BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Industri kreatif sering dikemukakan oleh berbagai pakar ekonomi sebagai industri gelombang ke-4 setelah pertanian, industri dan teknologi informasi. Walaupun masih belum lama secara luas populer di Indonesia, industri kreatif sering dinyatakan sebagai industri masa depan yang sangat prospektif. Berdasarkan data Laporan Tahunan Bank Indonesia Tahun 2011 (Rencana Startegis Kemenparekraf RI 2012-2014) kondisi pertumbuhan ekonomi nasional yang utama bersumber dari sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor pengangkutan dan komunikasi. Pada ketiga sektor tersebut, usaha pariwisata dan industri kreatif berada dan menunjukkan adanya keterkaitan antara kedua industri ini.
Modal utama yang dibutuhkan di bidang industri kreatif bukan modal fisik skala besar atau mesin besar, melainkan modal tenaga kerja yang kreatif dan tahan banting, penggabungan antara kreatifitas, keahlian, dan bakat individu. Menurut definisinya seperti dinyatakan oleh Departement of Culture, Media and Sports (DCMS) Inggris, industri kreatif merupakan kegiatan-kegiatan yang bersumber pada kreatifitas, ketrampilan dan talenta individu yang memiliki potensi untuk mewujudkan kesejahteraan dan lapangan pekerjaan melalui pembuatan dan pengeksploitasian kekayaan intelektual (UNCTAD, 2008 dan Gibbon, 2011).
Bagi Indonesia yang baru mengenal dan mulai berorientasi pada pengembangan industri kreatif, tercatat bahwa PDB industri kreatif pada tahun 2009 tumbuh sebesar 2,27%, dengan pertumbuhan tertinggi terjadi di sektor permainan interaktif. Pertumbuhan ekspor industri kreatif pada tahun 2009 melambat, dengan nilai positif (1,5%), namun ada tahun 2010, nilai ekspor industri kreatif tumbuh pesat sebesar 12,5%. Kontribusi ekspor industri kreatif terhadap ekspor nasional tahun 2009 sebesar 7,63% dan pada tahun 2010 meningkat menjadi sebesar 8,59%. (Kemenparekraf RI, 2012). Berdasarkan data terakhir, industri kreatif mampu
berkontribusi terhadap PDB (produk domestik bruto) sebesar 7,29 persen pada tahun 2013 lalu atau senilai 486,1 triliun rupiah (Kemenparekraf dalam Koran Jakarta, 17 Mei 2014).
Pada tahun 2010, industri kreatif mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 8,6 juta orang dengan rata-rata tingkat partisipasi sejak tahun 2002 sebesar 7,8% (BPS dan Kemenparekraf,tanpa tahun dalam Renstra Kemenparekraf 2012-2014:52). Dalam hal kontribusi terhadap jumlah usaha, selama tahun 2002-2012 rata-rata sekitar 2,9 juta perusahaan bergerak di sektor industri kreatif. Jumlah ini menempatkan industri kreatif pada peringkat ke-4 diantara 10 sektor perekonomian seperti pertanian, perdagangan dan lain-lain.
Dibandingkan dengan sektor-sektor penghasil devisa lainnya, sektor pariwisata berada di urutan ke-5 pada tahun 2010, setelah sempat berada di urutan ke-4 pada 2009. Kontribusi devisa sektor kepariwisataan berada di bawah minyak dan gas bumi, minyak kelapa sawit, batubara, dan karet olahan. Pertumbuhan devisa tertinggi terjadi pada tahun 2008, yaitu sebesar US$7.348 dengan tingkat pertumbuhan sebesar 37,44%. Setelah sempat turun pada tahun 2009, sektor pariwisata kembali normal tahun 2010 dengan pertumbuhan sebesar 20,72% dengan total devisa US$7.603 juta.Jumlah ini merupakan devisa tertinggi yang diperoleh Indonesia pada periode 2000-2010. Kontribusi kepariwisataan terhadap tenaga kerja nasional meningkat dari 4,7% atau sebanyak 4,4 juta orang di tahun 2006, menjadi 6,9% atau sebanyak 7,4 juta orang di tahun 2010. Kontribusi kepariwisataan terhadap tenaga kerja relatif meningkat sejak tahun 2006 sampai 2010 (Renstra Kemenparekraf 2012-2014).
Data perkembangan wisatawan mancanegara dan penerimaan devisa dari sektor pariwisata selama tahun 2009-2013 dapat ditunjukkan pada tabel 1.1 berikut.
Tabel 1.1 Perkembangan wisatawan mancanegara dan devisa Tahun 2009-2013
Tahun
Wisatawan Mancanegara Rata-Rata Lama Tinggal (Hari) Rata-Rata Pengeluaran Per Orang (USD) Penerimaan Devisa Jumlah Pertumbuhan (%) Per Hari Per Kunjungan Jumlah (Juta USD) Pertumbuhan (%) 2009 6,323,730 7.69 129.57 995.93 6,297.99 2010 7,002,944 10.74 8.04 135.01 1,085.75 7,603.45 20.73 2011 7,649,731 9.24 7.84 142.69 1,118.26 8,554.39 12.51 2012 8,044,462 5.16 7.70 147.22 1,133.81 9,120.85 6.62 2013 8,802,129 9.42 7.65 149.31 1,142.24 10,054.14* 10.23 * Data sementara
Sumber: Pusdatin Kemenparekraf & BPS (2014)
Apabila dibandingkan dengan industri kreatif maka penerimaan devisa dari sektor pariwisata masih berada di bawah sektor industri kreatif. Perbandingan penerimaan devisa dari industri kreatif dan pariwisata tersebut dapat ditunjukkan pada tabel 1.2 berikut.
Tabel 1.2 Perkembangan penerimaan devisa dari industri pariwisata dan industri kreatif Tahun 2009-2013
Tahun Industri Pariwisata (Juta USD) Industri Kreatif * (Miliar Rp) 2009 6.323 n.a 2010 7.003 96.703 2011 7.650 105.190 2012 8.044 110.145 2013 8.802 118.968 * Data sementara
Berdasarkan besarnya potensi industri kreatif tersebut di atas, dapat dijelaskan bahwa industri kreatif memiliki peran penting dan dapat diharapkan untuk meningkatkan kualitas kepariwisataan nasional seperti dinyatakan pada penelitian terdahulu (Koestantia, 2010) bahwa industri kreatif mampu meningkatkan daya tarik wisata sebagai salah satu komponen daya saing destinasi pariwisata.
Dokumen Rencana Pengembangan Industri Kreatif 2009-2025 yang dikeluarkan oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI (2008) menyatakan bahwa industri kreatif di Indonesia mencakup 14 subsektor yaitu periklanan, arsitektur, pasar barang seni, kerajinan, desain, fesyen, video, film dan fotografi, permainan interaktif, musik, seni pertunjukan, penerbitan dan percetakan, layanan komputer dan piranti lunak, televisi dan radio, serta riset dan pengembangan. Keempat belas subsektor industri kreatif tersebut kemudian oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif ditambah dengan kuliner sebagai usaha kreatif yang akan terus dikembangkan. Penambahan subsektor ke-15 ini didasarkan pada besarnya potensi usaha kreatif tersebut di Indonesia.
Definisi yang diberikan oleh pemerintah tersebut, cukup jelas mengindikasikan bahwa ekonomi kreatif meliputi sektor industri kreatif bersifat lintas sektor dan mencakup banyak sekali bidang usaha dan sektoral. Dalam kaitannya dengan sektor pariwisata, industri kreatif menjadi salah satu basis produksi (input) yang sangat diharapkan dapat menyokong pertumbuhan sektor kepariwisataan khususnya dalam hal penciptaan lapangan kerja dan meningkatkan daya tarik pariwisata bagi daerah. Tidak semua subsektor industri kreatif memiliki keterkaitan langsung dengan sektor pariwisata, namun beberapa subsektor industri kreatif merupakan peluang sekaligus harapan untuk dapat mendukung perkembangan sektor pariwisata, seperti kerajinan/cenderamata atau dalam bentuk atraksi (daya tarik) wisata pada suatu destinasi pariwisata tertentu. Indonesia memiliki akar budaya dengan keragaman yang tinggi sebagai salah satu aset terbesar pariwisata nasional. Oleh karena itu, keberadaaan tiap-tiap subsektor tersebut tentunya sangat penting dalam menyokong pengembangan pariwisata nasional.
Meskipun industri kreatif dan pariwisata memiliki kelompok usaha masing-masing namun di lapangan dapat dilihat adanya kekuatan yang saling mendukung
dan memperkuat fungsi satu dengan lainnya. Berdasarkan data Kemenparekraf RI (2011), 3 subsektor industri kreatif yang terkait erat dengan industri pariwisata dan memberikan kontribusi cukup besar bagi perkembangan pariwisata nasional adalah kuliner 32%, fesyen 28,7% dan kemudian kerajinan 14,7%, namun pertumbuhan ketiganya masih di bawah pertumbuhan PDB Nasional. Sebagian besar yang bergerak di sektor industri kreatif tersebut merupakan kelompok UKM dengan produktivitas Rp. 19,5 juta per pekerja per tahun. Apabila dilihat dari arah pergerakan dan orientasi kerjanya, industri kreatif selama ini didominasi oleh masyarakat tingkat menengah kebawah. Hal ini sejalan dengan industri pariwisata yang berbasis pada pemberdayaan masyarakat.
Skala pengembangan industri kreatif umumnya berbasis seni dan budaya. Oleh karena itu, beberapa pustaka menyebutkan industri kreatif merupakan kelanjutan dari industri budaya. Kapabilitas industri kreatif dalam menghadapi krisis didasarkan atas kemampuan kreatifitas dan inovasi dalam membuat desain produk serta pola-pola pemasaran yang lebih dinamis dengan melihat berbagai peluang. Modal yang dialokasikan tidak sebesar modal usaha dalam sebuah perusahaan besar. Hal tersebut tentu saja tidak terlepas dari pengembangan industri kreatif yang didasarkan pada beberapa kecenderungan-kecenderungan yang berlaku global, yaitu kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin cepat, siklus inovasi semakin singkat, produksi ekonomi global meningkat 6 kali lipat pada 20 tahun terakhir, mobilitas manusia meningkat 5 kali lipat dalam kurun waktu 10 tahun terakhir dan munculnya kekuatan ekonomi global baru serta kesenjangan negara kaya dan miskin semakin lebar.
Pengembangan industri kreatif akan lebih optimal apabila dilihat pula dari konteks pengembangan pariwisata.Sektor pariwisata merupakan sektor yang bergerak di berbagai lini pada sektor-sektor pendukung lainnya, termasuk didalamnya adalah industri kreatif. Keberadaan industri kreatif dapat memperkuat kualitas kepariwisataan dan menciptakankan daya tarik wisata, sebaliknya pertumbuhan pariwisata dapat pula menciptakan kreatifitas dan kualitas produk kreatif karena adanya pengaruh kunjungan wisatawan. Akan sangat tepat jika melihat pengembangan industri kreatif dalam wadah suatu destinasi pariwisata yang
populer, sehingga akan terjadi suatu keterkaitan antara keduanya yang saling menunjang.
Industri kreatif dalam hubungannya dengan sektor pariwisata lebih bersifat timbal balik dan akan membentuk multiplier effect serta mengurangi eksploitasi sumber daya alam bagi pembangunan pariwisata yang masif (Suriyani, 2008). Dengan semakin berkembangnya kegiatan pariwisata, akan makin terbuka peluang pengembangan industri kreatif yang lebih berkualitas. Namun pada kenyataannya, perkembangan industri pariwisata Indonesia belum memberikan efek positif bagi pengembangan industri kreatif (tabel 1.2).
Sebaliknya, pariwisata dapat dipromosikan melalui industri kreatif dalam bentuk hasil karya seni dan budaya seperti kerajinan, seni pertunjukan, film dan lain-lain . Secara umum peluang industri kreatif bagi semua daerah/kota di Indonesia menjadi sangat terbuka sebagai dampak dari keanekaragaman seni, budaya dan warisan budaya, namun masih terdapat beberapa permasalahan yang menghambat pengembangan industri kreatif di Indonesia. Tidak semua daerah mampu mengubahnya menjadi industri yang membuka lapangan kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Kurangnya jumlah dan kualitas SDM, pengembangan iklim yang kurang kondusif seperti Administrasi Negara dan kebijakan/peraturan, kurangnya penghargaan bagi industri kreatif baik finansial maupun non finansial, cepatnya pertumbuhan teknologi dan komunikasi, lemahnya dukungan dana dan sulitnya mendapatkan sumber pembiayaan. Semua itu merupakan kendala bagi daerah untuk menjadikan industri kreatif sebagai industri unggulan bagi daerah. Tiga kota yang menjadi pusat pertumbuhan industri kreatif adalah Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta (Kemenparekraf dalam Koran Jakarta, 17 Mei 2014)
.
Dalam penelitian ini Bandung dipilih sebagai fokus lokasi penelitian karena Kota Bandung telah berkembang sebagai salah satu motor penggerak industri kreatif dan berdasarkan pertemuan di Yokohama (2007) ditetapkan sebagai proyek rintisan Kota Kreatif se Asia Timur atau the Emerging Creative City oleh British Council. Bandung juga menjadi penyumbang industri kreatif tertinggi di Indonesia dengan menggelar festival industri kreatif setiap bulannya. Industri kreatif yang termaju berasal dari fesyen, tekstil, musik dan film indie, terdapat juga produk-produkpenunjang gaya hidup kaum muda, makanan sampai teknologi informasi (Disperindag Jabar, 2008). Selain itu Bandung juga merupakan destinasi pariwisata populer yang memiliki beberapa kawasan wisata dan sentra-sentra industri kreatif, sehingga sangat tepat apabila kawasan-kawasan tersebut dipilih sebagai lokasi amatan intensif.
Kajian sementara dari Bappeda Kota Bandung (2005) menyatakan lebih dari 500 usaha kerajinan ada di Kota Bandung, namun di lapangan tidak terlihat nyata keterkaitan lokasinya terhadap sistim keruangan Kota Bandung. Data Bappeda Kota Bandung merupakan data terakhir yang dapat diperoleh, namun berdasarkan pengamatan di lapangan terdapat fasilitas penjualan kerajinan di Jl. Braga (1 buah) dan di Saung Angklung Ujo (toko cenderamata). Umumnya produk yang dipasarkan di kedua tempat tersebut didatangkan dari daerah-daerah lain di luar Kota Bandung. Sementara berdasarkan data Biro Pusat Statistik Kota Bandung (2012) terdapat 1 usaha kerajinan. Karena sulitnya memperoleh data yang pasti maka tidak dilakukan pengamatan yang mendalam terhadap subsektor kerajinan. Demikian pula dengan seni pertunjukan yang meliputi berbagai sanggar seni dan kesenian daerah. Keberadaan subsektor industri kreatif tersebut tersebar dilingkungan perumahan-perumahan di Kota Bandung dan umumnya kelompok kesenian tersebut tidak memiliki ruang pertunjukan sendiri kecuali Saung Angklung Ujo sehingga dalam hal ini tidak dilakukan penelitian secara mendalam.
Sebagai destinasi pariwisata dan pusat industri kreatif, Kota Bandung memiliki karakter ruang yang spesifik, dicirikan oleh adanya sebaran sentra produksi dan penjualan di Cibaduyut dan Suci serta lokasi penjualan industri kreatif yang menonjol di kawasan Cihampelas, Dago, Riau, Surapati sampai ke bagian selatan dan pinggiran kota. Sebaran industri kreatif pada kelima kawasan amatan menunjukkan kecenderungan pola sebaran yang tidak sama. Dari aspek keruangan destinasi pariwisata, karakteristik ruang Kota Bandung mencirikan adanya hubungan yang kuat antara kegiatan wisata dan industri kreatif. Hal ini dikarenakan citra Kota Bandung sebagai destinasi pariwisata alam dan budaya telah terbentuk sejak zaman Belanda (Kunto, 1988) sehingga perubahan ruang Kota Bandung merupakan fenomena yang menarik untuk diteliti lebih dalam. Dalam konteks inilah, penelitian
dilakukan untuk mengetahui bagaimana pola sebaran industri kreatif memiliki keterkaitan dengan sistim keruangan 5(lima) kawasan di Kota Bandung sebagai lokus yang akan dikaji. Profil Kota Bandung dilihat dari aspek perkembangan industri kreatifnya dapat terlihat pada tabel 1.3 berikut ini yang merepresentasikan keterkaitan industri kreatif dengan sebuah destinasi pariwisata.
Tabel 1.3 Potensi usaha industri kreatif di Kota Bandung
NO. SEKTOR USAHA JUMLAH UNIT USAHA
1. Periklanan 275
2. Pasar Seni & Barang Antik 49
3. Kerajinan Tangan 511
4. Desain 17
5. Fesyen 893
6. Film, Video dan Fotografi 297
7. Computer Games (hiburan interaktif) 18
8. Musik 156
9. Seni Pertunjukan 1301
10 Arsitektur 90
11. Layanan computer & Piranti lunak 275
12 Televisi dan Radio 38
13 Penerbitan dan percetakan 547
14 Riset dan Pengembangan 390
15 Kuliner * 532
Jumlah ** 5291
*Data sementara
**Data terakhir yang tersedia.
1.2 Permasalahan
Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah sulitnya memperoleh rekaman data mengenai pertumbuhan industri kreatif pada masing-masing kawasan amatan,terutama data masing-masing subsektor industri kreatif yang berkembang dalam kawasan. Berdasarkan hasil pengamatan dan telaahan peneliti atas beberapa hasil penelitian terdahulu, belum diketahui bentuk pola sebaran industri kreatif dan keterkaitannya dengan sistim keruangan sebuah destinasi pariwisata. Satu hal yang bisa diamati saat ini adalah sentra-sentra yang menjadi lokasi penjualan produk industri kreatif kemudian menjadi atraksi wisata yang terus berkembang dan mempengaruhi kegiatan serta fungsi kawasan setempat. Sebaliknya dimana tumbuh fasilitas wisata atau adanya atraksi wisata memicu pula tumbuhnya fasilitas penjualan hasil kerajinan, fesyen, wisata kuliner dan lain-lain karena adanya kunjungan wisatawan, sedangkan lokasi produksi industri kreatif di Indonesia umumnya belum semua dapat menjadi daya tarik wisata.
1.3 Pertanyaan Penelitian
Untuk memperoleh gambaran tentang bentuk pola sebaran industri kreatif dan hubungannya dengan sistim keruangan destinasi pariwisata, maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana bentuk pola sebaran industri kreatif pada sebuah destinasi pariwisata? Mengapa demikian?
2. Bagaimana keterkaitannya dengan sistim keruangan destinasi pariwisata? 3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi?
1.4 Tujuan Penelitian
1. Menjelaskan bentuk-bentuk pola sebaran industri kreatif pada sebuah destinasi pariwisata dan keterkaitannya dengan sistim keruangan destinasi pariwisata.
3. Membangun konsep sebaran industri kreatif (klaster kreatif) pada destinasi pariwisata yang terkait dengan kegiatan kepariwisataan.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini antara lain ditujukan untuk pihak-pihak sebagai berikut:
1. Bagi perkembangan ilmu pengetahuan, diharapkan dapat memperkaya teori dan konsep yang telah ada sehingga dapat dikembangkan penelitian-penelitian lebih lanjut di bidang pariwisata dan industri kreatif.
2. Bagi dunia rancang bangun dan perencanaan diharapkan dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam merencanakan ruang dan wilayah destinasi pariwisata serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
3. Bagi penyusun kebijakan dan strategi diharapkan dapat menjadi dasar bagi perumusan kebijakan, strategi, dan program dalam pengembangan industri kreatif dan pariwisata.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Untuk lebih mempertajam fokus pembahasan, dalam penelitian ini dilakukan sejumlah pembatasan, baik yang mencakup wilayah amatan maupun substansi analisis sebagai berikut:
1. Berdasarkan konsep-konsep yang ada tentang industri kreatif, sejauh pengetahuan peneliti belum ada konsep yang menjelaskan keterkaitan antara industri kreatif dengan sistim keruangan destinasi pariwisata. Untuk menghindari kerancuan dan perbedaan penafsiran yang terkait dengan judul penelitian, maka pada penelitian ini dilakukan pembatasan atas substansi kedua industri tersebut yang didasarkan pada beberapa teori sebagai definisi dasar yang kemudian selanjutnya menjadi definisi operasional dan acuan dalam analisis.
a. Industri Kreatif menurut definisi asalnya (DMCS-UK, 2002) adalah Industri yang berbasis pada kreatifitas, talenta dan inovasi. Dalam penelitian ini dipilih subsektor industri fesyen, arsitektur/heritage, kerajinan dan kuliner yang dekat dan banyak diminati wisatawan.
b. Pola Sebaran yang dimaksudkan pada penelitian ini merupakan susunan dan karakteristik sebaran usaha kreatif yang terkait dengan faktor lokasi dan fungsi kegiatan yang terjadi di dalamnya. Hal ini didasarkan pada teori lokasi (Christaller 1933 dan Tarigan, 2004) yang menjelaskan keterkaitan kegiatan ekonomi dengan lokasi dan pola spasial pergerakan (Short, 1984). Pola sebaran industri kreatif ditinjau dari sebaran lokasi industri fesyen dengan fungsi kegiatan penjualan dan produksinya serta sebaran lokasi penjualan kuliner pada tiap kawasan amatan yang menjadi kasus tersendiri. Bangunan arsitektur dalam penelitian ini merupakan daya tarik wisata pada kawasan penelitian.
c. Sistim Keruangan, didasarkan pada pemahaman tentang pariwisata (Inskeep, 1991 dan Mill & Morrison, 1985) merupakan suatu sistim yang menunjukkan interaksi atau hubungan antar berbagai komponen destinasi pariwisata yang meliputi atraksi wisata, amenitas, aksesibilitas, infrastruktur dan fasilitas pendukung, melalui mekanisme kegiatan fungsi di dalamnya.
d. Destinasi Pariwisata adalah suatu area yang mencakup wilayah geografis tertentu yang didalamnya terdapat elemen-elemen produk wisata yang memiliki keterkaitan dan keterpaduan sistimik dalam menciptakan motivasi kunjungan dan menggerakkan kegiatan kepariwisataan (UU tentang Kepariwisataan No.10/ Th. 2009). Pada penelitian ini sebagai destinasi adala kawasan wisata dan sentra industri kreatif di Kota Bandung yang menjadi kawasan amatan.
2.
Batasan wilayah penelitian sebagai lokasi amatan intensif adalah kawasan wisata dan sentra industri kreatif di Kota Bandung. Justifikasi yang mendasari pemilihan kawasan wisata adalah karena kuatnya arus kunjungan wisatawan dan pertumbuhan usaha kreatif di kawasan tersebut. Secara lebih spesifikfokus wilayah amatan dibatasi pada pengamatan subsektor industri fesyen dan kuliner di kawasan Dago, RE.Martadinata/Riau dan Cihampelas , sedangkan di Cibaduyut dan Suci pengamatan dilakukan terhadap sebaran produksi industri fesyen (sepatu dan kaos sablon).. Kelima kawasan penelitian dapat ditunjukkan pada gambar 1.1 berikut ini
Gambar 1.1 Wilayah penelitian berdasarkan fungsi kegiatan industri kreatif di Kota Bandung
Sumber: Peneliti,diolah dari data primer (2011)
3. Secara substansi penelitian ini dibatasi pada pemahaman atas kawasan Dago dan RE. Martadinata yang dipandang memenuhi kriteria lokasi penelitian karena adanya bangunan arsitektur bersejarah, industri fesyen dan kuliner yang tumbuh dengan pesat dan banyak dikunjungi oleh wisatawan sehingga saat ini menjadi pusat pertumbuhan industri pariwisata
CIHAMPELA S DAG O RIAU SUCI CIBADUYU T
Kawasan wisata & sentra penjualan industri kreatif
di Kota Bandung. Di sisi lain kawasan Dago merupakan kawasan cagar budaya dan kawasan RE. Martadinata telah lama dikenal sebagai kawasan Riau serta dipromosikan sebagai kawasan wisata belanja fesyen dan kuliner kreatif. Oleh karena itu kedua kawasan wisata ini dipandang sangat penting untuk diteliti lebih dalam guna mengetahui keterkaitan antara kedua industri tersebut dan keterkaitannya dengan sistim keruangan Kota Bandung.
4. Sementara kawasan Cibaduyut, Suci dan Cihampelas merupakan sentra-sentra produksi industri kreatif yang telah ditetapkan dengan kebijakan pemerintah daerah setempat dalam Peraturan Daerah nomor 18 Tahun 2011. Cihampelas meskipun telah ditetapkan sebagai sentra industri Jeans namun di lapangan terlihat fungsi kegiatan penjualan fesyen saat ini lebih dominan. Cihampelas merupakan pemusatan kegiatan pelayanan ekonomi dan banyak dikunjungi wisatawan. Sementara kegiatan produksi di Cibaduyut terlihat menyebar pada lingkungan perumahan dan kegiatan penjualannya menempati lokasi di jalan utama. Kawasan Suci merupakan sentra produksi kaos namun produksinya dilakukan tersebar pada lingkungan perumahan pula. Kegiatan yang menonjol pada jalur utama adalah penerimaan pesanan dan distribusi. Oleh karena itu menjadi sangat penting untuk mengetahui faktor-faktor apa yang mempengaruhi perbedaan kondisi keruangan 3 lokasi tersebut dan pola sebaran industri kreatif setempat.
1.7 Keaslian Penelitian
Sejauh pengamatan peneliti, penelitian mengenai pola sebaran industri kreatif dan sistim keruangan destinasi pariwisata untuk program S3 atau yang sederajat belum pernah dilakukan sebelumnya. Beberapa penelitian tentang industri kreatif yang telah dilakukan umumnya ditinjau dari aspek ekonomi dan geografi. Berikut beberapa hasil penelitian yang terkait dengan industri kreatif seperti tertuang pada tabel 1.4.
Tabel 1.4 Perbandingan hasil penelitian terkait dengan industri kreatif
NO. PENELITI JUDUL LOKASI FOKUS PENELITIAN
1. Ivan Turk (2003) Cities,Cluster s and Creative Industries : The Case Of Film And Tv In Scotland
Glasgow, Scotland- UK
Konsep kluster mempengaruhi pemikiran dan kebijakan di bidang industri kreatif. Penelitian ini menganalisis berbagai faktor yang mempengaruhi perkembangan film dan TV di Skotlandia.
2. Luciana Lazzeretti, Rafael Boix, Francesco Capone ( 2009 )
Why Do Creative Industries Cluster? An Analysis Of The Determinants Of Clustering Of Creative Industries
Denmark, Italia dan Spanyol
Penelitian difokuskan pada historic &cultural heritage dimana terjadi perbedaan pola klaster yang terkait dengan pekerja kreatif di masing-masing negara. Pola klaster dipengaruhi oleh peran sejarah, budaya, diversifikasi produk, konsentrasi SDM dan Creative Class.
3 Klaus R. Kunzmann
(2004)
Culture, creativity and spatial planning
Dortmund & Cardiff, UK
Budaya merupakan aspek penting yang harus menjadi dasar untuk perencanaan,baik kota maupun wilayah. Budaya merupakan dasar dari kreatifitas. Hanya dengan pendekatan budaya lokal (etnik) dapat dijamin adanya perencanaan kota/daerah yang berkelanjutan
4. Ted Tshang (2003) The Effect of Product
Development and Cultural
Sourcing on the Location of Creative Industri : The Case of US Computer Games Industri
Singapore Fokus pada perkembangan industri Computer Games
yang dipengaruhi oleh ketersediaan sumber daya budaya setempat dan kreatifitas pengembang.
5. Abdul Halim& Azman Che Mat (2010)
The Contribution of Heritage Product Toward Malaysian Tourism Industri
Trengganu, Malaysia
Mengembangkan model hubungan industri kreatif dan industri pariwisata melalui pengembangan produk heritage dan membuktikan bahwa industri kreatif mampu meningkatkan daya saing pariwisata Malaysia
NO. PENELITI JUDUL LOKASI FOKUS PENELITIAN
6. Chang Deong Khang
(2010)
The Impact of Bus Rapid Transit on Location Choiceof Creative Industri and Employment Density inSeoul,Korea
Seoul, Korea Fokus penelitian pada sistim BRT (Bus Rapid Transit) dalam kota yang memicu tumbuhnya sentra industri kreatif dan pemusatan tenaga kerja. Adanya halte BRT
di dalam kota Seoul telah mengakibatkan
terkonsentrasinya tenaga kerja karena pertimbangan jarak ke lokasi kerja.
7 Zhang Meiqing & Wang Lijun (2008)
Investigation and Analysis on Creative Industri Cluster
Beijing Penelitian difokuskan pada perkembangan industri
kreatif di Beijing dan Shanghai yang cenderung membentuk klaster dan dipengaruhi oleh faktor institusi,
SDM, sosial dan budaya. Meiqing dan Lijun
mengajukan model Sistim Produksi Industri Kreatif (The Value of the Creative Industri Production Sistim) yang dipengaruhi oleh keempat faktor tersebut. Peneliti berkesimpulan bahwa proses pembentukan klaster industri kreatif terbagi 2 yaitu: Top Down dan Bottom Up process. Industri. Faktor yang dominan mempengaruhi adalah modal pemerintah atau lembaga terkait. 8. Durmaz ,B.
Platt,S.Yigitcanlar.T .(2009)
Creativity,Culture and Tourism : The case of Istanbul and London Film Industries
Istanbul & London Penelitian difokuskan pada pengembangan industri film di Istanbul dan London. Penelitian menemukenali dampak positif industri film terhadap industri pariwisata karena dapat mempromosikan suatu daerah/kota. Penelitian membahas pentingnya industri kreatif terhadap pengembangan perkotaan dan pariwisata yang berkelanjutan. Kesimpulan penelitian ini difokuskan pada strategi pengembangan kota dan
NO. PENELITI JUDUL LOKASI FOKUS PENELITIAN
kebijakan.
9. Roberta Comunian,
Caroline Chapain, Nick Clifton (tanpa Tahun)
Location, location, location: exploring the complex relationship between creative industries and place
Inggris Penelitian difokuskan pada pemahaman hubungan
yang dinamis antara industri kreatif dengan geografi. Peneliti menyimpulkan bahwa tempat kreatif/Creative Placesmerupakan suatu hubungan yang kompleks (complex relationship)dan membawa dampak terhadap lokasi, baik yang berupa kota-kota kecil atau pedesaan. Hubungan yang kompleks tersebut terkoneksi karena 4 faktor yaitu: infrastruktur, Pemerintah, Soft infrastructure dan Pasar.
10. Lunderquist, Per (2002)
Spatial Clustering and Industrial Competitiveness
Swedia
Uppsala University
Disertasi diarahkan pada faktor penyebab dan dampak dari klastering yang terkait dengan kegiatan ekonomi. Klaster industri musik di Swedia menunjukkan adanya keterkaitan antara konsentrasi usaha musik di wilayah Stockholm dengan proses lokalisasi pembelajaran dan inovasi sehingga terjadi persaingan industri.
Berdasarkan telaahan atas penelitian-penelitian tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa belum ada penelitian yang mengaitkan secara tegas antara pola sebaran industri kreatif dengan sistim keruangan destinasi pariwisata,meskipun penelitian yang dilakukan oleh Durmaz et.al(2009) memiliki kemiripan dalam memilih obyek penelitian yaitu kota dan kepariwisataan. Penelitian Durmaz et.al tersebut tidak membahas secara dalam mengenai bentuk pola sebaran industri kreatif dan interaksi yang terjadi antara industri kreatif dengan pariwisata. Demikian pula dengan beberapa konsep industri kreatif yang ada, meskipun berdasarkan hasil studi empirik dan pengamatan dapat diindikasikan bahwa ada keterkaitan yang cukup besar antara industri kreatif dengan destinasi pariwisata karena kedua sektor tersebut merupakan sektor yang bergerak di berbagai lini.
Berawal dari pemetaan atas teori-teori dan konsep yang ada yang dilanjutkan dengan pengamatan terhadap fenomena di lapangan, disusun suatu kerangka pemikiran untuk mencari kekosongan dari teori konsep yang ada sebagai suatu theorytical gap yang nantinya menjadi panduan dasar dalam melakukan penelitian selanjutnya.
1.8 Kedudukan Penelitian Dalam Kajian Ilmu Arsitektur dan Perencanaan dan Kebaharuan Pengetahuan
Industri kreatif adalah cerminan dari industri usaha kecil-menengah (UKM) yang merupakan salah satu basis usaha sektor pariwisata yang memberikan dampak langsung (direct effect) kepada masyarakat. Dapat diamati bahwa keberadaan beberapa subsektor industri kreatif seperti kerajinan, arsitektur, dan seni pertunjukan, bahkan juga subsektor-subsektor lainnya seperti teknologi informasi, fesyen, dan desain telah menjadi bagian penting dari eksistensi industri pariwisata yang multidimensional.
Sebagai komponen daya saing destinasi pariwisata keberadaan industri kreatif dalam sebuah destinasi tidak dapat terlepas dari segala kegiatan yang terjadi pada destinasi tersebut (Koestantia, 2010). Keberadaan industri kreatif membawa berbagai dampak dan konsekuensi terhadap perkembangan destinasi pariwisata yang bersangkutan, baik menyangkut dampak fisik destinasi maupun sosial budaya masyarakat di dalamnya.
Dalam tinjauan ilmu Arsitektur dan Perencanaan, ilmu Arsitektur merupakan ilmu yang menyangkut bentuk fisik ruang buatan sebagai tempat (place) bagi manusia yang berhubungan dengan segala kompleksitas kebutuhan kehidupannya, baik individu maupun komunal. Bentuk ruang fisik buatan dapat berupa bangunan individu maupun lingkungan terbangun yang mewadahi manusia dan segala kegiatannya. Oleh karena itu, ilmu Arsitektur merupakan bagian dari ilmu pemukiman manusia atau human settlement di dalam pengertian yang lebih luas (Doxiadis, 1968 dalam Mulyandari, 2010:15). Dalam berbagai penelitian, human settlement selalu menyangkut aspek ekonomi, sosial dan budaya.
Sementara suatu kota atau kawasan dapat berkembang apabila direncanakan dengan baik dengan meningkatkan sektor-sektor yang bisa dioptimalkan. Antara ilmu arsitektur dengan perencanaan kota memiliki hubungan yang sangat erat karena ilmu arsitektur lahir dari adanya tuntutan akan kebutuhan manusia dalam pemenuhan wadah atau tempat bernaung, baik di perkotaan maupun pedesaan. Hasil penelitian yang difokuskan pada perkembangan kawasan dalam Kota Bandung ini diharapkan akan dapat mengisi dan memperkaya teori-teori perkotaan.
Dalam konteks penelitian ini yang mencoba untuk meneliti pola-pola sebaran industri kreatif di Indonesia, tidak terlepas dari faktor penentuan lokasi industri terkait. Teori lokasi yang digunakan sebagai dasar penentuan sebaran industri kreatif oleh para peneliti seperti Lazzaretti ( 208), Evans (2009), Ratanawaraha et.al (2008) dan Horley et.al (2010)
nampak menggunakan teori-teori populer dengan penekanan pada aspek ekonomi dan menggabungkannya dengan teori Florida (2008), sehingga konsep-konsep pola sebaran industri kreatif tersebut masih menyatakan bahwa lokasi industri kreatif dipengaruhi oleh faktor-faktor: biaya produksi, persaingan, ketersediaan bahan baku, moda transportasi dan pemusatan tenaga kreatif.
Beberapa konsep tentang lokasi industri kreatif menyatakan bahwa industri kreatif cenderung terkonsentrasi di kota-kota besar dan membentuk pola klaster dengan penafsiran yang beragam serta keterkaitannya dengan inovasi (Lazzaretti et.al, 2009). Konsep pola sebaran industri kreatif tersebut didasarkan pada hasil penelitian di luar negeri yang dilakukan terhadap perusahaan
perusahaan industri kreatif dalam bentuk firm sehingga penekanannya masih pada manfaat ekonomi,sedangkan di Indonesia usaha kreatif tumbuh dari usaha rumahan (home industri) .
Pola klaster yang dihasilkan pada penelitian-penelitian tersebut di atas didasarkan pada fungsi kegiatan produksi dan belum menyentuh pola distribusi serta fungsi kegiatan penjualan produk kreatif. Konsep-konsep yang muncul dari beberapa penelitian tersebut di atas selama ini belum dirangkai menjadi suatu teori dan belum menjelaskan secara spesifik tentang pola sebaran industri kreatif yang terkait dengan aspek keruangan setempat. Dalam sistim keruangan destinasi pariwisata, aksesibilitas merupakan subsistim dan komponen destinasi yang sangat mempengaruhi keputusan wisatawan dalam pemilihan lokasi destinasi tujuan wisata. Aksesibilitas terkait dengan infrastruktur dan jaringan transportasi. Perpindahan manusia dan barang dari satu tempat ke tempat lain selalu melalui jalur-jalur tertentu yang dalam penelitian ini dinyatakan sebagai jalur pergerakan.
Penelitian ini meninjau berbagai fungsi-fungsi kegiatan yang terjadi di dalam lokasi industri kreatif serta pengaruh keruangan yang diakibatkan oleh interaksi antar fungsi kegiatan tersebut. Penelitian ini memperhitungkan pula pasar konsumen yang merupakan individu dan kelompok wisatawan yang memiliki daya beli bervariasi serta keinginan dan kebutuhan yang senantiasa berubah-ubah. Karena itu penelitian ini mencoba untuk membangun teori pola sebaran industri kreatif dengan pengaruh pola perjalanan wisatawan terhadap penentuan lokasi industri kreatif.
Dalam korelasinya dengan dinamika masyarakat urban, kreatifitas dirumuskan Florida (2002) dalam teori yang disebutnya pertumbuhan ekonomi 3-T, yaitu Teknologi, Talenta (bakat), dan Toleransi. Teknologi adalah kunci yang mendorong pertumbuhan ekonomi. Talenta (bakat) terkait dengan modal manusia, dan dalam hal ini kota adalah tempat dimana modal manusia ini bisa tumbuh lebih cepat. Namun teori ini tidak menjelaskan bagaimana masyarakat di negara berkembang yang masih menggunakan teknologi sederhana dan mendasarkan pada budaya, dapat berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi perkotaan. Untuk itu maka penelitian ini mencoba untuk mengisi celah tersebut dengan penelitian yang melibatkan masyarakat sederhana tetapi mampu menciptakan kreatifitas sebagai dasar industri kreatif.
Terkait dengan fokus penelitian yang memilih kasus di Kota Bandung, maka pemilihan teori tidak dapat terlepas dari teori perkotaan. Dari aspek sosial, kota dapat dipandang sebagai suatu komunitas yang diciptakan awalnya untuk menampung kegiatan masyarakatnya dan meningkatkan produktifitas melalui konsentrasi dan spesialisasi tenaga kerja. Oleh karena itu memungkinkan adanya keragaman intelektualitas, budaya dan kegiatan rekreatif seperti kegiatan industri kreatif dan kepariwisataan. Suatu wilayah dapat dikatakan sebagai kota apabila mampu menyediakan kebutuhan dan pelayanan yang dibutuhkan oleh penduduk setempat. Sementara pelayanan kota tergantung pada struktur kota tersebut.
Teori struktur kota (Harris dan Ullmann, 1945) menjelaskan bahwa proses pertumbuhan suatu kota ditimbulkan oleh perkembangan yang terjadi secara terus menerus dari sejumlah pusat-pusat pertumbuhan yang kemudian mempengaruhi pola penggunaan lahan. Apabila teori ini dikaitkan dengan konsep pariwisata perkotaan maka jelas bahwa pariwisata perkotaan merupakan kebutuhan wisatawan atas sebuah kota dan bersama dengan penduduk setempat memanfaatkan kota secara berbeda (Jansen dan Verbeke, 1986 dan Law, 1993). Baik teori struktur kota maupun teori penggunaan lahan (Colby, 1933) didasarkan pada keterkaitannya dengan industri manufakturing dan tidak secara spesifik menjelaskan keterkaitannya dengan industri kreatif dan pariwisata.
Dalam penelitian ini dapat dijelaskan bahwa perencanaan destinasi pariwisata merupakan bagian dari perencanaan kota, yang melibatkan beberapa aspek terkait seperti lokasi, kegiatan dan infrastruktur. Oleh karenanya penelitian ini meliputi penggunaan fasilitas kota oleh wisatawan dan hubungan fungsi-fungsi kegiatan kedua industri tersebut dalam sistim keruangan destinasi pariwisata (place) akan dapat memperkaya teori-teori tersebut dan merupakan hal baru yang akan memberikan kontribusi berarti bagi perkembangan ilmu arsitektur dan perencanaan destinasi pariwisata kota.
Semua temuan penelitian ini yang terkait dengan hal-hal tersebut di atas
diharapkan dapat dirangkai menjadi teori baru dalam pola sebaran industri kreatif di Indonesia dan mengisi celah (gap) konsep yang ada selama ini. Kedudukan penelitian ini dalam kebaharuan pengetahuan dapat ditunjukkan pada diagram (gambar 1.2) berikut ini: