2.1. Strategi Pertumbuhan dan Pembangunan
Menurut Boediono (1982) kemampuan perekonomian suatu daerah disebabkan oleh pertumbuhan (growth) dan perkembangan (development) ekonomi. Kedua-duanya adalah sumber dari peningkatan output masyarakat sehingga terjadi proses pertumbuhan ekonomi.
2.1.1. Proses Pertumbuhan Ekonomi
Idealnya pertumbuhan ekonomi nasional atau regional dapat menyebabkan demand driven, sehingga terjadi perubahan yang lebih baik pada kinerja sektor-sektor ekonomi (Mellor, 2000). Syarat utama bagi pembangunan ekonomi adalah bahwa proses pertumbuhannya harus bertumpu pada kemampuan perekonomian di dalam wilayah/negeri tersebut. Menurut Boediono (1982), pertumbuhan ekonomi dapat didefinisikan sebagai proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi menjelaskan mengenai faktor-faktor yang menentukan kenaikan output per kapita dalam jangka panjang dan juga menjelaskan bagaimana faktor-faktor tersebut berinteraksi satu sama lain, sehingga terjadi proses pertumbuhan. Sedangkan menurut Djojohadikusumo (1994), pembangunan ekonomi mengandung arti lebih luas dan mencakup perubahan pada tata susunan ekonomi masyarakat secara menyeluruh.
Wijono (2005) menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang menentukan pertumbuhan ekonomi dan diantara faktor-faktor tersebut saling terkait sehingga terjadi proses pertumbuhan. Dengan demikian teori pertumbuhan ekonomi dapat diartikan sebagai faktor-faktor penentu kenaikan output per kapita dalam jangka panjang dan penjelasan mengenai interaksi faktor-faktor tersebut satu sama lain sehingga proses pertumbuhan itu terjadi. Menurut Schumpeter dan Hicks diacu dalam Jhingan (2004) pertumbuhan ekonomi adalah perubahan jangka panjang secara perlahan dan mantap yang terjadi melalui kenaikan tabungan dan penduduk.
Kuznet diacu dalam Todaro (2004) mengemukakan enam karakteristik atau ciri proses pertumbuhan ekonomi yang bisa ditemui dihampir semua negara maju, yaitu: 1). Tingkat pertumbuhan output per kapita dan pertumbuhan penduduk yang tinggi, 2). Tingkat kenaikan produktivitas faktor total tinggi, 3). Tingkat
transformasi ekonomi yang tinggi, 4). Adanya kecenderungan negara-negara yang mulai dan menambah bagian-bagian dunia lainnya sebagai daerah pemasaran dan sumber bahan baku, dan 5). Terbatasnya penyebaran pertumbuhan ekonomi yang hanya mencapai sekitar sepertiga bagian penduduk dunia.
Kirdar dan Silk (1995) menyatakan "the pattern of growth is just as important as the rate of growth". Hal ini memberikan makna bahwa pertumbuhan ekonomi tidaklah suatu ukuran angka tingkat pertumbuhan semata, tetapi merupakan suatu proses bagaimana suatu perekonomian berkembang atau berubah dari waktu ke waktu dalam jangka waktu yang cukup panjang, di dalamnya terdapat kemungkinan terjadi penurunan atau kenaikan perekonomian.
Suatu ekonomi dikatakan mengalami pertumbuhan yang berkembang apabila tingkat kegiatan ekonominya lebih tinggi daripada apa yang dicapai pada masa sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang. Disini, “proses” mendapat penekanan karena mengandung unsur dinamis. Para ahli ilmu ekonomi pembangunan masa kini masih terus menyempurnakan makna, hakikat dan konsep pertumbuhan ekonomi. Para ahli menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak hanya diukur dengan pertambahan Produk Domestik Bruto (PDB) dan PDRB saja, akan tetapi juga diberi bobot yang bersifat immaterial seperti kenikmatan, kepuasan dan kebahagiaan dengan rasa aman dan tentram yang dirasakan oleh masyakat luas (Arsyad, 1999).
2.1.2. Strategi Pembangunan Ekonomi
Selain pertumbuhan, proses pembangunan ekonomi dengan sendirinya juga akan membawa perubahan mendasar dalam struktur ekonomi. Teori pattern of development oleh Chenery et.al. (1975) diacu dalam Tambunan (2000) mengidentifikasi bahwa sejalan dengan peningkatan pendapatan masyarakat per kapita yang membawa perubahan dalam pola permintaan konsumen dari penekanan pada makanan dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya ke berbagai macam barang-barang manufaktur dan jasa, akumulasi kapital fisik dan sumberdaya manusia.
Menurut Djojohadikusumo (1994), tujuan pembangunan bukan hanya menginginkan adanya perubahan dalam arti peningkatan produk domestik bruto (PDB), tetapi juga adanya perubahan struktural. Perubahan struktur perekonomian berkisar pada segi akumulasi (pengembangan secara kuantitatif dan kualitatif
sumberdaya produksi), segi alokasi (pola penggunaan sumberdaya produksi), segi institusional (kelembagaan ekonomi dalam kehidupan masyarakat, dan segi distribusi (pola pembagian pendapatan).
Strategi pembangunan dengan tumpuan pertumbuhan terbukti gagal menyelesaikan persoalan-persoalan dasar pembangunan. Menurut Daryanto et.al. (2010). Strategi pembangunan ekonomi daerah senantiasa ditekankan pada terciptanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas ekonomi, pemerataan distribusi pendapatan dan pengentasan kemiskinan. Dalam kiprahnya, strategi pembangunan dengan tumpuan pertumbuhan justru menciptakan keterbelakangan dan kesenjangan ekonomi antar pelaku ekonomi (Santoso, 1997). Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan seluruh komponen masyarakat mengelola berbagai sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan untuk menciptakan suatu lapangan pekerjaan baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah tersebut (Arsyad, 1999, Blakely, 1989). Tolok ukur keberhasilan pembangunan dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi, struktur ekonomi dan semakin kecilnya ketimpangan pendapatan antar penduduk, antar daerah dan antar sektor.
Paradigma pembangunan modern memandang suatu pola yang berbeda dengan pembangunan tradisional. Beberapa ekonomi modern mulai mengedepankan penurunan tahta pertumbuhan ekonomi, pengentasan garis kemiskinan, pengurangan distribusi pendapatan yang semakin timpang dan penurunan tingkat pengangguran yang ada. Pendapat para ekonom ini membawa perubahan dalam paradigma pembangunan yang mulai menyoroti bahwa pembangunan harus dilihat sebagai suatu proses yang multidimensional (Kuncoro, 2006).
2.1.3. Strategi Pembangunan Melalui Pemberdayaan Masyarakat
Perkembangan ekonomi seperti yang dikehendaki oleh para pendiri Republik Indonesia, yaitu dibangun atas dasar demokrasi, tidak dapat terjadi dengan sendirinya. Artinya kemajuan yang diukur melalui membesarnya produksi nasional tidak otomatis menjamin bahwa pertumbuhan tersebut mencerminkan peningkatan kesejahteraan secara merata. Masalah utamanya, adalah ketidakseimbangan dalam kemampuan dan kesempatan untuk memanfaatkan peluang yang terbuka dalam proses pembangunan. Dengan proses pembangunan yang terus berlanjut, justru
ketidakseimbangan itu dapat makin membesar yang mengakibatkan makin melebarnya jurang kesenjangan. Dalam upaya mengatasi tantangan itu pendekatan yang paling tepat adalah melalui pemberdayaan masyarakat. Hal ini menunjukan bahwa hasrat untuk memperbaiki nasib dan prakarsa untuk menciptakan kemajuan material harus muncul dari warga masyarakatnya sendiri dan tidak dapat dipengaruhi atau diidentifikasi oleh daerah luar (Jhingan, 2004).
Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai demokrasi. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat "people-centered, participatory, empowering, and sustainable" (Chambers, 1995). Kartasamita (2008) menjelaskan bahwa strategi pembangunan yang bertumpu pada pemihakan dan pemberdayaan dipahami sebagai suatu proses transformasi dalam hubungan sosial, ekonomi, budaya dan politik masyarakat. Oleh karena itu kebijakan pembangunan harus diarahkan pada dua strategi, yaitu:
1. Strategi pertama adalah memberi peluang agar sektor dan masyarakat modern dapat tetap maju, karena kemajuannya dibutuhkan untuk pembangunan bangsa secara keseluruhan. Disini termasuk peningkatan efisiensi, produktivitas, dan pengembangan serta penguasaan teknologi, yang amat diperlukan untuk memperkuat daya saing. Intinya adalah memberikan keleluasaan kepada suatu sektor, yakni tanpa terlalu banyak campur tangan pemerintah. Bahkan dalam sektor tersebut jika masyarakat telah mampu, pemerintah harus mundur dari menangani kegiatan yang dapat dilakukan lebih baik atau sama baiknya oleh masyarakat.
2. Strategi kedua adalah memberdayakan sektor ekonomi dan lapisan rakyat yang miskin dan tertinggal dan hidup diluar atau di pinggiran jalur kehidupan modern. Strategi inilah yang harus dikembangkan oleh negara. Intinya adalah membantu rakyat agar lebih berdaya sehingga tidak hanya dapat meningkatkan kapasitas dan kemampuannya dengan memanfaatkan potensi yang dimiliki, tetapi juga sekaligus meningkatkan kemampuan ekonomi nasional.
Kedua strategi tersebut jelas tidak terlepas satu dengan lainnya. Keduanya saling berhubungan. Pola hubungan tersebut perlu ditata agar menghasilkan suatu struktur ekonomi dan masyarakat yang sinergis menuju kearah pembangunan ekonomi yang berkesinambungan, merata, dan tumbuh diatas landasan yang kukuh.
2.2. Pembangunan Ekonomi Regional
Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut (Arsyad, 1999). Dengan demikian hakekat pembangunan ekonomi regional merupakan pelaksanaan dari pembangunan nasional pada wilayah tertentu yang disesuaikan dengan kemampuan fisik, sosial ekonomi regional tersebut, serta harus tunduk pada peraturan tertentu.
Menurut Adisasmita (2008), pembangunan wilayah (regional) merupakan fungsi dari potensi sumber daya alam, tenaga kerja dan sumber daya manusia, investasi modal, prasarana dan sarana pembangunan, transportasi dan komunikasi, komposisi industri, teknologi, situasi ekonomi dan perdagangan antar wilayah, kemampuan pendanaan dan pembiayaan pembangunan daerah, kewirausahaan (kewiraswastaan), kelembagaan daerah dan lingkungan pembangunan secara luas. Demi keberhasilan pembangunan ekonomi regional itulah, maka pemerintah memberlakukan otonomi daerah. Otonomi daerah merupakan kewenangan daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Untuk mempercepat pengembangan perekonomian daerah, maka perlu memperbesar penanaman investasi pada lapangan usaha yang memiliki keterkaitan yang besar terhadap lapangan usaha lainnya. Dengan demikian akan dapat mendorong lapangan usaha lainnya yang mendukung lapangan usaha yang dijadikan kunci atau leading tersebut, sehingga akan bisa meningkatkan produksi regional secara keseluruhan melalui dampak multipliernya. Asumsi ini memberikan pengertian bahwa suatu daerah akan mempunyai sektor unggulan apabila daerah tersebut dapat memenangkan persaingan pada sektor yang sama dengan daerah lain sehingga dapat menghasilkan ekspor (Suyatno, 2000).
Todaro diacu dalam Sirojuzilam (2008) mendefinisikan pembangunan ekonomi adalah suatu proses yang bersifat multidimensional, yang melibatkan kepada perubahan besar, baik terhadap perubahan struktur ekonomi, perubahan sosial, mengurangi atau menghapuskan kemiskinan, mengurangi ketimpangan, dan pengangguran dalam konteks pertumbuhan ekonomi.
2.3. Daya Saing Regional
Pembangunan ekonomi suatu daerah (region) berkaitan erat dengan potensi ekonomi dan karakteristik yang dimiliki oleh daerah serta adanya keterkaitan (linkage) kegiatan ekonomi antar daerah sekitarnya. Potensi ekonomi maupun karakteristik yang dimiliki suatu daerah pada umumnya berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya (Glasson, 1977 diacu dalam Suparta, 2009).
Pembangunan ekonomi yang hanya mengejar pertumbuhan tinggi dengan mengandalkan keunggulan komparatif semata berupa kekayaan alam yang berlimpah, upah tenaga kerja murah, dan posisi strategis, saat ini sulit untuk dipertahankan lagi. Daya saing tidak dapat diperoleh dari misalnya faktor upah rendah atau tingkat bunga rendah, tetapi harus pula diperoleh dari kemampuan untuk melakukan perbaikan dan inovasi secara berkesinambungan. Porter (1990) menyatakan bahwa faktor keunggulan komparatif telah dikalahkan oleh kemajuan teknologi. Namun demikian, setiap wilayah masih mempunyai faktor keunggulan khusus yang bukan didasarkan pada biaya produksi yang murah saja, tetapi lebih dari itu, yaitu adanya inovasi (innovation).
Daryanto (2004) menjelaskan bahwa dalam kajian regional, aspek local spesijic harus diperhatikan. Paradigma pembangunan wilayah saat ini perlu memperhatikan local spesific wilayah yang dapat meningkatkan potensi wilayah tersebut dan yang tidak hanya sekedar memanfaatkan keunggulan komparatif tetapi juga mempunyai keunggulan kompetitif yang tinggi. Menurut Imawan (2002) Peningkatan daya saing hanya bisa dilakukan bila satu kelompok masyarakat berhasil merumuskan satu paradigma baru. Daya saing atau 'kemampuan untuk besaing' tidak tumbuh dengan sendirinya. Kalaupun ada yang berusaha menumbuhkan, hal itu tidak bisa dilakukan secara perorangan. PerIu penataan secara terpola dengan format yang jelas dan khas. Dengan kata lain, perIu format politik yang kondusif untuk bisa mereproduksi upaya pengembangan daya saing. Untuk itu, pertama-tama akan dibahas persoalan daya saing, dan setelah itu dirumuskan format yang diperIukan dalam rangka memfasilitasi reproduksi peningkatan daya saing.
Dalam rangka mengembangkan daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, daerah perlu mengembangkan sektor-sektor perekonomian sesuai dengan keunggulannya. Keunggulan sektor ekonomi daerah, dikarenakan sektor tersebut mempunyai permintaan atau ekspor yang tinggi. Hal itu dapat terjadi
apabila daerah tersebut memiliki daya saing yang tinggi dalam perekonomian. Daya saing suatu daerah akan terlihat melalui proses perdagangan antar daerah (inter-regional), nasional, maupun internasional. Dalam jangka panjang sektor-sektor yang memiliki daya saing akan menjadi spesialisasi daerah (Suharto, 2002). Dengan adanya skala prioritas pembangunan dan spesialisasi regional sesuai dengan keunggulan sumberdaya setiap daerah, pembangunan ekonomi menjadi lebih efisien dan berdaya saing. Keseluruhan pengembangan daya saing regional ini pada pada akhirnya akan memberikan kesejahteraan kepada masyarakat.
Menurut European Commission (1999) diacu dalam Gardiner (2003) daya saing bisa didefinisikan sebagai kemampuan untuk memproduksi barang dan jasa yang memenuhi uji pasar internasional, sementara pada saat yang sama menjaga tingkat pendapatan yang tinggi dan berkelanjutan atau secara lebih umum, kemampuan (daerah) untuk menghasilkan, sementara terjadi persaingan eksternal. Dengan kata lain, wilayah yang kompetitif sangat berkepentingan untuk memastikan kualitas dan kuantitas pekerjaan.
Konsep daya saing diekspresikan oleh beberapa orang dan lembaga dengan cara yang berbeda. Perbedaan tersebut tidak terlepas dari pandangan atau konteks yang mereka telaah. Menurut Porter (1990) bahwa konsep daya saing yang dapat diterapkan pada level nasional tak lain adalah produktifitas yang didefinisikan sebagai nilai output yang dihasilkan oleh seorang tenaga kerja. Bank Dunia menyatakan hal yang hampir sarna, yaitu daya saing mengacu kepada besaran serta laju perubahan nilai tambah per unit input yang dicapai oleh perusahaan. Kedua defmisi di atas mengakui bahwa daya saing tidak secara sempit mencakup hanya sebatas tingkat efisiensi suatu perusahaan (mikro perusahaan) tetapi juga mencakup aspek di luar perusahaan seperti iklim berusaha (business environment) yang merupakan faktor di luar kendali perusahaan (external) seperti aspek yang bersifat firm-specific, regionspecijic, atau bahkan country-specific.
Berikut ini adalah daftar indikator yang bisa membentuk berbagai faktor yang terlibat dalam proses pembangunan daya saing nasional atau regional.
Tabel 2.1 Faktor-Faktor Daya Saing Regional. Infrastruktur &
Kemudahan Akses
Sumberdaya Manusia
Lingkungan yang Produktif
Infrastruktur Dasar − Sarana Jalan, − Rel kereta api, − Air, dan − Perumahan.
Infrastruktur Teknologi − Teknologi Komunikasi
dan Informasi (ICT) − Telekomunikasi − Internet Infrastruktur Pengetahuan − Fasilitas Pendidikan Kualitas Prasarana − Perumahan − − Budaya memberikan kenyamanan Lingkungan − Keamanan/keselamatan Perkembangan Kondisi Demografi − Migrasi − Ketrampilan Pekerja − Keragaman Tingginya kemampuan tenaga kerja − Pengetahuan − Ketrampilan Budaya Berwirausaha − Kemudahan berusaha
(low barriers to entry) − Kebiasaan mengambil
resiko (risk taking culture)
Konsentrasi sektoral − Kesimbangan /
keterikatan.
− Konsentransi tenaga kerja − Aktivitas bernilai tambah
tinggi Internasionalisasi − Perdagangan global / ekspor. − Investasi. − Budaya bisnis.
− Sifat investasi luar negeri. Inovasi
− Paten
− Tingkat Riset dan Pengembangan (R & D). − Lembaga R & D
− Hubungan perusahaan dengan R & D.
− Efek limpahan (spillover effect).
Kapasitas lembaga dan pemerintahan
Ketersediaan modal. Spesialisasi.
Kebiasaan bersaing. Sumber: Gardiner (2003).
2.4. Teori Pertumbuhan Berimbang dan Tidak Berimbang (Balance and Unbalance Theory)
Pertumbuhan ekonomi merupakan keseimbangan antara sisi agregat permintaan dan sisi agregat penawaran yang menghasilkan suatu jumlah agregat keluaran (PDRB) tertentu pada tingkat harga umum yang tertentu pula. Agregat keluaran ini kemudian akan membentuk pendapatan regional/nasional (Tambunan, 2000). Daryanto (2010) menjelaskan bahwa dampak suatu kebijakan ekonomi daerah lebih tepat dianalisis berdasarkan teori keseimbangan umum (general equilibrium) dibandingkan dengan teori keseimbangan parsial (partial equilibrium
2.4.1. Teori Pertumbuhan Berimbang
). Teori keseimbangan umum menjelaskan bahwa pasar sebagai suatu sistem terdiri dari beberapa macam pasar (pasar barang, pasar uang, pasar tenaga kerja dan pasar modal) yang saling terkait. Sebaliknya, teori keseimbangan parsial biasanya hanya mengarahkan perhatiannya pada keseimbangan disatu sektor saja.
Berbagai argumentasi mengenai pertumbuhan ekonomi yang berimbang (balanced growth) dan tidak berimbang (unbalanced growth) telah memberikan kontribusi dalam pemikiran studi ilmu ekonomi pembangunan. Pendukung teori balanced growth antara lain seperti; Rosenstein R (1943), Nurkse (1953), dan Lewis (1954), adapun para pendukung unbalanced growth diantaranya adalah Hirschman (1958) dan Rostow (1960).
Dalam pandangan para penganut teori pertumbuhan berimbang (balanced growth), negara harus membangun berbagai sentra industri secara simultan jika menginginkan pertumbuhan yang simultan. Nafziger (1997) menegaskan sebagai cara untuk keluar dari lingkaran-setan kemiskinan, teori ini mengandaikan perlunya pengerahan modal secara serentak dalam berbagai industri.
Menurut Resenstein-Rodan (1943), pembangunan tidak bisa diserahkan ke pasar karena kurangnya informasi dan ketidaktepatan investasi (eksternalitas). Pemerintah perlu menjalankan dan mengkoordinasikan program big push atau critical minimum effor. Program ini menuntut adanya intervensi pemerintah dalam bentuk sebuah “investasi yang terkoordinasi” agar dapat mengatasi masalah. Caranya adalah dengan jalan; a). Mengkoordinasikan industri yang saling melengkapi; b). Melihat eksternalitas sebagai keuntungan, dan c). Mengumpulkan
informasi yang cukup untuk memperhitungkan risiko. Sehingga saat titik-imbang bagi industrialisasi tercapai, insentif swasta yang normal dapat berlangsung dengan baik dan pada akhirnya investasi dapat diambil-alih oleh swasta. Dengan demikian, sebuah dorongan besar ini akan dapat mengeluarkan ekonomi dari lingkaran-setan (viciouscircle) keterbelakangan dan memungkinkan terciptanya lingkaran-malaikat (virtuous-circle) pertumbuhan.
Sepaham dengan tesis Rosenstein-Rodan tentang teori big push, Nurkse (1953) menyarankan beberapa perbaikan, yaitu koordinasi juga dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga swasta, misalnya oleh perbankan. Kontribusi teoretisnya ialah penekanan pada pentingnya mencapai keseimbangan diantara berbagai sektor di dalam ekonomi. Selain itu, diperlukan adanya perhatian terhadap jalur-jalur arah pembangunan dan pola investasi. Arah pembangunan perlu dibuat sedemikian rupa sehingga terdapat keseimbangan diantara berbagai sektor dan tidak ada penghambat maupun ekses kapasitas, dan selain itu hal yang paling penting adalah proposisi sektor agraris dan sektor industri juga harus diseimbangkan.
Hukum dasar yang digunakan Nurkse (1953) adalah apa yang dikenal sebagai Hukum Say; supply creates its own demand. Dengan pijakan itu, ia merekomendasikan satu model pembangunan berimbang yang digerakkan oleh penanaman modal pada semua sektor sehingga terjadi perluasan pasar secara serentak dan menyeluruh. Logikanya, satu sektor yang memproduksi output tertentu dan bersifat komplementer dengan output sektor lain akan bekerja saling mendorong dan menciptakan daya beli.
Seperti halnya Nurkse (1953), Lewis (1954) melihat pentingnya keseimbangan agraris-industri. Konsep teori Lewis menggunakan asumsi dasar bahwa negara berkembang kemudian menjadi negara maju ditentukan oleh dua sektor, yaitu sektor agraris dan sektor industri. Keberadaan kedua sektor tersebut mendorong terjadinya perpindahan tenaga kerja dari sektor agraris ke sektor industri, dan proses ini pada akhirnya akan meningkatkan permintaan akan tenaga kerja (tenaga kerja harus terus surplus). Disisi lain, keuntungan dari industri akan mendorong terjadinya saving dan investasi. Akan tetapi sektor industri dituntut untuk menjaga agar jumlah saving dan investasi senantiasa lebih besar dari jumlah inflasi dan upah.
Dengan demikian, teori pertumbuhan berimbang (balanced growth) yang dipromosikan oleh Rosenstein-Rodan, Nurkse maupun Arthur Lewis menggariskan
agar sektor modern tidak boleh terlalu jauh meninggalkan sektor tradisional. Jika semua kondisi yang diidealkan Nurkse terjadi, maka apa yang ia sebut sebagai vicious circle of poverty tidak akan menjadi masalah lagi dalam proses capital formation.
Teori balanced growth ternyata mendapatkan beberapa kritik, seperti dari Solow-Swan (1956) dengan menyatakan; a). Percepatan pertumbuhan bisa terjadi karena meningkatnya tabungan/investasi, b). Teori Lewis hanya berlaku untuk jangka pendek, dan c). Pertumbuhan jangka panjang akan kembali ke tingkat yang sebelumnya. Selain itu teori balanced growth juga memiliki beberapa kekurangan, antara lain; a). Dorongan besar (big push) dalam praktik sulit dilakukan, b). Perencana harus berkonsentrasi pada sektor-sektor tertentu saja, c). Prioritas dapat dilakukan berdasarkan kaitan-kaitan antar industri (linkages), d). Kaitan antar industri itu yang sering tidak jelas di negara-negara berkembang, dan e). Pergeseran ke industrialisasi tetap bisa membantu.
2.4.2. Teori Pertumbuhan Tidak Berimbang
Dalam berbagai diskusi dan pembahasan mengenai pembangunan, sangat sulit menemukan bukti bahwa semua negara mengikuti pola yang sama dan tertentu. Kebijakan pembangunan di beberapa negara menunjukan fakta adanya pemberian tekanan pada beberapa sektor industri tertentu, dan sektor-sektor industri yang menjadi sasaran penekanan juga berbeda-beda satu negara dengan negara lain. Sehingga lahirlah beberapa pendukung teori unbalanced growth, seperti Hirschman (1958), Rostow (1960), dan Perkins et.al.(2001).
Terhadap gagasan teori balanced growth itu, Hirchman (1958) menilai banyak hal yang tidak masuk akal dan teori tersebut dianggap gagal sebagai sebuah teori pembangunan. Satu yang terpenting dari kritik Hirchman adalah; model perekonomian dualistik yang menjadi pijakan teori dorongan besar (big push) dipaksakan untuk sebuah proses pencangkokan sektor modern yang sama sekali baru dan lengkap (self-contained) di atas sektor tradisional yang lengkap namun macet. Bagi Hirchman, dorongan besar yang dimaksud para eksponennya tidak akan menciptakan pembangunan (development) yang berarti perkembangan (progress). Bertolak dari kritik terhadap model pertumbuhan berimbang (balanced growth),
Hirchman (1958) yang kemudian didukung juga oleh Rostow (1960), mengajukan argumen pertumbuhan tidak berimbang (unbalanced growth).
Bagi Hirchman, pembangunan pada dasarnya adalah rangkaian ketidakseimbangan (disequilibrium). Secara sederhana, doktrin perkembangan tidak berimbang ini menolak keharusan investasi secara besar besaran untuk memompa setiap sektor ekonomi yang memiliki pola hubungan komplementer. Dengan membuat skala prioritas investasi yang tepat, perekonomian akan berputar terus dan proyek-proyek baru yang ia sebut sebagai induced investment akan berjalan memanfaatkan eksternalitas ekonomi maupun social overhead capital dari proyek sebelumnya.
Hirschman (1958) menyadari perbedaan tersebut dan menggunakannya untuk mengusulkan pola pembangunan industrial yang berbeda, yaitu suatu negara dapat mengkonsentrasikan energinya hanya untuk beberapa sektor pada tahap awal pembangunannya. Hal ini disebabkan adanya beberapa alasan, yaitu:
a. Kendala sumberdaya di negara berkembang membutuhkan skala prioritas. Ke mana investasi harus dilakukan terlebih dahulu?
b. Big push harus ditujukan kepada beberapa industri saja, karena itu penting merumuskan “pertumbuhan tak berimbang”.
c. Selalu ada kecenderungan tak berimbang. Misalnya, beberapa sektor yang didorong investasi mungkin mengalami overcapacity, yaitu outputnya menjadi makin murah karena economies of scale.
d. Akibat selanjutnya adalah peralihan investasi ke sektor hulu (upstream investments). Misalnya, oversupply listrik; karena listrik makin murah, ada kebutuhan pembangkit listrik di banyak sektor yang menyedot listrik dalam jumlah besar.
e. Sektor kunci (keysector) bagi investasi awal harus ditentukan berdasarkan kaitan industrial ke depan maupun ke belakang (backward dan forward linkages).
Dua tahun setelah Hirchman (1958) menerbitkan The Strategy of Economic Development, Rostow (1960) menerbitkan The Stages of Economic Growth yang bisa dikatakan sebagai pendukung doktrin pertumbuhan tidak berimbang. Seperti Hirchman, Rostow membuat sebuah idealisasi pembangunan yang bersifat self-propelling dan bertumpu pada dua sektor; tradisional dan modern. Rostow sebagai ahli sejarah ekonomi kemudian membangun konstruksi teoritik dengan
menunjukkan bahwa semua negara akan berkembang dalam sebuah rentetan fase yang sama. Bagian terpenting dari teori Rostow adalah bahwa perkembangan ekonomi berlangsung dalam lima tahap; tahap masyarakat tradisional, tahap prakondisi menuju lepas landas, tahap lepas landas, tahap dorongan menuju kematangan, dan terakhir adalah tahap konsumsi massa tinggi.
Rostow mengklaim bahwa teorinya tentang lima tahap perkembangan masyarakat tersebut lebih dari sebuah teori ekonomi dan sejarah masyarakat modern secara keseluruhan. Klaim tersebut berangkat dari argumen mengenai ciri masyarakat pada masing-masing tahap yang memiliki beberapa indikator ekonomi dan sosial serta budaya. Hal penting lainnya adalah sebuah kerangka besar pengganti marxisme seperti tercermin dari sub-judul bukunya; a noncommunist manifesto, sebagai tonggak baru pengganti manifesto komunis yang ditulis Marx dan Engels.
Pada bagian akhir The Stages of Economic Growth, Rostow mengakui sejumlah kesamaan antara analisis tahapan pertumbuhannya dengan argumentasi Marx mengenai tahapan menuju masyarakat komunis. Beberapa yang perlu diperhatikan adalah; Pertama, Marx dan Rostow mengakui bahwa perubahan ekonomi membawa dampak pada struktur sosial dan politik; mengubah budaya dan perilaku. Kedua, sama-sama mengakui realitas adanya kepentingan kelompok dan kelas dalam proses sosial politik yang berkait dengan keuntungan ekonomi. Ketiga, keduanya melihat adanya motif-motif ekonomi dibalik formasi konflik politik. Keempat, meski memiliki struktur pemikiran yang berbeda, Marx maupun Rostow mempercayai adanya satu tujuan akhir masyarakat yang benar-benar sejahtera (true affluence).
2.5. Transformasi Struktur Perekonomian
Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pembangunan ekonomi biasanya disertai dengan perubahan struktur ekonomi. Perubahan struktural ekonomi yang mengacu pada perubahan luas dalam jangka panjang struktur dasar, daripada output mikro atau jangka pendek dan lapangan kerja. Misalnya, ekonomi subsisten berubah menjadi ekonomi manufaktur, atau ekonomi campuran diatur adalah diliberalisasi. Sebuah perubahan struktural dalam ekonomi dunia globalisasi.
Fisher (1939) dan Clark (1940) berargumentasi bahwa pola produksi merupakan fungsi dari tingkat pendapatan dan sumber daya dan pergeseran struktur
perekonomian merupakan bagian integral dari pembangunan. Penentu utama dari pergeseran ini adalah elastisitas pendapatan dari permintaan. Barang atau sektor yang ada elastisitas pendapatan tinggi permintaan akan semakin penting sebagai pendapatan tumbuh. Negara mulai dengan produksi didominasi oleh produksi primer, maka kegiatan sekunder mulai mendominasi dan akhirnya sektor tersier mendominasi.
Kaitan antara pertumbuhan ekonomi dan perubahan struktur tersebut telah lama menjadi bahan kajian dalam analisis pembangunan ekonomi. Kuznet diacu dalam Tambunan (2000) mengemukakan bahwa perubahan struktur ekonomi atau umum disebut transformasi struktural dapat didefinisikan sebagai suatu rangkaian perubahan yang saling terkait satu dengan lainnya. Sementara menurut Chenery (1986) transformasi ekonomi kearah yang lebih modern secara umum sebagai suatu perubahan dalam ekonomi yang berkaitan dengan komposisi permintaaan, perdagangan, produksi dan faktor-faktor lain yang diperlukan secara terus menerus untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan sosial melalui peningkatan pendapatan per kapita.
Pengembangan perekonomian wilayah yang efektif adalah pertumbuhan ekonomi yang secara nyata mendorong skala perekonomian, pendapatan masyarakat, maupun penyerapan tenaga kerja. Untuk itulah perlu dilakukan perencanan yang tepat, agar dapat diketahui kemana sebaiknya alokasi pemanfaatan sumber dana yang ada. Hasil temuan empiris dari Kuznets (1956-1957) yang kemudian dilanjutkan oleh Chenery-Syrquin (1975) menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan kontribusi sektor pertanian terhadap pembentukan output dan penyerapan tenaga kerja akan semakin menurun sedangkan kontribusi sektor industri pengolahan akan semakin meningkat.
Perencanaan tersebut perlu mencakup analisis untuk mengetahui sektor-sektor mana saja yang merupakan sektor-sektor-sektor-sektor unggulan, sektor-sektor-sektor-sektor mana saja yang menjadi sektor kunci, bagaimana perkembangan perekonomian yang terjadi, apakah terjadi perubahan tingkat output, komponen apa kiranya yang menyebabkan perubahan tersebut, apakah terjadi perubahan struktur perekonomian, dan seberapa besar pergeseran atau perubahan struktur tersebut.
Menurut Nasution (1991) transformasi struktural merupakan gejala alamiah yang harus dialami oleh setiap perekonomian yang sedang tumbuh. Oleh sebab itu
kebijakan rekayasa transformasi struktural ditujukan untuk memaksimumkan dampak positif dari transformasi tersebut. Pada bagian lain dijelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi melalui proses transformasi dapat dicapai antara lain melalui peningkatan produktivitas tenaga kerja setiap sektor dan selanjutnya melalui transfer tenaga kerja dari sektor yang produktivitas tenaga kerjanya rendah ke sektor yang produktivitas tenaga kerjanya lebih tinggi.
Peningkatan kegiatan ekonomi di berbagai sektor akan memberikan dampak langsung maupun tidak langsung terhadap penciptaan lapangan kerja. Dunia kerja berupaya bagaimana dapat menyerap sebesar-besarnya tambahan angkatan kerja yang terjadi setiap tahun dengan tetap memperhatikan peningkatan produktivitas pekerja secara keseluruhan, sebab dengan meningkatnya produktivitas, diharapkan upah juga meningkat sekaligus kesejahteraan pekerja dapat diperbaiki.
2.6. Model Input-Output
2.6.1. Konsep Dasar Metode Input Output
Salah satu metode yang dapat dipergunakan untuk melihat perkembangan struktur perekonomian wilayah dalam suatu sistem ekonomi yang utuh dan menyeluruh (multi-sektor) adalah Metode Input-Output. Ide perhitungan keterkaitan antar sektor dipelopori oleh Francois Quesnay (1758). Tableu Economique diperkenalkan oleh Wassily Leontief (1966), lalu dikembangkan oleh Chenery & Watanabe (1958), dan Hirschman (1958)
Metode ini mampu melihat keterkaitan antar sektor dalam perekonomian sehingga dapat diketahui kinerja suatu sektor dalam perekonomian dan langkah kebijakan yang perlu diambil dalam pembangunan wilayah. Jhingan (2004) menjelaskan bahwa Model Input-Output merupakan suatu instrumen yang digunakan untuk mengukur dampak ekonomi.
Menurut Daryanto (2010) analisis Input-Output (I-O) dan Social Accounting Matrix (SAM) merupakan alat analisis yang memasukkan fenomena keseimbangan umum yang didasarkan atas arus transaksi antar pelaku perekonomian dalam berbagai pasar. Selain itu Nazara (1997) dan Miller et al. (1985) menyatakan bahwa analisis input-output merupakan usaha untuk memasukkan fenomena keseimbangan umum dalam analisis empiris sisi produksi. Keseimbangan didasarkan arus transaksi antarpelaku perekonomian. Sehingga model Input-Output lebih merupakan
pendekatan keseimbangan umum daripada pendekatan keseimbangan parsial yang digunakan dalam model Keynesian atau model ad-hoc.
Jhingan (2004) menyebutkan bahwa analisis input output juga merupakan variasi terbaik keseimbangan umum yang mempunyai tiga unsur utama. Pertama, melalui analisis input output memusatkan perhatiannya pada perekonomian dalam keadaan seimbang. Kedua, tidak memusatkan perhatian pada analisis permintaan tetapi masalah teknis produksi. Ketiga, analisis ini didasarkan pada penelitian empiris.
Pada dasarnya model input-output menelaah hubungan antar industri (sektor) dan melihat saling ketergantungan dan kompleksitas perekonomian dalam upaya mencapai keseimbangan antara penawaran dan permintaan. Hubungan input-output mempunyai makna bahwa output suatu sektor akan menjadi input sektor lainnya. Dengan demikian analisis input-output memberikan manfaat untuk: 1). Menyajikan gambaran rinci mengenai struktur ekonomi pada suatu kurun waktu tertentu, 2). Memberikan gambaran lengkap mengenai aliran barang, jasa, dan input antar sektor, dan 3). Sebagai alat peramal mengenai pengaruh suatu perubahan situasi/kebijakan ekonomi.
2.6.2. Tabel Input Output
Tabel input-output (I-O) menyediakan sebuah kerangka yang baik untuk mengukur dan menelusuri aliran interindustri dari input dan output diantara beberapa sektor dalam perekonomian. Tabel I-O ini merupakan suatu uraian statistik dalam bentuk matriks yang menyajikan informasi tentang transaksi barang dan jasa serta saling keterkaitan antara sektor yang satu dengan sektor lainnya, dalam suatu perekonomian di suatu wilayah dalam periode tertentu.
BPS (2003) mengilustrasikan penyusunan Tabel Input-Output sebagai kerangka dasar pengembangan model Input-Output. Tabel Input-Output mempunyai tiga submatrik atau yang disebut juga sebagai kuadran (lihat Gambar 2 berikut ini). a. Kuadran I menunjukkan arus barang dan jasa yang dihasilkan dan digunakan
oleh sektor-sektor dalam suatu perekonomian. Kuadran ini menunjukkan distribusi penggunaan barang dan jasa untuk suatu proses produksi sehingga disebut juga sebagai transaksi antara (intermediate transaction).
b. Kuadran II menunjukkan permintaan akhir (final demand), yaitu penggunaan barang dan jasa bukan untuk proses produksi yang biasanya terdiri atas konsumsi rumah tangga, pengeluaran pemerintah, persediaan (stock), investasi dan ekspor.
Transaksi antar Kegiatan
I
Input primer sektor produksi
III
Permintaan akhir
II
Input Primer Permintaan akhir (pxn)
IV
Sumber: BPS, 2003.
Gambar 2.1 Tabel Input-Output (Framework of input-output model)
c. Kuadran III memperlihatkan input primer sektor-sektor produksi, yaitu semua balas jasa faktor produksi yang biasanya meliputi upah dan gaji, surplus usaha, penyusutan dan pajak tidak langsung.
Persamaan yang menunjukkan keseimbangan antara output dan final demand dalam model input-output diformulasikan sebagai berikut:
∑
+= i ij i
t x Y
X ……… (2.1)
Dimana:
Xt = vektor gross output sektor i (i = 1, 2, ...., n)
xij = jumlah output sektor i yang dipakai sebagai input sektor j (j =1, 2, ...., n) Yi = Vektor final demand yang berkaitan dengan output sektor i.
Berdasarkan asumsi Leontief bahwa input yang digunakan dalam suatu sektor merupakan fungsi tingkat output dari sektor yang bersangkutan dan bersifat unik, sehingga dapat ditentukan koefisien teknis (aij) yang dirumuskan sebagai:
j ij ij X x a = ………...……… (2.2)
yang menunjukkan besarnya input sektor i yang diperlukan untuk memproduksi setiap rupiah output sektor j. Dari persamaan (2.2) dapat diperoleh kondisi xij =aij X
yang jika disubstitusikan ke persamaan (2.1) diperoleh hasil:
∑
+= i ij j i t a X Y
X ……….. (2.3)
Persamaan ini bisa dituliskan dalam notasi matriks:
Y AX
X = + ……….… (2.4)
Dimana X adalah vektor output, Y adalah vektor permintaan akhir, dan A adalah matriks berdimensi nxn yang menunjukkan koefisien input teknis (dengan aij sebagai
elemen-elemennya).
Solusi dari persamaan di atas untuk mendapatkan nilai output ialah: Y
A I
X =( − )−1 ……….… (2.5)
Dimana (I − A)−1 adalah inverse matriks Leontief dengan elemennya ij menunjukkan
besarnya perubahan output sektor i untuk setiap satu rupiah perubahan permintaan akhir di sektor j.
Dalam analisis I-O satu angka yang berperan penting adalah analisis angka pengganda (multiplier), yaitu angka pengganda output, angka pengganda pendapatan, dan angka pengganda tenaga kerja (Miller & Blair 1985, Nazara 1997).
Angka pengganda output menggambarkan besarnya perubahan total output dalam perekonomian akibat perubahan satu unit final demand di suatu sektor tertentu. Output multiplier sektor j menggambarkan besarnya perubahan total output dalam perekonomian akibat satu unit perubahan final demand di sektor j. Semakin besar angka pengganda output semakin penting peranan sektor tersebut dalam output perekonomian sehingga bisa disebut sektor unggulan. Angka pengganda output
untuk sektor j diformulasikan sebagai =
∑
i ij
j b
B .
Angka pengganda pendapatan rumah tangga merupakan ukuran untuk mengetahui perubahan pendapatan langsung (upah dan gaji) akibat perubahan satu unit permintaan akhir di suatu sektor. Ukuran ini merupakan angka pengganda pendapatan rumah tangga yang rumusnya
∑
= + = n i ij j n j a b H 1 , 1 .
Jenis lain angka pengganda pendapatan adalah disebut angka pengganda pendapatan rumah tangga. Angka pengganda ini dirumuskan
j n j j a H Y , 1 + = . Angka
ini adalah berapa kali besarnya angka pengganda pendapatan dibandingkan dengan proporsi pendapatan (dalam hal ini upah dan gaji) dalam total input.
Selanjutnya, angka pengganda lapangan pekerjaan (employment multiplier) atau biasa disebut efek lapangan pekerjaan (employment effect) merupakan efek total dari perubahan lapangan pekerjaan di perekonomian akibat adanya satu unit uang perubahan permintaan akhir di suatu sektor tertentu. Angka pengganda lapangan pekerjaan biasa (simple employment multiplier) untuk sektor j dirumuskan sebagai
∑
= = n i ij i j w b E 1 , dimana wi = Xj/Lj danLj 2.7. Penelitian Terdahulumenunjukkan besarnya jumlah tenaga kerja
di sektor j.
Dengan mempelajari Tabel I-O dapat diketahui bagaimana perubahan struktur ekonomi dalam kurun waktu itu dan bagaimana sektor unggulan berubah. Dengan demikian dapat dilakukan evaluasi terhadap kebijakan yang telah diambil pada masa itu. Selanjutnya pengalaman tersebut dapat dijadikan feedback yang berharga bagi perencanaan berikutnya.
Sahara et al. (2000) melakukan penelitian tentang peran sektor industri pengolahan terhadap perekonomian Daerah Khusus Ibukota Jakarta dengan Analisis Input-Output dengan menggunakan data tabel input-output tahun 1993. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa sektor kunci terjadi pada sektor industri kimia (17), barang karet dan plastik (22), logam besi dan baja (25), dan alat listrik (30). Peran sektor industri pengolahan terhadap pengingkatan pendapatan masyarakat di DKI Jakarta relatif kecil dibandingkan dengan 8 sektor perekonomian lainnya. Namun demikian dalam sektor industri pengolahan terdapat 9 sub sektor yang mempunyai nilai indeks pendapatan lebih besar dari satu yaitu: olahan kulit (12), barang cetak (16), obat dan jamu (18), barang karet dan plastik (22), mesin (27), alat transport (31), motor (32), alat profesional (34) dan barang industri lain (35).
Penelitian yang dilakukan oleh Hartono (2003) tentang peran sektor jasa terhadap perekonomian DKI Jakarta dengan analisis input-output menunjukkan bahwa total permintaan kelompok sektor jasa tertinggi dibandingkan dengan kelompok sektor pertanian dan industri. Sektor perdagangan, hotel dan restoran memiliki peran yang dominan dalam kelompok sektor jasa. Pemintaan akhir
terhadap kelompok sektor jasa lebih tinggi dari nilai permintaan antara. Hal tersebut menunjukkan bahwa kelompok sektor jasa masih berorientasi untuk konsumsi langsung dibandingkan untuk digunakan sebagai input sektor-sektor lain. Dalam sektor jasa, sub sektor Jasa perbengkelan, Jasa Restoran, Jasa Telekomunikasi Tetap, Jasa Perbankan, Jasa Asuransi, Jasa Perusahaan dan Jasa Kesehatan Swasta merupakan sektor kunci perekonomian DKI Jakarta. Peran sektor jasa terhadap peningkatan pendapatan masyarakat di DKI Jakarta sangat besar dibandingkan dengan sektor industri dan pertanian. Analisis 9 sektor perekonomian memperlihatkan bahwa kelompok sektor jasa-jasa memililiki indeks pendapatan masyarakat tertinggi dibandingkan dengan 8 sektor lainnya.
Penelitian yang dilakukan oleh Rosmiansyah dan Nazara (2008), Amir (2005) memiliki dua tujuan. Pertama, menganalisis berbagai sektor unggulan (key sektor) dalam perekonomian Provinsi Jawa Timur antara tahun 1994 dan 2000. Kedua, mengidentifikasi perubahan struktur perekonomian Jawa Timur pada periode yang sama. Penelitian ini menggunakan analisis input-output yang telah banyak digunakan untuk menganalisis tingkat keterkaitan antarsektor perekonomian, sektor unggulan, dan angka pengganda sektor ekonomi. Lebih lanjut, perubahan struktur dianalisis dengan menggunakan metode yang disebut multiplier product matrix (MPM) yang dapat menggambarkan landscape suatu perekonomian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran dalam beberapa sektor unggulan dan angka pengganda sektoral. Peranan sektor industri lainnya dan sektor industri makanan, minuman dan tembakau sangat dominan dari sisi besaran outputnya, juga memiliki angka pengganda yang cukup tinggi. Selain itu, berdasarkan analisis MPM terlihat pula perubahan struktur ekonomi Jawa Timur selama periode 1994 sampai 2000 walaupun tidak drastis.
Rosmiansyah dan Nazara (2008) melakukan penelitian tentang Peranan Subsektor Penambangan dan Peleburan Timah dalam perekonomian daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Metode ekstraksi dalam konteks input-output digunakan untuk menangkap seberapa besar dampak dari hilangnya sektor timah terhadap perekonomian Provinsi Bangka Belitung. Dampak tersebut dilihat dari nilai keterkaitan (forward maupun backward linkage) dan nilai pengganda (output, pendapatan, dan tenaga kerja). Hasil penelitiannya menunjukan adanya penurunan pada kedua nilai keterkaitan dan nilai pengganda ouput jika sektor timah hilang, tetapi pengganda tenaga kerja cenderung tetap, dan hanya sektor industri besi dan
baja yang mengalami penurunan karena sektor tersebut sangat terkait erat dengan sektor timah. Pada beberapa sektor, nilai pengganda pendapatan justru naik karena menjadi sektor yang menarik untuk investasi.
Purnomo dan Istiqomah (2008) melakukan penelitian analisis peranan sektor industri terhadap perekonomian Jawa Tengah tahun 2000 dan Tahun 2004. Metode analisis yang digunakan adalah model Input Output terhadap 19 sektor perekonomian. Hasil penelitian menunjukan komponen terbesar pembentuk nilai tambah bruto adalah surplus usaha dan komponen konsumsi rumah tangga menjadi pengguna PDRB terbesar. Berdasarkan analisis keterkaitan ke depan dan keterkaitan ke belakang, sektor kunci (keysector) di Provinsi Jawa Tengah terjadi pada sektor industri makanan, minuman dan tembakau dan industri lainnya.
Kusdiana dan Wulan (2007) melakukan penelitian tentang analisis daya saing ekspor sektor unggulan di Provinsi Jawa Barat. Penelitiannya ini bertujuan untuk mengidentifikasi sektor-sektor unggulan yang ada di Provinsi Jawa Barat dan menentukan sektor mana yang mempunyai daya saing ekspor. Metode analisis menggunakan model input output dan revealed comparative advantage (RCA). Data yang dianalisis adalah tabel transaksi input ouput 29 sektor dan data ekspor tahun 2003. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa sektor unggulan yang mempunyai daya saing ekspor dimiliki oleh komoditas yang dihasilkan oleh sektor industri kimia, barang-barang dari bahan kimia, dan karet serta plastik.
Malik (2009) meneliti tentang skala prioritas pembangunan ekonomi pertanian di Kabupaten Biak Numfor, Provinsi Papua. Penelitiannya bertujuan menetapkan sektor-sektor unggulan sebagai bahan pengambilan kebijakan di Kabupaten Biak Numfor, Provinsi Papua. Data yang diteliti adalah tabel input output dan data AEZ (agro ecosystem zone) yang akan dianalisis dengan menggunakan metode analisis menggunakan model input output. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa sektor unggulan dengan daya penyebaran dan derajat kepekaan yang tinggi terjadi pada sektor pertambangan, logam dasar, besi dan baja, dan perikanan.
2.8. Kerangka Pemikiran
Model yang digunakan dalam penelitian ini merupakan pengembangan dari model input output Miller et al. (1985), Nazara (1997), dan Amir et al. (2005) yang secara umum bisa digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.2 Kerangka Pikir Penelitian
2.9. Hipotesis Penelitian
Penelitian ini mengajukan dugaan hasil penelitian atau hipotesis penelitian sebagai berikut:
1. Struktur perekonomian dan sektor kunci Provinsi DKI Jakarta mengalami perubahan atau pergeseran selama periode 1993, 2000, dan 2006.
2. Sumber pertumbuhan output merupakan kombinasi faktor perubahan permintaan akhir domestik, ekspansi ekspor, perubahan teknologi, dan substitusi impor. 3. Perubahan final demand berpengaruh secara signifikan terhadap sistem
perekonomian di DKI Jakarta.
PDRB Provinsi DKI Jakarta 1993 - 2008
Sektor Perekonomian
Analisis Input Output
Analisis Perubahan Struktur Ekonomi
Analisis Sumber Pertumbuhan Output Sektoral
Rekomendasi
Kebijakan Penentuan Arah Pengembangan Sektor Perekonomian Dimasa Mendatang