• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAITUL MAAL WA TAMWIL: DITINJAU DARI ASPEK HUKUM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAITUL MAAL WA TAMWIL: DITINJAU DARI ASPEK HUKUM"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Tersedia online : http://jurnal.stesislamicvillage.ac.id/index.php/JURNAL

159 | P a g e

BAITUL MAAL WA TAMWIL: DITINJAU DARI ASPEK HUKUM

Handieni Fajrianty1 Nurhasanah2

1,2

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Email: Handienioke@gmail.com, nurhasanah@uinjkt.ac.id

Abstract

The purpose of this study is to analyze the implementation of the Cooperative Act Number 25/1992 and the Microfinance InstitutionAct No. 1/2013 within the Baitulmaal Wa Tamwil (BMT) in Tangerang Selatan. Unit of analysis of this study are 3 prominent BMTs in Tangerang Selatan namely: Koperasi Serba Usaha (KSU) BMT Universitas Muhammadiah Jakarta (UMJ), KSU BMT Al-Jibal and Koperasi Simpan Pinjam Pembiayaan Syariah (KSPPS) BMT Syahida UIN Jakarta. Scope of this study is limited to the subject of legal certainty that regulates the operation of BMT. In order to find the accurate summary of legal certainty from the legal standing of BMT, this study uses qualitative method with content analysis and comparative analysis approachin order to analysis the data. To describe the the finding this reseach also uses structured interview to manajer and directors from the 3 BMTs. The findings of this research are the implementions of these laws does not give legar certainty to the operation of BMT. Based on the interview to the practitioners this study finds that the aspect of customer services the BMTs do not refer to the law. They still deal to the non-member customers by delivering financing them.

Kata Kunci : Kepastian Hukum, BMT, Koperasi, dan LKM

PENDAHULUAN

Baitul Mal Wa Tamwil selanjutnya disebut dengan BMT memiliki peran yang penting dalam kegiatan perekonomian masyarakat. Sebagaimana LKM lainnya tujuan utama BMT adalah menyediakan permodalan bagi masyarakat pelaku UKM dalam rangka menumbuhkembangkan usaha sektor tersebut dalam mencapai terciptanya sistem ekonomi inklusif. Pertumbuhan BMT pun cukup signifikan, terdapat 4.500 BMT pada tahun 2015(Abduh & Jamaludin, 2017).

Menurut Kementrian BMT melayani 3,7 juta orang dengan aset sekitar Rp16 triliun yang dikelola sekitar 20 ribu orang. Data di Kemenkop dan UKM menunjukkan jumlah unit usaha koperasi di Indonesia mencapai 150.223 unit usaha, di mana terdapat 1,5 persen koperasi yang berbadan hukum KSPPS(Kementerian Koperasi dan UKM, 2017). Sedangkan BMT berbadan hukum Koperasi yang telah meregistrasi ulang ijinnya tercatat sejumlah 2270 unit usaha per Tahun 2017 ini. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat status hukum BMT yang tercatat berupa koperasi dan Persoran Terbatas (PT). Dari data Otoritas Jasa Keuangan per oktober 2017 terdapat 175 LKM yang sudah diberikan izin OJK dengan rincian 18 berbadan Hukum PT dan 157 berbadan Hukum Koperasi(Otoritas Jasa Keuangan, 2018).

Sebagai bentuk Lembaga Keuangan Syariah Non-Bank, BMT mempunyai ciri-ciri utama yang membedakannya dengan lembaga Keuangan bank, yaitu(Sri Dewi Yusuf, 2014): 1. Berorientasi bisnis, mencari laba bersama, meningkatkan pemanfaatan ekonomi, terutama

untuk anggota, dan lingkungannya.

2. Bukan lembaga sosial tetapi dapat dimanfaatkan untuk mengaktifkan penggunaan dana-dana sosial untuk kesejahteraan orang banyak serta dapat menyelenggarakan kegiatan pendidikan untuk memberdayakan anggotanya dalam rangka menunjang kegiatan ekonomi.

3. Ditumbuhkan dari bawah berdasarkan peran serta masyarakat sekitarnya.

4. Milik bersama masyarakat kecil, bawah dan menengah, yang berada dilingkungan BMT itu sendiri, bukan milik orang seorang atau orang lain dari luar masyarakat itu.

(2)

Tersedia online : http://jurnal.stesislamicvillage.ac.id/index.php/JURNAL

160 | P a g e Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro berimplikasi pada terjadinya ambiguitas pengaturanbagi BMT berbadan hukum Koperasi. Sebab hal demikian membuat BMT berbadan hukum Koperasimenjadi berada di bawah pengaturan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentangPerkoperasian dan Undang Undang Nomor 1Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro sekaligus.

Banyaknya peraturan perundangan yang mengatur BMT berbadan hukum Koperasi berpotensi menimbulkan inkonsistensi peraturan. Beberapa pasal yang terjadi ambiguitas di antaranya sebagai berikut:

Tabel 1

Perbadindingan Pasal-Pasal yang Mengatur Koperasi/LKM Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992

TentangPerkoperasian

Undang-Undang Nomor 1Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro

Pasal Substansi Pasal Substansi Pasal 56, 60, dan 61 Kementerian Koperasi Membina, memberi perlindungan, dan membubarkan Koperasi. Pasal 28 Ayat (1)

Pembinaan, pengaturan, dan pengawasan LKM dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.

Pasal 7 Ayat (2)

Koperasi mempunyai tempat kedudukan dalam wilayah negara Republik Indonesia.

Pasal 16 Cakupan wilayah usaha suatu LKM berada dalam satu wilayah desa/kelurahan, kecamatan, ataukabupaten/kota.

Pasal 44 Ayat (2)

Kegiatan usaha simpan pinjam dapat dilaksanakan sebagai salah satu atau satu-satunya kegiatan usaha Koperasi (dimungkinkan lebih dari 1 kegiatan usaha).

Pasal 11 Ayat (1)

Kegiatan simpan pinjam hanya menjadi satu-satunya kegiatan usaha LKM

Sumber: UU No. 25/1992 dan UUNo.1/2013

Keragaman status hukum BMT yang demikian menunjukkan adanyaketidakpastian dalam regulasi yang mengatur persoalan BMT selama ini. Padahalmenurut Gustav Radbruch (1878-1949), seorang ahli hukum dan filsuf hukum Jerman yang berpengaruh pada abad ke dua puluh(Gustav Radbruch, 2003), dalam sebuah kebijakan hukum, kepastian hukumadalah salah satu dari tiga terminologi yang memiliki nilai aksiologis di dalamhukum demi tegaknya the

rule of law(Sidharta, 2010). Untuk itu studi ini akan menganalisis aspek kepastian hukum dari

penerapan dua Undang-Undang yang berbeda bagi Baitulmaal Wa Tamwil di Indonesia, studi kasus pada 3 BMT di Tangerang Selatan.

TINJAUAN PUSTAKA

Golom Silitonga melakukan riset yang berjudul “Tinjauan Yuridis Tentang Bentuk Badan HukumKoperasi Di dalam Baitul Mal Wa Tamwil (BMT) (Studi Kasus: BMT ArtaAmanah Sanden Kabupaten Bantul).” Penelitian ini bertujuan untuk mengetahuiapakah bentuk badan hukum koperasi dalam suatu Baitul Mal Wa Tamwil(BMT) sesuai dengan Undang- Undang Nomor: 25 Tahun 1992 tentangPerkoperasian sebagaimana telah diganti dengan Undang-Undang Nomor: 17Tahun 2012 tentang perkoperasian. Dalam riset ini aturan undang-undang dimaksud dihubungkan juga dengan aturan Koperasi Syariahyang diatur dalam Keputusan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor: 91/Kep/M.KUKM/IX/2004 Tentang PetunjukPelaksanaan KegiatanUsaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah. Penelitian inimeskipun

(3)

Tersedia online : http://jurnal.stesislamicvillage.ac.id/index.php/JURNAL

161 | P a g e membahas mengenai badan hukum BMT namun sangat spesifikhanya membahas badan hukum pada BMT Arta Amanah SandenKabupaten Bantul saja. Hasil penelitian menunjukkan BMT Artha Amanah Sanden Kabupaten Bantul adalah BMT yang berbadan hukum koperasi berdasarkan Undang-Undang Nomor: 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. BMT dengan bagi hasil syariah dalam kegiatan usahanya berpedoman kepada Keputusan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor: 91/Kep/M.KUKM/IX/2004 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah, sehingga dalam BMT Artha Amanah yang diawasi oleh Dewan Pengawas Syari’ah(Silitonga, 2015).

Adapun mengenai Dewan Pengawas Syariah pada praktiknya tidak disupervisi oleh Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Bantul, Akan tetapi berada dalam pengawasan Ulama dalam hal ini Majelis Ulama Indonesia melalui organnya Dewan Syari’ah Nasional. Kondisi ini dapat dikatakan bahwa ada dualisme pengawasan oleh badan yang berbeda terhadap BMT Artha Amanah Sanden Kabupaten Bantul dalam menjalankan kegiatannya sebagai Koperasi Syariah.Dengan demikian penelitian ini berbeda dengan studi penulis.

Fadillah Mursid (2017) melakukan riset tesis yang berjudul“Kebijakan RegulasiBaitul

Maal Wa Tamwil (BMT) Di Indonesia,” diUniversitas Islam Negeri Sunan Kalijaga

Yogyakarta.Dalam penelitian ini dipaparkan tentang regulasi yang terkait dengan BMT di Indonesia, sampai dengan ke peraturan pendukungnya. Penelitian ini sebenarnya hampir mendekati sedikit berkeseuaian dengan studi penulis, namun penelitian ini membandingkan antara Undang-Undang Tentang Perkoperasian dengan Undang-Undang Tentang Yayasan. Fadillah Mursid berpendapat bahwa selain berbadan hukum koperasi, BMT juga dapat Berbadan Hukum yayasan. Hal ini berbeda dengan sudut pandang penulis dalam penelitian yang akan diajukan, karena penulis jelas membatasi hanya meneliti BMT berbadan hukum koperasi dan Undang-Undang yang akan dikaji adalah Undang-Undang Tentang Perkoperasian dan Undang-Undang Tentang Lembaga Keuangan Mikro(Mursid, 2017).

Artikel yang berjudul“Analisis Normatif Undang-Undang No.1 Tahun 2013 Tentang

Lembaga Keuagan Syariah dan Pengawasan Baitul Mal wat Tamwil (BMT)” yang ditulis oleh

Novita Dewi Masyithoh dalamJurnal Economica Vol. V. Edisi 2. Oktober 2014mengkaji mengenai permasalahan yang menyangkutmengenai bagaimana status badan hukum dan pengawasan BMT sebelum dansesudah adanya Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 tentang Lembaga KeuanganMikro. Penelitian ini sebenarnya hampir mendekati dengan apa yang penulis kaji, di mana penelitian ini mencoba membahas mengenai status badan hukum danpengawasan BMT secara normatif pada Undang-undang No. 1 tahun 2013 tentangLembaga Keuangan Mikro. Namun demikian, apa yang dibahas dalam penelitianini tidaklah sama dengan yang penulis lakukan karena dalam kajian ini tidakmembahas secara keseluruhan mengenai regulasi terkait badan hukum BMT, hanya terfokus kepada Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 tentang Lembaga KeuanganMikro(Novita Dewi Masyithoh, 2014).

Euis Amalia dan Mahmudah Atiqah (2015) dalam risetnya yang berjudul “Evaluating

The Models of Sharia Microfinance in Indonesia: an Analytical Network Process (ANP) Approach yang dimuat dalamJurnal al-Iqtishad, Vol. VII, No.1mengevaluasi tiga model

keuangan mikro syariah, yaitu model koperasi yang direpresentasikan oleh salah satu BMT di Indonesia, Model Grameen yang direpresentasikan oleh MBK Ltd., dan model campuran yang direpresentasikan oleh Baytul Amanah Ikhtiar. Penelitian ini menggunakan pendekatan ANP untuk mengevaluasi atas kinerja model-model microfinance tersebut. Pada studi ini menempatkan BMT sudah pada posisi sebagai koperasi, dengan kata lain BMT harus tunduk kepada aturan-aturan badan hukum koperasi. Berbeda dengan usulan penelitan dari penulis, pada penelitian yang akan diajukan, penulis berada pada sudut pandang mengenai aturan

(4)

Tersedia online : http://jurnal.stesislamicvillage.ac.id/index.php/JURNAL

162 | P a g e hukum Baitul Mal wat Tamwil. Microfinance atau LKM yang menjadi fokus kajian, hanya BMT, sedangkan pada Jurnal di atas, membandingkan tiga jenis microfiance(Amalia & Mahmudah Atiqah, 2015).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Menggunakan metode penelitian deskriptif, yaitu metode yang menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, teori-teori hukum dan praktik pelaksanaan hukum positif mengenai permasalahan yang dibahas(Soerjono Soekanto & Sri Mamuji, 2007). Deskriptif analitis bertujuan untuk menggambarkan secara lengkap legalitas formal dan aspek hukum Baitul Mal wat Tamwil (BMT) kemudian dianalisis secara yuridis berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro. Metode deskriptif analitis pada penelitian ini dilengkapi dengan wawancara menggunakan pedoman wawancara terstruktur. Dalam pengumpulan data dan analisisnya, dilengkapi dengan data dari Kementerian Koperasi dan UKM RI dan Otoritas Jasa Keuangan RI.

Penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian hukum normatif yang merupakan suatu metode penelitian hukum yang berfungsi untuk melihat hukum dalam artian nyata dan meneliti bagaimana bekerjanya hukum di masyarakat. Pada penelitian hukum jenis ini, acapkali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundangan (Law in Books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperiaku manusia yang dianggap pantas(Johnny Ibrahim, 2013). Objek penelitian ini adalah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian dan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah yang merupakan payung hukum Baitul Mal wat Tamwil.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Implementasi UU No. 25/1992 tentang Perkoperasian Dan Permen No. 11/2017

BMT mulai marak di Indonesia pada tahun 1990an (Jamaludin, 2019), awalnya dikelola sebagai kelompok swadaya masyarakat (KSM), dan kini dituntut untuk berbadan hukum, dengan mempertimbangkan berbagai hal yang berkembang, badan hukum yang relevan dari sisi model bisnis maupun budaya local Indonesia adalah Koperasi(Noor Azis, 2008). Kegiatan usaha BMT mulai diakomodasi oleh Kementerian Koperasi dan UKM RI melalui Peraturan Menteri Koperasi Nomor 11/PER/M.KUKM/XII/2017 Tentang Pelaksanaan Usaha Kegiatan Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi. Hal tersebut dapat dilihat pada Bab VII Pelaksanaan Kegiatan Koperasi Bagian Kesatu Tentang Kegiatan Usaha Koperasi Pasal 19 Ayat (4) yang berbunyi:“Koperasi yang melaksanakan kegiaan usaha Simpan Pinjam dan

Pembiayaan Syariah wajib memiliki unit kegiatan sosial (Maal) dan unit kegiatan usaha bisnis (Tamwil).”

Dengan berbadan hukum koperasi ini BMT harus menyesuaikan dengan berbagai regulasi perkoperasian. Secara operasional bersandar pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian. Dalam hal ini regulator dan pengawasannya dilakukan oleh Kementerian Koperasi. Beberapa masalah mulai muncul ketika secara faktual operasional BMT tidak sepenuhnya dan serta merta dapat mengikuti regulasi perkoperasian. Karakter BMT sebagai lembaga keuangan mikro syariah dengan produk-produk yang khas, dan pola hubungan yang telah dikembangan antara BMT dengan masyarakat.

(5)

Tersedia online : http://jurnal.stesislamicvillage.ac.id/index.php/JURNAL

163 | P a g e 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian dan Peraturan Menteri Koperasi Nomor 11 Tahun 2017 Tentang Pelaksanaan Usaha Kegiatan Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi Yaitu Aspek Legalitas,Posisi Keanggotaan BMT, Posisi Modal Penyertaan, Simpanan Pokok, Simpanan Sukarela dan SHU, Peran dan Fungsi DPS, Kesehatan Koperasi dan Audit laporan. Untuk menggali 7 hal tersebut, penulis melakukan wawancara dengan 3 Baitul Maal Wa Tamwil di Kota Tangerang Selatan yaitu BMT UMJ, BMT Al Jibal dan BMT Syahida Uin SYarif Hidayatullah. Berikut adalah hasil dari Wawancara dan telaah laporan tahunan 3 BMT di atas: 1. Aspek Legalitas

Aspek legalitas disini adalah tentang perizinan yang harus dipenuhi oleh BMT untuk menunjang kegiatan usahanya.Legalitas utama bagi Baitul Maal Wa Tamwil adalah Badan Hukum. Menurut pasal 9 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian yang berisi sebagai berikut, “Koperasi memperoleh status badan hukum setelah akta pendiriannya

disahkan oleh pemerintah.”Peraturan Menteri Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah

Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2018 Tentang Perizinan Usaha Simpan Pinjam Koperasi pasal 3 ayat 1 menambahkan, “Bentuk perizinan yang diatur dalam peraturan Mentir ini meliputi: a) izin Usaha dan b) Izin Operasional”

Izin Operasional adalah izin yang diterbitkan oleh Lembaga OSS untuk dan atas nama menteri, gubernur, atau bupati/wali kota setelah koperasi mendapatkan Izin Usaha dan untuk melakukan kegiatan operasional dengan memenuhi persyaratan dan/atau Komitmen. Sedangkan izin usaha adalah izin yang diterbitkan oleh Lembaga OSS untuk dan atas nama menteri, gubernur, atau bupati/wali kota setelah koperasi melakukan pendaftaran dan untuk memulai usaha dan/atau kegiatan sampai sebelum pelaksanaan operasional dengan memenuhi persyaratan dan/atau Komitmen. Penerbitan ijin usaha ditetapkan sebagai berikut(Peraturan Menteri Koperasi dan UKM, 2017):

a. Bupati/Walikota menerbitkan ijin usaha KSPPS/USPPS Koperasi yang wilayah keanggotaannya dalam 1 (satu) daerah Kabupaten/Kota;

b. Gubernur menerbitkan ijin usaha KSPPS/USPPS Koperasi yang wilayah keanggotaannya lintas daerah Kabupaten/Kota dalam 1 (satu) daerah Provinsi;

c. Menteri menerbitkan ijin usaha KSPPS/USPPS Koperasi yang wilayah keanggotaannya lintas daerah Provinsi.

2. Posisi Keanggotaan BMT

Menurut Deputi Kelembagaan Kementerian Koperasi dan UKM RI, Untung Tribasuki, bagi lembaga keuangan berbadan hukum koperasi, member based adalah harga mati karena hal tersebut yang menjadi pembeda antara badan hukum koperasi dengan badan hukum lainya. Dalam BMT dikenal istilah anggota pendiri yang merupakan anggota inti yang akan sangat bertanggung jawab pada maju mundurnya BMT karena memiliki andil dalam membentuk BMT dan rasa memilikinya yang tinggi(Abdul madjid, 2007).Ini yang menjadi titik beda dengan koperasi lainnya dimana keanggotaan koperasi menurut Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian pasal 17 ayat 1 yang berbunyi :“Anggota Koperasi adalah pemilik

sekaligus pengguna jasa Koperasi.” Dan pasal 19 ayat 4 yang berbunyi sebagai berikut, “Setiap Anggota mempunyai kewajiban dan hak yang sama terhadap Koperasi sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar.”

(6)

Tersedia online : http://jurnal.stesislamicvillage.ac.id/index.php/JURNAL

164 | P a g e hak dan kewajiban yang sama dalam koperasi yaitu sebagai pemilik dan pengguna jasa dalam koperasi tersebut: a. Simpanan Pokok; b. Simpanan Wajib; c. Dana Cadangan; d. Hibah.”(Peraturan Menteri Koperasi dan UKM, 2017)

3. Simpanan Pokok, Wajib, Sukarela dan SHU

Modal Koperasi terdiri dari 2 yaitu modal sendiri dan modal pinjaman seperti yang tercantum dalam pasal 41 ayat 1 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian yang berbunyi sebagai berikut,“Modal Koperasi terdiri dari modal sendiri dan modal pinjaman. (2)

Modal sendiri dapat berasal dari:

Simpanan Pokok merupakan simpanan yang dibayarkan sekali selama menjadi anggota

ketika pertama kali mendaftar menjadi anggota dan simpanan pokok akan dikembalikan lagi ketika anggota keluar dari keanggotaannya. Sedangkan simpanan Wajib adalah simpanan yang dibayarkan secara rutin setiap bulan oleh anggota koperasi selama menjadi anggota. Simpanan wajib akan dikembalikan seluruhnya saat anggota keluar dari keanggotaannya. Simpanan

sukarela merupakan simpanan yang dibayar anggota sewaktu-waktu dan dapat diambil kapan

saja sesuai keinginan anggota. Simpanan pokok dan simpanan wajib merupakan modal utama koperasi dalam menjalankan usahanya, sedangkan simpanan sukarela tidak bisa dijadikan modal usaha karena sifatnya yang bisa diambil sewaktu-waktu.

Menurut Pasal 45 Ayat (1) dan (2) Undang-UndangPerkoperasian Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, Sisa hasil usaha adalah :(1) Sisa hasil usaha Koperasi merupakan pendapatan Koperasi yang diperoleh dalam satu tahun buku dikurangi dengan biaya,penyusutan ,dan kewajiban lainnya termasuk pajak dalam tahun buku yang bersangkutan.(2) Sisa hasil usaha setelah dikurangi dana cadangan ,dibagikan kepada anggota sebanding dengan jasa usaha yang dilakukan oleh masing-masing anggota dengan Koperasi, serta digunakan untuk pendidikan Perkoperesian dan keperluan lain dari Koperasi, sesuai dengan keputusan Rapat Anggota.Sisa hasil usaha dibagikan di akhir tahun ketika koperasi sudah tutup buku, ketentuan pembagian Sisa hasil usaha diatur oleh rapat anggota dituangkan dalam anggaran dasar (AD) dan anggaran rumah tangga koperasinya.

2. Posisi Modal Penyertaan

Berdasarkan pasal 42 ayat 1 dan 2 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian yang menyatakan bahwa:(1)Selain modal sebagai dimaksud dalam pasal

41,Koperasi dapat pula melakukan pemupukan Modal yang juga berasal dari Modal penyertaan. (2) Ketentuan mengenai pemupukan modal yang berasal dari modal penyertaan diatur Lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam dan Pembiayaan oleh Koperasi (Peraturan Menteri Koperasi dan UKM, 2017). Jadi berdasarkan hal di atas koperasi diperbolehkan untuk melakukan pemupukan modal yang berasal dari modal penyertaan yang ketentuannya diatur dalam Peraturan Pemerintah. Menurut Peraturan Menteri Nomor 11 tahun 2017 Tentang Pelaksanaan Usaha Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah oleh Koperasi menyatakan bahwa Modal Penyertaan adalah sejumlah uang atau barang modal yang dapat dinilai dengan uang yang ditanamkan oleh pemodal, untuk menambah dan memperkuat struktur permodalan Koperasi dalam meningkatkan kegiatan usaha Koperasi.

(7)

Tersedia online : http://jurnal.stesislamicvillage.ac.id/index.php/JURNAL

165 | P a g e 3. Tugas Peran dan Fungsi DPS dalam Pengawasan

Ketentuan tentang Dewan Pengawas Syariah memang tidak diatur di Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian. Namun dituangkan dalam Peraturan Menteri Koperasi Nomor 11 Tahun 2017 Bagian Ketiga Tentang Dewan Pengawas Syariah pasal 15 ayat 1-10.

Berdasarkan pasal 2 ayat 3 Peraturan Menteri Koperasi Nomor 11 Tahun 2017 Tentang Pelaksanaan Usaha Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah oleh Koperasi yang menyatakan bahwa: “Koperasi yang melaksanakan kegiatan usaha simpan pinjam dan pembiayaan syariah

wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah.”

Oleh karena itu, koperasi yang melaksanakan kegiatan usaha simpan pinjam dan pembiayaan syariah wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS). Anggota Dewan Pengawas Syariah wajib memiliki rekomendasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) setempat atau Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) atau sertifikat pendidikan dan pelatihan Dewan Pengawas Syariah dari DSN-MUI.

4. Tingkat Kesehatan

Tingkat kesehatan Koperasi diatur dalam Peraturan Menteri Koperasi Nomor 11 Tahun 2017 BAB IX Pasal 33 tentang Penilaian Kesehatan Koperasi. Menurut peraturan menteri tersebut penilaian kesehatan koperasi dilakukan oleh pemerinta baik oleh Kementerian Koperasi dan UKM RI untuk tingkat Nasional, ataupun oleh Dinas Koperasi Provinsi atau kabupaten/kota.

Salah satu penyebab dari banyaknya Koperasi yang tidak mengimplentasikan Undang-undang karena tidak ketatnya pengawasan dari kementerian Koperasi dan UKM. Salah satu cara meningkatkan kesadaran penerapan undang-undag, adalah melalui penilaian kesehatan koperasi ini.

5. Audit Pelaporan

Pasal 40 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian pasal 40 menyatakan bahwa :“Koperasi dapat meminta jasa audit kepada akuntan publik.”Koperasi dapat meminta jasa audit kepada akuntan publik untuk mengaudit laporan keuangan koperasi untuk memberikan kepercayaan kepada anggota sekaligus masyarakat dan investor. Hal ini dipertegas di Peraturan Menteri Koperasi Nomor 11 Tahun 2017 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah oleh Koperasi Pasal 33 Ayat 4 menyatakan sebagai berikut : “KSPPS dan USPPS Koperasi yang mempunyai total Aset paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dalam 1 (satu) tahun buku wajib diaudit oleh akuntan publik dan melaporkan hasilnya kepada rapat anggota.“

Secara singkat Implementasi Undang-Undang No 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian Dan Peraturan Menteri No 11 Tahun 2017 di 3 BMT Di Tangerang Selatan diuraikan dalam tabel berikut ini:

Tabel 2

Implementasi Regulasi oleh BMT UMJ, al- Jibal, dan Syahida 7 Aspek UU Perkoperasi an KSU BMT UMJ KSU BMT Al Jibaal KSPPS BMT Syahida Undang-Undang & Permenekop 11/2017

(8)

Undang-Tersedia online : http://jurnal.stesislamicvillage.ac.id/index.php/JURNAL

166 | P a g e

Legalitas operasional dan usaha simpan pinjam

hukum sebagai KSU

operasional dan izin usaha, namun masih dalam bentuk KJKS. Izin KSPPS dalam proses

undang Nomor 25 Tahun 1992. Koperasi pasal 3 ayat 1 Permenekop 1/2017 2. Posisi keanggotaan BMT Memiliki 141 anggota namun melayani 1800 orang non anggota

Membagi kategori menjadi anggota pendiri dan anggota yang dilayani

Dari oleh dan untuk anggota. Namun manajer

menginginkan ada pemisahan jenis anggota

Pasal 17 ayat 1 dan Pasal 19 ayat 4Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992. 3. Simpanan Pokok, Wajib, Sukarela dan SHU Simpanan pokok dan wajib berasal dari 141 anggota. SHU dibagi menjadi 2, SHU operasional dan non operasional.

Pada 2012 seluruh simpanan wajib, pokok, sukarela diberikan kembali kepada anggota pendiri. Selanjutkan dimulai kebali dengan disamaratakan dengan anggota lainnya Simpanan pokok, wajib, dan sukarela dilakukan sesuai aturan

Pasal 41 ayat 1 dan Pasal 45 Ayat 1 dan 2Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 4. Posisi Modal Penyertaan Pada KSU BMT UMJ, modal penyertaan hanya bisa dilakukan oleh anggota pendiri

Modal penyertaan berasal dari anggota pendiri dan pihak ketiga.

Berasal dari BRP dan Financial Technologi syariah (Fintech) Amanah.

Pasal 42 ayat 1 dan 2 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 5. Peran dan Fungsi DPS DPS memberikan catatan dalam bentuk Opini DPS pada laporan Tahunan mengenai proses penghimpunan dana dari masyarakat yang produknya sudah sesuai dengan ketentuan syariah

Sesuai Peraturan Menteri Nomor 11 Tahun 2017

DPS memberikan opini secara global. Saat meluncurkan produk BMT, berdasarkan kebutuhan anggota, didiskusikan dengan DPS dan dicarikan akad yang sesuai dengan kebutuhan tersebut. Pasal 2 ayat 3 Peraturan Menteri Koperasi Nomor 11 Tahun 2017 6. Kesehatan Koperasi Penilaian kesehatan dilakukan oleh Dinas Koperasi Tangerang Selatan Penilaian kesehatan dilakukan oleh Dinas Koperasi Tangerang Selatan Penilaian kesehatan dilakukan oleh Dinas Koperasi Tangerang Selatan Permenekop 11 Tahun 2017 BAB IX Pasal 33 ayat 1 7. Audit Laporan

Audit Eksternal oleh Jasa Akuntan Publik

Audit Eksternal oleh Jasa Akuntan Publik

Audit Eksternal oleh Jasa Akuntan Publik

Pasal 40 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992

Akibat HukumDari Terbitnya Undang-Undang LKM Terhadap BMT

Secara praktis, BMT adalah lembaga keuangan mikro yang operasionalisasinya memenuhi syariahcompliance, khususnya yang menyangkut bidang akad transaksinya berpola syariah, untuk itu BMT juga termasuk LKMS(Amalia, 2016; Jamaludin, 2019). Secara garis besar BMT memiliki dua fungsi utama yaitu bait al maal dan bait at Tamwil.

(9)

Tersedia online : http://jurnal.stesislamicvillage.ac.id/index.php/JURNAL

167 | P a g e Tahun 2013 terbit sebuah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro. BMT menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro, disebutkan secara eksplisit sebagai Lembaga Keuangan Mikro yang akan diatur dan diawasi oleh OJK. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro, LKM yang belum berbadan hukum agar bertransformasi menjadi badan hukum koperasi atau badan hukum Perseroan Terbatas (PT). Secara eksplisit, BMT disebutkan sebagai Lembaga Keuangan Mikro yang akan diatur dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan. Merupakan konsekuensi dari berlakunya Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro yang tertuang dalam 39 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro.

Menurut Deputi Bidang Kelembagaan Kementerian Koperasi dan UKM RI, Untung Tribasuki:

“Koperasi itu badan hukumnya, LKM itu kegiatan Usahanya. Jika BMT berbadan hukum koperasi melakukan kegiatan LKM (melayani non-Anggota), maka harus juga mengikuti Undang-undang Lembaga Keuangan Mikro, seperti cakupan wilayah usaha dan harus mau mendaftarkan diri serta diawasi OJK.Jangan mau enaknya saja, dan jadi tempat bersembunyi oknum-oknum tidak bertanggung jawab”.(Tribasuki, 2018)

BMT yang beroperasi di wilayah yang merupakan irisan antara wewenang pemerintah (Kementerian Koperasi) dan Otoritas Jasa Keuangan. Kompleksitas regulasi ini menjadi salah satu penyebab penafsiran regulasi yang beragam oleh berbagai pihak. Hal tersebut menjadi kendala lembaga keuangan mikro khususnya BMT untuk mematuhi regulasi yang ada.

BMT berbadan hukum koperasi memperoleh izin usaha dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan, dengan daerah kerja terbatas pada wilayah Kabupaten/Kota serta diperbolehkan menghimpun dan menyalurkan dana kepada masyarakat selain anggota.

Pada Pasal 27 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro, LKM wajib bertransformasi menjadi bank jika: a. LKM melakukan kegiatan usaha melebihi 1 (satu) wilayah kabupaten/kota tempat kedudukan LKM; ataub. LKM telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

Dalam hal ini penulis meneliti ke 3 sampel BMT di Kota Tangerang Selatan yaitu KSU BMT UMJ, KSU BMT AL JIBAAL dan KSPPS BMT SYAHIDA dengan menanyakan tentang keberadaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro, hasilnya sebagai berikut:

a. KSU BMT UMJ

BMT UMJ melalui Direkturnya, Muktiar mengatakan koperasi belum siap untuk menghadapi kepengawasan yang ketat, sedangkan secara operasional sama saja, menurutnya hanya ada 5 saja dari seluaruh BMT se-Indonesia yang mendaftarkan izinnya ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai LKM karena mereka basisusahanya adalah memupuk modal. BMT yang telah lama menjadi Koperasi haruslah berbasis pada pelayanan nasabah anggota. Dilema dialami oleh BMT UMJ dalam mengajak masyarakat menjadi anggota. Mereka mengalami kesulitan dikarenakan masyarakat yang enggan untuk mengeluarkan uang terlebih dahulu untuk membayar simpanan pokok dan simpanan wajib. Karenanya masih banyak non-anggota yang dilayaninya selayaknya LKM dibawah OJK(Mukhtiar, 2018).

(10)

Tersedia online : http://jurnal.stesislamicvillage.ac.id/index.php/JURNAL

168 | P a g e Saat ini terdapat kurang lebih 1800 non-anggota yang dilayani oleh KSU BMT UMJ. Namun KSU BMT UMJ tidak mendaftarkan izin LKM kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang merupakan sebuah akibat hukum yang timbul karena KSU BMT UMJ melayani non anggota dalam kegiatan usaha simpan pinjam dan pembiayaan syariahnya.

b. KSU BMT AL JIBAAL

Menurut Manajer Umum KSU BMT AL JIBAAL, Abdul Biya bahwa munculnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 2013 menjadikan regulasi yang mengatur BMT menjadi rancu dan memicu saling betabrakan regulasi bagi BMT(Biya, 2018). Undang-undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro membuat ruang gerak BMT menjadi tidak Fleksibel. Karena ada beberapa hal dalam BMT yang diatur di Undang-undang tersebut yang memberikan ruang gerak BMT menjadi sangat begitu terbatas seperti pada Bagian Dua Tentang Cakupan Wilayah Pasal 16 ayat 1 dan 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro menyatakan sebagai berikut :

“Pasal 16 (1) Cakupan wilayah usaha suatu LKM berada dalam satu wilayah desa/kelurahan, kecamatan, atau kabupaten/kota. (2) Luas cakupan wilayah usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan skala usaha LKM yang diatur dalam Peraturan Pemerintah. “

Apabila BMT mengikuti Undang-undang di atas harus menerima akibat hukum dari Undang-undang tersebut dengan hanya dapat melakukan kegiatan usahanya sebatas di dalam satu kabupaten/kota saja, BMT tidak dapat membuka cabang di kabupaten/kota lainnya. Selain itu juga hal yang menyebabkan BMT enggan mengikuti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro karena BMT merupakan Koperasi yang sudah diatur oleh Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian dimana BMT tidak perlu diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan seperti halnya Lembaga Keuangan Mikro lainnya. Karena semua yang diatur di Undang-undang Nomor 1 Tahun 2013 ini semuanya atas izin dan pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedangkan Koperasi menurut Abdul Biya sudah diatur dan diawasi oleh Kementerian Koperasi dan UKM RI , menurut Abdul Biya Koperasi yang melayani non anggotalah yang harus memiliki izin Lembaga keuangan Mikro dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

c. KSPPS BMT SYAHIDA

Menurut Bonis Faisal BMT tidak perlu di awasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), menurutnya dalam pengelolaanya KSPPS BMT SYAHIDA sudah mendekati perbankan, dan beliau menganggap koperasi juga sebagai lembaga intermediary. Ia menambahkan, seharusnya anggota BMT itu cukup 20 orang sebagai anggota yang mendirikan awal yang fungsinya seperti pemegang saham di Perseroan Terbatas, anggota lainnya hanya sebatas nasabah saja karena mereka hanya menikmati fasilitas pembiayaan dan tabungan saja(Faisal, 2018).

Jika memang KSPPS BMT SYAHIDA memberlakukan sistem seperti itu sudah seharusnya KSPPS BMT SYAHIDA harus siap menerima akibat hukum yang timbul karena mereka yang melayani non anggota sehingga mereka harus memiliki izin Lembaga Keuangan Mikro yang dikeluarkan oleh Otororitas Jasa Keuangan (OJK). Namun, untuk menghindari itu KSPPS BMT SYAHIDA melakukan sistem pemotongan langsung pada nasabah untuk simpanan pokok dan wajib untuk menjadi anggota.

(11)

Tersedia online : http://jurnal.stesislamicvillage.ac.id/index.php/JURNAL

169 | P a g e Apabila dikaitkan dengan Teori kepatuhan hukum, terdapat tiga jenis kepatuhan hukum:

a. Kesesuaian (Compliance), yaitu jika seseorang atau lembaga mematuhi suatu aturan, hanya karena ia takut akan sanksi yang ada. Kelemahan kepastian jenis ini, karena ia membutuhkan pengawasan yang terus menerus.

b. Identifikasi (Identification), yaitu jika seseorang mematuhi suatu aturan, hanya karena takut hubungan baiknya dengan pihak lain menjadi rusak. Sumber kekuatannya adalah daya tarik dari hubungan yang dinikmati orang-orang atau tokoh-tokoh dari kelompok itu, sedangkan persesuaian dengan peraturan akan tergantung pada menonjolnya hubungan-hubungan ini. c. Internalisasi (Internalization), yaitu penerimaan seseorang mengenai suatu peraturan

benar-benar karena Ia merasa bahwa aturan itu sesuai dengan nilai-nilai intrinsik yang dianutnya. Dalam penelitian ini, secara compliance pun belum terpenuhi kepatuhan hukum dari BMT yang diteliti penulis terhadap regulasi yang ada. Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa terlihat BMT tidak mematuhi poin poin krusial pada regulasi. Masih banyak BMT yang melayani non-Anggota dan/atau melakukan kegiatan usaha sabagimana LKMS, namun tidak mematuhi Undang-undang LKM. Akibat hukum yang harus diterima oleh BMT yang melayani anggota maka mereka harus mematihi isi dari Undang-ndang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro seperti Izin Usaha lembaga keuangan Mikro, cakupan wilayah usaha, dan pengawasan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Jika tahap

Compliance saja sudah tidak dipatuhi, bagaimana kepastian hukum akan terpenuhi dan tujuan

hukum akan tercapai.

Ketidak patuhan terhadap regulasi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya:

a. Karena adanya pengetahuan dan pemahaman akan hakekat dan tujuan hukum.

b. Karena orang merasakan bahwa peraturan-peraturan itu dirasakan sebagai hukum. Mereka benar-benar berkepentingan akan berlakunya peraturan tersebut.

c. Karena ia harus menerimanya supaya ada rasa ketentraman. Ia menganggap peraturan sebagai peraturan hukum secara rasional.

d. Karena masyarakat menghendakinya. e. Karena adanya paksaan (sanksi) sosial.

Dengan demikian, literasi terhadap aturan hukum terkait Baitul Mal wa Tamwil harus dibumikan oleh regulator kepada pelaku BMT, anggota, dan masyarakat. Agar seluruh elemen menyadari akan hak dan tanggungjawabnya.

Kepastian Hukum BMT Terkait Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992

Perkoperasian Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga

Keuangan Mikro

BMT sebagai Lembaga Keuangan Mikro Berbasis Syariah melakukan kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat/anggota dan penyaluran dana kepada pelaku UKM(Abduh & Jamaludin, 2017). Dalam perkembanganya BMT memilih Koperasi sebagai badan hukumnya karena dianggap relevan dari sisi model bisnis dan budaya lokal Indonesia. BMT harus menyesuaikan diri dengan regulasi terkait perkoperasian dalam hal ini Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang perkoperasian dan Peraturan Menteri Koperasi Nomor 11 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi.

Permasalahan baru timbul pada 2013 dimana terbitnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro dimana BMT disebutkan secara eksplisit

(12)

Tersedia online : http://jurnal.stesislamicvillage.ac.id/index.php/JURNAL

170 | P a g e dalam BAB XIII Tentang Ketentuan Peralihan Pasal 1 dan 2 yang menyakatan bahwa :

” 1) Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD), Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP), Baitul Maal wa Tamwil (BMT), Baitul Tamwil Muhammadiyah (BTM), dan/atau lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu tetap dapat beroperasi sampai dengan 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini berlaku. 2) Lembaga-lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini berlaku.”

Adanya dua regulasi yang saling mengatur BMT ini mempengaruhi kepastian hukum bagi BMT itu sendiri. Ketidakjelasan regulasi yang mengatur BMT berpotensi menimbulkan ketidakpastian Hukum pada BMT, di antaranya sebagai berikut :

1. Ketidakjelasan jenis lembaga BMT mempengaruhi ketidakjelasan lembaga yang berhak menjadi regulator atau pengawas BMT.

2. Badan hukum koperasi namun dengan izin usaha berbeda (badan hukum koperasi dengan izin usaha LKM) akan menimbulkan kebingungan pada BMT karena koperasi harus mencantumkan jenis koperasi pada anggaran dasar, membuat koperasi tidak mungkin memilih bentuk LKM.

3. Jika tidak ada kejelasan pada istilah KSPPS dan BMT maka berpotensi muncul regulasi turunan yang berbeda dalam mengatur BMT, seperti halnya kedua Undang-Undang tersebut di atas.

4. Perbedaan wilayah operasi akan menimbulkan risiko arbitrase, di mana BMT akan memilih sektor yang memberikan ruang operasi yang lebih luas.

5. Penjaminan simpanan oleh pemerintah masih bersifat diskresi/kebijakan, belum bersifat wajib, hal ini tentu belum memecahkan masalah keamanan dan kenyamanan menyimpan dana di Lembaga Keuangan di BMT untuk Usaha Mikro dan Kecil (UMK).

6. Perbedaan bentuk layanan yang diizinkan oleh kedua undang-undang akan berpotensi menimbulkan risiko arbitrase sebagaimana perbedaan ketentuan wilayah operasi. 7. Dalam Undang-undang LKM, terkesan suku bunga/nisbah akan diatur oleh

pemerintah. Sedangkan pada Undang-Undang Perkoperasian diatur oleh rapat anggota. Hal ini akan menimbulkan kebingungan masyarakat karen apemerintah hanya melakukan kontrol suku bunga/nisbah pada LKM tetapi tidak pada Koperasi Simpan Pinjam.

8. Perbedaan masyarakat yang dilayani akan menimbulkan risiko arbitrasi sebagaimana perbedaan ketentuan wilayah operasi.

Dari penjelasan di atas masyarakat yang menjadi korban dari tidak adanya kepastian hukum yang disebabkan oleh Ketidakpastian regulasi yang mengatur BMT. Tidak adanya kepastian hukum disini disebabkan oleh rendahnya kepengawasan baik oleh Kementerian Koperasi dan UKM RI ataupun dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Contohnya KSU BMT UMJ sejak Berdiri dari tahun 2008 belum memiliki izin usaha simpan pinjam.

Namun Kementerian Koperasi dan UKM RI yang dalam hal ini wewenangnya diwakili oleh Dinas Koperasi dan UKM Kota Tangerang Selatan seharusnya memberikan surat teguran agar KSU BMT UMJ segera mengurus Izinnya dan menutup sementara kegiatan usahanya sampai izin usahanya keluar. Bentuk lain dari kelemahan pengawasan Dinas Koperasi Dan

(13)

Tersedia online : http://jurnal.stesislamicvillage.ac.id/index.php/JURNAL

171 | P a g e UKM Kota Tangerang Selatan adalah pembiaran kepada KSU BMT UMJ yang hanya memiliki 141 anggota namun melayani 1800 nasabah. Hal ini bertentangan dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Pekoperasian seharusnya KSU BMT UMJ jika melayani non anggota mendaftarkan izin usaha lembaga keuangan mikro ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagaimana yang disebutkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro.

Lon Fuller dalam Bukunya The Morality of Law(Fuller, 1971), mengajukan delapan asas yang harus dipenuhi hukum yang apabila tidak dipenuhi, maka hukum akan gagal untuk disebut sebagai hukum. Atau dengan kata lain harus ada kepastian hukum(Ali, 2015). Delapan asas tersebut adalah:

1. Tidak berdasarkan putusan sesat untuk hal hal tertentu 2. Diumumkan kepada publik

3. Tidak berlaku surut

4. Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum 5. Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan

6. Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa dilakukan 7. Tidak boleh sering diubah-ubah

8. Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari

Regulasi yang mengatur BMT ini harus memenuhi 8 asas hukum di atas apabila ingin disebut sebagai hukum yang memberikan kepastian. Dilihat dari 8 asas hukum di atas ada 3 asas yang belum dipenuhi oleh regulasi yang mengatur BMT dalam hal ini Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 dan Peraturan Menteri Koperasi Nomor 11 Tahun 2017 Tentang Penyelenggaraan Usaha Simpan Pinjam dan Pembiayaan oleh Koperasi serta Undang-undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro yaitu asas tidak boleh ada peraturan yang bertentangan, asas tidak boleh sering diubah-ubah, dan asas harus ada kesesuaian dengan pelaksanaan sehari-hari. Pertama Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro bertentangan dalam pengaturan BMT satu dengan lainnya. Kedua dalam peraturan Menteri yang mengatur Penyelenggaraan Usaha Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah yang dilakukan oleh Koperasi sering diubah-ubah oleh Deputi Kelembagaan Kementerian Koperasi dan UKM RI.

Contohnya, Peraturan Menteri Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah Republik Indonesia Nomor 16 /Per/M.KUKM/IX/2015 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Dan Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi dalam waktu 2 tahun sudah diganti menjadi Peraturan Menteri Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah Republik Indonesia Nomor 11/PER/M.KUKM/XII/2017 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Dan Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi. Ketiga belum ada kesesuaian pelaksanaan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian dalam pelaksanaan sehari-hari oleh BMT dan hal ini lah yang menyebabkan tidak adanya kepastian hukum di BMT.

Secara terminologi, maqâshid al-syarî’ah dapat diartikan sebagai nilai dan makna yang dijadikan tujuan dan hendak direalisasikan oleh pembuat Syariah (Allah swt) dibalik pembuatan Syariat dan hukum, yang diteliti oleh para ulamamujtahid dari teks-teks Syariah(Auda, 2007). Al-Shathibi menyatakan bahwa ada beberapa tujuan Allah dalam menetapkan hukum diantaranya qashdu al- Syâr‟i fi wadl‟i al- syarî‟ah li al-ifhâm (tujuan Allah dalam menetapkan hukum adalah untuk difahami). Dan qashdu al- Syâr‟i fi wadl‟i

(14)

Tersedia online : http://jurnal.stesislamicvillage.ac.id/index.php/JURNAL

172 | P a g e

alsyarî‟ah li al-taklîf bi muqtadlâha (tujuan Allah dalam menetapkan hukum adalah untuk

ditanggung dengan segala konsekwensinya).

Tujuan Allah dalam menetapkan hukum adalah untuk kemashlahâtan hamba di dunia dan akhirat. Syathibi menjelaskan lebih lanjut bahwa beban-beban hukum sesungguhnya untuk menjaga maqâshid (tujuan) hukum dalam diri makhluk. Maqâshid ini hanya ada tiga yaitu

dharûriyât, hâjiyat, dan tahsîniyât. Darûriyât harus ada untuk menjaga kemashlahâtan dunia

dan akhirat. Jika hal ini tidak ada maka akan terjadi kerusakan di dunia dan akhirat. Kadar kerusakan yang ditimbulkan adalah sejauh mana dlarûriyât tersebut hilang. Maqâshid al-

dlarûriyât ini ada lima yaitu: menjaga Agama, menjaga jiwa, menjaga keturunan, menjaga

harta, menjaga akal. Maqâshid al- hâjiyat adalah untuk menghilangkan kesusahan dari kehidupan mukallaf. Sedangkan Maqâshid tahsîniyât adalah untuk menyempurnakan kedua Maqâshid sebelumnya, yang meliputi kesempurnaan adat kebiasaan, dan akhlak yang mulia. Maqasid syariah adalah kelanjutan dan perkembangan dari konsep maslahah sebagaimana telah dicanangkan sebelum masa as-Syatibi. Tujuan dan orientasi hukum utama ini menunjukkan asal mula ditetapkannya hukum yang bila diperhatikan akan menggambarkan kesatuan hukum Islam. Pada hakikatnya, tujuan hukum hanyalah satu, yaitu kebaikan dan kesejahteraan umat manusia(Nasution dkk, 2007).

Berdasarkan hal di atas BMT seharusnya bisa memahami dua tujuan diciptakannya Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2013 yaitu untuk di fahami dan untuk ditanggung dengan segala konsekuensinya. Walaupun kedua undang tersebut memiliki kekurangan, tapi tetap kedua Undang-undang tersebut adalah sebuah produk hukum yang memiliki tujuan untuk menghadirkan sebuah kepastian hukum kepada masyarakat. Tujuan Allah dalam menetapkan hukum adalah untuk kemashlahâtan hamba di dunia dan akhirat. Jadi bila ada BMT yang tidak memiliki izin sesuai dengan yang diamanahkan oleh Undang-undang tersebut, BMT harusnya memperhatikan sisi kemaslahatan bagi masyarakat yang bertransaksi di BMT tersebut. Salah satu Maqâshid al- dlarûriyât yang dijaga oleh Kedua Undang-undang di atas adalah menjaga harta, dimana kedua Undang-undang tersebut mengharapkan mampu untuk menjaga harta masyarakat yang disimpan di BMT dengan bentuk menghadirkan kepastian hukum yang tertuang dalam implementasi Undang-undang tersebut dalam kehidupan sehari-hari BMT.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan di antaranya: BMT yang menjadi objek penelitian belum sepenuhnya mampu mengimplementasikan Undang-Undang No 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian dan Peraturan Menteri No 11 Tahun 2017 dengan baik. Implementasi tentang keanggotaan menjadi permasalahan semua BMT yang diteliti, KSU BMT UMJ yang hanya memiliki 114 anggota tetapi melayani kurang lebih 1800 calon anggota/nasabah, KSU BMT AL JIBAAL masih dikenal istilah anggota pendiri yang posisinya sama dengan pemegang saham dalam Perseroan terbatas dan KSPPS BMT SYAHIDA mengalami kesulitan untuk mengimplentasikan pola keanggotaan koperasi dikarenakan keinginan untuk membedakan hak dan kewajiban antara anggota yang mendirikan dan anggota baru. KSU BMT UMJ belum memiliki Izin operasional dari Dinas Koperasi dan UKM Kota Tangerang Selatan dan belum memiliki Izin Simpan Pinjam.

(15)

Tersedia online : http://jurnal.stesislamicvillage.ac.id/index.php/JURNAL

173 | P a g e Terbitnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro mempengaruhi BMT, sebab BMT adalah salah satu jenis lembaga yang disebutkan dan tercantum serta diatur dalam Undang-undang tersebut sebagai salah satu jenis lembaga keuangan mikro. Hadirnya undang-undang ini menimbulkan dampak ambiguitas dalam penerapannya. Apabila terjadi penyalahgunaan dana anggota oleh pengurus BMT atau terjadi wanprestasi dalam penyaluran dana anggota, tidak jelas kepada lembaga mana harus diadukan, antara kementerian koperasi berdasarkan Undang-Undang Perkoperasian atau OJK berdasarkan Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro.

Dua regulasi yang saling mengatur BMT tidak memberikan kepastian hukum bagi BMT. Kedua regulasi tersebut tidak dapat dipaksakan untuk diterapkan oleh Baitul Maal Wa Tamwil dikarenakan karakteristiknya yang khusus. Oleh karena itu, BMT harus memiliki aturan khusus sesuai dengan karakteristiknya. Akibat dari ketidakpastian hukum tersebut, jika terjadi penyalahgunaan atau pelanggaran hukum oleh BMT yang dirugikan adalah masyarakat. Misalkan terjadi penyalahgunaan simpanan anggota oleh pengurus BMT, maka masyarakat tidak memiliki landasan hukum yang pasti untuk melaporkan tindakan tersebut karena adanya ambiguitas regulasi.

Daftar Pustaka:

Abduh, M., & Jamaludin, N. (2017). The Mediating Role of Perceived Benefits upon SMEs’ Satisfaction towards Islamic Microfinance Institutions: 1st International Conference on

Islamic Economics, Business, and Philanthropy, 712–717.

https://doi.org/10.5220/0007088507120717

Ali, A. (2015). Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan

(Judicial Prudence), (Jakarta: Prenamedia Group), 2015, h. 294. Jakarta: Prenamedia

Group.

Amalia, E. (2016). Keuangan Mikro Syariah. Bekasi: Gramata Publishing.

Auda, J. (2007). Fiqh al- Maqā ṣ id Inā ṭ at al-Ahkām bi Maqā ṣ idihā,. Herndon: Islamic Research and Training Institute Islamic Development Bank Group.

Biya, A. (2018). Wawancara dengan Manager BMT Al-Jibal.

Euis Amalia, & Mahmudah Atiqah. (2015). Evaluating The Models of Sharia Microfinance in Indonesia: An Analytical Network Process (ANP) Approach. Jurnal Al-Iqtishad,

VII(1).

Fadillah Mursid. (2017). Kebijakan Regulasi Baitul Mal Wat Tamwil (BMT) Di Indonesia (Thesis S2). Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Faisal, B. (2018). Wawancara dengan Bonis Faisal, Manager KSPPS BMT AS-Syahida UIN. Fuller, Lon. L. (1971). Morality of Law, New Haven. Conn: Yale University Press.

Golom Silitonga. (2015). Tinjauan Yuridis Tentang Bentuk Badan Hukum Koperasi Di dalam

Baitul Mal Wat Tamwil (BMT) (Studi Kasus: BMT Arta Amanah Sanden Kabupaten Bantul) (Thesis S2). Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Gustav Radbruch. (2003). Rechtphilosophie, Editor: Ralf Dreier. Heidelberg: C. F. Muller GmbH.

Johnny Ibrahim. (2013). Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia Publishing.

Kementerian Koperasi dan UKM. (2017). Rekapitulasi data keragaan Koperasi per Desember

2017. Retrieved from Kemenkop website: http://www.depkop.go.id.

Mukhtiar. (2018). Wawancara dengan Mukhtiar, Direktur BMT UMJ.

Nasution dkk. (2007). Pengenalan ekslusif ekonomi Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media

(16)

Tersedia online : http://jurnal.stesislamicvillage.ac.id/index.php/JURNAL

174 | P a g e Noor Azis. (2008, February 28). Koperasi Syariah akan diatur UU Koperasi. Repulbika.

Novita Dewi Masyithoh. (2014). Analisis Normatif Undang-Undang No.1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuagan Syariah dan Pengawasan Baitul Mal wat Tamwil (BMT). Jurnal

Economica, V(2).

Nur Jamaludin. (2019). Sejarah, Peran dan Model Skema Pembiayaan Terintegrasi: Artikel Review Beberapa Studi Keuangan Mikro Syariah. Islaminonomics, IX(1), 104–114. Otoritas Jasa Keuangan. (2018). Direktori LKM per Oktober 2018. Retrieved from Otoritas

Jasa Keuangan website: http://www.ojk.go.id.

Peraturan Menteri Koperasi dan UKM. , Pub. L. No. Nomor 11/PER/M.UKUKM/XII/2017, Nomor 11/PER/M.UKUKM/XII/2017 (2017).

Sidharta. (2010). Reformasi Peradilan dan Tanggung Jawab Negara, Bunga Rampai Komisi

Yudisial, Putusan Hakim: Antara Keadilan, Kepastian Hukum, dan Kemanfaatan,.

Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia.

Soerjono Soekanto, & Sri Mamuji. (2007). Penelitian Hukum Normatif-Suatu Tinjauan

Singkat. Jakarta: Raja Grafindo.

Sri Dewi Yusuf. (2014). Peran Strategis BMT dalam Peningkatan Ekonomi Rakyat. Tribasuki, U. (2018, Oktober). Hasil wawancara dengan Deputi Bidang Kelembagaan

Referensi

Dokumen terkait

Jadi, kejadian kesalahan ( error ) pada jaringan tersebut akan disimpan pada sebuah database khusus, untuk selanjutnya akan ditampilkan di sistem dan dikirimkan

Dari data hasil pengukuran diameter dengan kecepatan naik gelembung udara secara keseluruhan (gambar 4) terlihat kecepatan cenderung konstan pada ketinggian 1.5 m dan 2 m

Data primer adalah data yang langsung diperoleh dari sumber data pertama di lokasi Penelitian atau obyek Penelitian. Dalam pengumpulan data primer yang digunakan

Selain itu, Kepala sekolah selaku pimpinan harus dapat menjalankan tugasnya dalam menjalankan kepemimpinan-nya, memberikan layanan, memenuhi kebutuhan sarana

Kesimpulan penelitian ini adalah: Sistem pengendalian intern penerimaan pajak daerah pada Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) di

Game online memang selalu dikaitkan dengan hal-hal negatif, dalam kasusnya sendiri sudah ada banyak artikel dan juga berita mengenai dampak game online seperti

Kompleksitas Sequential Search Kompleksitas algoritma search adalah tergantung dari jumlah perbandingan yang terjadi dalam perulangan saat melakukan pencarian data

Abstrak — Pengendalian Robot lengan menggunakan perintah suara adalah sebuah robot yang dapat digunakan untuk membantu manusia mengambil benda yang diinginkan