• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. IDENTIFIKASI DAN ANALISIS DATA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. IDENTIFIKASI DAN ANALISIS DATA"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

2. IDENTIFIKASI DAN ANALISIS DATA

2.1. Tinjauan Literatur Tentang Buku 2.1.1. Pengertian Buku Etnofotografi

Buku adalah lembaran kertas yang dicetak, dilipat, dan diikat bersama pada punggungnya ( Ensiklopedia Umum186). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (133), buku adalah lembar kertas yang berjilid, berisi tulisan atau kosong.Menurut Miles & Hubberman seperti yang dikutip oleh Lodico, Spaulding &Voegtle, Etnografi berasal dari bahasa Yunani ethos dan graphos. Yang berarti tulisan mengenai kelompok budaya. Sedangkan Menurut Le Clompte dan Schensul etnografiadalah metode penelitian yang berguna untuk menemukan pengetahuan yang terdapatatau terkandung dalam suatu budaya atau komunitas tertentu (Lodico, Spaulding dan Voegtle268). Menurut Gay, Mills dan Airasian, penelitian etnografi adalah suatu studi mengenai pola budaya danperspektif partisipan dalam latar alamiah (Lodico, Spaulding dan Voegtle404).

Etnofotografi adalah penelitian untuk mendeskripsikan kebudayaan sebagaimana adanya. Metode ini menggunakan kamera sebagai alat bantu. Berbeda dengan metode lainnya, etnofotografi menggunakan foto sebagai data yang menjadi bahan analisa mengenai cara hidup serta berbagai aktifitas sosial dan bentuk kebudayaan dari suatu masyarakat (Syarif 4). Etnofotografi ini berupaya mempelajari peristiwa kultural yang menyajikan pandangan hidup subyek sebagai obyek studi. Etnofotografi ini juga termasuk kegiatan pengumpulan bahan keterangan atau data yang dilakukan secara sistematik Dalam hal ini peristiwa dan kejadian yang unik dari suatu budaya yang menarik perhatian sehingga pantas untuk dijadikan sebuah penelitian etnofotografi. Etnofotgrafi merupakan sebuah model penelitian budaya yang khas. Yakni memandang budaya tidak hanya semata-mata sebagai suatu produk, melainkan sebuah proses (Simolang4). Jadi, etnofotgrafi secara tegas berbeda dengan jenis fotografi lainnya, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Abdusy Syarif ( 4).

(2)

2.1.2. Fungsi Dan Peranan Buku Etnofotografi Dalam Kehidupan Sosial Buku merupakan salah satu sarana komunikasi (dalam arti luas baik langsung maupun tidak langsung) yang banyak digunakan oleh berbagai kalangan maupun tingkatan dalam masyarakat. Dalam hal ini, buku telah menjadi media komunikasi yang penting dan tidak dapat lepas dari kehidupan manusia. Buku merupakan sarana yang efektif dalam mengungkapkan suatu gagasan maupun pendapat. Sebagai media yang mampu memuat banyak informasi baik secara verbal maupun visual, perancangan buku etnofotografi ini memiliki peran penting dalam memperkenalkan pernikahan adat suku Gorontalo. Sehingga dapat dikatakan bahwa buku Etnofotografi menjadi pilihan yang tepat untuk mendokumentasikan suatu gambaran dari kenyataan yang ada, serta seluk beluk dan momen kebudayaan Gorontalo. Dengan demikian, masyarakat Indonesia, generasi muda, dapat lebih mengenal adat dan budaya suku Gorontalo.

2.1.3. Sejarah Perkembangan Buku Etnofotografi

Dalam zaman purbakala, budaya tulis menulis belum ditemukan sehingga peristiwa bersejarah belum terekam secara tertulis. Manusia berkomunikasi lewat ranting-ranting yang disusun dan gambar-gambar yang menyimbolkan pesan tertentu. Pada zaman itu bahan yang digunakan untuk buku bukan kertas, melainkan semacam bahan yang lain. Di Eropa mula-mula orang menggunakan papyrus, macam kulit pohon yang dikeringkan, disambungkan dengan perekat dan digulung dalam silinder. Silinder ini disebut dalam bahasa Yunani volume, istilah yang sampai sekarang masih digunakan dalam bahasa Inggris dan Perancis untuk menunjukkan jilid. Papyrus banyak terdapat di negeri-negeri sekitar Laut Tengah, terutama di Mesir. Dalam abad ketujuh orang Arab di tanah Mesir mempersulit ekspor bahan papyrus ke Eropa, sehingga kemudian orang Eropa memakai perkamen (kulit binatang misalnya domba, anak sapi, keledai, yang dimasak menjadi tipis dan licin). Perkamen yang sudah ditulisi dengan tangan dilipat dan disusun dalam bentuk seperti buku sekarang. Karena perkamen mahal sekali pembuatannya, lembaran buku lama acapkali digosok

(3)

sampai bersih, dan kemudian ditulisi kembali (palimpsest). Di India dan Bali digunakan daun pohon tal atau lontar. Di Babylon dan di Assiria digunakan tanah liat yang dibuat persegi datar. Di Cina mula-mula digunakan sutra, kemudian ditemukan pembuatan kertas dari potongan-potongan kain. Selanjutnya dikatakan bahwa pembuatan kertas ini dibawa oleh orang Cina ke Eropa dalam abad ke 14. Kemudian pada zaman kebesaran Yunani dan Romawi, banyak budak diharuskan menyalin buku dengan tangan. Dalam abad pertengahan di Eropa pekerjaan ini umumnya dilakukan oleh biarawan. Demikianlah juga di negara-negara lain kaum cendekiawan dan alim ulama yang menyalin buku-buku dengan tangan. Dengan ditemukannya dasar-dasar percetakan dalam abad ke 15, oleh Johann Guternberg di Mainz (Jerman) dan Laurenz Janszoon Koster di Harleem (Nederland), pembuatan buku berkembang pesat sekali (Ensiklopedia Umum 186).

Saat ini penerbitan buku telah menjadi suatu pekerjaan desain grafis yang menarik dan sangat inovatif. Pertimbangan dalam perancangan produksi sangatlah penting dan perlu dilakukan misalnya dalam hal pertimbangan bentuk dan ukuran buku, ukuran bidang cetak dan margin, jenis dan ukuran huruf, jarak antar kata, jarak antar baris, dan jarak antar paragraf, pemilihan ilustrasi, layout, pemilihan kertas, teknik cetak, dan cara penjilidan. Sebagaimana diungkapkan oleh Jianping He, bahwa desain buku haruslah sesuai dengan konsep buku. Desainer harus memahami isi buku secara keseluruhan dan menghadirkannya secara visual. Sementara Jon Dowling dari SEA Design menjelaskan bahwa desain merupakan pilihan. Kesuksesan atau kegagalan sebuah karya tergantung dari pilihan kita sebagai desainer. Dan cover buku yang baik harus berbeda dari cover buku-buku lain yang ada di rak dan harus dapat menginformasikan kepada audiens tentang apakah buku itu.

Selanjutnya, buku-buku kemudian dikembangkan dengan menggunakan berbagai model ilustrasi, salah satunya dengan menggambungkan tehnik-tehnik fotografi. Fotografi memiliki isi mengenai informasi-informasi yang bisa dijadikan dokumen, foto dokumentasi menjadi dokumentasi sebagai representasi objektif dan dokumentasi sebagaisubjek tafsir. Fotografi tumbuh di Eropa bersamaan dengan tumbuhnya filsafat positivismeyang membuat ilmu

(4)

pengetahuan lebih melihat dunia sosial dengan kemahiran mengevaluasi pengetahuan yang empiris, fotografi menjadi alat modern dalam pendalaman empiris. Melalui konsep dokumen (foto) sebagai representatisi objektif kita bisa mengenali bahwa kamera berfungsi sebagai cermin untuk menangkap kondisi alamiah, kamera dianggap sebagai alat yang netral untuk merekam peristiwa-persitiwa yang ada disepan mata manusia. Dalam kaitannya dengan kebudayaan foto sebagai representasi objektif inilah yang memiliki relasi dengan kebudayaan sebagai jati diri (Ensiklopedia Umum 187-188).

Buku Etnofotografi adalah suatu perkembangan sisi dari sebuah ilmu antropologi melalui alat atau media film dan foto yang kemudian diabadikan menjadi sebuah buku. Penggunaan media seperti etnofotografi ini berfungsi untuk menguatkan sebuah fakta yang ditemukan dari lapangan. Etnofotografi memiliki isi tentang informasi-informasi yang tentunya dapat dijadikan sebuah dokumen. Etnofotografi adalah gambaran suatu potret kehidupan atau perilaku dari manusia dan kebudayaan yang bersifat tradisional atau modern. Hal yang terpenting untuk dipahami bahwa karya etnofotografi harus memposisikan manusia sebagai subjek dari suatu foto, yang dimana manusia memiliki kebebasan, bergerak secara alamiah tanpa rekayasa, sesuai dengan kehidupan dari manusia pada umumnya. Etnofotografi juga bisa dilakukan oleh siapa saja, tidak hanya orang dengan latar belakang antropologi, namun semua orang dari berbagai latar belakang kehidupan dan harus di kembangkan untuk memperkuat Budaya sebagaimana bahwa kesadaran budaya visual sangat berhubungan dengan pembentukan suatu sejarah dan identitas kebudayaan (Simolang 4).

2.1.4. Bentuk Dan Jenis Buku Etnofotografi

Dengan menggunakan konsep etnografi seperti yang dinyatakan Spaedly (69-70), terdapat dua bentuk buku etnofotografi yang paling populer yaitu:

a) Etnofotografi realis

Etnofotografi realis mengemukakan suatu kondisi objektif suatu kelompok dan laporannya biasa ditulis dalam bentuk sudut pandang sebagai orang ke-3. Seorang etnografi realis menggambarkan fakta detail

(5)

dan melaporlan apa yang diamati dan didengar dari partisipan kelompok dengan mempertahankan objektivitas peneliti.

b) Etnofotografi kritis

Dewasa ini populer juga etnofotografi kritis. Pendekatan etnofotografi kritis ini mencoba merespon isu-isu sosial yang sedang berlangsung. Misalnya dalam masalah gender/emansipasi, kekuasaan, status quo, ketidaksamaan hak, pemerataan, dan sebagainya.

Adapun jenis-jenis buku etnofotografi lainnya dari penelitian etnografi adalah sebagai berikut:

1. Etnofotografi Konfensional, yaitu laporan mengenai pengalaman pekerjaan lapangan yangdilakukan etnofotografer.

2. Autoetnofotografi, yaitu refleksi dari seseorang mengenai konteks budayanya sendiri.

3. Mikroetnofotografi, yaitu studi yang memfokuskan pada aspek khusus dari latar dan kelompok budaya.

4. Etnofotografi feminis, yaitu studi mengenai perempuan dalam praktek budaya yang yang merasakan pengekangan akan hak-haknya.

5. Etnofotografi post-modern, yaitu suatu etnografi yang digambarkan untuk menyatakan keprihatinan mengenai masalah-masalah sosial terutama mengenai kelompok marginal.

6. Studi kasus etnografi, yaitu analisis kasus dari seseorang, kejadian, kegiatan dalam perspektif budaya yang diabadikan dalam rangkaian foto.

2.1.5. Basis Media Buku Etnofotografi

Penelitian etnografi adalah termasuk salah satu pendekatan dari penelitian kualitatif.Penelitan etnografi di bidang pendidikan diilhami oleh penelitian sejenis yang dikembangkandalam bidang sosiologi dan antropologi. Oleh karenanya, basis media yang buku etnografi juga berasal dari lingkungan sosiologi dan antropologi. Dalam hal ini, buku etnografi dibuat dengan dasar penelitian etnografi dan ilmu fotografi.

(6)

2.1.6. Kriteria Buku Etnofotografi Yang Baik

Tidak sembarang foto bisa menjadi data yang dapat merepresentasikan kenyataan dan realita dari pernikahan adat suku Gorontalo. Tapi justru foto dalam karya etnofotografi ini haruslah memunculkan sebuah ikon-ikon atas peristiwa penting yang dilakukan oleh manusia. Agar nantinya suatu foto mampu menjadi data dan peristiwa dari suatu kejadian sehingga kita akan dapat merekam ataupun membingkainya sampai ketika foto itu tersaji dan kemudian dilihat oleh orang lain diharapkan mampu menangkap arti ataupun pesan apa yang ingin disampaikan. Sebuah foto dalam penelitian etnofotografi berfungsi seperti rangkaian paragraf yang dapat mendeskripsikan suatu peristiwa dan alur cerita dengan kuat. Dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam etnofotografi yaitu komposisi dan warna pencahayaan.

2.1.7 Tinjauan Tentang Budaya Pernikahan Adat Suku Gorontalo 2.1.7.1 . Pengertian Budaya

Menurut Sachari(8-9)kebudayaan adalah suatu totalitas dari proses dan hasil segala aktivitas suatu bangsa dalam bidang estetis, moral, dan ideasional yang terjadi melalui proses integrasi, baik integrasi historis maupun pengaruh jangka panjangnya Para ahli ilmu sosial mengartikan konsep kebudayaan itu dalam arti yang amat luas yakni meliputi seluruh aktivitas manusia dalam kehidupannya, yaitu seluruh hasil dari pikiran, karya dan hasil karya manusia yang tidak berakar kepada nalurinya (Koentjaraningrat1-2). Dari pengertian yang begitu luas itu, Koentjaraningrat memecahkan konsep kebudayaan menjadi tujuh unsur kebudayaan yang universal dari yang paling sulit berubah sampai pada yang paling mudah berubah. Ketujuh unsur universal tersebut adalah:

a. Sistem religi dan upacara keagamaan b. Sistem dan organisasi kemasyarakatan c. Sistem pengetahuan

d. Bahasa e. Kesenian

f. Sistem pencaharian hidup g. Sistem teknologi dan peralatan

(7)

2.1.7.2 . Suku Gorontalo

Suku Gorontalo sendiri merupakan penduduk asli kepulauan di bagian utara pulau Sulawesi. Bahasa keseharian yang mereka gunakan adalah bahasa Gorontalo. Menurut buku sejarah Revolusi Kemerdekaan Daerah Sulawesi Utara (Botutihe & Daulima194-195). Suku Gorontalo tepatnya mendiami wilayah di Kabupaten Gorontalo, yang terdiri dari 16 Kecamatan. Mengenai agama dan kepercayaan, masyarakat Gorontalo hampir dapat dikatakan semuanya beragama Islam (99 %), kecuali para pendatang yang terdiri dari Minahasa, Sangir Talaud, dan lain-lain yang kebanyakan beragama kristen, tetapi jumlah mereka sedikit sekali dibandingkan dengan jumlah penduduk asli dari Gorontalo.

2.1.7.3. Pernikahan Adat Suku Gorontalo

Pernikahan adat suku Gorontalo banyak dipengaruhi oleh ajaran agama Islam. Karena penduduk Gorontalo memiliki penduduk yang hampir seluruhnya memeluk agama Islam, sudah tentu adat pernikahan Gorontalo memiliki ciri yang unik. Pernikahan adat suku Gorontalo ini merupakan satu-satunya adat dan upacara pernikahan yang pada perkembangannya sudah mulai ditinggalkan. Adat-adat dari pernikahan ini telah banyak mendapat pengaruh dari kebudayaan modern, akan tetapi unsur-unsurnya masih nampak dengan jelas. Terutama unsur asli dari pernikahan adat ini terwujud di dalam adat dan upacara pernikahannya yang mengandung nilai yang sangat luas dan kuat bagi masyarakatnya. Masyarakat masih menghayati nilai nilai luhur yang terkandung di dalamnya, namun tidak semua warga masyarakat terutama generasi muda gorontalo dapat menghayatinya. Disamping unsur-unsur aslinya sudah semakin hilang, juga sebagian warga masyarakat sudah tidak mengenalnya lagi, terutama para generasi muda. Contohnya saja pernikahan adat suku Gorontalo yang sebagian besar menggabungkannya dengan pernikahan modern. Demikian pula dengan unsur-unsur dan nilai-nilai yang terkandung dalam adat dan upacaranya yang sudah mulai tidak dikenal dan dihayati lagi. Selain itu hilangnya kebudayaan pernikahan adat Gorontalo ini sendiri dikarenakan adanya pengaruh perubahan-perubahan dalam bidang ekonomi, pendidikan, komunikasi dan

(8)

sebagainya. Adapun perencanaan pernikahan adat Gorontalo adalah sebagai berikut.

A. Adat Motolobalango

Bersifat saling merestui antar keluarga kedua belah pihak. Adat motolobalango juga merupakan tahapan-tahapan kegiatan sebelum melangsungkan acara akad nikah.

 Adapun atribut dan benda-benda budaya pernikahan adat suku

Gorontalo adalah:

- Sirih, Pinang, Gambir, Kapur, Tembakau.

- Tapahula yang berisi kain sejenis sutera yang panjangnya

3meter.

- Toyunga Bilalanga atau Payung Kebesaran Adat.

 Makna Atribut Adat atau benda-benda budaya:

- Sirih, melambangkan urat, bermakna hubungan kekerabatan.

- Pinang, melambangkan daging, bermakna penyempurnaan.

- Gambir, melambangkan darah, bermakna semangat.

- Kapur, melambangkan tulang, bermakna kekuatan.

- Tembakau, melambangkan bulu roma, melambangkan perasaan

keihklasan.

- Tapahula bermakna pelaksanaan adat, kain sejenis sutera

bermakna kesiapan pakaian pengantin.

- Toyunga Bilalanga atau payung kebesaran adat, bermakna

kebesaran adat.

a. Busana Adat:

 Busana yang digunakan oleh sang gadis calon pengantin, memakai

walimomo( pakaian adat pernikahan ), to huwali lo humbiyo (kamar adat), duduk diranjang berkelambu adat.

 Busana yang digunakan oleh juru bicara dari pihak lelaki atau Luntu

Dulungo layi’o maupun Luntu Dulungo Wolato juru bicara pihak perempuan adalah Bo’o Takowa Kiki atau sarung yang terikat

(9)

dipinggang, memakai kopiah hitam.

 Busana yang digunakan oleh kaum bapak pada umumnya berlengan

panjang, celana panjang, memakai kopiah. Sedangkan untuk kaum ibu memakai kebaya dan batik, kain penutup (woluto), payu lo hulontalo(Payung kebesaran adat), bide-bide lo bate(pakaian untuk para tamu undangan), wolu-woluto lipa-lipa. Demikian pula pihak keluarga perempuan yang menunggu biasanya disebut dengan Ta Mohima Tolobalango.

b. Transaksi Adat atau Imbalan Jasa:

 Berupa uang berdasarkan keihklasan dari pihak keluarga laki-laki,

diberikan kepada Luntu Dulungo Layi’o atas kesediaannya menjadi juru bicara pada acara adat Motolobalango.

 Berupa sedekah berdasarkan keihlasan dari pihak keluarga

perempuan diberikan kepada Luntu Dulango Wolato atas kesediaannya menjadi juru bicara pada acara adat Motolobalango.

c. Pelaksanaan:

 Pelaksanaan acara adat Motolobalango selama diadakan sore hari

harus di mulai pada pukul 15.00 sampai dengan selesai. Rombongan turun dari rumah keluarga laki-laki dipimpin oleh Luntu Dulungo Layi’o menuju rumah pihak perempuan. Mereka membawa benda budaya, seperti yang telah diwajibkan untuk diberikan, kemudian diletakkan diatas baki yang telah disiapkan.

 Mereka diterima oleh pihak keluarga perempuan. Kedua belah pihak

duduk beralaskan tikar atau karpet sambil duduk berhadapan. Tonggu disodorkan kemudian disusul dengan baki-baki yang lain yang berisi sirih pinang, tembakau, gambir, dan kapur, serta tapahula yang berisi kain sejenis sutera. Tonggu dibuka, maka Luntu Dulungo Layi’o membuka pembicaraan yang berbentuk pantun

(10)

d. Kesimpulan:

Dari dialog yang dilakukan oleh para juru bicara pihak laki-laki dan perempuan, dapat disimpulkan bahwa acara adat Motolobalango merupakan pengresmian dari tahap awal kepada keluarga terdekat akan hasil pembicaraan antara orang tua kedua belah pihak.

B. Tata Cara Adat Modepita Maharu

Mahar (Maharu) adalah suatu proses atau suatu kewajibansyari’at untuk memberikan sesuatu seserahan kepada calon istri, baik pemberian uang atau benda-benda lain. Proses memberikan seserahan kepada calon istri ini bersifat wajib atau keharusan adat agar bisa mengikuti tahapan-tahapan kegiatan tata cara pernikahan yang ada.

1). Atribut adat atau benda-benda budaya :

- Kola-kola, yaitu sebuah usungan yang terbuat dari bambu kuning, berbentuk persegi panjang dan dihiasi oleh janur ( lale )

- Tonggu, mempunyai penutup dan ditutup dengan tudung berbalut kain

satein berwarna kuning emas, berbentuk segitiga.

- Kati, mempunyai penutup yang ditutup dengan tudung yang berbalut

kain satein.

- Maharu, terisi pada sebuah tapahula besar, yang mempunyai penutup dan ditutup dengan tudung berbalut kain satein berwarna merah muda.

- Tutu lo Polidulu - Buluwa lo umonu - Bunggato - Luwalo - Heyi lo Huheputo - Dudelo - Tilolo - Wolu lo o’ato

(11)

- Wu’adu Ta’ato - Pate lo Tohe

- Toyunga Bilalanga.

2). Makna atribut adat :

- Kola-kola, bermakna tempat khusus untuk mengusung semua benda-benda budaya yang diperlukan pada adat acara Modepita Maharu.

- Tonggu, yang bernilai Rp. 25,- atau sekarang senilai Rp.1600,- adalah pemberian adat atau pembayaran adat kepada orang tua perempuan. Dengan diserahkannya tonggu, maka leluasa lah pihak laki-laki untuk mengadakan pembicaraan dengan pihak perempuan.

- Kati, sama dengan bahagian. Nilainya Rp.2.50,- atau sekarang disesuaikan dengan status orang tua perempuan. Misalnya untuk putri raja dan bangsawan empat kati, nilainya Rp. 10,- disesuaikan mejadi Rp.10.000,- . Untuk status wali-wali mowali 3(tiga) kati = Rp. 7.500,-. Untuk status wali-wali ditetapkan 2(dua) kati = Rp. 5.000,-

- Tonelo, adalah alat pembayaran adat yang menjadi hak milik perempuan. Pembayaran inilah yang nanti akan diucapkan sebagai mahar pada waktu akad nikah. Nilai nya berbeda-beda menurut tingkatan status orang tua dalam masyarakat. Tonelo tidak sama dengan ongkos pernikahan. Oleh karena itu, Tonelo merupakan bagian dari perempuan yang harus disimpan dengan baik. Yang berhak untuk menyimpannya adalah Ibu, namun pada suatu hari akan diserahkan kembali pada mereka setelah dinikahkan dan siap untuk hidup mandiri.

- Tutu lo Polidulu, merupakan pembayaran untuk menghiasi kamar pengantin, tempat tidurnya, dan pelaminan. Uang ini nantinya akan diserahkan kepada juru rias dan dekorasi.

(12)

pembayaran adat yang diserahkan kepada pemangku adat yang merupakan syarat untuk menjemput pihak perempuan dari kamar pengantin.

- Luwalo, artinya keluar. Untuk diserahkan kepada kepala kampung karena pengantin dianggap merupakan anggota masyarakat dan siap menerima tanggung jawabmelewati pelaminan dimana ia akan diumpamakan sebagai ratu.

- Buluwa lo Umonu, artinya peti wangi-wangian. Akan diserahkan kepada juru langir

- Heyi lo Huheputo, memindahkan bantal untuk pembayaran adat kepada seorang nenek yang telah berjas memberikan ketrampilan.

- Dudelo, sejumlah uang yang harus dibayar kepada pemangku adat yang memberikan kekuasaan kepada pihak laki-laki untuk membawa pengantin perempuan pada hari pernikahan menuju rumah orang tua pihak laki-laki.

- Tilolo, suguhan, hidangan. Pembayaran adat dilakukan kepada mempelai perempuan ketika ia berada di rumah orang tua laki-laki.

- Wolu lo O’ato, pencuci kaki. Pembayaran adat dilakukan kepada nenek yang sangat berjasa .

- Wu’adu Ta’ato, untuk yang berhubungan dengan pakaian dalam.

Makna keseluruhan atribut diatas yang dilambangkan dengan uang dan istilah adalah untuk sebuah pernikahan yang sakral, pertemuan dan penyatuan dua hari bagi manusia diatur oleh adat agar derajatnya lebih mulia. Tidak hanya itu, tujuan dari pernikahan juga bukan hanya berkembang biak, namun menurunkan penerus keturunan dengan konsep dasar iman dan takwa dengan perlakuan yang sopan dan penuh keikhlasan sehingga kewajiban suami istri bukanlah suatu paksaan.

(13)

Busana Adat

1) Busana yang digunakan oleh sang gadis calon pengantin, memakai walimomo, to huwali lo humbiyo (kamar adat), duduk diranjang berkelambu adat.

2) Busana yang digunakan oleh juru bicara dari pihak lelaki atau Luntu Dulungo layi’o maupun Luntu Dulungo Wolato juru bicara pihak perempuan adalah Bo’o Takowa Kiki atau sarung yang terikat dipinggang, memakai kopiah hitam.

3) Busana yang digunakan oleh kaum bapak pada umumnya berlengan panjang, celana panjang, memakai kopiah. Sedangkan untuk kaum ibu memakai kebaya dan batik, kain penutup (woluto), payu lo hulontalo, bide-bide lo bate, wolu-woluto lipa-lipa. Demikian pula pihak keluarga perempuan yang menunggu biasanya disebut dengan Ta Mohima Tolobalango.

Transaksi Adat

1) Berupa sekah berdasarkan keihklasan dari pihak keluarga laki-laki, diberikan kepada Luntu Dulungo Layi’o atas kesediaannya menjadi juru bicara pada acara adat Motolobalango.

2) Berupa sedekah berdasarkan keihlasan dari pihak keluarga perempuan diberikan kepada Luntu Dulango Wolato atas kesediaannya menjadi juru bicara pada acara adat Motolobalango.

Pelaksanaan

1) Acara didahului oleh pemberitahuan tentang kedatangan rombongan yangakan melaksanakan adat Modepita Maharu. Rombongan tetap dipimpin oleh Utoliya, tanpa Hantalo (seserahan atau hantaran). 2) Setibanya dirumah pihak perempuan, rombongan dipersilahkan

dudukdiatas tikar atau karpet, diatas kain yang sudah

dihiasidiletakkan semuaperlengkapan berupa benda-benda budaya yang menjadi atribut adat,sejumlah 13 macam. Kemudian tonggu disodorkan sebagai tanda akan memulai pembicaraan.

(14)

3) Pembicaraan dimulai dengan maksud kedatangan mereka lalu dilanjutkandengan mengundang orang tua dari pihak perempuan atau wali nya.

4) Selesai juru bicara menyerahkan perangkat adat tersebut, pembicaraandilanjutkan dengan penetapan hari untuk mengantar perlengkapan di dapur yang terdiri dari rempah-rempah yang dipakai untuk mengolah makanan.

5) Acara diakhiri dengan minum the atau kopi dan makan kue bersama. Setelah itu semua rombongan dari pihak laki-laki kembali pulang. Kesimpulan

Acara adat Modepita Maharu adalah merupakan inti dari pelaksanaan pernikahan karena sesuai dengan syari’at.

c. Tata cara adat Moponika

1) Membangun sebuah Bantayo, kegiatan sebelum hari pernikahan adalahmerupakan kegiatan yang diwajibkan. Bahan – bahan berupa bambo, seng,yang menjadi atapnya, tali pengikat disiapkan oleh pihak perempuan, dari pihak laki-laki adalah mengarahkan tenaga kerja. Kegiatan membuatBantayo dilaksanakan tiga hari sebelum hari H.

2) Mengundang atau Mengedarkan Undangan, dilakukan 7(tujuh) hari sebelum hari pernikahan. Paling lambat 3(tiga) hari sebelum pelaksanaan pesta. Pengantar undangan pun harus menggunakan pakaian adat yakni laki-laki memakai kopiah, kemeja model bo’o (kerah tertutup), wanita memakai batik atau kebaya berwarana. Tidak diperkanankan menggunakan warna putih. Dikarenakan pengantar undangan adalah pembawa amanah atau kabar baik kepada para tamu. Untuk para tamu undangan seperti kepada para pejabat.

2.2. Tinjauan Buku Buku Yang Akan Dirancang 2.2.1. Tinjauan Dari Segi Ide Dan Tema

(15)

adanya fenomena yang menunjukkan bahwa kebanyakan masyarakat Gorontalo khususnya generasi muda sudah meninggalkan budaya-budaya yang dipunyai oleh Bangsa Indonesia khususnya Gorontalo.

2.2.2. Tinjauan Dari Aspek Dasar Filosofis

Berdasarkan tinjauan dari segi ide dan tema perancangan buku ini, maka buku etnofotografi ini dibuat dalam rangka memperkenalkan keunikan kebudayaan pernikahan adat suku Gorontalo agar menarik minat generasi muda di Gorontalo, yang mana di dalamnya memuat dokumentasi tentang Pernikahan Adat Suku Gorontalo, menjadi panduan informasi verbal dan visual dalam tata cara dan makna dari rangkaian upacara tersebut.

2.2.3. Tinjauan Faktor Eksternal Atau Faktor Sosial 2.2.3.1.Aspek Sosial Ekonomi

Munculnya buku ini di pasaran diharapkan dapat menjadi lapangan usaha baru bagi masyarakat Gorontalo. Sebab buku-buku semacam ini, dapat menarik perhatian wisatawan lokal maupun internasional untuk melihat langsung bagaimana keunikan budaya masyarakat Gorontalo, khususnya dilihat dari kebudayaan pernikahan adat suku Gorontalo.

2.2.3.2.Aspek Sosial Lingkungan

Adanya buku ini diharapkan dapat menjadi sumber dokumentasi warisan budaya masyarakat Gorontalo, yang dapat berguna bagi generasi-generasi penerus Gorontalo di masa yang akan datang.

2.2.4. Tinjauan Fungsi Dan Peranan Buku Etnofotografi Sebagai Media Untuk Menyampaikan Pesan

Buku ini berfungsi untuk memperkenalkan kebudayaan pernikahan adat suku Gorontalo agar menarik minat generasi muda pra-nikah khususnya di Gorontalo. Dengan demikian generasi muda ini diharapkan dapat melaksanakan dan melestarikan upacara-upacara adat yang dimiliki masyarakat Gorontalo.

(16)

2.2.5. Teori Media Pembelajaran

Kata media berasal dari bahasa latin medius yang secara harfiah berarti ’tengah’, ’perantara’ atau ’pengantar’. Dalam bahasa Arab, media adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim kepada penerima pesan. Menurut Gerlach & Ely (1971) menjelaskan bahwa media secara garis besar adalah suatu kejadian yang membangun kondisi yang membuat suatu masyarakat mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan, atau sikap. Secara khusus, pengertian media dalam proses belajar mengajar cenderung diartikan alat-alat grafis, fotografis, atau elektronis untuk menangkap, memproses, dan menyusun kembali informasi visual dan verbal. sebagai sesuatu yang membawa informasi antara sumber (source) dan penerima (receiver) informasi.Banyak juga arti lain dari media, seperti media adalah alat bantu apa saja yang dapat dijadikan sebagai penyalur pesan guna mencapai tujuan pengajaran (Djamarah137). Sedangkan pembelajaran adalah proses, cara, perbuatan yang menjadikan orang atau makhluk hidup belajar (Kamus Besar Bahasa Indonesia 17). Jadi, media pembelajaran adalah media yang digunakan pada proses pembelajaran sebagai penyalur pesan agar tujuan perancangan dapat tercapai. Media pembelajaran yang baik harus memenuhi beberapa syarat. Penggunaan media mempunyai tujuan memberikan motivasi kepada target market. Media yang baik juga akan mengaktifkan masyarakat dalam memberikan tanggapan, umpan balik dan juga mendorong generasi muda pra nikah di gorontalo untuk melakukan prosesi kebudayaan pernikahan adat ini dengan benar.

 Fungsi media pembelajaran

- Menyampaikan informasi

- Melengkapi dan memperkaya informasi - Mendorong motivasi untuk belajar

- Menambah pengertian yang nyata tentang suatu pengetahuan. - Mudah dicerna dalam menyerap isi pesan.

( Rohani: 9 )

Ciri-ciri media pembelajaran

- Ciri Fiksatif (Fixative Property)

(17)

melestarikan, dan merekonstruksi suatu peristiwa atau objek. Dengan ciri fiksatif, media memungkinkan suatu rekaman kejadian atau objek yang terjadi pada satu waktu tertentu ditransportasikan tanpa mengenal waktu. - Ciri Manipulatif (Manipulative Property)

Transformasi suatu kejadian atau objek dimungkinkan karena media memiliki ciri manipulatif. Kejadian yang memakan waktu berhari-hari dapat disajikan dalam waktu dua atau tiga menit dengan teknik pengambilan gambar time- lapse recording. Suatu kejadian dapat dipercepat dan dapat juga diperlambat pada saat menayangkan kembali hasil suatu rekaman video.

- Ciri Distributif (Distributive Property)

Ciri distributif dari media memungkinkan suatu objek atau kejadian ditransformasikan melalui ruang, dan secara bersamaan kejadian tersebut disajikan kepada sejumlah besar siswa dengan stimulus pengalaman yang relatif sama mengenai kejadian itu.

Pada perancangan buku etnofotografi ini menggunakan ciri media pembelajaran fixative adalah karena memiliki kemampuan untuk merekam, menyimpan, melestarikan, dan merekonstruksi suatu peristiwa atau objek yang terjadi.

2.3. Tinjauan Buku Pesaing 2.3.1. Tinjauan Aspek Bentuk

Kebanyakan buku etnofotografi yang banyak beredar di pasaran umumnya berukuran kotak, dengan ketebalan sekitar 2-5 cm. Cover dibuat dengan menggunakan hardcover atau softcover. Kebanyakan isi buku menggunakan kertas art paper dan full color. Beberapa contoh buku etnofotografi misalnya tentang traveling (2008), dan UBUD Travel Writing & Travel Photography Trip karya Matatita, Agustinus Wibowo, dan Raiyanni Muharramah (2011).

2.3.2. Tinjauan Aspek Visual

Secara visual, kedua buku yang ada sama-sama kemiripan. Bedanya, adalah pada objek yang diteliti. Di satu sisi, menggambarkan bagaimana

(18)

indahnya dunia traveling. Hampir di setiap halaman, satu gambar halaman penuh muncul dengan beberapa baris deskripsi tentang gambar yang ditampilkan. Di sisi lain, Matatita, Agustinus Wibowo, dan Raiyanni mencoba menggambarkan setiap jengkal pengalaman perjalanan mereka di Ubud, Bali.

2.3.3. Tinjauan Aspek Content-Massage

Sebagaimana buku-buku penelitian lainnya, ada foto-foto visual yang coba dirumuskan oleh penulis dalam bukunya. Dalam buku The Advanture of Marcopolo, Yamashita mencoba memvisualisasikan keteguhan hati seorang penjelahan besar dalam setiap perjalanan yang dilaluinya. Sementara UBUD Travel Writing & TravelPhotography Trip karya Matatita, Agustinus Wibowo, dan Raiyanni mencoba memvisualisasikan bahwa UBUD adalah harta karun yang memiliki potensi besar dalam bisnis parawisata di Bali khusunya, dan parawisata Indonesia pada umumnya.

2.3.4. Data Visual

Gambar.2.1. Cover buku Traveling,(2008)

(19)

Gambar.2.2. Cover buku

UBUD Travel Writing & Travel Photography Trip

(http://www.matatita.com/2011/09/ubud-travel-writing-travel-photography.html)

2.4. Analisis Data Lapangan 2.4.1. Analisis Profil Pembaca

Buku etnofotografi yang ditujukan untuk para masyarakat luas di Indonesia khususnya generasi muda di Gorontalo tentang upacara adat pernikahan suku Gorontalo.Target sasaran primer adalah generasi muda pra nikah di Gorontalo berusia 16 – 30 tahun. Sedangkan target sasaran sekunder adalah masyarakat umum di Gorontalo dandi Indonesia.

2.4.2. Analisis Kelemahan Dan Kelebihan a. Kelemahan:

Buku ini dipenuhi dengan dokumentasi foto-foto tentang upacara adat pernikahan suku Gorontalo. Oleh karenanya, buku ini tidak cocok untuk dijadikan sumber referensi penulisan karya ilmiah.

b. Kelebihan:

Dari foto-foto yang digunakan sebagai konten umum buku ini, pembaca dapat melihat secara jelas bagaimana gabaran dari kenyataan yang ada, serta seluk beluk dan momen kebudayaan Gorontalo secara visual untuk mengkomunikasikan sesuatu yang penting yang akan dimengerti oleh

(20)

masyarakat lewat keterangan peristiwa beserta foto dari upacara adat pernikahan suku Gorontalo.

2.4.3. Analisis Prediksi Dampak Positif

Buku etnofotografi ini dapat menjadi suatu pendekatan baru dalam memperkenalkan dan mempublikasikan pernikahan adat suku Gorontalo yang belum terlalu dikenal kepada dunia luas, khususnya di Indonesia.

2.5. Simpulan

Dalam konsep buku etnofotografi ini, kegiatan serta seluruh perlengkapan yang digunakan untuk mencerminkan simbol-simbol adat istiadat akan didokumentasikan untuk kemudian dijelaskan makna yang terkandung didalamnya. Proses pernikahan suku adat Gorontalo, akan diawali dengan ritual-ritual adat yang syarat makna dan nilai dalam kehidupan bagi calon mempelai dimasa depan nantinya. Nilai-nilai serta makna yang terkandung dalam setiap ritual ini tentunya akan menjadi semakin mudah dipahami oleh pembaca apabila disajikan dalam tatanan urutan yang mendetail. Gambar yang disajikan akan diupayakan menjadi sebuah bentuk karya seni yang memiliki nilai seni tinggi yang mudah dipahami sehingga pembaca dapat memperoleh manfaat tentang nilai kehidupan melalui keindahan seni fotografi.

2.6. Usulan Pemecahan Masalah

Memperkenalkan budaya Nasional Indonesia dapat dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya adalah dengan menggunakan buku etnofotografi. Oleh karenanya, diperlukan dukungan-dukungan besar dari unsur-unsur pemerintahan bagi para etnofotografer yang ada di Indonesia. Karena mereka-mereka ini adalah salah satu pahlawan tanpa jasa yang telah mewujudkan kelestarian budaya Indonesia. Jika ada dukungan dari Pemerintah, tentunya pameran-pameran etnofotgrafi dapat terus berlangsung secara berkala. Selain itu, untuk menumbuhkan minat fotografer muda akan budaya Indonesia, mengadakan suatu festival etnofotografi juga dapat memperkaya literatur budaya Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Dari perhitungan didapatkan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan wisatawan berturut-turut adalah tersedianya hotel/ penginapan di daerah Kecamatan Biduk-Biduk bagi

Karena nelayan memilih untuk mempertahankan bentuk yang lama, maka perlu dilakukan analisa khususnya stabilitas kapal supaya performa kapal akan tetap baik meskipun

Maka dari itu, ketika penulis menambahkan produk imajinasi dengan pengetahuan kebudayaan hiperealitas versi Jean Baudrillard, maka penulis melahirkan suatu produk

Setelah melakukan penelitian tentang pengaruh perilaku petugas rekam medis terhadap penyimpanan rekam medis di Rumah Sakitr Umum Imelda Pekerja Indonesia Medan

TCTO merupakan sebuah model yang berisi parameter Normal Duration, Crash Duration, Normal Cost, Crash Cost, dan Cost Slope yang digunakan untuk melakukan analisis biaya

Dari hasil penelitian Uji Potensi Dari Berbagai Jenis Susu Cair mengasilkan diameter zona hambat pada masing-masing sampel susu yaitu susu pasteurisasi sebesar 26,06 mm, susu

Pemberian kurkumin dan penta- gamavunon-0 pada kultur sel luteal dosis 100 μM tidak menurunkan viabilitas sel (prosentase sel hidup) pada kultur sel luteal, sedangkan pada

Ngunia, Samuel., Peter Sleegersb, and Eddie Denessenc, 2006, "Transformational and Transactional Leadership Effects on Teachers' Job Satisfaction, Organizational