• Tidak ada hasil yang ditemukan

Resolusi Konflik Internal Partai Kebangkitan Bangsa (Studi Kasus Tahun )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Resolusi Konflik Internal Partai Kebangkitan Bangsa (Studi Kasus Tahun )"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

Resolusi Konflik Internal Partai Kebangkitan Bangsa

(Studi Kasus Tahun 2008 – 2011)

Imam Suherman, Kamarudin, Firman Noor

Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia

imam_suherman17@yahoo.com

Abstrak

Sebagai partai politik baru yang lahir dalam arus gelombang demokratisasi di awal reformasi 1998, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) berhasil meraih kemenangan pada pemilu 1999 dengan menempati urutan ketiga. Namun, fenomena konflik internal PKB yang silih berganti kurun waktu antara tahun 2001 hingga 2011 berdampak pada penurunan suara PKB di pemilu 2004 dan 2009. Terakhir, konflik internal PKB terjadi tahun 2008 – 2011 yang menjadi fokus studi dalam penelitian ini. Tujuan penelitian adalah menjelaskan penyebab terjadinya fenomena konflik internal PKB serta mekanisme penyelesaian konfliknya. Metode penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan tipe eksploratif. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam sebagai data primer dan studi literatur sebagai data sekunder. Kerangka teori yang digunakan adalah konsep partai politik, konflik politik, dan resolusi konflik. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa konflik internal PKB tahun 2008 – 2011 adalah konflik yang berawal dari keluarnya surat keputusan yang memberhentikan Muhaimin Iskandar sebagai Ketua Umum Dewan Tanfidz PKB melalui Rapat Pleno yang dikendalikan Gus Dur sebagai Ketua Umum Dewan Syuro PKB. Pembagian kekuasaan yang tidak seimbang, kuatnya pragmatisme kekuasaan, tidak berjalannya fungsi manajemen konflik serta lemahnya penegakkan konstitusi partai menjadi akar penyebab terjadinya konflik internal PKB. Mekanisme penyelesaian konflik internal PKB ditempuh melalui cara organisasi, kultural, politik, dan hukum.

Internal Conflict Resolution National Awakening Party (Case Study Years 2008 – 2011)

Abstract

As a new political party was born in the current wave of democratization in the beginning of the 1998 reform, the National Awakening Party (PKB) managed to win the 1999 elections with a third place. However, the

(2)

phenomenon of internal conflict PKB successive period between 2001 and 2011 contributed to the decline in voice PKB 2004 and 2009 elections. Finally, internal conflicts PKB occurs in 2008 - 2011 which is the focus of this research study. The purpose of research is to explain the causes of the phenomenon of internal conflict PKB and conflict resolution mechanisms. Methods of research used a qualitative approach with exploratory type. Data was collected through in-depth interviews as the primary data and literature as secondary data. Theoretical framework used is the concept of political parties, political conflict, and conflict resolution. Results of the study showed that PKB internal conflict in 2008 - 2011 was a conflict that began in the issuance of a decree to dismiss Muhaimin Iskandar as Chairman of the Board Tanfidz DPP PKB through controlled Plenary Meeting of Gus Dur as Chairman of the Shura Council DPP PKB. Unequal distribution of power, strength pragmatism of power, not the functioning of conflict management and weak enforcement of the party constitution at the root causes of internal conflict PKB. Internal conflict resolution mechanisms PKB reached by way of organizational, cultural, political, and legal.

Keywords: Conflict resolution; Islam; Political parties

Pendahuluan

Dalam luapan besar partisipasi politik di awal masa reformasi, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sebagai sebuah organisasi sosial kemasyarakatan yang sudah mengakar dalam sejarah bangsa Indonesia turut andil memberikan kontribusinya. Secara garis besar, PBNU merupakan organisasi kelembagaan yang memiliki massa Islam terbesar di Indonesia dan memiliki akar kepemimpinan yang kuat.1 Mereka dituntut oleh massanya dan kelompok bangsa

lainnya untuk merespon proses reformasi yang sedang berjalan saat itu. Alhasil pada 10 November 1998, sebagai Ketua PBNU waktu itu, Abdurrahman Wahid mulai aktif melakukan pertemuan dengan beberapa tokoh reformis lainnya, antara lain: Mohammad Amien Rais, Megawati Soekarnoputri, dan Sri Sultan Hamengkubowono X. Pertemuan para tokoh nasional dari kelompok reformis ini kemudian mengeluarkan sebuah deklarasi monumental yang dikenal sebagai “Deklarasi Ciganjur”.2

Selanjutnya pada 31 Desember 1998, PBNU sebagai sebuah institusi mengeluarkan pandangan resmi mereka yang mendukung proses reformasi secara damai dan meminta seluruh

                                                                                                                         

1 Abdul Gaffar Karim, “Stabilitas Jamaah, Instabilitas Parpol: NU dalam 10 tahun Reformasi”, dalam NU dan

Politik, An-Nahdlah, No. 3 Edisi Juni-Juli 2008, hlm. 12-15

(3)

warga Nahdliyyin untuk mendukung reformasi secara penuh.3 Namun tuntutan untuk merespon

aktif reformasi ternyata tidak hanya datang dari kelompok elite NU, pada tataran massa muncul tuntutan kepada PBNU untuk mendirikan sebuah partai politik. Hal ini bertujuan untuk menyalurkan aspirasi politik warga NU yang memang memiliki potensi jumlah massa yang besar untuk meraih hasil suara terbanyak dalam pemilu 1999.

Menanggapi tuntutan warga NU untuk mendirikan sebuah partai politik menjelang berlangsungnya pemilu 1999, Abdurrahman Wahid selaku Ketua PBNU saat itu memberikan respon positif dengan membentuk Tim Lima dan Tim Assistensi yang berhasil menjalankan tugasnya dalam upaya memenuhi aspirasi warga NU dengan mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).4 Partai politik kaum Nahdliyyin ini dideklarasikan pada tanggal 23 Juli 1998 di

kediaman Abdurrahman Wahid di daerah Ciganjur Jakarta Selatan.5 Antusiasme tinggi diberikan

warga NU kepada PKB yang dianggap sebagai partai politik yang lahir dibidani oleh PBNU. Dalam bahasa yang sederhana, PKB sesungguhnya memiliki ‘hubungan darah’ yang kental dengan PBNU. Berdasarkan historisnya tersebut, secara moril dan kelembagaan PBNU turut bertanggungjawab atas keberlangsungan serta eksistensi PKB hingga saat ini.

Dalam refleksi perjalanan masa reformasi sejak tahun 1998 hingga 2013 sekarang ini, pasang surut kehidupan sebuah partai politik di dalam sistem demokrasi tidak dapat dihindari. Fenomena jatuh-bangun sebuah partai politik pada masa reformasi dapat dikatakan terjadi pada hampir sebagian besar partai politik di Indonesia, tak terkecuali dengan PKB. Sepanjang masa reformasi, PKB adalah salah satu partai politik yang seringkali mengalami perpecahan di dalam tubuh partainya atau biasa disebut sebagai konflik internal. Berdasarkan faktanya, PKB telah mengalami tiga kali periode konflik internal yang dimulai sejak tahun 2001 hingga 2011.6

Dengan kata lain, sudah lebih dari satu dekade kehidupan perkembangan PKB selalu diselimuti oleh konflik internal. Periode konflik internal PKB dapat dibagi ke dalam tiga periode waktu dengan tokoh pelaku yang berbeda-beda.

                                                                                                                         

3 An-Nahdlah, Op. Cit., hlm. 22 4 Ibid., hlm. 20

5 Bahrul ‘Ulum, Op. Cit., hlm. 127-133

6 Konflik internal PKB terjadi kurun waktu tahun 2001 hingga 2011. Pembagian periode konflik internal PKB

mengacu pada tulisan Disertasi Kamarudin. Periode ketiga konflik internal PKB tahun 2008 – 2011 hanya melanjutkannya. Lihat Kamarudin, Konflik Internal Partai Kebangkitan Bangsa (Studi Kasus Tahun 2004 – 2007), Ringkasan Disertasi pada Bidang Studi Ilmu Politik Program Pascasarjana FISIP UI (2007).

(4)

Pertama, konflik internal PKB terjadi kurun waktu antara tahun 2001 hingga 2003.

Konflik internal terjadi antara Matori Abdul Jalil sebagai Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP PKB berhadapan dengan Abdurrahman Wahid sebagai Ketua Umum Dewan Syuro DPP PKB yang sekaligus saat itu menjadi Presiden RI. Konflik internal diawali dengan dikeluarkannya dekrit Presiden Abdurrahman Wahid tentang pembubaran parlemen pada tanggal 23 Juli 2001.7

Dekrit pembubaran parlemen tersebut di dalamnya terkandung pembekuan seluruh kegiatan Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) di DPR dan MPR serta seluruh anggota FKB dilarang hadir dalam Sidang Istimewa MPR tanggal 23 Juli 2001. Namun, Matori Abdul Jalil yang saat itu juga menjadi wakil Ketua MPR ternyata tidak mematuhi sehingga dinonaktifkan Abdurrahman Wahid dari jabatannya sebagai Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP PKB. Konflik semakin meluas ketika Matori Abdul Jalil membuat PKB Batutulis hasil MLB di Jakarta pada tanggal 14-16 Januari 2002   dengan dirinya tetap sebagai Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP PKB, sedangkan Abdurrahman Wahid membuat PKB Kuningan dengan Alwi Shihab sebagai Ketua Umum Dewan Tanfidznya hasil MLB di Yogyakarta pada tanggal 17-19 Januari 2002.

Kedua, konflik internal PKB terjadi kurun waktu antara tahun 2004 hingga 2007. Konflik

internal terjadi antara kelompok Alwi Shihab – Saifullah Yusuf dengan kelompok Abdurrahman Wahid – Muhaimin Iskandar. Konflik internal dilatarbelakangi oleh penonaktifan Alwi Shihab dan Saifullah Yusuf dari jabatan Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal DPP PKB.8 Saat itu yang

menonaktifkan keduanya adalah Abdurrahman Wahid sebagai Ketua Umum Dewan Syuro PKB. Penonaktifan dilakukan tanpa melalui mekanisme Muktamar, melainkan diputuskan dalam rapat gabungan antara Dewan Tanfidz dan Dewan Syuro. Alasan yang menjadi penonaktifan keduanya adalah karena mereka termasuk dalam kabinet yang dibentuk oleh Presiden SBY tahun 2004.9

Konflik meluas karena Alwi Shihab dan Saifullah Yusuf yang didukung Kyai Khos menggelar Muktamar ke-2 di Surabaya tanggal 1-2 Oktober 2005 yang menempatkan Abdurrohman Chudlori – Choirul Anam sebagai Ketua Umum Dewan Syuro dan Ketua Umum Dewan Tanfidz. Muktamar ‘tandingan’ tersebut dilakukan untuk melawan Muktamar ke-2 di Semarang tanggal 16-18 April 2005 yang memposisikan Abdurrahman Wahid – Muhaimin Iskandar sebagai Ketua Umum Dewan Syuro dan Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP PKB periode 2005-2010.

                                                                                                                         

7 Kamarudin, Op. Cit., hlm 4 8 Ibid.,

(5)

Ketiga, konflik internal PKB terjadi kurun waktu antara tahun 2008 hingga 2011. Konflik

internal terjadi antara kubu Muhaimin Iskandar dengan kubu Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang kemudian dilanjutkan oleh Yenny Wahid pasca wafatnya Gus Dur. Konflik PKB diawali oleh adanya permintaan mundur terhadap Muhaimin Iskandar sebagai Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP PKB  yang diputuskan melalui voting tertutup dalam Rapat Pleno tanggal 26 Maret 2008 yang dikendalikan Gus Dur. Dengan kekuasaan Ketua Umum Dewan Syuro yang begitu besar sebagaimana tertuang dalam AD/ART Partai, menjadikan Gus Dur sebagai pemimpin tertinggi sekaligus tokoh elit partai yang paling menentukan di PKB. Tak lama kemudian terjadi pemecatan beberapa pengurus PKB di berbagai daerah, baik pada tingkat DPW maupun DPC. Puncaknya, konflik internal PKB pecah dengan keluarnya surat keputusan melalui Rapat Pleno tanggal 5 April 2008 yang dikendalikan oleh Gus Dur yang memberhentikan posisi Muhaimin Iskandar sebagai Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP PKB.10

Konflik internal PKB semakin meluas dengan lahirnya dua MLB yakni MLB di Parung Bogor versi kubu Gus Dur pada tanggal 30 Mei-1 April 2008 dan MLB di Ancol Jakarta versi kubu Muhaimin Iskandar pada tanggal 2-4 Mei 2008. MLB Parung memilih Ali Masykur Musa secara aklamasi sebagai Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP PKB dengan Gus Dur tetap sebagai Ketua Umum Dewan Syuro-nya. Ali Masykur Musa meneruskan masa bakti kepengurusan periode 2005-2010 hasil Muktamar PKB di Semarang tahun 2005 menggantikan Muhaimin Iskandar yang dipecat. Selanjutnya, formatur memilih Yenny Wahid sebagai Sekjen DPP PKB menggantikan Muhammad Lukman Edy yang dipecat. Sedangkan dilain pihak, MLB di Ancol memilih KH. Aziz Mansyur melalui voting sebagai Ketua Umum Dewan Syuro DPP PKB menggantikan Gus Dur yang dilengserkan serta memilih Muhaimin Iskandar sebagai Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP PKB periode 2008-2013. Selanjutnya, formatur memilih Lukman Edy sebagai Sekjen DPP PKB. Hasilnya, terbentuklah dua kepengurusan PKB berdasarkan hasil dua MLB, yakni PKB Muhaimin Iskandar dan PKB Gus Dur.

Seiring perkembangan politik, tensi ketegangan konflik internal PKB semakin meninggi pasca pemilu 2009.11 Namun, perjalanan konflik internal PKB periode ketiga sempat terhenti

‘sejenak’ ketika Gus Dur wafat pada tanggal 30 Desember 2009. Saat itu hiruk-pikuk konflik                                                                                                                          

10 Tempo, 4 Mei 2008.

11 Sebagai kubu PKB yang dekat dengan kalangan Istana, Muhaimin Iskandar dan Lukman Edy diangkat menjadi

(6)

internal PKB seolah menghilang dan mencair seiring kepergian Gus Dur sebagai tokoh besar NU sekaligus elit politik PKB. Yenny Wahid selaku Sekjen PKB Gus Dur yang juga merupakan putrinya, melanjutkan perjuangan PKB Gus Dur. Konflik kembali memanas yang ditandai dengan digelarnya Muktamar ke-3 versi PKB Gus Dur di Surabaya pada tanggal 26-27 Desember 2010 yang memilih Yenny Wahid secara aklamasi sebagai Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP PKB dan KH. Ahmad Sahid sebagai Ketua Umum Dewan Syuro DPP PKB periode 2010-2015.12

Sebagai imbasnya, konflik internal PKB yang terjadi kurun waktu antara tahun 2001 hingga 2011 telah membawa dampak negatif bagi keikutsertaan PKB dalam pemilu sepanjang reformasi. Berdasarkan catatan, jumlah perolehan suara PKB sejak mengikuti pemilu tahun 1999 terus mengalami penurunan. Pada pemilu 1999, PKB sebagai parpol baru yang bernafaskan Islam dengan dukungan warga Nahdliyyin mampu meraih jumlah suara cukup signifikan yakni sekitar 13,5 juta suara (12,6%) dan memperoleh 51 kursi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).13

Sedangkan pada pemilu 2004, PKB memperoleh jumlah suara sebesar 11 juta suara (10,6%) dengan perolehan 52 kursi anggota DPR.14 Namun, pada pemilu 2009 yang lalu jumlah perolehan

suara PKB mengalami penurunan yang drastis menjadi hanya sekitar 5,1 juta suara (4,95%) dan hanya memperoleh 28 kursi anggota DPR.15

Dalam tatanan ideal, partai politik diharuskan mampu menyelesaikan konflik internalnya secara mandiri. Oleh karena itu, diperlukan cara penyelesaian atau mekanisme yang tepat dan efektif dalam menyelesaikan konflik internal. Hal ini bertujuan untuk mendewasakan partai politik dan menguatkan sistem demokrasi di Indonesia. Dalam konteks inilah, akar penyebab terjadinya konfilk internal PKB 2008 – 2011 serta mekanisme penyelesaiannya yang menjadi fokus studi dalam penelitian ini menjadi penting untuk dikaji. Untuk itu, permasalahan yang diangkat sebagai pokok pembahasan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua pertanyaan, yaitu:

a. Mengapa konflik internal PKB tahun 2008 – 2011 dapat terjadi ? b. Bagaimana resolusi konflik internal PKB tahun 2008 – 2011 ?                                                                                                                          

12 Republika, 27 Desember 2010.

13 A. Effendy Choirie, Islam-Nasionalisme UMNO-PKB Studi Komparasi dan Diplomasi, (Jakarta: Pensil-234,

2008), hlm. 62

14 Ibid., hlm. 63

15 Syafriadi S. Yatim, Sigit Joyowardono, Supriatna, dan Andi Krisna (eds), Pemilu 2009 dalam Angka, (Jakarta:

(7)

Sedangkan tujuan penelitian yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk melakukan eksplorasi terhadap fenomena konflik internal PKB dengan fokus studi kasus pada tahun 2008-2011. Untuk itu, penjelasan mengenai akar penyebab terjadinya konflik internal yang dilengkapi dengan alur kronologis hingga pemaparan mengenai mekanisme penyelesaian konfliknya menjadi pokok pembahasan dalam penelitian ini. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk menjelaskan implikasi konflik internal PKB terhadap eksistensi perjalanan PKB dalam kehidupan demokrasi politik di Indonesia.

Kerangka Teoritis

Pada mulanya perkembangan partai politik sejalan dengan perkembangan demokrasi, dalam hal perluasan hak pilih dari rakyat dan perluasan hak-hak parlemen. Kemudian semakin luasnya fungsi-fungsi dan kebebasan majelis politik, maka semakin tumbuh kesadaran para anggotanya untuk membentuk kelompok antar mereka dan bersaing di dalam sebuah pentas politik.16 Duverger kemudian menjelaskan bahwasannya kebangkitan partai politik sejalan

dengan kebangkitan kelompok-kelompok di dalam parlemen dan komite-komite pemilihan.17

Sedangkan Miriam Budiardjo mendefinisikan partai politik sebagai kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya memiliki orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama, dan kelompok ini memiliki tujuan memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik—biasanya dengan cara konstitusionil—untuk kemudian melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka.18 Miriam Budiarjo menjelaskan bahwa partai politik setidaknya memiliki empat fungsi.19

Pertama, sebagai sarana komunikasi politik. Dalam hal ini, salah satu tugas partai politik

adalah menyalurkan berbagai aspirasi yang berkembang di masyarakat sehingga partai politik dituntut harus responsif terhadap tuntutan-tuntutan masyarakat untuk kemudian disalurkan ke                                                                                                                          

16 Maurice Duverger, “Asal Mula Partai Politik”, dalam Teori-teori Mutakhir Partai Politik, (Yogyakarta: Tiara

Wacana, 1988), hlm. 2

17 Ibid., hlm. 2-3

18 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 160-161 19 Ibid., hlm. 163-165

(8)

dalam sistem politik melalui agregasi dan artikulasi kepentingan. Dilain pihak, partai politik juga melakukan diskusi dan penyebarluasan atas berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Kedua, sebagai sarana sosialisasi politik. Setiap partai politik mempunyai ideologi dan cita-cita yang selanjutnya di implementasikan dalam bentuk program kerja demi mencapai tujuan bersama. Program-program kerja tersebut perlu disampaikan dan ditawarkan kepada masyarakat dalam sistem politik untuk membantu meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab.

Ketiga, sebagai sarana rekrutmen politik. Secara umum, tujuan partai politik dimanapun

berada adalah dalam rangka merebut atau mempertahankan kekuasaan. Untuk itu, partai politik perlu melakukan rekrutmen untuk menghasilkan pemimpin-pemimpin politik yang mampu bersaing dalam merebut atau mempertahankan kekuasaan tersebut. Keempat, fungsi partai politik sebagai sarana pengatur konflik (conflict management). Dalam sistem yang demokratis, perbedaan-perbedaan yang timbul dinilai sebagai kekayaan yang perlu dijaga sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip yang demokratis. Dalam dinamika demokrasi, perbedaan seringkali menimbulkan gejala-gejala yang berujung pada konflik politik, baik yang terjadi antara hubungan partai politik dengan masyarakat maupun hubungan lingkungan di dalam partai politik itu sendiri. Oleh karena itu, partai politik berperan dalam menjembatani berbagai konflik kepentingan yang berkembang di masyarakat ataupun di partai politik untuk selanjutnya disalurkan ke dalam proses sistem politik.

Secara sederhana, definisi demokratisasi dapat diartikan sebagai suatu transformasi atau proses untuk mencapai suatu sistem yang demokratis. Menurut David Potter dkk, demokratisasi adalah suatu perubahan politik yang bergerak ke arah sistem politik yang demokratis.20

Demokratisasi itu sendiri dapat dipahami sebagai sebuah proses menuju demokrasi. Demokratisasi juga berarti dibukanya ruang politik bagi setiap lapisan untuk menjadi elit. Dalam proses demokratisasi, elit politik memiliki pengaruh yang sangat besar. Dibutuhkan keinginan politik dari elit politik, baik yang ada di pusat maupun di tingkat lokal untuk membuat aturan yang harus ditaati bersama dalam memperebutkan kekuasaan. Namun dalam realitasnya, proses demokratisasi yang terjadi di berbagai negara belahan dunia manapun, termasuk Indonesia selalu berpotensi menimbulkan konflik politik.

                                                                                                                         

20 David Potter, David Goldblatt, Margaret Kiloh, dan Paul Lewis (eds), Democratization, (Cambridge: Cambridge

(9)

Untuk mengatasi dampak negatif yang dihasilkan oleh konflik, demokrasi mengharuskan adanya kemampuan warga masyarakat dan pemerintah untuk menyelesaikan konflik sebelum konflik menjadi lebih intensif dan ekstensif. Dengan demikian, demokrasi mengharuskan adanya keterampilan untuk menyelesaikan konflik (conflict resolution) sebagai jalan keluar dari pertentangan yang terjadi.21 Terjadinya konflik disebabkan adanya kegiatan yang dilakukan

anggota masyarakat dalam memperebutkan sumber-sumber, posisi, kedudukan, atau jabatan yang dianggap langka dalam masyarakat. Penyebab lain adalah kecenderungan manusia untuk menguasai orang lain. Kecenderungan manusia untuk berkuasa menjadi salah satu penyebab konflik.22 Konflik politik terbentuk karena adanya penguasa politik. Kekuasaan politik dalam

catatan sejarah seringkali menjadi penyebab dari terjadinya berbagai konflik politik. Kondisi khas dari konflik politik adalah terletak pada sifatnya yang selalu merupakan konflik antara dua kelompok atau lebih. Jadi konflik politik bukanlah konflik individu karena isu yang dipertentangkan adalah isu publik yang menyangkut kepentingan banyak orang.23

Sedangkan definisi resolusi konflik secara umum lebih komprehensif yang menyiratkan bahwa sumber berakar dari konflik yang ditangani dan diselesaikan. Dalam hal ini, menunjukkan perilaku yang tidak lagi menyangkut kekerasan, sikap tidak lagi bermusuhan, dan struktur konflik telah mengalami perubahan.24 Kondisi tersebut dapat terjadi karena konsep resolusi konflik

merujuk pada proses membawa ke arah perubahan dengan cara penyelesaian konflik. Setidaknya, terdapat dua pendekatan dalam konsep resolusi konflik.

Pertama, pendekatan maksimalis yang memandang resolusi konflik sebagai suatu proses

dimana para pelaku konflik bertindak untuk menghapus masalah yang dipersoalkan secara permanen.25 Pendekatan ini mengasumsikan bahwa konflik memiliki akar penyebab yang berasal

dari kebutuhan dasar para pihak. Jika solusi bersama dapat diciptakan dengan terpenuhi setidaknya beberapa kebutuhan dasar para pihak, maka penyebab konflik dapat dipindahkan. Selanjutnya, kekerasan dan dampak potensi buruk lainnya yang muncul dalam konflik pun akan hilang. Kedua, pendekatan minimalis melihat resolusi konflik sebagai de-eskalasi konflik dengan                                                                                                                          

21 Philippe C. Schmitter, Op. Cit., hlm. 92-93 22 Maswadi Rauf, Op. Cit., hlm. 6-7

23 Ibid., hlm. 19

24 Hugh Miall, Oliver Ramsbotham, dan Tom Woodhouse, Contemporary Conflict Resolution: the Prevention,

Management, and Transformation Deadly Conflict, (Cambridge: Cambridge Polity Press, 1999), hlm. 21

25 Zeev Maoz, Alex Mintz, T. Clifton Morgan, Glenn Palmer, dan Richard J. Stoll (eds), Multiple Paths to

Knowledge in International Relations: Methodology in The Study of Conflict Management and Conflict Resolution,

(10)

asumsi yang mendasarinya adalah bahwa sangat sulit atau bahkan mustahil untuk memenuhi semua kebutuhan dasar para pihak yang menjadi akar konflik.26 Alasan yang melatarbelakangi

asumsi pendekatan minimalis tersebut adalah bahwa para pihak atau pelaku yang memperebutkan kebutuhan dasar bersifat saling berlawanan dan bersaing.

Resolusi konflik secara mendasar terkait dengan kegiatan meliputi: penghentian interaksi kekerasan, mencapai kesepakatan antara kedua belah pihak melalui proses negoisasi langsung atau tidak langsung, berurusan dengan masalah diluar sengketa langsung yang dapat mengancam stabilitas dan daya tahan penyelesaian resmi, menciptakan mekanisme penyelesaian tanpa kekerasan dan mengantisipasi masalah lain yang mungkin timbul di masa depan, serta membuat kesepakatan dan mekanisme yang mengubah pola hubungan antara para pihak dengan jalan damai (kooperatif).27 Resolusi konflik menempatkan fokusnya pada tindakan penyelesaian

konflik tanpa kekerasan dalam proses perubahan sosial dan politik.28 Resolusi konflik terjadi

ketika para pihak dalam konflik menerima solusi permanen untuk penyelesaian masalah yang merupakan sumber konflik.29

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Terdapat dua alasan yang mendasarinya. Pertama, data yang dikumpulkan dan di analisa merupakan gejala sosial yang dinamis, dimana aktor-aktornya berperan penting dalam memberikan informasi dan pemaknaan tentang dunia sosial yang melingkupi mereka. Kedua, penelitian ini dilakukan dalam bentuk penelitian lapangan (field research), dimana peneliti melakukan studi melalui interaksi langsung dengan PKB untuk memperoleh pemahaman tentang dunia sosial mereka. Sedangkan tipe penelitian yang akan digunakan adalah penelitian eksploratif, yaitu berisi penjelasan-penjelasan dan analisis-analisis terhadap berbagai temuan di lapangan yang disesuaikan dengan tema yang diangkat, yaitu mengenai resolusi konflik internal PKB tahun 2008-2011.

                                                                                                                         

26 Ibid., hlm. 18 27 Ibid., hlm. 19

28 Hugh Miall, Op. Cit., hlm. 22 29 Zeev Maoz, Op. Cit., hlm. 219

(11)

Dalam mengumpulkan data, peneliti menggunakan dua macam cara. Pertama, studi lapangan melalui wawancara mendalam dengan narasumber dalam penelitian ini. Penentuan narasumber dibagi atas dua kelompok berdasarkan dua kubu yang berkonflik. Kelompok pertama adalah kubu Muhaimin Iskandar dengan narasumbernya Hanif Dhakiri yang merupakan Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Dewan Tanfidz DPP PKB hasil MLB Ancol Jakarta. Sedangkan kelompok kedua adalah kubu Gus Dur dengan narasumbernya Ali Masykur Musa yang merupakan Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP PKB hasil MLB Parung Bogor. Wawancara dilakukan secara terstruktur dengan menggunakan pedoman wawancara sebagai acuan penggalian informasi dan data. Kemudian data hasil wawancara diolah menggunakan matriks untuk memudahkan penulis dalam mengelompokkan informasi yang dibutuhkan.

Kedua, studi literatur dengan mempelajari berbagai literatur yang berhubungan dengan

PKB guna melengkapi informasi yang didapat dari wawancara. Studi literatur dilakukan dengan pengumpulan bahan-bahan bacaan dari berbagai sumber kepustakaan berupa buku, jurnal, disertasi, artikel koran, dan artikel internet. Penelitian kualitatif berusaha menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data yang menekankan pada tingkat kedalaman (kualitas) data, bukan banyaknya (kuantitas) data. Untuk teknik analisis data, penulis melakukan beberapa langkah yaitu kategorisasi data berdasarkan topik, interpretasi dan deskripsi data, serta penulisan laporan. Hal tersebut dilakukan karena data dalam penelitian ini bukanlah merupakan angka-angka, melainkan kata-kata yang terdapat dalam dokumen ataupun wawancara.

Hasil Penelitian

1. Faktor Penyebab Konflik Internal PKB

Pertama, faktor mekanisme pembagian kekuasaan (power sharing) yang tidak berjalan

secara seimbang antara Dewan Syuro dengan Dewan Tanfidz. Dalam hal ini, sebagaimana rumusan AD/ART Partai yang menyebutkan bahwa kepemimpinan tertinggi adalah Ketua Umum

(12)

Dewan Syuro DPP PKB. Namun, dalam tatanan implementasi politik praktis, Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP PKB justru yang lebih berwenang.

Kedua, faktor pragmatisme kekuasaan para elit politik PKB. Artinya, terdapat motivasi

para elit politik PKB dari dua kubu yang berkonflik dalam berusaha merebut dan mempertahankan kekuasaan. Dalam literatur ilmu politik, analisis mengenai pragmatisme kekuasaan yang dianut oleh elit politik PKB yang identik dengan latar belakang NU sejalan dengan yang ditelusuri oleh Deliar Noer30dan Bahtiar Effendy31 tentang konflik yang dialami NU

saat terjun ke ranah politik praktis yang seringkali dipicu oleh adanya perebutan kekuasaan yang terjadi sesama elit politiknya. Hal yang sama juga diperkuat oleh studi yang dilakukan Kamarudin dalam tulisan ringkasan disertasinya yang menyebutkan bahwa pragmatisme kekuasaan adalah tradisi NU seperti yang terlihat pada konflik internal PKB.32 Setidaknya, dalam

tiga kasus konflik internal PKB kurun waktu 2001-2011 dapat terlihat jelas suasana pragmatisme kekuasaaan tersebut.33

Ketiga, belum kuatnya mekanisme pertahanan diri partai dalam mengelola berbagai

perbedaan yang berpotensi menimbulkan konflik internal. Dalam hal ini, lemahnya manajemen konflik internal partai. Akibatnya, pihak luar mudah melakukan intervensi sehingga dapat mempengaruhi keputusan-keputusan politik PKB yang dikendalikan oleh Gus Dur sebagai Ketua Umum Dewan Syuro DPP PKB.

Keempat, faktor lemahnya penegakkan AD/ART Partai, baik dalam hal pelaksanaan

maupun pengawasan. Dalam hal ini, mengakibatkan munculnya kecenderungan perilaku politik mengabaikan konstitusi partai yang dilakukan oleh pengurus partai demi kepentingan kelompok politik tertentu. Dalam hal ini, kondisi lemahnya penegakkan AD/ART terletak pada tingkat personal atau individu bahwa terdapat kurangnya kedewasaan elit atau kader dalam mematuhi aturan sehingga menyebabkan terjadinya konflik internal PKB.

                                                                                                                         

30 Lihat Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional: Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia

1945-1965, (Bandung: Mizan, 2000).

31 Lihat Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia,

(Jakarta: Paramadina, 1998).

32 Kamarudin, Konflik Internal Partai…Op. Cit., hlm 31

33 Pada konflik periode pertama tahun 2001-2003, Matori Abdul Jalil selaku Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP PKB

dianggap ‘dekat’ dengan Presiden Megawati hingga diangkat menjadi Menteri Pertahanan RI. Pada konflik periode kedua tahun 2004-2007, Alwi Shihab dan Saifullah Yusuf selaku Ketua Umum dan Sekjen Dewan Tanfidz DPP PKB dianggap ‘dekat’ dengan Presiden SBY hingga diangkat menjadi Menko Kesra dan Menteri PDT. Terakhir konflik periode ketiga tahun 2008-2011, Muhaimin Iskandar dan Lukman Edy selaku Ketua Umum dan Sekjen Dewan Tanfidz DPP PKB yang secara politik didukung pemerintah diangkat menjadi Menteri Menakertrans dan Menteri PDT.

(13)

2. Mekanisme Penyelesaian Konflik Internal PKB

Pertama, mekanisme organisasi dengan membentuk tim investigasi melalui pembahasan

dalam Rapat Pleno yang dilakukan oleh DPP PKB. Kedua, cara kultural dengan membentuk tim rekonsiliasi yang anggotanya merupakan perwakilan dari dua kubu yang berkonflik. Ketiga, jalur politik dengan meminta dukungan pemerintah melalui pengesahan Menkum HAM dan KPU.

Keempat, jalur hukum dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri hingga banding kasasi

ke Mahkamah Agung.

Pada konflik internal PKB tahun 2008 – 2011 antara kubu Muhaimin Iskandar dengan kubu Gus Dur yang menjadi fokus studi dalam penelitian ini, penyelesaian konflik internal dimulai melalui mekanisme organisasi dengan membentuk tim investigasi oleh DPP PKB. Namun, keputusan DPP PKB melalui SK dalam Rapat Pleno tanggal 5 April 2008 yang dikendalikan Gus Dur tetap memutuskan pemberhentian Muhaimin Iskandar dari jabatannya sebagai Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP PKB. Dampaknya, perkembangan suasana konflik internal PKB semakin meluas dengan diadakannya MLB oleh dua kubu yang menghasilkan kepengurusan ganda yaitu PKB Muhaimin Iskandar dan PKB Gus Dur. Pada tahapan selanjutnya, penyelesaian konflik internal PKB mulai menggunakan cara kultural dengan membentuk tim rekonsiliasi yang bernama Tim Lima. Hasil dari upaya tim rekonsiliasi dengan melakukan mediasi untuk islah antara PKB Muhaimin Iskandar dengan PKB Gus Dur dapat dikatakan cukup positif, meskipun tidak sepenuhnya berhasil. Dalam hal ini, Yenny Wahid dari PKB Gus Dur menolak bergabung dengan PKB Muhaimin Iskandar dan tetap melakukan ‘perlawanan’ dengan menempuh upaya penyelesaian konflik melalui jalur hukum ke pengadilan.

Seiring proses penyelesaian konflik dengan cara kultural, upaya penyelesaian melalui jalur politik dan hukum juga dilakukan secara hampir bersamaan waktu. Dalam penyelesaian jalur politik, masing-masing kubu mencari dukungan politik ke pemerintah dengan melaporkan hasil MLB ke Menkum HAM agar dapat disahkan. Hasilnya, secara politik PKB Muhaimin Iskandar mendapat dukungan dengan keluarnya SK Menkum HAM tertanggal 24 Juli 2008 yang menyatakan Muhaimin Iskandar dan Lukman Edy tetap sebagai Ketua Umum dan Sekjen Dewan Tanfidz DPP PKB. Hal ini semakin diperkuat dengan keluarnya SK Menkum HAM tertanggal 5 September 2008 yang berisi tentang pengesahan susunan kepengurusan DPP PKB periode 2008 – 2013 yang dimana merupakan kepengurusan PKB Muhaimin Iskandar hasil MLB Ancol. Pasca

(14)

pemilu yang di ikuti oleh PKB Muhaimin Iskandar, dukungan politik kembali diterima dengan keluarnya SK Menkum HAM tertanggal 12 November 2010 yang berisi tentang pengesahan susunan kepengurusan DPP PKB periode 2008-2014 yang dimana merupakan perubahan dari kepengurusan baru PKB Muhaimin Iskandar.

Sedangkan penyelesaian konflik internal PKB melalui jalur hukum mulai dilakukan pasca diselenggarakannya dua MLB oleh kedua kubu yang menghasilkan kepengurusan ganda, yakni PKB Muhaimin Iskandar dan PKB Gus Dur. Secara keseluruhan, perjalanan penyelesaian konflik internal melalui jalur hukum merupakan proses panjang yang dimulai sejak dari gugatan ke Pengadilan Negeri hingga banding kasasi ke Mahkamah agung dan terakhir ke PTUN. Namun pada akhirnya, jalur hukum dimenangkan oleh PKB Muhaimin Iskandar dengan keluarnya keputusan Majelis Hakim PTUN pada tanggal 18 Agustus 2011 yang menolak seluruh gugatan PKB Gus Dur karena menganggap SK Menkum HAM dan MLB Ancol serta seluruh produk PKB kubu Muhaimin Iskandar adalah sah sesuai prosedur hukum yang berlaku. Pasca berakhirnya konflik yang ditandai dengan keputusan hukum dari PTUN tersebut, PKB Gus Dur di bawah kendali Yenny Wahid mendirikan Partai Kedaulatan Bangsa Indonesia (PKBI) yang kemudian berganti nama menjadi Partai Kemakmuran Bangsa Nusantara (PKBN).

3. Dampak Penyelesaian Konflik Internal PKB

Pertama, terpecahnya kekuatan PKB menjadi dua faksi atau kubu kelompok yang

berkonflik. Pada konflik internal PKB periode pertama tahun 2001-2003, keutuhan PKB terpecah dengan adanya kepengurusan kembar yaitu PKB Batutulis pimpinan Matori Abdul Jalil dan PKB Kuningan pimpinan Alwi Shihab. Berlanjut pada konflik internal PKB periode kedua tahun 2004-2007, kekuatan politik PKB terpecah menjadi dua kelompok yang berkonflik antara kelompok Abdurrahman Wahid – Muhaimin Iskandar hasil Muktamar ke-2 PKB di Semarang dan kelompok Alwi Shihab – Saifullah Yusuf yang menggelar Muktamar tandingan di Surabaya.34 Kemudian seolah melanjutkan serial konflik internal PKB pada periode ketiga tahun

2008-2011, PKB kembali mengalami perpecahan internal dengan adanya kubu Gus Dur yang menyelenggarakan MLB di Parung Bogor dan kubu Muhaimin Iskandar yang menyelenggarakan MLB di Ancol Jakarta. Dari kedua MLB tersebut lahirlah kepengurusan ‘ganda’, yaitu MLB Parung melahirkan PKB Gus Dur dan MLB Ancol melahirkan PKB Muhaimin Iskandar.

                                                                                                                         

(15)

Kedua, sejak pertama kali mengikuti pemilu tahun 1999 jumlah perolehan suara PKB

terus mengalami penurunan pada dua pemilu berikutnya, yakni pemilu 2004 dan 2009. Hal ini juga berdampak pada penurunan jumlah keterwakilan PKB dalam anggota DPR RI yang dimana bertugas memperjuangkan cita-cita dan tujuan partai dalam mewujudkan kemashalatan umat dan kemajuan bangsa. Sejak menuai keberhasilan pada pemilu 1999 dengan memperoleh 13,5 juta suara (12,6%) dan 51 kursi DPR RI serta berhasil mengantarkan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang merupakan Ketua Umum Dewan Syuro DPP PKB saat itu menjadi Presiden RI ke-4, jumlah perolehan suara PKB pada pemilu 2004 dan 2009 terus mengalami penurunan yang cukup signifikan. Pada pemilu 2004, meski jumlah kursi yang diperoleh relatif stabil dengan perolehan 52 kursi DPR RI namun dari sisi jumlah perolehan suara PKB mengalami penurunan menjadi 11 juta suara (10,6%). Sedangkan pada pemilu 2009, jumlah perolehan suara PKB turun drastis dengan hanya memperoleh 5,1 juta suara (4,95%) dan 28 kursi anggota DPR RI.

Ketiga, lahirnya partai politik yang merupakan partai sempalan PKB dengan basis

pendukung utama berasal dari kalangan warga Nahdliyyin. Lahirnya partai sempalan PKB dibidani oleh kubu yang kalah sebagai reaksi terpecahnya kekuatan politik PKB pasca berakhirnya penyelesaian konflik internal PKB. Tidak hanya elit politiknya saja yang terpecah, melainkan massa pendukungnya di akar rumput pun ikut terpecah. Pada konflik internal periode pertama tahun 2001-2003, Matori Abdul Jalil dengan massa pendukungnya dari PKB Batutulis sebagai kubu yang kalah mendeklarasikan Partai Kebangkitan Demokrasi (PKD). Kemudian pada konflik internal kedua tahun 2004-2007, Alwi Shihab sebagai kubu yang kalah membidani lahirnya Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) dengan dukungan Kyai Khos.35 Berlanjut

pada konflik internal periode ketiga tahun 2008-2011, Yenny Wahid bersama massa pendukung PKB Gus Dur sebagai pihak yang kalah membidani lahirnya PKBI yang berubah nama menjadi PKBN yang kemudian pada awal tahun 2013 berganti nama lagi menjadi PKBIB setelah merger dengan PPIB untuk mengikuti pemilu 2014 namun gagal dalam proses verifikasi KPU.

Pembahasan

Berdasarkan sejarahnya, PKB sebagai partai politik tumbuh berkembang seiring perkembangan demokrasi di Indonesia yang ditandai dengan bangkitnya berbagai lembaga dan                                                                                                                          

(16)

organisasi sosial kemasyarakatan (civil society) yang mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi. Lembaga yang dimaksud tersebut antara lain: Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, Komisi Pemberantasan Korupsi, Mahkamah Konstitusi, dan lain sebagainya. Sedangkan organisasi sosial kemasyarakatan yang dimaksud adalah Nahdlatul Ulama sebagai wadah aspirasi kalangan Nahdliyyin yang merupakan sumber basis dukungan utama PKB. Realitas ini cukup relevan terkait dengan pandangan Maurice Duverger yang berpendapat bahwa perkembangan partai politik sejalan dengan perkembangan demokrasi yang dibarengi dengan adanya kebangkitan kelompok-kelompok di dalam parlemen dan komite-komite pemilihan.36

Dalam konteks fungsi partai politik, PKB dinilai telah gagal dalam menjalankan salah satu fungsinya yaitu sebagai sarana pengatur konflik. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya tiga periode konflik internal PKB antara kurun waktu tahun 2001 hingga 2011 yang mengakibatkan terpecahnya kekuatan politik PKB, baik di tingkat elit maupun massa sehingga berdampak pada hasil pemilu 2004 dan 2009 yang mengalami penurunan sejak pemilu 1999. Kondisi realitas tersebut bertentangan dengan pandangan Miriam Budiarjo yang menyebutkan bahwa dalam dinamika sistem demokrasi yang seringkali menimbulkan gejala-gejala konflik politik, maka partai politik harus mampu menjalankan fungsinya sebagai sarana pengatur konflik.37

Sedangkan dalam konteks politik Indonesia yang sedang mengalami proses demokratisasi cukup relevan mengaitkannya dengan pandangan Philippe C. Schmitter yang mengemukakan bahwa demokrasi mengharuskan adanya keterampilan dalam menyelesaikan konflik sebagai jalan keluar dari pertentangan yang terjadi.38 Selain itu, demokratiasi membuka ruang politik bagi

setiap lapisan untuk menjadi elit politik.39 yang memiliki pengaruh sangat besar dalam realitas

hubungannya dengan kekuasaan hingga menimbulkan konflik politik.

Terkait penyebab terjadinya kasus konflik internal PKB, pandangan Maswadi Rauf dapat dijadikan sebagai rujukan yang mengungkapkan bahwa adanya kecenderungan manusia untuk berkuasa dan menguasai orang lain dianggap sebagai salah satu penyebab terjadinya konflik.40

Lebih jauh dijelaskan, terjadinya konflik disebabkan adanya kegiatan dalam memperebutkan                                                                                                                          

36 Maurice Duverger, Op. Cit., hlm. 2-3 37 Miriam Budiardjo, Op. Cit., hlm. 161 38 Philippe C. Schmitter, Op. Cit., hlm. 93

39 David Potter, David Goldblatt, Margaret Kiloh, dan Paul Lewis (eds), Op. Cit., hlm. 3 40 Maswadi Rauf, Op. Cit., hlm. 6-7

(17)

sumber, posisi, kedudukan atau jabatan yang dianggap langka.41 Pada dasarnya, konflik politik

terbentuk karena adanya penguasa politik. Selain itu, sifat konflik politik juga khas yaitu konflik yang melibatkan antara dua kelompok atau lebih, bukan konflik antar individu karena isu yang dipertentangkan dalam konflik politik menyangkut kepentingan banyak orang (baca: kelompok). Dalam hal ini, salah satu penyebab terjadinya kasus konflik internal PKB tahun 2008-2011 adalah adanya sikap pragmatisme dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan yang terjadi antar pengurus atau elit partai. Disamping itu, kasus konflik internal PKB ini juga merupakan termasuk konflik politik dengan sifat khasnya yaitu konflik yang melibatkan dua kelompok elit politik partai, yakni kubu Muhaimin Iskandar dan kubu Gus Dur.

Dalam hal penyelesaian konflik internal PKB tahun 2008-2011, pandangan mengenai konsep resolusi konflik yang diungkapkan oleh Hugh Miall dinilai sangat relevan bahwa resolusi konflik secara komprehensif menempatkan akar penyebab sebagai sumber konflik yang harus ditangani.42 Lebih jauh, perilaku dalam konflik tidak lagi menyangkut kekerasan dan struktur

konflik telah mengalami perubahan karena resolusi konflik merujuk pada proses ke arah perubahan sosial dan politik dengan mekanisme penyelesaian konflik yang dilakukan secara menyeluruh.43 Sedangkan pendekatan maksimalis dalam konsep resolusi konflik seperti yang

dikemukakan oleh Zeev Maoz dapat digunakan sebagai pisau analisnya bahwa pendekatan maksimalis memandang resolusi konflik sebagai suatu proses dimana pelaku konflik bertindak untuk menghapus masalah yang dipersoalkan secara permanen.44 Pendekatan ini mengasumsikan

bahwa konflik memiliki akar penyebab yang menjadi sumber konflik.

Terkait konflik internal PKB tahun 2008-2011, pemicu konflik yang berawal dari pemberhentian Muhaimin Iskandar sebagai Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP PKB telah mengalami proses perubahan pada struktur konfliknya. Hal ini dapat dilihat dengan lahirnya dua kubu antara kubu Muhaimin Iskandar yang menyelenggarakan MLB Ancol dan kubu Gus Dur yang menyelenggarakan MLB Parung. Selanjutnya, konflik semakin meluas dengan lahirnya dua kepengurusan ganda hasil MLB Ancol yang melahirkan PKB Muhaimin Iskandar dan MLB Parung yang melahirkan PKB Gus Dur. Dalam hal ini, penyelesaian konflik internal bukan lagi terletak pada persoalan pemberhentian Muhaimin Iskandar melainkan pada akar penyebabnya                                                                                                                          

41 ibid.,

42 Hugh Miall, Op. Cit., hlm. 21 43 Ibid., hlm. 22

(18)

yakni sikap politik Gus Dur sebagai Ketua Umum Dewan Syuro DPP PKB yang dalam struktur konfliknya telah mengalami proses perubahan menjadi PKB Gus Dur.

Untuk itu mengenai upaya penyelesaian konflik internal PKB tahun 2008-2011, pendekatan maksimalis dalam konsep resolusi konflik menjadi sangat tepat digunakan bahwa penyelesaian konflik diarahkan pada proses perubahan sosial dan politik yang dilakukan secara permanen. Dalam konteks ini, penyelesaian konflik internal PKB 2008-2011 melalui jalur politik dan hukum menjadi pilihan yang rasional dan tepat karena dianggap dapat menghapus akar penyebab konflik secara permanen, tidak hanya untuk saat ini tapi juga tidak akan terulang lagi di masa mendatang. Maka tak heran, dalam penyelesaian konflik internal PKB tahun 2008-2011 yang dilakukan menggunakan mekanisme organisasi dan cara kultural tidak dapat berhasil sepenuhnya bahkan konflik internal semakin meluas dengan adanya pengelompokkan kekuatan politik. Sebaliknya, penyelesaian konflik internal melalui jalur politik dan hukum yang dapat menjadi kunci penyelesaian konflik internal PKB secara permanen.

Kesimpulan

Melalui penelitian yang dilakukan ini, ditemukan empat faktor yang menyebabkan terjadinya konflik internal PKB. Pertama, faktor mekanisme pembagian kekuasaan (power

sharing) yang tidak berjalan secara seimbang antara Dewan Syuro dengan Dewan Tanfidz serta

implementasinya dalam praktek politik. Kedua, faktor pragmatisme kekuasaan para elit politik PKB dalam berusaha merebut dan mempertahankan kekuasaan. Ketiga, belum kuatnya mekanisme pertahanan diri partai (lemahnya manajemen konflik) sehingga mengakibatkan mudahnya intervensi pihak luar mempengaruhi keputusan-keputusan politik PKB yang memecah-belah keutuhan partai. Keempat, faktor lemahnya penegakkan AD/ART organisasi akibat kurangnya tingkat kedewasaan pengurus partai dalam mematuhi aturan yang berimplikasi pada perilaku cenderung mengabaikan konstitusi partai demi kepentingan kelompok tertentu.

Berdasarkan hasil kajian penelitian, upaya penyelesaian konflik internal PKB yang terjadi dalam tiga periodisasi kurun waktu antara tahun 2001 – 2011 dilakukan melalui mekanisme organisasi, kultural, politik, dan hukum. Namun dalam kenyataannya, upaya penyelesaian konflik melalui mekanisme organisasi tidak pernah berhasil bahkan konflik semakin meluas dengan

(19)

terbelahnya kekuatan politik PKB menjadi dua kubu atau kelompok. Sedangkan melalui cara kultural juga dapat dikatakan tidak berhasil, meskipun terdapat hasil yang cukup positif. Hal yang berbeda justru ketika dilakukan upaya penyelesaian dengan jalur politik dan hukum yang dimana mampu menyelesaikan konflik internal secara menyeluruh dan permanen. Kondisi tersebut terjadi pada kasus konflik internal PKB tahun 2008-2011 antara kubu Muhaimin Iskandar dan kubu Gus Dur yang menjadi fokus studi dalam penelitian ini.

Meskipun konflik internal PKB dapat diselesaikan secara politik dan hukum, namun pada kenyataannya hal tersebut membawa dampak negatif bagi perjalanan PKB selanjutnya. Hal tersebut dapat terjadi karena dalam pola penyelesaian konflik internal PKB selalu menghasilkan pihak yang menang dan yang kalah (zero sum game), bukan menghasilkan kesepakatan bersama (win-win solution). Kondisi demikian pada realitasnya telah membawa dampak negatif bagi keberlangsungan PKB sebagai salah satu partai politik besar di Indonesia. Setidaknya, terdapat tiga dampak negatif sebagai akibat penyelesaian konflik internal PKB tahun 2008-2011.

Pertama, terpecahnya kekuatan politik PKB dengan lahirnya kepengurusan ‘ganda’ antara PKB

Muhaimin Iskandar dengan PKB Gus Dur. Kedua, terjadi penurunan perolehan suara dan kursi PKB yang signifikan pada pemilu 2009 dengan hanya mendapatkan 5,1 juta suara (4,95%) dan 28 kursi DPR RI. Ketiga, lahirnya partai sempalan PKB yaitu PKBIB yang merupakan wujud dari perubahan PKB Gus Dur sebagai pihak yang kalah dalam penyelesaian konflik internal PKB. Dari segi relevansi teori dalam penelitian ini, dapat dilihat bahwa upaya penyelesaian konflik internal PKB tahun 2008 – 2011 merupakan bagian dari konsepsi resolusi konflik yang menekankan pada penghentian konflik secara permanen. Dalam hal ini, akar permasalahan yang menjadi sumber penyebab konflik tidak dapat diselesaikan dengan mekanisme organisasi dan cara kultural, namun hanya dapat diselesaikan secara menyeluruh dengan menggunakan jalur politik dan hukum. Sedangkan struktur konflik sudah mengalami proses ke arah perubahan sosial dan politik yang dimana sumber masalah/isu konfliknya bukan lagi persoalan pemecatan Muhaimin Iskandar, melainkan terletak pada munculnya dua kepengurusan PKB yang saling berlawanan antara PKB Muhaimin Iskandar dengan PKB Gus Dur. Untuk itu, penyelesaian konflik menggunakan pendekatan maksimalis dalam konsep resolusi konflik menjadi pilihan yang tepat untuk menyelesaikan konflik internal PKB tahun 2008 – 2011 karena dapat menghapus sumber penyebab konflik secara permanen tidak hanya untuk masa sekarang, namun juga untuk masa mendatang.

(20)

Daftar Referensi

Buku

Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia, 1992.

Choirie, A. Effendy. Islam-Nasionalisme UMNO-PKB Studi Komparasi dan Diplomasi. Jakarta: Pensil-324, 2008.

Effendy, Bahtiar. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di

Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1998.

Diamond, Larry. Perkembangan Demokrasi: Menuju Konsolidasi, edisi Indonesia. Yogyakarta: IRE Press, 2003.

Duverger, Maurice. “Asal Mula Partai Politik”, dalam Teori-teori Mutakhir Partai Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1988.

Kamarudin. Partai Islam di Pentas Reformasi. Jakarta: Visi Publishing, 2003.

Karim, M Rusli. Perjalanan Partai Politik di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 1983.

Maoz, Zeev, Alex Mintz, T. Clifton Morgan, Glenn Palmer, dan Richard J. Stoll (eds). Multiple

Paths to Knowledge in International Relations: Methodology in The Study of Conflict Management and Conflict Resolution. Oxford: Lexington Press, 2004.

Miall, Hugh, Oliver Ramsbotham, dan Tom Woodhouse. Contemporary Conflict Resolution: the

Prevention, Management, and Transformation Deadly Conflict. Cambridge: Cambridge

Polity Press, 1999.

Noer, Deliar. Partai Islam di Pentas Nasional: Kisah dan Analisis Perkembangan Politik

Indonesia 1945-1965. Bandung: Mizan, 2000.

O’Donnell, Guillermo dan Philippe C. Schmitter. Transisi Menuju Demokrasi: Tinjauan

Berbagai Perspektif. Jakarta: LP3ES, 1993.

Potter, David, David Goldblatt, Margaret Kiloh, dan Paul Lewis. (eds). Democratization. Cambridge: Cambridge Polity Press, 1997.

Rauf, Maswadi. Konsensus Politik: Sebuah Penjajagan Teoritis. Jakarta: Dirjen Dikti Depdiknas, 2000.

Ulum, Bahrul. “Bodohnya NU apa NU Dibodohi”?: Jejak Langkah NU Era Reformasi, Menguji

Khittah, Meneropong Paradigma Politik. Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2002.

Yatim, Syafriadi S., Sigit Joyowardono, Supriatna, dan Andi Krisna (eds). Pemilu 2009 dalam

(21)

Dokumen, Disertasi, dan Jurnal

Dokumentasi Hasil Muktamar II Partai Kebangkitan Bangsa, Semarang, 16 – 18 April 2005,

(Jakarta: DPP PKB, tanpa tahun).

Kamarudin, Konflik Internal Partai Kebangkitan Bangsa (Studi Kasus Tahun 2004 – 2007), Ringkasan Disertasi pada Bidang Studi Ilmu Politik Program Pascasarjana FISIP UI (2007). Karim, Abdul Gafar, “Stabilitas Jamaah, Instabilitas Parpol: NU dalam 10 tahun Reformasi”

dalam NU dan Politik, An-Nahdlah, No. 3 Edisi Juni-Juli 2008.

Schmitter, Philippe C., “Perkembangan Mutakhir Dalam Studi Akademis Demokratisasi”, Jurnal

Demokrasi & HAM. Jakarta: The Habibie Center, 2001.

Surat Kabar

Kompas, 21 Mei 2012.

Republika, 27 Desember 2010. Tempo, 4 Mei 2008.

Wawancara

Hanif Dhakiri sebagai Wasekjen Dewan Tanfidz DPP PKB periode 2005-2008 hasil Muktamar ke-2 di Semarang tahun 2005 yang juga sebagai Wasekjen Dewan Tanfidz DPP PKB periode 2008-2013 hasil Muktamar Luar Biasa di Ancol Jakarta tahun 2008, pada tanggal 2 Juli 2013 pukul 13.30-14.30 WIB bertempat di Gedung DPR/MPR Senayan, Jakarta.

Ali Masykur Musa sebagai Wakil Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP PKB periode 2005-2008 hasil Muktamar ke-2 di Semarang tahun 2005 yang juga sebagai Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP PKB periode 2008-2010 hasil Muktamar Luar Biasa di Parung Bogor tahun 2008, pada tanggal 2 Juli 2013 pukul 22.30-23.00 WIB bertempat di Gatot Subroto, Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pernyataan tersebut harus dibangun bagaimana cara penyelesaian konflik (resolusi konflik) yang muncul dari bottom-up yang secara damai dan melibatkan

Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan perolehan suara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Kecamatan Punung dan Kecamatan Arjosari pada pemilu tahun 2004...

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa karya ilmiah yang berjudul “ DINAMIKA POLITIK PKB: Studi Tentang Konflik Internal 1999-2004” adalah benar-benar hasil karya sendiri, kecuali

Skripsi-skripsi diatas lebih menekankan terhadap konflik internal didalam tubuh sebuah Partai, dan analisis melalui Fiqh Ikhtilaf, penelitian yang akan penulis lakukan ini

Kedua konflik yang terjadi pada pemilihan Ketua Umum Partai Golkar.. tahun 2004 antara Akbar Tandjung, Jusuf Kalla serta

Manajemen Konflik Partai Golkar dalam Pemilukada Kabupaten Pinrang Tahun 2013.. Skripsi Porgram Sarjana Ilmu Pemerintahan

Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan perolehan suara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Kecamatan Punung dan Kecamatan Arjosari pada pemilu tahun 2004...

Dalam thesis yang berjudul “Peran Organisasi Internasional dalam Penyelesaian Konflik Internal Negara: Studi Kasus Peran Pasukan Perdamaian PBB di Sierra Leone (1994-2005)”,