• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan komunikasi interpersonal yang efektif dan organizational citizenship behavior pada karyawan bagian produksi fitting PT. Wavin Duta Jaya - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Hubungan komunikasi interpersonal yang efektif dan organizational citizenship behavior pada karyawan bagian produksi fitting PT. Wavin Duta Jaya - USD Repository"

Copied!
174
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh:

Indri Novianto

NIM : 039114074

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh:

Indri Novianto

NIM : 039114074

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2009

(3)
(4)
(5)

Nine is not enough, ten is not everything.

The time you reach one hundred, you know then what

two hundred means.

Tetesan air dapat membentuk sebuah sungai,

kumpulan butiran beras bisa memenuhi lumbung.

Jangan meremehkan hati nurani sendiri, jangan pernah berpikir

untuk tidak melakukannya walau perbuatan itu sangat kecil.

(Master Shih Cheng Yen)

Jalan buntu dalam hidup merupakan awal

Allah bekerja dalam hidup kita.

(6)

Karya ini ku persembahkan kepada:

Tuhan Yesus Kristus, You are my all in all

Bapak dan Ibuku yang dengan penuh kesabaran mendidik dan

membesarkanku hingga aku bisa mengerti arti hidup.

Kakak dan adikku yang selalu memberikan dorongan dan semangat

Dik Fitriani tercinta yang selalu ada di sampingku dengan penuh cinta

Sahabat-sahabatku yang selalu menjadi tempat untuk berbagi

(7)
(8)

BAGIAN PRODUKSI FITTING PT.WAVIN DUTA JA

YA

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara komunikasi interpersonal yang efektif terhadap organizational citizenship behavior. Hipotesis dalam penelitian ini adalah adanya hubungan positif antara komunikasi interpersonal yang efektif dan organizational citizenship behavior.

Variabel-varibel dalam penelitian ini adalah komunikasi interpersonal yang efektif dan organization citizenship behavior yang memiliki lima dimensi menurut teori Allison dkk. (2001). Subyek dalam penelitian ini adalah 86 pekerja pada bagian produksi fitting PT Wavin Duta Jaya, dengan posisi sebagai division head, supervisor, dan operator, yang berusia antara 20-45 tahun, dengan masa kerja maksimum 10 tahun dan tingkat pendidikan mulai dari SMA atau STM sampai dengan sarjana muda. Pengumpulan data dilakukan dengan menyebar skala Komunikasi Interpersonal yang Efektif dan skala Organizational Citizenship Behavior.

Data penelitian dianalisa menggunakan teknik korelasi Produk Moment

dari Pearson dengan menggunakan SPSS for Windows version 16.00. Hasil perhitungan dari hubungan antara efektifitas komunikasi interpersonal dan OCB menunjukkan koefisien korelasi sebesar r=0,473 (p<0,01) pada dimensi altruism, r=0,439 (p<0,01) pada dimensi civic virtue, r=0,424 (p<0,01) pada dimensi

conscientiousness, r=0,640 (p<0,01) pada dimensi courtesy, dan r=0,546 (p<0,01) pada dimensi sportsmanship. Hal ini berarti bahwa hipotesis dari penelitian ini diterima.

Kata kunci : Komunikasi Interpersonal yang Efektif, Organizational Citizenship Behavior

(9)

AT EMPLOYEES IN PRODUCTION FITTING DEPARTMENT OF PT. WAVIN DUTA JAYA

The research aimed to know the relationship between Interpersonal Communication Effectiveness and Organizational Citizenship Behavior. This research hypothesis stated here is a positive relationship between interpersonal communication effectiveness and organizational citizenship behavior.

The research variables are Interpersonal Communication Effectiveness and Organizational Citizenship Behavior. Organizational Citizenship Behavior (OCB) is divided into five dimensions according the theory of OCB by Allison, et. al (2001). The subjects of this research were 86 employees in fitting division at PT. Wavin Duta Jaya with the positions as division head, supervisor, and operator, aged between 20-45 year old, tenure between 0-10 years, graduated from three year Diploma of Science, Senior High School or Technical School of Engineering. The data collection was done through scale of Interpersonal Communication Effectiveness scale and Organizational Citizenship Behavior.

The data were analyzed using technique of Product Moment Correlation helped by SPSS for Windows version 16.00. The results of relationship between Interpersonal Communication Effectiveness and Organizational Citizenship Behavior in five dimensions respectively are r=0,473 (p<0,01) for altruism, r=0,439 (p<0,01) for civic virtue, r=0,424 (p<0,01) for conscientiousness, r=0,640 (p<0,01) for Courtesy, and r=0,546 (p<0,01) for sportsmanship. It means that the hypothesis is accepted.

Keyword : Interpersonal Communication Effectiveness, Organizational Citizenship Behavior

(10)
(11)

rahmat dan cinta kasihnya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Proses pernyusunan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari banyak pihak. Maka pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Tuhanku Yesus Kristus yang selalu memberikan segalanya yang terbaik bagiku sehingga aku bisa bertumbuh dan berkarya.

2. Bapak P. Eddy Suhartanto S.Psi., M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma dan Dosen Pembimbing. Terimakasih atas segala bantuan, masukan, dukungan dan waktunya selama penulis menjalani penyusunan skripsi dan perkuliahan.

3. Ibu P. Henrietta P.D.A.D.S. S.Psi., M.Si., selaku Dosen Penguji yang dengan sabar meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran kepada penulis untuk menyempurnakan penyusunan skripsi.

4. Romo Dr. A. Priyono Marwan, S.J., selaku dosen penguji skripsi yang telah banyak memberikan masukan bagi penulis untuk menyempurnakan penyusunan skripsi.

5. Ibu Agnes Indar Etikawati S.Psi., M.Si., Psi. selaku Dosen Pembimbing

Akademik yang telah memberikan dukungan dan bantuanya selama penulis menjalani kuliah.

(12)

7. Seluruh karyawan Fakultas Psikologi Sanata Dharma: Mbak Nanaik, Mas Gandung, Pak Gik, Mas Doni, Mas Muji, terima kasih atas segala bantuannya. 8. Bapak Taofik Hidayat selaku Personel Dept. Head, PT. Wavin Duta Jaya

yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian di PT. Wavin.

9. Bapak Romanus Ardi Judhananto selaku Kepala Devisi Produksi Fitting PT. Wavin Duta Jaya yang telah mendukung dan membantu penulis dalam melakukan penelitian dilapangan hingga penelitian ini dapat selesai.

10. Bapak dan Ibuku tercinta, yang dengan sabar selalu memberikan nasehat, dukungan serta memberikan kasih sayang yang begitu tulus. Terima kasih atas segalanya. Semoga Tuhan Yesus memberkati dan melindungi Bapak dan Ibu. 11. Dik Anastasia Fitriani tercinta, terima kasih atas cinta, kasih sayang, dukungan

semangat yang tak henti-hentinya dan pengorbananmu yang total untukku. Semoga berkat dan kasih Tuhan Yesus selalu menyertaimu. Luv U...

12. Mas Ardi, Mbak Lola dan keponakanku yang lucu Hizkia dan Kezia, Trimakasih atas dorongan semangat dan bantuan yang tak ternilai. Semoga Bapa membalas semua budi baik Mas dan Mbak sekeluarga.

13. Kakakku Indraswono Eko Saputro dan adikku Dian Indraswari. Terimakasih

atas segala upayanya dalam memberi semangat dan bantuan sehingga aku dapat menyelesaikan Skripsi ini.

(13)

Diaz, Diana, Galih terima kasih banyak atas dukungan dan persahabatan yang hangat selama kuliah.

16. Seluruh teman-teman Psikologi Sanata Dharma, yang telah membantu dan

menjadi tempat berbagi. Sukses terus buat kalian semua!

17. Semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Terima kasih atas dukungan dan bantuannya.

Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Maka dari itu, kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat diharapkan demi semakin sempurnanya skripsi ini. Akhir kata punulis berharap skripsi ini mampu memberikan manfaat secara umum bagi para pembaca dan secara khusus kepada rekan-rekan Fakultas Psikologi

Penulis

Indri Novianto

(14)

HALAMAN PERSETUJUAN... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

MOTTO ... iv

PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT... viii

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI... xiii

DAFTAR TABEL... xvi

DAFTAR BAGAN ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN... xviii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

(15)

1. Definisi Komunikasi Interpersonal ... 8

2. Komponen Dasar Komunikasi Interpersonal ... 12

3. Komunikasi Interpersonal yang Efektif ... 16

B. Organizational Citizenship Behavior (OCB)... 22

1. Definisi OCB... 22

2. Dimensi – dimensi OCB ... 24

3. Faktor – faktor yang mempengaruhi OCB... 25

4. Implikasi OCB ... 29

C. Hubungan Efektifitas Komunikasi Interpersonal dan OCB... 31

D. Hipotesis... 35

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 36

A. Jenis Penelitian... 36

B. Identifikasi Variabel Penelitian... 36

C. Definisi Operasional ... 36

D. Subyek... 39

E. Prosedur Penelitian ... 39

F. Metode Pengumpulan Data ... 40

G. Pertanggungjawaban Alat Ukur ... 46

H. Metode dan Teknik Analisis Data... 53

I. Profil PT Wavin Duta Jaya ... 55

(16)

B. Hasil Penelitian ... 59

C. Pembahasan... 66

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 74

A. Kesimpulan ... 74

B. Keterbatas Penelitian... 76

C. Saran... 76

DAFTAR PUSTAKA... 79

LAMPIRAN... 83

(17)

Sebelum uji coba ... 43

Tabel 2. Distribusi Penyebaran Aitem Skala OCB Sebelum Uji Coba ... 46

Tabel 3. Distribusi Aitem Skala Komunikasi Interpersonal yang Efektif Sebelum Uji Coba ... 48

Tabel 4. Distribusi Aitem Skala Komunikasi Interpersonal yang Efektif Sesudah Uji Coba ... 49

Tabel 5. Distribusi Penyebaran Aitem Skala OCB Sebelum Uji Coba ... 49

Tabel 6. Distribusi Penyebaran Aitem Skala OCB Sesudah Uji Coba ... 51

Tabel 7. Hasil Reliabilitas Skala ... 52

Tabel 8. Data Subyek penelitian ... 58

Tabel 9. Deskripsi Data Penelitian ... 59

Tabel 10. Hasil Uji Normalitas ... 61

Tabel 11. Hasil Uji Linearitas ... 62

Tabel 12. Hasil Uji Hipotesis ... 63

(18)

Bagan 1. Hubungan Efektifitas Komunikasi Interpersonal dan OCB ... 34 Bagan 2. Struktur Organisasi Divisi Fitting PT. Wavin Duta Jaya ... 57

(19)

2. Lampiran data setelah uji coba ... 109 3. Skala Penelitian ... 145 4. Surat Ijin Penelitian... 155

(20)

A. Latar Belakang Masalah

Krisis keuangan global pada bulan Oktober tahun 2008 lalu telah

menyebabkan beberapa perusahaan mengambil langkah efisiensi guna

mempertahankan kelangsungan organisasinya. Sektor sumber daya manusia juga

tidak lepas dari tuntutan efisiensi. Toyota Motor Co. sebagai perusahaan raksasa

otomotif akan merumahkan 3000 karyawanya pada bulan Maret 2009. Kebijakan

ini diambil akibat kondisi keuangan yang semakin memburuk (www.kompas.com,

2008).

Tetapi tidak semua organisasi mengambil kebijakan seperti Toyota. Tim

Honda F1 atau sekarang dikenal dengan nama Brawn GP adalah contoh lain

organisasi yang mengambil strategi berbeda. Krisis ekonomi juga menyebabkan

perusahan Honda jepang mengalami kesulitan ekonomi untuk membiayai tim F1

nya. Langkah yang diambil untuk menyelamatkan tim ini adalah dengan

memotong gaji para karyawanya baik dari pucuk pimpinan sampai karyawan yang

berada di level bawah untuk menghindari PHK. Karyawan Brawn GP sendiri

dapat memaklumi kebijakan ini dan tetap bekerja keras demi memajukan tim.

Bahkan pembalapnya Jenson Buton rela gajinya dipangkas habis-habisan hingga

62,5% dan membiayai seluruh biaya akomodasi dan perjalanan sepanjang musim

2009 dari dana pribadinya demi kehidupan tim kebanggaan mereka

(21)

Perilaku karyawan tim Brawn GP dan pembalapnya yang merelakan

kepentingan pribadinya demi eksistensi organisasninya merupakan sebagian kecil

contoh perilaku extra-role yang memberikan kontribusi positif bagi organisasi.

Perilaku extra-role ini tidak terdeskripsikan secara formal tetapi sangat

diharapkan muncul di dalam organisasi karena memiliki kontribusi yang sama

pentingnya dengan perilaku in-role (Hui dkk., 2000).

Perilaku extra-role merupakan perilaku yang sangat diharapkan dan dihargai

ketika dilakukan oleh karyawan tanpa ada deskripsi kerja formal yang mampu

meningkatkan efektifitas dan produktifitas organisasi. Perilaku dimana karyawan

mau bekerja tidak hanya pada apa yang menjadi tugasnya (intra-role), namun

melebihi apa yang menjadi tuntutan tugasnya (extra-role) tanpa mendapatkan

konpensasi atau penghargaan secara formal sering disebut juga sebagai

Organizational Citizenship Behavior yang selanjutnya disingkat menjadi OCB

(Organ, 1997). OCB juga merupakan istilah yang digunakan untuk

mengidentifikasi perilaku karyawan sehingga ia juga dapat disebut sebagai

“anggota yang baik” (Sloat dalam Wijaya, 2000). Karyawan yang baik (good

citizens) cenderung menampilkan OCB. Organisasi tidak akan berhasil dengan

baik atau tidak dapat bertahan tanpa ada anggota-anggotanya yang bertindak

sebagai “good citizens” (Markoczy & Xin, 2002).

OCB lebih dipandang sebagai manifestasi seorang karyawan dalam

berkehidupan sosial di tempat kerja. OCB merupakan bentuk kegiatan sukarela

dari anggota organisasi yang mendukung fungsi organisasi sehingga perilaku itu

(22)

tindakan-tindakan yang menunjukkan sikap tidak mementingkan diri sendiri dan perhatian

pada kesejahteraan orang lain (Elfina dalam Hardaningtyas, 2004).

Perusahaan yang memiliki kinerja tinggi dan banyak melibatkan kerja tim

tentunya akan sangat diuntungkan apabila memiliki karyawan yang cenderung

menampilkan OCB. Perilaku citizenship behavior memiliki berberapa manfaat

dalam kehidupan organisasi, misalnya perilaku menolong rekan kerja lain akan

mempercepat penyelesaian tugas rekan kerjanya, pada gilirannya akan

meningkatkan produktivitas rekan kerja. Selain itu, karyawan yang menampilkan

perilaku civic virtue ( partisipasi aktif karyawan dalam memikirkan kehidupan

organisasi) akan membantu manager mendapatkan saran dan atau umpan balik

yang berharga dari karyawan tersebut untuk meningkatkan efektivitas unit kerja

(Allison, 2001).

Perilaku saling tolong menolong (altruism) antara sesama karyawan dalam

menyelesaikan pekerjaan tanpa melibatkan bantuan manager, akan membuat

manager mampu memanfaatkan waktunya untuk melakukan tugas lain. Karyawan

yang memiliki conscientiousness (mempunyai perilaku in-role yang melebihi

standart yang telah disyaratkan), akan sangat membantu organisasi dalam

mencapai target produksi yang telah ditentukan, dengan jumlah karyawan yang

lebih sedikit. Jadi OCB juga berperan dalam menghemat sumber daya yang

dimiliki manajemen dan organisasi secara keseluruhan (Allison, 2001).

Munculnya perilaku altruistik pada karyawan memang tidak selalu

disebabkan oleh hal-hal yang hanya menguntungkan dirinya seperti upah yang

(23)

yang mempengaruhi seorang karyawan sehingga karyawan bersedia menampilkan

perilaku tersebut. George dan Brief (1992) berpendapat kualitas interaksi antara

sesama karyawan dan iklim kelompok kerja yang positif akan mempengaruhi

suasana hati seseorang dalam membuat keputusan melakukan tindakan membantu

orang lain. Selain itu kualitas interaksi yang baik antara atasan dan karyawan juga

akan meningkatkan faktor-faktor kepuasan kerja karyawan, produktivitas, dan

kinerja karyawan. Riggio (1990) menyatakan bahwa apabila interaksi

atasan-bawahan berkualitas tinggi maka seorang atasan akan berpandangan positif

terhadap bawahannya sehingga bawahannya akan merasakan bahwa atasannya

banyak memberikan dukungan dan motivasi. Hal ini meningkatkan rasa percaya

dan hormat bawahan pada atasannya sehingga mereka termotivasi untuk

melakukan “lebih dari” apa yang diharapkan oleh atasannya.

Interaksi yang baik antara sesama karyawan mampu menciptakan hubungan

yang bersifat asosiatif. Interaksi yang berkualitas antara karyawan dapat terjadi

apabila diantara karyawan terdapat komunikasi yang efektif (Hermawan, 2008).

Karyawan yang memiliki kemampuan berkomuniksai dan berempati dengan baik

diharapkan mampu memahami orang lain dan menyelaraskan nilai-nilai individual

yang dimilikinya dengan nilai-nilai yang dianut lingkungannya sehingga muncul

perilaku nice yaitu sebagai good citizen (Hardaningtyas, 2004).

Komunikasi merupakan proses universal dan mendasar sehingga manusia

tidak dapat lepas dari komunikasi. Dengan berkomunikasi seseorang dapat

menyampaikan ide-ide yang ia miliki, berhubungan, mengevaluasi,

(24)

dan mengungkapkan diri kepada orang lain. Komunikasi yang dilakukan oleh

seorang manusia dan manusia yang lain dapat dikatakan sebagai komunikasi antar

pribadi atau komunikasi interpersonal. Komunikasi interpersonal dapat terjadi

dimana saja dan tidak harus dalam situasi kerja yang resmi. Menurut Effendy

(1986) komunikasi interpersonal merupakan sarana yang paling efektif untuk

merubah sikap, pendapat, atau perilaku manusia dalam hubungannya dengan

proses dialogis.

Pada proses komunikasi interpersonal dilakukan pemahaman komunikasi

dan hubungan interpersonal dari sudut individu, yang selanjutnya disebut dengan

proses psikologis. Proses psikologis merupakan bagian penting dalam komunikasi

interpersonal, karena dalam komunikasi interpersonal individu mencoba

menginterpretasikan makna yang menyangkut diri sendiri, diri orang lain dan

hubungan yang terjadi. Proses psikologis dapat berpengaruh pada komunikasi dan

hubungan interpersonal, karena individu–individu menggunakan sebagai

pedoman untuk bertindak dan berperilaku (Eko, 2008).

Proses Komunikasi interpersonal yang efektif memiliki sifat konvergen.

Komunikasi konvergen merupakan proses mencipta dan saling berbagi informasi

mengenai realita diantara dua partisipan komunikasi atau lebih agar dapat dicapai

saling pengertian dan kesepakatan makna (meaning) antara satu dengan yang lain.

Komunikasi melibatkan dua hal yaitu adanya keterlibatan realitas fisik dan

maupun psikologis dalam menanggapi sebuah informasi. Masing-masing

partisipan akan melakukan perceiving (percerapan), kemudian berusaha

(25)

(pemahaman), dan selanjutnya timbul believing (keyakinan) yang menimbulkan

action atau tindakan. Kesamaan yang terjadi pada setiap partisipan komunikasi

akan menghasilkan tindakan kolektif ( Eko, 2008).

Komunikasi interpersonal yang efektif memungkinkan seorang karyawan

untuk memahami dan menjalankan tugasnya sesuai dengan nilai-nilai perusahaan.

Menurut De Vito (1995) Komunikasi interpersonal yang efektif tercermin dalam 5

karakteristik, yaitu keterbukaan, empati, sikap mendukung, sikap positif, dan

kesetaraan. Komunikasi interpersonal antara anggota organisasi yang memiliki

karakteristik terbuka mampu membantu memberikan pemahaman yang sama

kepada setiap karyawan mengenai misi dan visi perusahaan. Selain itu adanya

sikap empati dan sikap mendukung akan membantu karyawan dalam memahami

pola pikir dan pandangan rekan kerja maupun atasan dalam mencari kesamaan

makna.

Dengan tercapainya kesamaan makna diharapkan akan terwujud tindakan

kolektif yang sama, sesuai dan bersifat asosiatif. Komunikasi interpersonal yang

efektif diharapkan membantu karyawan dalam mewujudkan perilaku kolektif

baik yang bersifat in role maupun extra role yang perpedoman pada visi, misi,

(26)

B. Perumusan Masalah

Permasalahan yang mendasari dalam penelitian ini adalah “apakah ada

hubungan yang signifikan antara komunikasi interpersonal yang efektif dan

organizational citizenship behavior?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan yang

signifikan antara komunikasi interpersonal yang efektif dan organizational

citizenship behavior.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan mampu menambah kajian atau bahasan teoritis

tentang bidang Psikologi Industri dan Organisasi mengenai hubungan

organizational citizenship behavior dan komunikasi interpersonal yang

efektif.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan bagi

perusahaan sebagai gambaran mengenai hal-hal yang berkaitan dengan

masalah perilaku karyawan ditempat kerja secara umum dan OCB khususnya,

sehingga mampu digunakan sebagai bahan refleksi dalam organisasi

(27)

A. Komunikasi Interpersonal

1. Definisi Komunikasi Interpersonal

Komunikasi merupakan aktifitas dasar individu dalam organisasi.

Setiap individu dapat berhubungan, menyampaikan ide-ide, mengevaluasi,

mempertimbangkan berbagai keputusan yang akan diambil, mengenal

orang lain, dan mengungkapkan diri kepada orang lain dengan cara

berkomunikasi. Dengan berkomunikasi, seseorang dapat membentuk

hubungan dengan orang lain dan mengkoordinasi lingkungannya (De Vito,

1995).

Kata komunikasi berasal dari bahasa latin “communicatio” yang

berarti pertukaran pikiran. Komunikasi yaitu proses pertukaran pesan

verbal maupun non verbal antara si pengirim pesan dan si penerima pesan

untuk mengubah tingkah laku (Muhammad, 2007). Sedangkan menurut

C.I Hauland (dalam Agata, 2006) komunikasi adalah suatu proses dimana

individu atau komunikator mengirimkan stimuli dalam bentuk simbol

verbal untuk mengubah perilaku dari individu lain atau komunikate.

Berdasarkan beberapa definisi di atas terdapat beberapa komponen

pokok yang menjadi inti dalam melakukan proses komunikasi seperti

mengirim dan menerima stimuli, dilakukan oleh dua orang atau lebih, dan

(28)

komunikasi adalah proses pengiriman stimuli berupa simbol verbal

maupun non verbal yang dilakukan lebih dari satu orang dengan tujuan

untuk merubah perilaku.

Proses komunikasi merupakan bagian dari proses sosial selalu

diawali dengan proses reaksi kita atas sumber pesan yang ada di sekitar

lingkungan kita. Perbedaan personal yang ada dalam setiap individu

mempengaruhi perbedaan persepsi dalam memahami stimuli dimana akan

menciptakan interptretasi yang berbeda. Guna menciptakan keselarasan

interpretasi dari individu yang memiliki perbedaan personalitas perlu

adanya komunikasi yang lebih bersifat personal.

Roger (dalam Liliweri, 1991) mengemukakan bahwa komunikasi

antar pribadi merupakan komunikasi dari mulut ke mulut yang terjadi

dalam interaksi tatap muka antara beberapa pribadi. Selain itu De Vito

(1995) juga mendefinisikan komunikasi interpersonal merupakan

pengiriman pesan-pesan dari seseorang dan diterima oleh orang lain, atau

sekelompok orang dengan efek umpan balik yang langsung. Ditambahkan

juga oleh Muhammad (2007) komunikasi interpersonal adalah proses

pertukaran informasi diantara seseorang dengan paling kurang seorang

lainnya atau biasanya diantara dua orang yang dapat langsung diketahui

balikannya. Dari beberapa definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa

komunikasi interpersonal adalah proses pengiriman dan pertukaran

informasi yang terjadi diantara dua orang atau lebih secara langsung

(29)

Pada proses komunikasi interpersonal dilakukan pemahaman

komunikasi dan hubungan interpersonal dari sudut individu, yang

selanjutnya disebut dengan proses psikologis. Proses psikologis

merupakan bagian penting dalam komunikasi interpersonal, karena dalam

komunikasi interpersonal individu mencoba menginterpretasikan makna

yang menyangkut diri sendiri, diri orang lain dan hubungan yang terjadi.

Proses psikologis dapat berpengaruh pada komunikasi dan hubungan

interpersonal, karena individu–individu menggunakan sebagai pedoman

untuk bertindak dan berperilaku (Eko, 2008).

Dalam melakukan proses komunikasi interpersonal, komunikator

berusaha memprediksi efek perilaku komunikasinya dari si penerima

pesan atau komunikan yang memberikan reaksi. Jika menurut

komunikator reaksi komunikan menyenangkan atau positif, maka ini suatu

pertanda bagi komunikator bahwa komunikasinya berhasil (Budyatna,

1999).

Komunikasi interpersonal memiliki karakteristik tertentu, seperti

apa yang dikemukakan oleh Judy C. Person (dalam Eko, 2008).

Komunikasi interpersonal bersifat transaksional; tindakan pihak–pihak

yang berkomunikasi secara serempak dalam menyampaikan dan

menerima pesan. Komunikasi interpersonal merupakan rangkaian

tindakan, kejadian dan kegiatan yang terjadi secara terus–menerus.

Komunikasi interpersonal bukan sesuatu yang statis tetapi bersifat

(30)

selalu dalam keadaan berubah baik pelaku komunikasi, pesan, situasi,

maupun lingkungannya. Komunikasi interpersonal juga menyangkut

aspek–aspek isi pesan dan hubungan antar pribadi, melibatkan dengan

siapa kita berkomunikasi dan bagaimana hubungan dengan partner.

Arah komunikasi yang terjadi dalam komunikasi interpersonal

adalah komunikasi konvergen. Komunikasi konvergen merupakan proses

mencipta dan saling berbagi informasi mengenai realita diantara dua

partisipan komunikasi atau lebih agar dapat di capai saling pengertian dan

kesepakatan makna (meaning) antara satu dengan yang lain. Komunikasi

melibatkan dua hal yaitu adanya keterlibatan realitas fisik dan maupun

psikologis dalam menanggapi sebuah informasi. Masing-masing partisipan

akan malakukan perceiving (percerapan), kemudian berusaha

menginterpretasikan informasi tersebut sehingga terjadi understanding

(pemahaman), dan selanjutnya timbul believing (keyakinan) yang

menimbulkan action atau tindakan. Kesamaan yang terjadi pada setiap

partisipan komunikasi akan menghasilkan tindakan kolektif ( Eko, 2008).

Menurut Kincaid’s Convergence Model seperti yang diungkapkan

oleh Eko (2008), komunikasi didefinisikan sebagai “Process in which

participants create and share information with one another in order to

reach a mutual understanding”. Tujuan utama komunikasi yang bersifat

konvergen adalah mendekatkan pengertian masing–masing ke dalam suatu

(31)

Konvergen adalah kecenderungan dua atau lebih individu untuk bergerak

menuju satu tujuan.

Pada organisasi, konvergensi juga ditentukan oleh intensitas

komunikasi diantara pimpinan dan karyawan atau antara sesama karyawan

dalam organisasi. Semakin sering terjadi komunikasi interpersonal akan

semakin kuat ke arah kecenderungan konvergensi. Komunikasi yang

berakhir dengan konvergensi akan memiliki pengaruh terhadap perilaku

karyawan dalam bekerja. Semakin tinggi terjadinya intensitas konvergensi

dimana pimpinan dan karyawan membentuk ke arah saling pengertian dan

sangat menolong dalam mengembangkan suatu relasi yang saling

memuaskan sehingga kerja sama akan semakin efektif (Jefkins, 1995).

2. Komponen Dasar Komunikasi Interpersonal

Komunikasi tidak terjadi secara linier atau atau searah melainkan

berkesinambungan dimana terjadi pergantian peran dan fungsi antara

sumber dan penerima. Proses komunikasi terjadi karena adanya

komponen-komponen dasar yang saling berkaitan. Menurut De Vito

(1995) komponen dasar komunikasi interpersonal adalah sebagai berikut:

a. Pengirim Pesan dan Penerima Pesan

Pengirim dan penerima pesan merupakan suatu kesatuan dalam

proses komunikasi. Pengirim pesan dan penerima pesan adalah

individu yang terlibat dalam proses komunikasi. Istilah pengirim dan

penerima pesan sebagai suatu kesatuan yang tak terpisahkan untuk

(32)

komunikasi interpersonal akan berperan sebagai sumber (pengirim)

juga sekaligus menjadi penerima.

b. Kodifikasi dan Dekodifikasi

Kodifikasi dapat diartikan sebagai tindakan memproduksi pesan.

Pesan bersumber dari gagasan-gagasan yang dituangkan dengan

menggunakan kode-kode tertentu melalui gelombang suara atau

dengan menuliskannya secara visual. Proses diatas dikenal dengan

berbicara dan menulis. Sedangkan dekodifikasi merupakan proses

memahami dan mengerti isi pesan yang diterima dari pihak lain.

c. Kompetensi

Kompetensi diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam

menyampaikan pesan secara efektif. Kompetensi mencakup hal-hal

seperti pengetahuan tentang peran lingkungan (konteks) dalam

mempengaruhi kandungan (content) dan bentuk pesan komunikasi.

Istilah kompetensi juga berhubungan dengan kemampuan berbahasa

dan kemampuan mengenai peraturan-peraturan untuk interaksi

komunikasi.

d. Pesan

Segala sesuatu yang ingin disampikan kepada pihak lain disebut

sebagai pesan. Pesan dapat berupa ide, informasi, harapan himbauan,

kepercayaan dan lain sebagainya, yang ingin disampaikan atau di

komunikasikan kepada pihak lain. Pesan dapat berupa verbal maupun

(33)

(unintentional). Pesan verbal adalah semua jenis komunikasi lisan

yang menggunakan satu kata atau lebih. Hampir semua rangsangan

wicara (communicative stimuli) yang disadari, masuk kedalam

kategori pesan verbal yang disengaja; yaitu usaha-usaha yang

dilakukan secara sadar untuk berhubungan dengan orang lain secara

lisan. Sedangkan pesan verbal tak disengaja adalah sesuatu yang

dikatakan tanpa bermaksud mengatakan hal tersebut. Pesan nonverbal

meliputi semua pesan yang disampaikan tanpa kata–kata.

e. Saluran

Saluran adalah media yang dilalui pesan atau dengan arti lain

jalan yang dilalui pesan dari pengirim pesan hingga ke penerima pesan.

Channel yang biasanya digunakan dalam proses komunikasi

interpersonal adalah gelombang suara yang dapat kita dengar. Pada

umumnya saluran yang dipakai dalam proses komunikasi interpersonal

lebih dari satu. Dua, tiga, atau empat saluran yang berbeda biasanya

digunakan secara simultan.

f. Noise

Noise atau gangguan adalah segala sesuatu yang mendistorsi

pesan yang menyebabkan timbulnya perbedaan persepsi antara

pengirim dan penerima pesan. Noise atau gangguan ini dapat

disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor pertama yaitu faktor fisik atau

interferensi dengan transmisi fisik isyarat atau pesan. Faktor yang

(34)

atau mental, dan termasuk juga prasangka yang bisa terdapat pada

pengirim maupun penerima pesan yang mengakibatkan gangguan

dalam memproses dan menerima informasi. Sedangkan faktor yang

terakhir adalah faktor semantik. Gangguan semantik terjadi bilamana

pengirim pesan dan penerima pesan memberi arti yang berlainan.

g. Konteks

Terbagi menjadi tiga, yaitu:

i. Dimensi Fisik, lingkungan dimana proses komunikasi itu terjadi

ii. Dimensi Temporal, mencakup hitungan waktu disaat proses

komunikasi terjadi.

iii. Dimensi Sosial Psikologis, termasuk didalamnya status sosial

antara komunikan dan komunikator, norma masyarakat dan

sebagainya.

h. Efek

Efek komunikasi dirasakan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam

proses komunikasi tersebut dan biasanya bersifat personal

i. Etika

Setiap proses komunikasi akan menghasilkan efek kepada

komunikan maupun komunikator, maka haruslah ada etika yang

mengatur dalam komunikasi. Etika dalam komunikasi sangat rumit dan

terkait dengan falsafah hidup setiap individu, sehingga sukar untuk

(35)

dikatakan etis apabila menjamin kebebasan memilih seseorang dengan

memberikannya dasar informasi yang akurat.

3. Komunikasi Interpersonal yang Efektif

Manusia adalah mahluk sosial yang tidak mungkin lepas dari

komunikasi interpersonal dalam kesehariannya. Komunikasi sangat

berperan penting dalam kehidupan kita dan sangat membantu kita dalam

mencapai kesuksesan hidup. Komunikasi interpersonal yang efektif akan

membantu dalam membangun dan meningkatkan kualitas relasi antara

pihak-pihak yang terlibat dalam proses komunikasi. Disamping itu

Johnson & Johnson (1994) menegaskan bahwa komunikasi interpersonal

yang efektif haruslah mengusahakan pesan yang dikirimkan akan sesuai

dengan pesan yang di terima

Komunikasi interpersonal yang efektif menurut De Vito (1995)

tercermin dalam 5 karakteristik sebagai berikut:

a. Keterbukaan

Pada dasarnya keterbukaan mengacu pada 3 aspek dari

komunikasi interpersonal. Pertama adalah sikap untuk membuka diri

dan bersedia membagikan informasi mengenai diri, asalkan

pengungkapan diri ini patut. Kesediaan membuka diri bukan berarti

seseorang harus membukakan seluruh riwayat hidupnya, akan tetapi

keterbukaan yang dimaksud yaitu sedia berbagi informasi dan

perasaan-perasaan yang dimiliki kepada orang lain sehingga atmosfir

(36)

dilakukan oleh satu pihak saja tanpa adanya keterbukaan dari pihak

lain akan mengakibatkan proses komunikasi berjalan tidak efektif.

Aspek yang ke dua mengacu pada kesediaan komunikator untuk

bereaksi secara jujur terhadap stimulus yang datang. Orang yang tidak

kritis dan tidak tanggap akan membuat proses komunikasi terkesan

menjenuhkan, namun respon yang berlebihan juga akan

mengakibatkan komunikasi tersebut tidak efektif. Aspek yang ke tiga

lebih menyangkut pada “kepemilikan” perasaan dan pemikiran. Pada

aspek ini lebih mengacu pada keberanian seseorang untuk memiliki

dan mengakui perasaan yang ditunjukkan kepada orang lain dan berani

bertanggung jawab atas pikiran dan perasaan yang di lontarkan.

b. Empati

Komunikasi interpersonal yang baik perlu didukung oleh sikap

empati dari pihak2 yang berkomunikasi. Berempati dengan orang lain

berarti merasakan apa yang orang lain rasakan, mencoba memahami

dari sudut pandang orang lain, dan memahami cara berpikir orang lain.

Dengan kata lain berempati adalah merasakan sesuatu seperti yang

orang lain mengalaminya (De Vito, 1997). Empati dianggap sebagai

memahami orang lain yang tidak mempunyai arti emosional bagi kita

(Freud, 1951). Kemampuan berempati sangat sulit ditingkatkan karena

setiap individu memiliki cara pandang, prinsip yang berbeda-beda

sehingga dalam proses berkomunikasi sering kali terjebak dalam

(37)

berempati adalah dengan menghindari keinginan untuk mengevaluasi,

menilai, menafsirkan, dan mengkritik lawan bicara atau terbawa dalam

emosi topik pembicaraan. Apabila reaksi ini muncul, maka akan

dikhawatirkan menghambat pemahaman.

Selain cara diatas, cara yang kedua adalah dengan mengenal

lebih banyak karakteristik individu tersebut, termasuk keinginannya,

pengalamannya, kemampuannya dan sebagainya. Proses ini akan

mempermudah pengirim pesan untuk melihat dan merasakan seperti

yang pihak lain rasakan. Cara yang terakhir adalah menggunakan sudut

pandang lawan bicara dalam memahami suatu masalah yang terjadi.

Empati yang akurat melibatkan kepekaan, baik kepekaan terhadap

perasaan yang ada maupun fasilitas verbal untuk mengkomunikasikan

suatu pegertian.

c. Sikap Mendukung

Hubungan interpersonal yang efektif adalah hubungan dimana

terdapat sikap mendukung (supportiveness). Komunikasi yang terbuka

dan penuh empati tidak akan dapat berlangsung dalam suasana yang

tidak mendukung. Menurut Jack Gibb dalam ( De Vito, 1997) sikap

mendukung dapat diperlihatkan dengan cara sebagai berikut:

i. Bersikap deskriptif bukan evaluatif.

Seseorang akan merasa nyaman apabila mempersepsikan

komunikasi sebagai sarana dalam berbagi informasi atau uraian

(38)

ancaman. Komunikasi yang bersifat menilai sering kali memaksa

individu untuk bersikap defensif. Sikap defensif menjadikan

komunikasi interpersonal menjadi tidak efektif karena individu

yang defensif akan lebih banyak melindungi diri dari ancaman

yang di tanggapinya dalam situasi komunikasi dari pada

memahami makna komunikasi. Tetapi tidak semua evluasi negatif

mengakibatkan respon defensif. Toni Brougher (dalam De Vito,

1997) menjelaskan tiga aturan mengenai komunikasi yang bersifat

deskriptif : yaitu menjelaskan apa yang terjadi, menjelaskan

perasaan yang dimiliki, dan menjelaskan mengapa hal tersebut

berkaitan dengan lawan bicara.

ii. Spontanitas

Individu yang bereaksi spontan dalam melakukan proses

komunikasi akan memberikan kesan terbuka dalam pemikiranya,

dan cenderung relatif lebih apa adanya. Sepontanitas individu itu

mampu mencerminkan keinginannya dalam mendukung proses

komunikasi tersebut.

iii. Provisionalisme

Sikap provisionalisme lebih dipandang sebagai sikap tentatif

atau berpikiran terbuka serta mendengarkan pandangan yang

berlawanan dan bersedia untuk mengubah pandangan atau

posisinya jika keadaan mengharuskan. Berkomunikasi dengan

(39)

adalah suatu hal yang sangat membosankan. Individu seperti ini

terpaku dengan dirinya sendiri dan tidak mentolerir adanya

perbedaan. Bila individu mau bersikap provisionalisme maka ia

akan memiliki pikiran yang terbuka dengan penuh kesadaran

mencoba melihat bahwa munkin saja terdapat kesalahan mengenai

pandangannya terhadap sesuatu, kemudian bersedia merubah sikap

dan pendapatnya. Situasi ini akan sangat mendukung proses

komunikasi interpersonal.

d. Sikap Positif

Sikap positif sangat diperlukan dalam komunikasi interpersonal.

Untuk mengkomunikasikan sikap positif dapat dilakukan dengan cara

sebagai berikut:

i. Menyatakan sikap positif.

Komunikasi interpersonal akan terbina jika individu itu

memiliki sikap positif terhadap dirinya sendiri. Individu yang

merasa memiliki sikap positif terhadap dirinya sendiri

mengisyaratkan perasaan tersebut kepada orang lain dan

merefleksikan perasaan positif yang dimiliki. Sikap positif sangat

penting dalam menciptakan situasi komunikasi yang mendukung

sehingga interaksi akan menjadi lebih efektif.

ii. Dorongan

Sikap positif dapat dinyatakan dalam bentuk dorongan

(40)

Dorongan positif seperti ini dianggap sangat penting dalam analisis

transaksional dan interaksi antara manusia. Dorongan positif pada

umumnya berbentuk pujian atau penghargaan dan terdiri atas

perilaku yang biasanya diharapkan, dinikmati atau dibanggakan.

Dorongan positif ini akan membuat citra pribadi dan membuat

seseorang merasa lebih baik.

e. Kesetaraan

Komunikasi interpersonal akan lebih efektif bila suasananya

setara dimana adanya pengakuan secara diam-diam bahwa kedua belah

pihak sama-sama bernilai atau berharga. Masing-masing pihak

memiliki sesuatu yang penting untuk disumbangkan. Kesetaraan juga

menyiratkan adanya sikap memperlakukan orang lain secara

demokratis dan horizontal dimana apabila terdapat perbedaan

pandangan maupun konflik, maka akan dilihat sebagai upaya untuk

memahami perbedaan dari pada sebagai suatu kesempatan untuk saling

menjatuhkan pihak lain.

Kesetaraan bukan berarti mengharuskan seseorang untuk

menyetujui dan menerima pandangan dan pemikiran pihak lain. Tetapi

lebih menekankan pada sikap menghargai atau dalam istilah Carl

Roger (dalam Eko, 2008), Kesetaraan dalam memberikan

“Penghargaan positif tak bersyarat” kepada pihak lain. Diharapkan

(41)

terlibat dalam proses komunikasi dapat saling menghargai dan

menghormati perbedaan pandangan.

B. Organizational Citizenship Behavior (OCB)

1. Definisi Organizational Citizenship Behavior (OCB)

Dalam upaya meningkatkan efektivitas dan produktifitas perusahaan

maka individu-individu yang ada dalam sebuah organisasi perlu memiliki

perilaku yang menunjang. Perilaku tersebut tidak hanya yang sesuai

dengan tuntutan dari pihak perusahaan atau sesuai dengan fungsi perannya

saja (in-role) namun lebih diharapkam mampu memunculkan perilaku

yang lebih dari perannya (extra-role) dalam setiap individu dalam

organisasi, sehingga jalinan kerjasama antar individu semakin solid dan

dapat bekerja secara optimal bagi organisasi. Katz (dalam Wahyu, 2002)

mengkategorikan 3 perilaku pekerja yang penting bagi keefektifan

organisasi. Dimana ketiga kategori tersebut adalah: Pertama individu harus

masuk kedalam dan tinggal di dalam organisasi; kedua mereka harus

menyelesaikan peran khusus dalam suatu pekerjaan tertentu; dan ke tiga

mereka harus terikat pada aktivitas yang inovatif dan spontan melebihi

persepsi perannya.

Dari ketiga kategori di atas, Katz berusaha mengindentifikasikan

perilaku aktif, inovatif dan spontan yang melebihi persepsi perannya

(42)

organisasi. Perilaku kerja Extra-role tersebut sering disebut juga sebagai

Organizational Citizenship Behavior (OCB).

OCB merupakan aspek aktifitas individu yang unik di tempat kerja,

yang mana pertama kali dikemukakan pada awal tahun 1980-an. OCB

merupakan kontribusi individu yang melebihi tuntutan peran di tempat

kerja dan di-reward oleh perolehan kinerja tugas. OCB melibatkan

beberapa perilaku meliputi perilaku menolong orang lain, menjadi

volunteer untuk tugas-tugas ekstra, dan patuh pada aturan-aturan dan

prosedur-prosedur di tempat kerja. Perilaku-perilaku ini mencerminkan

“nilai tambah karyawan” yang merupakan salah satu bentuk perilaku

prososial, yaitu perilaku sosial yang positif, konstruktif, dan bermakna

membantu (Aldag dan Resckhe, 1997).

Organ (1997) mendifinisikan OCB sebagai perilaku individu yang

bebas, tidak berkaitan secara langsung atau explisit dengan sistem reward

dan bisa meningkatkan fungsi efektif organisasi. Sementara itu Van Dyne

dkk (dalam Wahyu, 2002) yang mengusulkan konstruksi dari Extra-Role

Behavior (ERB) memberikan pengertian bahwa OCB sebenarnya adalah

rekonseptual dari sifat kewarganegaraan, dimana perilaku yang

menguntungkan organisasi dan atau cenderung menguntungkan organisasi,

secara sukarela atau melebihi apa yang menjadi tuntutan peran. Devinisi

ini lebih menganggap bahwa intensi aktor adalah untuk “menguntungkan

(43)

Smith dkk (dalam Chrismasari, 2006) mendefinisikan OCB

merupakan perilaku pekerja yang melebihi tugas formalnya dan

memberikan kontribusi pada keefektifan organisasi. Borman, W.C. dan

Motowidlo (1993) cenderung mengkonstruksikan OCB sebagai contextual

behavior dimana tidak hanya mendukung inti dari perilaku itu sendiri,

melainkan mendukung semakin besarnya lingkungan organisasi, sosial dan

psikologis sehingga inti teknisnya berfungsi. Definisi ini tidak dibayangi

istilah sukarela, reward atau niat sang aktor melainkan perilaku seharusnya

mendukung lingkungan organisasi, sosial dan psikologis lebih dari sekedar

inti teknis.

Dari beberapa definisi di atas dapat di simpulkan bahwa OCB

merupakan:

a. Perilaku yang bersifat sukarela, bukan tindakan yang terpaksa terhadap

hal-hal yang mengedepankan kepentingan organisasi

b. Perilaku individu sebagai wujud dari kepuasan berdasarkan

performance. Tidak diperintahkan secara formal.

c. Tidak berkaitan secara langsung dan terang-terangan dengan sistem

reward yang formal.

2. Dimensi-dimensi OCB

Istilah OCB pertama kali diajukan oleh Organ (1988), yang

(44)

a. Altruisme, yaitu perilaku membantu karyawan lain tanpa ada paksaan

pada tugas-tugas yang berkaitan erat dengan operasi-operasi

organizational.

b. Civic Virtue, menunjukkan partisipasi sukarela dan dukungan terhadap

fungsi-fungsi organisasi baik secara profesional maupun sosial

alamiah.

c. Conscientiousness, berisi tentang kinerja dari prasyarat yang melebihi

standar minimum.

d. Courtesy, adalah perilaku meringankan problem-problem yang

berkaitan dengan pekerjaan yang dihadapi orang lain.

e. Sportmanship, berisi tentang pantangan-pantangan membuat isu-isu

yang merusak meskipun merasa jengkel.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi OCB

a. Kepribadian dan suasana hati (mood)

Kepribadian dan suasana hati berpengaruh terhadap timbulnya

perilaku OCB secara individual maupun kelompok. George dan Brief

(1992) berpendapat bahwa kemauan seseorang untuk membantu orang

lain juga di pengaruhii oleh mood. Kepribadian merupakan suatu

karakteristik yang secara relatif dapat di katakan tetap, sedangkan

suasana hati merupakan karakteristik yang dapat berubah-ubah.

Sebuah suasana hati yang positif akan meningkatkan peluang

seseorang untuk membantu orang lain.

Meskipun suasana hati dipengaruhi sebagian oleh kepribadian, ia

(45)

karyawan dan iklim kerja kelompok, serta faktor-faktor

keorganisasian. Jadi, apabila organisasi menghargai karyawan dan

memperlakukan mereka secara adil serta iklim kerja dan interaksi

karyawan dalam kelompok kerja berjalan positif maka karyawan

cenderung berada dalam suasana hati yang bagus. Konsekuensinya

mereka secara sukarela akan memberikan bantuan kepada orang lain

(Sloat, 1999).

b. Job involvement

Job involvement merupakan identifikasi psikologis individu atau

komitmen individu pada pekerjaannya (Kanunggo, dalam Chugthai,

2008). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Chugthai dari Ireland

university orang yang memiliki kepedulian dan konsen terhadap

pekerjaannya memiliki hubungan yang positif terhadapOCB.

c. Persepsi tentang keadilan

Berdasarkan penelitian yang di lakukan oleh Messer dan White

(2006) didihasilkan bahwa orang yang memiliki persepsi terhadap

keadilan yang baik akan menunjukkan OCBdalam pekerjaannya.

e. Budaya dan iklim organisasi

Menurut Organ (1995), terdapat bukti-bukti kuat bahwa budaya

organisasi merupakan suatu kodisi awal yang utama yang memicu

terjadinya OCB. Sloat (1999) berpendapat bahwa karyawan cenderung

melakukan tindakan yang melampaui tanggung jawab kerja mereka

(46)

perlakuan yang sportif dan penuh perhatian dari para pengawas,

percaya bahwa mereka di perlakukan adil oleh organisasi.

Iklim organisasi yang positif, karyawan merasa lebih ingin

melakukan pekerjaannya melebihi apa yang telah disyaratkan dalam

uraian pekerjaan, dan akan selalu mendukung tujuan organisasi apabila

mereka diperlakukan sportif dengan penuh kesadaran serta percaya

bahwa mereka diperlakukan secara adil oleh organisasinya.

Kanovsky dan Pugh (1994) menggunakan teori pertukaran sosial

(Social Exchange theory) untuk berprndapat ketika karyawan telah

puas terhadap pekerjaannya, mereka akan membalasnya. Pembalasan

dari karyawan tersebut termasuk perasaan memiliki (sense of

belonging) yang kuat terhadap organisasi dan perilaku seperti

Organizational Citizenship.

f. Persepsi terhadap kualitas interaksi atasan-bawahan

Kualitas interaksi atasan-bawahan juga diyakini sebagai

prediktor OCB. Miner (1988) mengemukakan bahwa interaksi atasan

bawahan yang berkualitas tinggi akan memberikan dampak seperti

meningkatnya kepuasan kerja, produktifitas, dan kinerja karyawan.

Riggio (1990) mengatakan bahwa apabila interaksi atasan-bawahan

berkualitas tinggi maka seseorang atasan akan berpandangan positif

terhadap bawahannya sehingga bawahannya akan merasakan bahwa

atasannya banyak memberikan dukungan dan motivasi. Hal ini

(47)

sehingga mereka termotivasi untuk melakukan “lebih dari” yang

diharapkan oleh atasan mereka.

g. Masa kerja

Greenberg dan Baron (2000) Mengemukakan bahwa

karakteristik personal seperti masa kerja (gender) berpengaruh pada

OCB. Hal yang sama juga di kemukakan oleh (Sommers dkk., 1996).

Masa kerja dapat berfungsi sebagai prediktor OCB karena

variabel-variabel tersebut mewakili “pengukuran” terhadap “investasi”

karyawan di organisasi.

Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa masa

kerja berkorelasi dengan OCB. Karyawan yang telah lama bekerja di

suatu organisasi akan memiliki keterdekatan dan keterikatan yang kuat

terhadap organisasi tersebut. Masa kerja yang lama juga akan

meningkatkan rasa percaya diri dan kompetensi karyawan dalam

melakukan pekerjaannya, serta menimbulkan perasaan dan perilaku

positif terhadap organisasi yang mempekerjakannya. Semakin lama

karyawan bekerja di sebuah organisasi, semakin tinggi persepsi

karyawan bahwa mereka memiliki “investasi” di dalamnya (Novliadi,

2007).

h. Jenis kelamin (Gender)

Lovel dkk.(dalam Novliadi, 2007) menemukan perbedaan yang

cukup signifikan antara pria dan wanita dalam tingkatan OCB mereka,

(48)

(1994) juga membuktikan bahwa ada perbedaan persepsi terhadap

OCB antara pria dan wanita, dimana wanita menganggap OCB

merupakan bagian dari perilaku in-role mereka di bandng pria.

Bukti-bukti tersebut menunjukkan bahwa wanita cenderung

menginternalisasi harapan-harapan kelompok, rasa kebersamaan dan

aktivitas-aktivitas menolongsebagai bagian dari pekerjaan mereka

(Diefendorff dkk. dalam Novliadi, 2007).

4. Implikasi OCB

Beberapa penelitian dilakukan para ahli yang mencoba

menghubungkan antara OCB dengan beberapa aspek dalam organisasi.

a. Keterkaitan OCB dengan kualitas pelayanan

Podsakoff, dkk. (1997) secara khusus meneliti tentang keterkaitan

OCB dengan kualitas pelayanan. Dalam penelitian tersebut ditemukan

bahwa organisasi yang tinggi tingkat OCB di kalangan karyawannya,

tergolong rendah dalam menerima komplain dari konsumen pada

organisasi tersebut.

b. Keterkaitan OCB dengan kinerja kelompok

Dalam penelitian yang dilakukan oleh George dan Bettenhausen

(dalam Novliadi, 2007), menemukan adanya keterkaitan yang erat antara

OCB dengan kinerja kelompok. Adanya perilaku altruistik memungkinkan

sebuah kelompok bekerja secara kompak dan efektif untuk saling

menutupi kelemahan masing-masing. Selain temuan George dan

(49)

menemukan keterkaitan erat antara OCB dengan kinerja kelompok.

Keterkaitan erat terutama terjadi antara OCB tingginya hasil kerja

kelompok secara kuantitas, sementara kualitas hasil kerja tidak ditemukan

keterkaitan yang erat.

c. Keterkaitan OCB dengan turnover

Penelitian yang dilakukan oleh Chen, dkk. (1998) mencoba

menghubungkan OCB dengan turnover karyawan. Mereka menemukan

adanya hubungan terbalik antara OCB dengan turnover. Dari penelitian

tersebut bisa disimpulkan bahwa karyawan yang memiliki OCB rendah

memiliki kecenderungan untuk meninggalkan organisasi (keluar)

dibanding dengan karyawan yang memiliki tingkat OCB yang tinggi.

Dari paparan datas dapat disimpulkan bahwa OCB menimbulkan

dampak positif bagi organisasi, seperti meningkatnya kualitas pelayanan,

meningkatkan kinerja kelompok, dan menurunkankan tingkat turnover.

Oleh karena itu, menjadi penting bagi organisasi untuk meningkat OCB di

kalangan karyawannya. Salah satunya adalah dengan menganalisis

persepsi mereka terhadap dukungan organisasional dan persepsi terhadap

kualitas interaksi atasan-bawahan yang merupakan faktor yang

mempengaruhinya, untuk keperluan modifikasi intervensi organisasi dan

(50)

C. Hubungan Komunikasi Interpersonal yang Efektif dan OCB

Komunikasi merupakan sesuatu hal yang tidak dapat dielakkan dalam

kehidupan setiap manusia. Komunikasi merupakan hal penting dalam proses

interaksi antar sesama manusia. Komunikasi antar karyawan termasuk dalam

komunikasi interpersonal yang berada dalam lingkungan organisasi.

Komunikasi karyawan meliputi komunikasi interpersonal. Komunikasi

interpersonal merupakan proses pertukaran informasi antara seseorang dengan

orang lain dengan efek umpan balik yang langsung diketahui balikannya (De

Vito, 1995).

Komunikasi interpersonal yang efektif telah lama di kenal sebagai salah

satu dasar untuk berhasilnya suatu organisasi. Proses komunikasi yang terjadi

di dalam perusahaan khususnya yang menyangkut komunikasi antara atasan

dan karyawan maupun antara sesama karyawan merupakan faktor penting

dalam menciptakan efektifitas organisasi. Untuk itu perlu dikembangkan

Komunikasi interpersonal yang efektif dengan memperhatikan aspek-aspek

keterbukaan empati, saling mendukung, sikap positif dan kesetaraan.

Komunikasi interpersonal yang efektif dalam organisasi akan memberikan

dampak kepuasan dan produktifitas kerja karyawan (Muhammad, 2007).

Komunikasi interpersonal yang efektif merupakan faktor pembentuk

interaksi yang berkualitas antara sesama karyawan (Hermawan, 2008).

Interaksi yang baik diantara karyawan akan mempengaruhi suasana hati yang

positif. Hal ini akan meningkatkan peluang seorang karyawan untuk menolong

(51)

Bila karyawan merasa tidak senang dengan situasi kerjanya, biasanya ia

akan mengatakan tidak puas atas pekerjaannya. Ada dua hal yang

menyebabkan orang tidak puas dengan pekerjaannya. Pertama, apabila orang

tersebut tidak mendapatkan informasi yang dibutuhkan untuk melakukan

pekerjaannya; kedua, apabila hubungan antara teman sekerja kurang baik

(Muhammad, 2007). Dari uraian di atas menjelaskan bahwa komunikasi

interpersoanl menjadi indikator seseorang dalam menentukan kepuasan kerja.

Karyawan yang memiliki kepuasan kerja dalam organisasi akan

mempunyai sikap loyalitas terhadap terhadap organisasi karena merasa

menjadi bagian dari organisasi tersebut. Kepuasan kerja juga akan mendorong

karyawan untuk berperilaku lebih dari tuntun deskripsi kerja. Perilaku

karyawan yang bekerja melebihi tuntutan kerja (Extra-role) ini juga sering

disebut sebagai OCB. Menurut Organ (1988) OCB merupakan perilaku yang

muncul akibat dari kepuasan kerja serta keadilan. OCB diasumsikan akan

selalu muncul apabila karyawan mengalami kepuasan kerja. Organizational

Citizenship Behavior sangat berpengaruh dalam kesuksesan organisasi hal ini

bisa diamati dari dimensi- dimensi OCB yang mempunyai hubungan setara

dengan kepuasan kerja, komitmen organisasi, kejujuran, sikap ketelitian, dan

dukungan pimpinan (Lapine dalam Hardaningtyas, 2004). Pernyataan itu

didukung dengan penelitian MacKenzie, dkk. (1998) mengenai hubungan

kepuasan kerja dengan OCB yang mana didapatkan hasil bahwa kepuasan

(52)

diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi perkembangan produktivitas

(53)

Bagan 1

(54)

D. Hipotesis

Berdasarkan Landasan Teori sebagai dasar kajian teoritis terhadap

permasalahan yang telah dikemukakan, sehingga dapat disusun suatu hipotesis

sebagai berikut:

Ada hubungan positif antara komunikasi interpersonal yang efektif

dengan organizational citizenship behaviour. Semakin tinggi komunikasi

interpersonal yang efektif maka semakin tinggi pula OCB. Demikian juga

sebaliknya, semakin rendah komunikasi interpersonal yang efektif maka

(55)

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah kuantitatif korelasional yaitu penelitian yang

bertujuan mencari suatu hubungan dari dua variabel (Usman, 2003). Sesuai

dengan tujuannya, penelitian ini ingin mencari hubungan antara Komunikasi

Interpersonal yang Efektif dan Organizational Citizenship Behavior.

B. Identifikasi Variabel Penelitian

Dua variabel dalam penelitian ini adalah:

1. Variabel 1 : komunikasi interpersonal yang efektif.

2. Variabel 2 : organizational citizenship behavior yang memiliki 5

dimensi yaitu altruism, civic virtue, conscientiousness,

courtesy, sportsmanship.

C. Definisi Operasional

Definisi operasional penelitian adalah batasan atau spesifikasi dari

variabel-variabel penelitian yang secara konkret berhubungan dengan realitas

yang akan diukur dan merupakan manifestasi dari hal-hal yang akan diamati

(56)

Adapun definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Organizational Citizenship Behavior

Merupakan tinggi rendahnya dimensi-dimensi organizational

citizenship behavior (OCB) dalam diri pegawai, meliputi Altruism

(perilaku membantu karyawan lain tanpa ada paksaan pada tugas-tugas

yang berkaitan erat dengan operasi-operasi organisasional), Courtesy

(perilaku meringankan problem-problem yang berkaitan dengan

pekerjaan yang di hadapi orang lain), Conscientiousness (berisi tentang

kinerja dari prasyarat peran yang melebihi standart minimum), Civic

virtue (partisipasi sukarela dan dukungan terhadap fungsi-fungsi

organisasi baik secara profesional maupun sosial alamiah),

Sportmanship (pantangan-pantangan membuat isu-isu yang merusak

meskipun merasa jengkel terhadap situasi kerja yang kurang ideal).

OCB diukur dengan menggunakan skala Organizational

Citizenship Behavior yang terdiri dari lima dimensi. Skor setiap

dimensi yang diperoleh subyek menunjukan tinggi atau rendahnya

OCB subyek pada setiap dimensinya. Semakin tinggi skor OCB

dimensi tertentu yang diperoleh subyek, menunjukkan bahwa OCB

dimensi tertentu yang dimiliki subyek semakin tinggi. Begitu pula

sebaliknya, semakin rendah skor pada OCB dimensi tertentu yang

diperoleh subyek, menunjukkan bahwa OCB dimensi tertentu yang

(57)

2. Komunikasi Interpersonal yang Efektif

Komunikasi interpersonal yang efektif merupakan tingkat

keefektifan seseorang dalam melakukan proses mengirim dan

menerima informasi verbal maupun non verbal dari atau kepada orang

lain yang didasarkan pada karakteristik komunikasi interpersonal yang

efektif, yang meliputi keterbukaan, empati, sikap mendukung, sikap

positif dan kesetaraan. Individu yang memiliki tingkat komunikasi

personal yang efektif mampu melakukan proses pertukaran informasi

dengan baik, yang ditandai dengan tercapainya suatu pengertian yang

sama. Sebaliknya jika individu memiliki tingkat komunikasi

interpersonal yang kurang efektif, maka individu tersebut kurang

mampu melakukan proses pertukaran informasi dengan baik, yang

ditandai dengan kurang terciptanya kesepahaman pengertian.

Komunikasi interpersonal yang efektif diukur dengan

menggunakan skala Komunikasi Interpersonal yang Efektif. Skor total

yang diperoleh subyek menunjukkan tinggi atau rendahnya

komunikasi interpersonal yang efektif. Semakin tinggi skor total yang

diperoleh subyek, menunjukkan semakin tinggi Komunikasi

Interpersonal yang Efektif. Begitu pula sebaliknya semakin rendah

Komunikasi Interpersonal yang Efektif, menunjukkan semakin rendah

(58)

D. Subyek

Sampel ialah sebagian anggota populasi yang diambil dengan

menggunakan teknik tertentu yang disebut dengan teknik sampling (Usman &

Akbar, 2003). Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik purposive

sampling yaitu pemilihan anggota sampel didasarkan pada tujuan

penelitiannya.

Subyek penelitian ini adalah staf karyawan bagian produksi fitting PT.

Wavin Duta Jaya, Cibitung, Jawa Barat. Alasan peneliti mengambil subyek

diatas karena bagian ini merupakan bagian penting dalam perusahaan dimana

terjadi proses pengolahan bahan mentah menjadi barang jadi yang siap di

serap pasar. Pada bagian produksi diperlukan ketelitian, dan produktifitas

kerja yang tinggi, untuk menghasilkan produk yang berkualitas. Karena itu,

diperlukan adanya koordinasi yang baik antara sesama karyawan maupun

dengan atasan atau pihak manajemen, mengingat bagian produksi memiliki

fungsi yang fundamental dalam perusahaan.

E. Prosedur Penelitian

1. Membuat skala penelitian yang terdiri dari skala Komunikasi

Interpersonal yang Efektif dan skala Organizational Citizenship Behavior

untuk kemudian diuji coba pada kelompok subyek.

2. Melakukan uji coba aitem dan reabilitas skala untuk mendapatkan aitem

(59)

3. Menentukan subyek penelitian dan mengukur tingkat Komunikasi

Interpersonal yang Efektif dan tingkat Organizational Citizenship

Behavior dengan cara mengisi skala yang sudah reliabel dan lolos seleksi

aitem.

4. Menganalisis data yang masuk menggunakan Product Moment dari

Pearson.

5. Membuat kesimpulan berdasarkan hasil analisis.

F. Metode Pengumpulan Data

1. Skala Komunikasi Interpersonal yang Efektif

Skala Komunikasi Interpersonal yang Efektif bertujuan untuk

mengungkap tingkat Komunikasi Interpersonal yang Efektif yang dimiliki

oleh staf karyawan bagian produksi PT. Wavin Duta Jaya. Metode

penyusunan skala yang digunakan adalah metode Summated Rating yaitu

metode perskalaan pernyatan sikap yang menggunakan distribusi respon

sebagai dasar penentuan nilai skalanya (Azwar, 1999). Jenis skala dalam

penelitian ini menggunakan skala Likert, yang telah dimodifikasi menjadi

4 kategori jawaban yaitu Sering sekali (SS), Sering (S), Jarang-jarang

(JR), dan Tidak Pernah (TP). Dimana kategori aitem-aitem dalam skala

tersebut dikelompokan menjadi 2 kategori yaitu:

a. Aitem-aitem favorable, dengan pilihan jawaban dan skor untuk setiap

jawaban adalah sebagai berikut:

(60)

ii. Sering : Skor 3

iii. Jarang : Skor 2

iv. Tidak Pernah : Skor 1

b. Aitem-aitem unfavorable, dengan pilihan jawaban dan skor untuk

setiap jawaban adalah sebagai berikut:

i. Sering sekali : Skor 1

ii. Sering : Skor 2

iii. Jarang : Skor 3

iv. Tidak Pernah : Skor 4

Skala Komunikasi Interpersonal yang Efektif ini mencakup 50 aitem

yang terdiri dari 25 item favorable dan 25 aitem unfavorable. Penyusunan

skala Komunikasi Interpersonal yang Efektif ini didasarkan Komunikasi

Interpersonal yang Efektif terdiri dari aspek-aspek sebagai berikut:

a. Keterbukaan

Keterbukaan dapat diamati dari 3 hal yaitu adanya keinginan

untuk membuka diri dan keinginan untuk membagikan informasi yang

dimiliki kepada orang lain. Keterbukaan juga dapat diamati melalui

adanya keinginan untuk memberikan tanggapan sejujurnya terhadap

stimulus yang diterima. Terakhir keterbukaan juga menuntut adanya

tanggung jawab atas segala pikiran dan perasaan yang telah

(61)

b. Empati

Berempati berarti kesedian diri untuk memahami orang lain

dengan mencoba merasakan apa yang orang lain rasakan melalui cara

pandang yang sama.

c. Sikap mendukung

Hubungan yang bersifat membantu yang diberikan kepada orang

lain. Ada banyak cara dalam menyatakan dukungan kepada orang lain.

Dukungan itu dapat berupa ungkapan verbal seperti pujian, tetapi

dukungan juga dapat berupa ungkapan non verbal yang memiliki arti

positif dalam komunikasi.

d. Sikap Positif

Sikap positif dalam komunikasi interpersonal dapat diwujudkan

dengan memiliki sikap positif terhadap diri sendiri dan menghargai

orang lain. Sikap positif pada diri sendiri menandakan bahwa ia

mampu menghargai dirinya secara positif.

e. Kesetaraan

Merupakan suasana dimana adanya kesamaan kedudukan

masing-masing pihak. Dengan adanya kesamaan individu akan merasa

dihargai dan dihormati sebagai manusia yang memiliki sesuatu yang

penting untuk dikontribusikan kepada orang lain.

Skor total subjek merupakan penjumlahan seluruh skor setiap

(62)

komunikasi interpersonal yang efektif karyawan. Demikian juga

sebaliknya, semakin rendah skor total subjek maka semakin rendah

pula komunikasi interpersonal yang efektif karyawan.

Dibawah ini adalah tabel distribusi penyebaran aitem

Komunikasi Interpersonal yang Efektif untuk diuji coba kan.

Tabel 1

Distribusi Penyebaran Aitem Komunikasi Interpersonal yang Efektif Sebelum Uji Coba

Sifat Aitem

2. Skala Organizational Citizenship Behavior

Skala ini bertujuan untuk mengungkap tingkat Organizational

Citizenship Behavior yang dimiliki oleh staf karyawan bagian produksi

PT. Wavin Duta Jaya. Metode penyusunan skala menggunakan Summated

Rating, dengan menggunakan skala Likert, yang telah dimodifikasi

menjadi 4 (empat) kategori yaitu Sering sekali (SL), Sering (S),

(63)

pernyataan favorable dan unfavorable. Peneliti hanya menyediakan empat

alternatif jawaban dengan maksud untuk menghindari bias yang terjadi apa

bila terdapat lima jawaban dengan pilihan tengah yang berarti netral atau

kadang – kadang. Hal ini diungkapkan oleh Hadi (1991) bahwa subjek

memiliki kecenderungan untuk memilih jawaban di tengah (Central

Tendency Effect).

Pada skala Organisational Citizenship Behavior ini peneliti

menggunakan dimensi-dimensi primer dari OCB (Allison, dkk, 2001)

sebagai aspeknya untuk dijadikan indikator aitem. Adapun

aspek-aspek OCB adalah sebagai berikut:

a. Altruisme, yaitu perilaku membantu karyawan lain tanpa ada paksaan

pada tugas-tugas yang berkaitan erat dengan operasi-operasi

organizational

b. Civic Virtue, menunjukkan partisipasi sukarela dan dukungan terhadap

fungsi-fungsi organisasi baik secara profesional maupun sosial

alamiah.

c. Conscientiousness, berisi tentang kinerja dari prasyarat yang melebihi

standar minimum.

d. Courtesy, adalah perilaku meringankan problem-problem yang

berkaitan dengan pekerjaan yang dihadapi orang lain.

e. Sportmanship, berisi tentang pantangan-pantangan membuat isu-isu

Gambar

Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3 Distribusi Aitem Skala Komunikasi Interpersonal yang Efektif Sebelum Uji Coba
Tabel 5
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini dilakukan pembuatan dispersi padat ekstrak kunyit-PEG 6000-Manitol dengan proporsi ekstrak kunyit 30% dan diperoleh nilai DE120 lebih tinggi yaitu

Ketidak lancaran air yang didistribusikan kepada penduduk, disebabkan masih banyak air yang belum dimanfaatkan secara optimal hal ini terbukti air yang disalurkan saat ini hanya 82

Peserta didik diberikan pekerjaan rumah mempersiapkan diri untuk materi siklus kegiatan ekonomi 4 sektor.. Peserta didik diberikan

[r]

Untuk sandi 02 (LUNAS) digunakan juga untuk kondisi fasilitas yang dinyatakan LUNAS dengan diskon (haircut), dan/atau dengan kriteria lain yang oleh karenanya

Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan salah satu mata pelajaran dalam Kurikulum di SD/MI. Pembelajaran IPS tidak hanya menuntut siswa untuk memahami apa yang telah

Mengidentifikasi aturan-aturan tidak tertulis yang berlaku di sekolah 2 x 35” - Tes Tertulis - Unjuk Kerja, spt membuat peraturan di sekolah Naskah Peraturan sekolah

Oleh karena itulah pada penelitian ini dirancang suatu rangkaian alat yang dapat digunakan untuk mengukur kandungan aflatoksin menggunakan sensor pendeteksi berbasis pendaran