• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Widia Ayu Juhara, 2014

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembelajaran matematika sebagai salah satu komponen dari pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting bagi kualitas sumber daya manusia yang mampu bertindak atas dasar pemikiran matematis yaitu secara logis, rasional, kritis, dan sistematis guna membantu permasalahan sehari-hari atau dalam mempelajari ilmu yang lain. Oleh karena itu, pembelajaran matematika layak diberikan kepada setiap manusia sejak usia dini agar terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu bersaing pada tingkat global. Menurut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (BNSP, 2006: 4) yang berlaku saat ini, kecakapan matematika yang diharapkan dapat tercapai oleh siswa selama mengenyam pendidikan di sekolah, yaitu:

1. Memahami konsep matematis, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau logaritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah.

2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.

3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematis, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.

4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.

5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika.

Untuk mencapai kecakapan matematika, salah satu cabang ilmu matematika yang dapat digunakan adalah geometri. Geometri merupakan salah satu cabang matematika yang dekat dengan lingkungan. Bahkan, bentuk-bentuk geometri sudah dikenal dan mudah ditemukan di dalam kehidupan sehari-hari.

(2)

Widia Ayu Juhara, 2014

Oleh karena itu, geometri mempunyai peluang yang sangat besar untuk dapat dipahami.

Dalam NCTM (2000), dijelaskan bahwa ada empat kemampuan yang harus dimiliki dalam mempelajari geometri, yaitu 1) mampu menganalisis karakter dan sifat dari bentuk geometri baik dua dimensi maupun tiga dimensi, dan mampu membangun argumen-argumen matematika mengenai hubungan geometri dengan yang lainnya, 2) mampu menentukan kedudukan suatu titik dengan lebih spesifik dan gambaran hubungan spasial dengan menggunakan koordinat geometri serta menghubungkannya dengan sistem yang lain, 3) aplikasi transformasi dan menggunakannya secara simetris untuk menganalisis situasi matematika, 4) menggunakan visualisasi, penalaran spasial, dan model geometri untuk memecahkan masalah. Walle (dalam Nurkholis, 2012: 2) mengungkap lima alasan mengapa geometri sangat penting untuk dipelajari sebagai berikut:

1. Geometri membantu manusia memiliki apresiasi yang utuh tentang dunianya, dijumpai dalam sistem tata surya, formasi geologi, kristal, tumbuhan dan binatang, karya seni arsitektur dan hasil kerja mesin. 2. Eksplorasi geometrik dapat membantu mengembangkan

keterampilan pemecahan masalah.

3. Geometri memainkan peranan utama dalam bidang matematika lainnya.

4. Geometri digunakan oleh banyak orang dalam kehidupan sehari-hari. 5. Geometri penuh dengan tantangan dan menarik.

Namun, masih banyak siswa yang beranggapan bahwa geometri merupakan pelajaran yang sulit. Hal ini didukung oleh hasil survey yang dilakukan Departemen Pendidikan Perancis yang menyatakan bahwa:

The fifteen-year-old students most repulsive subjects in mathematics were spatial geometry and statistics. Only ten percent of teachers taught spatial geometry. They said that they did not have enough time to teach it, but the real reason is that the students 'cannot see in 3D'. We mean this, as the students cannot picture a spatial situation of a teacher's blackboard figure (Different Projecting Methods In Teaching Spatial Geometry, Bako dalam Handayani, 2010)

(3)

Widia Ayu Juhara, 2014

Pernyataan diatas bermakna bahwa pokok bahasan yang paling tidak menyenangkan dalam pelajaran matematika bagi banyak siswa berusia lima belas tahun adalah geometri ruang dan statistika. Hanya sepuluh persen guru-guru yang mengajarkan geometri ruang. Para guru mengatakan bahwa mereka tidak mempunyai cukup waktu untuk mengajarkan geometri ruang, namun pada kenyataannya adalah bahwa banyak siswa „tidak bisa membayangkan kondisi tiga dimensi‟. Kami artikan ini bahwa, banyak siswa yang tidak bisa membayangkan kondisi tiga dimensi yang tergambar di dalam papan tulis hitam gurunya.

Untuk mengetahui tinggi atau rendahnya kemampuan spatial sense siswa di SMA Negeri 4 Bandung, peneliti melakukan studi pendahuluan kepada 41 siswa kelas XI. Studi pendahuluan ini berbentuk tes tertulis mengenai materi geometri dan dibuat berdasarkan indikator-indikator spatial sense menurut Bartman (Tt) sebagai berikut 1) menginterpretasikan dan menggambarkan benda-benda tiga dimensi, 2) menerapkan dan memecahkan masalah dengan menggunakan model geometrik dan sifat-sifatnya, 3) mengidentifikasi kekongruenan dan kesamaan objek, 4) menerapkan pemahaman tentang keliling, luas, volume, dan ukuran sudut, dan 5) mengenali dan menerapkan trigonometri kedalam situasi permasalahan. Berdasarkan tiga sampel jawaban siswa yang mewakili kelas tersebut (dapat dilihat pada lampiran E.7), soal nomor 1, 3, 4, dan 5 dengan indikator 1), 3), 4), dan 5) berturut-turut, hanya sebagian kecil dari siswa yang menjawab benar. Sedangkan pada soal nomor 2 dengan indikator 2), hanya setengah dari siswa yang menjawab benar. Kebanyakan siswa masih belum bisa membayangkan benda-benda tiga dimensi, sehingga siswa masih belum bisa menemukan pesan tersirat yang terdapat pada soal. Berdasarkan hasil studi pendahuluan ini, dapat disimpulkan bahwa kemampuan spatial sense siswa rendah.

Selain itu menurut Madja (Abdussakir, 2010), hasil belajar geometri masih belum menggembirakan dibandingkan dengan materi matematika yang lain. Masih banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam memahami geometri, terutama

(4)

Widia Ayu Juhara, 2014

geometri ruang. Hal ini dapat dilihat dari hasil studi PISA (Progamme for

International Student Assesment), bahwa hanya 33,4% siswa peserta Indonesia

yang menjawab benar berkaitan dengan soal menghitung banyaknya kubus kecil yang berada di dalam kubus besar (Wardhani dan Rumiati, 2011). Selain itu, Madja (dalam Novia, 2010: 5) menyatakan bahwa siswa SMU mengalami kesulitan melihat gambar bangun ruang. Hal ini didukung oleh pendapat Elliott (Ruseffendi, 1990) yang menyatakan bahwa hanya 5% siswa SMU yang dapat memahami geometri aksiomatik. Bahkan dari berbagai penelitian di perguruan tinggi pun, menurut Budiarto (Abdussakir, 2010), masih ditemukan mahasiswa yang menganggap gambar bangun ruang sebagai bangun datar, mahasiswa masih sulit menentukan garis bersilangan atau berpotongan, serta mahasiswa belum mampu menggunakan perolehan geometri SMU untuk menyelesaikan permasalahan geometri ruang.

Lam (dalam Novia, 2010: 4) menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara prestasi belajar geometri dan kemampuan spatial sense. Piaget dan Inhelder (Tambunan, 2006) menyatakan bahwa kemampuan spatial sense sebagai konsep abstrak meliputi hubungan spatial, kerangka acuan, hubungan proyektif, konversi jarak, representasi spatial, dan rotasi mental. Menurut Thurstone (Russefendi, 1991), kemampuan spatial dapat diperoleh melalui alur perkembangan berdasarkan hubungan spatial topologi (meniru gambar, persepsi posisi spatial), proyektif (kemampuan mengkoordinasikan sejumlah sudut pandang yang berbeda), dan euclidis (kemampuan mengkoordinasikan salib sumbu pasangan titik, rotasi gambar geometri dua dimensi). Secara tidak langsung, kemampuan spatial sense mengarah pada tujuan pencapaian hasil belajar geometri. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan spatial sense siswa lemah.

Dewasa ini, perkembangan teknologi telah terjadi dengan sangat pesat. Salah satu perkembangan teknologi yang bisa digunakan dalam pembelajaran matematika saat ini adalah komputer. Teknologi komputer memudahkan siswa

(5)

Widia Ayu Juhara, 2014

dalam belajar matematika, khususnya pada materi-materi yang tidak mudah untuk diajarkan oleh alat bantu biasa. Hal ini disebabkan komputer dapat menampilkan pesan secara visual, audio, dan bahkan audio-visual. Menurut Coburn (1985), penggunaan komputer dapat diklasifikasikan kedalam lima jenis. Pertama, program latihan (drill and practice), yaitu program yang dirancang untuk digunakan siswa dalam melakukan latihan-latihan soal. Kedua, program tutorial, yaitu program yang dirancang agar komputer dapat digunakan sebagai tutor dalam proses pembelajaran. Ketiga, program demonstrasi, yaitu program yang digunakan untuk memvisualisasikan konsep yang abstrak. Keempat, program simulasi, yaitu program yang digunakan untuk memvisualisasikan proses yang dinamik. Kelima, program permainan instruksional, yaitu program yang digunakan untuk permainan dengan menggunakan instruksi-instruksi komputer dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman materi yang diajarkan.

Akibat perkembangan teknologi ini, banyak produk rekayasa komputer (software) yang telah diciptakan. Menurut Fey dan Heid (dalam Novia, 2010: 6), penggunaan software komputer untuk kegiatan pembelajaran sangat tidak terbatas, beberapa software komputer dapat mengkonstruksi bangun-bangun geometri, melatih kemampuan spatial sense, dan melatih kemampuan pemecahan masalah. Dari sekian banyak software yang ada, terdapat software yang dapat digunakan untuk pembelajaran geometri, salah satunya adalah 3D SketchUp. Keunggulan 3D

SketchUp, yaitu 1) objek tiga dimensi yang terlihat realistik, 2) tools yang beragam

yang memudahkan pengguna untuk membuat objek tiga dimensi, dan 3) tampilan sederhana yang memudahkan pengguna dalam memanipulasi objek tiga dimensi. Keunggulan-keunggulan ini diharapkan dapat menjadikan 3D SketchUp sebagai salah satu software yang cocok dan dapat digunakan dalam pembelajaran geometri.

Saat ini, jenis pembelajaran yang sering digunakan adalah pembelajaran konvensional. Pembelajaran ini mudah diterapkan di dalam proses belajar mengajar. Selain itu, guru juga dapat menyampaikan informasi kepada siswa

(6)

Widia Ayu Juhara, 2014

secara cepat. Namun pada pembelajaran ini aktivitas siswa bersifat pasif dan tidak semua siswa memiliki cara belajar dengan hanya mendengarkan saja. Untuk dapat mengembangkan potensi belajar siswa sesuai dengan gaya dan kapasitas belajar, diperlukan model dan pendekatan yang bervariatif. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah Problem Based Learning (PBL). Ciri-ciri yang dimiliki oleh Problem based learning menurut Tan, Wee & Kek yaitu (dalam Nurkholis, 2012: 8) pembelajaran dimulai dengan pemberian masalah, masalah memiliki konteks dengan dunia nyata, siswa secara berkelompok aktif merumuskan masalah dan mengidentifikasi kesenjangan pengetahuan mereka, mempelajari dan mencari sendiri materi yang terkait dengan masalah dan melaporkan solusi dari masalah, sementara pendidik lebih banyak memfasilitasi dan menggiring siswa menemukan konsep sendiri (reinvention). Pembelajaran menggunakan pendekatan ini, terutama pada aktivitas pemberian masalah, diduga dapat meningkatkan kemampuan spatial

sense siswa. Hal tersebut didukung oleh pendapat Bishop, Benbow, dan

McGuiness (Tambunan, 2006) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara pemecahan masalah matematika dengan kemampuan visuo-spatial.

Selain itu, sikap siswa terhadap matematika juga perlu diperhatikan. Menurut Asante (2012: 2), siswa yang berkemampuan matematika rendah cenderung memiliki sikap negatif terhadap matematika. Namun, penelitian Brown (Asante, 2012: 2) menunjukkan bahwa secara statistik tidak ada hubungan yang signifikan antara sikap siswa terhadap matematika dan prestasi matematika. Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang dilakukan oleh Uusimaki dkk., Beswick, Harkness dkk., Schweinle dkk., Anderson, Kinney, Whitin, Hannula, Tapia dkk. Papanastatsiou, Wong, Fisher dkk., dan Forgasz dkk., Asante (2012: 3) mengemukakan enam hal yang mempengaruhi sikap siswa terhadap matematika sebagai berikut: 1) sikap dan keyakinan guru, 2) cara mengajar dan tingkah laku, 3) teknik mengajar, 4) pencapaian, 5) sikap dan keyakinan orang tua, dan 6) pengalaman siswa di kelas. Oleh karena itu, perlu adanya pengkajian mengenai

(7)

Widia Ayu Juhara, 2014

sikap siswa terhadap pembelajaran menggunakan pendekatan problem based

learning berbantuan 3D SketchUp.

Berdasarkan pemikiran tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Implementasi Pendekatan Problem Based Learning Berbantuan 3D SketchUp untuk Meningkatkan Kemampuan Spatial Sense Siswa SMA”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah peningkatan kemampuan spatial sense siswa yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan problem based learning berbantuan 3D

SketchUp lebih besar daripada kemampuan spatial sense siswa yang

mendapat pembelajaran dengan pendekatan konvensional?

2. Bagaimana perbandingan kualitas peningkatan kemampuan spatial sense kelompok siswa berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan problem based learning berbantuan 3D

SketchUp dengan kelompok siswa berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah

yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan konvensional?

3. Bagaimana sikap siswa terhadap pembelajaran menggunakan pendekatan

problem based learning berbantuan 3D SketchUp?

C. Batasan Masalah

Ruang lingkup masalah dalam penelitian ini dibatasi pada materi geometri yaitu geometri ruang meliputi kubus, balok, prisma, dan limas. Materi ini terdapat pada kelas X di Sekolah Menengah Atas (SMA).

(8)

Widia Ayu Juhara, 2014 D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui apakah peningkatan kemampuan spatial sense siswa yang

mendapat pembelajaran dengan pendekatan problem based learning berbantuan 3D SketchUp lebih besar daripada kemampuan spatial sense siswa yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan konvensional.

2. Mengetahui perbandingan kualitas peningkatan kemampuan spatial sense kelompok siswa berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan problem based learning berbantuan 3D

SketchUp dengan kelompok siswa berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah

yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan konvensional.

3. Mengetahui sikap siswa terhadap pembelajaran menggunakan pendekatan

problem based learning berbantuan 3D SketchUp.

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi berbagai manfaat, yaitu:

1. Bagi siswa, penelitian ini berguna untuk memberikan satu alternatif pemecahan masalah kesulitan siswa dalam memahami matematika sehingga hasil belajarnya juga dapat meningkat.

2. Bagi guru, penelitian ini bisa dimanfaatkan sebagai media pembelajaran untuk menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar yang menarik dalam rangka meningkatkan hasil belajar matematika.

3. Bagi penulis, penelitian ini dapat menambah ilmu pengetahuan tentang pembelajaran matematika dengan pendekatan problem based learning berbantuan 3D SketchUp, sekaligus dapat mempraktikan dan mengembangkan pembelajaran matematika

(9)

Widia Ayu Juhara, 2014 F. Definisi Operasional

Beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian ini didefinisikan sebagai berikut:

1. Problem based learning berbantuan 3D SketchUp adalah pembelajaran yang diawali dengan pemberian masalah yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari sehingga siswa berperan aktif dan mandiri dalam pembelajaran dengan guru hanya sebagai fasilitator, berbantuan software komputer 3D

SketchUp.

2. Kemampuan spatial sense adalah kemampuan dalam membayangkan, menelaah, dan menganalisis ruang. Indikator kemampuan spatial sense dalam penelitian ini adalah 1) menginterpretasikan dan menggambarkan benda-benda tiga dimensi, 2) menerapkan dan memecahkan masalah dengan menggunakan model geometrik dan sifat-sifatnya, 3) mengidentifikasi kekongruenan dan kesamaan objek, 4) menerapkan pemahaman tentang keliling, luas, volume, dan ukuran sudut, dan 5) mengenali dan menerapkan trigonometri kedalam situasi permasalahan.

3. Pendekatan konvensional dalam penelitian ini adalah pembelajaran yang bersifat ekspositori, yaitu metode pembelajaran yang menekankan pada proses penyampaian materi secara verbal dari guru kepada siswa namun dominasi guru banyak berkurang.

4. Sekolah Menengah Atas (SMA) adalah jenjang pendidikan menengah pada pendidikan formal di Indonesia setelah lulus dari Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Referensi

Dokumen terkait

Diisi dengan bidang ilmu yang ditekuni dosen yang bersangkutan pada

and you can see from the radar screen – that’s the screen just to the left of Professor Cornish – that the recovery capsule and Mars Probe Seven are now close to convergence..

 Biaya produksi menjadi lebih efisien jika hanya ada satu produsen tunggal yang membuat produk itu dari pada banyak perusahaan.. Barrier

Hasil penelitian menunjukkan terdapat 19 sasaran strategis yang ingin dicapai dengan prioritas sasaran adalah: meningkatkan penerimaan Fakultas (bobot 10%),

Hasil ini sesuai dengan penelitian di Yogyakarta yaitu penelitian yang dilakukan pada resep rawat jalan dari rumah sakit di Yogyakarta didapati bahwa sebanyak

Desa Soko merupakan desa yang yang terletak 8 km sebelah selatan kota Purworejo dan berada di Kecamatan Bagelen. Secara geografis, wilayah Desa Soko merupakan

Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002.. perlindungan atas kesejahteraan, pendidikan, perkembangan, jaminan masa depan yang cerah, dan perlindungan dari

( wisdom) indikatornya adalah adanya sinergitas antara kebenaran logis rasional, kebenaran empiris, kebenaran wahyu (mistik spiritual) dan juga kebenaran