SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh:
Indri Novianto
NIM : 039114074
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh:
Indri Novianto
NIM : 039114074
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2009
Nine is not enough, ten is not everything.
The time you reach one hundred, you know then what
two hundred means.
Tetesan air dapat membentuk sebuah sungai,
kumpulan butiran beras bisa memenuhi lumbung.
Jangan meremehkan hati nurani sendiri, jangan pernah berpikir
untuk tidak melakukannya walau perbuatan itu sangat kecil.
(Master Shih Cheng Yen)
Jalan buntu dalam hidup merupakan awal
Allah bekerja dalam hidup kita.
Karya ini ku persembahkan kepada:
Tuhan Yesus Kristus, You are my all in all
Bapak dan Ibuku yang dengan penuh kesabaran mendidik dan
membesarkanku hingga aku bisa mengerti arti hidup.
Kakak dan adikku yang selalu memberikan dorongan dan semangat
Dik Fitriani tercinta yang selalu ada di sampingku dengan penuh cinta
Sahabat-sahabatku yang selalu menjadi tempat untuk berbagi
BAGIAN PRODUKSI FITTING PT.WAVIN DUTA JA
YA
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara komunikasi interpersonal yang efektif terhadap organizational citizenship behavior. Hipotesis dalam penelitian ini adalah adanya hubungan positif antara komunikasi interpersonal yang efektif dan organizational citizenship behavior.
Variabel-varibel dalam penelitian ini adalah komunikasi interpersonal yang efektif dan organization citizenship behavior yang memiliki lima dimensi menurut teori Allison dkk. (2001). Subyek dalam penelitian ini adalah 86 pekerja pada bagian produksi fitting PT Wavin Duta Jaya, dengan posisi sebagai division head, supervisor, dan operator, yang berusia antara 20-45 tahun, dengan masa kerja maksimum 10 tahun dan tingkat pendidikan mulai dari SMA atau STM sampai dengan sarjana muda. Pengumpulan data dilakukan dengan menyebar skala Komunikasi Interpersonal yang Efektif dan skala Organizational Citizenship Behavior.
Data penelitian dianalisa menggunakan teknik korelasi Produk Moment
dari Pearson dengan menggunakan SPSS for Windows version 16.00. Hasil perhitungan dari hubungan antara efektifitas komunikasi interpersonal dan OCB menunjukkan koefisien korelasi sebesar r=0,473 (p<0,01) pada dimensi altruism, r=0,439 (p<0,01) pada dimensi civic virtue, r=0,424 (p<0,01) pada dimensi
conscientiousness, r=0,640 (p<0,01) pada dimensi courtesy, dan r=0,546 (p<0,01) pada dimensi sportsmanship. Hal ini berarti bahwa hipotesis dari penelitian ini diterima.
Kata kunci : Komunikasi Interpersonal yang Efektif, Organizational Citizenship Behavior
AT EMPLOYEES IN PRODUCTION FITTING DEPARTMENT OF PT. WAVIN DUTA JAYA
The research aimed to know the relationship between Interpersonal Communication Effectiveness and Organizational Citizenship Behavior. This research hypothesis stated here is a positive relationship between interpersonal communication effectiveness and organizational citizenship behavior.
The research variables are Interpersonal Communication Effectiveness and Organizational Citizenship Behavior. Organizational Citizenship Behavior (OCB) is divided into five dimensions according the theory of OCB by Allison, et. al (2001). The subjects of this research were 86 employees in fitting division at PT. Wavin Duta Jaya with the positions as division head, supervisor, and operator, aged between 20-45 year old, tenure between 0-10 years, graduated from three year Diploma of Science, Senior High School or Technical School of Engineering. The data collection was done through scale of Interpersonal Communication Effectiveness scale and Organizational Citizenship Behavior.
The data were analyzed using technique of Product Moment Correlation helped by SPSS for Windows version 16.00. The results of relationship between Interpersonal Communication Effectiveness and Organizational Citizenship Behavior in five dimensions respectively are r=0,473 (p<0,01) for altruism, r=0,439 (p<0,01) for civic virtue, r=0,424 (p<0,01) for conscientiousness, r=0,640 (p<0,01) for Courtesy, and r=0,546 (p<0,01) for sportsmanship. It means that the hypothesis is accepted.
Keyword : Interpersonal Communication Effectiveness, Organizational Citizenship Behavior
rahmat dan cinta kasihnya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Proses pernyusunan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari banyak pihak. Maka pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Tuhanku Yesus Kristus yang selalu memberikan segalanya yang terbaik bagiku sehingga aku bisa bertumbuh dan berkarya.
2. Bapak P. Eddy Suhartanto S.Psi., M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma dan Dosen Pembimbing. Terimakasih atas segala bantuan, masukan, dukungan dan waktunya selama penulis menjalani penyusunan skripsi dan perkuliahan.
3. Ibu P. Henrietta P.D.A.D.S. S.Psi., M.Si., selaku Dosen Penguji yang dengan sabar meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran kepada penulis untuk menyempurnakan penyusunan skripsi.
4. Romo Dr. A. Priyono Marwan, S.J., selaku dosen penguji skripsi yang telah banyak memberikan masukan bagi penulis untuk menyempurnakan penyusunan skripsi.
5. Ibu Agnes Indar Etikawati S.Psi., M.Si., Psi. selaku Dosen Pembimbing
Akademik yang telah memberikan dukungan dan bantuanya selama penulis menjalani kuliah.
7. Seluruh karyawan Fakultas Psikologi Sanata Dharma: Mbak Nanaik, Mas Gandung, Pak Gik, Mas Doni, Mas Muji, terima kasih atas segala bantuannya. 8. Bapak Taofik Hidayat selaku Personel Dept. Head, PT. Wavin Duta Jaya
yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian di PT. Wavin.
9. Bapak Romanus Ardi Judhananto selaku Kepala Devisi Produksi Fitting PT. Wavin Duta Jaya yang telah mendukung dan membantu penulis dalam melakukan penelitian dilapangan hingga penelitian ini dapat selesai.
10. Bapak dan Ibuku tercinta, yang dengan sabar selalu memberikan nasehat, dukungan serta memberikan kasih sayang yang begitu tulus. Terima kasih atas segalanya. Semoga Tuhan Yesus memberkati dan melindungi Bapak dan Ibu. 11. Dik Anastasia Fitriani tercinta, terima kasih atas cinta, kasih sayang, dukungan
semangat yang tak henti-hentinya dan pengorbananmu yang total untukku. Semoga berkat dan kasih Tuhan Yesus selalu menyertaimu. Luv U...
12. Mas Ardi, Mbak Lola dan keponakanku yang lucu Hizkia dan Kezia, Trimakasih atas dorongan semangat dan bantuan yang tak ternilai. Semoga Bapa membalas semua budi baik Mas dan Mbak sekeluarga.
13. Kakakku Indraswono Eko Saputro dan adikku Dian Indraswari. Terimakasih
atas segala upayanya dalam memberi semangat dan bantuan sehingga aku dapat menyelesaikan Skripsi ini.
Diaz, Diana, Galih terima kasih banyak atas dukungan dan persahabatan yang hangat selama kuliah.
16. Seluruh teman-teman Psikologi Sanata Dharma, yang telah membantu dan
menjadi tempat berbagi. Sukses terus buat kalian semua!
17. Semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Terima kasih atas dukungan dan bantuannya.
Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Maka dari itu, kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat diharapkan demi semakin sempurnanya skripsi ini. Akhir kata punulis berharap skripsi ini mampu memberikan manfaat secara umum bagi para pembaca dan secara khusus kepada rekan-rekan Fakultas Psikologi
Penulis
Indri Novianto
HALAMAN PERSETUJUAN... ii
HALAMAN PENGESAHAN... iii
MOTTO ... iv
PERSEMBAHAN ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT... viii
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI... xiii
DAFTAR TABEL... xvi
DAFTAR BAGAN ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN... xviii
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Perumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Manfaat Penelitian ... 7
1. Definisi Komunikasi Interpersonal ... 8
2. Komponen Dasar Komunikasi Interpersonal ... 12
3. Komunikasi Interpersonal yang Efektif ... 16
B. Organizational Citizenship Behavior (OCB)... 22
1. Definisi OCB... 22
2. Dimensi – dimensi OCB ... 24
3. Faktor – faktor yang mempengaruhi OCB... 25
4. Implikasi OCB ... 29
C. Hubungan Efektifitas Komunikasi Interpersonal dan OCB... 31
D. Hipotesis... 35
BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 36
A. Jenis Penelitian... 36
B. Identifikasi Variabel Penelitian... 36
C. Definisi Operasional ... 36
D. Subyek... 39
E. Prosedur Penelitian ... 39
F. Metode Pengumpulan Data ... 40
G. Pertanggungjawaban Alat Ukur ... 46
H. Metode dan Teknik Analisis Data... 53
I. Profil PT Wavin Duta Jaya ... 55
B. Hasil Penelitian ... 59
C. Pembahasan... 66
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 74
A. Kesimpulan ... 74
B. Keterbatas Penelitian... 76
C. Saran... 76
DAFTAR PUSTAKA... 79
LAMPIRAN... 83
Sebelum uji coba ... 43
Tabel 2. Distribusi Penyebaran Aitem Skala OCB Sebelum Uji Coba ... 46
Tabel 3. Distribusi Aitem Skala Komunikasi Interpersonal yang Efektif Sebelum Uji Coba ... 48
Tabel 4. Distribusi Aitem Skala Komunikasi Interpersonal yang Efektif Sesudah Uji Coba ... 49
Tabel 5. Distribusi Penyebaran Aitem Skala OCB Sebelum Uji Coba ... 49
Tabel 6. Distribusi Penyebaran Aitem Skala OCB Sesudah Uji Coba ... 51
Tabel 7. Hasil Reliabilitas Skala ... 52
Tabel 8. Data Subyek penelitian ... 58
Tabel 9. Deskripsi Data Penelitian ... 59
Tabel 10. Hasil Uji Normalitas ... 61
Tabel 11. Hasil Uji Linearitas ... 62
Tabel 12. Hasil Uji Hipotesis ... 63
Bagan 1. Hubungan Efektifitas Komunikasi Interpersonal dan OCB ... 34 Bagan 2. Struktur Organisasi Divisi Fitting PT. Wavin Duta Jaya ... 57
2. Lampiran data setelah uji coba ... 109 3. Skala Penelitian ... 145 4. Surat Ijin Penelitian... 155
A. Latar Belakang Masalah
Krisis keuangan global pada bulan Oktober tahun 2008 lalu telah
menyebabkan beberapa perusahaan mengambil langkah efisiensi guna
mempertahankan kelangsungan organisasinya. Sektor sumber daya manusia juga
tidak lepas dari tuntutan efisiensi. Toyota Motor Co. sebagai perusahaan raksasa
otomotif akan merumahkan 3000 karyawanya pada bulan Maret 2009. Kebijakan
ini diambil akibat kondisi keuangan yang semakin memburuk (www.kompas.com,
2008).
Tetapi tidak semua organisasi mengambil kebijakan seperti Toyota. Tim
Honda F1 atau sekarang dikenal dengan nama Brawn GP adalah contoh lain
organisasi yang mengambil strategi berbeda. Krisis ekonomi juga menyebabkan
perusahan Honda jepang mengalami kesulitan ekonomi untuk membiayai tim F1
nya. Langkah yang diambil untuk menyelamatkan tim ini adalah dengan
memotong gaji para karyawanya baik dari pucuk pimpinan sampai karyawan yang
berada di level bawah untuk menghindari PHK. Karyawan Brawn GP sendiri
dapat memaklumi kebijakan ini dan tetap bekerja keras demi memajukan tim.
Bahkan pembalapnya Jenson Buton rela gajinya dipangkas habis-habisan hingga
62,5% dan membiayai seluruh biaya akomodasi dan perjalanan sepanjang musim
2009 dari dana pribadinya demi kehidupan tim kebanggaan mereka
Perilaku karyawan tim Brawn GP dan pembalapnya yang merelakan
kepentingan pribadinya demi eksistensi organisasninya merupakan sebagian kecil
contoh perilaku extra-role yang memberikan kontribusi positif bagi organisasi.
Perilaku extra-role ini tidak terdeskripsikan secara formal tetapi sangat
diharapkan muncul di dalam organisasi karena memiliki kontribusi yang sama
pentingnya dengan perilaku in-role (Hui dkk., 2000).
Perilaku extra-role merupakan perilaku yang sangat diharapkan dan dihargai
ketika dilakukan oleh karyawan tanpa ada deskripsi kerja formal yang mampu
meningkatkan efektifitas dan produktifitas organisasi. Perilaku dimana karyawan
mau bekerja tidak hanya pada apa yang menjadi tugasnya (intra-role), namun
melebihi apa yang menjadi tuntutan tugasnya (extra-role) tanpa mendapatkan
konpensasi atau penghargaan secara formal sering disebut juga sebagai
Organizational Citizenship Behavior yang selanjutnya disingkat menjadi OCB
(Organ, 1997). OCB juga merupakan istilah yang digunakan untuk
mengidentifikasi perilaku karyawan sehingga ia juga dapat disebut sebagai
“anggota yang baik” (Sloat dalam Wijaya, 2000). Karyawan yang baik (good
citizens) cenderung menampilkan OCB. Organisasi tidak akan berhasil dengan
baik atau tidak dapat bertahan tanpa ada anggota-anggotanya yang bertindak
sebagai “good citizens” (Markoczy & Xin, 2002).
OCB lebih dipandang sebagai manifestasi seorang karyawan dalam
berkehidupan sosial di tempat kerja. OCB merupakan bentuk kegiatan sukarela
dari anggota organisasi yang mendukung fungsi organisasi sehingga perilaku itu
tindakan-tindakan yang menunjukkan sikap tidak mementingkan diri sendiri dan perhatian
pada kesejahteraan orang lain (Elfina dalam Hardaningtyas, 2004).
Perusahaan yang memiliki kinerja tinggi dan banyak melibatkan kerja tim
tentunya akan sangat diuntungkan apabila memiliki karyawan yang cenderung
menampilkan OCB. Perilaku citizenship behavior memiliki berberapa manfaat
dalam kehidupan organisasi, misalnya perilaku menolong rekan kerja lain akan
mempercepat penyelesaian tugas rekan kerjanya, pada gilirannya akan
meningkatkan produktivitas rekan kerja. Selain itu, karyawan yang menampilkan
perilaku civic virtue ( partisipasi aktif karyawan dalam memikirkan kehidupan
organisasi) akan membantu manager mendapatkan saran dan atau umpan balik
yang berharga dari karyawan tersebut untuk meningkatkan efektivitas unit kerja
(Allison, 2001).
Perilaku saling tolong menolong (altruism) antara sesama karyawan dalam
menyelesaikan pekerjaan tanpa melibatkan bantuan manager, akan membuat
manager mampu memanfaatkan waktunya untuk melakukan tugas lain. Karyawan
yang memiliki conscientiousness (mempunyai perilaku in-role yang melebihi
standart yang telah disyaratkan), akan sangat membantu organisasi dalam
mencapai target produksi yang telah ditentukan, dengan jumlah karyawan yang
lebih sedikit. Jadi OCB juga berperan dalam menghemat sumber daya yang
dimiliki manajemen dan organisasi secara keseluruhan (Allison, 2001).
Munculnya perilaku altruistik pada karyawan memang tidak selalu
disebabkan oleh hal-hal yang hanya menguntungkan dirinya seperti upah yang
yang mempengaruhi seorang karyawan sehingga karyawan bersedia menampilkan
perilaku tersebut. George dan Brief (1992) berpendapat kualitas interaksi antara
sesama karyawan dan iklim kelompok kerja yang positif akan mempengaruhi
suasana hati seseorang dalam membuat keputusan melakukan tindakan membantu
orang lain. Selain itu kualitas interaksi yang baik antara atasan dan karyawan juga
akan meningkatkan faktor-faktor kepuasan kerja karyawan, produktivitas, dan
kinerja karyawan. Riggio (1990) menyatakan bahwa apabila interaksi
atasan-bawahan berkualitas tinggi maka seorang atasan akan berpandangan positif
terhadap bawahannya sehingga bawahannya akan merasakan bahwa atasannya
banyak memberikan dukungan dan motivasi. Hal ini meningkatkan rasa percaya
dan hormat bawahan pada atasannya sehingga mereka termotivasi untuk
melakukan “lebih dari” apa yang diharapkan oleh atasannya.
Interaksi yang baik antara sesama karyawan mampu menciptakan hubungan
yang bersifat asosiatif. Interaksi yang berkualitas antara karyawan dapat terjadi
apabila diantara karyawan terdapat komunikasi yang efektif (Hermawan, 2008).
Karyawan yang memiliki kemampuan berkomuniksai dan berempati dengan baik
diharapkan mampu memahami orang lain dan menyelaraskan nilai-nilai individual
yang dimilikinya dengan nilai-nilai yang dianut lingkungannya sehingga muncul
perilaku nice yaitu sebagai good citizen (Hardaningtyas, 2004).
Komunikasi merupakan proses universal dan mendasar sehingga manusia
tidak dapat lepas dari komunikasi. Dengan berkomunikasi seseorang dapat
menyampaikan ide-ide yang ia miliki, berhubungan, mengevaluasi,
dan mengungkapkan diri kepada orang lain. Komunikasi yang dilakukan oleh
seorang manusia dan manusia yang lain dapat dikatakan sebagai komunikasi antar
pribadi atau komunikasi interpersonal. Komunikasi interpersonal dapat terjadi
dimana saja dan tidak harus dalam situasi kerja yang resmi. Menurut Effendy
(1986) komunikasi interpersonal merupakan sarana yang paling efektif untuk
merubah sikap, pendapat, atau perilaku manusia dalam hubungannya dengan
proses dialogis.
Pada proses komunikasi interpersonal dilakukan pemahaman komunikasi
dan hubungan interpersonal dari sudut individu, yang selanjutnya disebut dengan
proses psikologis. Proses psikologis merupakan bagian penting dalam komunikasi
interpersonal, karena dalam komunikasi interpersonal individu mencoba
menginterpretasikan makna yang menyangkut diri sendiri, diri orang lain dan
hubungan yang terjadi. Proses psikologis dapat berpengaruh pada komunikasi dan
hubungan interpersonal, karena individu–individu menggunakan sebagai
pedoman untuk bertindak dan berperilaku (Eko, 2008).
Proses Komunikasi interpersonal yang efektif memiliki sifat konvergen.
Komunikasi konvergen merupakan proses mencipta dan saling berbagi informasi
mengenai realita diantara dua partisipan komunikasi atau lebih agar dapat dicapai
saling pengertian dan kesepakatan makna (meaning) antara satu dengan yang lain.
Komunikasi melibatkan dua hal yaitu adanya keterlibatan realitas fisik dan
maupun psikologis dalam menanggapi sebuah informasi. Masing-masing
partisipan akan melakukan perceiving (percerapan), kemudian berusaha
(pemahaman), dan selanjutnya timbul believing (keyakinan) yang menimbulkan
action atau tindakan. Kesamaan yang terjadi pada setiap partisipan komunikasi
akan menghasilkan tindakan kolektif ( Eko, 2008).
Komunikasi interpersonal yang efektif memungkinkan seorang karyawan
untuk memahami dan menjalankan tugasnya sesuai dengan nilai-nilai perusahaan.
Menurut De Vito (1995) Komunikasi interpersonal yang efektif tercermin dalam 5
karakteristik, yaitu keterbukaan, empati, sikap mendukung, sikap positif, dan
kesetaraan. Komunikasi interpersonal antara anggota organisasi yang memiliki
karakteristik terbuka mampu membantu memberikan pemahaman yang sama
kepada setiap karyawan mengenai misi dan visi perusahaan. Selain itu adanya
sikap empati dan sikap mendukung akan membantu karyawan dalam memahami
pola pikir dan pandangan rekan kerja maupun atasan dalam mencari kesamaan
makna.
Dengan tercapainya kesamaan makna diharapkan akan terwujud tindakan
kolektif yang sama, sesuai dan bersifat asosiatif. Komunikasi interpersonal yang
efektif diharapkan membantu karyawan dalam mewujudkan perilaku kolektif
baik yang bersifat in role maupun extra role yang perpedoman pada visi, misi,
B. Perumusan Masalah
Permasalahan yang mendasari dalam penelitian ini adalah “apakah ada
hubungan yang signifikan antara komunikasi interpersonal yang efektif dan
organizational citizenship behavior?”
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan yang
signifikan antara komunikasi interpersonal yang efektif dan organizational
citizenship behavior.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan mampu menambah kajian atau bahasan teoritis
tentang bidang Psikologi Industri dan Organisasi mengenai hubungan
organizational citizenship behavior dan komunikasi interpersonal yang
efektif.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan bagi
perusahaan sebagai gambaran mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
masalah perilaku karyawan ditempat kerja secara umum dan OCB khususnya,
sehingga mampu digunakan sebagai bahan refleksi dalam organisasi
A. Komunikasi Interpersonal
1. Definisi Komunikasi Interpersonal
Komunikasi merupakan aktifitas dasar individu dalam organisasi.
Setiap individu dapat berhubungan, menyampaikan ide-ide, mengevaluasi,
mempertimbangkan berbagai keputusan yang akan diambil, mengenal
orang lain, dan mengungkapkan diri kepada orang lain dengan cara
berkomunikasi. Dengan berkomunikasi, seseorang dapat membentuk
hubungan dengan orang lain dan mengkoordinasi lingkungannya (De Vito,
1995).
Kata komunikasi berasal dari bahasa latin “communicatio” yang
berarti pertukaran pikiran. Komunikasi yaitu proses pertukaran pesan
verbal maupun non verbal antara si pengirim pesan dan si penerima pesan
untuk mengubah tingkah laku (Muhammad, 2007). Sedangkan menurut
C.I Hauland (dalam Agata, 2006) komunikasi adalah suatu proses dimana
individu atau komunikator mengirimkan stimuli dalam bentuk simbol
verbal untuk mengubah perilaku dari individu lain atau komunikate.
Berdasarkan beberapa definisi di atas terdapat beberapa komponen
pokok yang menjadi inti dalam melakukan proses komunikasi seperti
mengirim dan menerima stimuli, dilakukan oleh dua orang atau lebih, dan
komunikasi adalah proses pengiriman stimuli berupa simbol verbal
maupun non verbal yang dilakukan lebih dari satu orang dengan tujuan
untuk merubah perilaku.
Proses komunikasi merupakan bagian dari proses sosial selalu
diawali dengan proses reaksi kita atas sumber pesan yang ada di sekitar
lingkungan kita. Perbedaan personal yang ada dalam setiap individu
mempengaruhi perbedaan persepsi dalam memahami stimuli dimana akan
menciptakan interptretasi yang berbeda. Guna menciptakan keselarasan
interpretasi dari individu yang memiliki perbedaan personalitas perlu
adanya komunikasi yang lebih bersifat personal.
Roger (dalam Liliweri, 1991) mengemukakan bahwa komunikasi
antar pribadi merupakan komunikasi dari mulut ke mulut yang terjadi
dalam interaksi tatap muka antara beberapa pribadi. Selain itu De Vito
(1995) juga mendefinisikan komunikasi interpersonal merupakan
pengiriman pesan-pesan dari seseorang dan diterima oleh orang lain, atau
sekelompok orang dengan efek umpan balik yang langsung. Ditambahkan
juga oleh Muhammad (2007) komunikasi interpersonal adalah proses
pertukaran informasi diantara seseorang dengan paling kurang seorang
lainnya atau biasanya diantara dua orang yang dapat langsung diketahui
balikannya. Dari beberapa definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
komunikasi interpersonal adalah proses pengiriman dan pertukaran
informasi yang terjadi diantara dua orang atau lebih secara langsung
Pada proses komunikasi interpersonal dilakukan pemahaman
komunikasi dan hubungan interpersonal dari sudut individu, yang
selanjutnya disebut dengan proses psikologis. Proses psikologis
merupakan bagian penting dalam komunikasi interpersonal, karena dalam
komunikasi interpersonal individu mencoba menginterpretasikan makna
yang menyangkut diri sendiri, diri orang lain dan hubungan yang terjadi.
Proses psikologis dapat berpengaruh pada komunikasi dan hubungan
interpersonal, karena individu–individu menggunakan sebagai pedoman
untuk bertindak dan berperilaku (Eko, 2008).
Dalam melakukan proses komunikasi interpersonal, komunikator
berusaha memprediksi efek perilaku komunikasinya dari si penerima
pesan atau komunikan yang memberikan reaksi. Jika menurut
komunikator reaksi komunikan menyenangkan atau positif, maka ini suatu
pertanda bagi komunikator bahwa komunikasinya berhasil (Budyatna,
1999).
Komunikasi interpersonal memiliki karakteristik tertentu, seperti
apa yang dikemukakan oleh Judy C. Person (dalam Eko, 2008).
Komunikasi interpersonal bersifat transaksional; tindakan pihak–pihak
yang berkomunikasi secara serempak dalam menyampaikan dan
menerima pesan. Komunikasi interpersonal merupakan rangkaian
tindakan, kejadian dan kegiatan yang terjadi secara terus–menerus.
Komunikasi interpersonal bukan sesuatu yang statis tetapi bersifat
selalu dalam keadaan berubah baik pelaku komunikasi, pesan, situasi,
maupun lingkungannya. Komunikasi interpersonal juga menyangkut
aspek–aspek isi pesan dan hubungan antar pribadi, melibatkan dengan
siapa kita berkomunikasi dan bagaimana hubungan dengan partner.
Arah komunikasi yang terjadi dalam komunikasi interpersonal
adalah komunikasi konvergen. Komunikasi konvergen merupakan proses
mencipta dan saling berbagi informasi mengenai realita diantara dua
partisipan komunikasi atau lebih agar dapat di capai saling pengertian dan
kesepakatan makna (meaning) antara satu dengan yang lain. Komunikasi
melibatkan dua hal yaitu adanya keterlibatan realitas fisik dan maupun
psikologis dalam menanggapi sebuah informasi. Masing-masing partisipan
akan malakukan perceiving (percerapan), kemudian berusaha
menginterpretasikan informasi tersebut sehingga terjadi understanding
(pemahaman), dan selanjutnya timbul believing (keyakinan) yang
menimbulkan action atau tindakan. Kesamaan yang terjadi pada setiap
partisipan komunikasi akan menghasilkan tindakan kolektif ( Eko, 2008).
Menurut Kincaid’s Convergence Model seperti yang diungkapkan
oleh Eko (2008), komunikasi didefinisikan sebagai “Process in which
participants create and share information with one another in order to
reach a mutual understanding”. Tujuan utama komunikasi yang bersifat
konvergen adalah mendekatkan pengertian masing–masing ke dalam suatu
Konvergen adalah kecenderungan dua atau lebih individu untuk bergerak
menuju satu tujuan.
Pada organisasi, konvergensi juga ditentukan oleh intensitas
komunikasi diantara pimpinan dan karyawan atau antara sesama karyawan
dalam organisasi. Semakin sering terjadi komunikasi interpersonal akan
semakin kuat ke arah kecenderungan konvergensi. Komunikasi yang
berakhir dengan konvergensi akan memiliki pengaruh terhadap perilaku
karyawan dalam bekerja. Semakin tinggi terjadinya intensitas konvergensi
dimana pimpinan dan karyawan membentuk ke arah saling pengertian dan
sangat menolong dalam mengembangkan suatu relasi yang saling
memuaskan sehingga kerja sama akan semakin efektif (Jefkins, 1995).
2. Komponen Dasar Komunikasi Interpersonal
Komunikasi tidak terjadi secara linier atau atau searah melainkan
berkesinambungan dimana terjadi pergantian peran dan fungsi antara
sumber dan penerima. Proses komunikasi terjadi karena adanya
komponen-komponen dasar yang saling berkaitan. Menurut De Vito
(1995) komponen dasar komunikasi interpersonal adalah sebagai berikut:
a. Pengirim Pesan dan Penerima Pesan
Pengirim dan penerima pesan merupakan suatu kesatuan dalam
proses komunikasi. Pengirim pesan dan penerima pesan adalah
individu yang terlibat dalam proses komunikasi. Istilah pengirim dan
penerima pesan sebagai suatu kesatuan yang tak terpisahkan untuk
komunikasi interpersonal akan berperan sebagai sumber (pengirim)
juga sekaligus menjadi penerima.
b. Kodifikasi dan Dekodifikasi
Kodifikasi dapat diartikan sebagai tindakan memproduksi pesan.
Pesan bersumber dari gagasan-gagasan yang dituangkan dengan
menggunakan kode-kode tertentu melalui gelombang suara atau
dengan menuliskannya secara visual. Proses diatas dikenal dengan
berbicara dan menulis. Sedangkan dekodifikasi merupakan proses
memahami dan mengerti isi pesan yang diterima dari pihak lain.
c. Kompetensi
Kompetensi diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam
menyampaikan pesan secara efektif. Kompetensi mencakup hal-hal
seperti pengetahuan tentang peran lingkungan (konteks) dalam
mempengaruhi kandungan (content) dan bentuk pesan komunikasi.
Istilah kompetensi juga berhubungan dengan kemampuan berbahasa
dan kemampuan mengenai peraturan-peraturan untuk interaksi
komunikasi.
d. Pesan
Segala sesuatu yang ingin disampikan kepada pihak lain disebut
sebagai pesan. Pesan dapat berupa ide, informasi, harapan himbauan,
kepercayaan dan lain sebagainya, yang ingin disampaikan atau di
komunikasikan kepada pihak lain. Pesan dapat berupa verbal maupun
(unintentional). Pesan verbal adalah semua jenis komunikasi lisan
yang menggunakan satu kata atau lebih. Hampir semua rangsangan
wicara (communicative stimuli) yang disadari, masuk kedalam
kategori pesan verbal yang disengaja; yaitu usaha-usaha yang
dilakukan secara sadar untuk berhubungan dengan orang lain secara
lisan. Sedangkan pesan verbal tak disengaja adalah sesuatu yang
dikatakan tanpa bermaksud mengatakan hal tersebut. Pesan nonverbal
meliputi semua pesan yang disampaikan tanpa kata–kata.
e. Saluran
Saluran adalah media yang dilalui pesan atau dengan arti lain
jalan yang dilalui pesan dari pengirim pesan hingga ke penerima pesan.
Channel yang biasanya digunakan dalam proses komunikasi
interpersonal adalah gelombang suara yang dapat kita dengar. Pada
umumnya saluran yang dipakai dalam proses komunikasi interpersonal
lebih dari satu. Dua, tiga, atau empat saluran yang berbeda biasanya
digunakan secara simultan.
f. Noise
Noise atau gangguan adalah segala sesuatu yang mendistorsi
pesan yang menyebabkan timbulnya perbedaan persepsi antara
pengirim dan penerima pesan. Noise atau gangguan ini dapat
disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor pertama yaitu faktor fisik atau
interferensi dengan transmisi fisik isyarat atau pesan. Faktor yang
atau mental, dan termasuk juga prasangka yang bisa terdapat pada
pengirim maupun penerima pesan yang mengakibatkan gangguan
dalam memproses dan menerima informasi. Sedangkan faktor yang
terakhir adalah faktor semantik. Gangguan semantik terjadi bilamana
pengirim pesan dan penerima pesan memberi arti yang berlainan.
g. Konteks
Terbagi menjadi tiga, yaitu:
i. Dimensi Fisik, lingkungan dimana proses komunikasi itu terjadi
ii. Dimensi Temporal, mencakup hitungan waktu disaat proses
komunikasi terjadi.
iii. Dimensi Sosial Psikologis, termasuk didalamnya status sosial
antara komunikan dan komunikator, norma masyarakat dan
sebagainya.
h. Efek
Efek komunikasi dirasakan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam
proses komunikasi tersebut dan biasanya bersifat personal
i. Etika
Setiap proses komunikasi akan menghasilkan efek kepada
komunikan maupun komunikator, maka haruslah ada etika yang
mengatur dalam komunikasi. Etika dalam komunikasi sangat rumit dan
terkait dengan falsafah hidup setiap individu, sehingga sukar untuk
dikatakan etis apabila menjamin kebebasan memilih seseorang dengan
memberikannya dasar informasi yang akurat.
3. Komunikasi Interpersonal yang Efektif
Manusia adalah mahluk sosial yang tidak mungkin lepas dari
komunikasi interpersonal dalam kesehariannya. Komunikasi sangat
berperan penting dalam kehidupan kita dan sangat membantu kita dalam
mencapai kesuksesan hidup. Komunikasi interpersonal yang efektif akan
membantu dalam membangun dan meningkatkan kualitas relasi antara
pihak-pihak yang terlibat dalam proses komunikasi. Disamping itu
Johnson & Johnson (1994) menegaskan bahwa komunikasi interpersonal
yang efektif haruslah mengusahakan pesan yang dikirimkan akan sesuai
dengan pesan yang di terima
Komunikasi interpersonal yang efektif menurut De Vito (1995)
tercermin dalam 5 karakteristik sebagai berikut:
a. Keterbukaan
Pada dasarnya keterbukaan mengacu pada 3 aspek dari
komunikasi interpersonal. Pertama adalah sikap untuk membuka diri
dan bersedia membagikan informasi mengenai diri, asalkan
pengungkapan diri ini patut. Kesediaan membuka diri bukan berarti
seseorang harus membukakan seluruh riwayat hidupnya, akan tetapi
keterbukaan yang dimaksud yaitu sedia berbagi informasi dan
perasaan-perasaan yang dimiliki kepada orang lain sehingga atmosfir
dilakukan oleh satu pihak saja tanpa adanya keterbukaan dari pihak
lain akan mengakibatkan proses komunikasi berjalan tidak efektif.
Aspek yang ke dua mengacu pada kesediaan komunikator untuk
bereaksi secara jujur terhadap stimulus yang datang. Orang yang tidak
kritis dan tidak tanggap akan membuat proses komunikasi terkesan
menjenuhkan, namun respon yang berlebihan juga akan
mengakibatkan komunikasi tersebut tidak efektif. Aspek yang ke tiga
lebih menyangkut pada “kepemilikan” perasaan dan pemikiran. Pada
aspek ini lebih mengacu pada keberanian seseorang untuk memiliki
dan mengakui perasaan yang ditunjukkan kepada orang lain dan berani
bertanggung jawab atas pikiran dan perasaan yang di lontarkan.
b. Empati
Komunikasi interpersonal yang baik perlu didukung oleh sikap
empati dari pihak2 yang berkomunikasi. Berempati dengan orang lain
berarti merasakan apa yang orang lain rasakan, mencoba memahami
dari sudut pandang orang lain, dan memahami cara berpikir orang lain.
Dengan kata lain berempati adalah merasakan sesuatu seperti yang
orang lain mengalaminya (De Vito, 1997). Empati dianggap sebagai
memahami orang lain yang tidak mempunyai arti emosional bagi kita
(Freud, 1951). Kemampuan berempati sangat sulit ditingkatkan karena
setiap individu memiliki cara pandang, prinsip yang berbeda-beda
sehingga dalam proses berkomunikasi sering kali terjebak dalam
berempati adalah dengan menghindari keinginan untuk mengevaluasi,
menilai, menafsirkan, dan mengkritik lawan bicara atau terbawa dalam
emosi topik pembicaraan. Apabila reaksi ini muncul, maka akan
dikhawatirkan menghambat pemahaman.
Selain cara diatas, cara yang kedua adalah dengan mengenal
lebih banyak karakteristik individu tersebut, termasuk keinginannya,
pengalamannya, kemampuannya dan sebagainya. Proses ini akan
mempermudah pengirim pesan untuk melihat dan merasakan seperti
yang pihak lain rasakan. Cara yang terakhir adalah menggunakan sudut
pandang lawan bicara dalam memahami suatu masalah yang terjadi.
Empati yang akurat melibatkan kepekaan, baik kepekaan terhadap
perasaan yang ada maupun fasilitas verbal untuk mengkomunikasikan
suatu pegertian.
c. Sikap Mendukung
Hubungan interpersonal yang efektif adalah hubungan dimana
terdapat sikap mendukung (supportiveness). Komunikasi yang terbuka
dan penuh empati tidak akan dapat berlangsung dalam suasana yang
tidak mendukung. Menurut Jack Gibb dalam ( De Vito, 1997) sikap
mendukung dapat diperlihatkan dengan cara sebagai berikut:
i. Bersikap deskriptif bukan evaluatif.
Seseorang akan merasa nyaman apabila mempersepsikan
komunikasi sebagai sarana dalam berbagi informasi atau uraian
ancaman. Komunikasi yang bersifat menilai sering kali memaksa
individu untuk bersikap defensif. Sikap defensif menjadikan
komunikasi interpersonal menjadi tidak efektif karena individu
yang defensif akan lebih banyak melindungi diri dari ancaman
yang di tanggapinya dalam situasi komunikasi dari pada
memahami makna komunikasi. Tetapi tidak semua evluasi negatif
mengakibatkan respon defensif. Toni Brougher (dalam De Vito,
1997) menjelaskan tiga aturan mengenai komunikasi yang bersifat
deskriptif : yaitu menjelaskan apa yang terjadi, menjelaskan
perasaan yang dimiliki, dan menjelaskan mengapa hal tersebut
berkaitan dengan lawan bicara.
ii. Spontanitas
Individu yang bereaksi spontan dalam melakukan proses
komunikasi akan memberikan kesan terbuka dalam pemikiranya,
dan cenderung relatif lebih apa adanya. Sepontanitas individu itu
mampu mencerminkan keinginannya dalam mendukung proses
komunikasi tersebut.
iii. Provisionalisme
Sikap provisionalisme lebih dipandang sebagai sikap tentatif
atau berpikiran terbuka serta mendengarkan pandangan yang
berlawanan dan bersedia untuk mengubah pandangan atau
posisinya jika keadaan mengharuskan. Berkomunikasi dengan
adalah suatu hal yang sangat membosankan. Individu seperti ini
terpaku dengan dirinya sendiri dan tidak mentolerir adanya
perbedaan. Bila individu mau bersikap provisionalisme maka ia
akan memiliki pikiran yang terbuka dengan penuh kesadaran
mencoba melihat bahwa munkin saja terdapat kesalahan mengenai
pandangannya terhadap sesuatu, kemudian bersedia merubah sikap
dan pendapatnya. Situasi ini akan sangat mendukung proses
komunikasi interpersonal.
d. Sikap Positif
Sikap positif sangat diperlukan dalam komunikasi interpersonal.
Untuk mengkomunikasikan sikap positif dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut:
i. Menyatakan sikap positif.
Komunikasi interpersonal akan terbina jika individu itu
memiliki sikap positif terhadap dirinya sendiri. Individu yang
merasa memiliki sikap positif terhadap dirinya sendiri
mengisyaratkan perasaan tersebut kepada orang lain dan
merefleksikan perasaan positif yang dimiliki. Sikap positif sangat
penting dalam menciptakan situasi komunikasi yang mendukung
sehingga interaksi akan menjadi lebih efektif.
ii. Dorongan
Sikap positif dapat dinyatakan dalam bentuk dorongan
Dorongan positif seperti ini dianggap sangat penting dalam analisis
transaksional dan interaksi antara manusia. Dorongan positif pada
umumnya berbentuk pujian atau penghargaan dan terdiri atas
perilaku yang biasanya diharapkan, dinikmati atau dibanggakan.
Dorongan positif ini akan membuat citra pribadi dan membuat
seseorang merasa lebih baik.
e. Kesetaraan
Komunikasi interpersonal akan lebih efektif bila suasananya
setara dimana adanya pengakuan secara diam-diam bahwa kedua belah
pihak sama-sama bernilai atau berharga. Masing-masing pihak
memiliki sesuatu yang penting untuk disumbangkan. Kesetaraan juga
menyiratkan adanya sikap memperlakukan orang lain secara
demokratis dan horizontal dimana apabila terdapat perbedaan
pandangan maupun konflik, maka akan dilihat sebagai upaya untuk
memahami perbedaan dari pada sebagai suatu kesempatan untuk saling
menjatuhkan pihak lain.
Kesetaraan bukan berarti mengharuskan seseorang untuk
menyetujui dan menerima pandangan dan pemikiran pihak lain. Tetapi
lebih menekankan pada sikap menghargai atau dalam istilah Carl
Roger (dalam Eko, 2008), Kesetaraan dalam memberikan
“Penghargaan positif tak bersyarat” kepada pihak lain. Diharapkan
terlibat dalam proses komunikasi dapat saling menghargai dan
menghormati perbedaan pandangan.
B. Organizational Citizenship Behavior (OCB)
1. Definisi Organizational Citizenship Behavior (OCB)
Dalam upaya meningkatkan efektivitas dan produktifitas perusahaan
maka individu-individu yang ada dalam sebuah organisasi perlu memiliki
perilaku yang menunjang. Perilaku tersebut tidak hanya yang sesuai
dengan tuntutan dari pihak perusahaan atau sesuai dengan fungsi perannya
saja (in-role) namun lebih diharapkam mampu memunculkan perilaku
yang lebih dari perannya (extra-role) dalam setiap individu dalam
organisasi, sehingga jalinan kerjasama antar individu semakin solid dan
dapat bekerja secara optimal bagi organisasi. Katz (dalam Wahyu, 2002)
mengkategorikan 3 perilaku pekerja yang penting bagi keefektifan
organisasi. Dimana ketiga kategori tersebut adalah: Pertama individu harus
masuk kedalam dan tinggal di dalam organisasi; kedua mereka harus
menyelesaikan peran khusus dalam suatu pekerjaan tertentu; dan ke tiga
mereka harus terikat pada aktivitas yang inovatif dan spontan melebihi
persepsi perannya.
Dari ketiga kategori di atas, Katz berusaha mengindentifikasikan
perilaku aktif, inovatif dan spontan yang melebihi persepsi perannya
organisasi. Perilaku kerja Extra-role tersebut sering disebut juga sebagai
Organizational Citizenship Behavior (OCB).
OCB merupakan aspek aktifitas individu yang unik di tempat kerja,
yang mana pertama kali dikemukakan pada awal tahun 1980-an. OCB
merupakan kontribusi individu yang melebihi tuntutan peran di tempat
kerja dan di-reward oleh perolehan kinerja tugas. OCB melibatkan
beberapa perilaku meliputi perilaku menolong orang lain, menjadi
volunteer untuk tugas-tugas ekstra, dan patuh pada aturan-aturan dan
prosedur-prosedur di tempat kerja. Perilaku-perilaku ini mencerminkan
“nilai tambah karyawan” yang merupakan salah satu bentuk perilaku
prososial, yaitu perilaku sosial yang positif, konstruktif, dan bermakna
membantu (Aldag dan Resckhe, 1997).
Organ (1997) mendifinisikan OCB sebagai perilaku individu yang
bebas, tidak berkaitan secara langsung atau explisit dengan sistem reward
dan bisa meningkatkan fungsi efektif organisasi. Sementara itu Van Dyne
dkk (dalam Wahyu, 2002) yang mengusulkan konstruksi dari Extra-Role
Behavior (ERB) memberikan pengertian bahwa OCB sebenarnya adalah
rekonseptual dari sifat kewarganegaraan, dimana perilaku yang
menguntungkan organisasi dan atau cenderung menguntungkan organisasi,
secara sukarela atau melebihi apa yang menjadi tuntutan peran. Devinisi
ini lebih menganggap bahwa intensi aktor adalah untuk “menguntungkan
Smith dkk (dalam Chrismasari, 2006) mendefinisikan OCB
merupakan perilaku pekerja yang melebihi tugas formalnya dan
memberikan kontribusi pada keefektifan organisasi. Borman, W.C. dan
Motowidlo (1993) cenderung mengkonstruksikan OCB sebagai contextual
behavior dimana tidak hanya mendukung inti dari perilaku itu sendiri,
melainkan mendukung semakin besarnya lingkungan organisasi, sosial dan
psikologis sehingga inti teknisnya berfungsi. Definisi ini tidak dibayangi
istilah sukarela, reward atau niat sang aktor melainkan perilaku seharusnya
mendukung lingkungan organisasi, sosial dan psikologis lebih dari sekedar
inti teknis.
Dari beberapa definisi di atas dapat di simpulkan bahwa OCB
merupakan:
a. Perilaku yang bersifat sukarela, bukan tindakan yang terpaksa terhadap
hal-hal yang mengedepankan kepentingan organisasi
b. Perilaku individu sebagai wujud dari kepuasan berdasarkan
performance. Tidak diperintahkan secara formal.
c. Tidak berkaitan secara langsung dan terang-terangan dengan sistem
reward yang formal.
2. Dimensi-dimensi OCB
Istilah OCB pertama kali diajukan oleh Organ (1988), yang
a. Altruisme, yaitu perilaku membantu karyawan lain tanpa ada paksaan
pada tugas-tugas yang berkaitan erat dengan operasi-operasi
organizational.
b. Civic Virtue, menunjukkan partisipasi sukarela dan dukungan terhadap
fungsi-fungsi organisasi baik secara profesional maupun sosial
alamiah.
c. Conscientiousness, berisi tentang kinerja dari prasyarat yang melebihi
standar minimum.
d. Courtesy, adalah perilaku meringankan problem-problem yang
berkaitan dengan pekerjaan yang dihadapi orang lain.
e. Sportmanship, berisi tentang pantangan-pantangan membuat isu-isu
yang merusak meskipun merasa jengkel.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi OCB
a. Kepribadian dan suasana hati (mood)
Kepribadian dan suasana hati berpengaruh terhadap timbulnya
perilaku OCB secara individual maupun kelompok. George dan Brief
(1992) berpendapat bahwa kemauan seseorang untuk membantu orang
lain juga di pengaruhii oleh mood. Kepribadian merupakan suatu
karakteristik yang secara relatif dapat di katakan tetap, sedangkan
suasana hati merupakan karakteristik yang dapat berubah-ubah.
Sebuah suasana hati yang positif akan meningkatkan peluang
seseorang untuk membantu orang lain.
Meskipun suasana hati dipengaruhi sebagian oleh kepribadian, ia
karyawan dan iklim kerja kelompok, serta faktor-faktor
keorganisasian. Jadi, apabila organisasi menghargai karyawan dan
memperlakukan mereka secara adil serta iklim kerja dan interaksi
karyawan dalam kelompok kerja berjalan positif maka karyawan
cenderung berada dalam suasana hati yang bagus. Konsekuensinya
mereka secara sukarela akan memberikan bantuan kepada orang lain
(Sloat, 1999).
b. Job involvement
Job involvement merupakan identifikasi psikologis individu atau
komitmen individu pada pekerjaannya (Kanunggo, dalam Chugthai,
2008). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Chugthai dari Ireland
university orang yang memiliki kepedulian dan konsen terhadap
pekerjaannya memiliki hubungan yang positif terhadapOCB.
c. Persepsi tentang keadilan
Berdasarkan penelitian yang di lakukan oleh Messer dan White
(2006) didihasilkan bahwa orang yang memiliki persepsi terhadap
keadilan yang baik akan menunjukkan OCBdalam pekerjaannya.
e. Budaya dan iklim organisasi
Menurut Organ (1995), terdapat bukti-bukti kuat bahwa budaya
organisasi merupakan suatu kodisi awal yang utama yang memicu
terjadinya OCB. Sloat (1999) berpendapat bahwa karyawan cenderung
melakukan tindakan yang melampaui tanggung jawab kerja mereka
perlakuan yang sportif dan penuh perhatian dari para pengawas,
percaya bahwa mereka di perlakukan adil oleh organisasi.
Iklim organisasi yang positif, karyawan merasa lebih ingin
melakukan pekerjaannya melebihi apa yang telah disyaratkan dalam
uraian pekerjaan, dan akan selalu mendukung tujuan organisasi apabila
mereka diperlakukan sportif dengan penuh kesadaran serta percaya
bahwa mereka diperlakukan secara adil oleh organisasinya.
Kanovsky dan Pugh (1994) menggunakan teori pertukaran sosial
(Social Exchange theory) untuk berprndapat ketika karyawan telah
puas terhadap pekerjaannya, mereka akan membalasnya. Pembalasan
dari karyawan tersebut termasuk perasaan memiliki (sense of
belonging) yang kuat terhadap organisasi dan perilaku seperti
Organizational Citizenship.
f. Persepsi terhadap kualitas interaksi atasan-bawahan
Kualitas interaksi atasan-bawahan juga diyakini sebagai
prediktor OCB. Miner (1988) mengemukakan bahwa interaksi atasan
bawahan yang berkualitas tinggi akan memberikan dampak seperti
meningkatnya kepuasan kerja, produktifitas, dan kinerja karyawan.
Riggio (1990) mengatakan bahwa apabila interaksi atasan-bawahan
berkualitas tinggi maka seseorang atasan akan berpandangan positif
terhadap bawahannya sehingga bawahannya akan merasakan bahwa
atasannya banyak memberikan dukungan dan motivasi. Hal ini
sehingga mereka termotivasi untuk melakukan “lebih dari” yang
diharapkan oleh atasan mereka.
g. Masa kerja
Greenberg dan Baron (2000) Mengemukakan bahwa
karakteristik personal seperti masa kerja (gender) berpengaruh pada
OCB. Hal yang sama juga di kemukakan oleh (Sommers dkk., 1996).
Masa kerja dapat berfungsi sebagai prediktor OCB karena
variabel-variabel tersebut mewakili “pengukuran” terhadap “investasi”
karyawan di organisasi.
Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa masa
kerja berkorelasi dengan OCB. Karyawan yang telah lama bekerja di
suatu organisasi akan memiliki keterdekatan dan keterikatan yang kuat
terhadap organisasi tersebut. Masa kerja yang lama juga akan
meningkatkan rasa percaya diri dan kompetensi karyawan dalam
melakukan pekerjaannya, serta menimbulkan perasaan dan perilaku
positif terhadap organisasi yang mempekerjakannya. Semakin lama
karyawan bekerja di sebuah organisasi, semakin tinggi persepsi
karyawan bahwa mereka memiliki “investasi” di dalamnya (Novliadi,
2007).
h. Jenis kelamin (Gender)
Lovel dkk.(dalam Novliadi, 2007) menemukan perbedaan yang
cukup signifikan antara pria dan wanita dalam tingkatan OCB mereka,
(1994) juga membuktikan bahwa ada perbedaan persepsi terhadap
OCB antara pria dan wanita, dimana wanita menganggap OCB
merupakan bagian dari perilaku in-role mereka di bandng pria.
Bukti-bukti tersebut menunjukkan bahwa wanita cenderung
menginternalisasi harapan-harapan kelompok, rasa kebersamaan dan
aktivitas-aktivitas menolongsebagai bagian dari pekerjaan mereka
(Diefendorff dkk. dalam Novliadi, 2007).
4. Implikasi OCB
Beberapa penelitian dilakukan para ahli yang mencoba
menghubungkan antara OCB dengan beberapa aspek dalam organisasi.
a. Keterkaitan OCB dengan kualitas pelayanan
Podsakoff, dkk. (1997) secara khusus meneliti tentang keterkaitan
OCB dengan kualitas pelayanan. Dalam penelitian tersebut ditemukan
bahwa organisasi yang tinggi tingkat OCB di kalangan karyawannya,
tergolong rendah dalam menerima komplain dari konsumen pada
organisasi tersebut.
b. Keterkaitan OCB dengan kinerja kelompok
Dalam penelitian yang dilakukan oleh George dan Bettenhausen
(dalam Novliadi, 2007), menemukan adanya keterkaitan yang erat antara
OCB dengan kinerja kelompok. Adanya perilaku altruistik memungkinkan
sebuah kelompok bekerja secara kompak dan efektif untuk saling
menutupi kelemahan masing-masing. Selain temuan George dan
menemukan keterkaitan erat antara OCB dengan kinerja kelompok.
Keterkaitan erat terutama terjadi antara OCB tingginya hasil kerja
kelompok secara kuantitas, sementara kualitas hasil kerja tidak ditemukan
keterkaitan yang erat.
c. Keterkaitan OCB dengan turnover
Penelitian yang dilakukan oleh Chen, dkk. (1998) mencoba
menghubungkan OCB dengan turnover karyawan. Mereka menemukan
adanya hubungan terbalik antara OCB dengan turnover. Dari penelitian
tersebut bisa disimpulkan bahwa karyawan yang memiliki OCB rendah
memiliki kecenderungan untuk meninggalkan organisasi (keluar)
dibanding dengan karyawan yang memiliki tingkat OCB yang tinggi.
Dari paparan datas dapat disimpulkan bahwa OCB menimbulkan
dampak positif bagi organisasi, seperti meningkatnya kualitas pelayanan,
meningkatkan kinerja kelompok, dan menurunkankan tingkat turnover.
Oleh karena itu, menjadi penting bagi organisasi untuk meningkat OCB di
kalangan karyawannya. Salah satunya adalah dengan menganalisis
persepsi mereka terhadap dukungan organisasional dan persepsi terhadap
kualitas interaksi atasan-bawahan yang merupakan faktor yang
mempengaruhinya, untuk keperluan modifikasi intervensi organisasi dan
C. Hubungan Komunikasi Interpersonal yang Efektif dan OCB
Komunikasi merupakan sesuatu hal yang tidak dapat dielakkan dalam
kehidupan setiap manusia. Komunikasi merupakan hal penting dalam proses
interaksi antar sesama manusia. Komunikasi antar karyawan termasuk dalam
komunikasi interpersonal yang berada dalam lingkungan organisasi.
Komunikasi karyawan meliputi komunikasi interpersonal. Komunikasi
interpersonal merupakan proses pertukaran informasi antara seseorang dengan
orang lain dengan efek umpan balik yang langsung diketahui balikannya (De
Vito, 1995).
Komunikasi interpersonal yang efektif telah lama di kenal sebagai salah
satu dasar untuk berhasilnya suatu organisasi. Proses komunikasi yang terjadi
di dalam perusahaan khususnya yang menyangkut komunikasi antara atasan
dan karyawan maupun antara sesama karyawan merupakan faktor penting
dalam menciptakan efektifitas organisasi. Untuk itu perlu dikembangkan
Komunikasi interpersonal yang efektif dengan memperhatikan aspek-aspek
keterbukaan empati, saling mendukung, sikap positif dan kesetaraan.
Komunikasi interpersonal yang efektif dalam organisasi akan memberikan
dampak kepuasan dan produktifitas kerja karyawan (Muhammad, 2007).
Komunikasi interpersonal yang efektif merupakan faktor pembentuk
interaksi yang berkualitas antara sesama karyawan (Hermawan, 2008).
Interaksi yang baik diantara karyawan akan mempengaruhi suasana hati yang
positif. Hal ini akan meningkatkan peluang seorang karyawan untuk menolong
Bila karyawan merasa tidak senang dengan situasi kerjanya, biasanya ia
akan mengatakan tidak puas atas pekerjaannya. Ada dua hal yang
menyebabkan orang tidak puas dengan pekerjaannya. Pertama, apabila orang
tersebut tidak mendapatkan informasi yang dibutuhkan untuk melakukan
pekerjaannya; kedua, apabila hubungan antara teman sekerja kurang baik
(Muhammad, 2007). Dari uraian di atas menjelaskan bahwa komunikasi
interpersoanl menjadi indikator seseorang dalam menentukan kepuasan kerja.
Karyawan yang memiliki kepuasan kerja dalam organisasi akan
mempunyai sikap loyalitas terhadap terhadap organisasi karena merasa
menjadi bagian dari organisasi tersebut. Kepuasan kerja juga akan mendorong
karyawan untuk berperilaku lebih dari tuntun deskripsi kerja. Perilaku
karyawan yang bekerja melebihi tuntutan kerja (Extra-role) ini juga sering
disebut sebagai OCB. Menurut Organ (1988) OCB merupakan perilaku yang
muncul akibat dari kepuasan kerja serta keadilan. OCB diasumsikan akan
selalu muncul apabila karyawan mengalami kepuasan kerja. Organizational
Citizenship Behavior sangat berpengaruh dalam kesuksesan organisasi hal ini
bisa diamati dari dimensi- dimensi OCB yang mempunyai hubungan setara
dengan kepuasan kerja, komitmen organisasi, kejujuran, sikap ketelitian, dan
dukungan pimpinan (Lapine dalam Hardaningtyas, 2004). Pernyataan itu
didukung dengan penelitian MacKenzie, dkk. (1998) mengenai hubungan
kepuasan kerja dengan OCB yang mana didapatkan hasil bahwa kepuasan
diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi perkembangan produktivitas
Bagan 1
D. Hipotesis
Berdasarkan Landasan Teori sebagai dasar kajian teoritis terhadap
permasalahan yang telah dikemukakan, sehingga dapat disusun suatu hipotesis
sebagai berikut:
Ada hubungan positif antara komunikasi interpersonal yang efektif
dengan organizational citizenship behaviour. Semakin tinggi komunikasi
interpersonal yang efektif maka semakin tinggi pula OCB. Demikian juga
sebaliknya, semakin rendah komunikasi interpersonal yang efektif maka
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah kuantitatif korelasional yaitu penelitian yang
bertujuan mencari suatu hubungan dari dua variabel (Usman, 2003). Sesuai
dengan tujuannya, penelitian ini ingin mencari hubungan antara Komunikasi
Interpersonal yang Efektif dan Organizational Citizenship Behavior.
B. Identifikasi Variabel Penelitian
Dua variabel dalam penelitian ini adalah:
1. Variabel 1 : komunikasi interpersonal yang efektif.
2. Variabel 2 : organizational citizenship behavior yang memiliki 5
dimensi yaitu altruism, civic virtue, conscientiousness,
courtesy, sportsmanship.
C. Definisi Operasional
Definisi operasional penelitian adalah batasan atau spesifikasi dari
variabel-variabel penelitian yang secara konkret berhubungan dengan realitas
yang akan diukur dan merupakan manifestasi dari hal-hal yang akan diamati
Adapun definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Organizational Citizenship Behavior
Merupakan tinggi rendahnya dimensi-dimensi organizational
citizenship behavior (OCB) dalam diri pegawai, meliputi Altruism
(perilaku membantu karyawan lain tanpa ada paksaan pada tugas-tugas
yang berkaitan erat dengan operasi-operasi organisasional), Courtesy
(perilaku meringankan problem-problem yang berkaitan dengan
pekerjaan yang di hadapi orang lain), Conscientiousness (berisi tentang
kinerja dari prasyarat peran yang melebihi standart minimum), Civic
virtue (partisipasi sukarela dan dukungan terhadap fungsi-fungsi
organisasi baik secara profesional maupun sosial alamiah),
Sportmanship (pantangan-pantangan membuat isu-isu yang merusak
meskipun merasa jengkel terhadap situasi kerja yang kurang ideal).
OCB diukur dengan menggunakan skala Organizational
Citizenship Behavior yang terdiri dari lima dimensi. Skor setiap
dimensi yang diperoleh subyek menunjukan tinggi atau rendahnya
OCB subyek pada setiap dimensinya. Semakin tinggi skor OCB
dimensi tertentu yang diperoleh subyek, menunjukkan bahwa OCB
dimensi tertentu yang dimiliki subyek semakin tinggi. Begitu pula
sebaliknya, semakin rendah skor pada OCB dimensi tertentu yang
diperoleh subyek, menunjukkan bahwa OCB dimensi tertentu yang
2. Komunikasi Interpersonal yang Efektif
Komunikasi interpersonal yang efektif merupakan tingkat
keefektifan seseorang dalam melakukan proses mengirim dan
menerima informasi verbal maupun non verbal dari atau kepada orang
lain yang didasarkan pada karakteristik komunikasi interpersonal yang
efektif, yang meliputi keterbukaan, empati, sikap mendukung, sikap
positif dan kesetaraan. Individu yang memiliki tingkat komunikasi
personal yang efektif mampu melakukan proses pertukaran informasi
dengan baik, yang ditandai dengan tercapainya suatu pengertian yang
sama. Sebaliknya jika individu memiliki tingkat komunikasi
interpersonal yang kurang efektif, maka individu tersebut kurang
mampu melakukan proses pertukaran informasi dengan baik, yang
ditandai dengan kurang terciptanya kesepahaman pengertian.
Komunikasi interpersonal yang efektif diukur dengan
menggunakan skala Komunikasi Interpersonal yang Efektif. Skor total
yang diperoleh subyek menunjukkan tinggi atau rendahnya
komunikasi interpersonal yang efektif. Semakin tinggi skor total yang
diperoleh subyek, menunjukkan semakin tinggi Komunikasi
Interpersonal yang Efektif. Begitu pula sebaliknya semakin rendah
Komunikasi Interpersonal yang Efektif, menunjukkan semakin rendah
D. Subyek
Sampel ialah sebagian anggota populasi yang diambil dengan
menggunakan teknik tertentu yang disebut dengan teknik sampling (Usman &
Akbar, 2003). Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik purposive
sampling yaitu pemilihan anggota sampel didasarkan pada tujuan
penelitiannya.
Subyek penelitian ini adalah staf karyawan bagian produksi fitting PT.
Wavin Duta Jaya, Cibitung, Jawa Barat. Alasan peneliti mengambil subyek
diatas karena bagian ini merupakan bagian penting dalam perusahaan dimana
terjadi proses pengolahan bahan mentah menjadi barang jadi yang siap di
serap pasar. Pada bagian produksi diperlukan ketelitian, dan produktifitas
kerja yang tinggi, untuk menghasilkan produk yang berkualitas. Karena itu,
diperlukan adanya koordinasi yang baik antara sesama karyawan maupun
dengan atasan atau pihak manajemen, mengingat bagian produksi memiliki
fungsi yang fundamental dalam perusahaan.
E. Prosedur Penelitian
1. Membuat skala penelitian yang terdiri dari skala Komunikasi
Interpersonal yang Efektif dan skala Organizational Citizenship Behavior
untuk kemudian diuji coba pada kelompok subyek.
2. Melakukan uji coba aitem dan reabilitas skala untuk mendapatkan aitem
3. Menentukan subyek penelitian dan mengukur tingkat Komunikasi
Interpersonal yang Efektif dan tingkat Organizational Citizenship
Behavior dengan cara mengisi skala yang sudah reliabel dan lolos seleksi
aitem.
4. Menganalisis data yang masuk menggunakan Product Moment dari
Pearson.
5. Membuat kesimpulan berdasarkan hasil analisis.
F. Metode Pengumpulan Data
1. Skala Komunikasi Interpersonal yang Efektif
Skala Komunikasi Interpersonal yang Efektif bertujuan untuk
mengungkap tingkat Komunikasi Interpersonal yang Efektif yang dimiliki
oleh staf karyawan bagian produksi PT. Wavin Duta Jaya. Metode
penyusunan skala yang digunakan adalah metode Summated Rating yaitu
metode perskalaan pernyatan sikap yang menggunakan distribusi respon
sebagai dasar penentuan nilai skalanya (Azwar, 1999). Jenis skala dalam
penelitian ini menggunakan skala Likert, yang telah dimodifikasi menjadi
4 kategori jawaban yaitu Sering sekali (SS), Sering (S), Jarang-jarang
(JR), dan Tidak Pernah (TP). Dimana kategori aitem-aitem dalam skala
tersebut dikelompokan menjadi 2 kategori yaitu:
a. Aitem-aitem favorable, dengan pilihan jawaban dan skor untuk setiap
jawaban adalah sebagai berikut:
ii. Sering : Skor 3
iii. Jarang : Skor 2
iv. Tidak Pernah : Skor 1
b. Aitem-aitem unfavorable, dengan pilihan jawaban dan skor untuk
setiap jawaban adalah sebagai berikut:
i. Sering sekali : Skor 1
ii. Sering : Skor 2
iii. Jarang : Skor 3
iv. Tidak Pernah : Skor 4
Skala Komunikasi Interpersonal yang Efektif ini mencakup 50 aitem
yang terdiri dari 25 item favorable dan 25 aitem unfavorable. Penyusunan
skala Komunikasi Interpersonal yang Efektif ini didasarkan Komunikasi
Interpersonal yang Efektif terdiri dari aspek-aspek sebagai berikut:
a. Keterbukaan
Keterbukaan dapat diamati dari 3 hal yaitu adanya keinginan
untuk membuka diri dan keinginan untuk membagikan informasi yang
dimiliki kepada orang lain. Keterbukaan juga dapat diamati melalui
adanya keinginan untuk memberikan tanggapan sejujurnya terhadap
stimulus yang diterima. Terakhir keterbukaan juga menuntut adanya
tanggung jawab atas segala pikiran dan perasaan yang telah
b. Empati
Berempati berarti kesedian diri untuk memahami orang lain
dengan mencoba merasakan apa yang orang lain rasakan melalui cara
pandang yang sama.
c. Sikap mendukung
Hubungan yang bersifat membantu yang diberikan kepada orang
lain. Ada banyak cara dalam menyatakan dukungan kepada orang lain.
Dukungan itu dapat berupa ungkapan verbal seperti pujian, tetapi
dukungan juga dapat berupa ungkapan non verbal yang memiliki arti
positif dalam komunikasi.
d. Sikap Positif
Sikap positif dalam komunikasi interpersonal dapat diwujudkan
dengan memiliki sikap positif terhadap diri sendiri dan menghargai
orang lain. Sikap positif pada diri sendiri menandakan bahwa ia
mampu menghargai dirinya secara positif.
e. Kesetaraan
Merupakan suasana dimana adanya kesamaan kedudukan
masing-masing pihak. Dengan adanya kesamaan individu akan merasa
dihargai dan dihormati sebagai manusia yang memiliki sesuatu yang
penting untuk dikontribusikan kepada orang lain.
Skor total subjek merupakan penjumlahan seluruh skor setiap
komunikasi interpersonal yang efektif karyawan. Demikian juga
sebaliknya, semakin rendah skor total subjek maka semakin rendah
pula komunikasi interpersonal yang efektif karyawan.
Dibawah ini adalah tabel distribusi penyebaran aitem
Komunikasi Interpersonal yang Efektif untuk diuji coba kan.
Tabel 1
Distribusi Penyebaran Aitem Komunikasi Interpersonal yang Efektif Sebelum Uji Coba
Sifat Aitem
2. Skala Organizational Citizenship Behavior
Skala ini bertujuan untuk mengungkap tingkat Organizational
Citizenship Behavior yang dimiliki oleh staf karyawan bagian produksi
PT. Wavin Duta Jaya. Metode penyusunan skala menggunakan Summated
Rating, dengan menggunakan skala Likert, yang telah dimodifikasi
menjadi 4 (empat) kategori yaitu Sering sekali (SL), Sering (S),
pernyataan favorable dan unfavorable. Peneliti hanya menyediakan empat
alternatif jawaban dengan maksud untuk menghindari bias yang terjadi apa
bila terdapat lima jawaban dengan pilihan tengah yang berarti netral atau
kadang – kadang. Hal ini diungkapkan oleh Hadi (1991) bahwa subjek
memiliki kecenderungan untuk memilih jawaban di tengah (Central
Tendency Effect).
Pada skala Organisational Citizenship Behavior ini peneliti
menggunakan dimensi-dimensi primer dari OCB (Allison, dkk, 2001)
sebagai aspeknya untuk dijadikan indikator aitem. Adapun
aspek-aspek OCB adalah sebagai berikut:
a. Altruisme, yaitu perilaku membantu karyawan lain tanpa ada paksaan
pada tugas-tugas yang berkaitan erat dengan operasi-operasi
organizational
b. Civic Virtue, menunjukkan partisipasi sukarela dan dukungan terhadap
fungsi-fungsi organisasi baik secara profesional maupun sosial
alamiah.
c. Conscientiousness, berisi tentang kinerja dari prasyarat yang melebihi
standar minimum.
d. Courtesy, adalah perilaku meringankan problem-problem yang
berkaitan dengan pekerjaan yang dihadapi orang lain.
e. Sportmanship, berisi tentang pantangan-pantangan membuat isu-isu