• Tidak ada hasil yang ditemukan

TOTOBUANG Volume 8 Nomor 2, Desember 2020 Halaman

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TOTOBUANG Volume 8 Nomor 2, Desember 2020 Halaman"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

253

PENERAPAN DAN KEMAMPUAN TEKNIK CERITA BERANTAI PADA PEMBELAJARAN MENCERITAKAN KEMBALI ISI FABEL

(Application and Capability of Chain Relaxed Story Techniques in Learning Retelling the Fabel Contents)

Ferdian Achsani SMP Negeri 1 Weru

Jl. Kapten Patimura 03, Karangmojo, Jawa Tengah Pos-el: dwikurniawan219@gmail.com

Diterima: 2 April 2020; Direvisi 21 September 2020; Disetujui: 13 Oktober 2020 doi: https://doi.org/10.26499/ttbng.v8i2.209

Abstrak

Speaking skills still seem a frightening specter for some students. Some of them aren’t brave and skill to speak in front. Chain stories become one of the learning methods used to improve students' speaking abilities. The final results teach students how to be brave and skilled to speak in front. This descriptive qualitative research is designed to describe the application at onceits final results of the chain story method through learning fable texts. This research was conducted in class VII E 1 Weru State Junior High School in February, with 29 students as a data sample. Data collection is done by observing students speak in front class. The results showed that the application of the serial story method approving very well. The final results showed avalue of 89.5. Applying this method oflearning is also very easy. Itdoes not require a long preparation time.

Keywords: application, abilities, chain stories, fable texts. Abstrak

Keterampilan berbicara tampaknya masih menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian peserta didik. Kebanyakan mereka belum terampil dan berani untuk berbicara di depan kelas. Cerita berantai menjadi salah satu metode pembelajaran yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan berbicara peserta didik. Hasil akhirnya mengajarkan siswa agar dapat berani dan terampil ketika berbicara di depan. Penelitian deskriptif kualitatif ini bertujuan untuk mendeskripsikan penerapan sekaligus hasil akhir dari penerapan metode cerita berantai pada pembelajaran teks fabel. Penelitian ini dilakukan di kelas VII E SMP Negeri 1 Weru pada bulan Februari, dengan jumlah 29 siswa sebagai sampel data. Pengumpulan data dilakukan dengan mengamati siswa ketika berbicara di depan kelas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan metode cerita berantai berjalan dengan sangat baik. Hasil akhir menunjukkan nilai 80.17. Penerapan metode pembelajaran ini sangat mudah. Tidak membutuhkan waktu persiapan yang lama.

Kata-kata kunci: penerapan, kemampuan, cerita berantai, teks fabel. PENDAHULUAN

Pembelajaran bahasa Indonesia di madrasah atau di sekolah pada umumnya tidak selalu berbicara tentang kesusastraan. Pembelajaran bahasa Indonesia harus mampu untuk menyeimbangkan materi tersebut dengan keterampilan berbahasa siswa seperti keterampilan menulis, membaca, menyimak, dan berbicara sesuai dengan standar kompetensi dari masing-masing keterampilan berbahasa (Putra, Ida, & Ida, 2017, hlm. 236). Kristiyanti (dalam

Rosita, 2018, hlm. 36) menambahkan bahwa pembelajaran bahasa Indonesia juga membelajarkan siswa tentang keterampilan berbahasa yang meliputi berbicara, membaca, menyimak, dan menulis dengan benar dan baik sesuai dengan tujuan, fungsi, dan situasinya. Keterampilan menulis dapat dituangkan dalam kegiatan menulis cerpen, puisi, menulis pengalaman pribadi, menulis surat, dan lain-lain. Kegiatan membaca dapat dilakukan dalam satu materi pembelajaran dengan memberikan bahan

(2)

Totobuang Vol.8, No.2, Desember 2020: 253—265

254

bacaan kepada siswa kemudian siswa dapat diminta untuk memahami bacaan tersebut dengan menjawab ataupun membuat pertanyaan yang sesuai dengan isi bacaan. Kegiatan keterampilan menyimak dalam pembelajaran dapat dilakukan dengan meminta siswa untuk menyimak suatu topik pembicaraan, pidato, video ataupun yang lainnya sedangkan pada kegiatan berbicara, dapat tertuang dalam materi yang melibatkan siswa dalam praktik berbicara langsung seperti berperan seni drama, berpidato, pembacaan puisi, dan lain-lain.

Di kelas VII, siswa diperkenalkan pada metode pembelajaran cerita berantai. Hal itu bertujuan untuk melatih keterampilan berbicara siswa. Kegiatan itu tertuang pada buku paket siswa yang dikeluarkan oleh Kemendikbud pada materi teks cerita fantasi maupun teks fabel. Kedua materi ini merupakan pengembangan materi pembelajaran dari kompetensi dasar (KD) 4 atau KD keterampilan. Siswa mampu untuk menceritakan kembali isi teks fantasi ataupun cerita fabel atau legenda setempat yang dibacakan ataupun didengar. Adanya cerita berantai pada materi ini salah satunya melatih siswa untuk menceritakan kembali cerita fabel secara lisan serta mengembangkan keterampilan berbicara siswa melalui bercerita tanpa menggunakan teks di depan kelas. Tidak hanya individual, adanya cerita berantai tersebut juga bertujuan untuk melatih keterampilan berbicara siswa secara berkelompok.

Keterampilan berbicara perlu dilatih dan diasah sejak dini agar siswa mampu dan dapat menguasai keterampilan berbahasa pada aspek berbicara. Secara alamiah, setiap orang memiliki keterampilan berbicaranya masing-masing, namun tetap diperlukan latihan dan pengarahan yang intensif agar

mereka mampu mengembangkan

keterampilan berbicaranya (Simarmata & Sulastri, 2018, hlm. 50). Metode pembelajaran cerita berantai ini dapat digunakan sebagai salah satu alternatif untuk mengembangkan keterampilan berbicara,

terutama peserta didik. Selain itu, metode ini juga bertujuan untuk melatih kemampuan menyimak siswa. Siswa yang konsentrasi tinggi ketika membaca ataupun mendengar cerita yang dibacakan tentu akan mudah memahami jalan cerita sehingga mudah jika diminta untuk praktik cerita berantai di depan kelas.

Pada hakikatnya kegiatan berbicara tidak semudah dengan apa yang dibayangkan. Mungkin selama ini banyak siswa yang mungkin di belakang terlihat aktif berbicara, sering celometan di kelas, tetapi ketika mereka disuruh ke depan untuk berbicara terkadang mereka merasa grogi, kurang percaya diri, takut salah dan diejek teman kelas hingga akhirnya sering nge-blank. Bahkan, tak sedikit dari siswa yang mungkin sudah mempersiapkan kalimat-kalimat yang akan disampaikan ketika akan berbicara di depan kelas, tetapi akhirnya harus hilang karena grogi. Menurut Latifaha & Gigit (2020, hlm. 123) hal-hal tersebut menjadi faktor terbesar kegagalan keterampilan berbahasa peserta didik. Penyebabnya dapat dilihat dari metode pengajaran yang dilakukan guru kurang tepat ataupun kurang sesuai dengan materi yang disampaikan bahkan kurang merangsang keinginan siswa untuk tertarik belajar. Oleh sebab itu, metode pembelajaran yang tepat sangat diperlukan guna merangsang minat siswa agar tertarik untuk mengikuti proses kegiatan pembelajaran.

Sebagai seorang guru banyak yang dapat dilakukan untuk melatih keterampilan berbicara siswa. Bahkan ketika melihat siswa yang mungkin kurang begitu fasih dalam berbicara, guru berusaha semaksimal mungkin untuk melatih keterampilan berbahasa mereka agar mencapai tujuan pembelajaran (Wijanarko, 2019, hlm. 30). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Antara, M. G. Rini, & I Ngh. Suadnyana (2019) mengatakan bahwa model pembelajaran Talking Stick berbantuan rubrik surat kabar berpengaruh terhadap

(3)

255 kemampuan berbicara siswa. Metode

Talking Stick pada prinsipnya sama dengan metode cerita berantai. Hanya saja, pada Talking Stick siswa yang berbicara adalah yang memegang tongkat. Sementara pada cerita berantai, setiap siswa mendapat giliran untuk berbicara setelah ditunjuk oleh guru ataupun teman kelompoknya baru mendapat giliran untuk berbicara. Metode Talking Stick pada prinsipnya adalah metode pembelajaran yang mengajak siswa tidak hanya belajar tetapi juga bermain. Guru mempersiapkan tongkat pertanyaan dan iringan musik. Ketika guru memberikan tongkat tersebut kepada siswa, maka siswa tersebut wajib untuk menjawab pertanyaan dari guru. Sedangkan iringan musik digunakan untuk membangkitkan suasana agar lebih seru dan menarik minat siswa. Dengan demikian pemanfaatan metode pembelajaran Talking Stick dinilai efektif untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa.

Selain itu, Nupus dan Desak (2017, hlm. 301) juga membuktikan bahwa penerapan metode Show And Tell juga dapat dilakukan untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa. Show And Tell merupakan metode pembelajaran yang menunjukkan barang atau sesuatu pada peserta didik yang selanjutnya peserta didik merespons dengan mendeskripsikan barang yang ditunjukkan oleh guru atau pendidik. Pembelajaran dengan memanfaatkan barang dan dideskripsikan di depan sangat berpengaruh terhadap keterampilan berbicara siswa. Hal ini dibuktikan dari hasil presentasi awal kegiatan pembelajaran yang menunjukkan nilai 78,86 meningkat menjadi 86,34. Dengan demikian semakin memperjelas bahwa model pembelajaran sangat mempengaruhi kemampuan berbicara siswa, bukan hanya melalui kegiatan menyimak untuk memperoleh atau meresap kosakata.

Untuk itulah, adanya kegiatan cerita berantai pada materi pembelajaran teks fabel ini merupakan salah satu dari beberapa metode pembelajaran yang berusaha untuk

melatih keterampilan berbahasa siswa, khususnya dalam keterampilan berbicara. Pada penelitian ini akan dideskripsikan penerapan metode cerita berantai dan hasil yang diperoleh siswa. Materi teks fabel merupakan materi pembelajaran yang berada di semester dua. Fabel merupakan cerita fiksi yang mengisahkan dunia hewan yang digarap seperti layaknya manusia dan mudah untuk dipraktikkan di usia siswa yang masih pada tahap perkembangan. Ceritanya seputar kehidupan anak-anak yang dikemas dengan konflik yang ringan, berisi ajaran moral yang bertujuan untuk mendidik anak-anak. Alurnya pun mudah untuk dipahami.

Kemampuan berbicara di sekolah perlu mendapat perhatian khusus, karena memiliki tujuan agar siswa mampu berbicara dengan baik (Rahayu, Maryatin, & Retnowaty, 2018, hlm. 21). Akan tetapi, pada kenyataannya masih banyak siswa yang belum fasih dalam berbicara khususnya di depan kelas. Ketidakfasihan siswa ketika berbicara di depan kelas tersebut mungkin dapat disebabkan karena kurangnya penguasaan kosakata. Siswa kurang banyak melakukan kegiatan menyimak ataupun kegiatan lain yang bertujuan untuk memperbanyak kosakata. Dengan menyimak diharapkan dapat menambah kosakata siswa sehingga keterampilan bebicara mereka dapat dikatakan baik (Segu, 2016, hlm.110). Selain menyimak kegiatan lain yang dapat dilakukan adalah dengan mengajak siswa berinteraksi dan membiasakan siswa berbicara di depan kelas untuk melatih kepercayaan diri. Semakin sering guru melatih siswa untuk berbicara, maka siswa akan semakin menguasai lafal, struktur, dan kosakata yang bersangkutan sehingga siswa mudah berbicara dalam suatu bahasa secara baik (Mulyo, Mohammad, & Ahmad, 2019, hlm. 117).

Berdasarkan uraian di atas, yang menjadi pertanyaan penelitian ini adalah bagaimana penerapan metode cerita berantai pada pembelajaran teks cerita fabel di SMP Negeri 1 Weru, Kabupaten

(4)

Totobuang Vol.8, No.2, Desember 2020: 253—265

256

Sukoharjo, Provinsi Jawa Tengah kelas 7E dan berapakah hasil nilai yang diperoleh pada setiap aspek penilaian serta nilai akhir yang diperoleh oleh siswa dalam satu kelas? Untuk itulah penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penerapan metode cerita berantai sekaligus kemampuan siswa dalam bercerita secara berkelompok. Penelitian ini jauh dari penelitian-penelitian yang sudah ada. Beberapa penelitian yang pernah dijumpai oleh penulis, misalnya pernah dilakukan oleh Hatma (2017). Dalam penelitian yang membahas tentang upaya peningkatan kemampuan menceritakan pengalaman pribadi siswa kelas IX.4 semester 1 SMP Negeri 30 Pekanbaru tahun ajaran 2015/201. Hatma menjelaskan bahwa penggunaan metode cerita berantai dapat dilakukan sebagai salah satu metode alternatif untuk meningkatkan kemampuan siswa tersebut. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan pada dua siklus. Siklus yang pertama semula nilai rata-rata berjumlah 71,2 (46%). Hal ini menjadi dasar penerapan metode cerita berantai untuk meningkatkan kemampuan menceritakan pengalaman pribadi siswa kelas IX.4 semester 1 SMP Negeri 30 Pekanbaru tahun ajaran 2015/2016. Pada siklus 1 tersebut pembelajaran terkesan subjektif karena siswa yang menulis cerita juga harus membacanya di depan kelas. Kemudian pada pembelajaran siklus 2 dengan penerapan metode cerita berantai. Dengan dibgai menjadi beberapa kelompok setiap siswa diperbolehkan memilih cerita yang sudah disediakan. Mereka diberi kesempatan untuk memahamai inti dan alur cerita tersebut. Setelah dilakukan metode cerita berantai (siklus kedua) mengalami peningkatan 8% menjadi 84,5 (54%).

Persamaan dengan penelitian tersebut adalah menerapkan metode cerita berantai untuk melatih keterampilan berbahasa siswa. Perbedaan penelitian terdapat pada kajian yang dilakukan Hatma, yaitu peningkatan kemampuan berbicara atau menceritakan pengalaman liburan

dengan melalui beberapa siklus dengan mendeskripsikan hasil penerapan metode cerita berantai pada teks fabel yang sudah dibaca.

LANDASAN TEORI Hakikat Berbicara

Berbicara merupakan kegiatan ujaran yang dilakukan oleh setiap manusia melalui alat ucap. Setiap hari, bahkan di segala situasi, manusia pasti selalu berkomunikasi dengan cara berbicara untuk berinteraksi dengan lawan tutur. Berbicara termasuk dalam salah satu dari keempat keterampilan berbahasa yang bersifat produktif. Dikatakan sebagai keterampilan bersifat produktif sebab dalam berbicara, penutur menghasilkan bunyi-bunyian, suara yang dihasilkan melalui alat ucap dengan tujuan untuk mengutarakan pendapat dan maksud dalam berkomunikasi. Dalam berbicara, penutur melakukan komunikasi untuk mengutarakan pesan secara lisan kepada lawan tutur.

Berbicara merupakan aktivitas yang harus dipelajari, kemudian dikuasai (Antari, Ni Wayan, & Made, 2019, hlm. 175). Setiap manusia dibekali dengan kemampuan berbicara. Berbicara merupakan suatu aktivitas yang sering sekali dilakukan mulai dari bangun tidur hingga kembali tidur. Berbicara menjadi aktivitas penting untuk mengutarakan pendapat, menyatakan gagasan, menjalin komunikasi atau bersosialisasi dengan orang lain. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Astiningtyas, Naniek, & Tego (2019, hlm. 36) bahwa keterampilan berbicara adalah keterampilan mengungkapkan bunyi artikulasi atau

pengucapan kata-kata untuk

mengekspresikan, menyatakan,

menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Dengan demikian berbicara merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang memanfaatkan alat ucap sebagai sarana utama untuk berkomunikasi dan bersosialisasi.

(5)

257 Dengan demikian dapat dikatakan

bahwa berbicara merupakan suatu kegiatan untuk mengutarakan ide, gagasan ataupun pendapat yang digunakan untuk berkomunikasi dengan lawan tutur. Pembelajaran dan penguasaan keterampilan berbicara tidak dapat dilakukan secara otodidak. Perlu dilakukan pembiasaan sejak dini dalam melatih keterampilan berbicara. Tahapan pertama untuk seseorang agar dapat menguasai keterampilan berbicara salah satunya yaitu melalui keterampilan menyimak.

Keterampilan menyimak ini menjadi awal bagi seseorang sebelum menguasai keterampilan berbicara. Sesuai dengan pendapat Agus & Bagus, (2019, hlm. 114) bahwa keterampilan berbicara atau berujar dimulai dari apa yang didengarkannya. Keterampilan menyimak memiliki maksud dan tujuan utnuk memperkaya kosata seseorang. Semakin banyak kosakata yang didapatkan melalui kegiatan menyimak, maka penguasaan keterampilan berbicara seseorang juga semakin baik.

Cerita Berantai

Cerita berantai merupakan salah satu cara yang digunakan untuk melatih keterampilan berbicara siswa. Pada pembelajaran bahasa Indonesia, kegiatan cerita berantai ditemui dalam pembelajaran bahasa Indonesia kelas tujuh (7/VII) pada pembelajaran teks fantasi dan fabel. Dalam pelaksanaannya, cerita berantai dapat dilakukan dengan berbicara di depan kelas secara berkelompok. Metode cerita berantai merupakan salah satu metode pembelajaran yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan berbicara siswa. Melalui metode cerita berantai siswa tidak hanya dirangsang kemampuan berpikirnya akan tetapi juga membangkitkan kemampuan berkomunikasi siswa (Lawotan, 2018, hlm. 42). Melalui metode cerita berantai ini diharapkan muncul minat untuk berani tampil dan berbicara di depan kelas.

Cerita berantai merupakan salah satu metode pembelajaran yang juga bertujuan untuk melatih konsentrasi, pemahaman, kreativitas serta kecermatan siswa. Pada dasarnya guru harus memberikan cerita atau teks yang harus dipahami oleh setiap siswa. Selanjutnya, setiap siswa harus mampu untuk memahami cerita atau teks yang didapatkannya. Setiap siswa diminta untuk membaca dan memahami isi dari cerita atau teks yang sudah dibagikan oleh guru, kemudian menceritakan kembali isi cerita tersebut secraa berkelompok di depan kelas. Kegiatan cerita berantai ini bukan hanya melatih keterampilan berbicara siswa tetapi juga melatih keterampilan menyimak siswa.

Cerita berantai menjadi suatu pembelajaran yang menyenangkan bagi siswa sebab cerita berantai merupakan metode pembelajaran yang menggabungkan antara belajar dan bermain. Hal ini diungkapkan juga oleh Sari (2017, hlm. 159) bahwa metode ini sangat cocok dengan siswa, terutama kelas VII SMP yang masih suka bermain dengan permainan. Dengan demikian, pembelajaran menceritakan kembali teks fabel maupun teks fantasi dengan metode cerita berantai sangat cocok bagi mereka. Sebagaimana diketahui bahwa teks fabel atau cerita hewan merupakan cerita tentang hewan, yang mengisahkan tentang dunia anak-anak. Teks fabel selalu bertujuan memberikan nilai didik kepada anak-anak. konflik yang ditampilkan dalam teks fabel juga tidak luput dari kehidupan anak-anak seperti persahabatan, menghargai orang lain, dll. Untuk itulah penerapan metode cerita berantai dikatakan sebagai metode yang cocok digunakan dalam pembelajaran teks fabel. Metode cerita berantai dijadikan sebagai bahan agar siswa

mampu untuk mengembangkan

keterampilan berbicara melalui kegiatan mendongeng di depan kelas.

Bukan hanya sekadar melatih keterampilan berbicara, akan tetapi cerita berantai juga dilakukan untuk melatih keterampilan menyimak siswa. Pada

(6)

Totobuang Vol.8, No.2, Desember 2020: 253—265

258

hakikatnya kedua keterampilan berbahasa ini merupakan keterampilan berbahasa yang saling melengkapi. Tidak mungkin orang bisa berbicara tanpa sebelumnya melakukan kegiatan menyimak. Bahkan sebaliknya orang berbicara tidak akan berguna jika tidak ada yang menyimak atau mendengarkan. Untuk itulah kedua keterampilan berbahasa ini saling melengkapi.

Adapun aspek penilaian pada pembelajaran cerita berantai sesuai dengan buku paket dapat dilihat sebagai berikut.

Tabel 1 Aspek Penilaian No Aspek Nilai 1 2 3 4 1 Kelancaran Penceritaan 2 Ketepatan Isi 3 Intonasi dan Lafal 4 Kekompakkan 5 Percaya Diri

Tabel 1 di atas merupakan aspek penilaian yang terdapat pada penerapan metode cerita berantai. Beberapa aspek yang dinilai dalam penerapan metode cerita berantai ini meliputi kelancaran penceritaan, ketepatan isi, intonasi dan lafal, kekompakan dan percaya diri.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian deskriptif kualitatif. Deskriptif kualitatif merupakan salah satu penelitian yang mencoba untuk menjabarkan, menguraikan ataupun mendeskripsikan fenomena yang diamati dalam bentuk kata-kata. Dalam penelitian ini, peneliti menguraikan fenomena yang diamati yaitu penerapan metode cerita berantai pada materi menceritakan kembali cerita fabel dan mendeskripsikan hasil nilai kemampuan praktik berbicara dengan bantuan metode cerita berantai siswa kelas VII E SMP

Negeri 1 Weru dengan sampel data siswa sebanyak 29. Hasil nilai yang dideskripsikan merupakan nilai rata-rata pada setiap aspek penilian sekaligus nilai akhir yang diperoleh.

Beberapa teks fabel yang dijadikan praktik berbicara siswa diambil dari majalah bobo. pengumpulan data dilakukan langsung dengan mengamati atau menyimak ketika siswa berbicara. Selanjutnya, peneliti memberikan nilai terhadap kemampuan berbicara masing-masing siswa sesuai dengan kelompok nya masing-masing. Perhitungan nilai mengacu pada buku paket yang disediakan oleh pemerintah. Perhitungan nilai dapat dilihat sebagai berikut:

Rumus di atas merupakan rumus untuk menghitung skor akhir yang diperoleh siswa dari hasil penjumlahan masing-masing aspek. Skor yang diperoleh merupakan keseluruhan nilai yang diperoleh oleh satu kelas pada setiap aspek. Skor yang diperoleh berisi nilai yang didapatkan siswa kemudian nilai tersebut dibagi dengan skor maksimal berjumlah 116 yang diperoleh dari 4 (skor tertinggi) dikalikan dengan jumlah siswa sehingga dikatakan bahwa skor maksimal diperoleh dari 4 x 29 = 116. Hasil bagi kemudian dikalikan 100 untuk menyimpulkan nilai akhir siswa. Sebagai contoh seperti di bawah ini.

Nilai 90 diibaratkan skor yang diperoleh seluruh siswa pada aspek A. Skor tersebut kemudian dibagi 116 yang merupakan skor maksimal. Hasil bagi selanjutnya dikalikan 100 untuk memudahkan dalam penyimpulan rata-rata nilai akhir siswa.

Setelah ditemukan nilai akhir siswa, peneliti menghitung nilai akhir kelas dengan rumus total nilai dibagi jumlah siswa satu kelas. Hasil nilai akhir yang diperoleh

(7)

259 kemudian disesuaikan dengan tabel rentang

penilaian untuk dapat melihat predikat nilai yang diperoleh siswa sudah sampai sejauh mana. Rentang predikat nilai dilihat dari KKM yang digunakan oleh sekolah yaitu 65. Tujuan diberikan rentang predikat nilai ini untuk melihat hasil ketercapain siswa pada proses pembelajaran. Rentang penilaian ini didapat dari 100-65 (nilai KKM) dibagi 3. Adapun rentang predikat nilai dapat dilihat sebagai berikut.

Tabel 2

Rentang Predikat Nilai

Nilai Predikat Keterangan

89 -100 A Sangat Baik

77 – 88 B Baik

65 – 76 C Cukup

< 65 D Kurang

Penerapan Model Pembelajaran Cerita Berantai

Telah disingung sebelumnya bahwa cerita berantai adalah salah satu metode pembelajaran yang dapat digunakan referensi bagi guru untuk mengembangkan keterampilan berbicara siswa. Tidak hanya keterampilan berbicara, akan tetapi penerapan metode pembelajaran ini juga mengembangkan keterampilan menyimak dan membaca. Penerapan metode pembelajaran ini tidak terlalu rumit untuk diterapkan dalam pembelajaran. Pada prinsipnya siswa guru membentuk kelas dalam kelompok-kelompok kecil. Setiap kelompok diberikan sebuah bacaan teks fabel kemudian mereka diajak untuk bersama-sama membaca cerita fabel tersebut. Langkah terakhir, bersama rekan kelompoknya, siswa diminta untuk menyimpulkan isi cerita tersebut dan membuat ringkasan cerita yang sudah dibaca. Setelah menyimpulkan, setiap kelompok diminta untuk maju ke depan dan menceritakan kembali isi certita yang dibaca secara berantai. Adapun lebih jelasnya kegiatan pembelajaran dapat dilihat sebagai berikut.

Tabel 3

Kegiatan Inti Pembelajaran

Kegiatan Praktik

Mengamati Peserta didik membaca teks fabel yang sudah didapatkan bersama rekan kelompoknya. Menanya Peserta didik membuat

pertanyaan berkaitan dengan apa, siapa, kapan, di mana, bagaimana, mengapa sesuai dengan teks fabel masing-masing

kelompok, untuk memudahkan ketika mereka bercerita berantai.

Mencoba Peserta didik

menjawab pertanyaan yang sudah dibuatnya. Mengasosiasi Peserta didik

mengasosiasikan isi teks fabel dengan bahasanya sendiri atau sesuai pemahamannya sendiri-sendiri Mengomunikasik an Peserta didik melakukan cerita berantai di depan kelas secara singkat jelas dan padat sesuai dengan isi dari teks fabel yang sudah dibacanya.

Tabel 3 di atas merupakan kegiatan pembelajaran yang disesuaikan dengan kegiatan 5M (mengamati, menanya, mencoba, mengasosiasi, dan mengomunikasi) kurikulum 13 yang diterapkan pada pembelajaran cerita berantai materi teks fabel. Langkah awal pada pembelajaran ini, tentunya guru melakukan refleksi dengan me-review beberapa materi yang sudah disampaikan pada pembelajaran sebelumnya. Setelah melakukan review, guru menjelaskan tujuan pembelajaran dan langkah-langkah pembelajaran cerita berantai kepada siswa. Setelah siswa memahami tujuan pembelajaran, guru membagi siswa dalam beberapa kelompok.

(8)

Totobuang Vol.8, No.2, Desember 2020: 253—265

260

Langkah selanjutnya yaitu kegiatan pembelajaran yang meliputi kegiatan 5M atau kegiatan inti pembelajaran. Guru membagikan cerita fabel pada setiap kelompok. Masing-masing kelompok diberi judul cerita yang berbeda-beda dengan tujuan agar pembelajarn lebih variatif. Setelah membagikan teks fabel pada masing-masing kelompok, siswa selanjutnya membaca dan mengamati cerita fabel yang didapatkannya. Siswa kemudian diminta untuk membuat pertanyaan berkaitan dengan isi yang ada pada setiap teks fabel tersebut. Selain membuat pertanyaan siswa juga diminta untuk menjawab pertanyaan yang sudah dibuatnya untuk memudahkan siswa dalam menyimpulkan isi dan bercerita berantai di depan kelas. Pertanyaan dan jawaban yang telah dibuat siswa selanjutnya dijadikan sebagai rangkuman bagi siswa dalam bercerita berantai. Ketika bercerita di depan kelas, guru juga memberikan pertanyaan kepada siswa, seputar teks fabel yang dipresentasikan atau disampaikan untuk mengetahui seberapa besar pemahaman siswa terhadap teks fabel yang dibahas.

Kegiatan penutup pada setiap pertemuan dilakukan dengan guru mengulang pertanyaan yang diberikan oleh guru kepada siswa. Guru mengulas kembali teks fabel yang sudah diceritakan oleh siswa dengan tujuan untuk menguji pemahaman siswa terkait pembelajaran yang dilakukan pada setiap pertemuan. Guru juga menjelaskan materi pembelajaran yang akan disampaikan pada pertemuan selanjutnya agar siswa mempersiapkan diri untuk pembelajaran selanjutnya.

PEMBAHASAN

Kelancaran Penceritaan

Dalam praktik berbicara di depan kelas, kelancaran berbicara mendapatkan penilaian yang paling utama. Hal ini dikarenakan setiap siswa harus lancar dalam membawakan cerita yang akan disampaikan kepada siswa lain atau dipresentasikan di

depan kelas. Kelancaran penceritaan berdampak pada cerita yang disampaikan dapat dipahami oleh siswa-siswi yang lain. Sebaliknya, pembawaan cerita yang kurang lancar atau bahkan tidak lancar akan berpengaruh pada siswa-siswi sulit untuk memahami cerita yang dibawakan di depan kelas. Terkadang, beberapa siswa sering mengalami grogi ketika berbicara di depan kelas atau di hadapan teman-temannya dalam situasi formal. Akibatnya, ketika siswa sedang bercerita, sering ditemui senyapan atau keseleo lidah ataupun kekeliruan dalam melafalkan huruf. Beberapa kecelakaan kecil tersebut seakan menjadi momok bagi para siswa ketika berbicara di depan kelas tanpa menggunakan teks.

Perhitungan di atas merupakan hasil penilaian pada aspek kelancaran penceritaan. Angka 98 didapatkan dari total poin keseluruhan yang diperoleh oleh satu kelas dan kemudian dibagi dengan angka 116 yang merupakan skor maksimum yang harus diperoleh pada setiap poin. Hasil bagi selanjutnya dikalikan dengan 100 dan menunjukkan nilai akhir 84.48. Hasil di atas menunjukkan bahwa pada aspek kelancaran penceritaan dapat dikatakan baik atau mendekati angka sempurna. Hal ini dapat dilihat dari hasil penilaian yang menunjukkan angka 84.48 dan menunjukkan predikat baik (B). Dari hasil penilaian tersebut dapat dikatakan bahwa dalam bercerita tentang teks fabel siswa telah mampu menceritakannya dengan lancar. Siswa telah memahami isi cerita yang dibacanya. Meskipun demikian masih ditemukan beberapa siswa yang masih kurang lancar dalam bercerita di depan dikarenakan faktor grogi. Penyebabnya, beberapa siswa kurang tampil percaya diri di depan kelas dan merasa nerveous.

(9)

261 Dalam bercerita secara berantai,

siswa-siswi perlu memperhatikan ketepatan isi cerita yang akan diceritakan di depan kelas dengan teks fabel yang sudah dibaca dan dipahaminya. Ketepatan isi cerita ini harus mengacu pada kesesuaian setiap alur cerita yang sudah didapatkan dan sudah dipelajari bersama rekan kelompoknya. Setiap kelompok diberikan kesempatan untuk membaca cerita fabel yang sudah didapatkannya. Selain itu mereka juga diminta untuk berdiskusi menentukkan alur cerita fabel yang sudah dibaca. Dengan demikian cerita yang dibacakan di depan kelas akan sesuai dan tepat dengan cerita pada teks fabel. Setiap siswa harus mampu menceritakan isi teks fabel. Setiap siswa boleh meringkas cerita yang telah dibacanya langsung kepada isi cerita atau konflik yang ditampilkan. Dalam penilaian pada aspek ini, pemilihan diksi atau bahasa penceritaan yang dibawakan oleh siswa-siswi tidak harus sama persis dengan bahasa yang digunakan pada teks cerita fabel yang sudah dibaca atau didapatkannya. Artinya, siswa boleh melakukan improvisasi gaya bercerita atau bahkan bercerita dengan bahasanya sendiri tanpa harus terpaku pada bahasa asli teks cerita fabel. Siswa yang berani untuk bercerita dengan bahasanya sendiri lebih mendapatkan apresiasi nilai tinggi dari pada siswa yang penceritaannya sama persis dengan yang terdapat dalam teks fabel.

Perhitungan di atas menunjukkan hasil penilaian nilai akhir pada aspek ketepatan isi dengan cerita yang dibaca. Dari hasil perhitungan nilai di atas dapat dikatakan sangat baik. Artinya, bahwa dalam bercerita di depan kelas terjadi ketepatan isi cerita yang disampaikan dengan cerita yang telah dibaca oleh setiap siswa. Hal ini menandakan bahwa siswa sangat memahami maksud ataupun alur dari setiap cerita fabel yang didapatkannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa adanya ketepatan isi cerita

yang disampaikan di depan kelas dengan teks yang dibaca sehingga memperoleh perhitungan nilai sempurna, yaitu 100. Hasil ini diperoleh dari jumlah nilai keseluruhan pada aspek ini yaitu 116 poin kemudian dibagi 116 sesuai nilai maksimal yang harus diperoleh setiap aspek. Hasil bagi selanjutnya dikalikan dengan 100 dan menunjukkan nilai akhir 100 serta menunjukkan predikat sangat baik (A). Cerita fabel yang dibawakan oleh setiap kelompok sudah sesuai dengan cerita asli yang dibagikan oleh guru. Dalam hal ini, guru juga sudah memahami rangkaian seluruh cerita yang dibagikan kepada masing-masing kelompok. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa siswa mampu memahami isi cerita ataupun teks yang dibacanya dengan tepat dan cermat. Hal ini sudah tidak diragukan lagi sebab dalam memahami isi cerita, tentu setiap siswa mampu menyimpulkan dengan tepat sehingga mendapat nilai sempurna.

Intonasi dan Kejelasan Lafal

Intonasi dan kejelasan lafal bukan hanya terdapat pada penilaian praktik berbicara seperti membaca puisi, berpidato, ataupun praktik berbicara yang lainnya. Akan tetapi dalam praktik berbicara cerita berantai materi teks fabel ini juga perlu untuk memperhatikan penilaian intonasi dan kejelasan lafal. Kejelasan lafal dan intonasi akan berdampak pada pemahaman siswa-siswi yang lain (pendengar) dalam memahami cerita yang disampaikan oleh pembicara atau yang bercerita. Penilaian intonasi mencangkup tinggi rendahnya nada, penggunaan tanda baca titik maupun koma yang terkadang dilalaikan oleh siswa-siswi. Pada aspek lafal, siswa-siswi perlu mengucapkan pola huruf vokal maupun konsonan dengan jelas.

Berdasarkan hasil perhitungan nilai di atas menunjukkan bahwa penilaian pada

(10)

Totobuang Vol.8, No.2, Desember 2020: 253—265

262

aspek lafal dan intonasi belum menunjukkan hasil yang signifikan. Hal ini dapat dilihat dari hasil perhitungan yang menunjukkan nilai 82.75, jauh dari harapan. Hasil ini diperoleh dari jumlah nilai keseluruhan pada aspek ini yaitu 96 poin kemudian dibagi 116 sesuai nilai maksimal yang harus diperoleh setiap aspek. Hasil bagi selanjutnya dikalikan dengan 100 dan menunjukkan nilai akhir 82.75 serta menunjukkan predikat baik (B). Seharusnya pada aspek ini, peserta didik mendapatkan nilai yang sangat baik. Penyebabnya, beberapa siswa masih terlihat malu-malu ataupun kurang yakin dalam bercerita meskipun sebenarnya mereka mampu. Siswa masih ragu-ragu dalam bercerita ataupun beberapa siswa dalam berbicara memang kurang keras sehingga lafal dan intonasi terdengar kurang jelas. Dengan demikian beberapa kesalahan kecil yang dilakukan oleh siswa tersebut berdampak pada penilaian pada aspek ini yang dinilai masih jauh dari angka yang diharapkan.

Kekompakan

Pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Dengan demikian kegiatan kelompok ini tidak lain juga bertujuan untuk meningkatkan pemahaman pada diri siswa sebagai makhluk sosial yang harus saling bekerja sama. Siswa dituntut untuk mampu bekerja sama ketika bercerita dengan rekan kelompoknya. Dalam penilaian cerita berantai ini, kegiatan kelompok mengajarkan siswa-siswi untuk melatih kekompakan. Hal ini berarti penilaian tidak terpaku pada masing-masing individu, akan tetapi harus dinilai secara kelompok. Siswa diajak untuk bekerja sama

dalam menyelesaikan masalah.

Permasalahan yang dihadapi dalam cerita berantai ini adalah bagaimana siswa mampu untuk membagi tugas setiap bagian yang akan diceritakan oleh masing-masing anggota kelompok. Selain itu, siswa-siswi juga diajak untuk saling membantu dan

menolong ketika anggota kelompok maju di depan kelas dan tiba-tiba grogi sehingga lupa terhadap alur cerita yang akan disampaikannya. Dalam hal ini maka anggota kelompok yang lain dilatih untuk saling menolong melengkapi kekurangan cerita tersebut. Hal terpenting di sini adalah siswa-siswi juga diajak untuk memahami keberagaman karakteristik rekan-rekan anggota kelompoknya yang mungkin terkadang di antara mereka ada yang kurang berani atau percaya diri, kurang tanggap atau cepat dalam berpikir, bahkan terkadang ada dari rekan kelompoknya yang sering bermalas-malas.

Pada hakikatnya penilaian cerita berantai adalah melatih kekompakan antarsiswa. Dari hasil perhitungan nilai di atas menunjukkan bahwa telah terbangun kekompakan antarsiswa yang dibuktikan dengan nilai akhir yang menunjukkan nilai 100 yang dapat dikatakan sebagai kategori sangat baik. Hasil tersebut diperoleh dari jumlah nilai keseluruhan pada aspek ini yaitu 100 poin kemudian dibagi 116 sesuai nilai maksimal yang harus diperoleh setiap aspek. Hasil bagi selanjutnya dikalikan dengan 100 dan menunjukkan nilai akhir 100 serta menunjukkan predikat sangat baik (A). Penilaian ini dapat dilihat dari diri antarsiswa yang telah terbentuk sikap peduli dengan saling tolong menolong dan saling menguatkan ketika anggota rekan kelompok ada yang lupa atau ngeblang ketika bercerita di depan kelas dikarenakan grogi. Dengan demikian pembelajaran dengan cerita berantai untuk meningkatkan kelompok siswa berjalan berhasil.

Kepercayaan Diri

Bercerita atau berbicara di depan kelas jelas sangat melatih kepercayaan dari masing-masing siswa. Terkadang siswa-siswi sering malu ketika diminta untuk ke depan kelas oleh guru meskipun hanya

(11)

263 sekadar bercerita. Fenomena ini sangat

berbanding terbalik ketika siswa berbicara di belakang yang terkadang sering mengobrol dengan teman sebangku, celometan, dsb. Mereka dengan lantang dan berani saling berkomunikasi berbicara dan bercerita, tetapi ketika diminta untuk maju ke depan kelas mempraktikkan kegiatan berbicara, rata-rata dari mereka tidak berani dengan alasan kurang percaya diri. Dengan adanya cerita berantai ini maka juga dapat digunakan untuk melatih kepercayaan diri siswa-siswi agar lebih berani ketika berbicara di depan atau di depan orang lain. Adanya penilaian pada aspek kepercayaan diri ini diharapkan dapat melatih siswa untuk mampu melakukan segala suatu tindakan tanpa ragu-ragu sehingga mereka berani mengambil keputusan secara cepat dan bisa dipertanggungjawabkan serta tidak memiliki rasa mudah putus asa. Selain itu, adanya penilaian pada aspek kepercayaan diri ini juga diharapkan bahwa siswa dapat menunjukkan kemampuan yang dimiliki di depan orang banyak serta dapat meng-eksplore atau mencoba hal-hal yang baru yang sebenarnya bisa dilakukannya.

Hasil hitung di atas merupakan nilai rerata pada aspek percaya diri. Penilaian di atas menunjukkan bahwa sikap kepercayaan diri siswa belum terbentuk secara maksimal. Hal ini dapat dilihat dari masing-masing

siswa yang masih malu-malu

mengungkapkan gagasannya dalam bentuk bercerita mengenai teks fabel yang sudah dibacanya. Hasil perhitungan nilai tersebut menunjukkan angka 70.68, yang menunjukkan kategori cukup (C). Hasil ini diperoleh dari jumlah nilai keseluruhan pada aspek ini, yaitu 82 poin kemudian dibagi 116 sesuai nilai maksimal yang harus diperoleh setiap aspek. Hasil bagi selanjutnya dikalikan dengan 100 dan menunjukkan nilai akhir 70.68. Meskipun demikian, hal ini masih menjadi pekerjaan rumah bagi setiap

guru untuk membentuk rasa kepercayaan diri setiap siswa.

Nilai Rerata Penerapan Cerita Berantai Dari uraian yang telah dijabarkan tersebut di atas dapat diambil pengertian bahwa penerapan metode cerita berantai berjalan dengan lancar dan hasil yang diperoleh dari masing-masing aspek penilaian dikatakan sempurna. Langkah terakhir yang dilakukan oleh peneliti yaitu melakukan perhitungan terhadap nilai akhir yang bertujuan untuk melihat keberhasilan penggunaan metode pembelajaran cerita berantai pada pembelajaran teks fabel. Adanya nilai akhir ini diharapkan dapat menjadi tolok ukur keberhasilan penerapan metode pembelajaran cerita berantai. Secara keseluruhan perhitungan nilai tersebut dapat dilihat sebagai berikut.

Dari perhitungan tersebut menunjukkan hasil akhir bahwa penggunaan metode pembelajaran cerita berantai dapat dikatakan berhasil. Siswa tidak hanya mampu menguasai keterampilan berbahasa dalam menceritakan cerita fabel, tetapi juga mampu menguasai seluruh aspek yang dinilai dalam metode cerita berantai yang meliputi kekompakan, percaya diri, dsb. Hal ini dapat dilihat dari penilaian di atas yang menunjukkan nilai 80.17, kategori baik (B), sehingga nilai tersebut dapat dijadikan sebagai tolok ukur bahwa penerapan metode cerita berantai pada pembelajarn teks fabel dapat dikatakan berhasil. Hasil ini diperoleh dari jumlah nilai yang didapatkan siswa secara keseluruhan yaitu 2325. Skor tersebut kemudian dibagi 2900 poin sesuai nilai maksimal yang harus diperoleh pada penilaian seluruh aspek. Hasil bagi selanjutnya dikalikan dengan 100 dan menunjukkan nilai akhir 80.17.

PENUTUP

Pembelajaran dengan memanfaatkan metode cerita berantai menjadi salah satu

(12)

Totobuang Vol.8, No.2, Desember 2020: 253—265

264

metode pembelajaran yang menyenangkan. Pembelajaran tidak hanya terpaku pada subjektif masing-masing peserta didik, tetapi pembelajaran melibatkan agar mereka saling bekerja sama. Hasil dari penerapan metode ini menunjukkan adanya ketercapaian nilai yang didapat pada masing-masing aspek. Hal ini dilihat dari nilai pada masing-masing aspek penilaian yang sudah menunjukkan nilai rata-rata di atas KKM. Selain menghitung nilai akhir dalam penelitian ini juga dipaparkan menghitung nilai dari setiap aspek penilaian. Tujuannya untuk melihat nilai tertinggi dan terendah pada aspek penilaian dan selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan evaluasi bagi guru untuk meningkatkan kemampuan siswa. Dari beberapa aspek perhitungan nilai tersebut menunjukkan bahwa nilai tertinggi pada aspek kekompakan dan nilai terendah pada aspek percaya diri. Sebagian siswa belum menunjukkan sikap kepercayaan diri sehingga teman yang lain saling membantu dan memunculkan penilaian tertinggi pada aspek kekompakan.

Dari hasil perhitungan nilai yang telah dilakukan dapat dikatakan bahwa penerapan metode pembelajaran cerita berantai pada pembelajaran menceritakan kembali teks fabel dalam kategori baik. Hal ini mengacu pada nilai akhir yang menunjukkan hasil 80.17. Perhitungan nilai tersebut dihasilkan dari penjumlahan seluruh nilai yang didapatkan oleh siswa dan dibagi sesuai dengan jumlah nilai maksimum siswa satu kelas.

DAFTAR PUSTAKA

Agus, H., & Bagus, W. (2019). Pelatihan Keterampilan Berbicara Untuk Meningkatkan Kemampuan Berbicara Didepan Umum Pada Himpunan Mahasiswa Progam Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Nahdlatul Ulama Blitar Tahun 2019. BRILIANT: Jurnal Riset Dan Konseptual, 4(1), 114–117.

Antara, I. N. P., M. G. Rini, K., & I Ngh.

Suadnyana. (2019). Pengaruh Model Pembelajaran Talking Stick Berbantuan Rubrik Surat Kabar Terhadap

Keterampilan Berbicara. International Journal of Elementary Education, 3(4), 423–430.

Antari, N. M. W., Ni Wayan, A., & Made, S. (2019). Pengaruh Model Pembelajaran Word Square Berbantuan Media Gambar Terhadap Keterampilan Berbicara. Jurnal Penelitian Dan Pengembangan Pendidikan, 3(3), 174– 182.

Astiningtyas, A., Naniek, S. W., & Tego, P. (2019). Upaya Peningkatan

Keterampilan Berbicara Melalui PS-MTTW dalam Pembelajaran Tematik Terpadu Kelas IV SD. Jurnal Basicedu, 3(1), 33–42.

Hatma, S. (2017). Peningkatan Kemampuan Siswa dalamMenceritakan Pengalaman Pribadi melaluiMetode Cerita Berantai pada Kelas IX.4 Semester 1 SMP Negeri 30 Pekanbaru Tahun Pelajaran 2015/2016. Lectura: Jurnal Pendidikan, 8(2), 101–107.

Latifaha, S., & Gigit, M. (2020). & Gigit MujiaInterelasi Keterampilan Berbicara Terhadap Kemampuan Komunikasi Peserta Didik di SMP Muhammadiyah 06 Dau Malang (Interelation of

Speaking Skills Towards

Communication Ability of Students in SMP Muhammadiyah 06 Dau Malang). TOTOBUANG, 8(1), 115–128.

Lawotan, Y. E. (2018). Penerapan Teknik Cerita Berantai untuk Meningkatka Keterampilan Berbicara pada Siswa Kelas IV SD Inpres Nangameting. At-Tadbir STAI Darul Kamal NW Kembang Kerang, II(2), 39–51. Mulyo, S., Mohammad, I., & Ahmad, R.

(2019). Pembelajaran Keterampilan Berbicara dengan Metode Field Trip Pada Peserta Didik Kelas IX SMP Samarinda. Diglosia, 2(2), Halaman 115—126.

(13)

265 Peningkatan Keterampilan Berbicara

Melalui Penerapan Metode Show and Tell Siswa SD Negeri 3 Banjar Jawa. Jurnal Ilmiah Sekolah Dasar. Vol.1, 1(4), 198–203.

Putra, I. N. T., Ida, B. S., & Ida, A. M. D. (2017). Pemanfaatan Teknik Kata Kunci untuk Meningkatkan

Kemampuan Menulis Teks Eksposisi Siswa Kelas X MIPA 5 SMA N 1 Payangan. E-Journal Jurusan Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia, 2(1).

Rahayu, D., Maryatin, & Retnowaty. (2018). Kemampuan Berbicara Siswa MTs Hidayatul Mustaqim Balikpapan Melalui Kegiatan Menjadi Pembawa Acara. BASA TAKA, 1(1), 22–29. Rosita, F. Y. (2018). Pengembangan Model

Pembelajaran Timnas Untuk Menulis Puisi Siswa SMP Kelas VIII.

KEMBARA: (Jurnal Keilmuan Bahasa,

Sastra, Dan Pengajarannya, 4(1), 35– 47.

Sari, N. R. (2017). Peningkatan

Keterampilan Berbicara Melalui Teknik Cerita Berantai Siswa Kelas IV. Jurnal Pendidikan Guru Sekolah Dasar Edisi, 2(6), 157–165.

Segu. (2016). Meningkatkan Keterampilan Bercerita dengan Metode Kamishibai. AT-TURATS, 10(2), 103–117.

Simarmata, M. Y., & Sulastri, S. (2018). Pengaruh Keterampilan Berbicara Menggunakan Metode Debat dalam Mata Kuliah Berbicara Dialektik pada Mahasiswa IKIP PGRI Pontianak. Jurnal Pendidikan Bahasa, 7(1), 49–62. Wijanarko, A. G. (2019). Strategi Tua Tuo

Untuk Meningkatkan Ketrampilan Berbicara (Tembang Macapat) Andrian Gandi Wijanarko. IQRO: Journal of Islamic Education, 4(1), 28–41.

(14)

Gambar

Tabel 1  Aspek Penilaian  No  Aspek  Nilai  1  2  3  4  1  Kelancaran  Penceritaan  2  Ketepatan Isi  3  Intonasi  dan  Lafal  4  Kekompakkan   5  Percaya Diri

Referensi

Dokumen terkait

PR yang sangat besar bagi kita sekarang adalah mendidik, membina mereka terutama dalam bimbingan agama, tanamkan sedini mungkin kecintaan terhadap agama melalui ajaran-ajaran

Membuat kartu undangan pernikahan menggunakan MS Word 2016 sangatlah mudah karena menyediakan template yang bisa didownload secara cepat dan dengan penampilan

d) Lampiran perjanjian kerjasama berupa penetapan limit akseptasi ditiadakan. Setelah itu dengan mempertimbangkan bahwa BNI telah melakukan perubahan sehingga membuat

Beberapa usaha untuk menghadapi kenakalan anak-anak yaitu dengan cara pendidikan agama harus berawal dari rumah,orangtua harus mengerti dasar-dasar pendidikan dimana

Kegiatan pada tahap pelaksanaan meliputi: (1) Penyebaran angket pada peserta pelatihan melalui aplikasi Google Form, tujuannya untuk melihat pemahaman peserta pelatihan

Pompa jenis ini rotor berupa impeler yang diputar oleh penggerak mula, menyebabkan cairan yang ada di dalam pompa ikut berputar karena dorongan sudu-sudu,

bagaimana bapak/ibu menentukan kata/kalimat yang digunakan pada papan- papan informasi?; bagaimana alur pemasangan papan-papan imbauan di instansi bapak/ibu?; apakah

Penelitian ini mengkaji tentang hubungan kekerabatan bahasa Ambai, Ansus, dan Serui Laut yang dituturkan oleh masyarakat di Kepulauan Yapen, Provinsi Papua. Ketiga