• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH MODEL EXPERIENTIAL LEARNING TERHADAP KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS IPA KELAS V KECAMATAN SUKASADA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH MODEL EXPERIENTIAL LEARNING TERHADAP KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS IPA KELAS V KECAMATAN SUKASADA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH MODEL EXPERIENTIAL LEARNING TERHADAP

KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS IPA

KELAS V KECAMATAN SUKASADA

Ni Putu Indri Pramita Agustiani

1

, Gede Raga

2

, Putu Nanci Riastini

3

1,3

Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar,

2

Jurusan PG-PAUD, FIP

Universitas Pendidikan Ganesha

Singaraja, Indonesia

e-mail: indrey.pramita@yahoo.com

1

, ragapgpaud@gmail.com

2

,

chem_currie@yahoo.com

3

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan keterampilan berpikir kritis IPA antara kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran menggunakan model Experiential

Learning dengan kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran menggunakan model

konvensional pada siswa kelas V di SD Gugus V Kecamatan Sukasada tahun pelajaran 2013/2014. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen semu. Populasi penelitian ini adalah seluruh kelas V di SD Gugus V Kecamatan Sukasada tahun pelajaran 2013/2014. Sampel penelitian ini adalah kelas V SD No. 1 Panji dan kelas V SD No. 2 Sambangan. Data mengenai keterampilan berpikir kritis IPA siswa diperoleh melalui tes tulis yang dilakukan pada akhir pembelajaran. Data yang diperoleh kemudian dikumpulkan dan dianalisis menggunakan analisis statistik deskriptif dan statistik inferensial (uji-t). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan keterampilan berpikir kritis IPA antara kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran menggunakan model Experiential Learning dengan kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran menggunakan model konvensional. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil uji-t, yang mana thitung = 7,566 dan ttabel (pada taraf signifikansi 5%) = 1,671. Hal ini berarti bahwa thitung > ttabel. Di samping itu, rata-rata skor kelompok eksperimen (25,8) lebih tinggi daripada rata-rata skor kelompok kontrol (16,44). Berdasarkan hasil-hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa model experiential learning berpengaruh terhadap keterampilan berpikir kritis IPA siswa kelas V di SD Gugus V Kecamatan Sukasada.

Kata kunci: model Experiential Learning, keterampilan berpikir kritis, pembelajaran IPA

Abstract

This research was aimed to know the difference of science critical thinking skill between a group of students who participated in learning process by using experiential learning model and a group of students who participated in learning process by using convensional model to the fifth grade students in cluster five of elementary school in Sukasada subdistrict in the academic year of 2013/2014. The genre of this research is appearance experiential research. Population of this research were all of fifth grade students in cluster five of elementary school in Sukasada subdistrict in the academic year of 2013/2014. Sample of this research was fifth grade of SD No.1 Panji and fifth grade of SD No. 2 Sambangan students. Data of students’ science critical thinking skill was gained through written test which was done at the end of the learning process. The data gained was then collected and analized by using descriptive statistical analysis and inferential statistical analysis (t-test). The result of this research showed that there was significant difference of science critical thinking skill between group of students who participated the learning process by using experiential learning model and group of students who participated conventional model of learning process. That was shown from

(2)

the result of t analysis in which tcount=7,566 and t-table (in significant degree of 5%) = 1,671. It mean that tcount > ttable. Besides, the average score of experimental group was (25,8) while the control group was (16,44). Based on the result, it was concluded that experiential learning model influenced the science critical thinking skill of fifth grade students in cluster five of elementary in Sukasada subdistrict.

Keywords: Experiential Learning Model, critical thinking skill, science

PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan komponen yang penting dalam meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas. Kunandar (2011) mengemukakan bahwa untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas, tugas dan peranan guru sebagai ujung tombak dunia pendidikan sangat berperan. Guru sebagai komponen utama dalam dunia pendidikan dituntut untuk mampu mengakomodasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang di masyarakat dalam proses pembelajaran, termasuk pembelajaran IPA.

Pembelajaran IPA berkaitan dengan pembelajaran tentang mencari tahu mengenai alam secara sistematis (Abdullah dan Eny, 2009). Artinya, pembelajaran IPA harusnya menjadi suatu proses penemuan mengacu pada pengertian tersebut, sehingga sudah seharusnya pembelajaran yang dikelola guru dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di kehidupan sehari-hari. Proses pembelajarannya pun harusnya menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Berdasarkan pengertian tersebut, ilmu ini sangat membutuhkan penalaran dan berpikir kritis. Yaumi (2012:67) mengemukakan bahwa ” berpikir kritis adalah kemampuan kognitif untuk mengatakan sesuatu dengan penuh keyakinan karena bersandar pada alasan yang logis dan bukti empiris yang kuat”. Hal ini berarti bahwa berpikir kritis merupakan proses berpikir sistematis dalam mencari kebenaran dan membangun keyakinan terhadap sesuatu yang dikaji secara faktual dan realistis. Sedangkan Filsaime (2008) menyatakan bahwa berpikir kritis berarti

membuat penilaian-penilaian atau evaluasi yang masuk akal dengan menggunakan belahan otak bagian kiri. Pemikir berpikir dengan sadar dari suatu sifat yang sistematis dan berkualitas tinggi yang secara terus-menerus mengecek dengan dirinya sendiri sebagai upaya meningkatkan kualitas berpikirnya. Berpikir kritis itu merupakan sebuah sistem. Oleh karena itu, berpikir kritis memiliki komponen-komponen yang membentuk jaringan kerja yang terintegrasi dan yang bisa diterapkan secara efektif pada pembelajaran akademik di seluruh dimensi kehidupan.

Keterampilan berpikir kritis dalam pembelajaran IPA, melatih siswa untuk dapat merumuskan masalah, memberi argumen, melakukan deduksi, melakukan induksi, melakukan evaluasi, memutuskan, dan melaksanakan. Untuk dapat mencapai indikator-indikator tersebut, maka dibutuhkan sebuah pembelajaran IPA yang mampu menempatkan siswa sebagai subjek pembelajaran. Artinya, guru harus mampu memilih dan menerapkan model pembelajaran yang inovatif agar pembelajaran bersifat student centered.

Dalam Filsaime (2008), terdapat beberapa kecapakan dalam berpikir kritis. Kecakapan-kecapakan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. (!) Interpretasi, adalah memahami dan mengekspresikan makna atau signifikansi dari berbagai macam pengalaman, situasi, data, kejadian-kejadian, penilaian, kebiasaan atau adat, kepercayaan-kepercayaan, aturan-aturan, prosedur atau kriteria-kriteria. Sebuah contoh interpretasi adalah mengenal sebuah masalah dan menjelaskannya tanpa prasangka, (2) Analisis, adalah mengidentifikasi hubungan-hubungan inferensial yang dimaksud dan aktual diantara pernyataan-pernyataan, pertanyaan-pertanyaan, konsep-konsep, deskripsi-deskripsi atau bentuk-bentuk

(3)

representasi lainnya yang dimaksudkan untuk mengekspresikan kepercayaan-kepercayaan, penilaian, pengalaman-pengalaman, alasan-alasan, informasi, atau poin-poin. Sebuah contoh analisis adalah mengidentifikasi persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan diantara dua pendekatan pada solusi masalah yang diberikan, (3) Evaluasi, adalah menaksir kredibilitas pernyataan-pernyataan atau representasi-representasi yang merupakan laporan-laporan atau deskripsi-deskripsi dari persepsi, pengalaman, situasi, penilaian, kepercayaan atau opini seseorang, dan menaksir kekuatan logis dari hubungan-hubungan inferensial atau dimaksud di antara pernyataan-pernyataan, deskripsi-deskripsi, pertanyaan-pertanyaan, atau bentuk-bentuk representasi lainnya.

Proses pembelajaran juga harus mampu memberikan kesempatan kepada siswa untuk dapat berpikir secara kritis dalam memecahkan setiap masalah maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Sebuah contoh evaluasi adalah membandingkan kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan dari interpretasi-interpretasi alternatif. (4) Inference, adalah mempertimbangkan informasi yang relevan dan menyimpulkan konsekuensi-konsekuensi dari data, situasi-situasi, pertanyaan-pertanyaan, atau bentuk-bentuk representasi lainnya. Contoh inference adalah membuat atau mengkonstruksi makna dari unsur-unsur di dalam sebuah bacaan, atau mengidentifikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk memformulasikan sebuah sintesis dari sumber-sumber yang bermacam-macam, (5) Penjelasan berarti mampu menyatakan hasil-hasil dari penalaran seseorang, menjustifikasi penalaran tersebut dari sisi pertimbangan-pertimbangan evidensial, konseptual, metodologis, dan kontekstual dimana hasil-hasil seseorang tersebut berdasar dan mempresentasikan penalaran seseorang dalam bentuk argumen-argumen yang kuat. (6) Regulasi diri berarti secara sadar dirimemantau kegiatan-kegiatan kognitif seseorang, unsur-unsur yang digunakan dalam kegiatan-kegiatan tersebut, hasil-hasil yang diperoleh terutama dengan menerapkan kecakapan-kecakapan di

dalam analisis dan evaluasi untuk penilaian-penilaian inferensialnya sendiri dengan memandang pada pertanyaan, Namun kenyataannya di lapangan, pembelajaran IPA yang dikelola guru di sekolah, termasuk di SD, belum terlaksana seperti yang seharusnya. Guru selalu menggunakan metode ceramah, tanya jawab, dan penugasan dalam pembelajaran. Disamping itu, pembelajaran hanya memanfaatkan buku sebagai sumber belajar, guru jarang menggunakan media/alat peraga, mampu melakukan kegiatan percobaan atau pengamatan. Akibatnya, penyampaian materi pelajaran lebih banyak terjadi dari guru ke siswa. Tidak hanya itu, hasil belajar yang disasar pun terbatas pada ranah kognitif tingkat rendah, tanpa diimbangi dengan pengembangan keterampilan berpikir kritis. Berdasarkan hasil tes keterampilan berpikir kritis siswa kelas V SD di Gugus V Kecamatan Sukasada, yang dilaksanakan pada tanggal 21 dan 22 Maret 2013 tampak jelas rendahnya keterampilan berpikir kritis siswa.

Hal ini terlihat dari nilai rata-rata yang diperoleh siswa yaitu pada SDN 1 Sambangan adalah 4,76, SDN 2 Sambangan diperoleh 4,67,SDN 3 Sambangan diperoleh 4,81,SDN 1 Panji diperoleh 3,53, SDN 2 Panji diperoleh 4,46, SDN 3 Panji diperoleh 4,78, SDN 4 Panji diperoleh 4,07, SDN 5 Panji diperoleh 3,94, SDN 6 Panji 4,41.

Berdasarkan data di atas, nilai rata-rata siswa berkisar antara 3,52-4,93. Jika dikonversikan terhadap PAP, rentangan tersebut berada pada kategori rendah.

Rendahnya keterampilan berpikir kritis siswa ini disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya sebagai berikut,

1).Proses pembelajaran yang dilakukan guru masih berupa pembelajaran konvensional. Pembelajaran konvensional yang dimaksud adalah ceramah, tanya jawab, dan penugasan. Hal ini menyebabkan siswa merasa bosan dan kurang antusias dalam mengikuti pembelajaran. Hal ini menyebabkan siswa merasa bosan dan kurang antusias dalam mengikuti pembelajaran. Kebosanan tersebut menyebabkan siswa menjadi jenuh dan acuh terhadap pelajaran IPA. 2).Guru

(4)

terlalu book oriented, sehingga siswa hanya bertugas mendengar dan menghafal isi buku. Kegiatan mendengar dan menghafal isi buku membuat siswa cenderung lupa tentang materi yang dipelajarinya. 3).Tidak ada kegiatan pemecahan masalah dalam pembelajaran, sehingga siswa tidak memiliki kesempatan berpikir kritis dalam memecahkan masalah. Soal – soal yang sering diberikan hanya soal yang berdasarkan pada ingatan dan sedikit pemahaman. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka perlu digunakan suatu model inovatif dalam pembelajaran yang menyasar pada pengembangan berpikir kritis siswa. Salah satu model inovatif yang dapat digunakan adalah model Experiential Learning. Model pembelajaran experiential learning merupakan model pembelajaran yang membuat siswa mengalami hal yang mereka pelajari, sehingga dapat menciptakan proses belajar yang lebih bermakna. Menurut Lewin (dalam Suwatra, dkk, 2007:175-176), proses pembelajaran terdiri atas empat langkah atau tahapan, yaitu sebagai berikut.(1) Pengalaman konkrit (Concrete Experience), (2) observasi reflektif (Reflective Observation), (3) konseptualisasi abstrak (abstract konseptualization), (4) eksperimentasi aktif (active experimentation).

Melalui model ini, siswa belajar tidak hanya tentang konsep materi belaka, melainkan mereka dilibatkan secara langsung dalam proses pembelajaran untuk menghasilkan suatu pengalaman. Selain itu, proses experiential learning tidak hanya menekankan pada aspek kognitif saja, akan tetapi menciptakan perpaduan antara memahami dan mentransformasi pengalaman. Dengan mengalami langsung, diharapkan siswa dapat lebih membangun makna serta kesan dalam memori atau ingatannya. Kebermaknaan belajar tersebut dapat berpengaruh positif terhadap keterampilan berpikir kritis mereka. pengalaman. Dengan mengalami langsung, diharapkan siswa dapat lebih membangun makna serta kesan dalam memori atau ingatannya. Kebermaknaan belajar tersebut dapat berpengaruh positif terhadap keterampilan berpikir kritis mereka.

Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui perbedaan yang signifikan pada keterampilan berpikir kritis IPA antara kelompok siswa yang dibelajarkan menggunakan model pembelajaran Experiential Learning dengan kelompok siswa yang dibelajarkan menggunakan model pembelajaran konvensional pada siswa kelas V Gugus V Kecamatan Sukasada Tahun Pelajaran 2013/2014.

METODE

Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen semu. Populasi penelitian ini adalah seluruh kelas V di SD Gugus V Kecamatan Sukasada tahun pelajaran 2013/2014. Untuk mengetahui kesetaraan keterampilan berpikir kritis siswa kelas V masing-masing SD, maka terlebih dahulu dilakukan uji kesetaraan.

Uji kesetaraan pada penelitian ini dilakukan dengan memberikan tes kemampuan berpikir kritis IPA pada siswa kelas V SD di Gugus V Kecamatan Sukasada. Skor yang diperoleh kemudian dianalisis dengan uji ANAVA satu jalur. Berdasarkan hasil analisis. Diperoleh nilai Fhitung = 0.8, nilai Ftabel pada dbantar= 8, dan

dbdalam =196 adalah 2,02. Hal ini berarti

bahwa harga Fhitung lebih kecil dari Ftabel,

yang berarti bahwa H0 diterima. Jadi, tidak

terdapat perbedaan keterampilan berpikir kritis IPA pada siswa kelas V Kecamatan Sukasada. Dengan kata lain, keterampilan berpikir kritis IPA siswa kelas V di gugus V adalah setara.

Untuk mendapatkan sampel yang representatif maka digunakan teknik simple

random sampling, tetapi yang dirandom

adalah kelas. Sebelum memilih kelas eksperimen dan kontrol, dilakukan teknik pengundian. Pengundian ini dilakukan sebanyak 2 kali. Tahap pertama untuk menentukan sampel penelitian, sedangkan tahap selanjutnya untuk menentukan kelas eksperimen dan kelas kontrol. Sampel untuk kelas eksperimen adalah kelas V SD No.1 Panji, dan sampel untuk kelas kontrol adalah kelas V SD No. 2 Sambangan. variabel bebas dalam penelitian ini adalah model Experiential Learning yang digunakan pada kelompok eksperimen dan pembelajaran konvensional yang digunakan

(5)

pada kelompok kontrol. Sebaliknya variabel terikat dalam penelitian ini adalah keterampilan berpikir kritis pada mata pelajaran IPA.

Data yang diperlukan adalah data keterampilan berpikir kritis siswa. Untuk mengumpulkan data tersebut, maka digunakan metode tes. “Metode tes adalah cara memperoleh data berbentuk suatu tugas yang dilakukan atau dikerjakan oleh seseorang atau kelompok yang dites (testee) dan menghasilkan suatu data berupa skor (interval)” (Agung, 2010:60).

Instrumen yang digunakan untuk memperoleh data berpikir kritis berupa tes essay yang dilakukan pada akhir pembelajaran yang bertujuan untuk mengukur keterampilan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran IPA. Penekanan dalam pengambilan data bukan semata-mata terletak pada benar atau salahnya siswa dalam menyelesaikan soal, tetapi lebih dititikberatkan pada upaya memperoleh gambaran mengenai kemampuan siswa dalam melaksanakan langkah-langkah pemecahan masalah berdasarkan kemampuan berpikir kritis siswa. Soal yang digunakan berjumlah 10 soal. Setiap item akan diberikan skor 4 untuk jawaban benar dan skor 0 jika tidak menjawab atau jawaban salah. Skor setiap jawaban kemudian dijumlahkan dan jumlah tersebut merupakan skor variabel keterampilan berpikir kritis dalam pembelajaran IPA. Rentang skor yang

diperoleh siswa adalah 0-40. Skor 0 merupakan skor minimal ideal dan skor 40 merupakan skor maksimal ideal keterampilan berpikir kritis dalam pembelajaran IPA. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu analisis statistik deskriptif yang artinya, data dianalisis dengan menghitung nilai rata-rata mean, median, modus, standar deviasi, varian, skor maksimum, dan skor minimum. Dalam penelitian ini data disajikan dalam bentuk grafik poligon. Teknik yang digunakan untuk menganalisis data guna menguji hipotesis penelitian adalah uji-t (polled varians). Sebelum melakukan uji hipotesis, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dan perlu dibuktikan.

(polled varians). Sebelum melakukan uji hipotesis, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dan perlu dibuktikan. Persyaratan yang dimaksud, yaitu: (1) data yang dianalisis harus berdistribusi normal, (2) mengetahui data yang dianalisis bersifat homogen atau tidak. Kedua prasyarat tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu maka untuk memenuhi hal tersebut dilakukanlah uji prasyarat analisis dengan melakukan uji normalitas dan uji homogenitas.,

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis data kelompok eksperimen dan kontrol tampak pada Tabel 1.

Tabel 1. Deskripsi Data Keterampilan Berpikir Kritis Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol Data Statistik Kelompok Eksperimen Kelompok Kontrol Mean 25,8 16,44 Median 26,65 16,13 Modus 27,3 15,40

Berdasarkan tabel di atas, dapat dideskripsikan Mean (M), Median (Md), Modus (Mo) kelompok eksperimen ldan kelompok kontrol. Data keterampilan berpikir kritis IPA dapat disajikan ke dalam bentuk kurva polygon seperti Gambar 1.

(6)

Gambar 1. Kurva Poligon Data Keterampilan Berpikir Kritis Kelompok Eksperimen

Berdasarkan kurva poligon di atas, dapat diketahui bahwa modus lebih besar dari median dan median lebih besar dari mean (Mo>Md>M). Mengacu pada data ini, maka kurva di atas digolongkan sebagai

kurva juling negatif, yang berarti sebagian

besar skor cenderung tinggi.

Hubungan antara Mean (M), Median (Md), Modus (Mo) berdasarkan hasil analisis di atas menunjukkan bahwa sebaran data pada siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model konvensional merupakan juling positif, karena mean lebih besar dari median dan median lebih besar dari modus (M>Md>Mo).

Data Keterampilan Berpikir Kritis IPA pada kelompok kontrol dapat disajikan ke dalam kurva polygon seperti gambar 2.

Gambar 2. Kurva Poligon Data Keterampilan Berpikir Kritis Kelompok Eksperimen

Berdasarkan kurva poligon tersebut, dapat diketahui bahwa mean lebih besar dari

median dan median lebih besar dari modus

(M>Md>Mo). Mengacu pada data ini, maka

kurva di atas digolongkan sebagai kurva

juling positif, yang berarti sebagian besar

skor cenderung rendah. Rata-rata (mean) keterampilan berpikir kritis IPA siswa kelompok kontrol menggunakan model pembelajaran konvensional (16,44). Jika dikonversi ke dalam Penilaian Acuan Patokan (PAP) Skala Lima, berada pada kategori rendah. Uji prasyarat terdiri dari uji normalitas sebaran data dan uji homogenitas varians. Uji homogenitas dilakukan sebelum uji hipotesis. Berdasarkan hasil penghitungan. Data berdistribusi normal dan homogen.

Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan rumus chi-kuadrat, diperoleh

2hitung kelompok eksperimen

adalah 1,494 dan

2tabel pada taraf

signifikansi 5% dan db = 3 adalah 7,815. Hal ini berarti,

2hitung kelompok

eksperimen lebih kecil dari

2tabel( tabel

hitung 2

2

 ), sehingga data

keterampilan berpikir kritis kelompok eksperimen berdistribusi normal.

Hasil serupa juga didapat pada kelas kontrol,

2hitung kelompok kontrol

adalah 1,291 dan

2tabel pada taraf

signifikansi 5% dan db = 3 adalah 7,815. Hal ini berarti,

2hitung kelompok kontrol

lebih kecil dari

2tabel (

2hitung

2tabel),

sehingga data keterampilan berpikir kritis kelompok kontrol berdistribusi normal.

Setelah melakukan uji prasyarat yang pertama, yaitu uji normalitas, selanjutnya dilakukan uji prasyarat yang ke dua, yaitu uji homogenitas. Uji homogenitas varians data keterampilan berpikir kritis IPA dianalisis melalui uji F dengan kriteri kedua kelompok memiliki varians homogen jika Fhitung < F table. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, diketahui Fhitung adalah 0,993, sedangkan

Ftabel dengan dbpembilang = 25 dan dbpenyebut =

33 pada taraf signifikansi 5% adalah 1,64. Hal ini berarti, varians data keterampilan berpikir kritis kelompok eksperimen dan kontrol adalah homogen.

Berdasarkan hasil uji prasyarat analisis data, diperoleh bahwa data keterampilan berpikir kritis IPA siswa kelompok eksperimen dan kontrol adalah

0

5

10

18 21 24 27 30 33 Frek ue ns i Titik Tengah Mo= 27,3 Md = 26,5 M = 25,8 Mo = 15,4 Md = 16,13 M = 16,44

(7)

normal dan homogen. Setelah diperoleh hasil uji prasyarat analisis data, dilanjutkan dengan pengujian hipotesis penelitian. Pengujian hipotesis tersebut dilakukan menggunakan uji-t sampel independent

(tidak berkorelasi) dengan rumus polled

varians. Kriteria H0 ditolak jika thitung > ttabel

dan H0 terima jika thitung < ttabel. Hasil uji

hipotesis tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2. Ringkasan uji-t

Kelompok N X S2 thitung ttabel (t.s. 5%) Keterampilan Berpikir Kritis Eksperimen 26 25,8 18,01 7,566 1,671 Kontrol 34 16,44 18,13

Mengacu pada tabel hasil perhitungan uji-t di atas, diperoleh thitung

sebesar 7,566, sedangkan ttabel dengan db

= 58 pada taraf signifikansi 5% adalah 1,671. Hal ini berarti, thitung lebih besar dari

ttabel (thitung > ttabel), sehingga H0 ditolak dan

H1 diterima. Dengan demikian, dapat

diinterpretasikan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada keterampilan berpikir kritis antara kelompok siswa yang dibelajarkan menggunakan model experiential learning dengan model pembelajaran konvensional pada siswa kelas V di SD Gugus V Kecamatan Sukasada tahun pelajaran 2013/2014.

Berdasarkan deskripsi data hasil penelitian, kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model Experiential

Learning memiliki keterampilan berpikir

kritis yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model konvensional. Tinjauan ini didasarkan pada rata-rata skor keterampilan berpikir kritis IPA. Rata-rata skor keterampilan berpikir kritis IPA siswa kelompok eksperimen adalah 25,80 (berada pada kategori tinggi) dan rata-rata skor keterampilan berpikir kritis IPA siswa kelompok kontrol adalah 16,44 (berada pada kategori rendah).

Berdasarkan analisis data menggunakan uji-t, diperoleh thitung = 8,445 dan ttabel (db =

58 pada taraf signifikansi 5%) = 1,671. Hal ini berarti, terdapat perbedaan keterampilan berpikir kritis IPA yang signifikan antara kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran menggunakan model

Experiential Learning dengan kelompok

siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model konvensional.

Perbedaan keterampilan berpikir kritis IPA yang signifikan antara kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran menggunakan model Experiential Learning dengan kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model konvensional disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor

pertama, model experiential learning

menekankan pada peran sentral dari pengalaman dalam proses belajar. Pengalaman-pengalaman tersebut membuat siswa membangun makna dari pengalaman belajar mereka, sehingga tercipta suasana belajar yang menyenangkan dan kondusif.

Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Anggara (2011:12) yang menyatakan bahwa, “model pembelajaran

experiential menekankan pada proses

belajar, yang menggunakan pengalaman kehidupan siswa dalam belajar, sehingga tercipta suasana belajar yang menyenangkan dan kondusif”. Hal ini berarti bahwa model experiential learning dapat meningkatkan motivasi belajar siswa, sehingga kemampuan berpikir kritis siswa berkembang.

Faktor kedua, Pembelajaran dengan model Experiential Learning menekankan pada aktivitas siswa melalui langkah-langkah, yaitu: fase Concrete Experience, fase Reflective, fase Abstract Conseptualization, fase Active Experimentation. Fase Concrete Experience, yaitu guru menanyakan tentang pengalaman siswa yang berkaitan dengan materi pembelajaran. Selanjutnya dilanjutkan dengan fase Reflective Observation, yaitu menghubungkan pengetahuan awal yang diketahui siswa

(8)

dengan pengetahuan baru yang diperoleh, baik melalui percobaan maupun melalui pengamatan lingkungan sekitar yang dapat dijadikan sebagai media atau sumber belajar. Selanjutnya dengan fase Abstract Conseptualization, yaitu mengorganisasikan ide-ide atau materi yang telah diperoleh dalam suatu pembelajaran. Kegiatan ini dilakukan dengan cara berdiskusi.

Fase Active Experimentation

sebagai fase terakhir, yaitu tahap yang menuntut siswa untuk memikirkan kembali pengetahuan atau konsep yang sedang dipelajari atau ditemukan, serta siswa dituntut untuk mampu memperluas pengetahuannya selama proses pembelajaran berlangsung. Kegiatan-kegiatan tersebut membuat siswa menjadi lebih termotivasi dalam belajar, aktif, dan dapat berinteraksi dengan teman, Hal ini sependapat dengan pendapat Mardana (2006:795) yang menyatakan, ”model belajar experential learning lebih menantang dan tidak membosankan.” Dengan demikian, keterampilan berpikir kritis mereka berkembang.

Faktor ketiga, model Experiential

Learning tidak hanya memberikan

kesempatan siswa untuk melihat dan mendengarkan, melainkan juga siswa dapat bertindak dan merasakan apa yang dialami, sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna dan pengetahuan yang diperoleh akan lebih diingat oleh siswa. Model

Experiential Learning dapat menumbuhkan

pola berpikir dan bertindak yang merefleksikan penguasaan pengetahuan, keterampilan proses, dan sikap ilmiah yang dimiliki siswa, Hal ini didukung oleh pendapat Anggara (2011:13) yang menyatakan bahwa ”Pengalaman nyata siswa melalui kegiatan eksperimen dapat menumbuhkan pola berpikir dan bertindak yang merefleksikan penguasaan pengetahuan, keterampilan proses, dan sikap ilmiah yang dimiliki siswa”. Pembelajaran demikian dapat merangsang keterampilan berpikir kritis siswa.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil dari beberapa penelitian tentang penerapan model Experiential Learning. Penelitian yang dilakukan oleh Susanti (2010) menunjukkan bahwa penerapan

model experiential learning mampu meningkatkan keterampilan menulis puisi siswa kelas V SD 3 Duda Timur Karangasem. Penelitian yang dilakukan oleh Munif (2008) menunjukkan bahwa melalui penerapan model Experiential Learning dapat meningkatkan hasil belajar

IPA siswa kelas V SD Negeri Kalipucangkulon 01. Hasil belajar yang menggunakan model Experiential Learning lebih tinggi dibandingkan siswa yang menggunakan model konvensional. Penelitian serupa dilakukan oleh Satriawan (2012), bahwa model Experiential Learning ini dapat meningkatkan hasil belajar IPA.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut, dapat diinterpretasikan bahwa terdapat pengaruh model Experiential Learning terhadap keterampilan berpikir

kritis IPA pada siswa kelas V di gugus V Kecamatan Sukasada tahun pelajaran 2013/2014.

PENUTUP

Berdasarkan rumusan masalah dan hasil penelitian, maka simpulan penelitian yang ini adalah sebagai berikut.

Terdapat perbedaan yang signifikan keterampilan berpikir kritis IPA antara kelompok siswa yang dibelajarkan menggunakan model Experiential Learning dengan kelompok siswa yang dibelajarkan menggunakan model konvensional pada siswa kelas V di SD Gugus V Kecamatan Sukasada tahun pelajaran 2013/2014. Berdasarkan analisis data mean kelompok eksperimen adalah 25,8 dan mean kelompok kontrol adalah 16,44. Berikutnya, diperoleh thitung 7,566 dan ttabel (pada taraf

signifikansi 5%) adalah 1,671.

Hal ini berarti, pembelajaran menggunakan model Experiential Learning berpengaruh terhadap keterampilan berpikir kritis IPA siswa dibandingkan dengan model konvensional. Pertama, siswa hendaknya dapat mengikuti proses pembelajaran dengan baik dan aktif sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai. Kedua, guru hendaknya lebih berinovasi dalam pembelajaran dengan cara memilih dan menggunakan model pembelajaran inovatif untuk menciptakan suasana belajar yang kondusif, sehingga dapat meningkatkan keterampilan berpikir

(9)

kritis siswa. Ketiga, model Experiential

Learning dapat dijadikan masukan dan

acuan bagi kepala sekolah untuk mengambil kebijakan dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran, terutama pembelajaran IPA. Keempat, penelitian ini dapat dijadikan bahan bandingan bagi peneliti lain yang berminat untuk mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai model Experiential Learning dengan memperhatikan kendala-kendala yang dialami sebagai bahan pertimbangan untuk menyempurnakan pelaksanaan penelitian selanjutnya.

DAFTAR RUJUKAN

Abdullah dan Rahma Eny. 2009. MKDU

Ilmu Alamiah Dasar.Jakarta:Bumi

Aksara

Ari Anggara, I Komang. 2011. “Pengaruh Model Pembelajaran Experiential terhadap Konsep Diri dan Pemahaman Konsep Fisika Siswa Kelas X SMA Negeri 4 Singaraja. Jurnal Pendidikan dan

Pengajaran UNDIKSHA,

Arikunto, S. 2002.Dasar-dasar evaluasi pendidikan (Edisi revisi, cetakan ke-5). Jakarta: Bumi Aksara. BNSP. 2006. Peraturan Menteri

Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar Dan Menengah. Depdiknas.

---. 2007. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Standar Proses Untuk Satuan Pendidikan Dasar Dan Menengah. Depdiknas.

Filsaime, Dennis K. 2008. Menguak Rahasia Berpikir Kritis dan Kreatif.

Jakarta: Prestasi Pustakaraya. Hamalik, Oemar. 2009. Proses Belajar

Mengajar. Jakarta: PT Bumi

Aksara.

Hasbullah. 2012. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta:Rajawali Pers

Kolb, D.A.1984. “Problem Management:

Learning from experience”.

Tersedia pada

http:/www.learningfromexperience. com/research-library/ (diakses pada tanggal 20 maret 2013). Kunandar. 2007. Guru Profesional

Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru. Jakarta: PT Rajagrafindo Perseda.

Mardana, Ida Bagus. 2006. “Impelementasi Modul Eksperimen Sains Berbasis Kompetensi dengan Model

Experiential Learning dalam Upaya

Meningkatkan Kualitas Pelaksanaan KBK dalam Pembelajaran Sains di SMP Negeri Sukasada”. Jurnal Pendidikan dan

Pengajaran IKIP Negeri Singaraja,

No.4 (hal 782-797).

.--- . 2008. “Implementasi Modul Praktikum Berbasis ICT dengan Siklus Belajar Experiential untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Literasi ICT Siswa Kelas XIIA SMAN 1 Sukasada”. Jurnal

Pendidikan dan Pengajaran

UNDIKSHA, No.2 (hal 256-271)

Samatowa, Usma. 2010. Pembelajaran IPA

di Sekolah Dasar. Jakarta: Indeks.

Satriawan. I Kadek. 2011.Penerapan Model Experiential Learning (Sebagai Upaya Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar IPA Siswa Kelas V Semester I SD No. 1 Baktiseraga Tahun Pelajaran 2011/2011. Skripsi (tidak diterbitkan). Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Pendidikan Ganesha.

(10)

Suwatra, I Wayan, dkk. 2007. Modul Belajar

dan Pembelajaran. Buku

ajar.Universitas Pendidikan Ganesha.

Trianto. 2012. Model Pembelajaran Terpadu, Konsep, Strategi, dan Implementasinya dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta:Bumi Aksara.

Winataputra. Udin S. 2001. Strategi Belajar

Mengajar IPA. Jakarta:Universitas

Terbuka

Yamin, Martinis. 2012. Strategi

Pembelajaran Berbasis

Kompetensi. Jakarta:GP Press

Gambar

Gambar 1.  Kurva  Poligon  Data  Keterampilan  Berpikir  Kritis  Kelompok Eksperimen

Referensi

Dokumen terkait

PENDIDIKAN DAN LATIHAN PROFESI GURU (PLPG) RAYON 137 UHAMKA.. JENJANG PENDIDIKAN DASAR WILAYAH

Dalam penelitian ini, komposit sandwich dengan metode produksi vacuum infusion diharapkan dapat menjadi pilihan sebagai metode produksi pada material kapal, karena

dalam Keputusan Pengurus Pusat tentang Peraturan Tata Tertib Pelaksanaan Kongres yang diseduaikan dengan Anggaran Dasar Bab VI Pasal 11. Pembentukan Cabang di satu kota

Bagi guru, saat pembelajaran matematika berbasis masalah agar dapat lebih menekankan proses meninjau ulang proses dan hasil agar kemampuan berpikir tingkat

Data literatur yang digunakan pada perancangan kali ini didapat dari tugas akhir, jurnal, buku Dimensi Manusia dan Time Saver for Interior , terkait ukuran standard fasilitas

Penelitian dalam jurnal yang berjudul Penggunaan Model Zmijewski, Springate, Altman Z- score dan Grover Dalam Memprediksi Kepailitan Pada Perusahaan Transportasi

Dalam penulisan skripsi yang berjudul PENGARUH PRESTASI BELAJAR SISWA TERHADAP BELIEFS TENTANG MATEMATIKA DI KELAS VIII SMP NEGERI 9 KOTA CIREBON ini, sudah

Tingkat kesukaan sirup bunga dan buah belimbing wuluh yang diharapkan adalah sangat suka. Panelis dapat menentukan tingkat kesukaan produk sirup belimbing wuluh