• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Profesi kedokteran dan tenaga medis lainnya dianggap sebagai profesi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Profesi kedokteran dan tenaga medis lainnya dianggap sebagai profesi"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Profesi kedokteran dan tenaga medis lainnya dianggap sebagai profesi yang mulia (officium nobel) dan terhormat dimata masyarakat. Seorang dokter sebelum melakukan praktek kedokterannya atau melakukan pelayanan medis telah melalui pendidikan dan pelatihan yang cukup panjang. Sekarang ini tuntutan professional terhadap profesi dokter makin tinggi. Berita yang menyudutkan serta tudingan bahwa dokter telah melakukan kesalahan di bidang medis bermunculan. Di negara-negara maju yang lebih dulu mengenal istilah malpraktik medis ini ternyata tuntutan terhadap dokter yg melakukan ketidak layakan dalam praktek juga tidak surut. Biasanya yg menjadi sasaran terbesar adalah : dokter spesialis bedah (ortopedi, plastic dan syaraf), dokter spesialis anestesi , dokter spesialis kebidanan dan penyakit kandungan.1

Dewasa ini, tindak pidana di bidang medis sangat menjadi perhatian karena perkembangannya yang terus meningkat dengan dampak/korban yang begitu besar dan kompleks, yakni secara umum tidak hanya dapat menguras sumber daya alam, akan tetapi juga modal manusia, modal sosial bahkan modal kelembagaan yang dilakukan dalam upaya memberikan perlindungan terhadap korban tindak pidana medis tersebut. Karena pada dasarnya kebijakana hukum pidana upaya untuk merumuskan kejahatan yang lebih efektif dan pada

1

DIR I/ KAM & TRANNAS BARESKRIM POLRI Jakarta, Aspek Hukum Malpraktek Pelayanan Kesehatan(Tinjauan Kasus Kriminal), 4 Juli 2010, hal 5

(2)

hakikatnya merupakan bagian dari integral dari usaha perlindungan masyarakat (social welfare). Perlindungan dan penegakan hukum di Indonesia di bidang kesehatan masih terlihat sangat kurang. Satu demi satu terdapat beberapa contoh kasus yang terjadi terhadap seorang pasien yang tidak mendapatkan pelayanan semestinya, yang terburuk dan kadang-kadang berakhir dengan kematian.2

Berikut contoh-contoh kasus dugaan malpraktik:3

1. Kasus pasien (Djamiun) yang meninggal dunia karena kelebihan dosis obat yang diberikan.

2. Kasus Nyonya Agian Isna Auli yang mengalami kelumpuhan setelah menjalani operasi Caesar.

3. Kasus seperti alergi obat, misalnya Steven Johnson Syndrome, yang seharusnya tidak dapat dikategorikan malpraktik , oleh media langsung divonis sebagai kasus malpraktik.

4. Kasus alergi kulit setelah terima imunisasi.

5. Kasus bayi kembar yang mengalami buta dan gangguan penglihatan.

6. Seorang dokter memberi cuti sakit berulang kali kepada seorang tahanan padahal orang tersebut mampu menghadiri sidang pengadilan perkaranya. Dalam hal ini dokter terkena pelanggaran KODEKI Bab-1 pasal 7 dan KUHP pasal 267.

7. Seorang penderita gadar di suatuν RS dan ternyata memerlukan pembedahan segera.Ternyata pembedahan tertunda-tunda, sehingga penderita meninggal

2 Sri sumiati, 2009, Kebijakan hukum pidana terhadap korban tindak pidana di bidang

medis, hal 1

(3)

8. Maulana adalah seorang anak berusia 18 tahun. Dulunya adalah anak yang menggemaskan dan pernah menjadi juara bayi sehat. Namun makin hari tubuhnya makin kurus. Dan organ tubuhnya tidak bisa berfungsi secara normal. Tragedi ini terjadi ketika Maulana mendapat imunisasi dari petugas kesehatan. Diduga kuat Maulana adalah korban mal praktek.

Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga kesehatan berlaku norma etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice.

Hal ini perlu difahami mengingat dalam profesi tenaga kesehatan berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sanksi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethical malpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda.Yang jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk yuridical malpractice pasti merupakan ethicalmalpractice.4

Tulisan ini dimaksudkan untuk menambah wawasan tentang kelalaian dan malpraktik medic bagi semua pihak, agar ketertiban dalam profesi dapat diwujudkan. Selain itu, pengalaman-pengalaman buruk sebagai akibat negative kemajuan dan perkembangan yang terjadi di masyarakat, harus diwaspadai untuk

(4)

tidak terulang di Negara kita. Semua pihak tentu tidak menghendaki peristiwa krisis malpraktik yang sangat merugikan masyarakat. Agaknya perlu direnungkan ucapan George Santayana: “Those who forget the past are condemmed to repeat it”, kemudian ucapan hakim Taylor yang berbunyi “it is often said that a good physician-patient relationship is the best prophylactic against malpractice suit”. Hubungan dokter-pasien yang baik ini hanya dapat dicapai apabila masing-masing pihak benar-banar menyadari hak dan kewajibannya serta memahami peraturan perundang-undagan yang berlaku.5

1. Bagaimana hubungan hukum antara pasien dan dokter serta tanggung jawab dokter dalam upaya pelayanan medis?

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan terdahulu, beberapa masalah dapat diidentifikasikan sebagai berikut :

2. Bagaimanakah pengaturan tindak pidana dan pertanggung jawaban pidana di bidang medis dalam perundang-undangan Indonesia?

3. Bagaimana kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana di bidang medis?

C. Tujuan Penulisan Dan Manfaat Penulisan

Skripsi ini sebagai suatu karya ilmiah bermanfaat bagi perkembangan hukum diIndonesia khususnyatentang hukum yang mengatur mengenai

5

Chrisdiono M. Achadiat, 2006, Etika Dan Hukum Dalam Tantangan Zaman, Jakarta : EGC, hal 19

(5)

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG MEDIS dan yang diharapkan penulis dalam penulisan skripsi ini adalah:

1. Mengetahui bagaimana hubungan hukum antara pasien dan dokter serta tanggung jawab dokter dalam upaya pelayanan medis

2. Mengetahui bagaimana pengaturan tindak pidana dan pertanggung jawaban pidana di bidang medis dalam peraturan perundang-undangan Indonesia

3. Mengetahui bagaimana kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana di bidang medis

Adapun yang menjadi manfaat penulisan skripsi ini tidak dapat dipisahkan dari tujuan penulisan yang telah diuraikan diatas yaitu:

1. Manfaat Teoritis

a. Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Di Bidang Medis

b. Dapat memberikan masukan kepada masyarakat, lembaga pemerintah, aparat penegak hukum tentang Kebijakan Hukum Pidana Di Bidang Medis 2. Manfaat Praktis

a. Dapat dijadikan sebagai pedoman dan bahan rujukan bagi rekan mahasiswa, masyarakat, praktisi hukum dan pemerintah dalam melakukan penelitian dalam yang berkaitan dengan Kebijakan Hukum Pidana Di Bidang Medis,

(6)

b. Dapat memberi masukan bagi pemerintah, aparat penegak hukum dan masyarakat tentang hal-hal harus dilakukan dalam upaya menaggulangi Kendala yang dihadapi dalam penerapan Kebijakan Hukum Pidana Di Bidang Medis.

D. Keaslian Penulisan

“Kebijakan Hukum Pidana Di Bidang Medis” yang diangkat menjadi judul skripsi ini belum pernah ditulis diFakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Hal ini sejalan dengan pemeriksaan yang dilakukan oleh Departemen Hukum Pidana mengenai keaslian judul dari penulisan skripsi ini. Dengan demikian, dilihat dari permasalahan serta tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini, maka dapat penulis katakana bahwa skripsi ini adalah merupakan hasil karya pemikiran penulis sendiri yang asli dari pemikiran penulis.

E.Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana a. Pengertian Hukum Pidana

Defenisi Hukum Pidana menurut Ilmu Pengetahuan, dapat dibedakan menjadi:6

1. Hukum Pidana adalah hukum sanksi

6

Pendapat Bambang Poernomo seperti dikutip Alvi Syahrin dalam bukunya, Ilmu Hukum Pidana (suatu pengantar), Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara, Medan, 1998, hal.15

(7)

Defenisi ini diberikan berdasarkan cirri hukum pidana yang membedakan dengan lapangan hukum yang lain yaitu bahwa hukum pidana sebenarnya tidak mengadakan norma sendiri melainkan sudah terletak pada lapangan hukum yang lain, dan sanksi pidana diadakan untuk menguatkan ditatanya norma tersebut. Hukum Pidana adalah keseluruhan aturan ketentuan hukum mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dan aturan pidananya.

2. Hukum Pidana dalam arti: a. Objektif (ius poenali) meliput i:

1. Perintah dan larangan yang pelanggarannya diancam dengan sanksi pidana oleh badan yang berhak;

2. ketentuan-ketentuan yang mengatur upaya yang dapat dipergunakan, apabila norma itu dilanggar, yang dinamakan hukum penitentiare;

3. Aturan-aturan yang menentukan kapan dan dimana berlakunya norma norma tersebut diatas.

b. Subjektif (ius puniendi) yaitu hak Negara menurut hukum untuk menuntut pelanggaran delik dan untuk menjatuhkan serta melaksanakan pidana.

3. Hukum Pidana dibedakan dan diberikan arti:

a. Hukum Pidana Materil yang menunjuk pada perbuatan pidana (strafbarefeiten) dan yang oleh sebab perbuatan itu dapat dipidana, dimana perbuatan pidana (strafbarefeiten) itu mempunyai 2 (dua) bagian yaitu:

1. Bagian objektif merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum positif, melawan hukum, yang menyebabkan tuntutan hukum dengan ancaman pidana atas pelanggarannya;

(8)

2. Bagian Subjektif yaitu mengenai kesalahan, yang menunjuk pada si pembuat (dader) untuk dipertanggungjawabkan menurut hukum.

b. Hukum Pidana Formil yang mengatur cara hukum pidana materil dapat dilaksanakan.

4. Hukum Pidana diberikan arti bekerjanya sebagai:

a. Peraturan Hukum Objektif (ius poenali) yang dibagi menjadi:

1. Hukum Pidana Materil yaitu peraturan tentang syarat dan bilamanakah, siapakah, dan bagaimanakah sesuatu itu dapat dipidana;

2. Hukum Pidana Formil, yaitu hukum acara pidananya

b. Hukum Subjektif (ius poeniendi) yaitu meliputi hukum dalam memberikan ancaman pidana, menetapkan pidana dan melaksanakan pidana, yang hanya dibebankan kepada Negara dan pejabat untuk itu;

c. Hukum Pidana Umum (algemene strafrecht) yaitu hukum pidana yang berlaku bagi semua orang, dan hukum pidana khusus (bijzondere strafrecht) dalam bentuknya sebagai ius special, seperti hukum militer.

A. Zainal Abidin Farid mengemukakan istilah hukum pidana dalam arti objektif meliputi: 7

7

Ibid., hal 19

1. Perintah dan larangan, yang atas pelanggarannya atau pengabaiannya telah ditetapkan sanksi terlebih dahulu oleh badan-badan Negara yang berwenang, peraturan-peraturan yang harus ditaati dan diindahkan oleh setiap orang;

(9)

2. Ketentuan-ketentuan yang menetapkan dengan cara apa atau alat apa dapat diadakan reaksi terhadap pelanggaran peraturan-peraturan itu, dengan kata lain hukum panontiere atau hukum sanksi;

3. Kaidah-kaidah yang menentukan ruang lingkup berlakunya perundang-undangan itu pada waktu dan wilayah Negara tertentu.

b. Pengertian kebijakan Hukum Pidana

istilah kebijakan diambil dari istilah “policy”(inggris) atau “politiek”(belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini maka istilah” kebijakan hukum pidana” dapat pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana”. Dalam kepustakaan asing istilah “politik hukum pidana” ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain: “penal policy”, “criminal law policy”, atau “strafrecht politiek”.8

Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik criminal maupun politik huku m. Soedarto mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan criminal, yaitu: 9

a. Dalam arti sempit ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana Dalam arti luas ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk didalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi.

8

Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal.27

9

(10)

b. Dalam arti paling luas ialah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.

Beliau mengemukakan definisi singkat bahwa politik kriminal merupakan suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan. Menurut Soedarto pilitik hukum adalah :10

a. Usaha untuk mewujudkan perundang-undangan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.

b. Kebijakan dari Negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan perundang-undangan yang di kehendaki yang diperkirakan bisa di gunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.

Bertolak dari pengertian demikian Soedarto selanjutnya menyatakan, bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencpaia hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi arti sarat keadilan dan daya guna. Dalam kesempatan lain beliau menyatakan bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Dengan demikian, dilihat sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik.

(11)

2. Pengertian Tindak Pidana.di Bidang Medis a. Pengertian Tindak Pidana

Pembentuk undang-undang kita menggunakan istilah straafbaarfeit untuk menyebutkan nama tindak pidana, didalam bahasa Belanda straafbaarfeit terdapat dua unsur pembentuk kata, yaitu straafbaar dan feit . perkataan feit dalam bahasa Belanda diartikan “sebagian dari kenyataan”, sedang straafbaar berarti “dapat dihukum”, sehingga secara harfiah perkataan straafbaarfeit berarti “sebagian dari kenyataan yang dapat dihukum” yang sudah tentu tidak tepat. Oleh karena itu kelak akan kita krtahui bahwa yang dapat dihukum adalah manusia sebagai pribadi bukan kenyataan, perbuatan atau tindakan. Pengertian dari kata straafbaarfeit:11

1. Simons

Dalam rumusannya straafbaarfeit itu adalah “Tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidalk dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.”

Alasan dari Simon mengapa straafbaarfeit harus dirumuskan seperti diatas karena: Untuk adanya suatu straafbaarfeit disyaratkan bahwa di situ terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan dengan undang-undang dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban seperti itu telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum;

11

(12)

a. Agar suatu tindakan seperti itu dapat dihukum maka tindakan itu harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan dengan undang-undang.

b. Setiap straafbaarfeit sebagai pelanggaran terhadap kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakikatnya merupakan tindakan melawan hukum atau suatu onrechtmatige handeling.

Jadi sifat melawan hukum timbul dari suatu kenyataan bahwa tindakan manusia bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, hingga pada dasarnya sifat tersebut bukan suatu unsur dari delik yang mempunyai arti tersendiri seperti halnya dengan unsur lain.

2. E. Utrecht

Menerjemahkan straafbaarfeit dengan istilah peristiwa pidana yang sering juga ia sebut delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen atau doen-positif atau suatu melalaikan nalaten-negatif, maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu). Peristiwa pidana merupakan suatu peristiwa hukum (rechtsfeit), yaitu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum. Tindakan semua unsur yang disinggung oleh suatu ketentuan pidana dijadikan unsur yang mutlak dari peristiwa pidana . hanya sebagian dapat dijadikan unsur-unsur mutlak suatu tindak pidana. Yaitu perilaku manusia yang bertentangan dengan hukum (unsur melawan hukum), oleh sebab itu dapat dijatuhi suatu hukuman dan adanya seorang pembuat dalam arti kata bertanggung jawab.

(13)

3. Pompe

Perkataan straafbaarfeit secara teoretis dapat dirumuskan sebagai suatu: “Pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku itu adalah penting demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingna hukum.” 12

Tindak Pidana di bidang medis atau Malpraktik merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktik” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktik berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi. Sedangkan difinisi malpraktik profesi kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama” .

b.Tindak Pidana di Bidang Medis (Malpraktik)

13

Menurut Hoekema, malpraktik adalah setiap kesalahan yang diperbuat oleh dokter karena melakukan pekerjaan kedokteran dibawah standar yang

12 Ibid

13

http://bukhariibra.wordpress.com/malpraktik-dalam-praktik.,diakses tanggal 13 Oktober 2010

(14)

sebenarnya secara rata-rata dan masuk akal, dapat dilakukan oleh setiap dokter dalam situasi atau tempat yang sama, dan masih banyak lagi definisi tentang malparaktik yang telah dipublikasikan.

Black’s Law Dictionary mendefinisikan malpraktik sebagai “professional misconduct or unreasonable lack of skill” or “failure of one rendering proffesional services to exercise that degree of skill and learning commonly applied under all the circumstances in the community by the average prudent reputable member of the proffesion with the result of injury, loss or damage to the recipient of those services or to those entitled to rely upon them”. 14

Dari berbagai definisi malpraktik diatas dan dari kandungan hukum yang berlaku di indonesia dapat ditarik kesimpulan bahwa pegangan pokok untuk membuktikan malpraktik yakni dengan adanya kesalahan tindakan profesional yang dilakukan oleh seorang dokter ketika melakukan perawatan medik dan ada pihak lain yang dirugikan atas tindakan tersebut.

Dari segi hukum, di dalam definisi di atas dapat ditarik pemahaman bahwa malpraktik dapat terjadi karena suatu tindakan yang disengaja (intentional) seperti pada misconduct tertentu, tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurang-mahiran/ketidakkompetenan yang tidak beralasan. Dalam tata hukum Indonesia tidak dikenal istilah malpraktik, pada undang-undang kesehatan yang lama No. 23 tahun 1992 yang telah dicabut dan diganti dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 disebut sebagai kesalahan atau kelalaian dokter sedangkan dalam undang-undang No. 29 tahun 2004 tentang praktek kedokteran dikatakan sebagai pelanggaran disiplin dokter.

15

Pengertian malpraktik medic menurut WMA (World Medical Associations) adalah

14

http:/Malpraktik Sejauh Mana Kita Sebagai Seorang Dokter Memahaminya« Orthopaedia & Traumatology.html., diakses tanggal 13 Oktober 2010

15

Ibid

(15)

failure to conform to the standard of care for treatment of the patient’s condition, or a lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient (adanya kegagalan dokter untuk menerapkan standar pelayanan terapi terhadap pasien, atau kurangnya keahlian, atau mengabaikan perawatan pasien, yang menjadi penyebab langsung terhadap terjadinya cedera pada pasien). 16

Antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethical malpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda.Yang jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice.Untuk malpraktik hukum atau yuridical Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga kesehatan berlaku norma etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktik sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice. Hal ini perlu dipahami mengingat dalam profesi tenaga perawatan berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar.

16

(16)

malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice, Civil malpractice dan Administrativemalpractice.17

a. Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan perbuatan tercela. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan (intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).

1.Criminal malpractice

Perbuatan seseorang dapat dimasuk kan dalam kategori criminal malpractice manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni :

b. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan (intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).

1. Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional) misalnya melakukan euthanasia (pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan (pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan palsu (pasal 263 KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis pasal 299 KUHP).

2. Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent. 3. Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang

hati-hati mengakibat kan luka,cacat atau meninggalnya pasien, ketinggalan klem dalam perut pasien saat melakukan operasi. Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat

(17)

individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.

2. Civil malpractice

Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji).Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikategorikan civil malpractice antara lain:18

18 Ibid

a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.

b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya.

c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.

d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan. Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability.

Dengan prinsip ini maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya (tenaga kesehatan) selama tenaga kesehatan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.

(18)

Dokter dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala tenaga perawatan tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi tenaga perawatan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban tenaga perawatan. 19

1. Cara langsung

Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum administrasi. Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan dua cara yakni :

Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni:

a. Duty (kewajiban)

Dalam hubungan perjanjian tenaga dokter dengan pasien, dokter haruslah bertindak berdasarkan

1) Adanya indikasi medis

2) Bertindak secara hati-hati dan teliti 3) Bekerja sesuai standar profesi 4) Sudah ada informed consent.

b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)

19

(19)

Jika seorang dokter melakukan tindakan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka dokter dapat dipersalahkan.

c. Direct Cause (penyebab langsung) d. Damage (kerugian)

Dokter untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan dokter. Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).

2. Cara tidak langsung

Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan perawatan (doktrin res ipsa loquitur). Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:

a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila dokter tidak lalai b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab dokter

c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataanlain tidak ada contributory negligence.

(20)

F.Metode Penelitian

Penelitian ini di fokuskan pada penelitian terhadap substansi hukum yang berkaitan dengan kebijakan hukum pidanaterhadap tindak pidana di bidang medis, baik hukum positif yang berlaku sekarang (ius constitutum) maupun hukum yang dicita-citakan (ius constituendum).20

1. Metode Pendekatan

Penelitian tentang Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Dibidang Medis dalam persefektif hukum pidana di Indonesia menggunakan pendekatan yang bersifat yuridis normative, yaitu dengan mengkaji/menganalisis data sekunder berupa bahan-bahan hukum terutama bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memahami hukum sebagai seperangkat peraturan atau norma-norma positif di dalam system perundang-undangan yang mengatur mengenai kehidupan manusia. Penelitian hukum normative merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka.

Penelitian hukum normative atau kepustakaan ini mencakup:21 a) Penelitian terhadap asas-asas hukum

b) Penelitian terhadap sistematika hukum

c) Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertical dan horizontal d) Perbandingan hukum dan

e) Sejarah hokum 2. Spesifikasi penelitian

20

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologo Penelitian Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1990, hal 12

21

(21)

Spesifikasi dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif analisis, yaitu penelitian yang mendeskripsikan secara terperinci fenomena sosial yang menjadi pokok permasalahan. Suatu penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang tindak pidana di bidang medis, keadaan atau gejala-gejala lainnya.

3. Sumber Data

Penelitian hukum yang bersifat normative selalu menitik beratkan pada sumber data sekunder. Data sekunder pada penelitian dapat dibedakan menjadi bahan-bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Dalam penelitian ini, bersumber dari data sekunder sebagai berikut:22

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, seperti peraturan perundang-undangan di luar KUHP yang berkaitan dengan permasalahan kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana di bidang medis. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer,seperti Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan, Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang praktik kedokteran konsep KUHP terbaru, makalah-makalah dan hukum kesehatan, dan lain-lain.

b. Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia, kamus Inggris-Indonesia, kamus Hukum Kesehatan dan Kamus Hukum.

4. Metode Pengumpulan Data

(22)

Metode pengumpulan data yang digunakam dalam suatu penelitian pada dasarnya tergantung pada ruang lingkup dan tujuan penelitian. Menurut Rony Hanitijo Soemitro teknik pengfumpulan data terdiri dari studi kepustakaan, pengamatan(observasi), wawan cara (interview), dan penggunaan daftar pertanyaan (kuisoner). .\

G. Sistematika Penulisan

Berdasarkan ruang lingkup, tujuan dan pendekatan dalam penelitian ini, maka teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan, termasuk documenter.

Untuk lebih jelas dan terarahnya penulisan skripsi ini, maka akan di bahas dalam bentuk sistematika yaitu sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Merupakan bab pendahuluan yang mengemukakan tentang latar belakang penulisan, perumusan masalah, tujuan penulisan, dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II HUBUNGAN HUKUM ANTARA PASIEN DAN DOKTER SERTA TANGGUNG JAWAB DOKTER DALAM UPAYA PELAYANAN MEDIS

Pada bagian ini akan membahas mengenai Bagaimana hubungan hukum antara pasien dan dokter serta perlindungan hukum terhadap pasien sebagai konsumen di bidang medis

BAB III PENGATURAN TINDAK PIDANA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DI BIDANG MEDIS DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA

(23)

Pada bagian ini akan membahas mengenai hal-hal yang berkaitan dengan bagaimana tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana di bidang medis serta sanksi pidana.

BAB IV KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG MEDIS

Pada bagian ini akan membahas mengenai Bagaimana kelemahan-kelemahan pengaturan tindak pidana di bidang medis, konsep pertanggung jawaban tindak pidana di bidang medis, dan konsep sanksi.

BAB V PENUTUP

Pada akhir penulisan skripsi ini berisi kesimpulan mengenai bab-bab yang telah di bahas sebelumnya dan pemberian saran-saran dari penulis yang berkaitan dengan masalah yang di bahas.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian dalam proses analisis regresi kedua variabel X4 didrop atau tidak diikutkan, sehingga variabel independent dalam sub-struktur 2 adalah variabel

Dengan demikian kegiatan dari manajemen pemasaran sangat membantu keberhasilan manajemen secara keseluruhan, dengan kata lain membantu keberhasilan adm in istra

Dengan demikian, ketika ketiga unsur ini tidak dimiliki oleh suatu ilmu pengetahuan, yaitu tidak mampu mendatangkan kesejahteraan dan kemaslahatan bagi kehidupan manusia,

The objective is to combine the benefits of case study method of teaching with online discussion forum to enhance the quality of learning while making this an assessment component

In this research, the researcher used error analysis as design of this research, based on Corder (1967) in Agustina (2016) that was determining the data, identifying the

Sebaliknya, jika perekonomian mengalami penurunan dan pasar tenaga kerja longgar (Y< Yn), maka dalam pasar tenaga kerja yang longgar dimana jumlah tenaga

Berdasarkan hasil jawaban narasumber, maka dapat diambil kesimpulan bahwa factor yang penting untuk diperhatikan dalam pembentukan tim untuk persiapan suksesor

Pengujian MIC menunjukkan konsentrasi terendah yang tidak mengalami kekeruhan yaitu pada konsentrasi 15,62 mg/mL, nilai MIC diperoleh dengan mengamati kadar terkecil