat “berdisparitas” antara putusan yang satu dengan yang lain dalam kasus perkara yang sama. Kehadiran dan keberadaan lingkungan Peradilan Agama sebagai salah satu kekuasaan kehakiman, belum memenuhi persyaratan. Pilarnya masih pincang karena belum ditopang oleh kitab hukum yang resmi secara otoritatif.
Berangkat dari realitas ini keinginan untuk menyusun “kitab hukum Islam” dalam bentuk kompilasi dirasakan semakin mendesak. Sehingga dicapailah kesepakatan antara Menteri Agama dengan Ketua
23
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm.29
MA untuk menempuh jalur terobosan singkat. Selama belum diwujudkan cita-cita memiliki hukum positif Undang-undang Perdata Islam melalui jalur formal ketatanegaraan, untuk sementara dicukupkan saja dalam
bentuk kompilasi.24
Hal itu kemudian ditindaklanjuti dengan keluarnya Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 kepada Menteri Agama untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam. Inpres tersebut ditindaklanjuti dengan SK Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991.
Dengan demikian Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam sejak tanggal 22 Juli 1991 resmi berlaku sebagai hukum untuk dipergunakan dan diterapkan oleh Instansi Pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya dalam penyelesaian masalah-masalah yang berkaitan dengan bidang perkawinan, hibah, wakaf dan warisan. Meskipun bentuk formal kehadiran KHI hanya didukung dalam bentuk
Inpres, tidak mengurangi sifat legalitas dan otoritasnya.25
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kompilasi berarti “kumpulan” yang tersusun secara teratur (tentang daftar informasi,
karangan, dan sebagainya).26 Adapun sebagai istilah hukum kompilasi
adalah tidak lain sebuah buku hukum atau buku kumpulan yang memuat
24
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hlm.28-29
25
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia,Loc.
Cit., hlm.31 26
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op. Cit., hlm.516
uraian atau bahan-bahan hukum tertentu, pendapat hukum atau juga aturan
hukum.27
Bagi Attamimi Kompilasi adalah suatu produk berbentuk tulisan hasil karya orang lain yang disusun secara teratur. Dengan demikian KHI adalah himpunan ketentuan hukum Islam yang dituliskan dan disusun secara teratur. KHI bukanlah peraturan perundang-undangan, bukan hukum tertulis meskipun ia dituliskan, bukan undang-undang, bukan Peraturan Pemerintah, bukan Keputusan Presiden dan seterusnya. KHI menunjukkan hukum tidak tertulis yang hidup secara nyata dalam kehidupan sehari-hari sebagian besar rakyat Indonesia yang beragama Islam untuk menelusuri norma-norma hukum bersangkutan apabila
diperlukannya, baik di dalam maupun di luar pengadilan.28
KHI merupakan hasil konsensus (ijma’) ulama dari berbagai “golongan” melalui media lokakarya yang dilaksanakan secara nasional,
yang kemudian mendapat legalisasi dari kekuasaan negara.29
Tujuan utama KHI ialah “mempositifkan” hukum Islam di Indonesia. Dengan mempositifkan hukum Islam secara terumus dan sistematik dalam “kitab hukum”, terdapat beberapa sasaran pokok yang hendak dicapai dan dituju, diantaranya: untuk melengkapi pilar Peradilan Agama, untuk menyamakan persepsi penerapan hukum, untuk
27
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: CV.Akademika Pressindo, 1995), hlm.12
28
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia,
Op.Cit., hlm. 33
29
Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam Dan Peradilan Agama, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm.8
mempercepat proses taqribi bainal ummah dan untuk menyingkirkan
paham prifate affair.30
2. Penyusunan KHI
Penyusunan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dapat dirinci pada dua tahapan:
1. Tahapan pengumpulan bahan baku yang digali dari berbagai sumber baik tertulis maupun tidak tertulis dan dilakukan melalui beberapa jalur, diantaranya:
a. Penelaahan 38 kitab fiqih dari berbagai madzhab, mencakup 160 masalah hukum keluarga. Penelaahan kitab fiqih itu dilakukan para pakar di tujuh IAIN.
b. Wawancara dengan 181 ulama yang tersebar di sepuluh daerah hukum PTA waktu itu (Aceh, Medan, Padang, Palembang, Bandunng, Surakarta, Banjarmasin, Ujung Padang dan Mataram). c. Penelaahan produk pengadilan dalam lingkungan PA yang
terhimpun dalam 16 buah buku.ia terdiri atas empat jenis yaitu: himpunan putusan PTA, himpunan fatwa pengadilan, himpunan yurisprudensi PA dan law report tahun 1977 sampai tahun 1984. d. Kajian perbandingan hukum keluarga yang berlaku di Maroko,
Mesir, dan Turki. Di samping itu, memperhatikan aspek-aspek historis dan kemajemukan masyarakat bangsa Indonesia.
30
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Op. Cit., hlm. 23.
2. Tahapan perumusan yang didasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan sumber hukum Islam (Al qur’an dan Sunnah Rasul), khususnya ayat dan teks yang berhubungan dengan substansi KHI.31
Dari proses penyusunan KHI dari awal sampai akhir dengan segala tahapannya dapat diketahui bahwa yang menjadi sumber rujukan bagi penyusunan KHI itu adalah sebagai berikut:
1. Hukum Perundang-undangan berkenaan dengan perkawinan, yaitu: UU No.32 Tahun 1954, UU No.1 Tahun 1974, PP No.9 Tahun 1975 dan PP No.7 Tahun 1989.
2. Kitab-kitab fiqh dari berbagai madzhab, meskipun yang terbanyak adalah dari madzhabSyafi’iy. Dari daftar kitab fiqh yang ditelaah untuk perumusan KHI itu kelihatannya kitab-kitab tersebut berasal dari madzhab Syafi’iy, Hanafi, Maliki, Hanbali dan Zhahiri.
3. Hukum Adat yang berlaku di Indonesia sebagaimana yang tampil dalam beberapa yurisprudensi Penngadilan Agama, namun kelihatannya tidak
banyak yang langsunng diambil KHI dari Hukum Adat.32
Penyusunan KHI mengenai perkawinan didasarkan pada Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undang-Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975.33
31
Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam Dan Peradilan Agama, Op. Cit., hlm.8
32
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Op. Cit., hlm. 24
Keseluruhan KHI terdiri atau dibagi dalam Tiga Kitab Hukum, yaitu: Buku I Hukum Perkawinan terdiri dari 19 Bab dan 170 Pasal (Pasal 1-170), Buku II Hukum Kewarisan terdiri dari 6 Bab dan 43 Pasal (Pasal 171-214), Buku III Hukum Perwakafan terdiri dari 5 Bab dan 12 Pasal
(Pasal 215-228).34 Dalam sejarah penyusunannya dibagi 3 komisi yang
melaksanakan lokakarya yang berlangsung selama 5 hari, tanggal 2-6 Februari 1988 di Hotel Kartika Candra Jakarta yang diikuti 124 peserta dari seluruh Indonesia. 3 komisi tersebut antara lain:
1. Komisi I membidangi Hukum Perkawinan, diketuai oleh H.Yahya Harahap, sekretaris H.Mafrudin Kosasih, dengan nara sumber KH. Halim Muchammad, beranggotakan 42 orang.
2. Komisi II membidangi Hukum Kewarisan, dengan ketuanya H.A.Wasit Aulawi MA, sekretaris H.Zaenal Abidin Abu Bakar dan nara sumber KH.A.Azhar Basyir MA, beranggotakan 42 orang.
3. Komisi III membidangi Hukum Perwakafan, diketuai oleh H.Masrani Basran, sekretaris H.A.Gani Abdullah SH, dengan nara sumber
Prof.Rahmat Djatnika, beranggotakan 29 orang.35
Dari hasil lokakarya tersebut, berbagai pihak menghendaki
kompilasi ditungkan dalam bentuk Undang-undang.namun ada
kekhawatiran apabila harus ditempuh melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan sulit dan memakan waktu yang lama.ada juga keinginan agar
34
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Op. Cit., hlm.37
kompilasi dituangkan dalam Peraturan Pemerintah atau Keputusan Presiden. Akhirnya Mahkamah Agung bekerjasama dengan Departemen Agama, atas restu presiden KHI disahkan dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. Sejak saat itulah secara formal KHI di Indonesia
berlaku sebagai hukum materiil bagi lingkungan Peradilan Agama.36
3.KHI dalam Tata Perundang-undangan di Indonesia
Kata “tata” dalam kamus bahasa Indonesia berarti aturan, susunan, cara menyusun, sistem. Tata hukum berarti peraturan dan cara atau tata tertib hukum di suatu negara, atau lebih dikenal dengan tatanan. Tata hukum atau susunan hukum adalah hukum yang berlaku pada waktu tertentu dalam suatu wilayah negara tertentu yang disebut hukum positif,
dalam bahasa latinnya Ius Constitutum atau hukum yang dicita-citakan.37
KHI disusun atas prakarsa penguasa negara, dalam hal ini Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama (melalui Keputusan Surat Bersama) dan mendapat pengakuan ulama dari berbagai unsur. Penyusunan KHI dapat dipandang sebagai suatu proses transformatif hukum Islam dalam bentuk tidak tertulis ke dalam peraturan
perundang-undangan.38
Menurut Attamimi, KHI meskipun ditulis belum merupakan hukum tertulis. Karena sistem Hukum Nasional Indonesia mengakui hukum tertulis dan hukum tidak tertulis, maka KHI dapat mengisi
36 Ibid., hlm.51 37
Zainal Asikin, Pengantar Tata Hukum Indonesia, (Jakarta:PT.RajaGrafindo Persada, 2012), hlm.4
kekosongan hukum bagi warga negara Indonesia yang beragama Islam. Berkaitan dengan Instruksi Presiden, menurutnya adalah sesuatu yang menguntungkan bahwa penyebarluasan KHI dilakukan dengan Inpres, bukan dengan Keputusan Presiden dan lebih-lebih bukan dengan Undang-undang. Dengan demikian, salah paham beberapa pihak yang menyangka bahwa KHI seolah-olah usaha kembali ke Piagam Jakarta dapat
disanggah.39
Instruksi presiden, menurut Jimly Asshiddiqie merupakan “policy
rules” atau “beleidsregels”, yaitu bentuk peraturan kebijakan yang tidak
dapat dikategorikan sebagai bentuk peraturan perundang-undangan yang biasa. Disebut “policy” atau “beleids” atau kebijakan karena secara formal tidak dapat disebut atau memang bukan berbentuk peraturan yang resmi. Umpamanya, surat edaran dari seorang Menteri atau seorang Direktur Jenderal yang ditujukan kepada seluruh jajaran pegawai negeri sipil yang berada dalam lingkup tanggung jawabnya, dapat dituangkan dalam surat biasa, bukan berbentuk peraturan resmi, seperti Peraturan Menteri. Akan tetapi, isinya bersifat mengatur (regeling) dan memberi petunjuk dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas kepegawaian. Surat edaran semacam
inilah yang biasa dinamakan “policy rule” atau “beleidsregel”.40
Berkenaan dengan kedudukan KHI dalam sistem hukum nasional, diukur oleh unsur-unsur sistem hukum nasional sebagaimana telah
39 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Op.Cit., hlm.33
40
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50cf39774d2ec/perbedaan-keputusan-presiden-dengan-instruksi-presiden, diakses tgl 30 Desember 2014.
dikemukakan. Pertama, landasan ideal dan konstitusional KHI adalah Pancasila dan UUD 1945. Hal itu dimuat dalam konsiderans Instruksi Presiden dan dalam Penjelasan Umum KHI. Kedua, ia dilegalisasi oleh instrumen hukum dalam bentuk Instruksi Presiden yang dilaksanakan oleh keputusan Menteri Agama, yang merupakan bagian dari rangkaian peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketiga, ia dirumuskan dari tatanan hukum Islam yang bersumber dari Al qur’an dan Sunnah Rasul. Hal itu yang menjadi inti hukum Islam yang mencakup berbagai dimensi; syari’ah, fiqh, fatwa, qanun, qadha dan adat. Ia merupakan perwujudan hukum Islam yang bercorak ke-Indonesiaan. Keempat, saluran dalam aktualisasi KHI antara lain pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Agama.41