• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hariwijaya mengemukakan bahwa:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hariwijaya mengemukakan bahwa:"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Landasan Teori

1. Pembelajaran Matematika a. Pengertian Matematika

Istilah matematika sangat sulit didefinisikan secara akurat. Banyak definisi matematika yang dikemukakan oleh berbagai ahli. Salah satunya adalah pengertian matematika menurut Hariwijaya. Hariwijaya mengemukakan bahwa:

Pada umumnya orang hanya akrab dengan satu cabang matematika elementer yang disebut aritmatika atau ilmu hitung, yang secara informal dapat diartikan sebagai ilmu tentang berbagai bilangan yang bisa langsung diperoleh oleh bilangan-bilangan bulat 0, 1, 2, 3,…, dan seterusnya, melalui berbagai operasi dasar: tambah, kurang, kali dan bagi (Hariwijaya, 2009: 29).

Namun demikian Hariwijaya mendefinisikan matematika sebagai bidang ilmu yang mempelajari pola dari struktur, perubahan dan ruang. Maka secara informal matematika dapat pula disebut sebagai ilmu tentang bilangan dan angka.

Matematika merupakan ilmu yang sangat luas, dapat dikatakan setiap manusia tidak bisa lepas dari ilmu matematika dalam segala segi kehidupannya. Ketika seseorang melakukan transaksi jual-beli, maupun melihat jam sadar ataupun tidak seseorang sedang menggunakan ilmu matematika. Pembelajaran matematika diawali dengan penanaman konsep yang kebanyakan dimulai dari jenjang sekolah terutama SD.

(2)

b. Langkah Pembelajaran Matematika di SD

Pembelajaran matematika tidak dapat dilakukan sembarangan agar tujuan pembelajaran dapat tercapai. secara umum terdapat 4 tahapan aktivitas dalam rangka penguasaan materi pelajaran matematika di dalam pembelajaran menurut Tim Direktorat Pembinaan Sekolah Dasar (2011: 1), yaitu:

1) Penanaman Konsep

Merupakan tahap pengenalan awal tentang konsep yang akan dipelajari siswa. Pembelajaran pada tahap ini bertujuan untuk mengenalkan siswa konsep yang akan dipelajari, pengajaran memerlukan penggunaan benda konkrit sebagai alat peraga. Pada tahap penanaman konsep meupakan jembatan dari kemampuan kognitif siswa yang masih kongkrit menuju konsep baru matematika yang abstrak (Heruman 2007: 3).

2) Pemahaman Konsep

Merupakan tahap lanjutan setelah konsep ditanamkan pada tahap penanaman konsep. Pada tahap ini penggunaan media mulai dikurangi, media yang digunakan mulai menuju semi kongkrit dan pada akhirnya tidak digunakan apabila dirasa sudah tidak diperluka lagi. Tujuan dari tahap pemahaman konsep adalah agar siswa lebih memahami dan mematangkan konsep yang telah diterimanya dan siap untuk membina ketrampilan dari konsep yang siswa miliki.

(3)

3) Pembinaan Ketrampilan

Yaitu pembelajaran lanjutan dari penanaman konsep dan pemahaman konsep. Merupakan tahap yang tidak boleh terlewatkan dalam membina pengetahuan siswa. Pada tahapan ini pembelajaran tidak lagi menggunakan media pembelajaran, proses pembelajaran dilakukan dengan latihan-latihan terkait dengan materi yang sudak diajarkan.

4) Penerapan Konsep

Tahapan terakhir adalah penerapan konsep, yaitu tahap penerapan konsep yang sudah dikuasai siswa. Pada tahap ini siswa diharapkan mampu menerapkan kosnsep yang telah dikuasainya ke dalam bentuk soal-soal cerita yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.

Agar kreatifitas dan kompetensi siswa dalam pembelajaran matematika terutama di SD dapat berkembang dengan baik, maka sebagai seorang guru hendaknya dapat menyajikan pembelajaran yang efektif dan efisien sesuai dengan langkah-langkah yang dijelaskan di atas. Dalam matematika, setiap konsep yang abstrak yang baru dipahami siswa perlu segera diberi penguatan, agar dapat bertahan lama, sehingga dapat melekat dalam pola pikir siswa. Selanjutnya konsep yang sudah dipahami siswa harus terus dibina agar ketrampilan siswa meningkat. Pada akhirnya apa yang sudah dipelajari siswa akan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

(4)

2. Karakteristik Siswa SD

Sekolah merupakan salah satu pusat pendidikan bagi setiap manusia untuk menuntut ilmu dalam hal ini adalah siswa. Setiap siswa pada jenjang pendidikan mulai dari Taman Kanak-Kanak (TK) sampai perguruan tinggi memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Masa SD berlangsung dari usia enam tahun sampai kurang lebih dua belas tahun, pada usia tersebut anak sudah siap untuk bersekolah dan menerima kecakapan-kecakapan baru. Masa usia sekolah sebagai masa intelektual atau masa keserasian bersekolah, menurut Suryobroto dalam Djamaran (2008: 124).

Masa usia sekolah membuat peserta didik lebih mudah mendapatkan pembelajaran. Pada masa keserasian bersekolah peseta didik relatif lebih mudah di didik daripada masa sebelum dan sesudahnya, hal tersebut dikemukakan oleh Suryobroto dalam Djamarah (2008:124). Masa tersebut diperinci menjadi dua fase, yaitu masa kelas-kelas rendah dan kelas tinggi.

a. Masa Kelas-Kelas Rendah SD

Beberapa sifat khas peserta didik pada masa kelas-kelas rendah antara lain:

1) Adanya korelasi positif yang tinggi antara keadaan kesehatan pertumbuhan jasmani dengan prestasi sekolah.

2) Adanya sikap yang cenderung untuk mematuhi peraturan-peraturan permainan yang tradisional.

3) Ada kecenderungan memuji sendiri.

4) Suka membanding-bandingkan dirinya dengan anak lain kalau hal itu dirasanya menguntungkan untuk meremehkan anak lain.

(5)

5) Kalau tidak dapat menyelesaikan sesuatu soal, maka soal itu dianggapnya tidak penting.

6) Pada masa ini (terutama pada umur 6-8) anak menghendaki nilai (angka rapor) yang baik, tanpa mengingat apakah prestasinya memang pantas diberi nilai baik atau tidak.

b. Masa Kelas-Kelas Tinggi SD

Beberapa sifat khas peseta didik pada masa kelas-kelas tinggi antara lain:

1) Adanya minat terhadap kehidupan praktis sehari-hari yang konkret, hal ini menimbulkan adanya kecenderungan untuk membandingkan pekerjaan-pekerjaan yang praktis.

2) Amat realistik, ingin tahu, dan ingin belajar.

3) Menjelang akhir tahun masa ini telah ada minat terhadap hal-hal dan mata pelajaran khusus, yang oleh para ahli ditafsirkan sebagai mulai menonjolnya faktor-faktor.

4) Sampai kira-kira umur 11 tahun anak membutuhkan guru atau orang-orang dewasa lainnya.

5) Anak-anak pada masa ini gemar membentuk kelompok sebaya, biasanya untuk dapat bermain bersama-sama. Di dalam permainan ini biasanya anak tidak lagi terikat pada aturan permainan yang tradisional, mereka membuat peraturan sendiri.

Setiap anak juga akan mengalami tahapan pekembangan kognitif. Secara kronologis ada empat tahapan pekembangan intelektual anak berdasakan teori yang dikemukakan oleh Piaget dalam Rahyubi (2012: 126). Urutan tahapan ini tetap bagi setiap orang, akan tetapi usia kronologis memasuki setiap tahap bervariasi pada setiap anak. Keempat tahap dimaksud adalah tahap sensorimotor, tahap praoperasional, tahap operasional konkrit, dan tahap operasional formal. Berdasarkan tahapan perkembangan yang dipaparkan oleh Piaget, tahapan perkembangan anak SD berada pada tahap perkembangan operasional kongkrit.

Tahap operasional kongkrit terjadi pada usia 7-12 tahun. Tahap ini dicirikan dengan anak dapat mengembangkan pikiran logis. Tingkat

(6)

operasional kongkrit merupakan permulaan berpikir rasional, hal tersebut berarti anak memiliki operasi-operasi logis yang dapat diterapkannya pada masalah-masalah kongkrit (Sagala 2012: 27). Operasi-operasi ini kongkrit bukan operasi-opeasi formal, anak belum dapat berurusan dengan materi abstrak. Ciri-ciri tahap operasional kongkrit menurut Rahyubi (2012: 132-133) antara lain:

1) Adaptasi dengan gambaran yang menyeluruh

Pada tahap ini, seorang anak mulai dapat menggambarkan secara menyeluruh peihal ingatan, pengalaman, dan obyek yang dialami.

2) Melihat dari berbagai macam segi

Anak mulai dapat melihat suatu obyek atau persoalan secaa sedikit menyeluruh dengan melihat aspek-aspeknya.

3) Serasi

Poses serasi adalah proses mengatur unsur-unsur berdasarkan semakin besar atau kecilnya unsur-unsur tersebut. Menurut Piaget, bila seorang anak telah dapat membuat suatu serasi, maka ia tidak akan mengalami banyak kesulitan untuk membuat serasi selanjutnya.

4) Klarifikasi

Menurut Piaget, bila anak yang berumur 3 tahun dan 12 tahun diberi bermacam-macam obyek dan disuruh membuat klasifikasi yang serupa menjadi satu, ada beberapa kemungkinan yang terjadi.

5) Bilangan

Dalam percobaan Piaget, pada tahap operasional kongkit, anak sudah dapat mengerti soal korespondensi dan kekekalan dengan baik. Dengan perkembangan ini berarti konsep tentang bilangan bagi anak telah berkembang.

6) Ruang, waktu, dan kecepatan

Pada umur 7 atau 8 tahun seorang anak sudah mengerti tentang urutan ruang dengan melihat interval jarak suatu benda. Pada umur 8 tahun anak sudah dapat mengerti relasi urutan waktu dan juga koordinasi dengan waktu. Pada umur 10 atau 11 tahun, anak sadar akan konsep waktu dan kecepatan.

7) Probabilitas

Pada tahap ini, pengertian probabilitas adalah suatu perbandingan antara hal yang terjadi dengan kasus-kasus yang mulai terbentuk.

(7)

Dalam pembicaran sehari-hari, anak pada tahap ini jarang berbicara dengan suatu alasan, tetapi lebih mengatakan apa yang tejadi. Pada tahap ini, menurut Piaget masih ada kesulitan dalam melihat persoalan secara menyeluruh.

9) Egosentrisme dan Sosialisme

Pada tahap ini, anak sudah tidak egosentris dalam pemikirannya. Siswa sadai bahwa orang lain mempunyai pikiran lain.

Siswa yang berada pada tahap operasional kongkrit biasanya telah mengalami operasi logis dengan bantuan benda-benda konkrit. Dapat dikatakan siswa sudah bisa menggunakan logika, tetapi hanya berkaitan dengan obyek fisik atau benda konkrit yang ada.

3. Media Pembelajaran

a. Pengetian Media Pembelajaran

Media pembelajan merupakan salah satu instrumen dalam proses pembelajaran yang digunakan untuk membantu guru menyampaikan materi kepada siswa. Media berasal dari bahasa Latin “medium” yang secara harfiah berarti perantara, yaitu perantara sumber pesan dengan penerima pesan. Heinich mencontohkan media ini seperti film, televisi, diagram, bahan tercetak, komputer, dan instruktur (Susilana dan Riyana, 2011: 6).

Media pembelajaran merupakan salah satu sarana komunikasi. Media adalah perantara dari sumber informasi ke penerima informasi, contohnya video, televisi, komputer, dan lain sebagainya menurut (Sanjaya 2012:57). Media adalah bagian yang tidak dapat terpisahkan dari proses belajar mengajar demi tercapainya tujuan pendidikan pada umumnya dan tujuan pembelajaran di sekolah pada

(8)

khususnya (Arsyad 2007:2-3). Penggunaan media secara kreatif akan memperbesar kemungkinan bagi siswa untuk belajar lebih banyak, mencamkan apa yang dipelajarinya lebih baik, dan meningkatkan penampilan dalam melakukan keterampilan sesuai dengan yang menjadi tujuan pembelajaran.

Berbagai pengertian terkait media pembelajaran yang dikemukakan oleh ahli mengenai media pembelajaran secara umum memiliki kesamaan. Dari berbagai pengertian tersebut kemudian Arsyad (2007: 6-7) menjelaskan beberapa batasan tentang media pembelajaran, berikut dikemukakan ciri-ciri umum yang tekandung pada setiap batasan:

1) Media pendidikan memiliki pengertian fisik yang dewasa ini dikenal sebagai hadwere (perangkat keras), yaitu sesuatu benda yang dapat dilihat, didengar, atau diraba dengan pancaindra.

2) Media pendidikan memiliki pengertian nonfisisk yang dikenal sebagai softwere (perangkat lunak), yaitu kandungan pesan yang terdapat dalam perangkat keras yang merupakan isi yang ingin disampaikan kepada siswa.

3) Penekanan media pendidikan terdapat pada visual dan audio.

4) Media pendidikan digunakan dalam rangka komunikasi dan interaksi guru dan siswa dalam proses pembelajaran.

5) Media pendidikan dapat digunakan secara massal (misal: radio, televisi), kelompok besar dna kelompok kecil (misal film, slide, video, OHP), atau peroangan (misal: modul, komputer, radio tape/kaset, vidio recorder).

6) Sikap, perbuatan, organisasi, stategi, dan manajemen yang berhubungan dengan penerapan suatu ilmu.

Dari pengetian di atas dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran merupakan alat bantu dalam pembelajaran yang

(9)

digunakan oleh guru sebagai alat peraga untuk menyampaikan pesan. Tujuan dari digunakannya media pembelajaran adalah membantu guru dalam mengkongkritkan konsep yang abstrak sehingga siswa lebih mudah memahami konsep tesebut dan pada akhirnya tujuan pembelajaran dapat tercapai secara maksimal.

b. Manfaat Media Pembelajaran

Media merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan pembelajaran. Melalui media proses pembelajaran menjadi lebih menarik selain itu penggunaan media pembelajaran dapat memberi gambaran secara lebih nyata bagi siswa. Adapun manfaat media pembelajaran (Susilana dan Riyana, 2011: 9) antara lain:

1) memperjelas pesan agar tidak terlalu verbalistis.

2) mengatasi keterbatasan ruang, waktu, tenaga, dan daya indera.

3) menimbulkan gairah belajar, interaksi lebih langsung antara murid dengan sumber belajar.

4) memungkinkan anak belajar mandiri sesuai dengan bakat dan kemampuan visual, auditori, & kinestetiknya.

5) memberi rangsangan yang sama, mempersamakan pengalaman & menimbulkan persepsi yang sama.

Media memiliki peranan penting dalam kegiatan belajar. Beikut ini manfaat media menurut Sanjaya (2012:70-72):

1) Menangkap objek atau peristiwa-peristiwa tertentu.Peristiwa-peristiwa penting atau objek yang langka dapat diabadikan dengan foto, film atau direkam melalui video atau audio, kemudian peristiwa itu dapat disimpulkan dan dapat digunakan manakala diperlukan. 2) Memanipulasi keadaan, peristiwa atau objek tertentu.

Melalui media pembelajaran, guru dapat menyajikan bahan pelajaran yang bersifat abstrak menjadi konkret

(10)

sehingga mudah dipahami dan dapat menghilangkan verbalisme.

3) Menambah gairah dan motivasi belajar peserta didik. Penggunaan media dapat menambah motivasi belajar peserta didik terhadap materi pembelajaran dapat lebih meningkat.

Dari manfaat di atas dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran membantu guru mengatasi kesulitan yang kerap didapatkan dalam pembelajaran. Guru terbantu untuk menyampaikan materi pembelajaan yang terlalu abstrak, selain itu dengan menggunakan media pembelajaan proses pembelajaran akan lebih efisien karena dapat mengatasi keterbatasan ruang, waktu, tenaga dan daya indra. Media yang digunakan juga dapat meningkatkan gairah atau motivasi belajar siswa karena siswa dapat berinteraksi dengan sumber belajar secara langsung. Pesan yang ingin disampaikan juga tidak semata-mata melalui komunikasi verbal atau penuturan kata-kata oleh guru sehingga siswa tidak mudah bosan.

Siswa dapat lebih aktif dalam proses pembelajaran apabila terdapat media pembelajaran yang mendukungnya. Jadi, media memiliki peran penting untuk menarik perhatian siswa agar tetap fokus terhadap materi yang disampaikan. Media yang digunakan juga dapat mempertahankan situasi dan kondisi belajar yang nyaman dan terkendali.

Fungsi utama media pembelajaran adalah membantu guru untuk menyampaikan meteri kepada siswa agar siswa dapat menguasai meteri tersebut. Dengan demikian, pemilihan media pembelajaran

(11)

harus dipertimbangkan agar sesuai dengan kebutuhan dan tepat untuk menyampaikan konsep kepada siswa.

c. Klasifikasi Media Pembelajaran

Media pembelajaran memiliki jenis yang sangat beragam. Menurut bentuk penyajian dan cara penyajiannya Susilana dan Riyana (2011: 14) mendapatkan suatu format klasifikasi yang meliputi tujuh kelompok media, yaitu: 1) kelompok kesatu; grafis, bahan cetak, dan gambar diam, 2) kelompok kedua, media proyeksi dian, 3) kelompok ketiga; media audio, 4) kelompok keempat; media audio, 5) kelompok kelima; media gambar hidup/film, 6) kelompok

keenam; media telivisi, dan

7) kelompok ketujuh; multimedia.

Klasifikasi media tidak terbatas pada bentuk dan cara penyajiannya. Media dapat diklasifikasikan dari berbagai sudut pandang. Klasifikasi media menurut Sanjaya (2012: 118-121) adalah sebagai berikut:

1) Dilihat dari sifatnya, media dibagi ke dalam:

a) Media auditif, yaitu media yang hanya dapat didengar saja, atau media yang hanya memiliki unsur suara

b) Media visual, yaitu media yang dapat dilihat saja, tidak mengandung unsur suara

(12)

c) Media audio visual, yaitu jenis media yang mengandung unsur suara juga mengandung unsur gambar yang dapat dilihat

2) Dilihat dari kemampuan jangkauannya, media dapat pula dibagi ke adalah:

a) Media yang memiliki daya liput yang luas dan serentak seperti radio dan televisi

b) Media yang mempunyai daya liput yang terbatas oleh ruang dan waktu seperti film slide, vidio, dan lain sebagainya 3) Dilihat dari cara atau teknik pamakaiannya, media dapat dibagi

ke dalam:

a) Media yang diproyeksikan seperti film slide, film stripe, transparasi, komputer dan lain sebagainya

b) Media yang tidak dapat diproyeksikan sepeti gambar, foto, lukisan, radio, dan lain sebagainya dan berbagai bentuk media grafis lainnya

4) Dilihat berdasarkan bentuk dan cara penyajiannya, media dikelompokkan dalam:

a) Kelompok media grafis, bahan cetak dan gambar diam

b) Kelompok media proyeksi, yakni media visual yang diproyeksikan atau media memproyeksikan pesan, dimana hasi proyeksinya beregerak atau memiliki unsur gerak

(13)

c) Kelompok media audio adalah media yang penyampaian pesannya hanya melalui pendengaran

d) Kelompok media audio visual diam, adalah media yang penyampaian pesannya diterima oleh pendengaran dan penglihatan, namun gambar yang dihasilkannya adalah gambar diam atau memiliki sedikit gerak

e) Kelompok film (motion picture), yaitu serangkaian gambar diam yang meluncur secara cepat dan diproyeksikan sehingga memberi kesan hidup dan begerak

f) Media televisi, adalah media yang menyampaikan pesan audiovisual dan gerak

g) Kelompok multimedia, merupakan suatu sistem penyampaian dengan menggunakan berbagai jenis bahan belajar yang membentuk suatu unit atau paket

Berdasarkan klasifikasi media yang telah dipaparkan di atas, guru dapat memilih media yang paling sesuai dengan kegiatan pembelajaan yang akan dilakukan. Masing-masing media memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Pemilihan media pembelajaran bukanlah pekerjaan yang mudah. Guru harus dapat menyesuaikan kebutuhan pembelajaran dengan media yang tersedia. Kriteria umum yang perlu diperhatikan dalam pemilihan media menurut Susilana dan Riyana (2011: 70-72), kriteria tersebut adalah sebagai berikut:

(14)

1) Kesesuaian dengan tujuan (Instructional goals)

2) Kesesuaian dengan matei pembelajaran (Instructional) 3) Kesesuaian dengan karakteristik pembelajaran atau siswa 4) Kesesuaian dengan teori

5) Kesesuaian dengan gaya belajar siswa

6) Kesesuaian dengan kondisi lingkungan, fasilitas pendukung, dan waktu yang tersedia

Lebih lanjut lagi guru sebaiknya memperhatikan dalam penggunaan media agar pengunaan media benar-benar dapat membantu guru menyampaikan pesan pembelajaran.

4. Puzzle

Puzzle merupakan kata asing yang sering digunakan oleh

masyaratat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 1158), puzzle adalah “teka-teki”. Puzzle merupakan soal yang berupa kalimat (cerita, gambar) yang dikemukakan secara samar-samar, biasanya untuk permainan atau untuk mengasah pikiran. Gambar adalah sesuatu yang diwujudkan secara visual dalam bentuk dua dimensi sebagai curahan perasaan dan pikiran (Hamalik 1980: 57).

Secara umum puzzle dapat diartikan sebagai potongan-potongan berupa kepingan tipis yang dapat dirangkai membentuk sebuah gambar atau bentuk. Oleh karena itu, media puzzle termasuk kedalam media gambar yang merupakan media visual karena hanya dapat dicerna melalui indera penglihatan saja. Diantara berbagai jenis media pembelajaran yang digunakan, puzzle adalah media yang paling umum dipakai dan termasuk media pembelajaran yang sederhana yang dapat digunakan di sekolah. Sebab puzzle disukai oleh siswa, harganya relatif terjangkau dan tidak sulit mencarinya.

(15)

Dunia anak adalah dunia bemain dan belajar. Anak-anak akan lebih mudah menangkap ilmu apabila diberikan lewat permainan, jadi anak-anak bisa sekaligus bermain dan belajar. Dunia anak-anak terdapat berbagai jenis permainan, salah satu jenis permainan yang bermanfaat bagi anak dan bersifat edukatif adalah puzzle. Puzzle merupakan permainan yang membutuhkan kesabaran dan ketekunan anak dalam merangkainya.

Apabila terbiasa bermain puzzle, anak juga akan terbiasa untuk bersikap tenang, tekun, dan sabar dalam menyelesaikan sesuatu. Kepuasan yang didapat saat seorang anak menyelesaikan puzzle pun merupakan salah satu pembangkit motifasi untuk mencoba hal-hal yang baru baginya.

5. Materi Jaring-Jaring Bangun Ruang Sederhana

Jaring-jaring bangun ruang merupakan materi pembelajaran matematika kelas V di SD yang menggunakan KTSP. Materi jaring-jaring bangun ruang pada KTSP dapat dijumpai di semester 2 dengan Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) sebagai berikut:

Tabel 2.1 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar

Standar Kompetensi Kompetensi Dasar

6. Memahami sifat-sifat bangun dan hubungan antar bangun

6.3 Menentukan jaring- jaring berbagai bangun ruang sederhana

Jaring-jaring bangun ruang merupakan gabungan dari beberapa bangun datar yang dirangkai. Setiap jaring-jaring bangun ruang bisa

(16)

dibentuk menjadi suatu bangun ruang. Masing-masing bangun ruang memiliki pola jaring-jaringnya sendiri. Satu jenis bangun ruang bisa memiliki lebih dari satu jenis jaring-jaring bangun ruang.

Siswa dikenalkan dengan bebagai pola jaring-jaring bangun ruang sederhana di kelas V semester 2. Bentuk jaring-jaring yang diajarkan diantaranya jaring-jaring kubus, balok, prisma segitiga, limas segitiga, limas segiempat, tabung dan kerucut.

Berikut ini merupakan berbagai pola-pola dari jaring-jaring bangun ruang sedehana:

a. Jaring-Jaring Kubus

Gambar 2.1 Jaring-Jaring Kubus

(17)

Gambar 2.2 Jaring-Jaring Balok

c. Jaring-Jaring Prisma Segitiga

Gambar 2.3. Jaring-Jaring Prisma Segitiga

d. Jaring-Jaring Limas Segitiga

Gambar 2.4. Jaring-Jaring Limas Segitiga

(18)

Gambar 2.5. Jaring-Jaring Limas Segiempat

f. Jaring-Jaring Tabung

Gambar 2.6 Jaring-Jaring Tabung

g. Jaring-Jaring Kerucut

Gambar 2.7 Jaring-Jaring Kerucut

(19)

Metode pembelajaran kooperatif saat ini sudah tidak asing lagi, dan telah banyak diaplikasikan dalam poses pendidikan. Slavin (2005: 4) mejelaskan arti dari pembelajaran kooperatif, yaitu:

Pembelajaran kooperatif merujuk pada berbagai macam metode pengajaran di mana para siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil untuk saling membantu satu sama lainnya dalam mempelajai materi pembelajaran. Dalam kelas kooperatif, para siswa diharapkan dapat saling membantu, saling mendiskusikan dam berargumentasi, untuk mengasah pengetahuan yang mereka kuasai saat itu dan menutup kesenjangan dalam pemahaman masing-masing.

Pembelajaran kooperatif secara umum mungkin sama dengan kerja kelompok. Akan tetapi, tidak semua kerja kelompok dianggap pembelajaran kooperatif. Roger dan David Jonhson dalam Lie (2008: 31) menjelaskan lima unsur yang harus ada dalam pembelajaran kooperatif, yaitu:

a. Saling ketergantungan positif b. Tanggung jawab perseorangan c. Tatap muka

d. Komunikasi antaranggota e. Evaluasi proses kelompok

Pembelajaran kooperatif memiliki berbagai teknik, salah satunya adalah think pair squere. Teknik think pair square membuat siswa belajar dalam kelompok yang terdiri dari 4 siswa dalam satu kelompok. Menurut Lie (2008: 57) teknik belajar mengajar berpikir-berpasangan-berempat dikembangkan Spencer Kagan

(20)

Teknik ini memberi siswa kesempatan untuk bekerja sendiri serta bekerja sama dengan orang lain. Keunggulan lain dari teknik ini adalah optimalisasi partisispasi siswa. dengan metode klasikal yang memungkinkan hanya satu siswa maju dan membagikan hasilnya untuk seluuh kelas, teknik think pair square ini memberi kesempatan sedikitnya delapan kali lebih banyak kepada setiap siswa untuk dikenali dan menunjukan partisispasi mereka kepada orang lain. Teknik ini bisa digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan anak didik (Anita Lie 2008: 57).

Pembelajaran kooperatif tipe think pair square membuat siswa belajar dalam kelompok dan berdiskusi dengan teman kelompoknya. Namun, sebelum berdiskusi siswa juga diberi kesempatan untuk belajar sendiri. Setelah berdiskusi, hasil dari diskusi tersebut kemudian dipresentasikan di depan kelas.

B. Penelitian Yang Relevan

Ada beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Penelitian yang diperoleh dijadikan pula pertimbangan oleh peneliti dalam melakukan penelitiannya. Berikut penelitian yang dilakukan oleh:

1. Huda Fitriani, Neneng Ta‟suah, Wulan Adiarti (2014) tentang “Penggunaan Media Puzzle Tiga Dimensi Untuk Meningkatkan Kecerdasan Visual Spasial Anak Usia 5-6 Tahun (Studi Deskriptif Kuantitatif di TK PGRI 25 Karangreo Semarang” yang menyimpulkan bahwa penggunaan media puzzle tiga dimensi memberikan peningkatan terhadap kecerdasan visual spasial anak usia 5-6 tahun. Kecerdasan visual spasial anak meningkat setelah anak diberikan perlakuan menggunakan puzzle tiga dimensi. Hal tersebut ditunjukkan dari hasil

(21)

perhitungan peningkatan kecerdasan visual spasial sebesar 8%. Sehingga dapat dikatakan bahwa penggunaan media puzzle tiga dimensi pada penelitian ini efektif dalam meningkatkan kecerdasan visual spasial anak usia 5-6 tahun di Taman Kanak-kanak.

2. Vinalisa Okky Hidayati (2014) yang bejudul “ Peningkatan Pembelajaran Bangun Datar Melalui Media Puzzle Pada Siswa Sekolah Dasar” yang menyimpulkan bahwa penggunaan media puzzle pada mata pelajaran Matematika materi Bangun Datar di kelas II SD Negeri Kemandungan 03 Tegal terbukti dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa, serta performansi guru selama proses pembelajaran. Hal ini ditandai dengan perolehan persentase aktivitas dan hasil belajar siswa, serta perolehan nilai performansi guru yang mengalami peningkatan pada setiap siklusnya.

Berdasarkan kedua hasil penelitian di atas terdapat persamaan antara kedua penelitian tersebut dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Persamaan yang dimaksud meliputi hasil identifikasi awal dimana kurangnya penggunaan media pembelajaran, sehingga mengakibatkan siswa merasa bosan terhadap proses pembelajarannya dan media pembelajaran

puzzle yang digunakan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran telah

terbukti dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Berbeda dengan kedua penelitian di atas, media puzzle dikembangkan oleh peneliti menjadi media untuk materi puzzle jaring-jaring bangun ruang di kelas V Sekolah Dasar untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil pembelajaran.

(22)

C. Kerangka Berpikir

Mata pelajaran matematika masih dianggap mata pelajaran yang sulit bagi siswa SD. Hal tersebut dikarenakan pembelajaran matematika yang abstrak. Dibutuhkan langkah yang tepat agar siswa dapat memahami materi pelajaran matematika. Materi matematika yang kebanyakan merupakan bentuk abstrak akan lebih mudah apabila dalam mengajarkan dibantu dengan media pembelajaran yang lebih kongkrit. Hal tersebut mengingat tahap pekembangan siswa SD adalah tahapan perkembangan operasional kongkrit.

Tahap berpikir siswa sekolah dasar usia tujuh sampai dua belas tahun adalah tahap operasional kongkret, sehingga logika berpikir siswa merupakan manipulasi dari objek atau benda kongkret. Objek kongkit tersebut berupa media yang dapat memperjelas apa yang akan disampaikan oleh guru sehingga siswa akan lebih cepat memahami materi yang diberikan. Selain itu, kerucut pengalaman Edgar Dale mengemukakan bahwa siswa akan lebih mengingat pelajaran apabila semua siswa melakukan sesuatu (what they do).

Berdasarkan observasi yang telah dilakukan dibeberapa sekolah di Kabupaten Banyumas, media pembelajaran yang digunakan pada materi jaring-jaring bangun ruang masih sangat sederhana. Media tersebut terbuat dari kertas dan hanya bisa digunakan untuk satu kali pembelajaran. Selain itu, dalam pembelajaran siswa tidak bisa aktif menemukan sendiri konsep berbagai pola jaring-jaring bangun ruang. Maka dari itu peneliti bermaksud

(23)

mengembangkan media jaring-jaring bangun ruang menggunakan puzzle. Media puzzle jaring-jaring bangun ruang nantinya dapat digunakan berulang kali karena terbuat dari bahan yang lebih awet. Selain itu, media puzzle jaring-jaring bangun ruang dapat memudahkan guru untuk menanamkan konsep kepada siswa, lebih lanjut lagi siswa dapat aktif dalam pembelajaran. Hal tersebut karena siswa akan mencari sendiri berbagai pola jaring-jaring bangun ruang menggunakan media puzzle jaring-jaring bangun ruang.

Media yang dikembangkan melalui proses validasi ahli. Setelah proses validasi selesai dan tidak ada lagi revisi, media diuji cobakan pada siswa kelas V SD. Diharapkan dengan adanya media pembelajaran puzzle jaring-jaring bangun ruang prestasi belaja siswa dapat meningkat. Berikut bagan kerangka berpikir dalam penelitian ini:

1. Tahap perkembangan kognitif siswa SD

2. Kerucut pengalaman Edgar Dale Hasil Observasi Awal Evaluasi Pengembangan Media Puzzle Jaring-Jaring Bangun Ruang Validasi Revisi Layak/ tidak layak Digunakan dalam poses pembelajaran Prestasi Belajar Meningkat

(24)

Gambar 2.8 Kerangka Berpikir D. Hipotesis Penelitian

Berdasakan masalah yang telah diuraikan di atas, maka rumusan hipotesis penelitian sebagai berikut:

1. Media puzzle jaring-jaring bangun ruang dapat dikembangkan dalam pembelajaran matematika materi jaring-jaring bangun ruang.

2. Pengembangan media puzzle jaring-jaring bangun ruang layak digunakan dalam pembelajaran matematika materi jaring-jaring bangun ruang.

3. Prestasi belajar siswa meningkat setelah menggunakan media pembelajaran puzzle jaring-jaring bangun ruang.

4. Respon guru dan respon siswa baik terhadap pembelajaran menggunakan media puzzle jaring-jaring bangun ruang pada pembelajaran matematika.

Gambar

Tabel 2.1 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar  Standar Kompetensi  Kompetensi Dasar  6
Gambar 2.1 Jaring-Jaring Kubus  b.   Jaring-Jaring Balok
Gambar 2.2 Jaring-Jaring Balok  c.   Jaring-Jaring Prisma Segitiga
Gambar 2.5. Jaring-Jaring Limas Segiempat  f.   Jaring-Jaring Tabung
+2

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian tersebut menunjukan bahwa analisis efektivitas pada ADD terlihat beragam di Kabupaten Deli Serdang, jika dilihat dari analisis lebih lanjut, hal

Selama ini, tindakan dalam usaha penanggulangan bencana dilakukan oleh pemerintah yang pelaksanaannya kemudian dilakukan bersama antara pemerintah daerah dengan

Penelitian ini bertujuan untuk membangun sistem pendukung keputusan dengan menerapkan algoritma metode Fuzzy C-Means dan TOPSIS dalam untuk mengelompokkan siswa

Jika kondisi lazim yang menentukan AIDS tidak muncul, pedoman CDC yang digunakan saat ini menentukan bahwa seseorang yang terinfeksi HIV dengan jumlah sel CD4+ kurang atau

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk mengadakan suatu penelitian tindakan kelas (PTK) yang berjudul Meningkatkan Aktivitas Dan Hasil Belajar Siswa

Pembuatan sampel kaca dilakukan setelah campuran bahan kaca selesai melalui proses milling, kemudian crucible silika yang berisi campuran bahan kaca tadi dimasukkan kedalam

Selanjutnya dengan memperhatikan aspirasi masyarakat yang dituangkan dalam Surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Jayawijaya Nomor

Hal ini berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya bahwa kelompok tikus perlakuan yang diberikan intervensi olahraga secara signifikan dapat menurunkan kolesterol total,