• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar 2.1 Subduksi antara Lempeng Juan de Fuca dan Lempeng Amerika Utara (Dickinson, 1989)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Gambar 2.1 Subduksi antara Lempeng Juan de Fuca dan Lempeng Amerika Utara (Dickinson, 1989)"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II KAJIAN TEORI

2.1 Geologi Regional

Sejarah geologi Arizona dimulai pada Usia Dinosaurus (Era Mesozoik sekitar 250 juta tahun lalu) ketika lempeng Bumi bergerak berbalik arah. Sebelumnya, pada era Paleozoik (542-250 juta tahun lalu), Arizona berada pada ujung terbelakang dari benua yang bergerak ke Timur. Pada masa itu lingkungan Arizona berupa sungai berarus lemah dan laut dangkal. Pada masa Paleozoik, mayoritas aktivitas pembentukan gunung terjadi pada Pesisir Timur Amerika Utara. Lalu, pada era Mesozoik dan Senozoik, Arizona menjadi berada di ujung terdepan lempeng Amerika Utara. Sebagai ujung terdepan lempeng, aktivitas tektonik yang terjadi sangat aktif namun berbahaya, yang mana pada saat itu banyak terjadi peristiwa gempabumi, aktivitas vulkanik, dan deposisi mineral. Lingkungan fisik era itu hampir serupa dengan Gunung Cascade di Barat Laut Amerika Serikat masa kini (Rasmussen, 2012).

Gambar 2.1 Subduksi antara Lempeng Juan de Fuca dan Lempeng Amerika Utara (Dickinson, 1989)

Terdapat subduksi antara Lempeng Juan de Fuca dan Lempeng America Utara, dimana Lempeng Juan de Fuca tersebut menujam ke bawah Lempeng America Utara

(2)

sepanjang Paling Cascadia, yang mana merupakan batas Barat dari zona subduksi Cascadia. Kerak Samudra terbentuk sepanjang punggungan Juan de Fuca (Gambar 2.1). Seiring pergerakan Lempeng Juan de Fuca ke arah Timur, terjadi pendinginan, memadat, dan menujam ke Lempeng Amerika Utara pada Palung Cascadia yang memiliki densitas lebih rendah. Air yang dikeluarkan dari slab subduksi menyebabkan terjadinya partial melting, membentuk magma chamber di Barisan Gunung Berapi Cascade. Subduksi ini pula lah yang menyebabkan Arizona yang sebelumnya berupa laut dangkal terangkat hingga menjadi datarann tinggi (Dickinson, 1989).

2.1.1 Fisiografi Regional

Terdapat 2 bentang lahan (landscape) yang sangat berbeda di Arizona yaitu Basin dan Range (dataran luas) di bagian Tenggara Arizona dan Dataran Tinggi Kolorado di bagian Utara Arizona (Rasmussen, 2012). Diantara kedua bentang lahan tersebut terdapat Zona Transisi (Gambar 2.2).

(3)

Dataran Tinggi Kolorado berupa lapisan batuan sedimen hampir pipih mendatar yang terpotong oleh ngarai berlereng terjal. Ngarai ini membuat air menjadi merembes keluar dari Formasi batuan, sehingga air di bagian Utara Arizona menjadi komoditas langka. Semua sumber daya energi yang dihasilkan di Arizona, seperti batubara dari Black Mesa, uranium dari Utara Grand Canyon, dan minyak bumi dari Navajo Reservation, terletak di Dataran Kolorado ini (Rasmussen, 2012).

Basin dan Range dilalui oleh lembah besar dimana air tanah melimpah dan tanahnya subur. Pada zona ini terdapat bentangan pegunungan yang terlihat seperti cacing menggeliat ke Barat Laut dari Meksiko jika dilihat pada peta. Zona ini kaya akan mineral yang terdapat di pegunungan tersebut. Kebanyakan mineral tersebut berupa metal yang terdeposit selama peristiwa pembentukan pegunungan tersebut. Potensi tambang terbesar di zona ini adalah berupa tambang tembaga porphyry (Rasmussen, 2012).

Zona transisi antara Basin dan Range dengan Dataran Tinggi Kolorado memiliki karakteristik dari keduanya. Pada zona ini terdapat perlapisan batuan sedimen pipih mendatar seperti Dataran Tinggi Kolorado, misalnya pada Sedona. Sementara karakteristik dari Basin dan Range yang berupa area pegunungan juga terdapat disini, tepatnya pada Mogollon Rim (Rasmussen, 2012).

2.1.2 Stratigrafi Regional

Proses pembentukan pegunungan menyebabkan mineralisasi di Arizona umumnya terjadi pada era Prekambrian, Mesozoik, dan Senozoik. Erupsi vulkanik dan intrusi oleh mineral dan batuan granit pada urat yang berasosiasi, meningkat dari lempeng samudra dengan dip mengarah ke timur yang tersubduksi di bawah bagian Barat Daya lemppeng Amerika Utara. Hampir semua jenis batuan dan usia geologi dapat ditemukan di Arizona, terutama di bagian Basin dan Range. Peta geologi (Gambar

(4)

2.3) menunjukkan singkapan batuan yang terpotong dan tersesarkan oleh proses pembentukan pegunungan (Jenney dan Reynolds, 1989).

Gambar 2.3 Peta Geologi Arizona (Rasmussen, 2012)

Lithologi batuan dan urutan stratigrafi Arizona akan dijelaskan pada tabel (2.1) Berikut:

Tabel 2.1 Stratigrafi Arizona

Era Geologi Simbol

Batuan Keterangan

(5)

Era Geologi Simbol

Batuan Keterangan

Batuan sedimen periode Kuarter dan Tersier Atas, umumnya tidak terkonsolidasi, mencakup lava dan tuff silika.

Batuan sedimen periode Tersier Tengah (Miosen dan Oligosen), secara lokal mencakup lava dan tuff.

Batuan beku

Batuan vulkanik periode Kuarter dan Tersier Atas, umumnya berkomposisi basa.

Batuan vulkanik periode Tersier Tengah, berkomposisi asam (silika) hingga basa

Batuan beku intrusive periode Tersier dan Cretaceous Atas.

Mesozoik Batuan sedimen

Batuan sedimen periode Cretaceous

Batuan sedimen periode Jurassik dan Triassik

Batuan sedimen periode Mesozoik

Batuan Beku

Batuan vulkanik periode Tersier Akhir sampai Triassik, mencakup sebagian batu sedimen.

Batuan beku intrusive periode Cretaceous Tengah.

Paleozoik Batuan sedimen

Batuan sedimen periode Permian dan Pennsylvanian, hanya muncul pada Datarn Tinggi Kolorado.

(6)

Era Geologi Simbol

Batuan Keterangan

Batuan sedimen periode Mississippian dan Cambrian pada Dataran Tinggi Kolorado, sementara semua batuan sedimen Paleozoik berada di daerah Basin dan Range.

Precambrian

Batuan sedimen Precambrian Muda dan batuan intusif diabas.

Semua jenis batuan sedimen Precambrian Tua, termasuk Sekis, Gneiss, dan batuan beku intrusif berbutir halus hingga kasar.

Batuan metamorf

Batuan sekis dan gneiss Post-Paleozoic.

2.2 Geologi Daerah Penelitian

Batuan pada Gunung Santa Rita banyak tersesarkan dan hampir tak ada yang berupa lipatan (fold). Umumnya sesar tersebut berstruktur sudut-tinggi berupa sesar normal, dan sebagian kecil sesar naik (reverse) dan sesar geser. Sementara sesar sudut-rendah yang terdapat disini umumnya berupa sesar naik (thrust fault). Gunung Santa Rita terdiri dari tiga struktur unit utama, dimana batasnya ditandai dengan zona sesar mayor. Unit tersebut yaitu unit Barat Daya, Sentral, dan. Timur Laut. Batuan pada unit Barat Daya umumnya berlereng landai dari Selatan ke Utara dan terpotong oleh banyak sesar normal.

Daerah penelitian ini termasuk dalam unit Barat Daya Gunung Santa Rita yaitu tepatnya pada area Gawir Sesar Santa Rita (Gambar 2.4). Struktur utamanya memiliki trend ke arah Barat Laut sepanjang, fitur ini tidak ditandai dengan keberadaan zona sesar yang jelas, justru keberadaannya ditandai dengan intrusi batuan. Struktur geologi area ini menurut para peneliti awalnya berupa zona sesar mayor di dekat dan

(7)

sepanjang granitoid stock yang berusia Mesozoik. Zona sesar tersebut pun tertutup oleh intrusi tersebut dan tak lagi terpegaruh oleh deformasi pada era Cretaceous dan Tersier. Zona sesar yang dimaksud disini yaitu zona sesar Santa Rita, sementara proyeksinya melalui area yang telah terintrusi adalah gawir Sesar Santa Rita.

Sisa zona sesar Santa Rita yang muncul di permukaan sebagai zona singkapan riolit yang diapit oleh batupasir kuarsa Formasi Gunung Wrightson sepanjang 3 km dengan usia Triasik, bagian Barat Ngarai Temporal, dan 3 km ke Barat Laut Patagonia. Secara umum Formasi Bathtub dan Formasi Temporal Cretaceous Bawah yang ditandai dengan unconformity zona sesar yang tersingkap. Pada Tenggara sisa zona sesar Santa Rita yang muncul ke permukaan, ditutupi oeh batuan vulkanik muda dan kerikil, namun sesarnya diduga masih ada kemenerusan dibawah Lembah Sungai Kecil Sonoita, sebagaimana zona sesar yang telah teridentifikasi di Pegunungan Patagonia yang berada 1 km ke arah Barat dari ujung Tenggara quadrangle Gunung Wrightson (Drewes, 1972). Batuan vulkank yang tersingkap tersebut mungkin berkorelasi dengan Formasi Gunung Wrightson sekitar 10 km ke arah Tenggara, sepanjang Ngarai Flux dan puncak Pegunungan Patagonia. (Simon, 1972).

Pada bagian Barat Laut sisa zona sesar Santa Rita yang muncul, Batuan berusia Cretaceous melapisi singkapan batupasir kuasa dan vulkanik sampai beberapa kilo meter, dan batuan plutonik menembus lapisan ini. Meski begitu, fitur linier batuan plutonik ini menjadi dasar proyeksi Gawir Sesar Santa Rita lebih lanjut ke arah Barat Laut. Batuan monzonit Ngarai Piper sangat sejajar dengan Selatan Ngarai Mansfield. Sebaran monzonit pun mengikuti trend ini ke Barat Laut sampai punggungan Barat Ngarai Madera (Drewes, 1971). Bagian Utara Ngarai Mansfield, cabang dari diorit Ngarai Josephine dan granodiorit Ngarai Madera, juga terhampar sepanjang gawir sesar. Gawir sesar ini diduga meluas sampai batas kerikil Piedmont dan disimpulkan sebagai offset Sesar Elephant Head di bawah lapisan kerikil.

(8)

Gambar 2.4 Peta geologi daerah penelitian (dimodifikasi dari Oland dan Hirschberg, 2001)

Sesar Santa Rita dan gawirnya memisahkan batuan yang memiliki karakteristik sruktural berbeda. Kontras struktural ini menguatkan teori keberadaan zona sesar mayor, dan luas pelapisan batuan dengan fitur struktural berbeda membantu

(9)

mendelineasi zona sesarnya. Timur Laut gawir sesar, batuan dengan usia Triasik dan Cretaceous (kecuali Formasi Salero) membentuk sekuens homoklinal dengan dip 20o hingga 35o Timur. Dikarenakan strukur batuan tersebut yang sederhana, kemungkinan sekuens Palezoik berada di bawah lapisan batuan Triasik. Di sisi lain, Batuan di Barat Daya gawir sesar, kecuali batuan plutonik, mencakup batuan Formasi Salero dengan dip 10o Selatan hingga 10o Barat Daya.

Barat Laut Pegunungan Santa Rita, pada sisi Timur Pegunungan Sierrita, yang dipetakan oleh Cooper (1970) menunjukkan fitur struktural kompleks yang masih merupakan kemenerusan zona sesar Santa Rita dan gawirnya. Batas Timur dari tubuh intrusi utama yang berupa batuan granodiorit berusia Paleosen sangat menyerupai gawir sesar yang mana membentuk kontak panjang dan beraturan yang memisahkan sekuens batuan yang lithologi dan strukturnya berbeda satu sama lain. Pada Bagian Barat Daya, Cooper menunjukkan bahwa batuan induk (host rock) berbagai batuan plutonik berusia Mesozoik umumnya merupakan batuan vulkanik dan sedimen yang jarang terdeformasi dengan dip landai ke arah Barat Daya. Pada bagian Timur Laut Cooper menunjukkan bahwa batuan granitoid usia Precambrian dan batuan sedimen usia Paleozoik memiliki dip ke arah Timur dan batuannya terdeformasi kompleks selama dan setelah waktu Mesozoik. Kompleksitas zona Sesar Santa Rita menunjukkan bahwa zona tersebut mungkin adalah ekspresi dekat permukaan dari elemen struktural mayor yang terjadi batuan dasar (basement) (Drewes, 1972).

Lithologi batuan pada peta geologi (Gambar 2.4) akan dijelaskan lebih lanjut pada Tabel 2.2 berikut (Oland dan Hirschberg, 2001):

Tabel 2.2 Keterangan lithologi daerah penelitian

Simbol Keterangan

Aluvium dan batuan sedimen (Holosen sampai Misen Tengah) Berupa pasir, lanau, dan kerikil tersementasi dan tak terkonsolidasi sampai terkonsolidasi dengan baik. Serta deposit

(10)

konglomerat, batupasir, dan batulanau dengan sedikit batuan lakustrin pengisi cekungan. Mencakup Formasi Quiburis, Ft. Lowell, dan sebagian Andesit Rillito, dan Formasi Nogales dan Big Dome.

Batuan sedimen (Miosen Awal dan Tengah)

Berupa konglomerat dan batupasir yang tersedimentasi selama proses tektonik Tersier Tengah. Mencakup bagian bawah Andesit Rillito, Nogales, Formasi San Manuel, sekuens Ripsey Wash, Konglomerat Hell Hole dan Apsey, dan bagian bawah Formasi Big Dome.

Batuan vulkanik andesit (Misen Awal dan Oligosen)

Berupa andesit, trasiandesit, dan aliran lava dasit, aglomerat, dan batuan klastik dan piroklastik interbedded. Mencakup andesit plagioklas-porfiritik berbutir kasar, secara tidak formal mengacu sebagai porfiri turkey-track.

Batuan granitoid (Paleosen dan Cretaceous Akhir)

Berupa biotite-hornblende granit, granodiorit, diotit dan gabbro berbutir medium sampai halus. Umumnya bertekstur porfiritik dan berasosiasi dengan mineralisasi tembaga. Mencakup granodiorit Ruby Star, kuarsa diorit Leatherwood, granodiorit Chirreon Wash, kuarsa monzonit Mineral Butte, granit Sacation Peak, granodiorit Sungai Kecil Copper, dan granodiorit Tea Cup. Batuan sedimen (Cretaceous)

Berupa konglomerat, batupasir, dan batuan berbutir halus mencakup Formasi American Flag dan Pinkard, serta beberapa batuan Selatan Gunung Winchester.

Batuan Vulaknik (Cretaceous)

Berupa aliran andesit, tuff bercampur diorit-konglomerat, tuff berkomposisi basa, dan aliran lava asam lokal.

(11)

Grup Bisbee (Awal cretaceous Akhir hingga Jurasik Akhir)

Berupa batupasir, batulanau, lempung, konglomerat dan batugamping. Mencakup konglomerat Glance, Amole Arkose, Formasi Sand Well, dan atau batuan serupa di Roskruge, Silver Bell, dan Gunung Santa Rosa.

Batuan sedimen (Paleozoik)

Berupa batugamping, dolomit, batupasir, kuarsit, batulanau, lempung, dan konglomerat yang termetamorfosa derajat rendah. Batuan metamorf (Proteozoik Awal)

Berupa batuan sekiss hijau sampai metasedimen fase rendah amfibolit, metavulkanik, metahypabyssal, dan metaplutonik. Granodiorit (Proterozoik Awal)

Berupa granodiorit dan granit berbutir medium sampai halus, umumnya dengan megakristalin K-feldspar.

2.3 Teori Umum Gayaberat dan Magnetik 2.3.1 Gayaberat

1. Prinsip Dasar Gayaberat

Metode gayaberat didasarkan pada Hukum Gravitasi Newton. Newton menyatakan bahwa gaya antara dua benda bermassa m yang dipisahkan pada jarak r akan berbanding lurus massa benda tersebut dan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak dari kedua pusat massa benda tersebut (Blakely, 1996). Hal ini didasarkan pada persamaan Hukum Newton (Telford dkk, 1990) berikut:

(2.1)

Keterangan:

Fg = Besar gaya gravitasi antara dua titik massa yang ada (N)

G = Besar konstanta gravitasi Newton (6.6738 x 10⁻¹¹ N.m²/kg²) (Mohr, 2015) m1 = Massa benda pertama (kg)

(12)

R = jarak antara benda pertama dan benda kedua (m)

(tanda negatif menandakan bahwa gaya bekerja pada arah yang berlawanan terhadap gaya tarik kedua massa).

Hukum II Newton selanjutnya menyatakan bahwa besarnya sebanding dengan massa dan percepatannya.

(2.2)

Keterangan:

g = Percepatan gravitasi (m/s2)

Dengan mensubtitusikan persamaan 2.1 ke persamaan 2.2. diperoleh persamaan yang menyatakan besarnya nilai medan gravitasi, yaitu sebagai berikut:

(2.3)

Persamaan ini menunjukkan bahwa percepatan gravitasi di permukaan bumi dipengaruhi bentuk Bumi yaitu jari-jari Bumi yang bervariasi dan massa Bumi yang mencakup inti, mantel dan kerak Bumi. Sehingga percepatan gravitasi akan konstan apabila Bumi diasumsikan homogen dan bulat sempurna.

Percepatan gravitasi pertama kali diukur oleh Galileo sehingga percepatannya dinamakan Galileo atau Gal. Dalam akuisisi dan kegiatan eksplorasi, satuan gayaberat yang digunakan berupa mGal karena sensitivitas alat ukur sangat kecil. Sementara berdasarkan Sistem Internasional (SI) satuan percepatan gravitasi didefinisikan dalam bentuk m/s2. Konversi satuannya sendiri ditunjukkan dalam persamaan (2.4).

(2.4)

2. Reduksi dan Koreksi Gayaberat

Sebelum dilakukan interpretasi, perlu dilakukan koreksi data terhadap nilai gayaberat yang diperoleh. Hal ini karena permukaan Bumi dianggap sebagai bulat homogen

(13)

yang memiliki distribusi densitas meningkat konstan. Sementara pada kenyataanya Bumi berbentuk spheroid akibat dari adanya keseimbangan gayaberat dan gaya sentrifugal dari pergerakan rotasinya sehingga jari-jari ekuator akan lebih besar dari kutub, begitupun dengan nilai percepatan gravitasinya. Selain itu Bumi juga tidak homogen dan memiliki relief permukaan yang tidak rata sehingga terdapat variasi gayaberat dengan densitas tidak merata di setiap titik di muka Bumi ini. Faktor yang mempengaruhi variasi ini diantaranya yaitu faktor lintang, pasang surut, goncangan pada pegas alat, variasi topografi, variasi ketinggian, dan variasi densitas bawah permukaan (Telford, 1990). Koreksi gayaberat ini meliputi:

a. Koreksi pasang surut (tidal)

Koreksi ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh gayaberat benda-benda di luar bumi seperti Matahari dan Bulan yang bergantung pada waktu bulanan, waktu tahunan, dan lintang (Untung, 2001). Gaya pasang-surut akan maksimum apabila Matahari dan Bulan searah dan berlawanan, sementara jika keduanya tegak lurus akan minimum. Gaya tarik-menarik Matahari dan Bulan ini akan berdampak efek pasang-surut terhadap benda padat Bumi.

Efek gaya pasang-surut tersebut terbagi atas dua komponen yaitu komponen Bulan dan Matahari (Gemael, 2002). Pada komponen Bulan yaitu sebagai berikut:

(2.5)

Keterangan:

Mm = Massa Bulan (7.35481119761 x 1022 kg) (Petit dan Luzum, 2010) r = Jarak titik P pada permukaan Bumi ke inti Bumi (m)

dm = Jarak inti Bumi dan Bulan (m)

m = Sudut zenith Bulan

Sementara efek gaya pasang-surut pada komponen Matahari yaitu:

(14)

Keterangan:

Ms = Massa Bulan (1.9884158 x 1030 kg) (Petit dan Luzum, 2010) ds = Jarak inti Bumi dan Matahari (m)

s = Sudut zenith Matahari

Sehingga perhitungan koreksi tidal Cg di titik P dengan memasukkan persamaan (2.5) dan (2.6) yaitu:

(2.7)

Dimana adalah faktor gravimetric yang digunakan untuk menyesuaikan nilai koreksi gravimetric sebagai fungsi perpindahan poin P yang terjadi akibat deformasi pada kerak Bumi akibat gaya tarik menarik Matahari dan Bulan. Nilai faktor gravimetric yang digunakan saat ini berkisar antara 1.16 hingga 1.23. Namun menurut Amarante (2016) nilai faktor gravimetric tersebut tidak perlu dimasukkan.

b. Koreksi apungan (drift)

Koreksi apungan dilakukan karena pembacaan gayaberat stasiun yang sama pada waktu yang berbeda akan berbeda nilainya, padahal secara teoritis harusnya sama. Hal ini terjadi pada mekanisme alat, yang mana perubahan temperatur dan guncangan pada pegas alat gravitimeter selama perjalanan dari stasiun satu ke yang lainnya akan mempengaruhi sensitivitas alatnya. Gravitimeter memiliki komponen pegas yang diberi massa beban tergantung di ujungnya, sifat pegas tidak elastis sempurna sehingga terjadi pengembangan dan penyusutan perlahan sebagai fungsi waktu. Untuk menghilangkan efek ini, akuisisi data atau proses pengukuran didesain dalam suatu lintasan tertutup (Gambar 2.5), sehingga besar penyimpangan tersebut dapat diketahui dan diasumsikan linier pada selang waktu tertentu (Reynolds, 1997).

(15)

Persamaan untuk koreksi apungan dapat dilihat pada persamaan berikut ini (Reynolds, 1997):

(2.8)

Keterangan:

gn = Hasil bacaan percepatan gravitasi ke-n (mGal) go = Hasil bacaan percepatan gravitasi pertama (mGal) tn = Waktu ke-n (sekon)

to = Waktu pada pembacaan pertama (sekon)

c. Koreksi lintang

Rotasi Bumi pada porosnya menyebabkan sebaran massa Bumi tidak rata dan dan terkumpul di porosnya. Hal ini berhubungan dengan percepatan gravitasi Bumi itu sendiri yang berbeda, nilai percepatan gravitasi di kutub lebih besar dibandingkan dengan di equator karena jari-jarinya lebih pendek. Sehingga nilai gaya berat rata-rata akan sesuai posisi lintangnya. Hal tersebut yang membuat harus dilakukan koreksi lintang terhadap data gayaberat. Referensi dalam mencari nilai koreksi lintang yang umum digunakan yaitu WGS 84 (World Geodetic System 1984), dengan persamaan koreksi lintang sebagai berikut (Untung, 2001):

√ (2.9)

Keterangan:

g = Percepatan gravitasi teoritis terkoreksi lintang (mGal)

 = Posisi lintang Bumi (Rad)

d. Koreksi udara bebas (free air correction)

Koreksi ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh ketinggian terhadap medan gravitasi Bumi. Nilai gayaberat akan berubah seiring perubahan ketinggian terhadap mean sea level atau bidang geoid. Perubahan gayaberat terhadap ketinggian dari bidang geoid ini adalah 0.3086mGal/m (Sleep dan Fujita, 1997).

(16)

Koreksi udara bebas dihitung berdasarkan hukum Newton sebagai fungsi perubahan gayaberat terhadap jarak, yang diturunkan dari persamaan (2.3) terhadap posisi jarak (jari-jari Bumi), yaitu sebagai berikut (Lillie, 1998):

(2.10)

Keterangan:

M = Massa Bumi (5.9726 x 1024 kg) (Mohr, 2015) R = Jari-jari Bumi (m)

Seperti yang sudah dijelaskan di atas, koreksi udara bebas dipengaruhi oleh ketinggian, sehingga persamaan untuk mencari nilai koreksi udara bebas harus ditambahkan ketinggian ke dalamnya (Telford, 1990).

(2.11)

Keterangan:

gFA = Koreksi udara bebas (mGal) h = Ketinggian titik ukur (m)

Besarnya jari-jari Bumi ini bergantung pada posisi lintang karena nilainya tidak akan sama di lintang yang berbeda. Jari-jari Bumi di kutub akan lebih kecil dibandingkan jari-jari Bumi di equator. Pada penelitian ini area pengukuran berada pada lintang 31.8974277o sehingga koreksi udara bebas menjadi:

(2.12)

e. Koreksi Bouguer

Koreksi ini dilakukan untuk mengembalikan rapat massa batuan di antara bidang geoid dan titik pengukuran yang diabaikan pada koreksi udara bebas. Bouguer (1749) menyadari hubungan antara ketinggian dan rapat massa rata-rata setelah mengamati pegunungan Andes. Koreksi ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan berupa slab tak berhingga yang ditunjukkan oleh persamaan berikut (Kearey dkk, 2002).

(17)

(2.13) Keterangan:

 = Densitas batuan (CGS)

Dengan memasukkan nilai konstanta gravitasi Bumi (dalam CGS) dan  maka didapatkan koreksi Bouguer sebagai berikut:

(2.14)

f. Koreksi medan (terrain)

Koreksi ini dilakukan karena medan pengukuran yang tidak datar seperti pada pendekatan Bouguer dimana kenyataannya sering kali terdapat topografi yang berundulasi membentuk gunung dan lembah, sehingga ada pengaruh massa yang harus diperhitungkan lagi. Jika titik pengukuran berada di sekitar bukit maka dapat mengurangi nilai bacaan karena pegas akan tertarik ke atas sebagai efek dari gaya tarik-menarik, dan sebaliknya jika titik pengukuran berada di sekitar lembah maka dapat menambah nilai bacaan. Koreksi medan didapatkan dengan hammer chart (Gambar 2.6), sehingga diperoleh persamaan berikut (Reynold, 1997).

[ √ √ (2.15)

Keterangan:

TC = Koreksi medan (mGal)

n = Jumlah segmen dalam zona tersebut RL = Jari-jari lingkaran dalam

RD = Jari-jari lingkaran luar

z = Ketinggian bukit atau kedalaman lembah

(18)

3. Anomali Bouguer

Anomali Bouguer adalah selisih antara harga gayaberat teoritis dan observasi yang terukur pada suatu titik pengamatan (Faizah, 2010). Anomali Bouguer didapatkan setelah nilai bacaan alat gravitimeter dilakukan koreksi-koreksi yang dijelaskan sebelumnya. Anomali Bouguer terdiri dari dua macam yaitu anomali Bouguer sederhana (SBA) dan anomali Bouguer lengkap (CBA).

Anomali Bouguer sederhana (SBA) didapatkan melalui koreksi pasang-surut, apungan, lintang, udara bebas dan Bouguer seperti yang ditunjukkan pada persamaan berikut (Telford, 1990):

(2.16)

Sementara anomali Bouguer lengkap (CBA) didapatkan setelah ditambahkan koreksi medan sehingga persamaannya menjadi:

(2.17)

4. Estimasi Densitas Rata-rata batuan Metode Nettleton

Dalam melakukan koreksi Bouguer dan medan, diperlukan nilai densitas batuan. Densitas batuan yang akan digunakan ini tidak diketahui nilainya, sehingga dilakukanlah suatu estimasi, salah satunya yaitu dengan metode Nettleton. Metode Nettleton ini digunakan untuk mendapatkan estimasi densitas batuan area penelitian yang cocok. Metode ini didasarkan pada konsep koreksi Bouguer dan medan bahwa penampang anomali gayaberat akan menjadi smooth atau mulus jika rapat massa atau densitas batuan yang digunakan sesuai dengan rapat massa permukaan (Apriani dkk, 2017). Estimasi densitas terbaik pada metode ini adalah densitas yang memiliki korelasi silang terkecil (mendekati nol) antara perubahan elevasi terhadap anomali gayaberat (Gambar 2.7) (Telford, 1990).

(19)

Gambar 2.7 Estimasi densitas batuan dengan metode Nettleton (Telford, 1990)

5. Densitas Rata-rata Batuan

Densitas atau rapat massa batuan adalah massa batuan per satuan volume. Percepatan gravitasi yang terukur bergantung pada perbedaan densitas dengan sekitarnya bukan oleh densitas mutlaknya (Sehah, 2012). Dalam menginterpretasi struktur bawah permukaan, perlu diketahui nilai densitas batuannya. Densitas yang digunakan ini berupa variasi densitas lokal, namuun karena sulit untuk diukur, maka digunakan digunakan rentang densitas batuan dan mineral rata-rata pada Tabel 2.1 hingga Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Densitas rata-rata batuan sedimen (Telford, 1990)

Jenis Batuan

Rata-rata Densitas (basah) (g/cm3)

Rata-rata Densitas (kering) (g/cm3)

Rentang Rata-rata Rentang Rata-rata

Aluvium 1.96 - 2.1 2.05 1 – 1.6 1.4 Clays 1.63 – 2.6 2.21 1.3 – 2.4 1.7 Glacial drift - 1.8 - - Kerikil 1.7 – 2.4 2 1.4 – 2.2 1.95 Loess 1.4 – 1.93 1.64 0.75 – 1.6 1.2 Pasir 1.7 – 2.3 2 1.4 – 1.8 1.6 Pasir dan 1.7 – 2.5 2.1 - -

(20)

Jenis Batuan

Rata-rata Densitas (basah) (g/cm3)

Rata-rata Densitas (kering) (g/cm3)

Rentang Rata-rata Rentang Rata-rata

clays Lanau 1.8 – 2.2 1.93 1.2 – 1.8 1.53 Tanah 1.2 – 2.4 1.92 1 – 2 1.46 Batupasir 1.61 – 2.76 2.35 1.6 – 2.68 2.24 Lempung 1.77 – 3.2 2.4 1.56 – 3.2 2.1 Batugamping 1.93 – 2.9 2.55 1.74 - 2.76 2.11 Dolomit 2.28 – 2.9 2.7 2.04 – 2.54 2.3

Tabel 2.4 Densitas rata-rata batuan beku (Telford, 1990)

Jenis Batuan

Rata-rata Densitas

(basah) (g/cm3) Jenis Batuan

Rata-rata Densitas (basah) (g/cm3)

Rentang Rata-rata Rentang Rata-rata

Rhyolite glass 2.2 – 2.28 2.24 Quartz dorite 2.62 – 2.96 2.79

Obsidian 2.2 – 2.4 2.3 Diorit 2.72 – 2.99 2.85 Vitrophyre 2.36 – 2.53 2.44 Lava 2.80 – 3 2.9 Riolit 2.35 – 2.7 2.52 Diabase 2.5 – 3.2 2.91 Desit 2.35 – 2.8 2.58 Essexite 2.69 – 3.14 2.91 Phonolite 2.45 – 2.71 2.59 Norite 2.7 – 3.24 2.92 Trachyte 2.42 – 2.8 2.6 Basalt 2.74 – 3.3 2.99 Andresit 2.4 – 2.8 2.61 Gabbro 2.7 – 3.5 3.03 Nephelite-Syemite 2.53 – 2.7 2.61 Homblede-Gabbro 2.98 – 3.18 3.08 Granit 2.5 – 2.81 2.64 Peridotit 2.78 – 3.37 3.15 Granodiorit 2.67 – 2.79 2.73 Pyroxenite 2.93 – 3.34 3.17

Porphyry 2.6 – 2.89 2.74 Batuan beku

asam 2.3 – 3.11 2.61

Syenite 2.6 – 2.95 2.77 Batuan beku

basa 2.69 – 3.17 2.79

Anorthosite 2.64 – 2.94 2.78

Tabel 2.5 Densitas rata-rata batuan metamorf (Telford, 1990)

Jenis Batuan

Rata-rata Densitas

(basah) (g/cm3) Jenis Batuan

Rata-rata Densitas (basah) (g/cm3)

Rentang Rata-rata Rentang Rata-rata

Kuarsa 2.5 – 2.7 2.6 Serpentine 2.4 – 3.1 2.78

Sekis 2.39 – 2.9 2.64 State 2.7 – 2.9 2.79

Granywacke 2.6 – 2.7 2.65 Gneiss 2.59 – 3 2.8

Granulit 2.52 – 2.73 2.65 Chlorotic state 2.75 – 2.98 2.87

Filit 2.68 – 2.8 2.74 Amphibolit 2.9 – 3.04 2.96

Marmer 2.6 – 2.9 2.75 Eclogite 3.2 – 3.54 3.37

Sabak kuarsa 2.63 – 2.91 2.77

(21)

2.3.2 Magnetik 1. Gaya Magnetik

Gaya Coulomb merupakan konsep dasar magnetik, dimana gaya Coulomb akan terjadi jika terdapat dua buah kutub magnetik yang dipisahkan oleh suatu jarak. Hal ini ditunjukkan oleh persamaan berikut (Telford, 1990):

⃗⃗⃗⃗ ̂ (2.18)

Keterangan:

⃗⃗⃗⃗ = Gaya Coulomb (N)

ma = Kutub magnet pertama (Nm/A) mb = Kutub magnet kedua (Nm/A)

rk = Jarak diantara kedua kutub magnetik (m)

0 = Permeabilitas medium (Dalam ruang dengan harga 1) (4 x 10-7 N/A2)

2. Kuat Medan Magnet

Kuat medan magnet adalah gaya magnet per satuan kuat kutub magnet. Kuat medan magnet adalah besarnya medan magnet suatu titik yang timbul pada suatu titik yang berada pada suatu jarak dari kutub magnet, ditunjukkan oleh persamaan berikut (Telford, 1990):

⃗⃗ ̂ (2.19)

Keterangan:

⃗⃗ = Kuat medan magnet (Oersted atau Dyne (CGS)) (A/m (SI)) 3. Intensitas Magnet

Suatu bahan magnetik dapat termagnetisasi apabila ditempatkan dalam medan magnet luar akibat induksi. Sehingga intensitas magnet dedifinisikan sebagai tingkat

(22)

kemampuan menyearahkan momen-momen magnetik dalam medan magnet luar atau disederhanakan sebagai momen magnetik per satuan volume (Telford, 1990).

⃗⃗ ̂ (2.20)

Keterangan:

= Intensitas magnetik (Gauss atau emu (CGS)) (A/m (SI))

⃗⃗ = Momen magnetik (vektor dalam arah unit vektor r dari kutub negatif ke kutub positif)

V = Volume (m3)

4. Suseptibilitas Magnet

Suseptibilitas magnet adalah tingkat kerentanan suatu benda atau bahan magnetik untuk termagnetisasi. Suseptibilitas magnet dipengaruhi oleh intensitas magnetisasi dan kuat medan magnet, yang ditunjukkan dalam persamaan berikut (Telford, 1990):

⃗⃗ (2.21)

Keterangan:

k = Suseptibilitas magnetik

Parameter k pada sistem SI dan CGS tidak berdimensi, namun berbeda nilainya sebesar 4 kali antara sistem SI dan CGS yang ditunjukkan pada pesamaan berikut (Telford, 1990):

(2.22)

Berdasarkan nilai suseptibilitas magnetiik atau respon suatu material terhadap medan magnetik luar, bahan magnetik dibagi menjadi 3 jenis yaitu:

a. Diamagnetik

Material diamagnetik memiliki nilai suseptibilitas rendah dan negatif (Tipler, 1996) Hal ini dikarenakan material diamagnetik memiliki arah magnetisasi berlawanan dengan arah medan magnetik luar (Gambar 2.8). Pada material diamagnetik,

(23)

suseptibilitasnya tidak dipengaruhi oleh temperatur. Contoh material diamagnetik yaitu mineral grafit, bismuth, gipsum, kuarsa, dan marmer (Utama dkk, 2016).

Gambar 2.8 Arah polarisasi diamagnetik (Rosid, 2008)

b. Paramagnetik

Material paramagnetik memiliki nilai suseptibilitas rendah dan positif (Tipler, 1996). Hal ini karena arah magnetisasi material paramagnetik searah dengan arah medan magnetik luar (Gambar 2.9). Nilai suseptibilitas material paramagnetik dapat dipengaruhi oleh temperatur (Utama dkk, 2016). Contoh material paramagnetik yaitu: dolomit, gneiss, syenit, dan pegmatit.

Gambar 2.9 Arah polarisasi paramagnetik (Rosid, 2008)

c. Ferromagnetik

Material ferromagnetik memiliki nilai suseptibilitas besar dan positif (Tipler, 1996). Ferromagnetik memiliki suseptibilitas yang dipengaruhi oleh temperatur (Utama dkk, 1996). Menurut Tipler (1996) material ferromagnetik dibagi menjadi:

 Ferromagnetik

Material magnetik yang mempunyai orientasi atom-atom sebagian berlawanan arah (Gambar 2.10). Contoh material ferromagnetik: magnetit, ilminit, dan titanomagnetit.

 Anti Ferromagnetik

Material magnetik yang mempunyai orientasi atom-atom berlawanan arah sehingga momen magnetik total mendekati nol. Contoh material anti ferromagnetik yaitu hematit.

(24)

Material magnetik yang mempunyai orientasi atom-atom dalam material searah. Contoh material ferrimagnetik, yaitu besi, nikel, dan kobalt.

Gambar 2.10 Arah polarisasi ferromagnetik (Rosid, 2008)

Adapun nilai suseptibilitas batuan dan mineral yang digunakan sebagai acuan dalam interpretasi jenis batuan model bawah permukaan, akan ditunjukkan oleh Tabel 2.4 berikut.

Tabel 2.6 Suseptibilitas magnetik material batuan (Telford, 1990) Jenis Suseptibilitas (x 10 3 ) (SI) Rentang Rata-rata Batuan Sedimen Dolomit 0-0.9 0.1 Batugamping 0-3 0.3 Batupasir 0-20 0.4 Lempung 0.01-15 0.6 Rata-rata 48 batuan sedimen 0 – 18 0.9 Batuan Metamorf Amphibolit - 0.7 Sekis 0.3-3 1.4 Filit - 1.5 Gneiss 0.1-2.5 - Kuarsa - 4 Serpentinit 3-17 - Batu sabak 0-35 6 Rata-rata 61 batuan metamorf 0 – 70 4.2 Batuan Beku Granit 0-50 2.5 Riolit 0.2-35 - Dolorit 1-35 17 Augite-syenite 30-40 - Olivin-diabas - 25 Diabas 1-160 55 Porpgyry 0.3-200 60

(25)

Jenis Suseptibilitas (x 10 3 ) (SI) Rentang Rata-rata Gabbro 1.0-90 70 Basalt 0.2-175 70 Diorit 0.6-120 85 Piroksen - 125 Peridotit 90-200 150 Andesit - 160 Rata-rata batuan beku asam 0 – 80 8 Rata-rata batuan beku basa 0.5 – 97 25 Mineral Grafit - 0.1 Kuarsa - -0.01 Batu garam - -0.01 Anhydrite, gipsum - -0.01 Kalsit (-0.001) – (-0.01) - Batubara - 0.02 Lempung - 0.2 Chalcopyrite - 0.4 Sphalerite - 0.7 Cassiterite - 0.9 Siderite 1 – 4 - Pyrite 0.05 – 5 1.5 Limonite - 2.5 Arsenopyrite - 3 Hematit 0.5 – 35 6.5 Chromite 3 – 110 7 Pyrrhotite 1 – 6000 1500 Magnetit 1200 – 19200 6000 5. Induksi Magnetik

Induksi medan magnet yang merupakan medan magnet total adalah medan magnetik yang terukur oleh magnetometer, hal ini ditunjukkan dalam persamaan berikut (Rusli,2007):

⃗ ( ⃗⃗ ) ⃗⃗ ⃗⃗ (2.23) Keterangan:

(26)

Dalam eksplorasi metode magnetik, satuan yang dipakai yaitu gamma (g) atau yang lebih dikenal sebagai nano Tesla (nT), dimana .

6. Komponen Medan Magnet Bumi

Medan magnet Bumi terdiri dari komponen yang memiliki arah dan intensitas dapat diukur. Arah utama komponen tersebut adalah Utara, Timur dan vertikal ke bawah (Gambar 2.11). Komponen tersebut akan dinyatakan dalam Bx, By, dan Bz dalam koordinat Kartesian (Nurdiyanto dkk, 2011).

Gambar 2.11 Komponen-komponen magnetik Bumi (Nurdiyanto, 2011) Komponen-komponen magnetik Bumi (Gambar 2.) yaitu:

a. Deklinasi (D)

Sudut antara utara magnetik dengan komponen horizontal pada arah Utara – Timur. Deklinasi dapat pula didefinisikan sebagai sudut antara utara magnetik dengan utara geografis. Nilai deklinasi dipengaruhi oleh posisi lintang dan bujurnya (Gambar 2.12).

(27)

Gambar 2.12 Peta deklinasi medan magnet Bumi (NOAA, 2015)

b. Iklinasi (I)

Sudut antara medan magnetik total dengan bidang horizontal menuju bidang vertikal ke bawah. Nilai inklinasi dipengaruhi oleh posisi lintang dan bujurnya (Gambar 2.13).

(28)

c. Intensitas horizontal (BH)

Medan magnet total pada bidang horizontal. d. Medan magnetik total (B)

Besar vektor medan magnetik total.

7. Bagian Medan Magnet Bumi a. Medan magnet utama Bumi

Medan magnetik utama memiliki sumber alami dari dalam Bumi, yaitu akibat magnetisasi permanen oleh keluar masuknya aliran arus listrik. Medan magnetik utama ini tidak konstan terhadap waktu dan mengalami perubahan relatif lamban terhadap perubahan internal Bumi. Perubahan ini berkaitan dengan perubahan arus konveksi, dan perubahan laju rotasi Bumi (Telford, 1990).

Gauss (1838) meneliti tentang sumber medan magnet utama Bumi. Menurutnya medan magnet yang terukur di permukaan Bumi sangat didominasi oleh sumber alami dalam Bumi. Sementara, sumber dari luar Bumi memiliki pengaruh medan magnet yang sangat kecil (Blakely, 1996).

b. Medan magnet luar

Medan magnet luar berkaitan dengan aliran arus listrik pada lapisan atmosfer luar yang terionisasi. Medan magnet luar sangat kecil pengaruh keberadaanya, medan magnet ini hanya 1% sisa medan magnetik utama Bumi. Medan magnet luar ini mengalami perubahan terhadap waktu yang relatif lebih cepat dibandingkan dengan medan magnet utama (Telford, 1990).

Beberapa sumbernya yaitu sebagai berikut (Wahyudi, 2000):

 Perubahan konduktivitas listrik lapisan atmosfer dengan siklus 11 tahun.

 Variasi harian dengan periode 24 jam yang berkaitan dengan pasang surut Matahari dengan rentang hingga 30 nT.

(29)

 Variasi harian dengan periode 25 jam yang berkaitan dengan pasang surut Bulan dengan rentang hingga 2 nT.

 Badai magnetik yang bersifat acak dengan rentang hingga 1000 nT.

 Variasi sekuler yang ditimbulkan oleh internal bumi. Perpindahan kutub-kutub magnet bumi di sekitar khatulistiwa sebanyak 6 km/tahun dengan arah pergerakan 0.1o ke arah Barat yang menyebabkan terjadinya variasi sekuler ini.

c. Anomali magnetik lokal

Anomali magnetik lokal atau yang disebut juga sebagai medan magnet anomali adalah medan magnet yang dihasilkan oleh batuan mengandung mineral magnetik di kerak Bumi akibat medan magnet remanent dan medan magnet induksi. Anomali magnetik lokal menyebar secara luas karena sumbernya dangkal. Dalam eksplorasi geofisika, anomali magnetik lokal inilah yang menjadi target (Telford, 1990).

8. Koreksi Data Magnetik

Data magnetik yang diperoleh dari pengukuran harus dilakukan koreksi terlebih dahulu untuk mendapatkan nilai anomali medan magnet. Secara umum koreksi yang dilakukan terhadap data magnetik yaitu (Telford, 1990):

a. Koreksi harian (diurnal)

Koreksi ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh medan magnet luar yang diakibatkan oleh perputaran arus listrik pada lapisan ionosfer (Telford, 1990). Variasi harian ini dikoreksi karena nilai medan magnet Bumi menyimpang akibat perbedaan waktu pengukuran dan radiasi matahari dalam satu hari (Singarimbun, 2013). Nilai variasi harian yang terekam akan ditambahkan terhadap data medan magnetik yang akan dikoreksi jika nilai variasi harian tersebut negatif, dan sebaliknya. Sehingga secara matematis ditunjukkan oleh persamaan berikut (Singarimbun, 2013):

(2.24)

Keterangan:

= Medan magnet anomali (terkoreksi harian) (mGal)

(30)

= Medan magnet luar (nilai variasi harian) (mGal)

b. Koreksi IGRF (International Geomagnetik Reference Field)

Koreksi ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh medan magnet utama Bumi yang tak lain berupa nilai IGRF, dimana nilai IGRF ini didapatkan dari hasil rata-rata pengukuran pada daerah seluas 1 juta km2 dalam setahun. Nilai IGRF ini akan diperbarui setiap 5 tahun. Nilai ini dapat dilihat pada peta nilai IGRF yang didapatkan dari www.ngdc.nooa.gov (Gambar 2.14).

Dengan demikian, persamaan matematis untuk mendapatkan medan magnet anomali yaitu sebagai berikut (Telford, 1990):

(2.25)

Keterangan:

= Medan magnet anomali (mGal)

= Medan magnet utama Bumi (nilai IGRF) (mGal)

(31)

9. Reduksi ke kutub (Reduced to Pole)

Reduksi ke kutub dapat mempermudah proses interpretasi data magnetik karena dengan dilakukan teknik ini kutub maagnetik dibuat seolah merupakan monopole sehingga benda anomalinya berada tepat di puncak respon anomali (gambar 2.15).

Gambar 2.15 Anomali magnet (kiri) dan anomali magnet hasil reduksi ke kutub (kanan) (Blakely, 1996)

Reduksi ke kutub dilakukan dengan mengubah inklinasi benda menjadi 90o dan deklinasi menjadi 0o. Proses reduksi ke kutub ini ditunjukkan oeh persamaan berikut (Blakely, 1996): [ ] [ ] (2.26) | | | | (2.27) Dengan | | dan ̂ ̂ (2.28) ̂ ̂ (2.29) ̂ ̂ (2.30) ̂ ̂ (2.31) ̂ ̂ (2.32) Keterangan:

[ ] = Transformasi Fourier anomali medan magnet yang diukur. = Transformasi Fourier reduksi ke kutub.

(32)

[ ] = Transformasi Fourier anomali medan magnet oleh magnetisasi sumbernya. = Fungsi kompleks magnetisasi.

= Fungsi kompleks medan magnet utama. = Bilangan gelombang (wave number).

= vektor dalam arah magnetisasi (x,y,z).

= vektor satuan dalam arah medan utama (x,y,z).

Persamaan (2.27) melakukan transformasi anomali medan mgnet total dengan arah medan magnet utama tertentu menjadi anomali dengan bentuk berbeda. Perubahan bentuk ini terjadi meskipun anomalinya masih disebabkan oleh distribusi magnetisasi yang sama, akibat terdapat perubahan arah medan magnet utama dan arah vektor magnetisasinya.

2.4 Teori Khusus Pengolahan Data dan Pemodelan Data 2.4.1 Analisis Spektral

Dengan dilakukan analisis spektral dapat diperoleh nilai estimasi kedalaman anomalinya serta nilai frekuensi cut-off. Pada analisis spektral digunakan teknik transformasi fourier untuk mengubah fungsi dalam domain spasial menjadi domain frekuensi (Blakely, 1996). Bentuk transformasi Fourier dari domain waktu ke domain frekuensi yaitu sebagai berikut:

(2.33)

Keterangan:

F(k) = Sinyal domain frekuensi

f(x) = Sinyal domain waktu atau spasial Dengan √

Spektral tersebut diturunkan dari potensial gayaberat atau magnetik yang teramati pada suatu bidang horizontal dengan transformasi Fourier sebagai berikut (Blakely, 1996) :

(33)

( ) (2.34)

dimana | | | | (2.35)

Persamaan (2.35) disubtitusikan ke (2.34) sehingga menjadi:

| |

| | (2.36)

Keterangan:

= Potensial gayaberat atau magnetik = Anomali rapat massa

= Jarak (m)

= Konstanta gayaberat atau magnetik = Kedalaman benda anomali (m)

Berdasarkan persamaan (2.36), transformasi Fourier pada bidang horizontal menjadi (Blakely, 1996):

( ) (

) ( )

| | (2.37)

Keterangan:

= Anomali gayaberat atau magnetik

Persamaan (2.37) dilogaritmakan untuk didapatkan persamaan garis lurus antara spektrum amplitudo dan bilangan gelombang yang menjelaskan hubungan antara amplitudo, bilangan gelombang, dan kedalaman sebagai berikut (Blakely, 1996):

| | (2.38)

Keterangan:

= Spektrum amplitudo

Jika distribusi rapat massa diasumsikan random, maka tidak terjadi korelasi pada nilai gayaberat maupun magnetiknya sehingga  bernilai 1. Transformasi Fouriernya pun menjadi (Blakely, 1996):

(34)

| | (2.39) Keterangan:

= Amplitudo = Konstanta

Persamaan (2.39) digunakan untuk menggambarkan grafik hasil transfrmasi Fourier antara spektrum amplitude dan bilangan gelombang untuk menentukan kedalaman anomali regional dan residual (Gambar 2.16).

Gambar 2.16 Grafik hubungan antara amplitudo dan bilangan gelombang pada analisis spektrum (Sarkowi, 2011)

2.4.2 Filter Butterworth Band Pass

Filter Butterworth diperkenalkan oleh S. Butterworth pada tahun 1930 yang terdiri dari low pass filter, band pass filter, high pass filter, dan band stop filter (Butterworth, 1930). Filter Buterworth memilki respon maksimal datar (flat) yaitu tidak memiliki ripple pada frekuensi yang diloloskan (passband) (Anju, 2012). Respon filter ini akan semakin non linier mendekati karakteristik idealnya (brick wall type) seiring pertambahan orde (N) (Gambar 2.17).

(35)

Gambar 2.17 Respon filter Butterworth terhadap orde (Babu, 2008)

Secara matematis, filter Butterworth didefinisikan oleh dua parameter yaitu frekuensi cut-off dan besar orde atau jumlah kutubnya. Persamaan respon magnitudo low pass Butterworth filter yaitu sebagai berikut (Babu, 2008):

√ (

)

(2.40)

Keterangan:

= Normalized gain atau respon magnitudo low pass = Frekuensi angular dari sinyal input

= Gain atau magnitudo maksimal pada pass band, dimana nilainya adalah 1 = frekuensi angular cut-off tinggi

= Orde filter

Sementara persamaan respon magnitudo high pass Butterworth filter yaitu sebagai berikut (Babu, 2008):

√ ( )

(36)

Keterangan:

= Normalized gain atau respon magnitudo high pass = frekuensi angular cut-off rendah

Sehingga persamaan respon magnitudo band pass Butterworth filter yang merupakan kombinasi dari high pass filter dan low pass filter yaitu sebagai berikut (Babu, 2008):

[ ( ) ][ ( ) ] (2.42) Keterangan:

= Normalized gain atau respon magnitude band pass

Dengan banwidth filter sebesar (Babu, 2008):

(2.43)

Dan frekuensi angular sentral yaitu (Babu, 2008):

√ (2.44)

Keterangan:

= Frekuensi angular sentral

Frekuensi angular sentral merupakan frekuensi angular pada maksimal gain atau magnitude terbesar band pass filter, sementara frekuensi angular cut-off tinggi merupakan frekuensi angular sebagai batas antara stop band dan pass band pada filer low pass. Serta frekuensi angular cut-off rendah merupakan frekuensi angular sebagai batas antara pass band dan stop band pada filer high pass.

2.4.3 Second Vertical Derivative (SVD)

Teknik ini merupakan high pass filter sehingga dapat memperlihatkan batas struktur dangkal yang terlihat dari kontras anomali residualnya. SVD ini didapatkan dengan dua kali menurunkan data gayaberat maupun magnetik terhadap arah vertikal.

(37)

Persamaan untuk mencari SVD didasarkan dari persamaan Laplace yang akan ditunjukkan oleh persamaan berikut (Elkins, 1951):

(2.45) (2.46) ( ) (2.47)

Pada penampang lintasan, nilai y akan dianggap konstan sehingga persamaan (2.47) akan berubah menjadi:

(2.48)

Ada beberapa nilai koefisien filter SVD, diantaranya menurut Henderson dan Zietz (1949), Elkins (1951), dan Rosenbach (1957) (Gambar 2.18).

(38)

2.4.4 Pemodelan ke Depan (Forward Modeling)

Pemodelan dilakukan untuk mengetahui struktur bawah permukaan berdasarkan data gayaberat dan magnetik yang telah dikoreksi, serta dilakukan pemisahan anomali regional dan residual. Pemodelan terdiri dari pemodelan ke depan (forward) dan inversi (inverse), namun yang digunakan pada penelitian ini adalah pemodelan ke depan. Pemodelan ke depan adalah pemodelan dengan model diketahui terlebih dahulu untuk menghitung data teoritis. Pemodelan ke depan dilakukan dengan proses trial dan error sampai data teoritis sesuai dengan data observasi (Grandis, 2008).

Dalam pemodelan ke depan, salah satu teknik yang digunakan untuk menghitung efek gayaberat benda dua dimensi yaitu dengan mengggunakan konsep yang dikemukakan oleh Talwani, dimana pendekatan dilakukan berbentuk poligon. ABCDEF merupakan sudut sebuah poligon yang berada pada bidang XZ, P adalah titik amat nilai gayaberat yang akan dihitung pada bidang XZ,  adalah sudut dari arah X positif ke Z positif (Gambar 2.19). Persamaan untuk menghitung komponen vertikal efek gayaberat benda dua dimensi pada titik P yaitu sebagai berikut (Talwani, 1959):

∮ (2.49)

Gambar 2.19 Elemen geometri dalam perhitungan efek gayaberat poligon bersisi n (Talwani,1959)

Gambar

Gambar 2.1 Subduksi  antara Lempeng Juan de Fuca dan Lempeng Amerika Utara  (Dickinson, 1989)
Gambar 2.2 Peta fisiografi Arizona (Rasmussen, 2012)
Gambar 2.3 Peta Geologi Arizona (Rasmussen, 2012)
Gambar 2.4 Peta geologi daerah penelitian (dimodifikasi dari Oland dan Hirschberg, 2001)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan proses Fenton dalam menurunkan kadar chemical oxygen demand (COD) dan kadar total suspended solid (TSS) dari limbah cair pabrik

Kisaran nilai oksigen terlarut pada umumnya di perairan Indonesia adalah antara 5 mg/l sampai dengan 7 mg/l (Kepmen LH No.. Tabel 11 menunjukkan spesifikasi data

Metode pengukuran berat debri yang terekstrusi ke periapeks mengikuti Myers dan Motgomery (1991). Gigi dimasukkan melewati penanda karet yang telah dilubangi

Penelitian terdiri atas beberapa tahap, yaitu: 1) Penanaman planlet pisang ketan umur 2 bulan kedalam medium MS yang sudah ditambahkan asam salisilat (AS) sesuai konsentrasi,

Kemudian secara spesifik yaitu sebuah kata, frase atau yang ditandai dengan tagar (#) yang dilepaskan dengan kecepatan lebih tinggi serta unggul dalam jumlah

proses pembelajaran, maka perlu upaya-upaya kreatif dalam penyusunan dan implementasi dan pengembangannya untuk menuju keberhasilan kurikulum, keberhasilan kurikulum adalah

Sekretariat Daerah merupakan unsur staf yang mempunyai tugas dan kewajiban penyusunan kebijakan dan mengoordinasikan Dinas Daerah dan yang menuntut pejabat/ pegawai

Hal ini menunjukkan bahwa manfaat pelatihan dan pengarahan pada saat kunjungan ke 1, mulai disadari oleh sebagian mitra UMKM akan pentingnya pengelolaan produksi yang