• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. menentukan apakah perilaku tertentu akan dilakukan atau tidak.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. menentukan apakah perilaku tertentu akan dilakukan atau tidak."

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Intensi Turnover 1. Intensi

a. Pengertian Intensi

Menurut Chaplin (2004) intensi (intention) adalah satu perjuangan guna mencapai satu tujuan. Azwar (2008) menambahkan bahwa intensi atau niat menentukan apakah perilaku tertentu akan dilakukan atau tidak.

Intensi adalah komponen dalam diri individu yang mengacu pada keinginan untuk melakukan tingkah laku tertentu. Hal-hal yang diasumsikan dapat menangkap faktor-faktor yang memotivasi dan yang berdampak kuat pada tingkah laku (Fishbein & Ajzen, 1975). Sebuah peristiwa akan menimbulkan respon dari individu dan kemudian akan melibatkan proses internal untuk suatu pencapaian keputusan, tingkah laku tersebut akan dilakukan atau tidak dilakukan (Fishbein & Ajzen, 1975).

Intensi akan memberikan petunjuk tentang kemungkinan seseorang untuk melakukan suatu perilaku tertentu, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ajzen dan Fishbein (1975) bahwa intensi berperilaku adalah kemungkinan subjektif subjek untuk melakukan suatu perilaku tertentu. Norma subjektif subjek ditentukan oleh keyakinannya pada apa yang dianggap penting oleh orang-orang yang dianggap penting oleh subjek (significant person) dan pendapatnya dipercayai oleh subjek.

(2)

Orang yang dianggap penting oleh subjek tersebut dapat memberikan dukungan bagi subjek untuk menentukan keyakinannya.

Intensi adalah bagian penting teori tindakan beralasan (Theory of reasoned

action) dari Fishbein dan Ajzen (1975). Intensi merupakan prediktor sukses dari

perilaku karena ia menjembatani sikap dan perilaku. Intensi dipandang sebagai ubahan yang paling dekat dari individu untuk melakukan perilaku, maka dengan demikian intensi dapat dipandang sebagai hal yang khusus dari keyakinan yang obyeknya selalu individu dan atribusinya selalu perilaku (Fishbein & Ajzen, 1975). Intensi dapat menunjukkan seberapa besar kemauan seseorang untuk berusaha melakukan suatu tingkah laku tertentu.

Mobley (1977) menyatakan bahwa sebelum karyawan memutuskan keluar dari organisasi maka ia akan melewati beberapa proses atau kondisi, yaitu berpikir untuk keluar (thinking of quitting), intensi untuk mencari pekerjaan lain (intention to search for another job), dan intensi untuk berhenti atau bertahan (intention to quit or stay). Berdasarkan pernyataan ini dapat dilihat bahwa sebelum seseorang keluar dari organisasi, ia akan menjalani beberapa proses kognitif yang kemudian mengarahkannya kepada perilaku aktual turnover. Hal inilah yang disebut dengan intensi.

Berdasarkan beberapa pengertian intensi di atas, dapat disimpulkan bahwa intensi merupakan hasil keyakinan dalam diri individu terhadap sesuatu, yang kemudian membentuk sikap tertentu dan akhirnya menghasilkan intensi atau keinginan untuk memanifestasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini

(3)

diperkuat oleh pernyataan Engel, Blackwell, dan Miniard (1995) yang mencatat bahwa sikap sejalan dengan intensi, dan merupakan prediktor perilaku yang baik di masa akan datang. Dari penjelasan-penjelasan di atas telah jelas bahwa intensi dijadikan sebagai tolak ukur untuk memprediksi perilaku.

b. Faktor Penentu Intensi

Intensi perilaku menururt Fishbein dan Ajzen (1975) dapat dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu :

1. Keyakinan perilaku, yang merupakan dasar bagi pembentukan norma subyektif. Di dalam sikap terhadap perilaku terdapat dua aspek pokok, yaitu keyakinan individu bahwa menampilkan atau tidak menampilkan perilaku tertentu akan menghasilkan akibat-akibat atau hasil-hasil tertentu, dan merupakan aspek pengetahuan individu tentang obyek sikap dapat pula berupa opini individu, hal yang belum tentu sesuai dengan kenyataan. Semakin positif keyakinan individu akan akibat dari suatu obyek sikap, maka akan semakin positif pula sikap individu terhadap obyek tersebut, demikian pula sebaliknya.

2. Keyakinan normatif, yaitu keyakinan individu akan norma, orang sekitarnya dan motivasi individu untuk mengikuti norma tersebut. Di dalam norma subyektif terdapat dua aspek pokok yaitu keyakinan akan harapan dan referensi norma harapan, merupakan pandangan pihak lain yang dianggap penting oleh individu yang menyarankan individu untuk menampilkan atau

(4)

tidak menampilkan perilaku tertentu serta motivasi untuk mematuhi harapan normatif.

3. Kontrol perilaku, yang merupakan dasar bagi pembentukan kontrol perilaku yang dipersepsikan. Kontrol perilaku yang dipersepsi merupakan persepsi terhadap kekuatan faktor-faktor yang mempermudah atau mempersulit. Persepsi terhadap faktor-faktor yang memudahkan atau menghalau faktor yang menyulitkan penampilan perilaku tertentu.

Intensi seringkali terlihat sebagai komponen konatif dari sikap dan pada umumnya diasumsikan bahwa komponen konatif tersebut berkaitan dengan komponen afektif dari sikap. Konsepsi/pengertian tersebut telah mengacu pada asumsi terhadap keterikatan yang kuat antara sikap dan intensi (Fishbein & Ajzen, 1975).

2. Turnover

a. Pengertian Turnover

Penelitian empiris mengenai turnover karyawan telah banyak dilakukan sebagai upaya untuk mengidentifikasi sebab-sebab pengunduran diri karyawan. Satu dasar pemikiran yang penting mengenai turnover karyawan adalah bahwa karyawan yang potensial dapat lebih dikembangkan di kemudian hari dan dapat ditingkatkan ke level atau produktivitas yang lebih tinggi dan juga dapat memberikan kontribusi yang signifikan kepada perusahaan, dengan demikian juga dapat meningkatkan gaji dan penghargaan. Karenanya, pengembangan sumber

(5)

daya manusia mempunyai peranan yang penting dan merupakan satu mata rantai dengan turnover karyawan (Carmeli & Weisberg, 2006).

Arti turnover adalah berhentinya seorang karyawan dari tempatnya bekerja secara sukarela menurut pilihannya sendiri (Zeffane, 2003). Kemudian menurut Mobley (2000) turnover adalah penghentian keanggotaan dalam organisasi dengan menerima upah moneter dari organisasi. Selain itu, Mathis dan Jackson (2006) mengatakan bahwa turnover berhubungan dengan kepuasan kerja dan komitmen organisasional. Turnover adalah proses dimana karyawan-karyawan meninggalkan organisasi dan harus segera digantikan. Dan hal ini merupakan salah satu kerugian terbesar yang akan dialami perusahaan ketika banyak karyawannya yang meninggalkan perusahaannya, apalagi karyawan yang keluar adalah karyawan yang berpotensi.

Berdasarkan uraian tersebut maka pengertian turnover adalah berhentinya seorang karyawan dari suatu organisasi secara sukarela dan karyawan tersebut menerima upah moneter dari organisasi.

b. Jenis Turnover

Menurut Mathis dan Jackson (2006) turnover dikelompokkan dalam beberapa cara yang berbeda. Setiap klasifikasi berikut dapat digunakan dan tidak terpisah satu sama lain.

1) Turnover secara tidak sukarela

Adalah keluarnya karyawan akibat dari pemecatan karena kinerja yang buruk dan pelanggaran peraturan kerja. Turnover secara tidak sukarela dipicu oleh

(6)

kebijakan organisasional, peraturan kerja, dan standar kinerja yang tidak dipenuhi oleh karyawan.

2) Turnover secara suka rela

Adalah keluarnya karyawan yang dikarenakan keinginan sendiri (turnover

intention). Turnover secara sukarela dapat disebabkan oleh banyak faktor,

termasuk peluang karir, gaji, pengawasan, geografi, dan alasan pribadi atau keluarga. Turnover sukarela juga semakin meningkat seiring dengan bertambahnya ukuran organisasi, yang mana semakin perusahaan besar mempunyai lebih banyak karyawan yang mungkin keluar, semakin perusahaan tersebut bersifat impersonal, begitu pula dengan birokrasi organisasi yang ada dalam perusahaan tersebut.

3) Turnover Fungsional

Keluarnya karyawan yang memiliki kinerja lebih rendah atau karyawan yang menganggu proses perusahaan.

4) Turonover Disfungsional

Keluarnya karyawan penting, berkompetensi, dan memiliki kinerja yang tinggi. Turnover disfungsional sering kali terjadi pada saat yang kurang tepat. 5) Turnover yang Tidak Dapat Dikendalikan

Suatu momentum keluarnya karyawan karena alasan di luar pengaruh pemberi kerja. Alasan-alasan tersebut meliputi karyawan pindah dari daerah geografis, karyawan memutuskan untuk tinggal di rumah untuk alasan keluarga, suami

(7)

atau istri karyawan dipindahkan, atau karyawan adalah mahasiswa yang baru lulus dari perguruan tinggi.

6) Turnover yang Dapat Dikendalikan

Suatu momentum keluarnya karyawan karena faktor-faktor yang dipengaruhi oleh pemberi kerja.

c. Biaya Turnover

Menurut Mathis dan Jackson (2006) salah satu kerugian terbesar dalam terjadinya turnover adalah biaya yang harus dikeluarkan. Model perkiraan biaya

turnover ini selalu mempertimbangkan beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut

adalah :

1) Biaya Perekrutan

Meliputi beban perekrutan dan iklan, biaya pencarian, waktu dan gaji pewawancara dan staf SDM, biaya penyerahan karyawan, biaya relokasi dan pemindahan, waktu dan gaji supervisor dan manajerial, biaya pengujian perekrutan, waktu pengecekan referensi, beban medis sebelum pekerjaan, dan sebagainya.

2) Biaya Pelatihan

Meliputi waktu orientasi yang dibayar, waktu dan gaji staf latihan, biaya materi pelatihan, waktu dan gaji para supervisor dan manajer, dan sebagainya. 3) Biaya Produktivitas

Meliputi produktivitas yang hilang karena waktu pelatihan karyawan baru, hilangnya hubungan pelanggan, tidak biasa dengan produk dan jasa

(8)

perusahaan, lebih banyak waktu untuk menggunakan sumber dan sistem perusahaan, dan sebagainya.

4) Biaya Pemberhentian

Meliputi waktu dan gaji staf dan supervisor SDM untuk mencegah pemberhentian, waktu wawancara keluar kerja, beban pengangguran, biaya hukum yang dituntut oleh karyawan yang diberhentikan, dan sebagainya.

d. Indikasi Turnover

Menurut Harnoto (2002) turnover ditandai oleh berbagai hal yang menyangkut perilaku karyawan, antara lain absensi yang meningkat, mulai malas kerja, meningkatnya keberanian untuk melanggar tata tertib kerja, keberanian untuk menentang atau protes kepada atasan, maupun keseriusan untuk menyelesaikan semua tanggung jawab karyawan yang sangat berbeda dari biasanya. Indikasi-indikasi tersebut bisa digunakan sebagai acuan untuk memprediksikan terjadinya turnover karyawan dalam sebuah perusahaan.

1) Absensi yang meningkat

Karyawan yang berkeinginan untuk melakukan pindah kerja, biasanya ditandai dengan absensi yang semakin meningkat. Tingkat tanggung jawab karyawan dalam fase ini sangat kurang dibandingkan dengan sebelumnya. 2) Mulai malas bekerja

Karyawan yang berkeinginan untuk melakukan pindah kerja, akan lebih malas bekerja karena orientasi karyawan ini adalah bekerja di tempat lainnya yang dipandang lebih mampu memenuhi semua keinginan karyawan bersangkutan.

(9)

3) Peningkatan terhadap pelanggaran tata tertib kerja

Berbagai pelanggaran terhadap tata tertib dalam lingkungan pekerjaan sering dilakukan karyawan yang akan melakukan turnover. Karyawan lebih sering meninggalkan tempat kerja ketika jam-jam kerja berlangsung, maupun berbagai bentuk pelanggaran lainnya.

4) Peningkatan protes terhadap atasan

Karyawan yang berkeinginan untuk melakukan pindah kerja, lebih sering melakukan protes terhadap kebijakan-kebijakan perusahaan kepada atasan. Materi protes yang ditekankan biasanya berhubungan dengan balas jasa atau aturan lain yang tidak sependapat dengan keinginan karyawan.

5) Perilaku positif yang sangat berbeda dari biasanya

Biasanya hal ini berlaku untuk karyawan yang karakteristik positif. Karyawan ini mempunyai tanggung jawab yang tinggi terhadap tugas yang dibebankan, dan jika perilaku positif karyawan ini meningkat jauh dan berbeda dari biasanya justru menunjukkan karyawan ini akan melakukan turnover.

3. Intensi Turnover

a. Pengertian Intensi Turnover

Berdasarkan pengertian intensi dan turnover yang sudah dijelaskan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa intensi turnover adalah keinginan seorang karyawan untuk berhenti atau keluar dari organisasi/perusahaan. Pendapat tersebut menunjukkan bahwa intensi turnover adalah keinginan untuk berpindah,

(10)

belum sampai pada tahap realisasi yaitu melakukan perpindahan dari satu tempat kerja ke tempat kerja lainnya. Harnoto (2002) menyatakan bahwa intensi turnover adalah kadar atau intensitas dari keinginan untuk keluar dari perusahaan. Banyak alasan yang menyebabkan timbulnya intensi turnover ini dan diantaranya adalah keinginan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Pendapat tersebut juga relatif sama dengan pendapat yang telah diungkapkan sebelumnya, bahwa intensi

turnover pada dasarnya adalah keinginan untuk meninggalkan (keluar)

perusahaan. Pendapat ini menunjukkan bahwa intensi turnover merupakan bentuk keinginan karyawan untuk berpindah ke perusahaan lain.

Handoko (2001) menyatakan turnover merupakan tantangan khusus bagi pengembangan sumber daya manusia. Karena kejadian-kejadian tersebut tidak dapat diperkirakan, kegiatan-kegiatan pengembangan harus mempersiapkan setiap saat pengganti karyawan yang keluar. Di lain pihak, dalam kasus nyata, program pengembangan perusahaan yang sangat baik justru meningkatkan intensi

turnover.

Pergantian karyawan atau keluar masuknya karyawan dari organisasi adalah suatu fenomena penting dalam suatu organisasi. Adakalanya pergantian karyawan memiliki dampak positif. Namun sebagian besar pergantian karyawan membawa pengaruh kurang baik bagi organisasi. Dalam arti luas, turnover diartikan sebagai aliran para karyawan yang masuk dan keluar perusahaan (Heidjrachman & Husnan, 1997).

(11)

Tingkat keluar masuknya karyawan yang tinggi dapat mengganggu kelangsungan kerja serta kelangsungan proses produksi. Apabila tingkat intensi keluar karyawan mencapai 2% ke atas bisa dikategorikan tinggi, maka memerlukan penanganan yang serius dari perusahaan. Sebab bila dibiarkan terus berlangsung bukan hanya produksi saja yang terkena dampaknya tetapi juga terhadap mental karyawan yang masih bertahan pada perusahaan (Harnoto, 2002). Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa intensi turnover adalah suatu keinginan yang timbul dari diri karyawan untuk segera meninggalkan perusahaan secara sukarela. Keinginan ini dipicu oleh berbagai faktor, seperti keinginan mendapatkan kompensasi yang lebih, mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, dan sebagainya.

b. Aspek-aspek Intensi Turnover

Aspek-aspek intensi turnover ini terdiri atas aspek-aspek intensi yang dikemukakan oleh Ajzen dan Fishbein (1975) yang dikaitkan dengan konteks

turnover dan terbagi atas 4, yaitu:

1) Perilaku (behavior), yaitu perilaku spesifik yang nantinya akan diwujudkan. Dalam konteks tunover, perilaku spesifik yang akan diwujudkan yaitu bentuk-bentuk perilaku yang mengarah pada turnover yaitu sering membolos, tidak maksimal bekerja, berusaha mencari kerja lain dan berbuat curang.

2) Sasaran (target), yaitu objek yang menjadi sasaran perilaku. Objek yang menjadi sasaran dari perilaku spesifik dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu orang tertentu/objek tertentu (particular object), sekelompok

(12)

orang/sekelompok objek (a class of object), dan orang atau objek pada umumnya (any object). Dalam konteks tunover, objek yang menjadi sasaran yaitu pekerjaan yang lebih baik, atasan, rekan kerja, absen, dan upah.

3) Situasi (situation), yaitu situasi yang mendukung untuk dilakukannya suatu perilaku (bagaimana dan dimana perilaku itu akan diwujudkan). Situasi dapat pula diartikan sebagai lokasi terjadinya perilaku. Dalam konteks tunover, situasi yang menyebabkan turnover yaitu tidak mendapat promosi dan masa depan.

4) Waktu (time), yaitu waktu terjadinya perilaku yang meliputi waktu tertentu, dalam satu periode atau tidak terbatas dalam satu periode, misalnya waktu yang spesifik (hari tertentu, tanggal tertentu, jam tertentu), periode tertentu (bulan tertentu), dan waktu yang tidak terbatas (waktu yang akan datang).

c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Intensi Turnover

Menurut Toly (2001) faktor-faktor yang menyebabkan intensi turnover ada delapan faktor, diantaranya adalah faktor kepuasan kerja, komitmen organisasional, kepercayaan organisasional, job insecurity, konflik peran, ketidakjelasan peran, locus of control, dan perubahan organisasional.

a. Kepuasan kerja

Kepuasan kerja merupakan respon afektif seseorang terhadap suatu pekerjaan. Kepuasan kerja bersifat individual dimana tingkat kepuasan antara individu yang satu dengan yang lain berbeda-beda. Biasanya setiap individu akan merasa puas atas pekerjaannya apabila pekerjaan yang ia lakukan telah sesuai

(13)

dengan harapan dan tujuan ia bekerja. Kepuasan kerja merupakan orientasi individu yang berpengaruh terhadap peran dalam bekerja dan karakteristik dari pekerjaanya. Handoko (2001), mendefinisikan bahwa kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan mana para karyawan memandang pekerjaan mereka. Kepuasan kerja merupakan cermin perasaan seseorang terhadap pekerjaanya.

Menurut Robbins (2006) faktor-faktor yang mendorong kepuasan kerja adalah kerja yang secara mental menantang, kondisi kerja yang mendukung, rekan sekerja yang mendukung, dan kesesuaian kepribadian dengan pekerjaan. Individu yang merasa terpuaskan dengan pekerjaannya cenderung untuk bertahan dalam organisasi. Sedangkan individu yang merasa kurang terpuaskan dengan pekerjaannya akan memilih untuk keluar dan organisasi. Kepuasan kerja yang dirasakan dapat mempengaruhi pemikiran seseorang untuk keluar. Evaluasi terhadap berbagai alternatif pekerjaan, pada akhirnya akan mewujudkan terjadinya turnover karena individu yang memilih keluar organisasi akan mengharapkan hasil yang lebih memuaskan di tempat lain.

b. Komitmen Organisasional

Komitmen organisasi merupakan usaha mendefinisikan dan melibatkan diri dalam organsasi dan tidak ada keinginan meninggalkannya (Robbins, 2006). Steers dan Porter (1987) mendefinisikan komitmen merupakan sikap seseorang dalam mengidentifikasikan dirinya terhadap organisasi beserta nilai-nilai dan tujuannya serta keinginan untuk tetap menjadi anggota untuk mencapai tujuan.

(14)

Mowday, Porter, dan Steers (1982) menjelaskan bahwa sebagai sikap, komitmen organisasi paling sering didefinisikan sebagai 1) keinginan kuat untuk tetap sebagai anggota organisasi tertentu, 2) keinginan untuk berusaha keras sesuai keinginan organisasi, dan 3) keyakinan tertentu, penerimaan nilai dan tujuan organisasi. Dengan kata lain, ini merupakan sikap yang merefleksikan loyalitas karyawan pada organisasi dan proses berkelanjutan dimana anggota organisasi mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan.

c. Kepercayaan Organisasional

Kepercayaan organisasional merupakan tahapan dimana seseorang mau beranggapan bahwa orang lain memiliki niat baik dan berkeyakinan pada perkataan serta perbuatan orang lain (Debora, 2006). Kepercayaan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keterpaduan kelompok, persepsi pada keputusan yang adil, perilaku anggota kelompok, kepuasan kerja dan efektivitas organisasi. Ketidak percayaan timbul ketika informasi disimpan sendiri, sumber daya dialokasi secara inkonsisten, dan ketika para karyawan tidak mendapat dukungan dari manajemen.

Kepercayaan organisasional terjadi pada beberapa level (individu, kelompok, institusi) dan memiliki sifat-sifat: 1) berakar pada budaya organisasi, yang berarti bahwa kepercayaan terikat erat pada norma-norma, nilai-nilai, dan keyakinan dari budaya organisasi, 2) berbasis komunikasi, yang berarti bahwa kepercayaan adalah keluaran dari perilaku-perilaku komunikasi, seperti misalnya

(15)

menyediakan informasi yang akurat, memberikan penjelasan penjelasan mengenai keputusan-keputusan dan menunjukkan keterbukaan, 3) bersifat dinamis, yang berarti bahwa kepercayaan mengalami perubahan secara konstan ketika ia berdaur melalui fase-fase pembangunan, menjadi stabil, dan menjadi larut, 4) bersifat multidimensional, yang berarti kepercayaan terdiri dari banyak faktor pada tingkat kognitif, emosional, dan perilaku, dimana kesemuanya mempengaruhi persepsi seseorang atas kepercayaan (Shockley-Zalabak, Ellis, & Winograd, 2000).

d. Job Insecurity

Ketidakamanan kerja didefinisikan sebagai ketidakberdayaan seseorang secara terus menerus dalam mewujudkan keinginannya pada sebuah situasi kerja yang menakutkan (Greenhalgh & Rosenblatt, 1984). Ketidakamanan kerja mencakup hal-hal seperti tidak adanya kesempatan promosi, kondisi pekerjaan umumnya dan kesempatan karir jangka panjang (Jacobson, 1991).

Ketidakamanan kerja tidak dapat dipisahkan dari perhatian terhadap ketidakpastian kelanjutan pekerjaan seseorang dan situasi yang tidak pasti yang dihasilkan dari adanya perubahan dalam organisasi seperti downsizing, merger dan reorganisasi. Selama perubahan-perubahan organisasional seperti downsizing dan merger dianggap sebagai suatu ancaman bagi harapan-harapan karyawan, maka inilah yang disebut sebagai ketidakamanan kerja (Davy, Kinicki, & Scheck 1997).

(16)

Berdasarkan bukti-bukti empiris ketidakamanan kerja merupakan determinan penting bagi kesehatan tenaga kerja, kehidupan fisik dan psikologis karyawan (Jacobson, 1991), pengunduran diri karyawan (Arnold & Feldman, 1982), retensi karyawan (Ashford, Lee, & Bobko, 1989), dan komitmen organisasional (Iverson, 1996).

e. Konflik Peran

Dalam kondisi persaingan bisnis yang ketat, karyawan dituntut untuk memainkan perannya lebih cepat dan lebih baik. Tuntutan peran menjadi tekanan bagi karyawan ketika karyawan harus memenuhi satu harapan namun sulit atau tidak bisa memenuhi harapan yang lain. Konflik peran merupakan suatu gejala psikologis yang dialami oleh anggota organisasi yang bisa menimbulkan rasa tidak nyaman dalam bekerja (Puspa & Bambang, 1999).

Gibson, Ivancevich, dan Donelly (1995) menyatakan konflik peran adalah dua atau lebih tuntutan yang dihadapi individu secara simultan, di mana pemenuhan yang satu menghalangi pemenuhan yang lainnya. Konflik peran terjadi ketika ada berbagai tuntutan dari banyak sumber yang menyebabkan karyawan menjadi kesulitan dalam menentukan tuntutan apa yang harus dipenuhi tanpa membuat tuntutan lain diabaikan (Rizzo, House, & Lirtzman, 1970).

Kreitner dan Kinicki (2001) menyatakan bahwa ketika individu merasakan adanya tuntutan yang saling bertentangan dari orang-orang di sekitar maka individu tersebut sedang mengalami konflik peran. Jadi konflik peran adalah pertentangan rangkaian tuntutan atau harapan yang disampaikan oleh

(17)

anggota-anggota perangkat peranan (role set) di mana pemenuhan satu tuntutan akan menghalangi pemenuhan tuntutan yang lainnya.

f. Ketidakjelasan Peran

Ketidakjelasan peran adalah tidak cukupnya informasi yang dimiliki serta tidak adanya arah dan kebijakan yang jelas (Rizzo, House, & Lirtzman, 1970). Individu mengalami ketidakjelasan peran apabila mereka merasa tidak adanya kejelasan ekspektasi pekerjaan mereka, seperti kurangnya informasi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan mereka atau tidak memperoleh kejelasan mengenai deskripsi tugas dari pekerjaan mereka.

Ketidakjelasan peran muncul karena tidak cukupnya informasi yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas-tugas atau pekerjaan yang diberikan dengan cara yang memuaskan (Peterson & Smith, 1995). Pada umumnya seseorang yang mengalami ketidakjelasan peran akan merasa cemas, menjadi lebih tidak puas, dan melakukan tugas dengan kurang efektif dibandingkan individu lainnya, sehingga dapat menurunkan kinerja mereka. Ketidakjelasan peran juga sama halnya dengan konflik peran yang akan menimbulkan rasa tidak nyaman dalam bekerja dan dapat menurunkan motivasi kerja yang pada akhirnya mengakibatkan penurunan kinerja dan bahkan mengakibatkan karyawan mengalami turnover.

g. Locus of Control

Locus of Control adalah istilah dalam psikologi yang mengacu pada

(18)

dalam hidupnya, baik secara umum atau di daerah tertentu seperti kesehatan atau akademik. Menurut Rotter (1960) Locus of Control mengacu pada sejauh mana orang percaya bahwa mereka dapat mengendalikan peristiwa-peristiwa yang mempengaruhi mereka. Individu yang tinggi Locus of Control internal percaya bahwa peristiwa yang terjadi merupakan akibat dari perilaku mereka sendiri. Mereka memiliki kontrol yang lebih baik dari perilaku mereka, cenderung menunjukkan lebih banyak perilaku politik, dan lebih mungkin untuk mencoba mempengaruhi orang lain. Sedangkan mereka yang tinggi Locus of Control eksternal percaya bahwa kekuatan orang lain, takdir, atau kebetulan yang menentukan suatu peristiwa terjadi. Mereka lebih cenderung untuk menganggap bahwa usaha mereka akan berhasil. Mereka lebih aktif dalam mencari informasi dan pengetahuan tentang situasi mereka.

h. Perubahan Organisasional

Perubahan organisasi merupakan pergeseran dari keadaan sekarang suatu organisasi menuju pada keadaan yang diinginkan di masa depan. Perubahan tersebut dapat terjadi pada struktur organisasi, proses mekanisme kerja, sumber daya manusia dan budaya. Perubahan adalah membuat sesuatu menjadi berbeda dan perubahan berarti bahwa kita harus merubah dalam cara mengerjakan atau berfikir tentang sesuatu.

Pada dasarnya semua perubahan yang dilakukan mengarah pada peningkatan efektiftas organisasi dengan tujuan mengupayakan perbaikan kemampuan organisasi dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan

(19)

serta perubahan perilaku anggota organisasi (Robbins, 2003). Lebih lanjut Robbins menyatakan perubahan organisasi dapat dilakukan pada struktur yang mencakup strategi dan sistem, teknologi, penataan fisik dan sumber daya manusia.

Jadi, dapat diambil kesimpulan bahwa tingkat turnover yang cenderung tinggi tersebut disebabkan oleh beberapa faktor antara lain kepuasan kerja, komitmen organisasional, kepercayaan organisasional, job insecurity, konflik peran, ketidakjelasan peran, locus of control, dan perubahan organisasional.

B. Bullying di Tempat Kerja

1. Definisi Bullying di Tempat Kerja

Bullying di tempat kerja merupakan perilaku interpersonal negatif yang

dilakukan oleh rekan kerja atau atasan terhadap karyawan secara berulang-ulang dan terus menerus (Einarsen & Skogstad, 1996; Hoel & Cooper, 2000). Sementara itu Olweus (1999) mendefinisikan bullying sebagai bagian dari perilaku agresif yang dilakukan berulang-ulang dan terdapat ketidakseimbangan kekuatan sehingga sulit bagi karyawan yang mengalami bullying untuk membela dirinya sendiri.

Bullying di tempat kerja terdiri atas tindakan verbal dan nonverbal yang

bermusuhan seperti melecehkan, menyinggung, pengecualian sosial atau mengintimidasi anggota organisasi (Di Martino, Hoel, & Cooper, 2003; Einarsen, Hoel, Zapf, & Cooper, 2003). Perilaku bermusuhan dikatakan sebagai bullying (1)

(20)

harus ditampilkan secara sistematis dalam suatu periode waktu; (2) target harus mengalami kesulitan dalam membela dirinya sendiri terhadap tindakan ini dan (3) harus dirasakan oleh target sebagai perilaku yang menindas, tidak adil, memalukan, dan merusak. Suatu konflik tidak bisa disebut bullying jika insiden tersebut merupakan peristiwa yang terisolasi atau jika dua pihak kira-kira memiliki “kekuatan” yang sama dalam konflik (Einarsen dkk., 2003).

Australian Public Service Commission (2009) mendefinisikan bullying

sebagai perilaku berulang dan tidak beralasan yang cukup dapat dianggap mempermalukan, mengintimidasi, mengancam atau merendahkan seseorang atau sekelompok orang sehingga menimbulkan resiko bagi kesehatan dan keselamatan orang tersebut. Bullying di tempat kerja dapat terjadi karena disengaja dimana tindakan yang dilakukan memang dimaksudkan untuk mempermalukan, menyinggung perasaan, mengintimidasi atau menekan, terlepas dari perilaku tersebut menimbulkan efek yang diinginkan atau tidak. Bullying juga dapat terjadi secara tidak disengaja, dimana tindakan yang dilakukan tidak dimaksudkan untuk mempermalukan, menyinggung perasaan, mengintimidasi atau menekan, namun menimbulkan efek yang cukup berarti.

Hoel dan Cooper (2000) mengemukakan bullying sebagai sebuah situasi dimana satu atau beberapa individu terus-menerus selama periode waktu tertentu menerima tindakan negatif dari satu atau beberapa orang dan target bullying mengalami kesulitan dalam membela dirinya sendiri terhadap tindakan ini. Fokus dari perilaku bullying biasanya pada kompetensi individual atau kurangnya

(21)

kompetensi yang dimiliki karyawan, namun dalam kenyataannya target bullying biasanya adalah karyawan yang kompeten dan populer dengan proyeksi pada ketidakmampuan sosial, interpersonal dan profesional dari target (Field, 2005).

Selanjutnya Hoel, Rayner, dan Cooper (1999) mengungkapkan bahwa

bullying meliputi berbagai perilaku baik yang melibatkan kekerasan ataupun

tidak, seperti melecehkan, menyinggung atau mengucilkan secara sosial. Perilaku tersebut harus terjadi secara teratur dan dalam kurun waktu tertentu agar dapat diklasifikasikan sebagai bullying (Einarsen & Mikkelsen, 2003). Klasifikasi perilaku bullying tergantung pada perspektif karyawan yang mengalami bullying, mengingat bahwa perilaku tertentu dapat dianggap oleh satu orang sebagai

bullying tapi tidak oleh orang lain (Liefooghe & Davey, 2003).

Leymann (1996) menyatakan bahwa durasi bullying harus berlangsung sampai 6 bulan dan terjadi paling tidak sekali seminggu. Di sisi lain Zapf dan Einarsen (2001) mengemukakan bahwa jika durasi bullying kurang dari 6 bulan dan terjadi kurang dari sekali seminggu, sudah cukup untuk dimasukkan dalam perilaku bullying. Namun ada kesepakatan bahwa bullying harus diarahkan terhadap target tertentu, terdapat lebih dari satu tindakan dan target berada dalam posisi yang sulit untuk membela dirinya sendiri.

Lutgen-Sandvik dan Sypher (2009) mengemukakan bahwa bullying dapat dilihat dari sudut pandang pelaku dan target. Pelaku merupakan individu yang melakukan bullying terhadap orang lain dan target merupakan individu yang menjadi sasaran perilaku bullying. Dalam penelitian ini difokuskan pada bullying

(22)

di tempat kerja dilihat dari sudut pandang karyawan sebagai sasaran perilaku

bullying.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa bullying di tempat kerja merupakan berbagai bentuk perilaku negatif baik disengaja ataupun tidak disengaja yang dilakukan secara berulang-ulang yang terjadi dalam kurun waktu tertentu, dan dianggap dapat mempermalukan, menyinggung perasaan, mengintimidasi atau menekan serta menimbulkan efek yang tidak diinginkan terhadap karyawan yang mengalami bullying.

2. Bentuk Perilaku Bullying

Rayner dan Hoel (1997) mengemukakan perilaku yang termasuk kategori

bullying berupa:

a. Ancaman terhadap status professional

Misalnya meremehkan pendapat, penghinaan publik, menuduh karyawan kurang mau berusaha.

b. Ancaman terhadap posisi pribadi

Misalnya memberi nama panggilan yang mengejek, penghinaan, intimidasi, dan merendahkan dengan mengacu pada usia karyawan.

c. Isolasi

Misalnya mencegah akses untuk mendapatkan kesempatan mengikuti pelatihan, isolasi fisik atau sosial dan penundaan pemberian informasi.

(23)

d. Beban kerja yang berlebihan

Misalnya memberikan tekanan yang tidak semestinya, tenggat waktu yang tidak mungkin, dan gangguan yang tidak perlu.

e. Destabilisasi

Misalnya mengingatkan kesalahan yang dilakukan berulangkali, memberikan tugas yang tidak berarti, penghapusan tanggungjawab dan sengaja menggagalkan tugas yang telah dilakukan karyawan.

Selain dalam bentuk tekanan fisik, bullying juga bisa terjadi dalam bentuk lain. Berikut ini bentuk-bentuk bullying yang pernah dilaporkan terjadi di tempat kerja, yaitu:

1. Dituduh melakukan kesalahan (42%) 2. Tidak dianggap (39%)

3. Diberlakukan kebijakan dan standar yang berbeda dari pekerja lain (36%) 4. Terus-menerus dikritik (33%)

5. Diteriaki oleh seseorang di depan teman kerja lainnya (28%) 6. Digosipkan (26%)

7. Dilempari komentar-komentar tentang hasil pekerjaan yang dinilai buruk, dan disampaikan saat rapat (24%)

8. Dikeluarkan dari proyek atau rapat (18%) 9. Diledek untuk hal-hal personal (15%)

Einarsen, Hoel dan Notelaers (2009) mengklasifikasikan perilaku bullying ke dalam tiga bentuk, yaitu :

(24)

a. Work related bullying

Merupakan segala macam bentuk perilaku yang membuat situasi kerja menjadi sulit bagi karyawan yang mengalami bullying.

Diantaranya menetapkan tenggat waktu yang tidak masuk akal, beban kerja yang berlebihan, memberikan tugas yang terlalu mudah atau sedikit, selalu mengkritik hasil kerja karyawan.

b. Person related bullying

Merupakan segala macam bentuk perilaku yang mengintimidasi pribadi karyawan yang mengalami bullying.

Diantaranya meremehkan kemampuan intelektual karyawan, komentar yang menghina, menyebarkan gosip atau rumor secara berlebihan, isolasi dan pengucilan sosial.

c. Physical intimidation bullying

Merupakan segala macam bentuk perilaku yang melibatkan kekerasan fisik atau resiko kekerasan. Diantaranya diteriaki oleh atasan, menunjuk dengan jari tengah atau menghalangi jalan.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa terdapat berbagai bentuk perilaku bullying yang secara umum dapat dikelompokkan menjadi work

(25)

3. Tipe Bullying di Tempat Kerja

Lutgen-Sandvick dan Sypher (2009) mengemukakan tiga tipe bullying yang terjadi di tempat kerja, yaitu :

a. Dispute-related bullying

Berawal dari pertentangan interpersonal yang secara ekstrim meningkat dan menjadi konflik yang mengakar. Tujuan bullying disini adalah untuk menghukum karyawan atas kesalahan yang dilakukan atau memprovokasi karyawan agar merasa bertanggungjawab.

b. Predatory bullying

Dimulai dengan fakta bahwa karyawan kebetulan berada dalam situasi di mana seseorang melakukan penyalahgunaan wewenang terhadap mereka atau menggunakan agresi untuk memperoleh keuntungan pribadi, misalnya dengan berbicara buruk tentang rekan kerja untuk mendapatkan tugas yang lebih menarik untuk diri sendiri. Tujuan bullying dalam hal ini adalah untuk menunjukkan kekuasaan, memaksa seseorang untuk taat dan mendapatkan keuntungan pribadi.

Predatory bullying dapat dibedakan menjadi :

1) Authoritative bullying

Merupakan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan melalui jabatan dalam organisasi (Hoel, Cooper, & Faragher, 2001).

(26)

2) Displaced bullying

Biasa disebut scapegoating, merupakan bentuk agresi terhadap orang lain selain sumber provokasi karena agresi terhadap sumber agresi dianggap terlalu berbahaya (Neuman & Baron, 2003). Hal ini terjadi ketika meningkatnya frustrasi atau stres disebabkan oleh faktor di tempat kerja yang menyebabkan karyawan menunjukkan agresi terhadap orang lain. 3) Discriminatory bullying

Merupakan pelecehan terhadap karyawan yang disebabkan oleh prasangka, biasanya pada karyawan yang berbeda dari yang lain, karyawan yang menolak aturan yang ada atau karyawan yang menjadi anggota kelompok tertentu di luar organisasi (Rayner, Hoel, & Cooper, 2002).

c. Organizational bullying

Mengindikasikan praktik organisasi yang menindas, eksploitatif dan control yang berlebihan, misalnya perampingan perusahaan, pekerjaan alih daya dan lembur tanpa kompensasi (Liefooghe & Davey, 2001)

C. Dinamika Peranan Bullying di Tempat Kerja terhadap Intensi Turnover Pada Karyawan

Sumber daya manusia dipandang sebagai aset perusahaan yang penting, karena manusia merupakan sumber daya yang dinamis dan selalu dibutuhkan dalam setiap proses produksi barang dan jasa. Sumber daya manusia dalam

(27)

organisasi terdiri atas karyawan-karyawan yang merupakan penggerak dan harus selalu diperhatikan, dipertahankan serta dikembangkan oleh organisasi (Kurniasari, 2005).

Ketika terdapat kondisi kerja yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh karyawan maka karyawan akan memiliki keinginan untuk pindah kerja (turnover intention) (Rokhmah & Riani, 2005). Selain itu, dengan tidak adanya kesempatan untuk promosi atau jenjang karir, serta upah yang tidak sesuai dengan keinginan karyawan juga akan menimbulkan turnover pada karyawan (Andini, 2006). Hal inilah yang tentunya tidak diharapkan oleh perusahaan. Apalagi ketika didapati bahwa karyawan yang berprestasi tinggilah yang justru lebih memilih untuk meninggalkan perusahaan (Kompas Cyber Media, 2007). Tentunya hal tersebut akan memberikan dampak buruk bagi perusahaan karena untuk mendapatkan karyawan yang berprestasi tinggi bukanlah hal yang mudah (Zhang & Zhang, 2006).

Selain itu, pekerjaan yang menimbulkan stress merupakan salah satu alasan seseorang untuk beralih dari pekerjaan yang sebelumnya. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa banyaknya sumber stress (stressor) pada pekerjaan berkorelasi positif dengan keinginan karyawan untuk meninggalkan pekerjaannya (Hang-yue, Foley, & Loi, 2005; Podsakof, Lepine, & Lepine, 2007). Bullying di tempat kerja merupakan salah satu stressor kerja dan dianggap

(28)

Bullying di tempat kerja dinyatakan secara terang-terangan atau

diam-diam dan mungkin ditargetkan di tempat kerja atau pada karakteristik pribadi korban (Djurkovic, McCormack, & Casimir, 2008). Di banyak negara, serikat buruh, organisasi profesi, dan departemen sumber daya manusia (SDM) menjadi lebih sadar selama dekade terakhir mengenai perilaku seperti intimidasi, penghinaan publik, serangan nama panggilan, pengucilan sosial, dan kontak fisik yang tidak diinginkan memiliki potensi untuk merusak integritas dan kepercayaan karyawan serta mengurangi efisiensi (Niedl, 1996).

Bullying di tempat kerja juga memiliki efek negatif yang luas terhadap

organisasi secara keseluruhan, yang mana karyawan akan memperlihatkan perilaku organizational citizenship yang kurang (Constantino, Domingez, & Galan, 2006) dan perilaku kerja kontraproduktif yang lebih banyak (Einarsen dkk., 2003). Selain itu, akan berkurangnya kepuasan dan komitmen terhadap organisasi (Hoel & Cooper, 2000), menurunnya produktivitas (Hoel, Einarsen, & Cooper, 2003), meningkatkan absensi (Vartia, 2001), kecenderungan untuk meninggalkan pekerjaan dan pada akhirnya turnover (McCormack, Casimir, Djurkovic, & Yang, 2009). Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hoel dan Salin (2003) yang mengatakan bahwa adanya bullying di tempat kerja akan mempengaruhi kinerja karyawan, yang diikuti dengan meningkatnya absensi karyawan dan kemudian keluar dari organisasi.

Penelitian yang dilakukan oleh Ocel dan Aydin (2012) mengenai

(29)

hubungan yang positif antara workplace bullying dan turnover intention. Artinya, semakin tinggi bullying di tempat kerja maka semakin tinggi pula keinginan karyawan untuk pindah kerja. Hasil penelitian tersebut juga sejalan dengan hasil penelitian Rasool dkk (2013) yaitu workplace bullying memiliki hubungan yang positif terhadap turnover intention. Hal yang sama juga ditunjukkan pada penelitian Djurkovic, McCormack, dan Casimir (2004) yaitu terdapat korelasi positif yang signifikan antara workplace bullying dan turnover intention.

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa bullying di tempat kerja memiliki peranan terhadap intensi turnover pada karyawan.

D. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada peranan positif

bullying di tempat kerja terhadap intensi turnover pada karyawan. Semakin tinggi

karyawan mengalami bullying di tempat kerja maka akan semakin tinggi tingkat intensi turnover pada karyawan dan sebaliknya, semakin rendah karyawan mengalami bullying di tempat kerja maka akan semakin rendah tingkat intensi

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini menjadi kajian yang menarik, karena berdasarkan hasil survei bawah air yang dilakukan pada penelitian ini, sebagian situs di Desa Bondalem saat ini

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kualitas Fisika-Kimia Sedimen dan Hubungannya Terhadap Struktur Komunitas Makrozoobentos di Estuari Percut Sei Tuan Kabupaten

Yaitu kelima skripsi diatas membahas mengenai dampak media sosial bagi remaja pada masa-masa pembelajaran serta mahasiswa pada proses interaksi dan fokus pada

Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban mengumumkan rencana kegiatan usaha pertambangan di WIUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 serta

Rencana tindakan yang penulis susun adalah berikan klien dengan posisi tidur terlentang tanpa bantal dengan rasional perubahan pada tekanan intrakranial dan dapat menyebabkan

Perdarahan saluran cerna atas (SCBA) yaitu perdarahan dari lumen saluran cerna di atas ligamentum Treitz mengakibatkan hematemesis dan melena. Hematemesis adalah muntah

Hasil penelitian menunjukkan bahwa lansia penghuni panti mengkonstruksikan proses kematian sebagai suatu siksaan tubuh yang menakutkan, proses kematian juga