• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bank umum dan bank perkreditan rakyat melakukan kegiatan usaha semata-mata

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bank umum dan bank perkreditan rakyat melakukan kegiatan usaha semata-mata"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Bank Syariah 1. Karakteristik Bank Syariah

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 1992, “bank syariah adalah bank umum dan bank perkreditan rakyat melakukan kegiatan usaha semata-mata berdasarkan prinsip syariah Islam”. Di era globalisasi bank syariah lebih diperluas sebagaimana menurut Wiyono (2005:75), “bank syariah adalah bank yang berasaskan kemitraan, keadilan, transparansi, dan universal serta melakukan kegiatan usaha perbankan berdasarkan prinsip syariah”.

Dari beberapa pengertian di atas dapat dipahami bahwa pengertian bank syariah itu tidak jauh berbeda dengan pengertian bank pada umumnya sesuai dengan pendapat peraturan kebijakan perbankan (2002:615) yaitu : “badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka peningkatan taraf hidup rakyat banyak” , namun diantara keduanya memiliki perbedaan yang terletak pada prinsip operasional yang dipergunakan. Bank syariah beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil, sedangkan bank konvensional berdasarkan prinsip bunga. Dengan kata lain, kedudukan bank syariah dalam hubungannya dengan nasabah adalah mitra investor dan pedagang atau pengusaha, sedangkan pada bank konvensional sebagai kreditur dan debitur.

(2)

Adapun karakteristik bank syariah yang merupakan perwujudan dari prinsip ekonomi Islam yang tertera di dalam SAK (2002:59.3), antara lain sebagai berikut :

a. pelarangan riba dalam berbagai bentuknya ;

b. tidak mengenal konsep nilai waktu dari uang (time value of money) ; c. konsep uang sebagai alat tukar bukan sebagai komoditas ;

d. tidak diperkenankan melakukan kegiatan yang bersifat spekulatif ; e. tidak diperkenankan menggunakan dua harga untuk satu barang ; f. tidak diperkenankan dua transaksi dalam satu akad.

2. Kegiatan Operasional dan Prinsip Dasar Pembiayaan Bank Syariah

Sebagian besar produk perbankan syariah saat ini sebenarnya merupakan perpaduan antara praktek-praktek yang dilakukan perbankan konvensional dengan prinsip dasar transaksi ekonomi Islam, yang kenyataannya dengan keluwesannya produk-produk perbankan syariah lebih luas dan lebih lengkap dibanding dengan produk perbankan konvensional. Di sisi lain, ada juga produk-produk perbankan perbankan syariah yang tidak dikenal dalam perbankan konvensional yang ada sekarang ini. Adapun kegiatan usaha atas produk-produk yang dijalankan oleh perbankan syariah dibagi ke dalam tiga bagian besar, yaitu :

a. penghimpunan dana (funding); b. penyaluran dana (financing); dan c. jasa keuangan.

(3)

a. Penghimpunan Dana (funding)

Produk penghimpunan dana bank syariah terbagi menjadi produk dana simpanan produk dana investasi, dimana perbedaan keduanya terletak pada motif dasar nasabah. Dana simpanan merupakan dana pihak ketiga atau dana masyarakat yang dititipkan dan disimpan di bank, yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada bank dengan media penarikan tertentu.

Dapat disimpulkan beberapa karakteristik produk dana simpanan ini, yaitu: 1. Motif utama nasabah adalah simpanan/titipan, bukan investasi. 2. Bisa ditarik sewaktu-waktu oleh nasabah.

3. Bisa dimanfaatkan oleh bank.

Produk dana simpanan bank syariah ini menggunakan prinsip Wadi’ah.

Prinsip Wadi’ah

Menurut Widodo (1999: 50), ”Wadi’ah adalah perjanjian antara pemilik barang dengan pihak yang akan menyimpan barang dengan pihak yang akan menyimpan barang dengan tujuan menjaga keselamatan barang itu dari kehilangan, kemusnahan, kecurian, dan sebagainya.”

Menurut IAI (2002: 59.43), “Wadi’ah adalah titipan nasabah yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat apabila nasabah yang bersangkutan menghendaki, bank bertanggung jawab atas pengembalian titipan.”

(4)

• Wadi’ah yad al-amanah atau titipan murni, dimana pihak yang dititipi/bank/mustawda’ tidak boleh memanfaatkan barang yang dititipkan dan sebagai imbalan atas pemeliharaan barang tersebut, pihak yang menerima titipan/bank dapat meminta biaya penitipan.

• Wadi’ah yad al-dhamanah atau titipan yang mengandung pengertian bahwa penerima titipan diperbolehkan memanfaatkan dan berhak mendapat keuntungan dari barang titipan tersebut dengan syarat tidak diperjanjikan sebelumnya, dan penerima titipan harus bertanggung jawab atas barang titipan apabila terjadi kerusakan.

Dana investasi merupakan salah satu produk bank syariah yang berbeda dengan produk di perbankan konvensional. Produk ini dirancang untuk masyarakat yang tertarik dengan sistem investasi bagi hasil. Berbeda dengan dana simpanan, dana investasi tiak dapat ditarik sewaktu-waktu, melainkan sesuai dengan kesepakatan antara bank dengan nasabah/investor.

Adapun karakteristik produk ini, yaitu: 1. Motif nasabah adalah untuk investasi.

2. Pengembalian dana investasi dilakukan sesuai dengan kesepakatan investasi seperti 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan.

Prinsip yang digunakan produk ini adalah prinsip mudharabah, yaitu dengan sistem bagi hasil (Profit-Loss Sharing/PLS) dari bank untuk investor.

(5)

Menurut IAI (2002: 59.2), “Mudharabah adalah akad kerjasama antara shahibul

maal (pemilik dana) dan mudharib (pengelola dana) untuk mencari keuntungan

dengan nisbah bagi hasil menurut kesepakatan di muka.” Menurut Abdullah Saeed (2004: 77), “Mudharabah adalah kontrak antara dua pihak dimana satu pihak yang disebut rab al-mal (investor) mempercayakan uangnya kepada pihak kedua, yang disebut mudharib.

Mudharib menyumbangkan tenaga dan waktunya dan mengelola kongsi mereka sesuai dengan syarat-syarat kontrak, dimana jika ada keuntungan, maka akan dibagi antara investor dan mudharib berdasarkan proporsi yang telah disepakati sebelumnya, dan kerugian jika ada akan ditanggung sendiri oleh investor. Salah satu hikmah dibolehkannya mudharabah adalah agar pemilik modal yang tidak memiliki pengalaman dalam bisnis atau tidak ada peluang untuk berusaha sendiri dengan orang yang memiliki kemampuan dan pengalaman di bidang tersebut, tapi tidak memiliki modal.

b. Penyaluran Dana (financing)

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, produk-produk perbankan syari’ah sebenarnya terbentuk dari prinsip-prinsip dasar transaksi ekonomi Islam. Pembentukan tersebut dapat terjadi secara tunggal maupun integrasi beberapa prinsip dasar transaksi ekonomi Islam, sehingga wajar juka terdapat beberapa produk perbankan syari’ah yang ternyata dapat dibentuk dalam beberapa kombinasi integrasi prinsip dasar transaksi ekonomi Islam yang berbeda.

(6)

c. Jasa Keuangan

Aktivitas jasa keuangan ini merupakan aktivitas yang meliputi seluruh layanan non-pembiayaan yang diberikan oleh bank kepada nasabahnya. Transaksi yang termasuk pada produk jasa keuangan ini adalah sharf.

Menurut IAI (2002:59.24), “Sharf adalah akad jual beli suatu valuta dengan valuta lainnya.” Transaksi valuta asing pada bank syariah hanya dapat dilakukan untuk tujuan melindungi nilai (hedging) dan tidak dibenarkan untuk tujuan spekulatif. Selisih antara kurs yang diperjanjikan dalam kontrak dan kurs tunai (mark to market) pada tanggal penyerahan valuta diakui sebagai keuntungan/kerugian pada saat penyerahan/penerimaan dana.

B. Pembiayaan dan Sistem Pembiayaan 1. Pengertian Pembiayaan

Pembiayaan dikucurkan melalui dua jenis bank, yaitu bank konvensional maupun bank syariah. Sistem bunga yang diterapkan dalam perbankan konvensional telah mengganggu hati nurani umat Islam di dunia tanpa kecuali umat Islam di Indonesia. Bunga uang dalam fiqih dikategorikan sebagai riba yang demikian merupakan sesuatu yang dilarang oleh syariah (haram).Alasan mendasar inilah yang melatarbelakangi lahirnya lembaga keuangan bebas bunga, salah satunya adalah bank syariah.Perbedaan signifikan pembiayaan antara bank konvensional dengan bank syariah menurut M. Syafii Antonio adalah sebagai berikut:

(7)

2. Berdasarkan prinsip bagi haisl, jual-beli, sewa 3. Profit dan falah oriented

4. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk kemitraan

5. Penghimpunan dan penyaluran dana harus sesuai dengan Fatwa Dewan Pengawas Syariah.

Bank pada dasarnya merupakan perusahaan atau lembaga perantara keuangan (financial intermediary) yaitu antara pihak yang kelebihan dana (surplus spending

unit) dengan pihak yang kekurangan dana (deficit spending unit). Sebagai

lembaga perantara bank harus menyalurkan dana yang dikumpulkan dari masyarakat tersebut kepada pihak-pihak yang membutuhkan dana dalam bentuk pinjaman atau yang lebih dikenal dengan kredit di bank konvensional atau pembiayaan di bank syariah. Pengalokasian dana dapat pula dilakukan dengan membelikan berbagai asset yang dianggap menguntungkan bank.

Pemberian kredit di bank konvensional atau pembiayaan di bank syariah merupakan kegiatan utama dan menjadi sumber utama pendapatan di bank, di samping itu pemberian kredit atau pembiayaan juga dapat menjadi sumber utama kegagalan bank, sebab pemberian kredit atau pembiayaan dapat mempengaruhi tingkat kesehatan dan kelangsungan hidup bank.

Menurut Undang-undang Pokok Perbankan No. 10 tahun 1998 (Kasmir, 2000: 73), pengertian pembiayaan dapat didefenisikan sebagai berikut:

Pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang

(8)

mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.

6. Pengertian Sistem dan Sistem Pembiayaan

Menurut Abdul Halim (1998: 2) “Sistem adalah suatu kegiatan yang telah ditentukan caranya dan biasanya dilakukan berulang-ulang.”

Marshall B. Romney dan Paul J. Steinbart (2004: 2) mendefenisikan “Sistem adalah rangkaian dari dua atau lebih komponen-komponen yang saling berhubungan, yang berinteraksi untuk mencapai suatu tujuan.”

Dari beberapa defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa sistem terdiri dari sub-sub atau bagian yang saling terintegrasi untuk mencapai suatu tujuan. Berdasarkan pengertian di atas penulis mencoba memberikan defenisi tersendiri atas pengertian sistem pembiayaan.

Sistem pembiayaan merupakan suatu kerangka dari prosedur-prosedur yang berhubungan dengan proses penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara pihak bank atau pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.

7. Jenis-jenis Pembiayaan Bank Syariah

Menurut sifat penggunaannya, Antonio Syafe’i dan Purwatmaja (2000: 160) membagi pembiayaan menjadi :

(9)

a. Pembiayaan produktif, yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk peningkatan usaha, baik usaha produksi, perdagangan, maupun investasi.

Menurut keperluannya, pembiayaan produktif dapat dibagi menjadi :

1. Pembiayaan modal kerja, yaitu pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan : a) Peningkatan produksi, baik secara kuantitatif, yaitu jumlah hasil

produksi, maupun secara kualitatif, yaitu peningkatan kualitas atau mutu hasil produksi.

b) Untuk keperluan perdagangan atau peningkatan utility of place dari suatu barang.

Unsur-unsur modal kerja terdiri dari komponen-komponen alat likuid (cash), piutang dagang (receivable), dan persediaan (inventory) yang umumnya terdiri dari persediaan bahan baku (raw material), persediaan barang dalam proses (work in process), dan persediaan barang jadi (finished

good). Oleh sebab itu, pembiayaan modal kerja merupakan salah satu atau

kombinasi dari pembiayaan likuiditas (cash financing), pembiayaan piutang (receivable financing), dan pembiayaan persediaan (inventory financing).

Bank konvensional memberikan kredit modal kerja tersebut dengan cara memberikan pinjaman sejumlah uang yang dibutuhkan untuk mendanai semua kebutuhan yang merupakan kombinasi dari komponen-komponen modal kerja tersebut, baik untuk keperluan produksi maupun perdagangan untuk jangka waktu tertentu, dengan imbalan berupa bunga. Bank syari’ah dapat memenuhi seluruh kebutuhan modal kerja tersebut, bukan dengan meminjamkan uang,

(10)

melainkan dengan menjalin partnership dengan nasabah, dimana bank bertindak sebagai penyandang dana (shahibul maal), sedangkan nasabah sebagai pengusaha (mudharib).

Skema pembiayaan semacam ini disebut dengan mudharabah (trust

financing). Fasilitas ini dapat diberikan untuk jangka waktu tertentu,

sedangkan bagi hasil dibagi secara periodik dengan nisbah yang disepakati. Setelah jatuh tempo, nasabah mengembalikan jumlah dana tersebut beserta porsi bagi hasil (yang belum dibagikan) yang menjadi bagian bank. Pembiayaan modal kerja dapat juga menggunakan skema murabahah, istishna dan salam tergantung pada jenis usahanya.

2. Pembiayaan investasi, yaitu pembiayaan yang diberikan kepada nasabah untuk keperluan investasi, yaitu keperluan penambahan modal guna mengadakan rehabilitasi, perluasan usaha, atau pendirian proyek baru.

Ciri-ciri pembiayaan investasi adalah :

a. Untuk pengadaan barang-barang modal

b. Mempunyai perencanaan alokasi dana yang matang dan terarah c. Berjangka waktu menengah dan panjang

Pada umumnya, pembiayaan investasi diberikan dalam jumlah besar dan pengendapannya cukup lama. Oleh karena itu, perlu disusun proyeksi arus kas (projected cash flow) yang mencakup semua komponen biaya dan pendapatan sehingga akan dapat diketahui berapa dana yang tersedia setelah semua kewajiban terpenuhi. Kemudian, barulah disusun jadwal amortisasi yang merupakan angsuran (pembayaran kembali) pembiayaan.

(11)

Penyusunan proyeksi arus kas ini harus disertai pula dengan perkiraan keadaan-keadaan pada masa yang akan datang, mengingat pembiayaan investasi memerlukan waktu yang cukup panjang. Untuk memperkirakannya perlu diadakan perhitungan dan penyusunan proyeksi neraca dan laba rugi (projected

balance sheet and projected income statement) selama jangka waktu pembiayaan.

Dari perkiraan itu akan diketahui kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba (earning power) dan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajibannya (solvency).

Melihat luasnya aspek yang harus dikelola dan dipantau, maka untuk pembiayaan investasi bank syariah menggunakan skema musyarakah mutanaqishah. Dalam hal ini bank memberikan pembiayaan dengan prinsip penyertaa, dan secara bertahap bank melepaskan penyertaannya, dan pemilik perusahaan akan mengambil alih kembali, baik dengan menggunakan surplus cash flow yang tercipta maupun dengan menambah modal, baik yang berasal dari setoran pemegang saham yang ada ataupun dengan mengundang pemegang saham baru.

Skema lain yang dapat digunakan oleh bank syariah adalah al ijarah al muntahia bittamlik, yaitu menyewakan barang modal dengan opsi diakhiri dengan kepemilikan. Sumber perusahaan untuk pembayaran sewa ini adalah amortisasi atas barang modal yang bersangkutan, surplus, dan sumber-sumber lain yang dapat diperoleh perusahaan.

(12)

b. Pembiayaan konsumtif, yaitu pembaiayaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, yang akan habis digunakan untuk dipakai memenuhi kebutuhan.

Pembiayaan konsumtif diperlukan oleh pengguna dana untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan akan habis dipakai untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Kebutuhan konsumsi dapat dibedakan atas kebutuhan primer (pokok atau dasar) dan kebutuhan sekunder. Kebutuhan primer adalah kebutuhan pokok, baik berupa barang, seperti makanan dan minuman, pakaian, tempat tinggal, maupun berupa jasa, seperti pendidikan dasar dan pengobatan. Sedangkan kebutuhan sekunder adalah kebutuhan tambahan, yang secara kuantitatif maupun kualitatif lebih tinggi atau lebih mewah dari kebutuhan primer, baik berupa barang, seperti makanan dan minuman, pakaian/perhiasan, bangunan rumah, kendaraan dan sebagainya, maupun berupa jasa seperti pendidikan, pelayanan kesehatan, pariwisata, hiburan, dan sebagainya.”

Pada umumnya bank konvensional membatasi pemberian kredit untuk pemenuhan barang tertentu yang dapat disertai dengan bukti kepemilikan yang sah, seperti rumah dan kendaraan bermotor, yang kemudian menjadi barang jaminan utama (main collateral). Sedangkan untuk pemenuhan kebutuhan jasa, bank meminta jaminan berupa barang lain yang dapat diikat secara coolateral. Sumber pembayaran kembali atas pembiayaan tersebut berasal dari sumber pendapatan lain dan bukan dari eksploitasi barang yang dibiayai dari fasilitas ini. Bank syariah dapat menyediakan pembiayaan komersil untuk pemenuhan kebutuhan barang konsumsi dengan menggunakan skema :

(13)

1. Al bai’ bi tsaman ajil (salah satu bentuk murabahah) atau jual beli dengan angsuran.

2. Al ijarah al muntahia bit tamlik atau sewa beli.

3. Al musyarakah mutanaqhishah atau decreasing participation, dimana secara bertahap bank menurunkan jumlah partisipasinya.

4. Ar rahn untuk memenuhi kebutuhan jasa.

Pembiayaan konsumsi tersebut di atas lazim digunakan untuk pemenuhan kebutuhan sekunder. Sedangkan kebutuhan primer pada umumnya dapat dipenuhi dengan pembiayaan komersil. Seseorang yang belum mampu memenuhi kebutuhan pokoknya tergolong fakir atau miskin, dan oleh sebab itu ia wajib diberikan zakat atau shadaqah, atau maksimal diberikan pinjaman kebajikan (al

qardh al hasan), “yaitu pinjaman tanpa imbalan yang memungkinkan peminjam

untuk menggunakan dana tersebut selama jangka waktu tertentu dan mengembalikan jumlah yang sama pada akhir periode yang disepakati.” (PSAK No. 59, 2000: Pr. 140).

C. Produk Pembiayaan Bank Syariah

Secara garis besar, produk pembiayaan bank syariah digolongkan ke dalam empat kategori, sebagai berikut :

1. Pembiayaan dengan Prinsip Jual-Beli

Pembiayaan dengan prinsip jual-beli ditujukan untuk memiliki barang, dilaksanakan sehubungan dengan addanya perpindahan kepemilikan barang atau benda (transfer of property). Tingkat keuntungan ditentukan di depan dan menjadi bagian harga atas barang yang dijual. Transaksi jual-beli dapat

(14)

dibedakan menjadi beberapa bagian berdasarkan bentuk pembayaran dan waktu penyerahan barang, antara lain :

a. Pembiayaan Murabahah

Menurut IAI (2002: 59.8), “Murabahah adalah akad jual-beli barang dengan menyertakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli.” Murabahah dapat dilakukan berdasarkan pesanan ataupun tanpa pesanan. Di dalam murabahah berdasarkan pesanan, bank melakukan pembelian barang setelah ada pemesanan dari nasabah. Harga yang disepakati dalam murabahah adalah harga jual sedangkan harga beli harus diberitahukan. Jika bank mendapatkan potongan dari pemasok, maka potongan itu merupakan hak nasabah. Apabila potongan tersebut terjadi setelah akad, maka pembagian potongan tersebut dilakukan berdasarkan perjanjian yang dimuat berdasarkan akad.

b. Pembiayaan Bai’ Bitsaman Ajil

Meurut Hertanto Widodo (1999: 49), “Ba’I Bitsaman Ajil adalah jual beli dengan pembayaran cicilan.” Sementara menurut Muhammad (2002: 102) :

Ba’i Bitsaman Ajil adalah suatu perjanjian yang disepakati antara bank syariah dengan nasabah, dimana bank syariah menyediakan dananya untuk sebuah investasi dan atau pembelian barang modal dan usaha anggotanya yang kemudian proses pembayarannya dilakukan secara mencicil atau angsuran. Jumlah kewajiban yang harus dibayar oleh

(15)

peminjam adalah harga jual atas barang modal dan mark-up yang disepakati.

Harga jual adalah harga pokok ditambah keuntungan yang disepakati. Jika harga jual telah ditetapkan dan disepakati, maka harga tersebut tidak boleh diubah walaupun terjadi inflasi, deflasi, ataupun kenaikan tingkat suku bunga pasar.

c. Pembiayaan Salam

Salam adalah akad jual beli muslam fiih (barang pesanan) dengan penangguhan pengiriman oleh muslam ilaihi (penjual) dan pelunasannya dilakukan segera oleh pembeli sebelum barang pesanan tersebut diterima sesuai dengan syarat-syarat tertentu. Bank dapat bertindak sebagai penjual atau pembeli dalam suatu transaksi salam. Jika bank bertindak sebagai penjual kemudian memesan kepada pihak lain untuk menyediakan barang pesanan dengan cara salam maka hal ini disebut salam paralel. Spesifikasi dan harga barang pesanan disepakati oleh pembeli dan penjual di awal akad. Ketentuan harga barang pesanan tidak dapat dirubah selama jangka waktu akad. Dalam hal ini bank bertindak sebagai pembeli, bank syariah dapat meminta jaminan kepada nasabah untuk menghindari resiko yang merugikan bank.

d. Pembiayaan Istishna’

Menurut Sunarto Zulkifli (2003: 41), “Bai’ Istishna’ adalah salah satu pengembangan prinsip bai’ as-salam, dimana waktu penyerahan

(16)

barang dilakukan dikemudian hari sementara pembayaran dapat dilakukan melalui cicilan atau ditangguhkan.” Pembeli menugaskan produsen untuk menyediakan barang pesanan sesuai spesifikasi yang diisyaratkan pembeli dan menjualnya dengan harga yang disepakati. Cara pembayaran dapat berupa pembayaran di muka, cicilan, atau ditangguhkan sampai jangka waktu tertentu. Spesifikasi dan harga barang pesanan disepakati oleh pembeli dan penjual di awal akad. Ketentuan harga barang pesanan tidak dapat berubah selama jangka waktu akad. Bank dapat bertindak sebagai pembeli atau penjual dalam suatu transaksi istishna’. Jika bertindak sebagai penjual, yang memesan kepada pihak lain (subkontraktor) untuk menyediakan barang pesanan dengan cara istishna’ maka hal ini disebut istishna’ paralel. Umumnya pembiayaan ini diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur dan kontruksi.

2. Pembiayaan dengan Prinsip Sewa (Ijarah)

Menurut IAI (2002: 59.17), ‘Ijarah adalah akad sewa-meyewa antara pemilik ma’jur (objek sewa) dan musta’jir (penyewa) untuk mendapatkan imbalan atas objek sewa yang disewakannya.” Ijarah muntahiyah bittamlik adalah sewa-meyewa antara pemilik objek sewa dan penyewa untuk mendapatkan imbalan atas objek sewa yang disewakannya dengan opsi perpindahan hak milik objek sewa pada saat tertentu sesuai dengan akad sewa. Transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat. Pada dasarnya prinsip ijarah sama sama dengan prinsip jual beli, namun perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Bila

(17)

pada jual-beli objeknya adalah barang, maka pada ijarah objek transaksinya adalah jasa.

Berdasarkan objeknya, ijarah terdiri dari :

• Ijarah dimana objek manfaatnya dari barang, seperti sewa mobil, sewa rumah, dan lain-lain.

• Ijarah dimana objeknya adalah manfaat dari tenaga seseorang seperti jasa, taxi, jasa guru, dan lain-lain.

3. Pembiayaan dengan Prinsip Bagi-hasil

Adapun produk dari pembiayaan dengan prinsip bagi hasil antara lain adalah : a. Pembiayaan Musyarakah

Menurut IAI (2002: 59.6), “Musyarakah adalah akad kerja sama di antara para pemilik modal yang mencampurkan modal mereka untuk tujuan mencari keuntungan.” Pembiayaan musyarakah dapat diberikan dalam bentuk kas, setara kas, atau aktiva non-kas, termasuk aktiva tidak berwujud, seperti lisensi atau hak paten. Dalam musyarakah, mitra dan bank sama-sama menyediakan modal untuk membiayai suatu usaha tertentu, baik yang sudah berjalan maupun yang masih baru. Selanjutnya mitra dapat mengembalikan moal tersebut berikut bagi hasil yang telah disepakati secara bertahap atau sekaligus kepada bank.

Musyarakah dapat bersifat permanen maupun menurun. Pada musyarakah permanen, bagian modal setiap mitra ditentukan sesuai akad dan jumlahnya tetap hingga akhir masa akad, sedangkan pada musyarakah

(18)

menurun, bagian modal bank akan dialihkan secara bertahap kepada mitra sehingga bagian modal bank akan menurun dan pada akhir masa akad mitra akan menjadi pemilik usaha tersebut. Laba musyarakah dibagi di antara para mitra, baik secara proporsioanal sesuai dengan modal yang disetorkan (baik berupa kas atau aktiva lainnya) atau sesuai nisbah yang disepakati oleh semua mitra.

b. Pembiayaan Mudharabah

Menurut IAI (2002: 59.2), “Pembiayaan mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara shahibul maal (pemilik dana) dan mudharib (pengelola dana) dengan nisbah bagi hasil menurut kesepakatan di muka.” Dalam mudharabah, modal 100% berasal dari shahibul maal (pemilik dana).

4. Akad Pelengkap

Untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan, biasanya juga diperlukan akad pelengkap. Akad pelengkap ini ditujukan untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan dan dalam akad pelengkap ini diperbolehkan untuk meminta penggantian biaya-biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan akad ini. Adapun produk-produk bank syariah dalam akad pelengkap di antaranya adalah :

a. Hiwalah (Alih Hutang-piutang)

Menurut IAI (2002: 59. 38), “Hiwalah adalah pemindahan atau pengalihan hak dan kewajiban, baik dalam bentuk pengalihan hutang atau piutang,

(19)

dan jasa pemindahan/pengalihan dana dari suatu entitas kepada entitas lain.” Tujuan hiwalah adalah untuk mrmbantu supplier mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya.

b. Rahn (Gadai)

Tujuan akad rahn adalah untuk memberikan jaminan pembayaran kepada bank dalam memberikan pembiayaan. Barang yang digadaikan harus merupakan barang milik nasabah sendiri; jenis, ukuran, sifat, dan nilainya dapat ditentukan berdasarkan nilai riil pasar; dapat dikuasai namun tidak boleh dimanfaatkan oleh bank.

c. Qardh

Menurut IAI (2002: 59.23), “Pinjaman Qardh adalah penyediaan dana atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara peminjam dan pihak yang meminjamkan yang mewajibkan peminjam melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu.” Pihak yang meminjamkan dapat menerima imbalan namun tidak diperkenankan untuk dipersyaratkan di dalam perjanjian.

d. Wakalah

“Wakalah adalah pemberian kuasa dari muwakil (pemberi kuasa/nasabah) kepada wakil (penerima kuasa/bank) untuk melaksanakan suatu taukil (tugas) atas nama pemberi kuasa.” Akad wakalah tersebut dapat digunakan, antara lain, dalam pengiriman transfer, penagihan hutang baik melalui kliring maupun inkaso, dan realisasi L/C.

(20)

Menurut IAI (2002:59.40),” Kafalah adalah akad peminjaman yang diberikan oleh kaafil (penanggung/bank) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (makful’anhu ashil).” Garansi bank dapat diberikan dengan tujuan untuk menjamin pembayaran suatu kewajiban pembayaran.

D. Sistem Pembiayaan Murabahah

Definisi jual-beli Murabahah (Deferred Payment Sale) Kata al-Murabahah diambil dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu ( ) yang berarti kelebihan dan tambahan (keuntungan). Sedangkan dalam definisi para ulama terdahulu adalah jual beli dengan modal ditambah keuntungan yang diketahui. Hakekatnya adalah menjual barang dengan harga (modal) nya yang diketahui kedua belah transaktor (penjual dan pembeli) dengan keuntungan yang diketahui keduanya. Sehingga penjual menyatakan modalnya adalah seratus ribu rupiah dan saya jual kepada kamu dengan keuntungan sepuluh ribu rupiah.

Seperti telah dijelaskan di atas bahwa pengertian murabahah adalah akad jual-beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli. Murabahah adalah salah satu produk penyaluran dana yang cukup digemari BMT karena karakternya profitable, mudah dalam penerapan, serta denga risk-factor yang ringan untuk diperhitungkan atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa murabahah merupakan salah satu bentuk natural certainty contracts, yaitu kontrak bisnis yang memberikan kepastian pembayaran, baik dari segi jumlah (amount), karena sudah disepakati oleh kedua belah pihak yang bertransaksi awal.

(21)

Sejumlah alasan diajukan untuk menjelaskan popularitas murabahah dalam operasi investasi perbankan Islam, yaitu:

1. Murabahah adalah suatu mekanisme investasi jangka pendek, dan dibandingkan dengan sistem Profit and Loss Sharing, cukup memudahkan. 2. Mark-up dalam murabahah dapat ditetapkan sedemikian rupa sehingga

memastikan bahwa bank dapat memperoleh keuntungan bank-bank berbasis bunga yang menjadi saingan bank-bank Islam.

3. Murabahah menjauhkan ketidakpastian yang ada pada pendapat dari bisnis-bisnis Profit and Loss Sharing.

4. Murabahah tidak meungkinkan bank-bank Islam untuk mencampuri manajemen bisnis, karena bank buka mitra nasabah, sebab hubungan mereka dalam murabahah adalah hubungan antara kreditur dan debitur.

1. Dasar Hukum Syariah

2. “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Qs. Al-Baqarah: 275).

3. Dari Suaib Ar-rumi ra bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan: (1) Jual beli secara tangguh, (2) Muqaradhah (mudharabah) dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah)

4. Dari Abu Said Al-Hudri bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan secara suka sama suka.” (HR. Baihaqi, Ibnu Majah dan Shahih menurut Ibnu Hiban).

(22)

1. Rukun Jual Beli a. Penjual (Ba’i) b. Pembeli (Musytari) c. Objek Jual Beli (Mabi’) d. Harga (Tsaman)

e. Ijab Qabul

2. Syarat Jual Beli

a. Pihak yang berakad

1. Sama-sama ridha/ikhlas

2. Mempunyai kekuasaan untuk melakukan jual beli. b. Barang objek

1. Barang meskipun tidak di tempat, namun ada pernyataan kesanggupan untuk mengadakan barang tersebut.

2. Barang itu milik sah penjual dan sesuai dengan pernyataan penjual. 3. Barang yang diperjual belikan harus berwujud.

4. Tidak termasuk kategori yang diharamkan. c. Harga

1. Harga jual beli bank adalah harga beli ditambah margin keuntungan.

2. Harga jual tidak boleh berubah selama masa perjanjian. 3. Sistem pembayaran dan jangka waktunya disepakati bersama. Adapun skema pembiayaan murabahah yang diterapkan di PT. BNI Syariah Cabang Medan dapat dilihat sebagai berikut :

(23)

Gambar 2.1 Skema Akad Murabahah

Keterangan :

1. Bank dan nasabah melakukan negosiasi untuk melakukan transaksi pembiayaan berdasarkan prinsip jual beli, meliputi jenis barang yang akan diperjualbelikan harganya (termasuk jumlah keuntungan yang diminta bank) dan jangka waktu pembayaran dan hal-hal lain yang diperlukan. 2. Bank melakukan pesanan (membeli secara tunai/naqdan) barang kepada

supplier sesuai dengan spesifikasi barang yang dikehendaki oleh nasabah, dengan melakukan akad jual beli (surat pernyataan/call memo). Nasabah tidak diperkenankan membeli secara langsung tanpa seizin bank.

a. Dalam pemberian barang ini, bank dapat mewakilkan secara tertulis kepada nasabah untuk membeli barang untuk dan atas nama bank, dalam bentuk akad wakalah/surat kuasa yang terpisah dari akad murabahah, atau bank dapat langsung membeli kepada supplier.

b. Supplier menjual secara tunai.

Nasabah Bank Barang Akad Murabahah Negosiasi (2) (1) (2) (1) (4) (3) (3a)

(24)

Dalam transaksi murabahah ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar transaksi yang dilakukan berjalan sesuai dengan syariah. Ketentuan-ketentuan tersebut dikeluarkan berdasarkan fatwa dari Dewan Syari’ah Nasional (DSN), Biro Perbankan Syari’ah Bank Indonesia, 2002: 5-10) yang tertuang dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 59, yaitu :

I. Ketentuan Umum Murabahah dalam Bank Syari’ah (Fatwa DSN: 04/DSN/IV/2000)

1. Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba. 2. Barang yang diperjual belikan tidak diharamkan oleh syari’ah Islam. 3. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang

telah disepakati kualifikasinya.

4. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian itu harus sah dan bebas riba.

5. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara berhutang.

6. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli ditambah dengan keuntungannya. Dalam hal ini bank harus memberitahukan secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.

7. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu yang telah disepakati.

(25)

8. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atas kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus kepada nasabah.

9. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank.

II. Ketentuan Murabahah kepada Nasabah

1. Nasabah mengajukan permohan dan perjanjian pembelian barang atau asset kepada bank.

2. Jika bank menerima permohonan tersebut, ia harus terlebih dahulu membeli asset yang dipesannya secara sah dengan pedagang.

3. Bank kemudian menawarkan asset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus menerima (membelinya) sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati, karena secara hukum perjanjian tersebut mengikat, kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual-beli.

4. Dalam jual beli ini bank diperbolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka saat menangani kesepakatan awal pemesanan. 5. Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil

barang harus dibayar dari uang muka tersebut.

6. Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh bank, bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah.

(26)

7. Jika uang muka memakai kontrak urbun sebagai alternatif dari uang muka, maka :

a. jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, maka ia tinggal membayar sisa harga;

b. jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut; dan jika uang muka tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya.

III. Ketentuan Jaminan Murabahah

1. Jaminan dalam murabahah diperbolehkan, agar nasabah serius dalam pesanannya.

2. Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang.

IV. Ketentuan Hutang

1. Secara prinsip, penyelesaian hutang nasabah dalam transaksi murabahah tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan oleh nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika nasabah menjual kembali dengan keuntungan atau kerugian, ia tetap berkewajiban menyelesaikan hutangnya kepada bank.

2. Jika nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran berakhir, ia tidak wajib melunasi seluruhnya.

(27)

3. Jika penjualan barang tersebut meyebabkan nasabah tetap harus menyelesaikan hutangnya sesuai kesepakatan awal, ia tidak boleh memperlambat pembayaran angsuran atau meminta kerugian itu diperhitungkan.

V. Ketentuan Penundaan Pembayaran dalam Murabahah

1. Nasabah yang memiliki kemampuan tidak diperkenankan menunda penyelesaian hutangnya.

2. Jika nasabah menunda-nunda pembayaran dengan sengaja, atau jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya, maka penyelesaiannya dapat dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

VI. Ketentuan Bangkrut dalam Murabahah

Jika nasabah telah dinyatakan pailit dan telah gagal menyelesaikan hutangnya, bank harus menunda tagihan hutang sampai ia sanggup kembali, atau berdasarkan kesepakatan.

VII. Ketentuan Uang Muka dalam Murabahah (Fatwa DSN: 13/DSN-MUI/IX/2000)

1. Dalam akad murabahah, Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS) dibolehkan meminta uang muka apabila kedua belah pihak bersepakat. 2. Besar uang muka ditentukan berdasarkan kesepakatan.

(28)

3. Jika nasabah membatalkan akad murabahah, nasabah harus memberikan ganti rugi kepada LKS dari uang muka tersebut.

4. Jika jumlah uang muka lebih kecil dari kerugian, LKS dapat meminta tambahan kepada nasabah.

5. Jika jumlah uang muak lebih besar dari kerugian, LKS harus mengembalikannya kelebihannya kepada nasabah.

VIII. Ketentuan Diskon Murabahah (Fatwa DSN: 16/DSN-MUI/IX/2000) 1. Harga (tsaman) dalam jual beli adalah satu jumlah yang disepakati

oleh kedua belah pihak, baik sama dengan nilai (qimah) benda yang menjadi objek jual-beli, lebih tinggi maupun lebih rendah.

2. Harga dalam jual-beli murabahah adalah harga beli dan biaya yang diperlukan ditambah keuntungan sesuai kesepakatan.

3. Jika dalam jual-beli murabahah LKS mendapat diskon dari pemasok, harga sebenarnya adalah harga setelah diskon, karena itu, diskon adalah hak nasabah.

4. Jika pemberian diskon setelah akad, pembagian tersebut dilakukan setelah perjanjian dan ditandatangani.

5. Dalam akad, pembagian diskon setelah akad hendaklah dipejanjikan dan ditandatangani.

(29)

1. Sanksi yang dikenakan LKS kepada nasabah yang mampu membayar tetapi menunda-nunda pembayaran dengan sengaja.

2. Nasabah yang tidak mampu membayar akibat force majeur tidak boleh dikenakan sanksi.

3. Nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran dan atau tidak mempunyai kemauan dan itikad baik untuk membayar hutangnya boleh dikenakan sanksi.

4. Sanksi didasarkan prinsip ta’zir, yaitu bertujuan agar nasabah lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya.

5. Sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan dan dibuat saat akad ditandatangani.

6. Dana yang berasal dari denda diperuntukkan sebagai dana sosial.

X. Ketentuan Potongan Pelunasan (Fatwa DSN: 23/DSN-MUI/IX/2000)

1. Jika nasabah dalam transaksi murabahah melakukan pelunasan pembayaran tepat waktu atau lebih cepat dari waktu yang disepakati, LKS boleh memberikan potongan dari kewajiban pembayaran tersebut, dengan syarat tidak diperjanjikan dalam akad.

2. Besarnya potongan sebagaimana dimaksud di atas diserahkan pada kebijakan dan pertimbangan LKS Proses Pembiayaan Murabahah.

Proses pembiayaan merupakan aspek bagi perbankan syariah, dimana proses pembiayaan yang sehat akan berimplikasikan pada investasi halal dan baik

(30)

serta menghasilkan return sebagaimana yang diharapkan, atau bahkan lebih. Proses pembiayaan perbankan yang sehat tidak hanya berimplikasi pada kondisi bank yang sehat tetapi juga berimplikasi pada peningkatan kinerja sektor riil yang dibiayai.

3. Mekanisme Pembiayaan Murabahah

Adapun proses pembiayaan murabahah dapat dilihat sebagaimana skema berikut:

I. Permohonan Pembiayaan

Inisiatif pengajuan pembiayaan biasanya datang dari nasabah yang kekurangan dana, tetapi juga dapat muncul dari officer bank yang berjiwa bisnis yang mampu menangkap peluang usaha tertentu. Hal-hal yang dapat dijadikan acuan untuk menindaklanjuti sebuah usaha atau proyek yaitu:

1. Trend usaha; bank harus memiliki wawasan yang luas tentang usaha-usaha yang menjadi isu nasional, baik yang prospek, yang gagal ataupun usaha-usaha yang memenuhi unsur penipuan.

2. Peluang bisnis; diperlukan intuisi yang tinggi di samping wawasan bisnis yang kuat.

3. Reputasi bisnis perusahaan; pengalaman dan reputasi yang baik dapat menjadi langkah awal dalam mengambil keputusan.

4. Reputasi manajemen; hal ini dapat menjadi bahan pertimbangan bagi bank untuk memberikan pembiayaan atau tidak.

(31)

Data yang diperlukan oleh bank menggambarkan kemampuan nasabah untuk membayar pembiayaan dari penghasilan/pendapatan tetapnya. Data-data tersebut antara lain: kartu identitas nasabah, kartu keluarga, Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), salinan rekening bank, salinan tagihan rekening telepon dan listrik, data obyek pembiayaan, data jaminan.

III. Analisa Pembiayaan

Metode analisa yang sering digunakan yaitu 5C (character, capacity,

capital, collateral, dan condition) atau juga 4P (personality, purpose, prospect, dan payment). Selain itu, bank juga harus memperoleh informasi

tentang usaha naabah yang akan dibiayai melalui inspeksi ke lokasi usaha, melakukan penilaian terhadap keuangan perusahaan, sehingga menjadi bahan masukan bagi bank apakah nasabah mampu membayar kewajibannya.

IV. Persetujuan

Diterima atau tidaknya permohonan pembiayaan nasabah tergantung kepada kebijakan bank, dimana kebijakan tersebut dipengaruhi oleh data-data nasabah yang telah diinspeksi oleh bank.

V. Pengumpulan Data Tambahan

Apabila diterima, maka bank akan mengumpulkan data-data tambahan sebagai tindak lanjut pencairan dana.

(32)

VI. Pengikatan

Ada dua macam pengikatan, yaitu:

a. Pengikatan di bawah tangan; penandatanganan akad antara bank dengan nasabah.

b. Pengikatan notarial; proses penandatanganan yang disaksikan oleh notaris.

VII. Pencairan

Pemberian dana kepada nasabah sesuai dengan akad yang telah disepakati.

VIII. Monitoring

Monitoring dapat dilakukan dengan memantau realisasi pencapaian target usaha dengan rencana yang dibuat sebelumnya. Bila target tidak tercapai, bank harus mengambil tindakan penyelesaian masalah. Langkah-langkah monitoring antara lain yaitu memantau pengeluaran nasabah, memantau pelunasan angsuran, melakukan kunjungan rutin ke lokasi usaha, memantau perkembangan usaha sejenis.

4. Pengakuan dan Pengukuran Pendapatan Murabahah

Murabahah merupakan salah satu produk perbankan syariah yang merupakan akad jual beli dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh kedua pihak yaitu penjual dan pembeli. Pendapatan yang diperoleh bank syariah dari pembiayaan murabahah ini mencapai antara 60-70% dari total pendapatan yang diperoleh bank dari semua produk-produk pembiayaan.

(33)

Dalam pembiayaan ini, harga yang disepakati adalah harga jual sedangkan harga perolehan harus diberitahukan. Apabila bank selaku penjual mendapatkan potongan dari pemasok, maka potongan tersebut merupakan hak nasabah, dan bila potongan tersebut terjadi setelah akad maka pembagian potongan tersebut dilakukan berdasarkan perjanjian yang dimuat di dalam akad. Potongan tersebut diakui sebagai pengurangan biaya perolehan aktiva murabahah.

Transaksi murabahah dapat dibagi menjadi dua berdasarkan akadnya: a) Murabahah berdasarkan pesanan

Murabahah berdasarkan pesanan bersifat lebih mengikat karena bank melakukan pembelian barang setelah ada pesanan yang dilakukan oleh nasabah, sehingga nasabah tidak dapat membatalkan barang yang telah dipesan tersebut. Apabila barang yang telah dipesan tersebut dibatalkan maka nasabah diwajibkan membayar kerugian-kerugian yang telah dikeluarkan oleh bank, dan jika terjadi penurunan nilai terhadap barang tersebut sebelum diserahkan kepada nasabah, maka hal tersebut menjadi beban bank dan bank akan mengurangi nilai akad.

b) Murabahah tanpa pesanan

Murabahah tanpa pesanan tidak bersifat mengikat, bank menjual barang tanpa pesanan dari nasabah terlebih dahulu.

Menurut IAI (2002: 59.10), pengukuran aktiva murabahah setelah perolehan adalah sebagai berikut:

(34)

A. dinilai sebesar biaya perolehan; dan

B. jika terjadi penurunan nilai aktiva karena using, rusak atau kondisi lainnya, penurunan nilai tersebut diakui sebagai beban dan mengurangi nilai aktiva;

ii. apabila dalam murabahah tanpa pesanan tidak mengikat terdapat indikasi kuat pembeli batal melakukan transaksi, maka aktiva murabahah:

A. dinilai berdasarkan biaya perolehan atau nilai bersih yang dapat direalisasikan, mana yang lebih rendah; dan

B. jika nilai bersih yang dapat direalisasikan lebih rendah dari biaya perolehan, maka selisihnya diakui sebagai kerugian.

Untuk menjaga kelancaran operasioanal dalam memberikan pembiayaan murabahah ini, bank dapat meminta nasabah menyediakan agunan/jaminan atas piutang tersebut, antara lain dalam bentuk barang yang telah dibeli dari bank. Selain itu, bank juga dapat meminta kepada nasabah urbun ataupun uang muka pembelian pada saat akad apabila kedua pihak bersepakat. Uang muka tersebut merupakan bagian pelunasan piutang murabahah apabila pembiayaan tersebut jadi terlaksana, tapi apabila akad tersebut batal maka uang muka tersebut harus dikembalikan kepada nasabah setelah dikurangi dengan kerugian sesuai dengan kesepakatan, bila uang muka jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan kerugian bank maka bank dapat meminta tambahan dari nasabah.

Pengakuan urbun ataupun uang muka adalah sebagaimana yang diatur oleh IAI (2002: 59.11)

(35)

a. urbun diakui sebagai uang muka pembelian sebesar jumlah yang diterima bank pada saat diterima;

b. pada saat barang jadi dibeli oleh nasabah, maka urbun diakui sebagai pembayaran piutang; dan

c. jika barang batala dibeli nasabah, maka urbun dikembalikan kepada nasabah setelah diperhitungkan dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh bank.

Pembayaran murabahah dapat dilakukan secara tunai maupun cicilan sesuai dengan persetujuan antara bank dan nasabah, dan bank dapat memberikan potongan kepada nasabah bila nasabah mempercepat pembayaran cicilan ataupun melunasi piutang sebelum jatuh tempo. Bank berhak mengenakan denda kepada nasabah yang mampu memenuhi kewajibannya tetapi menunda-nunda/lalai dalam pembayaran tersebut, kecuali nasabah benar-benar terbukti tidak mampu memenuhi kewajibannya. Pada saat diterima, denda diakui sebagai bagian dari dana sosial.

Piutang murabahah pada saat akad diakui sebesar biaya perolehan aktiva murabahah ditambah dengan keuntungan yang telah disepakati, dan pada akhir periode dinilai sebesar nilai bersih yang dapat direalisasi, yaitu saldo piutang dikurangi penyisihan kerugian piutang (piutang ragu-ragu). Keuntungan inilah yang menjadi pendapatan pada transaksi murabahah.

Adapun defenisi dari pendapatan tersebut sesuai dengan yang telah dinyatakan oleh IAI (2002: 23.1), “Pendapatan adalah arus masuk bruto dan manfaat ekonomi

(36)

yang timbul dari aktivitas normal perusahaan selama satu periode bila arus massuk itu mengakibatkan kenaikan ekuitas, yang tidak berasal dari kontribusi penanaman modal.”

Menurut IAI (2002: 23.4), pendapatan baru dapat diakui bila kondisi berikut ini terpenuhi:

a. bank telah memindahkan resiko secara signifikan dan telah melakukan pengendalian efektif atas barang yang telah dijual;

b. bank tidak lagi mengelola atau melakukan pengendalian efektif atas barang yang dijual;

c. jumlah pendapatan tersebut dapat diukur dengan handal;

d. besar kemungkinan manfaat ekonomi yang dihubungkan dengan transaksi akan mengalir kepada perusahaan; dan

e. biaya yang terjadi atau akan terjadi sehubungan dengan transaksi penjualan dapat diukur dengan handal.

Menurut IAI (2002: 59.10), keuntungan pada transaksi murabahah dapat diakui:

a. pada periode terjadinya jika akad berakhir pada laporan keuangan tahun yang sama atau;

b. selama periode akad secara proporsional, jika melampaui satu periode laporan keuangan.

Ada dua dasar yang dapat digunakan dalam pengakuan pendapatan murabahah, yaitu:

(37)

1. dasar akrual (accrual basic)

pendapatan diakui pada saat diperoleh atau pada periode terjadinya transaksi. 2. dasar kas (cash basic)

Gambar

Gambar 2.1  Skema Akad Murabahah  Keterangan :

Referensi

Dokumen terkait

“Murabahah adalah transaksi penjualan barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan(margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli”.. Jadi definisi Jual beli

Karena Murabahah merupakan akad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan

Sri Nurhayati, (2011 : 168) mendefinisikan Murabahah adalah “ transaksi penjualan barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh

KKB BRISyariah iB merupakan produk jual-beli yang menggunakan sistem murabahah, dengan akad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan

Sedangkan Pembiayaan Murabahah adalah salah satu produk lending Bank Mega Syariah yang keuntungan dari akad ini adalah margin ataupun selisih antara beli dan

Aplikasi dalam Perbankan Syariah Pembiayaan Murabahah adalah suatu pembiayaan dengan akad jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati, dimana penjual

Karena pada dasarnya murabahah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan margin yang telah disepakati oleh penjual dan pembeli bank dan nasabah.1 Jika margin

Murabahah merupakan akad yang menjadi kover atas transaksi jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan margin yang disepakati oleh penjual dan pembeli.. Dengan