UNIVERSITAS INDONESIA
KORELASI KADAR D-DIMER DENGAN DERAJAT KEPARAHAN DAN LAMA SAKIT PASIEN URTIKARIA KRONIS
TESIS
RIDHA ROSANDI 0906647381
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
JAKARTA NOVEMBER 2014
UNIVERSITAS INDONESIA
KORELASI KADAR D-DIMER DENGAN DERAJAT KEPARAHAN DAN LAMA SAKIT PASIEN URTIKARIA KRONIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar spesialis Kulit dan Kelamin
TESIS
RIDHA ROSANDI 0906647381
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
JAKARTA NOVEMBER 2014
v Universitas Indonesia
ABSTRAK
Nama : Ridha Rosandi
Program studi : Program Pendidikan Dokter Spesialis Kulit dan kelamin Judul : Korelasi kadar D-dimer dengan derajat keparahan dan lama sakit pasien urtikaria kronis.
Latar belakang : Terdapat beberapa studi yang menunjukkan keterlibatan jalur pembekuan darah dalam patogenesis urtikaria kronis. D-dimer yang merupakan produk akhir jalur pembekuan darah secara tidak langsung dapat digunakan untuk menilai trombin di darah. Trombin dapat menimbulkan edema karena dapat meningkatkan permeabilitas kapiler, dapat menstimulasi degranulasi sel mast, dan mengaktifkan komplemen C5a. Tujuan : Mengetahui rerata kadar D-dimer pada pasien urtikaria kronis serta korelasi antara kadar D-dimer dengan derajat keparahan penyakit dan lama sakit pasien urtikaria kronis. Metode : penelitian ini merupakan penelitian potong lintang, dengan subyek penelitian sebanyak 30 pasien. Dilakukan penilaian Urticaria Activity Score dan lama sakit serta pemeriksaan kadar dimer. Hasil: Nilai tengah kadar D-dimer pada 30 SP adalah 100 µg/L. Pada penelitian ini terdapat 5 SP (16,67%) yang terdapat peningkatan kadar D-dimer. Terdapat korelasi positif kuat antara kadar D-dimer dengan derajat keparahan urtikaria kronis (r = 0,8; p = 0,0000). Terdapat korelasi positif lemah antara kadar D-dimer dengan lama sakit pasien urtikaria kronis (r = 0,05; p = 0,979). Kesimpulan: Terdapat korelasi positif kuat antara kadar D-dimer dengan derajat keparahan urtikaria kronis dan korelasi positif lemah antara kadar D-dimer dengan lama sakit pasien urtikaria kronis.
Nama : Ridha Rosandi
Study program : Dermatovenereology Residency Program
Title : Correlation of D-dimer levels with severity and disease duration of chronic urticaria patients .
Background : There are some studies that show blood clotting pathways involved in the pathogenesis of chronic urticaria . D - dimer is a blood clotting pathway end products can indirectly be used to assess thrombin in the blood. Thrombin can induce edema because it can increase capillary permeability , can stimulate mast cell degranulation , and activating the complement C5a .Objective : Knowing the average levels of D - dimer in chronic urticaria patients and the correlation between D - dimer levels with severity and disease duration. Methods : This study is a cross sectional study , the study subjects were 30 chronic urticaria patients. Assessment urticaria activity score ,disease duration and D – dimer level on all patients.Results : Median of the D - dimer levels in 30 patients is 100 ug / L . In this study there were 5 patients ( 16.67 % ) with elevated levels of D - dimer . There is a strong positive correlation between D- dimer levels with severity of chronic urticaria ( r = 0.8 ; p = 0.0000 ) . There is a weak positive correlation between D - dimer levels with disease duration ( r = 0.05 ; p = 0.979) .Conclusions : There is a strong positive correlation between D - dimer levels with disease severity and weak positive correlation between D - dimer levels with disease duration of chronic urticaria.
vii Universitas Indonesia
UCAPAN TERIMA KASIH
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Alhamdulillahirabbil‘alamin. Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT
atas seluruh berkah, rahmat dan karuniaNya, sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini.
Pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu saya selama menjalani pendidikan dokter spesialis hingga tersusunnya tesis ini.
Terima kasih saya ucapkan kepada Dr. dr. Ratna Sitompul, SpM(K), sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) saat ini. Terima kasih kepada Prof. Dr. dr. Akmal Taher, SpU(K) sebagai Direktur Utama Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta periode terdahulu dan Dr. dr. C. H. Soejono, SpPD-K.Ger, M.Epid, FACP, FINASIM sebagai Direktur Utama RSCM Jakarta saat ini, atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk menjalani pendidikan dokter spesialis di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin (IKKK) FKUI RSCM Jakarta.
Saya menyampaikan rasa terima kasih yang tidak terhingga dan rasa hormat kepada Dr. dr. Tjut Nurul Alam Jacoeb, SpKK(K) atas kesediannya menerima saya sebagai peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) semasa beliau menjabat sebagai Ketua Departemen IKKK FKUI RSCM terdahulu. Ucapan terima kasih juga saya ucapkan kepada dr. Shannaz Nadia Yusharyahya, SpKK, MHA sebagai Ketua Departemen IKKK FKUI RSCM saat ini, dan kepada seluruh kepala divisi serta seluruh staf pengajar Departemen IKKK FKUI RSCM Jakarta yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menimba ilmu dan pengalaman. Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas bimbingan, dukungan, teladan, dorongan dan motivasi yang diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan. Permohonan maaf saya haturkan sebesar-besarnya kepada seluruh guru yang saya hormati, apabila terdapat perkataan dan tindakan saya yang kurang berkenan selama ini. Rasa terima kasih juga saya ucapkan kepada dr. Herman Cipto, SpKK sebagai mentor akademis, yang senantiasa memberikan motivasi dan bimbingan dalam menyelesaikan pendidikan selama ini.
sebagai anggota Panitia Tetap Penilai Etik Penelitian FKUI, atas segala bekal ilmu, wawasan, bimbingan, dan dukungan selama saya menempuh pendidikan hingga menyelesaikan tesis ini. Kepada dr. Sandra Widaty, SpKK(K) sebagai Sekretaris Program PPDS IKKK FKUI RSCM terdahulu saya haturkan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas bimbingan dan dorongan semangat selama menjalani pendidikan. Terima kasih saya ucapkan kepada dr. Larisa Paramitha, SpKK sebagai Sekretaris Program PPDS IKKK FKUI RSCM saat ini.
Ucapan terima kasih tak terhingga dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. dr. Adhi Djuanda, SpKK(K), almarhum Prof. Dr. dr. Unandar Budimulja, SpKK(K), Prof. dr. Sjaiful Fahmi Daili, SpKK(K), Prof. Dr. dr. Siti Aisah Boediarja, SpKK(K), Prof. Dr. dr. Retno Widowati Soebaryo, SpKK(K) dan Prof. Dr. dr. Benny E. Wiryadi, SpKK(K) atas tauladan, bimbingan, dan wawasan yang telah diberikan selama masa pendidikan saya.
Saya haturkan rasa hormat dan terima kasih yang tiada terhingga kepada Dr. dr. Wresti Indriatmi, SpKK(K), M. Epid sebagai pembimbing tesis dan
pembimbing statistik, yang telah menyempatkan diri untuk memberikan bimbingan, asupan yang berharga, dan dukungan sejak penyusunan usulan penelitian hingga penyelesaian tesis ini.
Rasa hormat dan terima kasih kepada dr. Triana Agustin, SpKK, sebagai pembimbing tesis yang telah menyediakan waktunya untuk memberikan bimbingan, memberikan saran dan asupan yang berharga, serta memberi semangat sejak awal penelitian hingga berakhirnya tesis. Kepada dr. Evita Halim Effendi, SpKK(K) sebagai pembimbing substansi dan penguji ujian tesis, rasa hormat dan ucapkan terimakasih atas asupan yang berharga, bimbingan, dan waktu yang telah diluangkan dalam penyusunan tesis ini.
Terima kasih juga saya ucapkan kepada Dr. dr. Sri Linuwih M, SpKK(K) sebagai salah satu penguji proposal dan tesis atas koreksi dan asupan yang sangat bermanfaat dalam penyusunan tesis ini. Ucapan terima kasih kepada dr. Rahadi Rihatmadja SpKK, yang telah berkenan menjadi salah satu tim penguji proposal dan tesis, atas waktu yang diberikan untuk mengoreksi dan memberi asupan yang diperlukan dalam penyusunan tesis ini. Kepada dr. Endi Novianto, Sp.KK sebagai penguji tesis saya juga ucapkan terimakasih atas asupan yang diberikan.
Kepada dr. Wresti Indriatmi B Makes, SpKK(K), M. Epid., saat menjabat sebagai koordinator penelitian Departemen IKKK FKUI dan kepada dr. Sandra Widaty, SpKK(K) sebagai Koordinator Penelitian Departemen IKKK FKUI saat ini, terima kasih
ix Universitas Indonesia saya ucapkan atas dukungan, petunjuk, bimbingan, dan kemudahan dalam melakukan penelitian ini.
Terima kasih yang sebesar-besarnya saya ucapkan kepada Prof. Dr. dr. Retno Widowati S, SpKK(K), dr. Evita Halim Effendi, SpKK(K), dr. Endi Novianto, SpKK, dr. Windy Keumala B, SpKK, dr. Mardiati Ganjardani, SpKK yang telah memberikan izin kepada saya untuk melakukan penelitian di Divisi Alergi Imunologi Departemen IKKK. Terima kasih saya haturkan atas kesempatan, perhatian dan dukungan dalam penyelesaian tesis ini.
Ucapan terima kasih kepada Prof. Dr. dr. Rianto Setiabudy, SpFK sebagai ketua Panitia Tetap Penilai Etik Penelitian FKUI atas persetujuan dan keterangan lolos kaji etik penelitian ini.
Terima kasih sebesar-besarnya saya haturkan kepada seluruh subyek penelitian atas keikutsertaan dalam penelitian ini, sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik.
Terima kasih yang tulus kepada seluruh paramedis poliklinik dan rawat inap, staf, karyawan tata usaha, dan perpustakaan Departemen IKKK FKUI/RSCM atas semua bantuan dan kebersamaan selama saya menjalani pendidikan. Tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada seluruh pasien baik di poliklinik maupun rawat inap, juga pasien di RS/klinik jejaring Departemen IKKK FKUI/RSCM yang telah memperkaya wawasan saya sebagai calon spesialis kulit dan kelamin.
Ungkapan rasa sayang dan terima kasih yang tak ternilai kepada teman satu angkatan “keluarga kedua” selama saya menjalani pendidikan di Departemen IKKK FKUI RSCM, dr. Atika Damayanti, dr. Cut Natya Rucitra, dr. Eka Komarasari, dr. Evelyn Lina Nainggolan, dr. Salma Oktaria, dr. Rani Rachmawati, dr. Sari Chairunnisa, dr. Stefani Rachel Djuanda, dr. Terlinda C Barros, dr. Vini Onmaya, dr. Yunira Safitri atas sedih dan tawa bersama, dukungan, doa, serta persahabatan yang indah. Kepada teman seperjuangan saat ujian nasional dan ujian lokal serta para sahabat, senior, dan adik-adik yang saya temui selama masa pendidikan yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu, terima kasih saya ucapkan sebesar-besarnya atas pertemanan yang indah, kerjasama, dan dukungan yang diberikan selama menempuh pendidikan ini. Teman-teman yang yang telah dengan ikhlas membantu dalam penelitian ini, kepada dr. Jihan Rosita, dr. Zunarsih, dr. Yuda Ilhamsyah yang telah membantu saya saat mengumpulkan subyek penelitian di Divisi Alergi Imunologi Departemen IKKK FKUI RSCM. Saya ucapkan rasa terimakasih yang tak terhingga atas bantuan dan dukungan teman-teman sehingga saya dapat mewujudkan penelitian ini.
xi Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………. i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS... ii
HALAMAN PENGESAHAN……….. iii
PERNYATAAN PUBLIKASI……….. iv
ABSTRAK……… v
ABSTRACT……….. vi
UCAPAN TERIMA KASIH……….. vii
DAFTAR ISI……….. xi
DAFTAR LAMPIRAN ……….. xiii
DAFTAR GAMBAR………...……… xiv
DAFTAR TABEL ……….. xv
DAFTAR SINGKATAN ……….. xvi
BAB 1 PENDAHULUAN...………. 1 1.1 Latar belakang ....……….. 1 1.2 Identifikasi masalah ....……….. 3 1.3 Perumusan masalah ...……… 4 1.4 Hipotesis penelitian .……….. 4 1.5 Tujuan penelitian..………. 4 1.6 Manfaat penelitian.………. 5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ....……… 6
2.1 Urtikaria………. 6
2.2 Urtikaria kronis………... 6
2.2.1 Epidemiologi………... 6
2.2.2 Etiopatogenesis urtikaria dan pembagian urtikaria kronis……… 7
2.2.3 Derajat keparahan urtikaria………. 7
2.2.4 Urtikaria kronis yang melibatkan aktivasi system pembekuan darah……… 8
2.3 D-dimer……... 13
2.3.1 Definisi ....………... 13
2.3.2 Struktur dan sintesis D-dimer...………... 13
2.3.3 Peran pemeriksaan D-dimer………. 14
2.3.4 Metode pemeriksaan D-dimer……….. 14
2.3.5 Faktor yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan D-dimer……… 16
2.5 Kerangka teori…...……… 17
3.1 Rancangan penelitian ……….... 19
3.2 Tempat dan waktu penelitian ...………... 19
3.2.1 Tempat penelitian ………... 19
3.2.2 Waktu penelitian ………... 19
3.3 Populasi dan subyek penelitian ………... 19
3.3.1 Populasi penelitian ……… 19
3.3.2 Subyek penelitian ………...…………... 19
3.4 Kriteria penerimaan dan penolakan...………….. 19
3.4.1 Kriteria penerimaan ……… 19
3.4.2 Kriteria penolakan ………...…………... 20
3.5 Estimasi besar sampel... ……… 20
3.6. Cara kerja penelitian...………. 21
3.6.1 Tahap seleksi dan pengisian formulir persetujuan .…... 21
3.6.2 Pencatatan data dasar ...……….…... 21
3.6.3 Pemeriksaan kadar D-dimer…..…………...…………... 21
3.6.3.1 Alat dan bahan...………... 21
3.6.3.2 Cara pengambilan darah dan pemeriksaan kadar homosistein D-dimer... 22
3.6.4 Analisis kadar D-dimer…..………...….……... 23
3.7 Batasan operasional ... 23
3.8 Analisis statistik... 24
3.9 Kerangka operasional... 25
BAB 4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……… 26
4.1 Karakteristik Subjek Penelitian……… 26
4.2 Kadar D-dimer pada Subjek Penelitian……… 29
4.3 Korelasi Kadar D-dimer dengan Derajat Keparahan Urtikaria Kronis……… 31
4.4 Korelasi Kadar D-dimer dengan Lama Sakit Pasien Urtikaria Kronis………. 33
BAB 5. IKHTISAR, KESIMPULAN, DAN SARAN………. 37
5.1 Ikhtisar………. 37
5.2 Kesimpulan……….. 39
5.3 Saran……… 39
xiii Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Penyaring subyek penelitian...………... 45
Lampiran 2 Lembar Informasi Penelitian...……..………... 47
Lampiran 3 Formulir Persetujuan………...………. 49
Lampiran 4 Status penelitian ...………..………... 53
Lampiran 5 Tabel UAS menurut EAACI/GA²LEN/EDF/WAO Guidelines 55 Lampiran 6 Tabel induk penelitian... 56
Gambar 2.2.4.1 Jalur Pembekuan Darah 10 Gambar 2.2.4.2
Gambar 4.3.1 Gambar 4.4.1
Aktifasi jalur koagulasi pada urtikaria kronis
Korelasi kadar D-dimer dengan keparahan urtikaria kronis Korelasi kadar D-dimer dengan lama sakit urtikaria kronis
11 33 36
xv Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Tabel 2.2.3.1 Penilaian Derajat Keparahan Urtikaria………. 8 Tabel 3.7.1 Variabel, definisi operasional dan metode pengukuran.…... 23 Tabel 4.1.1 Distribusi Karakteristik klinis subjek penelitian pasien
AHG : Anti hemophilic globulin
AT : Arterial thrombosis
Ca2+ : Ion kalsium
DIC : Disseminated intravascular coagulation
DVT : Deep vein thrombosis
ECP : Eosinophil cationic protein
ELFA : Enzym linked fluororescence assay
ELISA : Enzym linked immuno sorbent assay
FDP : Fibrin Degradation Product
FSF : Fibrin Stabilizing Factor
GM-CSF : Granulocyte-macrophage colony-stimulating factor
HMWK : High Molecular Weight Kininogen
KTP : Kartu Tanda Penduduk MBP : Major basic protein
PAF : Platelet Activating Factor
PAR1 : Protease activated receptor
PE : Pulmonary embolism
PK : Pre Kallikrein
PTA : Plasma Thromboplastin Antecedent
xvii Universitas Indonesia
SP : Subjek penelitian
THT : Telinga, Hidung, dan Tenggorokan UAS : Urticaria Activity Score
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Urtikaria adalah lesi kulit berupa edema intrakutan lokalisata yang dikelilingi oleh area kemerahan (eritema) dan terasa gatal. Lesi kulit dapat menetap 30 menit hingga 36 jam. Lesi dapat berukuran kecil hanya beberapa milimeter, hingga berdiameter 15-20 cm. Pada urtikaria terjadi pelebaran pembuluh darah dan peningkatan permeabilitas vaskular di dermis superfisial dan melibatkan pleksus vena pada daerah tersebut.1
Urtikaria merupakan penyakit yang cukup sering dijumpai dalam praktek sehari-hari. Usia, ras, jenis kelamin, pekerjaan, lokasi geografik, dan musim dapat menjadi faktor predisposisi urtikaria. Urtikaria sering terjadi pada kelompok usia 0-9 tahun dan 30-40 tahun. Dilaporkan di Inggris, 15% - 20% pelajar pernah mengalami urtikaria.1 Pada tahun 2012, kasus baru urtikaria kronis sebanyak 225 (62%) dari total kasus urtikaria di Poliklinik Alergi Imunologi Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Rumah Sakit dr.Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta.2 Kasus urtikaria dianggap kronis apabila muncul hampir setiap hari atau paling kurang dua kali dalam seminggu, selama 6 minggu berturut-turut atau lebih. Urtikaria kronis dibagi menjadi urtikaria kronis autoimun (45%) dan urtikaria kronis idiopatik (55%).1,3 Grattan dkk. (2002) membagi urtikaria kronis menjadi urtikaria kronis autoimun, idiopatik, pseudoalergi, berhubungan dengan infeksi, vaskulitis dan fisis.4
Sebagian besar penyebab pasti urtikaria kronis masih belum banyak diketahui, namun, terdapat beberapa studi yang menunjukkan keterlibatan jalur pembekuan darah dalam patogenesis urtikaria kronis. Penelitian Asero dkk. (2006) mendapatkan persentase kepositifan tes kulit plasma autolog lebih besar daripada tes kulit serum autolog (86% vs 53%) pada pasien urtikaria kronis.5 Pada
2
Universitas Indonesia
penelitian lainnya, Asero dkk. (2007) mendapatkan peningkatan faktor VII, D-dimer, dan protrombin fragmen 1 dan 2. Peningkatan protrombin fragmen 1 dan 2 menunjukkan aktivasi protrombin menjadi trombin, yang selanjutnya mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Fibrin yang terbentuk akan didegradasi oleh plasmin menjadi produk degradasinya berupa D-dimer. Penelitian tersebut menyimpulkan terdapat keterlibatan jalur koagulasi ekstrinsik pada urtikaria kronis.6
Pada penelitian yang menggunakan hewan coba, menunjukkan bahwa trombin dapat menimbulkan edema karena dapat meningkatkan permeabilitas kapiler melalui efek langsung terhadap endotel dan efek tidak langsung melalui mediator-mediator inflamasi yang terkait trombin.7,8 Selanjutnya, trombin dapat menstimulasi degranulasi sel mast, dan mengaktivasi protease activated
receptor1 (PAR1) pada sel mast, dan mengaktifkan komplemen C5a.9,10 Produksi trombin diakselerasi oleh tissue factor di dermis. Tissue factor, yang diinduksi oleh zat-zat kimia, mikroba, atau stres, diduga dapat mengaktifkan jalur koagulasi pada urtikaria.11 Cugno dkk. (2009) menunjukkan, bahwa eosinofil merupakan sumber utama tissue factor pada lesi urtikaria kronis.12 Selain trombin, juga dilaporkan adanya peranan plasmin pada lesi urtikaria kronis. Plasmin dapat mengaktifkan sel mast, sehingga mengeluarkan histamin dan terjadi urtikaria.13,14 D-dimer merupakan hasil degradasi fibrin ikat silang yaitu fibrinogen yang diubah menjadi fibrin monomer dan mengalami polimerisasi menjadi fibrin polimer, kemudian diaktifkan oleh faktor XIIIA dan merupakan protein yang dikeluarkan ke dalam sirkulasi selama proses pemecahan fibrin. D-dimer dapat dijadikan indikator terjadinya trombus yang akan terpecah di dalam tubuh. Pemeriksaan D-dimer menggunakan antibodi monoklonal (antibodi yang spesifik) merupakan baku emas untuk mendeteksi produk degradasi fibrin di dalam plasma atau whole
blood.15
Morbiditas urtikaria kronis tergantung kepada durasi (lama sakit) dan keparahan penyakit. Sekitar 20% pasien dapat menderita urtikaria kronis selama 10 tahun. Urtikaria kronis dapat menurunkan kualitas hidup sebagai dampak keluhan gangguan tidur akibat intensitas gatal yang hebat, keletihan, isolasi sosial, kehilangan energi, serta gangguan emosional dan seksual. Metode baku emas
untuk menilai derajat keparahan urtikaria adalah urticaria activity score (UAS), berdasarkan jumlah lesi urtika dan keluhan gatal.16
Triwongwaranat dkk. (2013) meneliti 120 pasien urtikaria kronis, menemukan peningkatan kadar D-dimer plasma yang berkorelasi dengan keparahan penyakit. Pemeriksaan kadar D-dimer plasma dapat digunakan sebagai alternatif dalam mengevaluasi tingkat keparahan penyakit urtikaria kronis.17 Penelitian Asero dkk. (2010) menyimpulkan pada pasien urtikaria kronis dengan peningkatan D-dimer didapatkan kurang berespons dengan terapi antihistamin, namun menunjukkan respons perbaikan dengan pengobatan heparin dan asam traneksamat.18 Pengobatan dengan antikoagulan, merupakan alternatif terapi baru untuk urtikaria dan masih sedikit literatur mengenai hubungan antara koagulasi dan urtikaria. Sepanjang pengetahuan peneliti belum ada data kadar D-dimer pada pasien urtikaria kronis serta hubungannya dengan derajat keparahan dan lama sakit di Indonesia.
1.2 IDENTIFIKASI MASALAH
Kasus urtikaria kronis cukup sering ditemukan dalam praktek sehari-hari. Penyakit ini dapat rekuren dan menetap hingga beberapa tahun, sehingga dapat menurunkan kualitas hidup sebagai dampak keluhan gangguan tidur akibat intensitas gatal yang hebat, keletihan, isolasi sosial, kehilangan energi, serta gangguan emosional dan seksual. Sebanyak 55% kasus urtikaria kronis tidak diketahui penyebabnya. Meskipun penyebab pasti urtikaria kronis belum banyak diketahui, namun terdapat beberapa studi yang menunjukkan keterlibatan jalur pembekuan darah dalam patogenesisnya. Pada penelitian yang menggunakan hewan coba, menunjukkan bahwa trombin yang terlibat dalam jalur pembekuan darah dapat menimbulkan edema karena dapat meningkatkan permeabilitas kapiler melalui efek langsung terhadap endotel dan efek tidak langsung melalui mediator-mediator inflamasi yang terkait trombin.7,8 Selanjutnya, trombin dapat menstimulasi degranulasi sel mast, dan mengaktivasi protease activated
4
Universitas Indonesia
D-dimer yang merupakan produk akhir jalur pembekuan darah secara tidak langsung dapat digunakan untuk menilai adanya trombin di dalam darah. Adanya peningkatan kadar D-dimer menandakan adanya peningkatan trombin di dalam darah. Triwongwaranat dkk. (2013) meneliti 120 pasien urtikaria kronis, menemukan peningkatan kadar D-dimer plasma yang berkorelasi dengan keparahan penyakit. Peneliti ingin mengetahui korelasi kadar D-dimer dengan derajat keparahan dan lama sakit pasien urtikaria kronis di Indonesia.
1.3 PERUMUSAN MASALAH
1.3.1 Berapa rerata kadar D-dimer pada pasien urtikaria kronis?
1.3.2 Bagaimana korelasi kadar D-dimer dengan derajat keparahan penyakit urtikaria kronis?
1.3.3 Bagaimana korelasi kadar D-dimer dengan lama sakit pasien urtikaria kronis?
1.4 HIPOTESIS PENELITIAN
1.4.1 Terdapat peningkatan kadar D-dimer pada pasien urtikaria kronis
1.4.2 Semakin tinggi kadar D-dimer, semakin berat derajat keparahan penyakit urtikaria kronis.
1.4.3 Semakin tinggi kadar D-dimer, semakin lama sakit pasien urtikaria kronis.
1.5 TUJUAN PENELITIAN
1.5.1 Mengetahui rerata kadar D-dimer pada pasien urtikaria kronis.
1.5.2 Mengetahui korelasi antara kadar D-dimer dengan derajat keparahan penyakit pasien urtikaria kronis.
1.5.3 Mengetahui korelasi antara kadar D-dimer dengan lama sakit pasien urtikaria kronis.
1.6 MANFAAT PENELITIAN
1.6.1 Manfaat untuk bidang pendidikan
Pemeriksaan kadar D-dimer pada urtikaria kronis dapat menambah pengetahuan mengenai peran aktivasi jalur pembekuan darah pada patofisiologi urtikaria kronis, serta hubungannya dengan derajat keparahan dan lama sakit.
1.6.2 Manfaat untuk pengembangan penelitian.
Diharapkan penelitian ini dapat memberi data dasar kadar D-dimer pasien urtikaria kronis di Indonesia yang dapat digunakan pada penelitian selanjutnya mengenai hubungan D-dimer dengan efektivitas terapi antihistamin dan terapi antikoagualan pada pasien urtikaria kronis.
1.6.3 Manfaat Untuk Bidang Pelayanan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam menentukan tatalaksana urtikaria kronis yang lebih komprehensif sesuai patofisiologi yang mendasari, misalnya dengan pemberian terapi antikoagulan.
6 Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 URTIKARIA
Urtikaria adalah reaksi vaskular kulit berupa edema setempat berwarna pucat atau merah muda, dikelilingi daerah kemerahan disertai rasa gatal, tersengat atau tertusuk yang bersifat sementara akibat peningkatan permeabilitas vaskular yang menyebabkan kebocoran plasma ke jaringan. Lesi kulit dapat menetap 30 menit hingga 36 jam. Lesi dapat berukuran kecil hanya beberapa milimeter, hingga berdiameter 15-20cm. Urtikaria dapat disertai angioedema, bila reaksi terjadi pada dermis bagian bawah atau subkutan.1,19,20
Urtikaria merupakan penyakit yang cukup sering dijumpai dalam praktek sehari-hari. Prevalensi urtikaria di seluruh dunia berkisar 20%. Usia, ras, jenis kelamin, pekerjaan, lokasi geografi, dan musim dapat menjadi faktor predisposisi urtikaria.1,21
Berdasarkan durasi penyakit, urtikaria dibagi menjadi urtikaria akut dan urtikaria kronis. Urtikaria akut adalah urtikaria yang berlangsung kurang dari 6 minggu, sedangkan urtikaria kronis adalah urtikaria yang muncul hampir setiap hari atau paling kurang dua kali dalam seminggu selama 6 minggu berturut-turut atau lebih.1,3,4
2.2 URTIKARIA KRONIS 2.2.1. Epidemiologi
Urtikaria kronis lebih jarang dibandingkan dengan urtikaria akut.21,22 Urtikaria kronis ditemukan pada 0,5-1% populasi.23,24 Urtikaria kronis terutama terjadi pada orang dewasa dengan rasio perbandingan laki-laki : perempuan adalah 1: 2.25 Penyakit ini dapat rekuren dan menetap hingga beberapa tahun. Dilaporkan
sebanyak 40% pasien urtikaria kronis mengalami lesi urtika yang hilang timbul selama 10 tahun.26
Urtikaria kronis merupakan kondisi yang dapat mengganggu kualitas hidup sebagai dampak keluhan gangguan tidur akibat intensitas gatal yang hebat, keletihan, isolasi sosial, kehilangan energi, serta gangguan emosional dan seksual. Penting mengetahui penyebab urtikaria, karena dapat digunakan sebagai pertimbangan pendekatan terapi yang komprehensif.27
2.2.2 Etiopatogenesis urtikaria dan pembagian urtikaria kronis
Sel mast merupakan sel efektor utama pada urtikaria. Sel mast kutan berikatan pada vibronektin, laminin dan vitronektin. Sel mast kutan melepas histamin sebagai respons terhadap compound 48/80, C5a, morfin dan kodein. Neuropeptida substansi P, vasoactive intestinal peptide (VIP) dan somatostatin dapat mengaktifkan sel mast untuk sekresi histamin. Penyuntikan antigen spesifik intrakutan pada individu yang tersentisisasi membuktikan terdapat peran imunoglobulin E dan interaksinya dengan sel mast.1 Selain sel mast, terdapat juga peran sel eosinofil. Eosinofil mengandung granul toksik yaitu major basic protein (MBP) dan eosinophil cationic protein (ECP). MBP dapat menyebabkan degranulasi sel mast secara nonimunologi.1
Urtikaria kronis dibagi menjadi urtikaria kronis autoimun (45%) dan urtikaria kronis idiopatik (55%).1 Grattan dkk. (2002) membagi urtikaria kronis menjadi urtikaria kronis autoimun, idiopatik, pseudoalergi, berhubungan dengan infeksi, vaskulitis dan fisis.4 Sebagian besar penyebab pasti urtikaria kronis masih belum diketahui, namun terdapat beberapa studi yang menunjukkan keterlibatan jalur pembekuan darah dalam patogenesis urtikaria kronis.
2.2.3 Derajat keparahan urtikaria
Metode baku emas untuk menilai derajat keparahan urtikaria adalah urticaria
activity score (UAS). Urticaria activity score merupakan instrumen kuantitatif
yang memungkinkan klinisi membuat perkiraan derajat keparahan urtikaria dengan menjumlahkan skor jumlah lesi dan skor keparahan gatal. Jumlah skor
8
Universitas Indonesia
maksimal adalah 6.17,28-32 Beberapa penelitian memasukkan kriteria ukuran lesi dalam menilai derajat keparahan penyakit.6,21 Derajat keparahan urtikaria dikatakan ringan jika skor UAS 1-2, sedang jika skor UAS 3-4, dan berat jika skor UAS 5-6.17
Tabel 2.2.3.1 Tabel penilaian derajat keparahan urtikaria* Skor jumlah dan ukuran lesi urtika
dalam 24 jam
Skor keparahan gatal
Skor 0 : tidak ada lesi
Skor 1: <20 lesi (lesi ukuran < 3cm)
Skor 2: 20-50 lesi ukuran < 3cm atau 1-10 lesi ≥ 3cm
Skor 3: >50 lesi ukuran < 3cm atau > 10 lesi ≥ 3cm atau lesi berkonfluen ukuran besar
Skor 0: tidak ada gatal Skor 1 : gatal ringan Skor 2 : gatal sedang,
mengganggu namun tidak sampai menghalangi aktivitas sehari-hari maupun tidur Skor 3: sangat gatal,
mengganggu aktivitas sehari-hari dan tidur
2.2.4 Urtikaria kronis yang melibatkan aktivasi sistem pembekuan darah Proses pembekuan darah terdiri dari rangkaian reaksi enzimatik yang melibatkan protein plasma yang disebut sebagai faktor pembekuan darah, fosfolipid, dan ion kalsium. Faktor pembekuan darah dinyatakan dalam angka Romawi yang sesuai dengan urutan ditemukannya.33
Proses pembekuan darah dimulai melalui dua jalur yaitu jalur instrinsik yang dicetuskan oleh aktivasi kontak dan melibatkan Faktor XII, Faktor XI, Faktor IX, Faktor VIII, high molecular weight kininogen (HMWK), pre kallikrein (PK),
_________________________________________
platelet factor 3 (PF. 3) dan ion kalsium, serta jalur ekstrinsik yang dicetuskan
oleh tromboplastin jaringan dan melibatkan Faktor VII, ion kalsium. Kedua jalur ini akan bergabung menjadi jalur bersama yang melibatkan Faktor X, Faktor V, PF.3, protrombin, dan fibrinogen.33
Reaksi pertama pada jalur bersama adalah perubahan Faktor X menjadi Faktor Xa oleh kompleks yang terbentuk pada jalur instrinsik dan atau Faktor VIIa dari jalur ekstrinsik. Faktor Xa bersama Faktor V, PF.3, dan ion kalsium membentuk
prothrombin converting complex yang akan mengubah protrombin menjadi
trombin. Reaksi selanjutnya trombin akan mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Plasmin memecah fibrin membentuk fibrin degradation product salah satunya berupa D-dimer.33 (lihat bagan 1)
Meskipun penyebab pasti urtikaria kronis masih banyak belum diketahui, namun terdapat beberapa studi yang menunjukkan keterlibatan jalur pembekuan darah dalam etiopatogenesisnya.34 Penelitian Asero dkk. (2006) mendapatkan persentase kepositifan tes kulit plasma autolog lebih besar daripada tes kulit serum autolog (86% vs 53%) pada pasien urtikaria kronis.5 Pada plasma darah masih terdapat faktor-faktor pembekuan darah, sedangkan pada serum faktor pembekuan darah sudah dihilangkan. Pada penelitian lainnya, Asero dkk. (2007) mendapatkan peningkatan faktor VII, D-dimer, dan protrombin fragmen 1 dan 2 pada pasien urtikaria kronis. Peningkatan protrombin fragmen 1 dan 2 mengindikasikan aktivasi protrombin menjadi trombin, yang selanjutnya mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Fibrin yang terbentuk akan didegradasi oleh plasmin menjadi produk degradasinya berupa D-dimer. Penelitian tersebut menyimpulkan terdapat keterlibatan jalur koagulasi ekstrinsik pada urtikaria kronis.6
10
Universitas Indonesia
Bagan 2.2.4.1 Jalur Pembekuan Darah*
_____________________________________ #
dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan no. 33 IXa PF3 VIII Ca++ XII HMWK Kal KONTAK XIIa HMWK XI XIIa IX Xa V PF3 Ca++ X VII Ca++ TROMBOPLASTIN JARINGAN VIIa JALUR BERSAMA PROTROMBIN TROMBIN FIBRINOGEN FIBRIN FIBRIN DEGRADATION PRODUCT (D-DIMER)
JALUR INTRINSIK JALUR EKSTRINSIK
Pada penelitian yang menggunakan hewan coba, menunjukkan bahwa trombin dapat menimbulkan edema karena dapat meningkatkan permeabilitas kapiler melalui efek langsung terhadap endotel dan efek tidak langsung melalui mediator-mediator inflamasi yang terkait trombin.7,8 Selanjutnya, trombin dapat menstimulasi degranulasi sel mast, dan mengaktivasi protease activated
receptor1 (PAR1) pada sel mast, dan mengaktifkan komplemen.9,10
Produksi trombin diakselerasi oleh tissue factor di dermis. Tissue factor, yang diinduksi oleh zat-zat kimia, mikroba, atau stres, diduga dapat mengaktifkan jalur koagulasi pada urtikaria.11 Cugno dkk. (2009) menunjukkan bahwa eosinofil merupakan sumber utama tissue factor pada lesi urtikaria kronis.12 Selain trombin, juga dilaporkan adanya peranan plasmin pada lesi urtikaria kronis. Plasmin dapat mengaktifkan sel mast, sehingga mengeluarkan histamin dan terjadi urtikaria.13,14
Bagan 2.2.4.2 Aktivasi jalur koagulasi pada urtikaria kronis*
_____________________________________________
*
Dikutip dengan perubahan dari kepustakaan no.12 dan 35URTIKARIA
12
Universitas Indonesia
Eosinofil mengandung granul toksik yaitu major basic protein (MBP) dapat menyebabkan degranulasi sel mast. Sel mast, merupakan sel yang penting dalam patogenesis urtikaria kronis menghasilkan GM-CSF (granulocyte-macrophage
colony-stimulating factor) dan PAF (platelet-activating factor). Kedua faktor ini
yang akan menstimulasi eosinofil, menginduksi translokasi tissue factor ke membran sitoplasma, yang selanjutnya dapat mengaktifkan jalur koagulasi.(lihat Bagan.2.2.4.2)35
Pada penelitian Takahagi dkk. (2010) didapatkan peningkatan kadar D-dimer pada 35% pasien urtikaria kronis yang menjadi subjek penelitian. Peningkatan kadar D-dimer menunjukkan adanya proses fibrinolis pada pasien urtikaria kronis.36 Triwongwaranat dkk. (2013) meneliti 120 pasien urtikaria kronis, didapatkan hasil peningkatan D-dimer pada 48,3% subjek penelitian, dan peningkatan D-dimer ini berkorelasi dengan derajat keparahan urtikaria kronis.17
Penelitian Asero dkk. (2010) didapatkan hasil pada pasien urtikaria kronis dengan peningkatan D-dimer, mengalami urtikaria kronis yang lebih berat.18,37 Pasien urtikaria kronis dengan peningkatan D-dimer didapatkan kurang berespons dengan terapi antihistamin, namun menunjukkan respons perbaikan dengan pengobatan heparin dan asam traneksamat.18
Asero dkk. (2013) meneliti 91 pasien urtikaria kronis, dan mendapatkan kadar D-dimer meningkat pada 88% subjek penelitian yang tidak memberikan respon terhadap terapi cetirizin dengan dosis 10-30mg/hari selama 7-14 hari. Penelitian ini menyimpulkan, bahwa pemeriksaan D-dimer plasma dapat menjadi penanda prognostik keparahan urtikaria kronis dan dapat pula menjadi prediktor terhadap respons terapi antihistamin.38 Parslew dkk. (2000) melakukan penelitian terhadap 8 pasien urtikaria kronis yang tidak berespon terhadap terapi antihistamin, 6 dari 8 pasien tersebut memberikan perbaikan yang nyata dengan terapi warfarin oral.39
2.3. D-dimer 2.3.1. Definisi
D-dimer adalah produk akhir degenerasi cross-linked fibrin oleh aktivitas kerja plasmin dalam sistem fibrinolitik. Sejak 1980, tes D-dimer digunakan untuk pemeriksaan trombosis. Hasil pemeriksaan yang lebih tinggi dari normal menunjukkan terdapat trombus, namun tidak menunjukkan lokasi kelainan dan menyingkirkan berbagai penyebab.33
2.3.2. Struktur dan sintesis D-dimer
Dalam proses pembentukan bekuan darah normal, bekuan fibrin terbentuk pada tahap terakhir proses koagulasi. Fibrin dihasilkan oleh aktivitas trombin yang memecah fibrinogen menjadi fibrin monomer. Fibrinogen adalah glikoprotein dengan formula Aα, Bβ, dan γ. Terdiri atas 3 pasang rantai polipeptida yang tidak identik dan saling beranyaman yaitu 2 rantai Aα, 2 Bβ, dan 2γ. Molekul fibrinogen adalah dimer yang diikat oleh ikatan disulfida di bagian terminal end. Pasangan rantai Aα dan Bβ memiliki fibinopolipeptida berukuran kecil di bagian terminal yang disebut sebagai fibrinopolipeptida A dan B.33
Proses perubahan fibrinogen menjadi fibrin terdiri atas 3 tahap, yaitu tahap enzimatik, polimerisasi dan stabilisasi. Pada tahap enzimatik, 2 molekul fibrinopeptida A dan 2 molekul fibrinopeptida B dipecah dan fibrinogen diubah oleh trombin menjadi monomer fibrin yang larut. Tahap polimerisasi, fibrinopolipeptida A dilepas yang akan menimbulkan agregasi side to side disusul dengan penglepasan fibrinopeptida B yang mengadakan kontak dengan unit-unit monomer dengan lebih kuat dan membentuk bekuan yang tidak stabil. Tahap selanjutnya adalah stabilisasi dengan penambahan trombin, faktor XIIIa dan ion kalsium (Ca2+) sehingga terbentuk unsoluble fibrin yang stabil.33,40
Trombin menyebabkan aktivasi faktor XIII menjadi XIIIa yang berperan sebagai transamidinase. Faktor XIIIa menyebabkan ikatan silang (cross-linked) fibrin monomer yang saling berdekatan dengan membentuk ikatan kovalen yang stabil
14
Universitas Indonesia
(fibrin mesh). Rantai α dan γ berperan dalam pembentukan unsoluble fibrin yang stabil.40-41
Plasminogen yang secara normal terdapat dalam plasma akan diserap oleh fibrin. Saat di dalam fibrin, plasminogen diubah oleh tissue-plasminogen activator (tPA) menjadi plasmin.41 Plasmin merupakan enzim fibrinolitik utama yang berfungsi memecah fibrinogen menjadi fibrin yang menghasilkan bermacam-macam produk degenerasi fibrin (fibrin degradation product / FDP). Jika plasmin melisiskan
unsoluble fibrin, maka akan meningkatkan jumlah produk degradasi fibrin yang
terlarut.42 Fibrin degradation product (FDP) yang dihasilkan berupa fragmen X, Y, D dan E. Dua fragmen D dan satu fragmen E akan berikatan dengan kuat membentuk D-dimer.40
2.3.3. Peran pemeriksaan D-dimer
Pemeriksaan D-dimer bermanfaat untuk mengetahui pembentukan bekuan darah abnormal atau kejadian trombosis (tidak langsung) dan untuk mengetahui lisis bekuan atau proses fibrinolisis (langsung). Hasil pemeriksaan kadar D-dimer memiliki nilai sensitifitas dan nilai prediktif negatif yang tinggi untuk thrombosis dan fibrinolisis.33
Indikasi pemeriksaan D-dimer, yaitu disseminated intravascular coagulation (DIC), deep vein thrombosis (DVT), pulmonary embolism (PE), venous dan
arterial thrombosis (VT dan AT), terapi antikoagulan dan trombolitik, sebagai
parameter tambahan pada penyakit jantung koroner, dan penyakit lainnya.33,43 2.3.4. Metode Pemeriksaan D-dimer
Prinsip pemeriksaan D-dimer adalah menggunakan antibodi monoklonal spesifik yang mengenali epitop pada fragmen D-dimer. Ada beberapa metode pemeriksaan yaitu:44-47
Enzym linked immunosorbent assay (ELISA) Latex agglutination
Whole blood agglutination Immunoturbidometric assay Immunofiltration assay
Metode ELISA sebagai baku emas pemeriksaan kadar D-dimer. Antibodi dengan afinitas tinggi terhadap D-dimer dilapiskan pada dinding atau microliter well dan mengikat protein dalam plasma. Metode ini memiliki sensitivitas yang tinggi, namun, memiliki beberapa kelemahan yaitu membutuhkan biaya yang lebih mahal untuk reagennya dan waktu pemeriksaan yang lebih lama sekitar 2,5 jam.48 Metode ELISA banyak digunakan pada penelitian, dan metode ELISA ini dikembangkan metode lain dengan instrumen yang berbeda, yaitu menggunakan fluoresen, sehingga pemeriksaan lebih cepat dan sensitifitas sama dengan ELISA. Metode latex agglutination menggunakan antibodi yang dilapiskan pada partikel lateks. Aglutinasi secara makroskopik terlihat bila ada peningkatan D-dimer dalam plasma. Cara ini kurang sensitif untuk uji saring. Prinsip metode ini adalah terbentuknya ikatan kovalen partikel polystyrene pada antibodi monoklonal terhadap cross-linkage region dari D-dimer. Sensitivitas metode ini sebanding dengan metode ELISA.49
Pemeriksaan D-dimer dengan metode whole blood assay, menggunakan antibodi tertentu untuk D-dimer dan antigen sel darah merah. Setetes darah utuh diinkubasi dengan larutan antibodi monoklonal, menyebabkan aglutinasi dari sel-sel darah merah jika D-dimer positif. Banyak laporan telah menunjukkan sensitivitas tinggi untuk pemeriksaan ini dan telah secara luas digunakan.45 Pemeriksaan D-dimer dengan metode ini lebih mudah pemeriksaannya dan waktu yang dibutuhkan lebih cepat daripada ELISA dan latex agglutination.48
Pemeriksaan D-dimer dengan metode immunoturbidometric assay, adalah pemeriksaan mikropartikel otomatis menggunakan cahaya monokromatik yang dilewatkan melalui suspensi lateks mikropartikel dan dilapisi oleh ikatan kovalen
16
Universitas Indonesia
dengan antibodi monoklonal spesifik untuk D-dimer. Panjang gelombang cahaya (540 nm) lebih besar dari diameter mikropartikel lateks, sehingga suspensi mikropartikel lateks hanya sedikit menyerap cahaya. Ketika plasma ditambahkan ke suspensi, setiap D-dimer yang terdapat di dalam plasma menyebabkan mikropartikel lateks menggumpal, menjadi agregat dengan diameter lebih besar dari panjang gelombang cahaya. Hal ini meningkatkan absorbansi cahaya, yang diukur secara fotometrik, dan sebanding dengan jumlah D-dimer ada dalam sampel uji. Kelebihan metode ini adalah biaya yang efektif, relatif cepat untuk dilakukan, dan memiliki sensitivitas sebanding dengan ELISA.45 Namun, pemeriksaan ini memiliki kelemahan yaitu memerlukan tenaga kerja terlatih.50 Metode pemeriksaan D-dimer yang dikembangkan selanjutnya adalah
immunofiltration assay. Metode ini merupakan metode kuantitatif yang dinilai
dari intensitas warna yang terbentuk. Kelebihan metode ini adalah hasil yang cepat dalam waktu 2 menit, biaya yang relatif lebih murah, pengerjaan yang cukup mudah, dan sensitivitas sebanding dengan ELISA. 50-52 Rustandi. dkk membandingkan pemeriksaan D-dimer menggunakan metode imunofiltrasi dengan metode imunoturbidimetri. Penelitian ini menyimpulkan metode imunofiltrasi dapat digunakan sebagai alat diagnosis kadar D-dimer secara cepat dengan biaya relatif murah dibandingkan dengan metode imunoturbidimetri. Nilai normal kadar D-dimer plasma dengan metode ini adalah 0-300 µg/L.50 Pada penelitian ini menggunakan metode pemeriksaan D-dimer immunofiltration assay, karena metode ini yang digunakan di laboratorium Patologi Klinik RSCM, Jakarta.
2.3.5 Faktor yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan D-dimer
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan D-dimer, yaitu:53 Terapi antikoagulan dapat menyebabkan temuan negatif palsu
Kadar D-dimer akan meningkat pada orang lanjut usia dan kehamilan Sampel hemolisis disebabkan oleh pengumpulan dan penanganan yang
2.4 KERANGKA TEORI
URTIKARIA KRONIS
Lama sakit
Derajat keparahan urtikaria:
- Ringan - Sedang - Berat
Disseminated intravascular coagulation
Deep vein thrombosis
Pulmonary embolism
Venous and arterial thrombosis
Penyakit jantung koroner Antikoagulan
Kehamilan Usia lanjut
Rheumatoid arthritis Hemolisis
Zat kimia, stress, mikroba
Tissue Factor di
dermis
Trombin
Sel mast pembuluh darah
Histamin peningkatan permeabilitas vaskular Fibrinogen Fibrin plasmin
D-DIMER
Autoimun Idiopatik Pseudoalergi Berhubungan dengan infeksi Vaskulitis fisis Eosinofil18 Universitas Indonesia 2.5. KERANGKA KONSEP Kadar D-dimer URTIKARIA KRONIS Lama sakit
Derajat keparahan urtikaria - Ringan
- Sedang - Berat
METODOLOGI PENELITIAN 3.1 RANCANGAN PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian analitik menggunakan rancangan potong lintang (cross-sectional) pada pasien urtikaria kronis.
3.2 TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN 3.2.1 Tempat penelitian
1. Anamnesis, pemeriksaan fisis dilakukan di Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta
2. Pemeriksaan kadar D-dimer plasma di laboratorium Patologi Klinik RSCM, Jakarta
3.2.2 Waktu penelitian
Penelitian ini dilakukan dari bulan Mei 2014 sampai September 2014. 3.3 POPULASI DAN SUBJEK PENELITIAN
3.3.1 Populasi penelitian
1. Populasi target adalah pasien urtikaria kronis di Indonesia.
2. Populasi studi adalah pasien urtikaria kronis yang datang berobat ke Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSCM, Jakarta.
3.3.2 Subjek penelitian
Subjek penelitian (SP) adalah bagian populasi yang terpilih berdasarkan kriteria penerimaan dan kriteria penolakan.
3.4 KRITERIA PENERIMAAN DAN PENOLAKAN 3.4.1 Kriteria penerimaan
1. Secara klinis didiagnosis sebagai pasien urtikaria kronis 2. Usia minimal 18 tahun dan maksimal 59 tahun
20
Universitas Indonesia
3. Bersedia menjadi subjek penelitian (bersedia diwawancara, dilakukan pemeriksaan fisis, dan diambil darah) dengan menandatangani surat persetujuan penelitian setelah diberi penjelasan (informed consent)
3.4.2 Kriteria penolakan
1. Mengonsumsi antihistamin dalam 5 hari sebelum pengambilan darah 2. Mengonsumsi kortikosteroid setara prednison lebih dari 10 mg/hari dalam
72 jam sebelum pengambilan darah
3. Mengonsumsi obat-obat yang dapat memengaruhi kadar D-dimer plasma, yaitu: antikoagulan/trombolisis seperti warfarin, heparin, aspirin, sulfinpirazon, dipiridamol, dekstran, prostaksiklin, tiklopidin, dikumoral, anisindion, dan antifibrinolisis seperti asam traneksamat
4. Mengonsumsi obat-obatan yang mengandung kodein dan atau morfin 1 hari sebelum pengambilan darah
5. Sedang hamil.
3.5 ESTIMASI BESAR SAMPEL
Sampai saat ini tidak ada data mengenai rerata ( mean ) kadar D-dimer pada pasien urtikaria kronis. Penelitian terdahulu mendapatkan nilai median, dan kisaran nilai untuk itu tidak dihitung besar sampel minimal terkait kadar D-dimer pada pasien urtikaria kronis.
Koefisien korelasi kadar D-dimer plasma dengan derajat keparahan urtikaria kronis dari beberapa penelitian sebelumnya memiliki nilai yang bervariasi, sehingga ditentukan perkiraan koefisiensi korelasi sebesar 0,5 yang merupakan median dari koefisien korelasi beberapa penelitian terdahulu. Berdasarkan rancangan penelitian untuk mendapatkan korelasi antara kadar D-dimer plasma dengan derajat keparahan urtikaria kronis, maka penentuan besar sampel dihitung menggunakan rumus berikut:
[ ( )
[ ( )
[( ) ( )]]
Keterangan :
n = besar sampel pasien urtikaria kronis
α = tingkat kemaknaan pada penelitian ini, untuk α = 5% maka Zα = 1,96 β = ditetapkan 20%, maka power (1-β) penelitian ini adalah 80%,
Zβ = 0,842
r = perkiraan koefisien korelasi = 0,5 Besar sampel minimal yaitu 30 subjek.
3.6 CARA KERJA PENELITIAN
3.6.1 Tahap seleksi dan pengisian formulir persetujuan
Pemilihan SP dilakukan secara anamnesis dan pemeriksaan fisis untuk mendapatkan pasien dengan urtikaria kronis berdasarkan kriteria penerimaan dan kriteria penolakan, secara berurutan sampai terpenuhi jumlah sampel yang diperlukan (consecutive sampling). Selanjutnya dilakukan penjelasan lisan mengenai penyakit, tujuan, dan cara penelitian pada calon SP. Calon SP kemudian diminta menandatangani formulir persetujuan.
3.6.2 Pencatatan data dasar
Bagi SP yang telah menandatangani formulir persetujuan, akan dilakukan pencatatan meliputi identitas, anamnesis, pemeriksaan fisis, penilaian derajat keparahan urtikaria kronis dengan UAS.
3.6.3 Pemeriksaan kadar D-dimer 3.6.3.1 Alat dan bahan
a. Disposible syringe 3cc
b. Tabung vakum yang mengandung Na citrat c. Torniket
22
Universitas Indonesia
d. Kapas alkohol e. Alat sentrifugasi f. Sarung tangan karet g. Pipet 50 µL
h. Alat untuk pemeriksaan kadar D-dimer dengan metode imunofiltrasi, terdiri atas Nycocard D-dimer dan Nycocard Reader II
3.6.3.2 Cara pengambilan darah dan pemeriksaan kadar D-dimer plasma Tidak ada persiapan khusus untuk pemeriksaan D-dimer plasma, dilakukan pengambilan darah vena SP. Sampel darah tidak dapat diperiksa jika terjadi hemolisis. Pemeriksaan kadar D-dimer plasma secara kuantitatif dilakukan dengan metode immunometric flow-through ( imunofiltrasi ). Nilai normal 0-300 µg/L.
Pengumpulan bahan:
Pada area lipat siku dilakukan pengusapan dengan kapas alkohol. Kemudian darah vena diambil menggunakan tabung vakum sebanyak 5cc dengan perbandingan sehingga Na citrat : darah vena = 1:9. Darah dikirim ke laboratorium Patologi Klinik RSCM Jakarta maksimal dalam 4 jam.
Langkah pemeriksaan:
a. Darah disentrifugasi selama 15 menit dengan kecepatan 2000 rpm lalu diambil bagian plasma
b. Ditambahkan 50 µL washing solution ke dalam lubang tes, dan dibiarkan meresap
c. Ditambahkan 50 µL plasma ke dalam lubang tes, dan dibiarkan meresap d. Conjugate dikocok, lalu ditambahkan 50 µL ke dalam lubang tes, dibiarkan
meresap
e. Ditambahkan 50 µL washing solution ke dalam lubang tes, dan dibiarkan meresap
3.6.3.3 Analisis kadar D-dimer
Setelah didapatkan hasil kadar D-dimer, dilakukan pencatatan dan penjelasan kepada SP.
3.7 BATASAN OPERASIONAL
Tabel 3.7.1 Variabel, definisi operasional dan metode pengukuran
No Variabel Definisi operasional Alat ukur/ cara ukur
Skala ukur
1. Urtikaria kronis
Urtikaria yang telah berlangsung sekurangnya 6 minggu, dengan frekuensi serangan minimal 2 kali dalam seminggu Anamnesis dan pemeriksaan fisis Kategorik -Ya -Tidak 2. Usia Usia adalah umur yang dihitung dari tahun saat
penelitian dikurangi dengan tahun kelahiran sesuai kartu tanda penduduk (KTP).
Pembulatan ke atas bila ≥ 6 bulan dari ulang tahun terakhir, ke bawah bila < 6 bulan. Dihitung dalam
satuan tahun. Rekam medis, KTP / wawancara Numerik (tahun) 3. Jenis kelamin
Petanda gender dinilai berdasarkan bentuk anatomis genitalia eksterna Rekam medis, KTP/ wawancara Kategorik -Laki-laki -Perempuan 4. Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang diperoleh SP
Rekam medis/ wawancara
kategorik
Pendidikan rendah:
tidak sekolah, sekolah dasar (SD), dan
sederajatnya
Pendidikan menengah:
sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menengah atas (SMA), dan
sederajatnya
Pendidikan tinggi:
setingkat diploma/ akademi/strata-1 atau jenjang yang lebih tinggi 5. Derajat keparahan urtikaria/ Urticaria Activity Score (UAS)
Penjumlahan dari skor jumlah dan ukuran lesi urtika dan skor keparahan gatal, jumlah maksimal skor 6
UAS:
Skor jumlahdan ukuran lesi urtika:
Skor 0 : tidak ada lesi
Skor 1: <20 lesi ukuran < 3cm dalam 24 jam Skor 2: 20-50 lesi ukuran < 3cm atau 1-10 lesi ≥3cm dalam 24 jam
Skor 3: >50 lesi ukuran < 3cm atau >10 lesi ≥3cm atau lesi berkonfluen ukuran besar dalam 24 jam
Skor keparahan gatal:
Skor 0: tidak ada gatal
Skor1 : gatal ringan, tidak mengganggu aktifitas Skor2 : gatal sedang, mengganggu namun tidak sampai menghalangi aktifitas sehari-hari maupun tidur
Skor 3: sangat gatal, mengganggu aktifitas sehari-hari dan tidur
Anamnesis dan pemeriksaan fisis - Numerik - Kategorik Ringan: skor 1-2 Sedang: skor 3-4 Berat : skor 5-6
24
Universitas Indonesia
6 Lama sakit lama waktu urtikaria kronis telah dialami, yang dihitung berdasarkan pertama kali gejala muncul sampai saat penelitian
Anamnesis Numerik (minggu)
7. Kadar
D-dimer plasma
Konsentrasi D-dimer dalam plasma Nycocard
D-dimer dan Nycocard Reader II dengan metode immunometric flow-through - Numerik - Kategorik Normal: < 300 µg/L Meningkat: ≥300 µg/L 3.8 ANALISIS STATISTIK
Analisis akan dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap deskriptif dan inferensial. Pada tahap analisis deskriptif, maka setiap variabel akan dijelaskan sesuai dengan jenis datanya. Data numerik akan dinilai sebarannya dengan menggunakan uji Skewness dengan batasan p> 0,05 untuk sebaran normal. Apabila sebaran data normal akan ditampilkan rata-rata dan simpang baku. Untuk data numerik sebaran tidak normal akan ditampilkan median, minimum dan maksimumnya. Data kategorikal akan ditampilkan dalam bentuk tabel frekuensi dan persentase. Pada tahap analitik/inferens akan dilakukan analisis korelasi antara kedua variabel numerik, yaitu korelasi antara kadar D-dimer plasma dengan lama sakit dan derajat keparahan penyakit akan dianalisis untuk mendapatkan koefisien korelasi Pearson (jika sebaran data normal) atau Spearman (jika sebaran data tidak normal). Korelasi dinyatakan dengan nilai r. Korelasi kuat apabila nilai r = 0,7-1,0; korelasi sedang r = 0,3-0,69; dan korelasi lemah r =0-0,29.
3.9 KERANGKA OPERASIONAL Pasien urtikaria Anamnesis Pemeriksaan fisis Bukan urtikaria kronis Urtikaria kronis Seleksi : Kriteria penerimaan Kriteria penolakan
Subjek penelitian Bukan subjek penelitian
Penatalaksanaan urtikaria kronis Pemeriksaan kadar D-dimer plasma Pengolahan data dan analisis statistik Penentuan lama sakit
dan derajat keparahan urtikaria kronis
26 Universitas Indonesia
BAB 4
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Telah dilakukan pengumpulan SP sebanyak 30 pasien urtikaria kronis dengan cara
consecutive sampling, sejak bulan Juni hingga bulan Agustus 2014 di Poliklinik
Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSCM, Jakarta. Subjek yang diikutsertakan pada penelitian adalah pasien urtikaria kronis yang terpilih berdasarkan kriteria penerimaan dan kriteria penolakan. Pada seluruh subyek dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisis, penghitungan skor aktivitas urtikaria, penilaian derajat keparahan urtikaria yang dikelompokkan berdasarkan UAS, serta pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan kadar D-dimer di laboratorium Patologi Klinik RSCM, Jakarta. Hasil penelitian disajikan secara deskriptif dan dilakukan analisis korelasi antara kadar D-dimer dengan derajat keparahan dan lama sakit pasien urtikaria kronis.
4.1 KARAKTERISTIK SUBJEK PENELITIAN
Pada penelitian ini ditemukan distribusi usia tidak normal, didapatkan nilai tengah usia SP adalah 32,5 tahun,usia termuda adalah 18 tahun dan paling tua 59 tahun. Urtikaria kronis dapat terjadi pada berbagai usia, terutama pada kelompok usia antara 20-40 tahun.23 Penelitian Mlynek dkk. (2008), mendapatkan usia rerata 43,7 (simpang baku 15,4) tahun dari 111 pasien urtikaria kronis, dengan rentang usia 18-83 tahun.28 Penelitian Nizam dkk. (2004), dari 81 pasien urtikaria kronis, didapatkan usia rerata SP adalah 36,5 (simpang baku 12,78) tahun, dengan rentang usia 15-69 tahun.54 Pada penelitian ini dipilih rentang usia SP antara 18-59 tahun. Sesuai dengan kriteria penerimaan, anak-anak tidak dimasukkan dalam penelitian ini karena urtikaria kronis jarang terjadi pada anak-anak dan pengambilan darah lebih sulit dilakukan pada anak-anak. Pasien geriatri juga tidak dimasukkan dalam penelitian ini karena kadar D-dimer meningkat pada usia lanjut, hal ini disebabkan karena pembuluh darah mengalami penurunan elastisitas dan ditambah dengan timbunan lemak serta proses degeneratif pada usia lanjut
menyebabkan gangguan hemostasis, sehingga mengaktifkan trombosit dan berbagai faktor pembekuan darah.55
Subjek penelitian perempuan pada penelitian ini berjumlah 15 orang (50%), dan SP laki-laki juga berjumlah 15 orang (50%). Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Triwongwaranat dkk. (2013), SP perempuan sebanyak 90 orang (75%) dan SP laki-laki sebanyak 30 orang (25%). 17 Pada penelitian Zhu, dkk. (2012) dari 20 pasien urtikaria kronis didapatkan 55% SP laki-laki dan 45% SP perempuan. 27
Pendidikan SP terbanyak adalah tingkat pendidikan menengah (60%), diikuti oleh pendidikan tinggi (40%). Penelitian Nizam dkk. (2004) pada pasien urtikaria kronis, didapatkan sebagian besar SP berpendidikan tinggi (44,4%), sedangkan yang berpendidikan menengah sebanyak (35,8%), dan yang berpendidikan rendah sebanyak 19,8%.54 Penulis tidak mendapatkan literatur yang menghubungkan pendidikan dengan urtikaria kronis. Menurut data Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta pada tahun 2011, tingkat pendidikan penduduk DKI Jakarta terbanyak adalah tamat Sekolah Menengah Atas (37,27%).56
Nilai tengah lama sakit pada penelitian ini adalah 24 minggu, dengan lama sakit terpanjang adalah 156 minggu dan lama sakit tersingkat 7 minggu. Penelitian Zajac, dkk (2014), mendapatkan rerata lama sakit dari 66 pasien urtikaria kronis adalah 48 minggu, dengan rentang lama sakit 16-208 minggu.57 Urtikaria kronis dapat terjadi selama 1-5 tahun, dan bisa lebih lama pada kasus yang lebih parah. Sekitar 50% pasien urtikaria kronis mengalami masa bebas lesi dalam 1 tahun dan < 5% yang mengalami urtikaria lebih dari 10 tahun.23 Beberapa faktor yang dapat memengaruhi lama sakit urtikaria kronis antara lain, terdapat angioedema, hasil tes serum autolog dan antibodi antitiroid yang positif.58 Pada penelitian ini ketiga faktor di atas tidak dinilai. Kelemahan penilaian lama sakit pada penelitian ini adalah lama sakit hanya berdasarkan ingatan pasien, sehingga ada kemungkinan terjadi bias.
Metode baku emas untuk menilai derajat keparahan urtikaria adalah urticaria
28
Universitas Indonesia
yang memungkinkan klinisi menilai derajat keparahan urtikaria dengan menjumlahkan skor jumlah lesi dan skor keparahan gatal. Jumlah skor maksimal adalah 6.28-32 Beberapa penelitian juga memasukkan kriteria ukuran lesi dalam menilai derajat keparahan penyakit.6,21 Nilai UAS pada penelitian ini tercantum pada tabel 4.1.1. Urticaria activity score pada penelitian ini paling banyak adalah skor 2 ( 43,3%), diikuti oleh skor 4 (20,0%). Pada penelitian Asero dkk. (2010) didapatkan skor terbanyak adalah skor 2 (62,5%).18
Derajat keparahan pada penelitian ini yang paling banyak adalah derajat ringan (43,3%), diikuti oleh derajat sedang (33,3%), dan derajat berat (23,3%). Hasil ini hanya sedikit berbeda dengan penelitian sebelumnya oleh Triwongwaranat dkk. (2013) yang mendapatkan derajat keparahan urtikaria kronis yang terbanyak adalah derajat ringan (52,5%), diikuti derajat sedang (30,8%), dan derajat berat (16,7%).17
Tabel 4.1.1 Distribusi karakteristik klinis subjek penelitian pasien urtikaria kronis di RSCM bulan Juni-Agustus 2014 (N = 30)
Karakteristik Jumlah (n) Persentase(%)
Urticaria activity score
1 2 3 4 5 6
Derajat keparahan urtikaria Ringan Sedang Berat 0 13 4 6 3 4 13 10 7 0 43,3 13,3 20,0 10,0 13,3 43,3 33,3 23,3
Kedua penelitian ini sama-sama menggunakan UAS untuk menilai derajat keparahan urtikaria kronis. Penilaian derajat keparahan urtikaria menggunakan UAS sudah tervalidasi, namun masih memiliki kekurangan yaitu lebih bersifat
subjektif berdasarkan gejala yang dirasakan pasien seperti dalam penilaian skor gatal.
Sebagai data tambahan pada penelitian ini didapatkan faktor yang diduga sebagai pencetus urtikaria kronis yaitu gigi berlubang 17 SP (56,7%), tekanan pada kulit sebanyak 5 SP (16,7%), infeksi tenggorokan berulang 2 SP (6,7%), dan sebanyak 6 SP (19,9%) tidak ditemukan faktor pencetus. Hasil ini berbeda dengan penelitian Brzewski, dkk. (2013) di Polandia, yang hanya menemukan infeksi gigi sebagai pencetus pada 10,7% SP,59 hal ini dapat disebabkan oleh kebersihan gigi yang lebih baik pada SP dari negara maju dibandingkan dari negara berkembang. Pada penelitian ini, pasien dengan faktor pencetus gigi berlubang dikonsulkan ke Departemen Gigi dan Mulut RSCM dan pasien dengan keluhan infeksi tenggorokan berulang dikonsulkan ke Departemen Telinga Hidung dan Tenggorokan (THT) RSCM untuk penanganan lebih lanjut. Mekanisme pasti peran infeksi dalam mencetuskan urtikaria kronis masih belum diketahui, namun beberapa penelitian melaporkan adanya hubungan antara urtikaria kronis dengan infeksi gigi dan THT.60,61
4.2 KADAR D-DIMER PADA SUBJEK PENELITIAN
Nilai tengah kadar D-dimer pada 30 SP adalah 100 µg/L, pada penelitian ini pemeriksaan kadar D-dimer menggunakan metode immunometric flow-through ( imunofiltrasi ) dengan batas nilai normal 0-300 µg/L. Nilai D-dimer terendah pada penelitian ini adalah 100 µg/L, dan nilai tertinggi 1700 µg/L. Pada penelitian Triwongwaranat dkk. (2013) didapatkan nilai tengah kadar D-dimer pasien urtikaria kronis sebesar 476,2 ng/mL dengan nilai terendah 107,7 ng/mL dan nilai tertinggi 9627,9 ng/mL, yang diperiksa dengan metode enzyme-linked
fluorescence assay (ELFA) dengan batas nilai normal 0-500 ng/ml.17 Pada penelitian ini dan penelitian Triwongwaranat nilai tengah kadar D-dimer berada dalam batas normal.
Penentuan batas nilai normal kadar D-dimer berbeda-beda tergantung pada alat yang digunakan untuk mengukur kadar D-dimer. Nilai batas normal kadar
30
Universitas Indonesia
D-dimer berbeda pada kedua penelitian ini. Perbedaan ini disebabkan karena penggunaan antibodi monoklonal yang bervariasi.62
Sepengetahuan peneliti, belum ada penelitian lain yang mengukur kadar D-dimer
pasien urtikaria kronis menggunakan metode immunometric flow-through ( imunofiltrasi ). Peneliti memilih menggunakan metode immunometric
flow-through ( imunofiltrasi ) karena metode tersebut yang tersedia di laboratorium
Patologi Klinik RSCM, Jakarta.
Metode ELISA dianggap sebagai baku emas pemeriksaan D-dimer. Metode ELFA yang digunakan pada penelitian Triwongwaranat, dkk. merupakan bagian dari metode ELISA yang hasilnya dibaca dengan fluoresen. Metode ini memiliki sensitivitas 93-100%, namun memiliki kelemahan, yaitu memerlukan waktu pemeriksaan yang lebih lama karena memerlukan waktu untuk inkubasi reagen dengan plasma darah, dan biaya yang lebih mahal. Metode immunometric
flow-through (imunofiltrasi) yang dipakai pada penelitian ini memiliki beberapa
kelebihan, yaitu hasil yang cepat dalam waktu 2 menit, biaya yang relatif lebih murah, pengerjaan yang cukup mudah, dan sensitivitas sebanding dengan ELISA (sensitivitas 93-100%).50-52
Pada penelitian ini terdapat 5 SP (16,67%) dengan kadar D-dimer yang meningkat tanpa penyakit penyerta yang dapat memengaruhi kadar D-dimer, seperti DIC, DVT, PE, penyakit jantung koroner dan lainnya. Penilaian penyakit penyerta berdasarkan anamnesis dan catatan rekam medis pasien. Pada penelitian Asero, dkk. (2010) terdapat peningkatan kadar D-dimer pada 14 dari 68 SP (20%),18 sedangkan pada penelitian Triwongwaranat dkk. (2013) terdapat peningkatan kadar D-dimer pada 58 dari 120 SP (48,3%).17 Peneliti memikirkan bahwa peningkatan kadar D-dimer pada penelitian Asero, dkk. dan Triwongwaranat dkk lebih tinggi daripada penelitian ini karena SP pada kedua penelitian tersebut ada yang berusia lanjut. Rentang usia SP pada penelitian Asero dkk. (2010) adalah 14-84 tahun,18 dan rentang usia SP pada penelitian Triwongwaranat dkk (2013) adalah 16-73 tahun.17 Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pada usia lanjut kadar D-dimer dapat meningkat, hal ini disebabkan karena elasitas pembuluh
darah sudah berkurang dan ditambah dengan timbunan lemak serta proses degeneratif.55
4.3 KORELASI KADAR D-DIMER DENGAN DERAJAT
KEPARAHAN URTIKARIA KRONIS
Dilakukan analisis korelasi derajat keparahan urtikaria kronis dengan kadar D-dimer. Derajat keparahan urtikaria kronis disajikan dalam skor 1 sampai 6 yaitu, ringan, sedang, dan berat. Pada penelitian ini distribusi kadar D-dimer tidak normal, sehingga uji kemaknaan korelasi menggunakan uji Spearman.
Hasil penelitian menunjukkan korelasi positif kuat yang bermakna antara kadar D-dimer dengan derajat keparahan urtikaria kronis (r = 0,8; p = 0,0000) sehingga hipotesis penelitian ini diterima, berarti semakin tinggi kadar D-dimer, semakin berat derajat keparahan penyakit urtikaria kronis. Hasil penelitian ini hampir sama dengan penelitian Asero dkk. (2011), yang mendapatkan korelasi positif kuat yang bermakna secara statistik antara kadar D-dimer dengan derajat keparahan urtikaria kronis (r = 0,704, p = 0,02).63 Namun hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Triwongwaranat dkk. (2013), yang mendapatkan korelasi positif sedang yang bermakna antara kadar D-dimer dengan derajat keparahan urtikaria kronis (r = 0,537, p < 0,05).17
Gambar 4.3.1 Korelasi kadar D-dimer dengan derajat keparahan urtikaria kronis pada seluruh subyek penelitian (N = 30)
1 2 3 4 5 0 500 1000 1500 2000 dimer 95% CI Fitted values derajat S K o r