• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

D. Manfaat Penelitian

3. Komunikasi Interpersonal yang Efektif

Manusia adalah mahluk sosial yang tidak mungkin lepas dari komunikasi interpersonal dalam kesehariannya. Komunikasi sangat berperan penting dalam kehidupan kita dan sangat membantu kita dalam mencapai kesuksesan hidup. Komunikasi interpersonal yang efektif akan membantu dalam membangun dan meningkatkan kualitas relasi antara pihak-pihak yang terlibat dalam proses komunikasi. Disamping itu Johnson & Johnson (1994) menegaskan bahwa komunikasi interpersonal yang efektif haruslah mengusahakan pesan yang dikirimkan akan sesuai dengan pesan yang di terima

Komunikasi interpersonal yang efektif menurut De Vito (1995) tercermin dalam 5 karakteristik sebagai berikut:

a. Keterbukaan

Pada dasarnya keterbukaan mengacu pada 3 aspek dari komunikasi interpersonal. Pertama adalah sikap untuk membuka diri dan bersedia membagikan informasi mengenai diri, asalkan pengungkapan diri ini patut. Kesediaan membuka diri bukan berarti seseorang harus membukakan seluruh riwayat hidupnya, akan tetapi keterbukaan yang dimaksud yaitu sedia berbagi informasi dan perasaan-perasaan yang dimiliki kepada orang lain sehingga atmosfir komunikasi menjadi lebih berarti. Namun Keterbukaan yang hanya

dilakukan oleh satu pihak saja tanpa adanya keterbukaan dari pihak lain akan mengakibatkan proses komunikasi berjalan tidak efektif.

Aspek yang ke dua mengacu pada kesediaan komunikator untuk bereaksi secara jujur terhadap stimulus yang datang. Orang yang tidak kritis dan tidak tanggap akan membuat proses komunikasi terkesan menjenuhkan, namun respon yang berlebihan juga akan mengakibatkan komunikasi tersebut tidak efektif. Aspek yang ke tiga lebih menyangkut pada “kepemilikan” perasaan dan pemikiran. Pada aspek ini lebih mengacu pada keberanian seseorang untuk memiliki dan mengakui perasaan yang ditunjukkan kepada orang lain dan berani bertanggung jawab atas pikiran dan perasaan yang di lontarkan.

b. Empati

Komunikasi interpersonal yang baik perlu didukung oleh sikap empati dari pihak2 yang berkomunikasi. Berempati dengan orang lain berarti merasakan apa yang orang lain rasakan, mencoba memahami dari sudut pandang orang lain, dan memahami cara berpikir orang lain. Dengan kata lain berempati adalah merasakan sesuatu seperti yang orang lain mengalaminya (De Vito, 1997). Empati dianggap sebagai memahami orang lain yang tidak mempunyai arti emosional bagi kita (Freud, 1951). Kemampuan berempati sangat sulit ditingkatkan karena setiap individu memiliki cara pandang, prinsip yang berbeda-beda sehingga dalam proses berkomunikasi sering kali terjebak dalam pikiran dan perasaannya sendiri. Cara yang digunakan untuk dapat

berempati adalah dengan menghindari keinginan untuk mengevaluasi, menilai, menafsirkan, dan mengkritik lawan bicara atau terbawa dalam emosi topik pembicaraan. Apabila reaksi ini muncul, maka akan dikhawatirkan menghambat pemahaman.

Selain cara diatas, cara yang kedua adalah dengan mengenal lebih banyak karakteristik individu tersebut, termasuk keinginannya, pengalamannya, kemampuannya dan sebagainya. Proses ini akan mempermudah pengirim pesan untuk melihat dan merasakan seperti yang pihak lain rasakan. Cara yang terakhir adalah menggunakan sudut pandang lawan bicara dalam memahami suatu masalah yang terjadi. Empati yang akurat melibatkan kepekaan, baik kepekaan terhadap perasaan yang ada maupun fasilitas verbal untuk mengkomunikasikan suatu pegertian.

c. Sikap Mendukung

Hubungan interpersonal yang efektif adalah hubungan dimana terdapat sikap mendukung (supportiveness). Komunikasi yang terbuka

dan penuh empati tidak akan dapat berlangsung dalam suasana yang tidak mendukung. Menurut Jack Gibb dalam ( De Vito, 1997) sikap mendukung dapat diperlihatkan dengan cara sebagai berikut:

i. Bersikap deskriptif bukan evaluatif.

Seseorang akan merasa nyaman apabila mempersepsikan komunikasi sebagai sarana dalam berbagi informasi atau uraian kejadian tertentu karena pada umumnya ia tidak merasakan

ancaman. Komunikasi yang bersifat menilai sering kali memaksa individu untuk bersikap defensif. Sikap defensif menjadikan komunikasi interpersonal menjadi tidak efektif karena individu yang defensif akan lebih banyak melindungi diri dari ancaman yang di tanggapinya dalam situasi komunikasi dari pada memahami makna komunikasi. Tetapi tidak semua evluasi negatif mengakibatkan respon defensif. Toni Brougher (dalam De Vito, 1997) menjelaskan tiga aturan mengenai komunikasi yang bersifat deskriptif : yaitu menjelaskan apa yang terjadi, menjelaskan perasaan yang dimiliki, dan menjelaskan mengapa hal tersebut berkaitan dengan lawan bicara.

ii. Spontanitas

Individu yang bereaksi spontan dalam melakukan proses komunikasi akan memberikan kesan terbuka dalam pemikiranya, dan cenderung relatif lebih apa adanya. Sepontanitas individu itu mampu mencerminkan keinginannya dalam mendukung proses komunikasi tersebut.

iii. Provisionalisme

Sikap provisionalisme lebih dipandang sebagai sikap tentatif atau berpikiran terbuka serta mendengarkan pandangan yang berlawanan dan bersedia untuk mengubah pandangan atau posisinya jika keadaan mengharuskan. Berkomunikasi dengan orang yang selalu memaksakan pandangan dan pemikirannya

adalah suatu hal yang sangat membosankan. Individu seperti ini terpaku dengan dirinya sendiri dan tidak mentolerir adanya perbedaan. Bila individu mau bersikap provisionalisme maka ia akan memiliki pikiran yang terbuka dengan penuh kesadaran mencoba melihat bahwa munkin saja terdapat kesalahan mengenai pandangannya terhadap sesuatu, kemudian bersedia merubah sikap dan pendapatnya. Situasi ini akan sangat mendukung proses komunikasi interpersonal.

d. Sikap Positif

Sikap positif sangat diperlukan dalam komunikasi interpersonal. Untuk mengkomunikasikan sikap positif dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

i. Menyatakan sikap positif.

Komunikasi interpersonal akan terbina jika individu itu memiliki sikap positif terhadap dirinya sendiri. Individu yang merasa memiliki sikap positif terhadap dirinya sendiri mengisyaratkan perasaan tersebut kepada orang lain dan merefleksikan perasaan positif yang dimiliki. Sikap positif sangat penting dalam menciptakan situasi komunikasi yang mendukung sehingga interaksi akan menjadi lebih efektif.

ii. Dorongan

Sikap positif dapat dinyatakan dalam bentuk dorongan verbal seperti pujuan, maupun non verbal seperti senyuman.

Dorongan positif seperti ini dianggap sangat penting dalam analisis transaksional dan interaksi antara manusia. Dorongan positif pada umumnya berbentuk pujian atau penghargaan dan terdiri atas perilaku yang biasanya diharapkan, dinikmati atau dibanggakan. Dorongan positif ini akan membuat citra pribadi dan membuat seseorang merasa lebih baik.

e. Kesetaraan

Komunikasi interpersonal akan lebih efektif bila suasananya setara dimana adanya pengakuan secara diam-diam bahwa kedua belah pihak sama-sama bernilai atau berharga. Masing-masing pihak memiliki sesuatu yang penting untuk disumbangkan. Kesetaraan juga menyiratkan adanya sikap memperlakukan orang lain secara demokratis dan horizontal dimana apabila terdapat perbedaan pandangan maupun konflik, maka akan dilihat sebagai upaya untuk memahami perbedaan dari pada sebagai suatu kesempatan untuk saling menjatuhkan pihak lain.

Kesetaraan bukan berarti mengharuskan seseorang untuk menyetujui dan menerima pandangan dan pemikiran pihak lain. Tetapi lebih menekankan pada sikap menghargai atau dalam istilah Carl Roger (dalam Eko, 2008), Kesetaraan dalam memberikan “Penghargaan positif tak bersyarat” kepada pihak lain. Diharapkan dengan adanya kesetaraan (equality) masing-masing pihak yang

terlibat dalam proses komunikasi dapat saling menghargai dan menghormati perbedaan pandangan.

B. Organizational Citizenship Behavior (OCB)

1. Definisi Organizational Citizenship Behavior (OCB)

Dalam upaya meningkatkan efektivitas dan produktifitas perusahaan maka individu-individu yang ada dalam sebuah organisasi perlu memiliki perilaku yang menunjang. Perilaku tersebut tidak hanya yang sesuai dengan tuntutan dari pihak perusahaan atau sesuai dengan fungsi perannya saja (in-role) namun lebih diharapkam mampu memunculkan perilaku

yang lebih dari perannya (extra-role) dalam setiap individu dalam

organisasi, sehingga jalinan kerjasama antar individu semakin solid dan dapat bekerja secara optimal bagi organisasi. Katz (dalam Wahyu, 2002) mengkategorikan 3 perilaku pekerja yang penting bagi keefektifan organisasi. Dimana ketiga kategori tersebut adalah: Pertama individu harus masuk kedalam dan tinggal di dalam organisasi; kedua mereka harus menyelesaikan peran khusus dalam suatu pekerjaan tertentu; dan ke tiga mereka harus terikat pada aktivitas yang inovatif dan spontan melebihi persepsi perannya.

Dari ketiga kategori di atas, Katz berusaha mengindentifikasikan perilaku aktif, inovatif dan spontan yang melebihi persepsi perannya (Extra-role) sebagai salah satu faktor yang menentukan ke efektifan

organisasi. Perilaku kerja Extra-role tersebut sering disebut juga sebagai

Organizational Citizenship Behavior (OCB).

OCB merupakan aspek aktifitas individu yang unik di tempat kerja, yang mana pertama kali dikemukakan pada awal tahun 1980-an. OCB merupakan kontribusi individu yang melebihi tuntutan peran di tempat kerja dan di-reward oleh perolehan kinerja tugas. OCB melibatkan

beberapa perilaku meliputi perilaku menolong orang lain, menjadi

volunteer untuk tugas-tugas ekstra, dan patuh pada aturan-aturan dan

prosedur-prosedur di tempat kerja. Perilaku-perilaku ini mencerminkan “nilai tambah karyawan” yang merupakan salah satu bentuk perilaku prososial, yaitu perilaku sosial yang positif, konstruktif, dan bermakna membantu (Aldag dan Resckhe, 1997).

Organ (1997) mendifinisikan OCB sebagai perilaku individu yang bebas, tidak berkaitan secara langsung atau explisit dengan sistem reward

dan bisa meningkatkan fungsi efektif organisasi. Sementara itu Van Dyne dkk (dalam Wahyu, 2002) yang mengusulkan konstruksi dari Extra-Role

Behavior (ERB) memberikan pengertian bahwa OCB sebenarnya adalah

rekonseptual dari sifat kewarganegaraan, dimana perilaku yang menguntungkan organisasi dan atau cenderung menguntungkan organisasi, secara sukarela atau melebihi apa yang menjadi tuntutan peran. Devinisi ini lebih menganggap bahwa intensi aktor adalah untuk “menguntungkan organisasi”.

Smith dkk (dalam Chrismasari, 2006) mendefinisikan OCB merupakan perilaku pekerja yang melebihi tugas formalnya dan memberikan kontribusi pada keefektifan organisasi. Borman, W.C. dan Motowidlo (1993) cenderung mengkonstruksikan OCB sebagai contextual

behavior dimana tidak hanya mendukung inti dari perilaku itu sendiri,

melainkan mendukung semakin besarnya lingkungan organisasi, sosial dan psikologis sehingga inti teknisnya berfungsi. Definisi ini tidak dibayangi istilah sukarela, reward atau niat sang aktor melainkan perilaku seharusnya mendukung lingkungan organisasi, sosial dan psikologis lebih dari sekedar inti teknis.

Dari beberapa definisi di atas dapat di simpulkan bahwa OCB merupakan:

a. Perilaku yang bersifat sukarela, bukan tindakan yang terpaksa terhadap hal-hal yang mengedepankan kepentingan organisasi

b. Perilaku individu sebagai wujud dari kepuasan berdasarkan

performance. Tidak diperintahkan secara formal.

c. Tidak berkaitan secara langsung dan terang-terangan dengan sistem reward yang formal.

Dokumen terkait