• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. fenomena yang menyertainya. Definisi secara umum yang lazim dipakai dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. fenomena yang menyertainya. Definisi secara umum yang lazim dipakai dalam"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kemiskinan

Kemiskinan adalah permasalahan yang sifatnya multidimensional. Pendekatan dengan satu bidang ilmu tertentu tidaklah mencukupi untuk mengurai makna dan fenomena yang menyertainya. Definisi secara umum yang lazim dipakai dalam perhitungan dan kajian-kajian akademi adalah pengertian kemiskinan yang diperkenalkan oleh Bank Dunia yaitu sebagai ketidakmampuan mencapai standar hidup minimum (Wordbank, 1990).

Kemiskinan dilihat dari beberapa segi : 1) Dari segi standar kebutuhan hidup yang layak/kebutuhan pokok, golongan ini mengatakan bahwa kemiskinan itu adalah tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar disebabkan karena adanya kekurangan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan untuk memenuhi standar hidup yang layak. Ini merupakan kemiskinan absolute yakni tidak terpenuhinya standar kebutuhan dasar. 2) Kemiskinan dari segi pendapatan, kemisikinan golongan ini dilukiskan sebagai kurangnya pandapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok. 3) Kemikinan dari segi kesempatan, kemiskinan golongan ini adalah karena ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan (meraih) basis kekuasaan sosial meliputi : Keterampilan yang memadai, Informasi dan pengetahuan-pengetahuan yang berguna bagi kemajuan hidup, jaringan-jaringan sosial, organisasi-organisasi sosial dan politik, sumber-sumber modal yang diperlukan bagi peningkatan

(2)

pengembangan kehidupan. 4) Dari segi kemiskinan sebagai suatu kondisi/keadaan yang bisa dicirikan dengan cara, a) Kelaparan atau kekurangan makan dan gizi. b) Pakaian dan perumahan yang tidak memadai. c) Tingkat pendidikan yang rendah. d) Sangat sedikitnya kesempatan untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang pokok.

Indikator – indikator kemiskinan untuk menuju solusi kemiskinan penting bagi kita untuk menelusuri secara detail indikator-indikator kemiskinan tersebut. Adapun indikator-indikator kemiskinan sebagaimana di kutip dari Badan Pusat Statistika, antara lain sebagi berikut : 1) Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (sandang, pangan dan papan). 2) Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi). 3) Tidak adanya jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga). 4) Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massa. 5) Rendahnya kualitas sumber daya manusia dan terbatasnya sumber daya alam. 6) Kurangnya apresiasi dalam kegiatan sosial masyarakat. 7) Tidak adanya akses dalam lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan. 8) Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental. 9) Ketidakmampuan dan ketidaktergantungan sosial (anak-anak terlantar, wanita korban kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marginal dan terpencil).

Friedman mendefinisikan kemiskinan dalam (Usman, 2010) sebagai ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuatan sosial. Basis kekuatan sosial tidak terbatas hanya pada (1) modal produktif atau aset (misalnya organisasi sosial politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama,

(3)

partai politik, sindikasi, koperasi dan lain-lain), tetapi juga pada (2) network atau jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang-barang dan lainlain; (3) pengetahuan dan ketrampilan yang memadai; dan (4) informasi yang berguna untuk memajukan kehidupan mereka.

Scott menerangkan dalam (Usman, 2010) bahwa kemiskinan setidaknya memiliki kondisi-kondisi yang pada umumnya didekati (1) dari segi pendapatan dalam bentuk uang ditambah dengan keuntungan-keuntungan non material yang diterima oleh seseorang sehingga secara luas kemiskinan meliputi kekurangan atau tidak memiliki pendidikan, keadaan kesehatan yang buruk atau kekurangan transportasi yang dibutuhkan oleh masyarakat; (2) kadang-kadang didefinisikan dari segi kepemilikan aset yakni tanah, rumah, peralatan, uang, emas, kredit dan lain-lain; (3) kemiskinan non-materi meliputi berbagai macam kebebasan, hak untuk memperoleh pekerjaan yang layak, hak atas rumah tangga dan kehidupan yang layak.

United Nations Development Program (UNDP) mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan untuk memperluas pilihan-pilihan dalam hidup, antara lain dengan memasukkan penilaian “tidak adanya partisipasi dalam pengambilan keputusan publik” sebagai salah satu indikator kemiskinan. Namun, pada penghujung abad 20 muncul pengertian terbaru mengenai kemiskinan yaitu bahwa kemiskinan juga mencakup dimensi kerentanan, ketidakberdayaan, dan ketidakmampuan untuk menyampaikan aspirasi (voicelessness). Jadi kemiskinan berwajah majemuk atau bersifat multi dimensi (Cahyat, 2014).

(4)

Jhingan (2010) mengemukakan tiga ciri utama negara berkembang yang menurutnya menjadi penyebab dan sekaligus akibat, yang saling terkait, dari kemiskinan yang terjadi. Ciri pertama, prasarana dan sarana pendidikan yang tidak memadai sehingga menyebabkan tingginya jumlah penduduk buta huruf dan tidak memiliki keterampilan atau keahlian. Ciri kedua, sarana kesehatan dan pola konsumsi buruk sehingga hanya sebagian kecil penduduk yang bisa menjadi tenaga kerja produktif. Akibatnya, laju pertumbuhan ekonomi menjadi terhambat. Apabila kemiskinan dikaitkan dengan ukuran penentuannya seringkali dibedakan dalam dua definisi yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif.

Kemiskinan secara absolut ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan pokok minimum seperti pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk hidup dan bekerja. Kebutuhan pokok minimum diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam bentuk uang. Nilai kebutuhan minimum kebutuhan dasar tersebut dikenal dengan istilah garis

kemiskinan. Penduduk yang pendapatannya dibawah garis kemiskinan digolongkan sebagai penduduk miskin. Garis kemiskinan absolut (tidak berubah) dalam hal standar hidup, garis kemiskinan absolut mampu membandingkan kemiskinan secara umum. Sebagai contoh garis kemiskinan Amerika Serikat tidak berubah dari tahun ke tahun, sehingga angka kemiskinan sekarang mungkin terbanding dengan angka kemiskinan satu dekade yang lalu, dengan catatan definisi kemiskinan tidak berubah.

Kemiskinan relatif merupakan kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat, sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan. Standar minimum disusun

berdasarkan kondisi hidup suatu negara pada waktu tertentu dan perhatian terfokus pada golongan penduduk “termiskin”, misalnya 20% atau 40% lapisan terendah dari total penduduk yang telah diurutkan menurut pendapatan/pengeluaran. Kelompok ini merupakan penduduk relatif miskin. Dengan demikian, ukuran kemiskinan relatif sangat tergantung pada distribusi pendapatan/pengeluaran penduduk sehingga dengan menggunakan definisi ini berarti “orang miskin selalu hadir bersama kita”.

Faktor Penyebab Kemiskinan ternyata kemiskinan itu tidak terjadi begitu saja melainkan memiliki faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kemiskinan. Adapun faktor-faktor penyebab terjadinya kemiskinan dapat dikategorikan dalam beberapa hal yaitu : merosotnya standar perkembangan pendapatan per-kapita secara global. Standar pendapatan per-kapita bergerak seimbang dengan produktivitas yang ada

(5)

pada suatu sistem. Jikalau produktivitas berangsur meningkat maka pendapatan per-kapita pun akan naik. Begitu pula sebaliknya, seandainya produktivitas menyusut maka pendapatan per-kapita akan turun beriringan. Berikut beberapa faktor yang mempengaruhi kemerosotan standar perkembangan pendapatan per-kapita: naiknya standar perkembangan suatu daerah, politik ekonomi yang tidak sehat, faktor-faktor luar negeri. Menurunnya etos kerja dan produktivitas masyarakat. Faktor ini sangat penting dalam pengaruhnya terhadap kemiskinan.

Penanggulangan untuk mengatasi masalah kemiskinan, pemerintah memiliki peran yang besar. Namun nyatanya program yang dijalankan oleh pemerintah belum mampu menyentuh pokok yang menimbulkan masalah kemiskinan. Beberapa program pemerintah yang sudah dijalankan untuk mengatasi masalah kemiskinan diantaranya adalah program bantuan langsung tunai serta bantuan dibidang kesehatan yaitu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Namun kedua hal tersebut tidak memiliki dampak signifikan terhadap pengurangan angka kemiskinan, bahkan beberapa pakar kebijakan Negara menganggap bahwa hal tersebut sudah seharusnya dilakukan pemerintah. Untuk itu pemerintah perlu membuat ketegasan dan kebijakan dalam rangka menyelesaikan masalah kemiskinan ini. Diantaranya yaitu : Menciptakan lapangan kerja yang mampu menyerap banyak tenaga kerja sehingga mengurangi pengangguran, karena pengangguran adalah salah satu sumber penyebab kemiskinan terbesar di Indonesia.

(6)

Secara umum kemiskinan dijelaskan oleh indikator sebagai berikut (i) kekurangan kebutuhan dasar: ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar yaitu makanan dan gizi, pakaian, pendidikan dan kesehatan; (ii) ketidakproduktifan:

ketidakmampuan melakukan upaya-upaya produktif; (iii) ketertutupan akses terhadap sumberdaya sosial dan ekonomi; (iv) keterpurukan: ketidakmampuan menentukan nasibnya sendiri, diperlakukan secara tidak adil, didera ketakutan dan keraguan, dan berlaku apatis serta pesimistik; dan (v) ketergantungan: tidak mampu melepaskan diri dari kemiskinan dan mentalitas kultural serta rendah dalam apresiasi diri.

Indikator dan kriteria keluarga sejahtera yang ditetapkan adalah sebagai berikut :

a) Keluarga Pra Sejahtera

Keluarga pra sejahtera adalah keluarga yang belum dapat memenuhi salah satu atau lebih dari 5 kebutuhan dasarnya (basic needs) Sebagai keluarga Sejahtera I, seperti kebutuhan akan pengajaran agama, pangan, papan, sandang dan kesehatan. b) Keluarga Sejahtera Tahap I

Keluarga sejahtera tahap I adalah keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal yaitu:

- Melaksanakan ibadah menurut agama oleh masing-masing anggota keluarga. - Pada umumnya seluruh anggota keluarga makan 2 (dua) kali sehari atau lebih. - Seluruh anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah,

bekerja/sekolah dan bepergian.

- Bagian yang terluas dari lantai rumah bukan dari tanah.

- Bila anak sakit atau pasangan usia subur ingin ber-KB dibawa ke sarana/petugas kesehatan.

c) Keluarga Sejahtera tahap II

Keluarga sejahtera tahap II yaitu keluarga yang dapat memenuhi kriteria keluarga sejahtera I, harus pula memenuhi syarat sosial psikologis yaitu : - Anggota Keluarga melaksanakan ibadah secara teratur.

- Paling kurang, sekali seminggu keluarga menyediakan daging/ikan/telur sebagai lauk pauk.

- Seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru pertahun.

- Luas lantai rumah paling kurang delapan meter persegi tiap penghuni rumah. - Seluruh anggota keluarga dalam 3 bulan terakhir dalam keadaan sehat.

(7)

- Paling kurang 1 (satu) orang anggota keluarga yang berumur 15 tahun keatas mempunyai penghasilan tetap.

- Seluruh anggota keluarga yang berumur 10-60 tahun bisa membaca tulisan latin. - Seluruh anak berusia 5 - 15 tahun bersekolah pada saat ini.

- Bila anak hidup 2 atau lebih, keluarga yang masih pasangan usia subur memakai kontrasepsi (kecuali sedang hamil)

d) Keluarga Sejahtera Tahap III

Keluarga sejahtera tahap III yaitu keluarga yang memenuhi syarat keluarga sejahtera I dan keluarga sejahtera tahap II, syarat pengembangan keluarga yaitu : - Mempunyai upaya untuk meningkatkan pengetahuan agama.

- Sebagian dari penghasilan keluarga dapat disisihkan untuk tabungan keluarga untuk tabungan keluarga.

- Biasanya makan bersama paling kurang sekali sehari dan kesempatan itu dimanfaatkan untuk berkomunikasi antar anggota keluarga.

- Ikut serta dalam kegiatan masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya. - Mengadakan rekreasi bersama diluar rumah paling kurang 1 kali/6 bulan. - Dapat memperoleh berita dari surat kabar/TV/majalah.

- Anggota keluarga mampu menggunakan sarana transportasi yang sesuai dengan kondisi daerah setempat.

e) Keluarga Sejahtera Tahap III Plus

Keluarga sejahtera tahap III plus adalah keluarga yang dapat memenuhi kriteria keluarga sejahtera tahap I sampai III. kriteria pengembangan keluarganya yaitu :

- Secara teratur atau pada waktu tertentu dengan sukarela memberikan sumbangan bagi kegiatan sosial masyarakat dalam bentuk materiil.

- Kepala Keluarga atau anggota keluarga aktif sebagai pengurus perkumpulan/ yayasan/institusi masyarakat.

f) Keluarga Miskin

Keluarga miskin adalah Keluarga Pra Sejahtera alasan ekonomi dan KS I karena alasan ekonomi tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator yang meliputi :

a. Paling kurang sekali seminggu keluarga makan daging/ikan/telor.

b. Setahun terakhir seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru.

c. Luas lantai rumah paling kurang 8 meter persegi untuk tiap penghuni. g) Keluarga Miskin Sekali

(8)

Keluarga miskin sekali adalah keluarga Pra Sejahtera alasan ekonomi dan KS I karena alasan ekonomi tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator yang meliputi :

a. Pada umumnya seluruh anggota keluarga makan 2 kali sehari atau lebih.

b. Anggota keluarga memiliki pakaian berbeda untuk dirumah, bekerja/sekolah dan bepergian.

c. Bagian lantai yang terluas bukan dari tanah

Indikator-indikator kemiskinan sebagaimana di kutip dari Badan Pusat Statistika, antara lain sebagi berikut : 1) Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (sandang, pangan dan papan). 2) Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi). 3) Tidak adanya jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga). 4) Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massa. 5) Rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia dan terbatasnya Sumber Daya Alam. 6) Kurangnya apresiasi dalam kegiatan sosial masyarakat. 7) Tidak adanya akses dalam lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan. 8) Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental. 9) Ketidakmampuan dan ketidaktergantungan sosial (anak-anak terlantar, wanita korban kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marginal dan terpencil).

United Nations Development Program (UNDP) mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan untuk memperluas pilihan-pilihan dalam hidup, antara lain dengan memasukkan penilaian “tidak adanya partisipasi dalam pengambilan keputusan publik” sebagai salah satu indikator kemiskinan. Namun, pada penghujung

(9)

abad 20 muncul pengertian terbaru mengenai kemiskinan yaitu bahwa kemiskinan juga mencakup dimensi kerentanan, ketidakberdayaan, dan ketidakmampuan untuk menyampaikan aspirasi (voicelessness). Jadi kemiskinan berwajah majemuk atau bersifat multi dimensi (Cahyat, 2014).

2.2. Status Gizi

Menurut Soekirman (2000) status gizi berarti keadaan kesehatan fisik seseorang atau sekelompok orang yang ditentukan dengan salah satu atau dua kombinasi dari ukuran–ukuran gizi tertentu. Suhardjo (1986) mengatakan bahwa status gizi adalah keadaan tubuh yang disebabkan oleh konsumsi penyerapan dan penggunaan makanan.

Menurut Gibson (1989) dalam Turnif (2010) status gizi adalah tanda-tanda atau tampilan yang diakibatkan oleh keseimbangan antara pemasukan zat gizi dan pengeluaran oleh tubuh yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup. Status gizi masyarakat yang utama digambarkan oleh status gizi anak balita dan wanita hamil. Oleh karena itu, sasaran utama dari program perbaikan gizi makro berdasarkan siklus kehidupan adalah dimulai dari wanita usia subur, ibu hamil, bayi baru lahir, balita dan anak sekolah. Menurut berbagai pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa, status gizi merupakan keadaan atau tingkat kesehatan seseorang pada waktu tertentu akibat pangan pada waktu sebelumnya.

(10)

Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi), dan penggunaan (utilization) zat gizi makanan. Status gizi seseorang tersebut dapat diukur dan diasses (dinilai). Dengan menilai status gizi seseorang atau sekelompok orang, maka dapat diketahui apakah seseorang atau sekelompok orang tersebut status gizinya tergolong normal ataukah tidak normal.

Antropometri adalah pengukuran bagian-bagian tubuh. Perubahan dalam dimensi-dimensi tubuh merefleksikan keadaan kesehatan dan kesejahteraan seseorang atau penduduk tertentu. Antropometri digunakan untuk menilai dan memprediksi status gizi, performan, kesehatan dan kelangsungan hidup seseorang dan

merefleksikan keadaan sosial ekonomi atau kesejahreraan penduduk.

Indeks antropometri dipakai untuk menilai status gizi. Indeks yang biasa dipakai adalah BB/U, PB/U dan BB/PB. Penilaian BB/U dibagi ke dalam batasan gizi buruk, gizi kurang, gizi baik dan gizi lebih. Penilaian dengan PB/U dibagi kedalam batasan sangat pendek, pendek, normal dan tinggi sedangkan penilaian dengan BB/PB dibagi menjadi sangat kurus, kurus, normal dan gemuk.

Batasan untuk penilaian menggunakan Z-score yang dapat dilihat dari tabel berikut :

Tabel 2.1. Penilaian Status Gizi Berdasarkan Indeks BB/U,PB/U, BB/PB Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor : 1995/MENKES/SK/XII/2010

No Indeks yang

Dipakai Batas Pengelompokan Status Gizi 1 1 BB/U < -3 SD - 3 s/d <-2 SD - 2 s/d 2 SD > 2 SD Sangat Kurang Kurang Normal Lebih

(11)

Tabel 2.1. (Lanjutan)

No Indeks yang

Dipakai Batas Pengelompokan Status Gizi

2 TB/U < -3 sd - 3 s/d <-2 SD - 2 s/d 2 SD > 2 SD Sangat Pendek Pendek Normal Tinggi 3 BB/TB < -3 SD - 3 s/d <-2 SD - 2 s/d 2 SD > 2 SD Sangat Kurus Kurus Normal Gemuk Sumber : Kepmenkes 2010

1) Status gizi baik

Status gizi baik yaitu keadaan dimana asupan zat gizi sesuai penggunaan untuk aktivitas tubuh. Refleksi yang diberikan adalah keselarasan antara pertumbuhan berat badan dengan umurnya. Adapun ciri-ciri anak berstatus gizi baik dan sehat menurut Departemen Kesehatan RI, dalam Soegeng Santoso dan Lies (2003) adalah sebagai berikut :

a. Tumbuh dengan normal

b. Tingkat perkembangannya sesuai dengan tingkat umurnya c. Mata bersih dan bersinar

d. Bibir dan lidah tampak segar e. Nafsu makan baik

(12)

f. Kulit dan rambut tampak bersih dan tidak kering g. Mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan

2) Status Gizi lebih

Gizi lebih adalah suatu keadaan karena kelebihan konsumsi pangan. Keadaan ini berkaitan dengan kelebihan energi dalam hidangan yang dikonsumsi relatif terhadap kebutuhan penggunaannya atau energy expenditure. Ada tiga zat penghasil energi utama yaitu karbohidrat, lemak dan protein. Kelebihan energi dalam tubuh, diubah menjadi lemak dan ditimbun dalam tempat-tempat tertentu. Jaringan lemak ini merupakan jaringan yang relatif inaktif, tidak langsung berperan serta dalam kegiatan kerja tubuh. Orang yang kelebihan berat badan, biasanya karena jaringan lemak yang tidak aktif tersebut. Kondisi seperti ini akan meningkatkan beban kerja dari organ-organ tubuh, terutama kerja jantung (Djaeni, 2000).

3) Kurang Gizi (Status Gizi Kurang dan Status Gizi Buruk)

Status Gizi Kurang atau Gizi Buruk terjadi karena tubuh kekurangan satu atau beberapa zat gizi yang diperlukan. Beberapa hal yang menyebabkan tubuh kekurangan zat gizi adalah karena makanan yang dikonsumsi kurang atau mutunya rendah atau bahkan keduanya. Selain itu zat gizi yang dikonsumsi gagal untuk diserap dan dipergunakan oleh tubuh. Kurang gizi banyak menimpa anak-anak khususnya anak-anak berusia di bawah 5 tahun, karena merupakan golongan yang rentan. Jika kebutuhan zat-zat gizi tidak tercukupi maka anak akan mudah terserang penyakit. 2.2.2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Status Gizi

(13)

Status gizi dipengaruhi oleh konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi di dalam tubuh. Bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi dan digunakan secara efisien akan tercapai status gizi optimal yang memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja, dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin (Altmatsier, 2011).

Selain konsumsi makanan, tingkat pengetahuan ibu juga memengaruhi status gizi bayi, kebiasaan yang salah atau kurang tepat dalam pemberian makan pada bayi. Kesehatan dapat diartikan sebagai kekeliruan dalam menyajikan makanan, baik dari segi jenis, jumlah dan waktu pemberian makan. Dalam keadaan demikian diperlukan pengetahuan yang cukup tentang makanan bergizi yang dimiliki ibu, agar anak dapat terjamin kebutuhan gizinya (Burhanuddin, 2010).

Pertumbuhan dan perkembangan bayi dan balita sebagian besar ditentukan oleh jumlah ASI yang diperoleh, termasuk energi dan zat gizi lain nya yang terkandung di dalam ASI tersebut. ASI tanpa bahan makanan lain dapat mencukupi kebutuhan pertumbuhan sampai usia bayi sekitar 6 (enam) bulan. Setelah usia ini bayi dapat diberi makanan pendamping ASI yang dapat disesuaikan dengan tingkatan umur bayi.

Peranan determinan pola asuhan terhadap pertumbuhan bayi cukup besar, dimana pola asuhan yang baik dapat meningkatkan tingkat kecukupan gizi dan kesehatan bayi. Determinan pola asuhan dan kesehatan langsung berpengaruh terhadap pertumbuhan bayi. Berikut bagan penyebab kurang gizi yang dipengaruhi oleh pola asuh adalah sebagai berikut :

(14)

Manifestasi Penyebab Langsung Penyebab Tidak Langsung Pokok masalah di masyarakat Akar Dasar

Kecukupan Makanan Infeksi

Ketahanan makanan keluarga

Asuhan bagi ibu dan anak

Pendidikan Keluarga

Keadaan dan kontrol sumber daya keluarga. Manusia,

ekonomi dan keluarga

Struktur politik dan Keluarga Struktur Ekonomi

Potensi sumber daya

Bagan Model Interaksi Tumbuh Kembang Anak Tumbuh Kembang Anak

Gambar 2.1. Bagan Faktor Penyebab Kurang Gizi (UNICEF, 1998) Pemanfaatan

pelayanan kesehatan dan sanitasi lingkungan

(15)

2.3. Pola Asuh

Pola asuh orangtua merupakan segala bentuk dan proses interaksi yang terjadi antara orangtua dan anak yang merupakan pola pengasuhan tertentu dalam keluarga yang akan memberi pengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak (Baumrind (1999) dalam Irmawati, (2011). Menurut Darling (2011), pola asuh adalah aktivitas kompleks yang melibatkan banyak perilaku spesifik yang bekerja secara individual dan bersama-sama untuk mempengaruhi anak.

Pengasuhan erat kaitannya dengan kemampuan suatu keluarga atau rumah tangga dan komunitas dalam hal memberikan perhatian, waktu dan dukungan untuk memenuhi kebutuhan fisik, mental, dan sosial anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan serta bagi anggota keluarga lainnya (Engel, 1997). Orangtua dalam pengasuhan memiliki beberapa definisi yaitu ibu, ayah, atau seseorang yang akan membimbing dalam kehidupan baru, seorang penjaga, maupun seorang pelindung. Orangtua adalah seseorang yang mendampingi dan membimbing semua tahapan pertumbuhan anak, yang merawat, melindungi, mengarahkan kehidupan baru anak dalam setiap tahapan perkembangannya (Brooks, 2001).

Brooks (2001) juga mendefinisikan pengasuhan sebagai sebuah proses yang merujuk pada serangkaian aksi dan interaksi yang dilakukan orangtua untuk mendukung perkembangan anak. Proses pengasuhan bukanlah sebuah hubungan satu arah yang mana orangtua mempengaruhi anak namun lebih dari itu, pengasuhan merupakan proses interaksi antara orangtua dan anak yang dipengaruhi oleh budaya dan kelembagaan sosial dimana anak dibesarkan. Pengasuhan merupakan proses yang

(16)

panjang, maka proses pengasuhan akan mencakup 1) interaksi antara anak, orang tua, dan masyarakat lingkungannya, 2) penyesuaian kebutuhan hidup dan temperamen anak dengan orang tuanya, 3) pemenuhan tanggung jawab untuk membesarkan dan memenuhi kebutuhan anak, 4) proses mendukung dan menolak keberadaan anak dan orang tua, serta 5) proses mengurangi resiko dan perlindungan tehadap individu dan lingkungan sosialnya (Berns, 1997).

Hoghughi (2011) menyebutkan bahwa pengasuhan mencakup beragam aktifitas yang bertujuan agar anak dapat berkembang secara optimal dan dapat bertahan hidup dengan baik. Prinsip pengasuhan menurut Hoghughi tidak menekankan pada siapa (pelaku) namun lebih menekankan pada aktifitas dari perkembangan dan pendidikan anak. Oleh karenanya pengasuhan meliputi pengasuhan fisik, pengasuhan emosi dan pengasuhan sosial.

Pengasuhan anak adalah aktivitas yang berhubungan dengan pemenuhan pangan, pemeliharaan fisik dan perhatian terhadap anak (Haviland,1988 ; Bahar, 2002). Berdasarkan pengertian tersebut "pengasuhan" pada dasarnya adalah suatu praktik yang dijalankan oleh orang lebih dewasa terhadap anak yang dihubungkan dengan pemenuhan kebutuhan pangan/gizi, perawatan dasar (termasuk imunisasi, pengobatan bila sakit), rumah atau tempat yang layak, higiene perorangan, sanitasi lingkungan, sandang, kesegaran jasmani (Soetjiningsih, 1995).

Secara spesifik Latham (2012) mendefinisikan pola pengasuhan anak balita sebagai perilaku pengasuhan yang meliputi pemberian ASI, diagnosa penyakit, pemberian makanan tambahan, stimulasi bahasa dan kemampuan kognitif lainnya serta pemberian dukungan emosional pada anak.

(17)

Pola asuh orangtua merupakan segala bentuk dan proses interaksi yang terjadi antara orangtua dan anak yang merupakan pola pengasuhan tertentu dalam keluarga yang akan memberi pengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak (Baumrind, (2000) dalam Irmawati, 2011). Menurut Darling (1999), pola asuh adalah aktivitas kompleks yang melibatkan banyak perilaku spesifik yang bekerja secara individual dan bersama-sama untuk mempengaruhi anak.

Hubungan baik yang tercipta antara anak dan orangtua akan menimbulkan perasaan aman dan kebahagiaan dalam diri anak. Sebaliknya hubungan yang buruk akan mendatangkan akibat yang sangat buruk pula, perasaan aman dan kebahagiaan yang seharusnya dirasakan anak tidak lagi dapat terbentuk, anak akan mengalami trauma emosional yang kemudian dapat ditampilkan anak dalam berbagai bentuk tingkah laku seperti menarik diri dari lingkungan, bersedih hati, pemurung, dan sebagainya. Pola asuh orangtua merupakan pola interaksi antara anak dengan orangtua bukan hanya pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan, minum, dan lain-lain) dan kebutuhan psikologis (seperti rasa aman, kasih sayang, dan lain-lain-lain), tetapi juga mengajarkan norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungan (Hurlock, 1994).

Pola asuh adalah suatu cara orangtua menjalankan peranan yang penting bagi perkembangan anak selanjutnya, dengan memberi bimbingan dan pengalaman serta memberikan pengawasan agar anak dapat menghadapi kehidupan yang akan datang dengan sukses, sebab di dalam keluarga yang merupakan kelompok sosial dalam kehidupan individu, anak akan belajar dan menyatakan dirinya sebagai manusia sosial dalam hubungan dan interaksi dengan kelompok (Meuler, 1987 dalam Iswantini, 2012).

2.3.1. Peranan Ibu dalam Pola Asuh

Peranan pengasuhan pertama kali diindentifikasi dalam Joint Nutrition Support Program in Iringa, Tanzania di berbagai negara. Peranan determinan pola asuhan terhadap pertumbuhan bayi cukup besar, dimana pola asuhan yang baik dapat

(18)

meningkatkan tingkat kecukupan gizi dan kesehatan bayi. Determinan pola asuhan dan kesehatan berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan bayi (Engel, 1996).

Peranan ibu dalam pola pengasuhan anak berupa sikap dan praktik pengasuhan ibu dalam kedekatannya dengan anak, merawat, cara memberi makan serta kasih sayang. Pengasuhan anak adalah suatu fungsi penting pada berbagai kelompok sosial dan kelompok budaya. Perananan ibu dalam pola asuh juga meliputi pemenuhan kebutuhan dasar anak seperti pemberian makanan, mandi, menyediakan dan memakaikan pakaian buat anak. Termasuk di dalamnya adalah monitoring kesehatan si anak, menyediakan obat, dan merawat serta membawanya ke petugas kesehatan profesional. Tambahan lain adalah diterimanya fungsi hiburan, pendidikan, sosialisasi, penerimaan informasi pandangan serta nilai dari pengasuh mereka (O'Connel, 1994 ; Bahar, 2002).

Sesuai dengan yang diajukan oleh (Mosley 1990 ; Chen 1988) dalam pengasuhan anak meliputi aktivitas perawatan terkait gizi/penyiapan makanan dan menyusui, pencegahan dan pengobatan penyakit, memandikan anak, membersihkan pakaian anak, membersihkan rumah. Pola asuh terhadap anak merupakan hal yang sangat penting karena akan memengaruhi proses tumbuh kembang balita. Pola pengasuhan anak berkaitan erat dengan keadaan ibu terutama kesehatan, pendidikan, pengetahuan, sikap dan praktik tentang pengasuhan anak (Suharsih, 2001).

International Conference on Nutrition (1992) mendefinisikan pengasuhan sebagai suatu kesepakatan dalam rumah tangga dalam hal pengalokasian waktu,

(19)

perhatian dan dukungan untuk memenuhi kebutuhan fisik, mental dan sosial dalam tumbuh kembang anak dan anggota keluarga lainnya (Engel et al, 1996).

2.3.2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Pola Asuh Gizi

Menurut Zeitlin (1990) keadaan gizi meliputi proses penyediaan dan pengolahan makanan yang bergizi untuk pertumbuhan, perkembangan, pemeliharaan dan aktivitas. Masalah gizi yang merupakan masalah kesehatan masyarakat, dipengaruhi beberapa faktor antara lain : penyakit infeksi, konsumsi makanan, tingkat pendapatan keluarga, jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan ibu, tingkat pengetahuan ibu tentang gizi, pelayanan kesehatan, budaya pantang makanan, dan pola asuh gizi. Selain itu status gizi juga dapat dipengaruhi oleh praktik pola asuh gizi yang dilakukan dalam rumah tangga yang diwujudkan dengan tersedianya pangan dan perawatan kesehatan serta sumber lainnya untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan anak.

Faktor-faktor yang memengaruhi pola asuh gizi menurut Farida, (2004) antara lain:

1) Tingkat pendapatan keluarga

Keadaan ekonomi keluarga relatif lebih mudah diukur dan berpengaruh besar pada konsumsi pangan, dimana konsumsi pangan pada balita ditentukan dari pola asuh gizi, terutama pada keluarga golongan miskin. Hal ini disebabkan karena penduduk golongan miskin menggunakan sebagian besar pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan makanan.

(20)

Perubahan pendapatan dapat memengaruhi perubahan pola asuh gizi yang secara langsung memengaruhi konsumsi pangan pada balita. Meningkatnya pendapatan berarti memperbesar peluang untuk membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik. Sebaliknya penurunan pendapatan akan menyebabkan penurunan dalam hal kualitas dan penurunan kuantitas pangan yang dibeli (Farida B, 2004).

2) Tingkat pendidikan ibu

Menurut Hadikusumo, (2000) yang dikutip dalam Hardianto (2011) tingkat pendidikan adalah jenjang aktifitas dan usaha manusia untuk meningkatkan kepribadiannya dengan jalan membina potensi-potensi pribadinya, yaitu rohani (pikir, rasa, karsa, cipta dan budi nurani) dan jasmani (panca indera dan keterampilan) melalui pendidikan formal. Adapun tingkat pendidikan di negara kita meliputi pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.

Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang penting dalam tumbuh kembang anak, karena dengan pendidikan yang baik, maka orang tua dapat menerima segala informasi dari luar terutama tentang cara pengasuhan anak yang baik/cara mempraktikkan pola asuh dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana cara menjaga kesehatan anak, pendidikannya dan sebagainya. Semakin tinggi pendidikan ibu semakin baik praktik pola asuh dan berdampak baik terhadap status gizi anak (Soetjiningsih, 2005).

Sesuai dengan penelitian Tarigan, (2003) yang dikutip dari Turnif (2010) menyatakan bahwa kemungkinan terjadinya gizi kurang pada anak dengan ibu yang

(21)

pendidikannya rendah 1,5 kali lebih tinggi dibandingkan anak dengan ibu yang mempunyai pendidikan tinggi.

3) Tingkat pengetahuan ibu

Menurut Suharjo (2006) suatu hal yang meyakinkan tentang pentingnya pengetahuan gizi didasarkan pada tiga kenyataan :

1. Status gizi yang cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan

2. Setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan yang optimal, pemeliharaan dan energi

3. Ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat belajar menggunakan pangan dengan baik bagi kesejahteraan gizi. Kurangnya pengetahuan dan salah konsepsi tentang kebutuhan pangan dan nilai pangan adalah umum disetiap negara di dunia. Kemiskinan dan kekurangan persediaan pangan yang bergizi merupakan faktor penting dalam masalah kurang gizi. Lain sebab yang penting dari gangguan gizi adalah kurangnya pengetahuan tentang gizi atau kemampuan untuk menerapkan informasi, dengan pengetahuan yang kurang dapat menentukan pola asuh gizi yang dilaksanakan sehari-hari yang akhirnya berdampak pada status gizi anak.

Berdasarkan penelitian Turnif (2010) di Kecamatan Sidikalang menyebutkan bahwa dari 64 ibu yang mempunyai tingkat pengetahuan baik terdapat 92,05%

(22)

memiliki anak dengan status gizi baik. Hal ini menggambarkan bahwa semakin tinggi tingkat pengetahuan ibu status gizi anak juga semakin baik.

4) Jumlah anggota keluarga

Besar kecilnya jumlah anggota keluarga akan berpengaruh terhadap pembagian pangan pada masing-masing anggota keluarga. Pada keluarga yang memiliki balita, dengan jumlah anggota keluarga yang besar bila tidak didukung dengan seimbangnya persediaan makanan di rumah maka akan berpengaruh terhadap pola asuh yang secara langsung memengaruhi konsumsi pangan yang diperoleh masing-masing anggota keluarga terutama balita yang membutuhkan makanan pendamping ASI.

Program Keluarga Berencana telah mencanangkan bahwa jumlah anggota keluarga yang paling ideal adalah 4 orang. Program pemerintah ini bertujuan agar anggota keluarga dengan jumlah sekian diharapkan dapat lebih memudahkan keluarga tersebut mencukupi semua kebutuhan anggota keluarganya, tanpa menanggung beban kebutuhan anggota keluarganya yang banyak. Namun program pemerintah ini belum 100% berhasil. Terbukti dengan masih banyaknya keluarga yang memiliki jumlah anggota keluarga lebih dari empat. Hal ini lebih banyak dilihat pada keluarga yang tinggal di pedesaan.

Menurut Sukarni (1994) penelitian di suatu negara Colombia menunjukan bahwa dengan kenaikan jumlah anak, jumlah makanan per orang akan menurun

(23)

sehingga terjadi pertambahan kasus kurang gizi pada anak-anak dibawah lima tahun. Jika jarak kelahiran pendek, akan memengaruhi status kesehatan dan gizi baik bagi bayi yang baru lahir ataupun pada anak sapihan, sehingga angka kematian anak kurang dari dua tahun akan meningkat. Ada pengaruh status gizi anak dan masyarakat pada jumlah keluarga. Dengan adanya perbaikan status gizi anak dan ibu akan meningkatkan tekanan penduduk sehingga dengan demikian program ditujukan pada pembatasan pertumbuhan penduduk.

5) Budaya pantang makanan

Pola asuh dan pola konsumsi makanan merupakan hasil budaya masyarakat yang bersangkutan, dan mengalami perubahan terus-menerus menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan dan tingkat kemajuan budaya masyarakat tersebut. Pola asuh ini diajarkan dan bukan diturunkan secara herediter dari nenek moyang sampai generasi sekarang dan generasi-generasi yang akan datang. Pendapat masyarakat tentang konsepsi kesehatan dan gizi sangat berpengaruh terhadap pemilihan bahan makanan. Salah satu pengaruh yang sangat dominan terhadap pola konsumsi adalah pantangan atau tabu.

Terdapat jenis-jenis makanan yang tidak boleh dimakan oleh kelompok umur tertentu atau oleh perempuan remaja atau perempuan hamil dan menyusui. Larangan ini sering tidak jelas dasarnya, tetapi mempunyai kesan larangan dari penguasa supernatural, yang akan memberi hukuman bila larangan tersebut dilanggar. Namun demikian, orang sering tidak dapat mengatakan dengan jelas dan pasti, siapa yang melarang tersebut dan apa alasannya (Sediaoetomo, 1999). Sesuai dengan hasil

(24)

penelitian Harnany (2010) menyebutkan bahwa sebanyak 60,8% ibu hamil di kota Pekalongan masih melaksanakan praktek tabu makanan yang merupakan sumber protein hewani seperti cumi, udang, ikan sembilan, lele (semua ikan yang berpatil) dan juga buah serta sayuran seperti nenas, durian, jantung pisang. Adanya budaya pantang makan akan memengaruhi pola konsumsi makanan, dimana zat-zat gizi tertentu tidak terpenuhi yang mengakibatkan kekurangan gizi seperti kurang energi dan protein (KEP).

Terdapat beberapa elemen di dalam pola pengasuhan anak terutama peran ibu dalam mengasuh anak yang akan menentukan tumbuh kembang anak. Perilaku ibu dalam menyusui atau memberi makan, cara makan yang sehat, memberi makanan yang bergizi dan mengontrol besar porsi yang dihabiskan akan meningkatkan status gizi anak. Beberapa elemen di dalam pola pengasuhan anak menurut Zeitlin, (1990) yang dikutip dalam Husaini (2010) sebagai berikut :

1. Pemberian ASI dan Makanan

Untuk kebutuhan pangan/gizi, ibu menyiapkan diri sejak prenatal dalam mengatur dietnya selama kehamilan, masa neonatal berupa pemberian ASI, menyiapkan makanan tambahan berupa makanan padat yang lebih bervariasi bahannya atau makanan yang diperkaya, dan dukungan emosional untuk anak. Status sakit, pola aktivitas, asupan gizi rendah, frekuensi konsepsi terkait pertumbuhan anak melalui status gizi ibu (pengasuhan makanan anak terdiri atas hal yang berhubungan dengan menyusui, dan pemberian makanan selain ASI buat anak).

(25)

Pengasuhan makanan anak fase 6 bulan pertama adalah pemenuhan kebutuhan anak oleh ibu dalam bentuk pemberian ASI atau makanan pendamping/pengganti ASI pada anak. Dinyatakan cukup bila diberi ASI semata sejak lahir sampai usia 4-6 bulan dengan frekuensi kapan saja anak minta dan dinyatakan kurang bila tak memenuhi kriteria tersebut. Pengasuhan makanan anak pada fase 6 bulan kedua adalah pemenuhan kebutuhan makanan untuk bayi yang dilakukan ibu, dinyatakan cukup bila anak diberikan ASI plus makanan lumat yang terdiri dari tepung-tepungan dicampur susu, dan atau nasi (berupa bubur atau nasi biasa) bersama ikan, daging atau putih telur lainnya ditambah sayuran (dalam bentuk kombinasi atau tunggal) diberi dalam frekuensi sama atau lebih 3 x per hari, dan kurang bila tidak memenuhi kriteria tersebut (Bahar, 2002).

Menurut Agus (2011), pemberian MP-ASI harus dilakukan secara bertahap dan bervariasi, mulai dari bentuk bubur, sari buah, buah segar, makanan lumat, makanan lembek dan akhirnya makanan padat. Berdasarkan penelitian Perangin-angin (2010), menyatakan bahwa terdapat hubungan antara praktik pemberian makan dengan status gizi anak. Dari 36 anak yang mempunyai status gizi baik terdapat 26 anak (72,2%) dengan praktik pemberian makan yang baik dan 10 anak (27,8%) dengan praktik pemberian makan yang tidak baik.

Pada prinsipnya pemberian makanan kepada bayi bertujuan untuk mencukupi zat-zat gizi yang dibutuhkan bayi. Menurut Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004), jumlah zat gizi terutama energi dan protein yang harus dikonsumsi bayi usia 6-12 bulan adalah 650 Kalori dan 16 gram protein. Kandungan gizi Air Susu Ibu

(26)

(ASI) adalah 400 Kalori dan 10 gram protein, maka kebutuhan yang diperoleh dari MP-ASI adalah 250 Kalori dan 6 gram protein, sedangkan kebutuhan gizi anak usia 12 – 24 bulan adalah sekitar 850 Kalori dan 20 gram protein. Kandungan gizi ASI adalah sekitar 350 Kalori dan 8 gram protein, maka kebutuhan yang diperoleh dari MP-ASI adalah sekitar 500 Kalori dan 12 gram protein (Depkes RI, 2006). Berikut adalah jadwal pemberian makanan berupa ASI dan MP-ASI bagi anak usia 0 – 23 bulan :

Tabel 2.2. Jadwal Pemberian ASI dan MP-ASI

Umur Macam Makanan Berapa Kali Sehari

0 - 6 bulan ASI Sesuka bayi

6 - 7 bulan ASI dan bubur susu/ jus buah

Sesuka bayi

2 kali 40-50 g bubuk 1-2 kali 50 – 100 ml 7 – 9 bulan ASI dan

Bubur susu/ Nasi tim Jus buah Sesuka bayi 2 kali 40 – 50 g bubuk 1 kali 40 – 50 g bubuk 1 – 2 kali 50 – 100 ml 9 - 11 bulan Mulai dengan bubur halus, lembut,

cukup kental, dilanjutkan bertahap menjadi lebih kasar

2-3 kali/ hari, ASI tetap sering diberikan tergantung nafsu makannya, dapat diberikan 1-2 kali

11-12 bulan Makanannya dicincang halus atau disaring kasar, ditingkatkan semakin kasar sampai makanan bisa dipegang

3-4 kali/ hari, ASI tetap diberikan. Tergantung nafsu makannya, dapat diberikan 1-2 x selingan

12-23 bulan Makanan keluarga, bila perlu masih dicincang atau di saring kasar

3-4 x/ hari, ASI tetap diberikan. Tergantung nafsu makannya, dapat diberikan 1-2 x selingan

Sumber : (Pudjiadi, 2005) 2. Praktik Kebersihan

(27)

Kesehatan lingkungan dan keamanan anak berkenaan dengan kemampuan ibu menjaga anak agar tetap segar dan bersih, anak mendapat lingkungan yang sehat, serta terhindar dari cedera atau kecelakaan. Untuk itu dibutuhkan kemampuan orang tua untuk memandikan anak. Menjaga kebersihan pakaian bayi dan membersihkan bagian tubuh anak, ganti popok ketika akan tidur malam hari. Dibutuhkan pula kemampuan ibu untuk menjaga kebersihan pada tempat tidur anak, kamar anak dan lingkungan tempat anak diasuh. Diperlukan kemampuan ibu untuk mencegah anak dari terkena luka dan kecelakaan (Bahar, 2002).

Praktik kebersihan anak terkait perhatian khusus pada kebersihan daerah lipatan kulit, daerah anogenital (terutama tiap selesai berkemih atau buang air besar), kebersihan kuku dan gigi (bagi anak yang telah tumbuh gigi). Perhatian juga ditujukan pada kebersihan tali pusat, apakah sudah mengering atau malah infeksi (tali pusat lazimnya mengering 24 jam dan akan lepas 4-10 hari). Higiene perorangan anak juga meliputi perawatan terhadap rambut dan kulit kepala anak. Mungkin ada cradle cap (ekzema dengan kerak kotor di kulit kepala yang dapat dirawat dengan menyabuni kepala atau kerak dilepas dengan memberi oleum cocos) (Bahar, 2002)

Penjagaan kebersihan mulut anak termasuk perhatian terhadap adanya moniliasis dalam mulut ditandai bercak putih pada mukosa mulut dan atau lidah. Lingkungan terdekat yang harus sehat bagi anak adalah tempat tidur anak dan tempat bermain anak. Pada tempat tidur, ada bantal dan kasur serta sarung bantal yang perlu dibersihkan secara rutin. Gunakan kelambu bagi bayi siang maupun malam bila anak tidur, untuk mencegah anak digigit nyamuk (Bahar, 2002).

(28)

Widaninggar (2003) menyatakan kondisi lingkungan anak harus benar-benar diperhatikan agar tidak merusak kesehatan. Hal-hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan rumah dan lingkungan adalah bangunan rumah, kebutuhan ruang (bermain anak), pergantian udara, sinar matahari, penerangan, air bersih, pembuangan sampah/limbah, kamar mandi dan jamban/WC dan halaman rumah. Kebersihan perorangan maupun kebersihan lingkungan memegang peranan penting bagi tumbuh kembang anak. Kebersihan perorangan yang kurang akan memudahkan terjadinya penyakit-penyakit kulit dan saluran pencernaan seperti diare dan cacingan. Sedangkan kebersihan lingkungan erat hubungannya dengan penyakit saluran pernafasan, saluran pencernaan, serta penyakit yang ditularkan melalui nyamuk. Oleh karena itu penting membuat lingkungan menjadi layak untuk tumbuh kembang anak sehingga meningkatkan rasa aman bagi ibu atau pengasuh anak dalam menyediakan kesempatan bagi anaknya untuk mengeksplorasi lingkungan.

Menurut Soetjiningsih (1995), keadaan perumahan yang layak dengan konstruksi bangunan yang tidak membahayakan penghuninya akan menjamin keselamatan dan kesehatan penghuninya yaitu ventilasi dan pencahayaan yang cukup, tidak sesak, cukup leluasa bagi anak untuk bermain dan bebas polusi.

3. Praktik Kesehatan

Praktik kesehatan di rumah meliputi perawatan dasar anak dengan perawatan terhadap anak sakit dan perawatan pencegahan agar anak tidak jatuh sakit. Untuk itu diperlukan kemampuan ibu untuk mengenali dan merawat anak yang sakit. Termasuk kemampuan mengenali penyakit menjadi progresif yang butuh perawatan lanjut.

(29)

Kemampuan merawat penyakit dimaksudkan sebagai kemampuan merawat ISPA dan diare, dua penyakit yang sering menyerang anak (Bahar, 2002).

Sulistijani (2001) mengatakan bahwa lingkungan yang sehat perlu diupayakan dan dibiasakan tetapi tidak dilakukan sekaligus, harus perlahan-lahan dan terus menerus. Lingkungan sehat terkait dengan keadaan bersih, rapi dan teratur. Oleh karena itu, anak perlu dilatih untuk mengembangkan sifat-sifat sehat seperti berikut : 1. Mandi 2 kali sehari.

2. Cuci tangan sebelum dan sesudah makan. 3. Makan teratur 3 kali sehari.

4. Menyikat gigi sebelum tidur.

5. Buang air kecil pada tempatnya / WC.

Awalnya mungkin anak keberatan dengan berbagai latihan tersebut. Namun dengan latihan terus-menerus dan diimbangi rasa kasih sayang dan dukungan orang tua, anak akan menerima kebijaksanaan dan tindakan disiplin tersebut. Kesehatan anak harus mendapat perhatian dari para orang tua yaitu dengan cara segera membawa anaknya yang sakit ketempat pelayanan kesehatan yang terdekat.

Masa bayi dan balita sangat rentan terhadap penyakit seperti flu, diare atau penyakit infeksi lainnya. Jika anak sering menderita sakit dapat menghambat atau mengganggu proses tumbuh kembang anak. Ada beberapa penyebab seorang anak mudah terserang penyakit (Soetjiningsih, 1995), yaitu :

(30)

1. Apabila kecukupan gizi terganggu karena anak sulit makan dan nafsu makan menurun. Akibatnya daya tahan tubuh menurun sehingga anak menjadi rentan terhadap penyakit

2. Lingkungan yang kurang mendukung sehingga perlu diciptakan lingkungan dan perilaku yang sehat

3. Jika orang tua lalai dalam memperhatikan proses tumbuh kembang anak oleh karena itu perlu memantau dan menstimulasi tumbuh kembang bayi dan anak secara teratur sesuai dengan tahapan usianya dan segera memeriksakan kedokter jika anak menderita sakit.

Status kesehatan merupakan salah satu aspek pola asuh yang dapat memengaruhi status gizi anak kearah membaik. Status kesehatan adalah hal-hal yang dilakukan untuk menjaga status gizi anak, menjauhkan dan menghindarkan penyakit serta yang dapat menyebabkan turunnya keadaan kesehatan anak. Status kesehatan ini meliputi hal pengobatan penyakit pada anak apabila anak menderita sakit dan tindakan pencegahan terhadap penyakit sehingga anak tidak sampai terkena suatu penyakit.

Status kesehatan anak dapat ditempuh dengan cara memerhatikan keadaan gizi anak, kelengkapan imunisasinya, kebersihan diri anak dan lingkungan dimana anak berada, serta upaya ibu dalam hal mencari pengobatan terhadap anak apabila anak sakit. Jika anak sakit hendaknya ibu membawanya ketempat pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, klinik, puskesmas dan lain-lain (Zeitlin et al, 1990).

(31)

2.4. Hubungan Pola Asuh dengan Status Gizi

Pola asuh merupakan faktor yang erat kaitannya dengan pertumbuhan dan perkembangan anak balita. Masa anak usia balita adalah masa di mana anak masih sangat membutuhkan suplai makanan dan gizi dalam jumlah yang cukup memadai. Kekurangan gizi pada masa ini dapat menyebabkan gangguan tumbuh kembang secara fisik, mental, sosial dan intelektual yang sifatnya menetap dan dibawa terus sampai dewasa. Masa anak usia 12-59 bulan (balita) adalah masa anak-anak yang masih tergantung pada perawatan dan pengasuhan ibunya. Oleh karena itu pengasuh kesehatan dan makanan pada tahun pertama kehidupan sangat penting untuk

perkembangan anak (Santoso, 2000).

Konsumsi makanan yang diperoleh bayi umur 0-12 bulan berasal dari pola asuh .gizi yang salah satunya adalah praktik pemberian ASI. ASI merupakan makanan yang terbaik bagi bayi dan anak dibawah umur 2 tahun. ASI mengandung zat gizi yang lengkap dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan bayi sampai dengan umur 6 bulan, sehingga ASI adalah makanan tunggal yang seharusnya diberikan kepada bayi umur 0-6 bulan. Selain itu ASI mengandung zat kekebalan yang dapat melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi. ASI juga merupakan makanan yang bersih, praktis dengan suhu yang sesuai dengan bayi/anak serta dapat meningkatkan hubungan psikologis serta kasih sayang antara ibu dan anak. Dengan demikian jelas bahwa ASI mempunyai hubungan terhadap status gizi, semakin baik praktek

pemberian ASI maka semakin baik pula status gizi bayi (Depkes RI,2002).

Pengaruh praktik penyapihan terhadap status gizi bayi dijelaskan oleh Depkes RI (1999) bahwa bayi yang sehat pada usia penyapihan akan tumbuh dengan pesat dan sehat, sehingga kekhawatiran terjadinya gizi kurang akibat penyakit infeksi dapat dihindari. Menurut Suhardjo (2010) kolostrum dapat memengaruhi status gizi balita, karena kolostrum mengandung lebih banyak protein, mineral serta sedikit karbohidrat dari pada air susu ibu sesudahnya. Kolostrum juga mengandung beberapa bahan anti penyakit yang dapat membantu bayi menyediakan kekebalan terhadap penyakit infeksi yang memengaruhi status gizi

(32)

Menurut penelitian Hafrida (2010), dari 40 ibu yang diteliti terdapat 30 (75%) ibu dengan pola asuh yang baik mempunyai balita dengan status gizi baik dan 10 (25%) ibu dengan pola asuh tidak baik mempunyai balita dengan status gizi kurang. Kesimpulan yang diperoleh adalah semakin baik pola asuh ibu terhadap anak maka akan semakin baik status gizi anak. Dengan kata lain, jika pola asuh anak di dalam keluarga semakin baik tentunya tingkat konsumsi pangan anak juga akan semakin baik dan akhirnya akan memengaruhi keadaan gizi anak.

Penelitian yang dilakukan oleh Jauhari (2010) yang dikutip oleh Hafrida (2012), menyatakan bahwa di Jakarta, Bogor dan Lombok Timur terdapat perbedaan kelompok dengan keadaan status gizi kurang dan gizi baik. Hal ini disebabkan oleh karena perbedaan pola pengasuhan anak. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa pemberian kolostrum pada bayi segera setelah lahir dan pemberian ASI saja kepada bayi sampai usia 6 bulan termasuk ke dalam kelompok anak dengan keadaan status gizi baik, sedangkan anak yang sewaktu lahir tidak diberi kolostrum dan sebelum usia 6 bulan sudah tidak diberi ASI lagi ternyata berada dalam keadaan status gizi kurang. Anak-anak yang selalu diupayakan untuk mengonsumsi makanan, mendapatkan respon ketika berceloteh, selalu mendapat senyum dari ibu, keadaan gizinya lebih baik dibandingkan dengan teman sebaya lainnya yang kurang mendapat perhatian orang tua.

Selain ketersediaan pangan, masalah gizi juga dipengaruhi oleh faktor perilaku ibu, dukungan keluarga dan petugas kesehatan. Adanya pengaruh perilaku untuk menaggulangi masalah gizi pada anak. Menurut Zeitlin, (1990) dipakai untuk

(33)

menjelaskan suatu keadaan penyimpangan positif yang berkaitan dengan kesehatan, pertumbuhan dan perkembangan anak tertentu dengan anak lain di dalam lingkungan masyarakat atau keluarga yang sama.

Beberapa solusi untuk mengatasi masalah gizi sudah ada di dalam masyarakat, hanya perlu diamati untuk dapat diketahui bentuk penyimpangan positif yang ada. Upaya yang dilakukan dapat dengan memanfaatkan kearifan lokal yang berbasis pada keyakinan bahwa setiap individu memiliki kebiasaan dan perilaku khusus atau tidak umum yang memungkinkan mereka dapat menentukan cara-cara yang lebih baik. Berbagai stimulus yang rutin diberikan oleh ibu atau pengasuh terhadap bayi, baik stimulus visual, verbal dan auditif akan dapat menyebabkan stimulasi hormon pertumbuhan, metabolisme energi menjadi normal dan imun respon lebih baik.

Terdapat beberapa perilaku menyimpang ibu di dalam pola pengasuhan anak yang berkaitan dengan status gizi, berdasarkan hasil penelitian Zuldesni (2010) menjelaskan bahwa perilaku menyimpang ibu di dalam memenuhi kebutuhan gizi anak dilakukan dengan berbagai cara seperti pemberian makanan dan cairan misalnya pisang, air gula, madu, air teh, air tajin, dan kopi. Adapun alasan ibu memberikan makanan atau cairan tersebut antara lain adalah untuk menambah daya tahan tubuh anak ibu memberikan cairan madu, air gula dan teh manis, agar anak tidak cengeng dan merengek ibu memberikan makanan selingan seperti pisang, bubur nasi dan air teh, dan untuk mencegah panas yang tinggi (step) pada anak ibu memberikan air kopi. Apabila ibu bekerja, ibu selalu berusaha untuk menyusui anaknya terlebih dahulu sebelum berangkat ke luar rumah. Air tajin sering dibekali ibu kepada anak sebagai

(34)

pengganti ASI karena dianggap kandungan gizinya bagus. Selain itu ibu juga mampu melakukan tindakan yang baik di dalam pemberian makanan anak dan mengetahui makanan tertentu yang bergizi yang dibutuhkan oleh anak.

Makanan yang diberikan adalah berasal dari bahan makanan yang terjangkau dan tersedia untuk seluruh masyarakat. Selanjutnya ibu juga mampu mengatur frekuensi pemberian makanan dan jenis makanan yang dipilih. Ibu membeli bahan makanan yang lagi musim sebagai strategi untuk mencukupi kebutuhan pangan keluarga, karena harganya relatif lebih terjangkau. Supaya anak mau makan ibu menerapkan prinsip tidak membolehkan anak jajan sebelum makan. Karena jika anak sudah dibiasakan jajan terlebih dahulu, maka anak akan susah untuk makan.

Perilaku dan kebiasaan keluarga penyimpang positif dalam pola pengasuhan adalah seperti memberikan perhatian dan kasih sayang kepada anak, adanya peranan ayah dalam pengasuhan, melibatkan keluarga luas seperti nenek, kakak dan tetangga dalam pengasuhan, berhubungan baik dengan tetangga. Perilaku dan kebiasaan keluarga penyimpang positif dalam kebersihan seperti mencuci tangan sebelum makan, menutup makanan dengan tudung saji, memotong kuku 1x seminggu.

Kebiasaan-kebiasaan menuju sehat adalah kebiasaan-kebiasaan yang berhubungan dengan kesehatan seperti memberikan imunisasi, pengobatan penyakit pada masa kanak-kanak dan pencarian bantuan professional pada waktu yang tepat dapat memainkan peran penting dalam membantu memelihara kesehatan anak. Tempat berobat yang digunakan oleh ibu-ibu jika anaknya sakit diare, cukup beragam dan tergantung lamanya sakit. Untuk anak yang sakit diarenya hanya satu hari,

(35)

kebanyakan ibu-ibu tidak mengobatinya karena mereka menganggap mencret sehari biasa terjadi pada anak-anak. Bahkan ini dianggap sebagai tanda bahwa anak bertambah usia/besar dan bertambah “kepandaian”. Sedangkan untuk sakit diare yang lebih dari dua hari, kebanyakan ibu-ibu memilih puskesmas dan bidan sebagai tempat berobat. Perilaku dan kebiasaan keluarga dalam perilaku menuju sehat diantaranya adalah imunisasi yang lengkap, rajin ke posyandu, membuat makanan khusus ketika anak sakit.

2.5. Landasan Teori

Pada bagan model interaksi tumbuh kembang anak dapat dilihat bahwa akar permasalahan gizi adalah krisis ekonomi, politik dan sosial dalam masyarakat, sehingga menyebabkan terjadinya permasalahan kekurangan pangan, kemiskinan dan tingginya angka inflasi dan pengangguran. Sedangkan pokok masalahnya di masyarakat adalah kurangnya pemberdayaan wanita sumber daya manusia, rendahnya tingkat pendidikan, pengetahuan dan keterampilan. Adapun faktor tidak langsung menyebabkan kurang gizi adalah tidak cukup persediaan pangan akibat krisis ekonomi dan rendahnya daya beli masyarakat, pola asuh anak yang tidak memadai akibat dari rendahnya pengetahuan, pendidikan orang tua dan buruknya sanitasi lingkungan dan akses kepelayanan kesehatan dasar masih sulit sehingga berdampak terhadap pola konsumsi dan terjadi penyakit infeksi yang secara langsung menyebabkan gizi kurang.

(36)

Manifestasi Penyebab Langsung Penyebab Tidak Langsung Pokok masalah di masyarakat Akar Dasar

Kecukupan Makanan Infeksi

Ketahanan makanan keluarga

Asuhan bagi ibu dan anak

Pendidikan Keluarga

Keadaan dan kontrol sumber daya keluarga. Manusia,

ekonomi dan keluarga Struktur politik dan Keluarga

Struktur Ekonomi

Potensi sumber daya

Berikut dari gambar bagan model interaksi tumbuh kembang anak diterangkan faktor – faktor yang mempengaruhi status gizi :

Bagan Model Interaksi Tumbuh Kembang Anak Tumbuh Kembang Anak

Gambar 2.2. Bagan Faktor Penyebab Kurang Gizi (UNICEF, 1998) Kerangka konseptual yang dikemukan oleh Engle et al (1997) menekankan bahwa tiga komponen makanan kesehatan, asuhan merupakan faktor-faktor yang berperan dalam menunjang pertumbuhan dan perkembangan anak yang optimal.

Pemanfaatan pelayanan kesehatan dan sanitasi lingkungan

(37)

Engle et al. (1997) mengemukakan bahwa pola asuh meliputi 6 hal yaitu : (1) perhatian / dukungan ibu terhadap anak, (2) pemberian ASI atau makanan pendamping pada anak, (3) rangsangan psikososial terhadap anak, (4) persiapan dan penyimpanan makanan, (5) praktek kebersihan atau higiene dan sanitasi lingkungan dan (6) perawatan balita dalam keadaan sakit seperti pencari pelayanan kesehatan. Pemberian ASI dan makanan pendamping pada anak serta persiapan dan penyimpanan makanan tercakup dalam praktek pemberian makan (Engle, 1997).

Menurut Engle et al. (1997), pola asuh dapat diukur dari dua kegiatan yaitu kegiatan memberi makanan dan perawatan psikososial. Memberikan makanan sesuai umur, ibu anak harus mengetahui waktu makan anak dan apa yang menjadi menambah selera selera makan anak, membuat situasi makan yang baik. Mengasuh oleh ibu kepada anak penting dalam perihal kuantitas dan kualitas waktu yang dibagi untuk berinteraksi dengan anak untuk membuktikan bahwa kualitas mengasuh anak yang diberikan ibu memiliki peranan penting bagi pertumbuhan anak.

Menurut Zeitlin et al., keberhasilan pertumbuhan anak dalam keluarga miskin dapat menjadi baik dipengaruhi oleh empat faktor utama, yaitu keaktifan orangtua dalam mengasuh anak, karakteristik orang tua dan keluarga, karakteristik anak dan kesehatan anak. menyatakan bahwa perilaku mengasuh anak antara lain: menyusui, membuat anak sehat, melindungi anak, merapikan baju anak, memberi makanan, memandikan, mengajarkan menggunakan toilet, merawat anak pada saat sakit, memberi rangsangan (stimulus), bermain bersama, dan menyediakan lingkungan sehat agar anak dapat tumbuh kembang dengan baik.

(38)

Perawatan atau pola pengasuhan ibu terhadap anak yang baik merupakan hal yang sangat penting, karena akan memengaruhi proses tumbuh kembang balita. Pola pengasuhan ibu terhadap anaknya berkaitan erat dengan keadaan ibu terutama kesehatan, pendidikan, pengetahuan dan keterampilan tentang pengasuhan anak (Suharsi, 2001).

Pertumbuhan dan perkembangan balita dipengaruhi oleh ketahanan pangan suatu negara, pengasuhan, kualitas dan kuantitas pelayanan kesehatan serta kesehatan lingkungan. Ketahanan pangan rumah tangga juga memiliki pengaruh dalam pengasuhan ketahanan pangan yang di maksud adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tergambar dari tersedianya pangan yang cukup, baik kuantitas maupun kualitas, aman, merata dan terjangkau (BAPPENAS, 2011). Kualitas dan kuantitas pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan juga mempengaruhi perilaku pengasuhan dan kesehatan balita secara tidak langsung.

Asuhan dimanifestasikan ke dalam enam tipe praktik aktivitas oleh pemberi asuhan (biasanya wanita) antara lain perawatan untuk wanita seperti istirahat dan peningkatan masukan nutrisi selama hamil, pemberian asi/ makanan pendamping ASI, stimulasi psikososial dan dukungan untuk perkembangan anak, penyimpanan dan pengolahan makanan, praktik kebersihan, dan perawatan kepada anak selama sakit (praktik kesehatan dirumah). Perilaku pemberi asuhan dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu antara lain ketersediaan sumber (sumber untuk mengasuh seperti, pengetahuan, kesehatan mental, pekerjaan, waktu, dan dukungan sosial), sumber daya kesehatan seperti air bersih, sanitasi dan keamanan lingkungan. Keluarga memiliki peranan penting dalam pemenuhan nutrisi untuk dapat meningkatkan dan memelihara

(39)

kesehatan anak. Skema konsep Extended model of care pada penjelasannya belum melihat kontribusi peran keluarga dalam perawatan kesehatan khususnya dalam pemenuhan nutrisi. Konsep Engel (1997), dapat dilihat dalam gambar berikut ini :

(40)

Ketersediaan Sumber Daya

Gambar 2.3. Skema Konsep Extended Model of Care (Engel,1997) Kelangsungan Hidup

Pertumbuhan Perkembangan

Intake nutrisi

adekuat Kesehatan

Perilaku pemberi asuhan

• Perawatan untuk perempuan • Pemberian ASI dan makanan • Stimulasi psikososial dan

kognitif

• Praktik kebersihan

• Praktik kesehatan di rumah • Pengolahan dan penyimpanan

makanan Sumber daya kesehatan • Pemenuhan air bersih • Sanitasi • Ketersediaan pelayanan kesehatan • Keamanan lingkungan Sumber ekonomi/

makanan Sumber pengasuhan • Pengetahuan • Kesehatan mental • Pekerjaan • Waktu • Dukungan sosial Ketahanan pangan rumah tangga Pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan

(41)

2.6. Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian adalah suatu uraian dan visualisasi hubungan atau kaitan antara konsep satu terhadap konsep lainnya, atau antara variabel yang satu dengan variabel yang lain dari yang ingin diteliti (Notoatmojo, 2010).

Variabel independen atau variabel stimulus, prediktor, antecendent, bebas merupakan variabel yang mempengaruhi atau menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen (terikat), sedangkan variabel dependen atau variabel output, kriteria, konsekuen, terikat merupakan variabel yang mempengaruhi atau menjadi akibat, karena adanya variabel bebas (Sugiono, 2010).

Dalam penelitian ini variabel independennya adalah pola asuh yang berkaitan dengan pemberian ASI dan makanan, praktik kebersihan, dan praktik kesehatan di rumah. Sedangkan yang menjadi variabel dependennya adalah status gizi anak usia 6-24 bulan.

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.4. Kerangka Konsep Penelitian Pola Asuh :

- Asuhan Pemberian ASI dan Makanan

- Asuhan Praktik Kesehatan - Asuhan Praktik Kebersihan

Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan

Gambar

Gambar 2.1. Bagan Faktor Penyebab Kurang Gizi (UNICEF, 1998)  Pemanfaatan
Gambar 2.2.  Bagan Faktor Penyebab Kurang Gizi (UNICEF, 1998)  Kerangka konseptual yang dikemukan oleh Engle et al (1997) menekankan  bahwa tiga komponen makanan  kesehatan, asuhan merupakan faktor-faktor yang  berperan dalam menunjang pertumbuhan dan perk
Gambar 2.3. Skema Konsep Extended Model of Care (Engel,1997)     Kelangsungan Hidup

Referensi

Dokumen terkait

(5) Dalam hal penyaluran kredit oleh BPR dalam setiap bulan tidak mencapai 10% (sepuluh per seratus) dari kategori pinjaman yang harus diteruskan kepada nasabah mikro

Pura Barutama melakukan pemasaran dengan sistem semi-job order, yang artinya perusahaan ini melakukan produksi apabila ada permintaan dari konsumen untuk produk- produk

Melaksanakan  Algoritma  berarti  mengerjakan  langkah‐langkah  di  dalam  Algoritma  tersebut.  Pemroses  mengerjakan  proses  sesuai  dengan  algoritma  yang 

Saya dengan ini mengaku bahawa mana-mana maklumat peribadi saya yang dikumpul atau dipegang oleh Syarikat diperuntukkan dengan keizinan saya untuk ia digunakan, diproses

Sumber data merupakan penduduk asli desa Tropodo yang mengidap gangguan berbahasa latah, tapi tidak mengidap penyakit lain (secara jasmani dan rohani). Terdapat

Setelah adukan beton dipindahkan ke concrete placing machine, pengecoran dilakukan dengan menjalankan concrete placing machine sepanjang mould yang akan dicor sambil membuka

guna jasa layanan periklanan di PT Radio Indah Asri Sragen di- peroleh hasil ada pengaruh yang signifikan personal selling terha- dap pengguna jasa layanan

 Teknik Operasi P eknik Operasi Pengeboran Lepas P engeboran Lepas Pantai, Peralat antai, Peralatan, dan Instalasinya an, dan Instalasinya Page 1.