• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. diteliti. Padahal pada masa penjajahan sampai dengan tahun 1960-an NU tidak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. diteliti. Padahal pada masa penjajahan sampai dengan tahun 1960-an NU tidak"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Nahdlatul Ulama laksana gadis cantik yang menarik untuk diteliti walau dari berbagai pandangan dan latar belakang yang berbeda. Ormas Islam terbesar di tanah air ini sepertinya tidak pernah tuntas untuk diamati dan diteliti. Padahal pada masa penjajahan sampai dengan tahun 1960-an NU tidak mendapatkan perhatian dari pengamat yang saat itu meneliti umat Islam di Indonesia. Ormas Islam yang menjadi pengamatan hanyalah Muhammadiyah dan Masyumi walaupun ada yang membahas NU, itu pun hanya bersifat instrumental.

Kelahiran NU dibidani oleh Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari dan ulama-ulama terkemuka lainnya, seperti K.H Wahab Hasbullah dan Bisri Sansuri, pada tanggal 26 Januari 1926. Salah satu tujuannya adalah untuk melindungi praktik dan pemikiran keagamaan Muslim Indonesia yang berbeda dengan praktik dan pemikiran keagamaan Muslim Timur Tengah, khususnya Arab Saudi yang puritanistik (gerakan pembaharu).

Menurut Elnerst Gellner (Kompas, 2010 : 4-5), “NU berdiri untuk membela praktis Islam yang cenderung dekat dengan local Islam. Dalam kitab Qanun Asasi Li Jami’ati Nahdlatul Ulam, K.H Hasyim Asy’ari memprihatinkan adanya gerakan keagamaan baru yang menyerukan pemberantasan bid’ah (heterodoksi) dengan “kedok” kembali kepada Al-Quran. Padahal, gerakan baru inilah yang memproduksi bid’ah. Pernyataan K.H Hasyim ini bisa dianggap merespons situasi internasional tentang maraknya gerakan Wahabisme di Timur Tengah, dan terhadap situasi nasional tentang maraknya gerakan pembaharuan (puritanisme) Islam.”

(2)

Dari sini dapat disimpulkan, bahwa pendirian NU bukan untuk tujuan politik kekuasaan, melainkan politik (keagamaan) kerakyatan. Maka, bagi umat Islam Indonesia yang menginginkan pelaksanaan praktik dan pemikiran keagamaannya dekat dengan tradisi lokalnya, kehadiran NU dinilai memberi perlindungan. Bila ini bisa disebut tindakan politik kerakyatan --dalam pengertian luas-- maka politik jenis inilah yang patut disebut tingkatan politik tertinggi NU. Politik kenegaraan belum muncul karena pada saat itu (1926) diskursus tentang negara belum ada.

Seiring dengan kompleksitas perkembangan politik Indonesia, perjalanan politik NU juga berkembang. NU mulai bersentuhan dengan ranah politik kenegaraan (kebangsaan), terutama menjelang dan pasca kemerdekaan. Persentuhan ini merupakan pengaruh gerakan nasionalisme di beberapa negara yang bergerak menuju kemerdekaan. Kontribusi politik kenegaraan NU yang paling jelas adalah dukungan Wahid Hasyim, wakil NU pada PPKI, untuk tidak mencantumkan Piagam Jakarta di dalam dasar negara kita.

Selain itu, selama menjadi organisasi sosial, juga politik-keagamaan, NU tidak pernah terlibat kasus-kasus pemberontakan Islam. Komitmen terhadap negara dan bangsa diletakkan di atas segala-galanya karena NU menyadari, eksistensi negara adalah hal utama bagi kehidupan agama dan manusia sesuai dengan garis Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Dua model politik NU itu (kerakyatan dan kenegaraan) merupakan pengalaman paling ideal dalam sejarah NU. Dua model ini menjadikan NU sebagai organisasi keagamaan yang berorientasi pada kebaikan dan

(3)

kepentingan umum (mashlahah ‘ammah). Namun, NU ternyata tidak mampu mempertahankan dua model politik ini karena godaan politik kekuasaan, baik dari tokoh NU sendiri maupun dari luar NU.

Keterlibatan pertama NU dengan politik kekuasaan adalah dukungan organisasi ini terhadap pendirian Masyumi. Ketika menjadi organisasi penyangga Masyumi, tokoh-tokoh NU terlibat perebutan kekuasaan baik untuk jabatan dalam tubuh partai maupun di luar partai (eksekutif). Politik kekuasaan masa ini diakhiri dengan perpecahan. Ketelibatan paling pekat dengan politik kekuasaan saat NU berdiri sebagai partai politik (1952) pasca pecah dari Masyumi.

Menurut Greg Fealy (Kompas, 2010 : 5), “tujuan politik NU saat menjadi parpol adalah pertama, penyaluran dana pemerintah terhadap NU. Kedua, mendapatkan peluang bisnis. Ketiga, menduduki jabatan birokrasi. Dengan tiga tujuan politik seperti itu, tampaknya justru menyebabkan NU terjerembab dalam kubangan orientasi politik materialistis, lalai pada politik kerakyatan. Bahkan pada periode ini NU dituduh sebagai oportunis dan akomodasionis. Inilah periode terburuk sejarah NU karena ketika menjadi parpol, NU tidak menunjukkan prestasi gemilang bahkan bisa dikatakan gagal.”

Kegagalan itu tidak segera disadari sehingga saat Soeharto menerapkan kebijakan fusi bagi partai-partai politik Indonesia, NU tidak memanfaatkan momentum ini kembali ke jalan politik NU sesuai khittah 1926. Bahkan NU tetap menjadi pendukung PPP di garis depan. Dukungan terhadap PPP menunjukkan orientasi politik kekuasaan masih menjadi prioritas utama. Dan apa yang terjadi selama bergabung dengan PPP, pengulangan sejarah saat NU bergabung dengan Masyumi. Merasa dicurangi

(4)

dan dikebiri, NU memutuskan kembali ke model NU tahun 1926, NU yang berorientasi pada jama’ah dan jam’iyyah.

Akan tetapi, keputusan untuk kembali kepada khittah 1926 ternyata tidak membuat NU benar-benar kembali kepada politik kerakyatan dan kenegaraan. Lubang untuk melakukan politisasi NU masih terbuka karena khittah NU 1926 tidak tegas mengatur hubungan antara organisasi dan pengurus. Padahal, ini merupakan titik krusial yang menyebabkan pertarungan politik praktis di antara tokoh NU. Dalam hal ini, khittah 1926 hanya menyatakan NU sebagai organisasi harus netral, namun sebagai individu, pengurus NU bisa berpolitik praktis. Memang ada aturan, pengurus NU yang rangkap jabatan dalam parpol harus memilih salah satu. Namun, aturan ini tidak bisa diterapkan untuk kasus selain partai politik.

Meskipun dalam kadar yang berbeda, namun dari titik inilah muncul dua peristiwa politik berorientasi kekuasaan pasca khittah 1926 dalam tubuh NU. Pertama, kesediaan K.H Abdurrahman Wahid menjadi calon presiden RI pada Pemilu 1999. Kedua, pencalonan K.H Hasyim Muzadi oleh PDI-P untuk wakil presiden dalam Pemilu 5 Juli 2004.

Pada tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto “lengser keprabon” sebagai akibat desakan arus reformasi yang kuat. Mulai yang mengalir dari diskusi terbatas, unjuk rasa, unjuk keprihatinan, sampai istighosah dan lain sebagainya. Peristiwa ini menandai lahirnya era baru di Indonesia, yang kemudian disebut era reformasi.

(5)

Sehari setelah peristiwa bersejarah itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mulai kebanjiran usulan dari warga NU di seluruh pelosok tanah air. Usulan yang masuk ke PBNU sangat beragam, ada yang hanya mengusulkan agar PBNU membentuk parpol dan ada yang mengusulkan nama parpol. Di antara yang usulannya paling lengkap adalah Lajnah Sebelas Rembang yang diketuai K.H M Cholil Bisri dan PWNU Jawa Barat.

Beberapa bulan setelah lengsernya Soeharto, yaitu pada tanggal 23 Juli 1998 berdirilah sebuah Partai Politik. Partai ini bernama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang berlambangkan bola dunia dengan dikelilingi oleh sembilan bintang. Asas yang dianut adalah Pancasila dengan prinsip ahlus sunnah wal jamaah.

Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) merupakan salah satu Partai Politik (Parpol) yang tak pernah putus dirundung konflik. Bahkan PKB sudah berkonflik sejak sebelum kelahirannya. Yang pada saat itu terjadi pro dan kontra terhadap kelahiran partai berlambang bola dunia ini. Ini merupakan konflik perdana bagi PKB.

Ketika muncul gagasan mendirikan parpol di kalangan ormas Nahdlatul Ulama (NU), tak lama setelah Soeharto tumbang, pro dan kontra di kalangan ormas yang selalu diklaim terbesar ini bermunculan. Mereka yang kontra berpendapat bahwa NU menjadi sebuah parpol saja. Karena NU memang pernah menjadi parpol dan memperoleh suara yang tidak sedikit pada Pemilu 1955. Sedangkan kelompok pro memiliki argumentasi yang tak kalah kuatnya. Yakni NU adalah ormas yang sudah bertekad kembali ke Khittah

(6)

1926, dan jangan kembali dibawa kepada urusan politik praktis. Urusan bertambah rumit ketika PKB digagas sebagai parpol yang tidak menggunakan asas Islam, melainkan terbuka.

Ujung dari konflik perdana tersebut adalah lahirnya PKB yang dimotori para kiai NU yang disebut “mainstream” atau secara sinis disebut “kiai struktural”. Mereka yang kontra disebut “kiai non-struktural” kemudian mendirikan parpol lain. Namun sayangnya, mereka tidak solid sehingga melahirkan parpol lain, seperti Partai Nahdlatul Ummat (PNU) dan Partai Kebangkitan Umat (PKU).

Konflik paling serius dan berlarut-larut adalah pecahnya partai ini menjadi kubu Matori Abdul Djalil dan kubu Alwi Shihab. Perseturuan ini berlangsung dari pusat sampai daerah. Berawal dari pemecatan Matori sebagai Ketua Umum Partai karena hadir dalam SI MPR 2001 yang menjatuhkan Gus Dur. Sejumlah upaya islah dicoba ditempuh, namun selalu mengalami kebuntuan. Urusan akhirnya selesai melalui proses hukum. Mahkamah Agung memenangkan kubu Alwi. Kemudian Matori mendirikan partai baru. Kasus Matori bisa berlalu, namun perkara baru datang membelit. PKB disibukkan polemik reposisi Syaifullah Yusuf dari posisi sekretaris jenderal.

Menggoyang Syaiful ternyata bagaikan membuka kotak Pandora. Pernik konflik internal yang selama ini terpendam mendadak menghambur secara terang-benderang ke permukaan. Sejumlah kiai kharismatik tiba-tiba berani terbuka berseberangan dengan sikap Gus Dur. Di antara mereka KH

(7)

Idris Marzuki, KH Cholil Bisri, dan KH Mas Subadar, yang sebelumnya dikenal sebagai pembela Gus Dur yang loyal.

Tidak berarti mereka berubah menjadi pendukung loyal Syaiful. Kasus keponakan Gus Dur itu mereka jadikan momentum untuk mengungkapkan kekecewaan pada berbagai policy Dewan Pengurus Pusat (DPP) PKB yang lain. Dimulai dari persoalan penetapan calon kepala daerah (gubernur dan bupati/walikota) sampai cara DPP yang dinilai arogan dalam mengurusi konflik-konflik tingkat daerah.

Namun diantara konflik yang terjadi di dalam tubuh PKB, Kubu KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Kubu Muhaimin Iskandar merupakan puncak konflik yang terjadi di tahun 2009. Konflik ini berimbas pula pada sikap politik PKB dalam menghadapi Pemilu. Dan konflik itu pun tidak hanya terjadi di tingkat pusat saja, melainkan merambah ke tingkat daerah.

Seringnya PKB memiliki konflik internal ternyata tidak hanya merepotkan kalangan jurnalis dan para pengamat politik. Tapi, juga Depkum dan HAM dan KPU. KPU dipastikan akan kesulitan membuat keputusan, hal ini bisa disebabkan apabila PKB kedua kubu yang berkonflik sama-sama mendaftar sebagai peserta Pemilu dengan nama Parpol yang sama.

Konflik internal PKB kubu Gus Dur dan kubu Muhaimin Iskandar pun terjadi di DPC PKB Kota Tasikmalaya. Sosok Gus Dur yang kontroversial selalu memiliki pengikut yang loyal pada dirinya. Pengikut Gus Dur di DPC PKB Kota Tasikmalaya pun mendapatkan pertentangan dari pengikut Muhaimin Iskandar. Perebutan pengaruh dan kekuasaan terjadi di DPC PKB

(8)

Kota Tasikmalaya. Dari data pra-survei dan hasil diskusi dengan salah seorang responden, di dapat tiga kubu yang konflik di tubuh DPC PKB Kota Tasikmalaya. Yakni kubu Gus Dur, kubu Muhaimin versi A dan kubu Muhaimin versi B. Hal ini disebabkan oleh adanya kepentingan dan perebutan kekuasaan dalam menghadapi Pemilu 2009.

Tidak dapat dipungkiri bahwa konflik internal DPC PKB Kota Tasikmalaya merupakan imbas dari struktur secara nasional. Di DPC PKB Kota Tasikmalaya sendiri terdapat kader-kader PKB yang setia kepada Gus Dur. Namun disamping itu terdapat pula kader-kader PKB yang hanya mencari jabatan atau ruang politik pragmatis.

Pada Pemilu Legislatif 2009, sempat terjadi peristiwa dimana kader-kader DPC PKB Kota Tasikmalaya kubu Gus Dur tidak mau mencalonkan sebagai anggota DPRD Kota Tasikmalaya. Dengan alasan kepemimpinan dan mayoritas kepengurusan DPC PKB Kota Tasikmalaya dihuni oleh kader-kader PKB kubu Muhaimin Iskandar. Hal ini menyebabkan kader-kader PKB kubu Gus Dur lebih memilih tidak mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, mencari kendaraan politik lain dan memilih mencalonkan sebagai anggota legislatif tingkat propinsi.

B. Perumusan Masalah

Segala permasalahan yang dihadapi PKB menggugah Penulis untuk meneliti serta mengkaji pemahaman tentang konflik secara lebih mendalam.

(9)

1. Bagaimana konflik internal dapat terjadi di tubuh DPC PKB Kota Tasikmalaya?

2. Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya konflik internal di tubuh DPC PKB Kota Tasikmalaya?

C. Pembatasan Masalah

Pada penelitian ini, Peneliti melakukan pembatasan terhadap permasalahan yang ada dan telah dirumuskan agar terarah dan terkonsentrasi dalam melakukan penelitian. Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah Konflik Internal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Kubu Gus Dur dan Kubu Muhaimin Iskandar (Studi Kasus DPC PKB Kota Tasikmalaya) pada masa kepemimpinan Didin C Nurdin.

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memahami tentang konflik secara lebih mendalam, yakni terjadinya konflik internal di tubuh DPC PKB Kota Tasikmalaya serta mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan konflik itu terjadi. Dengan pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah Konflik Internal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Kubu Gus Dur dan Kubu Muhaimin Iskandar (Studi Kasus DPC Kota Tasikmalaya) pada masa kepemimpinan Didin C Nurdin.

(10)

E. Manfaat Penelitian

Dengan tujuan yang ditetapkan diatas, hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi berbagai pihak, diantaranya:

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan kajian ilmu sosial dan politik, khususnya mengenai konflik politik.

2. Manfaat praktis

Secara praktis, penelitian ini di harapkan dapat menjadi bahan masukan bagi para akademisi dan praktisi politik, kader partai politik.

Referensi

Dokumen terkait

Jika sampai masa yang ditentukan tidak melakukan Her- registrasi ke dua maka dinyatakan mengundurkan diri sebagai mahasiswa STSRD VISI dan biaya pendidikan yang dibayarkan

Indonesia yang ingin memasarkan produknya ke pasar Korea Selatan khususnya untuk komoditas cassava atau singkong serta membantu meningkatkan daya saing produk

[r]

PENGARUH PENDEKATAN PEMBELAJARAN SAINTIFIK TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA: (Studi pada Siswa Kompetensi Keahlian Administrasi Perkantoran di SMK Negeri 11

Menentukan viskositas tiga macam likuida dengan cara percobaan yang sederhana.. Menganalisa data hasil percobaan dengan membandingkan viskositas rata

7 Menurut saya PHK tidak akan tetjadi jika I perusahaan masih dapat menggaji karyawannya.. 10 Saya merasa bahwa PHK dapat menimbulkan

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang berjudul ” PERANAN KOPERASI SIMPAN PINJAM DAN PEMBIAYAAN SYARI’AH BAITUL MAAL WATTAMWIL (KSPPS BMT) FAJAR KOTA METRO,

 Usaha Dagang adalah suatu cara berbisnis secara pribadi dan sendiri (tanpa partner) tanpa mendirikan suatu badan hukum dan karenanya tidak ada harta khusus yang