• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. banyak dimanfaatkan untuk pengobatan tradisional. Jinten hitam umum digunakan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. banyak dimanfaatkan untuk pengobatan tradisional. Jinten hitam umum digunakan"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1

A. Latar Belakang Masalah

Jinten hitam (Nigella sativa) merupakan salah satu tanaman obat yang banyak dimanfaatkan untuk pengobatan tradisional. Jinten hitam umum digunakan sebagai antihipertensi, diuretika, antidiare, penambah nafsu makan, analgesik dan antibakteri. Studi yang dilakukan Ahmad dkk. (2013) menemukan potensi lain dari jinten hitam sebagai antidiabetes, antikanker, immunomodulator, antiinflamasi, bronkodilator, dll. Sebagian besar efek terapi dari tanaman ini diketahui dari adanya senyawa timokuinon (Ahmad dkk., 2013). Timokuinon merupakan komponen bioaktif terbesar dari minyak essensial biji jinten hitam yang tergolong senyawa terpenoid (Odeh dkk., 2014). Timokuinon yang memiliki banyak aktivitas terapeutik ini tidak semata-mata dapat digunakan untuk pengobatan. Hal ini dikarenakan timokuinon bersifat lipofilik (log P = 2,54) (Singh dkk., 2012) yang menyebabkan kelarutannya rendah dalam air (549-669 µg/mL) (Salmani dkk., 2014). Komponen dengan kelarutan kurang dari 10 mg/mL memiliki masalah disolusi yang sangat signifikan (Talegaonkar dkk., 2008). Kelarutan yang rendah menyebabkan bioavailabilitas dalam tubuh menjadi rendah sehingga dosis yang diberikan untuk mencapai efek terapi menjadi tinggi. Sediaan jinten hitam (Nigella Sativa) umumnya terdapat di pasaran dalam bentuk sediaan kapsul dengan dosis 600 mg. Strategi formulasi yang tepat sangat dibutuhkan untuk mengatasi masalah bioavailabilitas jinten hitam.

(2)

Peningkatan bioavailabilitas jinten hitam dapat dilakukan melalui formulasi berbasis lemak, salah satunya SNEDDS. Beberapa tahun terakhir ini, SNEDDS banyak dikembangkan untuk mengatasi permasalahan obat baru, terutama untuk menaikkan kelarutan, absorpsi dan stabilitas obat yang sukar larut dalam air. SNEDDS adalah sistem yang terdiri dari campuran minyak, surfaktan dan ko-surfaktan yang dapat membentuk nanoemulsi secara spontan ketika bertemu fase air melalui agitasi yang ringan dalam lambung (Gupta dkk., 2011). Sistem ini secara spontan akan membentuk emulsi minyak dalam air dengan ukuran partikel < 100 nm dengan adanya cairan lambung setelah administrasi oral (Joshi dkk., 2013).

SNEDDS mampu meningkatkan ketersediaan hayati obat karena ukuran dropletnya yang berukuran nano mampu meningkatkan disolusi dan absorpsi oral sehingga akan meningkatkan bioavailabilitas dalam tubuh secara signifikan (Nazzal dkk., 2002). Sistem ini juga dapat menaikkan permeabilitas obat melalui membran biologis karena adanya komponen lipid dan surfaktan dalam formulasi. Keuntungan lainnya adalah stabilitas yang tinggi, 100% efisiensi penangkapan obat, dosis pemberian yang tidak terlalu besar, frekuensi pemberian yang tidak terlalu sering (karena peningkatan bioavailabilitas), kemudahan dalam proses pembuatan dan scale-up (Gupta dkk., 2011).

Dalam penelitian ini, ekstrak etanolik jinten hitam diformulasi menjadi SNEDDS menggunakan minyak nabati sebagai fase minyak. Minyak nabati memiliki banyak keuntungan jika digunakan sebagai fase minyak pada formulasi berbasis lemak. Minyak nabati termasuk dalam golongan lipid, yaitu senyawa organik yang tidak dapat larut dalam air, tetapi dapat larut dalam pelarut organik

(3)

non polar seperti senyawa hidrokarbon atau dietil eter. (Wijayanti, 2008). Penggunaan minyak nabati sebagai fase minyak tidak akan menyebabkan masalah keamanan dikarenakan minyak nabati menghasilkan produk degradasi yang mudah dieksresi oleh tubuh (Singh dkk., 2009). Umumnya minyak nabati mengandung 90-98% trigliserida, yaitu terdapat 3 molekul asam lemak yang terikat pada gliserol (Wijayanti, 2008). Trigliserida memiliki kemampuan untuk menstimulasi sekresi empedu sehingga sistem yang mengandung obat akan diemulsifikasi lebih lanjut oleh garam empedu (Chime, 2014). Trigliserida juga bersifat lipofil sehingga akan mampu menaikkan kelarutan obat yang juga bersifat lipofil jika digunakan sebagai fase minyak. Minyak nabati mengandung asam lemak jenuh seperti kaproat, miristat, laurat. Minyak yang mengandung salah satu komponen tersebut menjadi pilihan dalam formulasi SNEDDS karena mampu memberikan stabilitas dan nilai HLB yang optimal. Minyak nabati yang digunakan pada proses skrining adalah minyak jagung, minyak zaitun dan VCO (Virgin Coconut Oil).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, timbul permasalahan sebagai berikut :

1. Apakah campuran minyak nabati, surfaktan dan ko-surfaktan yang didapat dari proses skrining dan optimasi dapat menghasilkan formula SNEDDS ekstrak etanolik jinten hitam yang homogen dan stabil, ditandai dengan tidak adanya pemisahan fase dan pengendapan?

(4)

2. Apakah SNEDDS yang dihasilkan memiliki extract loading, tingkat kejernihan, ukuran tetes nanoemulsi, waktu emulsifikasi, serta kestabilan dalam cairan lambung buatan dan cairan usus buatan yang baik?

C. Tujuan Penelitian Tujuan Penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui apakah campuran minyak nabati, surfaktan dan ko-surfaktan yang didapat dari proses skrining dan optimasi dapat menghasilkan formula SNEDDS ekstrak etanolik jinten hitam yang homogen dan stabil, ditandai dengan tidak adanya pemisahan fase dan pengendapan.

2. Untuk mengetahui apakah SNEDDS ekstrak etanolik jinten hitam yang dihasilkan memiliki extract loading, tingkat kejernihan, ukuran tetes nanoemulsi, waktu emulsifikasi, serta kestabilan dalam cairan lambung buatan dan cairan usus buatan yang baik.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dalam hal formulasi sediaan SNEDDS ekstrak etanolik jinten hitam dan menjadi dasar dalam pengembangan produk baru berupa sediaan SNEDDS ekstrak etanolik jinten hitam yang dapat digunakan untuk berbagai tujuan seperti antibakteri, antifungi, antidiabetes, antioksidan, dan lain-lain.

(5)

E. Tinjauan Pustaka 1. Jinten Hitam (Nigella sativa)

Nigella sativa atau di Indonesia lebih dikenal dengan jinten hitam merupakan salah satu tanaman obat yang banyak digunakan di Indonesia. Jinten hitam merupakan tanaman berbunga tahunan. Biji jinten hitam dikenal masyarakat dengan banyak sebutan, diantaranya black seed, black caraway seed, habbatu sawda, habatul baraka, dan black cumin (El tahir dan Bakeet, 2006; Gali-Muhtasib dkk., 2006).

Jinten hitam adalah tanaman semak semusim dengan tinggi sekitar 30 cm. Jinten hitam memiliki batang tegak, lunak dan berwarna hijau kemerahan. Daun tunggal, lonjong, ujung dan pangkal runcing, pertulangan menyirip, hijau. Bunga majemuk, bentuk karang, benang sari, tangkai sari dan kepala sari kuning, mahkota batang corong, putih kekuningan. Buah berbentuk polong, bulat panjang, berwarna coklat kehitaman. Biji kecil, bulat, hitam. Akar tunggang, coklat (Riset dan Teknologi Indonesia, 2002). Bentuk tanaman dan biji jinten hitam dapat dilihat pada gambar 1.

Adapun penamaan secara sistemika: Kingdom : Plantae Subkingdom : Tracheobionta Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Ranunculales

(6)

Famili : Ranunculaceae Genus : Nigella

Spesies : Nigella sativa (Riset dan Teknologi Indonesia, 2002)

Gambar 1. Tanaman dan biji jinten hitam (Darakhshan dkk., 2015)

Biji jinten hitam agak keras, bentuk limas ganda dengan kedua ujungnya meruncing, limas yang satu lebih pendek dari yang lain, bersudut 3-4, panjang 1,5 mm sampai 2 mm, lebar lebih kurang 1 mm, permukaan luar berwarna hitam kecoklatan hitam kelabu sampai hitam, berbintik-bintik, kasar, berkerut, kadang-kadang dengan beberapa rusuk membujur atau melintang. Pada penampang melintang biji terlihat kulit biji berwarna hitam kecoklatan sampai hitam, endosperma berwarna kuning kemerahan, kelabu, atau kelabu kehitaman (Depkes RI, 1979).

Berbagai penelitian yang bertujuan untuk mengetahui aktivitas biologi dan potensi terapeutik dari jinten hitam telah banyak dilakukan. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa jinten hitam memiliki spektrum aktivitas biologi yang sangat luas. Jinten hitam telah banyak dimanfaatkan untuk terapi berbagai

(7)

macam penyakit seperti bronkitis, asma, diare, rematik, diabetes mellitus, dll. Hampir semua aktivitas biologis dari jinten hitam ini disebabkan karena adanya senyawa timokuinon (Ahmad dkk., 2013). Struktur kimia timokuinon dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2. Struktur kimia timokuinon

Berbagai komponen aktif dari biji jinten hitam telah banyak diisolasi dan diidentifikasi. Biji jinten hitam diketahui mengandung 28-36% minyak tetap (fixed oil), 0,4-2,5% minyak esensial (essential oil), protein (16-19,9%), karbohidrat (33,9%), serat (5,5%), air (6%), mineral (1,79%-3,74%), alkaloid, saponin dan kumarin (Tembhurne dkk., 2014). Ekstrak etanolik jinten hitam diketahui mengandung steroid, tannin, flavonoid, kumarin, glikosida kardiak, saponin, diterpen dan alkaloid (Ishtiaq dkk., 2013; Sharma dkk., 2011).

2. SNEDDS (Self-nanoemulsifying drug delivery system)

SNEDDS adalah sistem yang terdiri dari campuran minyak, surfaktan, dan ko-surfaktan yang dapat membentuk nanoemulsi secara spontan setelah bertemu fase air melalui agitasi yang ringan dalam lambung (Gupta dkk., 2011). Nanoemulsi yang terbentuk terlihat transparan dikarenakan ukuran dropletnya yang sangat kecil (< 100 nm) (Thakur dkk., 2013). Ukuran droplet nanoemulsi yang sangat kecil mengakibatkan obat dapat melewati membran sepanjang

(8)

saluran pencernaan dengan cepat dan meminimalisir iritasi akibat adanya kontak antara partikel obat dengan dinding saluran pencernaan (Makadia dkk., 2013).

Formulasi SNEDDS lebih dipilih daripada nanoemulsi karena nanoemulsi mengandung air yang dapat menurunkan stabilitas formulasi. Volume SNEDDS yang dihasilkan juga lebih kecil daripada volume nanoemulsi sehingga akan meningkatkan kenyamanan penggunaaannya. Volume yang lebih kecil memungkinkan SNEDDS dikemas di dalam sediaan kapsul, baik dalam hard maupun soft gelatin (Gupta dkk., 2011). Pengurangan dosis pemberian akan mengurangi efek samping yang berhubungan dengan dosis. SNEDDS juga dapat membentuk larutan lipid yang stabil tanpa perlu proses emulsifikasi dengan energi tinggi (Date dkk., 2010).

Komponen penyusun SNEDDS antara lain minyak sebagai pembawa obat, surfaktan sebagai emulgator minyak ke dalam air melalui pembentukan lapisan film antar muka dan menjaga kestabilannya, serta ko-surfaktan untuk membantu kerja surfaktan sebagai emulgator. SNEDDS yang dihasilkan harus kompatibel antar komponennya, aman untuk dikonsumsi, memiliki kapasitas pelarutan obat yang baik dan memiliki kemampuan self-emulsifying yang baik (Han dkk., 2011). Karakteristik formula SNEDDS dipengaruhi oleh rasio minyak dan surfaktan, kepolaran dan muatan tetesan emulsi. Formula SNEDDS juga dipengaruhi oleh sifat fisikokimia dan konsentrasi minyak, surfaktan dan ko-surfaktan, rasio masing-masing komponen, pH dan suhu saat emulsifikasi terjadi, serta sifat fisikokimia obat (Obitte dkk., 2011).

(9)

SNEDDS ekstrak etanolik jinten hitam didasarkan pada kelarutan ekstrak etanolik jinten hitam di dalam masing-masing komponen. Pemilihan komponen SNEDDS juga dapat didasarkan pada kemampuan untuk bercampur antar komponen SNEDDS, kompatibilitas dengan cangkang kapsul yang akan digunakan dan tipe formulasi (Pouton dan Porter, 2008).

Komponen utama SNEDDS adalah sebagai berikut: a. Minyak

Minyak merupakan komponen penting dari sistem yang bukan hanya berfungsi untuk melarutkan obat tetapi juga memfasilitasi transport obat melalui sistem limfatik intestinal sehingga absorbsi obat dari saluran pencernaan juga meningkat (Balakumar dkk., 2013). Fase minyak yang digunakan pada proses skrining antara lain VCO (Virgin Coconut Oil), minyak zaitun dan minyak jagung.

VCO merupakan minyak kelapa murni yang diproduksi dari daging kelapa segar yang diolah dalam suhu rendah, tanpa melalui pemanasan tinggi sehingga kandungan yang penting dalam minyak dapat dipertahankan. Kandungan asam lemak jenuh VCO antara lain asam kaproat (0,2%), asam kaprilat (6,1%), asam kaprat (8,6%), asam laurat (50,5%), asam miristat (16,1%), asam palmitat (7,5%), asam stearat (1,5%), asam arakidat (0,02%). Kandungan asam lemak tidak jenuh dalam VCO antara lain asam palmitoleat (0,2%), asam oleat (6,5%), asam linoleat (2,7%). Asam laurat di dalam tubuh akan diubah menjadi monolaurin atau senyawa monogliserida yang mempunyai manfaat sebagai antivirus, antibakteri dan

(10)

antiprotozoa (Prabawati, 2005).

Minyak zaitun memiliki kandungan utama asam lemak tidak jenuh antara lain asam oleat (80%), asam linoleat (6%), asam linolenat (0,7%), dan asam palmitoleat (0,6%). Minyak zaitun juga mengandung asam lemak jenuh, antara lain asam palmitat (9%), asam stearat (3%), dan asam arakidat (0,4%) (Singh dkk., 2009). Asam oleat bermanfaat dalam mengurangi kolesterol darah, menjaga fungsi sistem imun dan mencegah aterosklerosis (Yu dkk., 2005).

Kandungan asam lemak tidak jenuh dalam minyak jagung antara lain asam lemak linoleat (60%), asam oleat (25%), asam linolenat (1%), asam palmitoleat (0,2%). Kandungan asam lemak jenuh dalam minyak jagung antara lain asam miristat (0,1%), asam palmitat (11%), asam margarat (0,1%), asam stearat (2%), asam arakidat (0,4%), dan asam behenat (0,1%) (Singh dkk., 2009). Asam linoleat terkonjugasi bermanfaat sebagai zat pencegah kanker dan mencegah penyakit kardiovaskular (Yu dkk., 2005). b. Surfaktan

Surfaktan merupakan komponen penting dalam formulasi SNEDDS. Surfaktan dapat melarutkan komponen obat yang hidrofobik dalam jumlah besar (Singh dkk., 2009). Surfaktan akan membentuk lapisan film antar muka di permukaan, membantu menstabilkan emulsi dan meningkatkan absorpsi obat ke dalam sel dengan berpartisi ke dalam membran sel dan merusak struktur membran lipid bilayer sehingga akan meingkatkan permeasi obat (Gursoy dan Benita, 2004). Bentuk sediaan emulsi o/w untuk

(11)

penggunaan oral dan parenteral dengan menggunakan surfaktan nonionik akan menghasilkan stabilitas in-vivo yang lebih baik (Kawakami dkk., 2006). Surfaktan non-ionik juga relatif lebih aman digunakan daripada surfaktan ionik. Surfaktan non-ionik diketahui lebih stabil terhadap pengaruh pH dan perubahan kekuatan ionik, lebih aman dan biokompatibel (Singh dkk., 2009).

Kriteria penting yang juga harus diperhatikan pada pemilihan surfaktan adalah nilai HLB (Hydrophillic-Liphophillic Balance). Surfaktan dan ko-surfaktan hidrofilik akan lebih mudah membentuk lapisan antar muka dan menurunkan energi yang diperlukan untuk membentuk nanoemulsi sehingga stabilitas akan meningkat (Kommuru dkk., 2001). Surfaktan dengan nilai HLB < 10 bersifat hidrofobik (contoh: sorbitan monoester) dan dapat membentuk nanoemulsi air dalam minyak (w/o), sedangkan surfaktan dengan nilai HLB > 10 bersifat hidrofilik (contoh: polisorbat 80) dan dapat membentuk nanoemulsi minyak dalam air (o/w) (Debnath dkk., 2011).

Konsentrasi surfaktan berperan dalam pembentukan tetesan berukuran nanometer. Konsentrasi surfaktan dalam sistem SNEDDS harus disesuaikan agar tidak terlalu besar dan menimbulkan efek yang tidak baik pada saluran cerna (Singh dkk., 2009), karena itu penentuan konsentrasi surfaktan yang digunakan merupakan faktor penting pada formulasi (Kawakami dkk., 2006). Penelitian menggunakan surfaktan non-ionik yaitu Tween 80.

(12)

Tween 80 atau polyoxyethylene-(20)-sorbitan monooleate (C64H124O6) memiliki nilai HLB 15 dan bobot molekul 604,8128 g/mol, kelarutan di air 5-10 g/100 mL pada suhu 23oC, dan densitas sebesar 1.064. Tween 80 dikategorikan sebagai generally recognized as nontoxic and nonirritant dengan LD50 pemberian secara oral pada tikus sebesar 25 mg/kg BB (Rowe dkk., 2009). Struktur kimia Tween 80 dapat dilihat pada gambar 3.

w+x+y+z=20

Gambar 3. Struktur kimia Tween 80

c. Ko-surfaktan

Ko-surfaktan ditambahkan pada formula SNEDDS untuk meningkatkan extract loading, menurunkan waktu emulsifikasi, dan mengatur ukuran tetes pada nanoemulsi (Makadia dkk., 2013). Ko-surfaktan membantu surfaktan dalam menurunkan tegangan antar muka sehingga dapat mengecilkan ukuran partikel nanoemulsi (Debnath dkk., 2011). Penelitian menggunakan PEG 400 sebagai ko-surfaktan.

Polietilen Glikol 400 (PEG 400) memiliki nilai HLB 11,4 dan diklasifikasikan GRAS (Generally regarded as safe) oleh FDA sehingga aman digunakan untuk bahan tambahan makan, obat-obatan, dan juga

(13)

kosmetik (Chime dkk., 2014). PEG 400 memiliki nilai LD50 pemberian secara oral pada tikus sebesar 28,9 g/kg BB (Rowe dkk., 2009).

PEG 400 memiliki rumus struktur HOCH2(CH2OCH2)mCH2OH dimana m merupakan jumlah rata-rata gugus oksietilen, dengan bobot molekul sebesar 380-429 g/mol, berwujud cairan kental jernih, stabil, tidak berwarna, bau khas agak lemah, agak higroskopik, dan pahit, serta dapat larut dalam air, etanol, aseton dan hidrokarbon aromatik, namun praktis tidak larut dalam eter dan hidrokarbon alifatik (Depkes RI, 1995). Struktur kimia PEG 400 dapat dilihat pada gambar 4.

n = 8.7

Gambar 4. Struktur kimia PEG 400

F. Landasan Teori

Timokuinon yang merupakan komponen bioaktif terbesar dari jinten hitam diketahui memiliki log P = 2,54 (Singh dkk., 2012). Hal ini mengindikasikan bahwa timokuinon merupakan senyawa lipofilik. Kelarutan timokuinon dalam air diketahui 549-669 µg/mL (Salmani dkk., 2014). Kelarutan dalam air yang rendah ini akan menimbulkan masalah pada penggunaan oral dikarenakan timokuinon sulit untuk tersolubilisasi dalam air dan diabsorpsi tubuh. Peningkatan kelarutan timokuinon dalam ekstrak etanolik jinten hitam ini dapat dilakukan melalui suatu formulasi berbasis lemak, salah satunya SNEDDS.

(14)

SNEDDS didefinisikan sebagai sistem yang terdiri dari campuran minyak, surfaktan dan ko-surfaktan yang dapat membentuk nanoemulsi secara spontan ketika bertemu fase air melalui agitasi yang ringan dalam lambung dengan ukuran tetes emulsi berkisar nanometer (Mahmoud dkk., 2013). Ukuran tetes emulsi yang berukuran nanometer akan meningkatkan disolusi dan absoprsi oral sehingga akan meningkatkan bioavailabilitas dalam tubuh secara signifikan (Nazzal dkk., 2002). SNEDDS akan menyebar secara merata di saluran pencernaan dan gerakan untuk proses digesti pada lambung dan usus halus akan menyediakan agitasi yang dibutuhkan untuk proses self-emulsification (Kyatanwar dkk., 2010). Keberhasilan pada pengembangan SNEDDS dapat dilihat dari kejernihan, waktu emulsifikasi, ukuran droplet, dan distribusi ukuran yang dinyatakan dalam indeks polidispersitas. Fase minyak yang digunakan pada formulasi SNEDDS adalah minyak nabati. Minyak nabati adalah minyak yang diperoleh dari tumbuhan. Sebagian besar minyak nabati (95-98%) terdiri dari tiga ester asam lemak dan gliserol, yang sering disebut trigliserida. Sekitar 2-5% sisanya terdiri dari campuran senyawa minor seperti lemak, alkohol, ester, dll (Aluyor dkk., 2009). Penggunaan minyak nabati yang mengandung trigliserida dengan rantai medium-panjang dirasa tepat untuk meningkatkan kelarutan obat yang lipofil dikarenakan trigliserida merupakan senyawa yang memiliki lipofilisitas tinggi (Singh dkk., 2009). Minyak nabati banyak digunakan dalam formulasi SNEDDS karena banyak mengandung asam lemak seperti kaproat, kaprilat, laurat, miristat. Komponen tersebut memberikan kegunaan yang potensial, stabilitas dan HLB yang optimal terhadap SNEDDS yang dihasilkan (Singh dkk., 2009).

(15)

Pramudita (2014) pada penelitiannya berhasil memformulasikan SNEDDS ketoprofen menggunakan VCO sebagai fase minyak, kombinasi Tween 80 dan Tween 20 sebagai surfaktan dan PEG 400 sebagai ko-surfaktan, menghasilkan nanoemulsi dengan ukuran diameter 2,1 nm dan distribusi ukuran partikel yang seragam. Fathoroni (2014) pada penelitiannya menggunakan minyak zaitun sebagai fase minyak penyusun komponen SNEDDS simvastatin, Tween 80 sebagai surfaktan dan PEG 400 sebagai ko-surfaktan. Ukuran partikel yang dihasilkan berukuran 26,66 nm dengan distribusi ukuran partikel yang seragam. AlHaj dkk. (2010) dalam penelitiannya berhasil memformulasi Solid Lipid Nanopartikel yang memuat minyak esensial jinten hitam dengan ukuran droplet yang dihasilkan berkisar 66-142,70 nm. Penelitian yang dilakukan Tubesha dkk. (2013) menghasilkan nanoemulsi timokuinon dengan komposisi timokuinon murni, glycerololeat, 2% Tween 80 dan akuades. Ukuran partikel yang dihasilkan berkisar 116,27-122,7 nm, lebih kecil dibanding emulsi timokuinon konvensional yang berkisar antara 489,2-680,2 nm. Berdasarkan hasil beberapa penelitian tersebut, diperkirakan formulasi ekstrak etanolik jinten hitam menjadi SNEDDS dengan menggunakan minyak nabati sebagai fase minyak dapat dilakukan.

(16)

G. Hipotesis Hipotesis pada penelitian ini yaitu:

1. Campuran minyak nabati, surfaktan dan ko-surfaktan yang didapat dari proses skrining dan optimasi dapat menghasilkan formula SNEDDS ekstrak etanolik jinten hitam yang homogen dan stabil, ditandai dengan tidak adanya pemisahan fase dan pengendapan.

2. SNEDDS yang dihasilkan memiliki extract loading, tingkat kejernihan, ukutan tetes nanoemulsi, waktu emulsifikasi, serta kestabilan dalam cairan lambung buatan dan cairan usus buatan yang baik.

Gambar

Gambar 1. Tanaman dan biji jinten hitam (Darakhshan dkk., 2015)
Gambar 2. Struktur kimia timokuinon
Gambar 3. Struktur kimia Tween 80
Gambar 4. Struktur kimia PEG 400

Referensi

Dokumen terkait

Muhammad As’ad, adalah cucu Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari, penulis kitab Sabilal al-Muhtadin (Jalan- Orang-Orang yang Mendapat Petunjuk) 5. Kemudian apabila dilihat dari

Landasan Teori dan Program proyek akhir arsitektur ini yang berjudul.. “Galeri Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di

2.1.5 Setiap petugas kesehatan di Puskesmas Cibungbulang yang berkewajiban melakukan identifikasi sebelum pemberian obat, infus, sebelum  pengambilan sampel darah atau

 pertama pada pada tahun tahun 19&amp;9 19&amp;9 sampai sampai dengan dengan sekarang sekarang direktur direktur dr. Sedangkan n nama Abdul Moeloek nama Abdul

bupati atau pejabat yang ditunjuk dengan memperhatikan tata ruang Kabupaten Rokan Hilir, pejabat yang ditunjuk oleh Bupati untuk melakukan pengawasan dan pengendalian

Pada aplikasi pengalokasian dosen pengampu mata kuliah yang telah dibuat, pengujian algoritma dilakukan terhadap data penelitian semester ganjil untuk tahun

Berdasarkan pemikiran di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kompetensi guru sekolah dasar dalam bidang seni musik dan pembelajarannya dengan

Untuk mendapatkan kakao Aceh yang tahan terhadap penyakit busuk buah maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap karakter-karakter kakao baik secara