MAKALAH
EKONOMI ISLAM
’’PRODUKSI DALAM EKONOMI ISLAM’’
DISUSUN OLEH :
1. TITANIA MUKTI
2. MUDZAKI AMAM
3. LUTHFIANA KARIIM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
FAKULTAS ILMU AGAMA ISLAM
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Produksi Dalam Islam ini dengan baik meskipun banyak kekurangan di dalamnya. Dan juga kami berterima kasih kepada Bapak Muhammad Iqbal, S.E.I, M.S.I. selaku Dosen mata kuliah Pemikiran dan Sistem Ekonomi Islam di UII yang telah memberikan tugas ini kepada kami. Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai hakikat produksi yang sesuai dengan syariat islam, dan juga bagaimana sejarah produksi pada zaman Rosulluloh SAW. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun dari Anda demi perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang.
Yogyakarta , 19 November 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...i
DAFTAR ISI...ii
PENDAHULUAN...1
PEMBAHASAN...11
PENUTUP...12
DAFTAR PUSTAKA...13
BAB 1
PENDAHULUAN
I.I Latar Belakang
Ekonomi berjalan akibat adanya sistem, dimana suatu sistem ekonomi merupakan sekumpulan institusi ekonomi yang memiliki keteraturan yang bersifat saling mempengaruhi dalam pencapaian tujuan bersama pada perekonomian[ CITATION Adi07 \l 1057 ]. Ajaran Islam dapat dikatakan sebuah sistem ekonomi. Hal ini disebabkan karena ajaran Islam tentang ekonomi adalah ajaran yang bersifat integral, yang tidak terpisahkan baik dalam ajaran Islam secara keseluruhan maupun dengan realitas kehidupan.
Kegiatan yang menunjang dari sebuah perekonomian dimana produksi, distribusi dan konsumsi menjadi sebuah mata rantai yang saling terhubung. Menurut ilmu ekonomi pengertian produksi adalah kegiatan yang menghasilkan barang maupun jasa atau kegiatan yang menambah nilai kegunaan atau manfaat suatu barang[ CITATION Met95 \l 1057 ]. Konsep produksi secara umum dimana konsumen menyukai produk yang tersedia di mana saja dengan harga terjangkau. Maka pada saat seperti ini, perusahaan praktis berkonsentrasi pada masalah produksi. Produksi ditingkatkan terus menerus dan diedarkan dengan jalur distribusi yang banyak.
I.II Tujuan Penulisan
I.II.I Sebagai penyelesaian salah satu tugas mata kuliah Ekonomi Islam I.II.II Sebagai pengetahuan tentang pemikiran dan sistem Ekonomi Islam I.II.III Sebagai pengetahuan tentang produksi dalam Ekonomi Islam
I.III Rumusan Masalah
I.III.I Apa saja prinsip dasar dalam produksi Ekonomi Islam I.III.II Bagaimana pandangan produksi dalam Ekonomi Islam
I.III.III Apa saja perbedaan antara produsen muslim dengan produsen non muslim
BAB II
PEMBAHASAN
II.I Pengertian Produksi dalam Islam
Pendefinisian produksi mencakup proses mencari, mengalokasikan dan mengolah sumber daya menjadi output dalam rangka meningkatkan mashlahah bagi manusia. Pada saat kebutuhan manusia masih sedikit dan sederhana, kegiatan produksi dan konsumsi sering kali dilakukan sendiri. Seiring berjalanya waktu kebutuhan akan konsumsi semakin beragam dan sumber daya alam yang tersedia semakin terbatas, maka seseorang tidak dapat lagi menciptakan barang dan jasa yang dibutuhkannya, tetapi memperoleh dari pihak lain yang mampu menghasilkannya. Beberapa ahli ekonomi islam memberikan definisi yang berbeda mengenai pengertian produksi, meskipun substansinya sama. Berikut pengertian produksi menurut para ekonomi muslim kontemporer.
1. Karf (1992) mendefinisikan kegiatan produksi dalam perspektif islam sebagai usaha manusia untuk memperbaiki tidak hanya kondisi fisik materialnya, tetapi juga moralitas, sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup sebagaimana digariskan dalam agama islam, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat.[ CITATION Mon97 \l 1057 ]
2. Manan (1992) menekankan pentingnya motif altruisme (altruism) bagi produsen yang islami sehingga ia menyikapi dengan hati-hati konsep Pareto Optimality dan Given Demand Hyphothesis yang banyak dijadikan sebagai konsep dasar produksi dalam ekonomi konvensional.
3. Rahman (1995) menekankan pentingnya keadilan dan kemerataan produksi (distribusi produksi secara merata).
4. Ul Haq (1996) menyatakan bahwa tujuan dari produksi adalah memenuhi kebutuhan barang dan jasa yang merupakan fardhu kifayah, yaitu kebutuhan yang bagi banyak orang pemenuhannya bersifat wajib.
5. Siddiqi (1992) mendefinisikan kegiatan produksi sebagai penyediaan barang dan jasa dengan memerhatikan nilai keadilan dan kebijakan/kemanfaatan (mashlahah) bagi masyarakat. Dalam pandanganya,sepanjang produsen telah bertindak adil dan membawa kebajikan bagi masyarakat maka ia telah bertindak islami.
II.II Tujuan Produksi
Dalam konsep ekonomi konvensional (kapitalis) produksi dimaksudkan untuk memperoleh laba sebesar-besarnya. Sedangkan tujuan dari produksi dalam Islam adalah untuk menciptakan mashlahah yang optimum bagi konsumen atau bagi manusia secara keseluruhan. Dengan mashlahah yang optimum ini, maka akan dicapai falah yang merupakan tujuan akhir dari kegiatan ekonomi sekaligus tujuan hidup manusia. Tujuan produksi menurut perspektif fiqh ekonomi khalifah Umar bin Khatab adalah sebagai berikut:
1. Pemenuhan kebutuhan manusia pada tingkat moderat. 2. Menemukan kebutuhan individu dan keluarga.
3. Menyiapkan persediaan barang/jasa dimasa depan.
4. Pemenuhan sarana bagi kegaitan sosial dan ibadah kepada Allah SWT (Taqarrub). 5. Merealisasikan keuntungan seoptimal mungkin
6. Pembebasan dari belenggu ketergantungan ekonomi 7. Melindungi harta dan mengembangkannya
Meskipun poduksi hanya menyediakan sarana kebutuhan manusia tidak berarti bahwa produsen sekadar bersikap reaktif terhadap kebutuhan konsumen. Produsen harus proaktif, kreatif dan inovatif menemukan berbagai barang dan jasa yang memang dibutuhkan oleh manusia melalui penelitian, riset dan pengembangan teknologi serta berbagai standar lain guna menemukan berbagai jenis kebutuhan manusia.[ CITATION P3E15 \l 1057 ]
II.III Faktor Produksi
Faktor produksi dalam ekonomi islam dengan ekonomi konvesional tidak berbeda, yang secara umum dapat dinyatakan dalam :
a. Faktor produksi tenaga kerja
Tenaga kerja menentukan kualitas dan kuantitas suatu produksi. Dalam Islam tenaga kerja tidak terlepas dari moral dan etika dalam melakukan produksi agar tidak merugikan orang lain.
b. Faktor produksi Organisasi (Manajeman)
Dalam sebuah produksi hendaknya terdapat sebuah organisasi untuk mengatur kegiatan dalam perusahaan. Dengan adanya organisasi setiap kegiatan produksi memiliki penanggung jawab untuk mencapai suatu tujuan perusahaan. Diharapkan
2
semua individu dalam sebuah organisasi melakukan tugasnya dengan baik sesuai dengan tugas yang diberikan.[ CITATION Ilf08 \l 1057 ]
c. Sumber daya alam (Bahan baku)
Allah Swt menciptakan alam yang di dalamnya mengandung banyak sekali kekayaan yang bisa dimanfaatkan manusia. Menurut ekonomi Islam jika alam dikembangkan dengan kemampuan dan tekhnologi yang baik, maka Alam dan kekayaan yang terkandung di dalamnya tidak akan terbatas. Berbeda dengan pandangan ilmu ekonomi konvensional, yang menyatakan kekayaan alam terbatas karena kebutuhan manusia yang tidak terbatas. Islam memandang kebutuhan manusialah yang terbatas dan hawa nafsu yang tidak terbatas.
d. Faktor produksi modal
Modal (capital) yaitu meliputi semua jenis barang yang dibuat untuk menunjang kegiatan produksi barang-barang lain serta jasa-jasa.
e. Faktor Produksi Tanah
Hal yang dimaksud dengan istilah land atau tanah di sini bukanlah sekedar tanah untuk ditanami atau untuk ditinggali saja, tetapi termasuk pula segala sumber daya alam (natural resources) yang ada di dalamnya.
Diantara semua unsur yang menopang usaha penciptaan nilai atau usaha memperbesar nilai barang disebut sebagai faktor-faktor produksi. [ CITATION Suh06 \l 1057 ]. Seorang produsen dalam menghasilkan suatu produk harus mengetahui jenis atau macam-macam dari faktor produksi[ CITATION Mas07 \l 1057 ].
Diantara kelima faktor produksi, faktor produksi modal yang memerlukan perhatian khusus karena dalam ekonomi konvesional diberlakukan sistem bunga. Perbedaan ini timbul karena adanya konsep kapitalis yang menyatakan bahwa bunga adalah harga modal sedangkan dalam islam sistem bunga tidak diperbolehkan. [ CITATION P3E15 \l 1057 ]
II.IV Prinsip-Prinsip Produksi Dalam Ekonomi Islam
Pada prinsipnya kegiatan produksi terkait seluruhnya dengan syariat islam, dimana seluruh kegiatan produksi harus sejalan dengan tujuan dari konsumsi itu sendiri. Konsumsi seorang muslim dilakukan untuk mencari falah (kebahagiaan), demikian pula produksi dilakukan untuk menyediakan barang dan jasa guna memenuhi falah tersebut.
Al-Qur’an dan Hadist Rasulullah SAW memberikan arahan mengenai prinsip-prinsip produksi, yaitu sebagai berikut:
1. Menurut Yusuf Qadharwi, Islam memperbolehkan penggunaan metode ilmiah yang didasarkan pada penelitian, eksperimen, dan perhitungan. Akan tetapi islam tidak membenarkan terhadap hasil karya ilmu pengetahuan yang melepaskan dirinya dari Al-qur’an dan Hadis.[ CITATION Yus97 \l 1057 ]
2. Teknik produksi diserahklan kepada kemampuan manusia. Nabi pernah bersabda : ”kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.”
3. Dalam berinovasi dan bereksperimen, pada prinsipnya agama islam menyukai kemudahan, menghindari kemudharatan dan memaksimalkan manfaat.
Adapun kaidah-kaidah dalam berproduksi antara lain adalah :
a. Memproduksikan barang dan jasa yang halal pada setiap tahapan produksi. b. Mencegah kerusakan di bumi, termasuk membatasi polusi, memelihara
kebersihan, dan memanfaatkan dengan bijak sumber daya alam.
c. Produksi dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan individu dan masyarakat serta mencapai kemakmuran. Kebutuhan yang harus dipenuhi harus berdasarkan prioritas yang ditetapkan agama.[ CITATION Mus07 \l 1057 ]
II.V Produksi Dalam Pandangan Islam
Prinsip dasar ekonomi Islam adalah keyakinan kepada Allah SWT yang sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Kegiatan produksi pada masa Rosulullah SAW menurut Abul Hasan bin Mas’ud al Khuza’ie al Andalusy, seorang penulis muslim dari Tilmizan, Andalusia pada abad ke-14 M, mengatakan bahwa masyarakat Madani adalah masyarakat yang produktif. Pada masa Rasulullah terdapat kurang lebih 178 usaha industri dan bisnis barang dan jasa yang menggerakan perekonomian masyarakat pada masa itu.
Diantara berbagai industri tersebut,terdapat 12 macam yang menonjol, yaitu : a. Pembuatan senjata dan segala usaha dari besi ;
b. Perusahaan tenun-menenun ;
c. Perusahaan kayu dan pembuatan rumah/bangunan; d. Perusahaan meriam dari kayu;
e. Perusahaan perhiasan dan kosmetik; f. Arsitektur perumahan;
h. Pembuatan alat-alat berburu; i. Peusahaan perkapalan;
j. Pekerjaan kedokteran dan kebidanan; k. Usaha penerjemahan buku;
l. Usaha kesenian dan kebudayaan lainya.
Kegiatan produksi yang disyariatkan kepada umat manusia ini terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist seperti : “Dan dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.” (Al-jaatsiyah:13). Menurut ajaran Islam, manusia adalah khalifatullāh atau wakil Allah dimuka bumi dan berkewajiban untuk memakmurkan bumi dengan jalan beribadah kepada-Nya. Oleh karena itu seorang produsen tentu tidak akan mengabaikan masalah eksternalitas seperti pencemaran.[ CITATION Afz95 \l 1057 ]
Dengan keyakinan akan peran dan kepemilikan absolut dari Allah Rabb semesta alam, maka konsep produksi di dalam ekonomi Islam tidak semata-mata bermotif memaksimalkan keuntungan dunia, tetapi lebih penting untuk mencapai maksimalisasi keuntungan akhirat. Ayat 77 surat al-Qashas mengingatkan manusia untuk mencari kesejahteraan akhirat tanpa melupakan urusan dunia. Artinya, urusan dunia merupakan sarana untuk memperoleh kesejahteraan akhirat.
Kegiatan produksi harus bergerak dalam dua garis optimalisasi. Tingkatan optimal pertama adalah mengupayakan berfungsinya sumber daya insani ke arah pencapaian kondisi
full employment, dimana setiap orang bekerja dan menghasilkan karya kecuali mereka yang “udzur syar’i” seperti sakit dan lumpuh. Optimalisasi berikutnya adalah dalam hal memproduksi kebutuhan primer (dharuriyyat), kebutuhan sekunder (hajiyyat), kebutuhan tersier (tahsiniyyat), dan memproduksi sesuatu yang halal dan bermanfaat untuk masyarakat (thayyib).
II.VI Produsen Muslim dan Non Muslim
Seorang produsen muslim harus berbeda dari produsen non muslim yang tidak memperdulikan batas-batas halal dan haram, mementingkan keuntungan yang maksimum semata, tidak melihat apakah produk mereka memberikan manfaat atau tidak, baik atau buruk, sesuai dengan nilai dan akhlak atau tidak, sesuai dengan norma dan etika atau tidak.
5
Akan tetapi seorang muslim harus memproduksi yang halal dan tidak merugikan diri sendiri maupun masyarakat banyak, tetap dalam norma dan etika serta akhlak yang mulia. Dalam HR. Ahmad, Muslim, Tirmidzi, Nasa’I, dan Ibnu Majah dari Jarir dikatakan bahwa : “Barang siapa dalam Islam yang memprakarsai suatu perbuatan yag buruk, maka baginya dosa,dan dosa yang mengerjakan sesudahnya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.
Sangat diharamkan memproduksi segala sesuatu yang merusak akidah dan akhlak serta segala sesuatu yang menghilangkan identitas umat, merusak nilai-nilai agama, menjauhkan akhirat, merusak kesejahteraan individu dan kesejahteraan umum. Jelaslah terlihat bahwa produsen muslim harus memperhatikan semua aturan yang telah ditetapkan sesuai dengan ajaran islam.
1I.VII Faktor yang Mempengaruhi Keuntungan Produksi Berdasarkan
Syariat Islam
Pada dasarnya faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya keuntungan dalam kegiatan produksi dan dianjurkan dalam islam sesuai prinsip jual beli, sebagaimana dikemukakan Misanam, dkk adalah sebagai berikut :
a. Maslahah
b. Keuntungan material
Keuntungan material merupakan bagian dari maslahah karena keuntungan dapat mengakumulasi modal, yang akhirnya dapat digunakan untuk berbagai aktivitas lainnya. Dengan kata lain, keuntungan akan menjadi tambahan modal untuk memperoleh maslahah lebih besar guna mencapai falah. Sedangkan faktor-faktor yang memperngaruhi keuntungan sebagaimana dikemukakan oleh Misanam, dkk adalah sebagai berikut :
1. Harga Barang
Faktor pertama yang menentukan keuntungan adalah harga barang itu sendiri. Peran dari harga barang dalam menentukan penawaran telah lama dikenal oleh para pemikir ekonomi Islam klasik. Jika harga barang naik, maka jumlah keuntungan per unit yang akan diperolehnya juga akan naik. Hal ini kemudian akan meningkatkan keuntungan total dan akhirnya mendorong produsen untuk menaikkan jumlah penawarannya. Sebaliknya, jika harga turun, maka produsen cenderung mengurangi penawarannya sebab tingkat keuntungan yang diperolaehnya juga akan turun. Besarnya pengaruh harga terhadap penawaran ini yang menyebabkan para ekonom Muslim menekankan pentingnya harga yang adil (thaman al-mitl).
2. Biaya Produksi
Biaya produksi jelas menentukan tingkat keuntungan sebab keuntungan adalah selisih antara penerimaan (revenue) dengan biaya (cost). Jika biaya turun, maka keuntungan produsen akan meningkat dan akhirnya akan mendorongnya untuk meningkatkan jumlah penawarannya ke pasar. Sebaliknya, jika harga naik, maka keuntungan produsen juga akan menurun dan akhirnya akan mendorong produsen untuk menurunkan jumlah penawarannya.
3. Biaya transportasi atau jasa angkut
Biaya yang dikeluarkan untuk mendistribusikan barang dari tempat pengelola bahan baku ke tempat produksi dan dari tempat produksi ke pasar.
4. Pajak
Pajak yang dikenakan pemerintah kepada konsumen dan kepada produsen untuk meningkatkan pendapatan negara guna menjaga kesejahteraan rakyatnya.
1I.VIII Rumus Maslahah dalam Produksi Islam
Aplikasi konsep mashlahah dalam perilaku produsen terdiri dari dua komponen, yaitu manfaat (fisik dan nonfisik) dan berkah. Dalam konteks produsen atau perusahaan yang menaruh perhatian pada keuntungan/profit, maka manfaat ini dapat berupa keuntungan material (maal). Keuntungan ini bisa dipergunakan untuk mashlahah lainnya seperti mashlahah fisik, intelektual, maupun social. Untuk itu rumusan mashlahah yang menjadi perhartian produsen adalah :
Mashlahah = keuntungan + berkah
M = Π + B
Dimana M menunjukkan mashlahah, Π adalah keuntungan, dan B adalah berkah. Produsen akan menggunakan proksi yang sama dengan yang dipakai oleh konsumen dalam mengidentifikasikan, yaitu adanya pahala pada produk atau kegiatan yang bersangkutan. Adapun keuntungan merupakan selisih antara pendapatan total/total revenue (TR) dengan biaya totalnya/ total cost (TC), yaitu :
Π = TR-TC
Pada dasarnya berkah akan diperoleh apabila produsen menerapkan prinsip dan nilai Islam dalam kegiatan produksinya. Penerapan nilai dan prinsip Islam ini sering kali menimbulkan biaya ekstra yang relatif besar dibandingkan jika mengabaikannya. Disisi lain, berkah yang diterima merupakan kompensasi yang tidak secara langsung diterima produsen atau berkah revenue (BR) dikurangi dengan biaya untuk mendapatkan berkah tersebut atau berkah cost (BC), yaitu :
B = BR – BC = -BC
Dalam persamaan diatas penerimaan berkah dapat diasumsikan nilainya nol atau secara indrawi tidak dapat diobservasi karena berkah memang tidak secara langsung selalu berwujud material. Dengan demikian. Mashlahah bisa ditulis kembali menjadi :
M = TR – BC
Dalam persamaan diatas ekspresi berkah (BC), menjadi factor pengurang. Hal ini masuk akal karena berkah tidak bisa datang dengan sendirinya melainkan harus dicari dan diupayakan kehadirannya sehingga kemungkinan akan timbul beban ekonomi atau bahkan
8
financial dalam rangka itu. Sebagai contoh,produsen dilarang untuk melakukan eksploitasi terhadap tenaga kerja dan harus menunaikan hak-hak tenaga kerja dengan baik, meskipun kesempatan mengeksploitasi itu terbuka dan tenaga kerja pun sering kali tidak akan menyadarinya. Dengan mengeksploitasi tenaga kerja (misalnya dengan menekan tingkat upahnya) sebenarnya produsen dapat meningkatkan efisiensi biaya tenaga kerja yang kemudian akan berdampak pada meningkatnya keuntungan. Namun, karena pengusaha Muslim berorientasi pada berkah maka hal tersebut tidak akan dilakukan, meskipun konsekuensinya harus mengeluarkan biaya tenaga kerja yang lebih tinggi. Contoh yang lain adalah penerapan prinsip dan nilai halalan thayyibah dalam produksi, dimana seluruh kegiatan produksi dan input yang digunakannya adalah legal/resmi dan baik sesuai dengan prinsip syariah.
Produsen seperti ini rela mengeluarkan biaya lebih tinggi dikarenakan yakin bahwa hanya dengan cara tersebut berkah akan diberikan oleh Allah. Berkah ada dua yaitu berupa pahala yang kelak diterimanya diakhirat, dan segala hal yang memberikan kebaikan dan manfaat bagi produsen sendiri atau juga manusia secara keseluruhan. Komitmen produsen terhadap hal-hal tenaga kerja, misalnya akan meningkatkan etos, loyalitas, dan produktivitas tenaga kerja terhadap produsen dengan cara memberikan reward atau bonus bagi pekerja tergiat. Akibatnya para tenaga kerja akan bekerja dengan lebih baik sehingga pada akhirnya juga akan menguntungkan produsen itu sendiri. Komitmen seperti ini dipastikan juga akan meningkatkan citra positif produsen dimata masyarakat sehingga kemungkinan juga akan meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap produsen. Pada akhirnya apresiasi ini dapat diwujudkan dalam bentuk peningkatan permintaan masyarakat terhadap barang dan jasa yang dihasilkan produsen.
Adanya biaya untuk mencari berkah (BC) tentu saja akan membawa implikasi terhadap harga barang dan jasa yang dihasilkan produsen. Harga jual produk adalah harga yang telah mengakomodasikan pengeluaran berkah tersebut, yaitu :
BP = P + BC
Dengan demikian, rumusan mashlahah yang di ekspresikan dalam persamaan diatas akan berubah menjadi :
M = BTR – TC – BC
Selanjutnya dengan pendekatan kalkulus terhadap persamaan diatas, maka bisa ditemukan pedoman yang bisa digunakan oleh produsen dalam memaksimumkan mashlahah atau optimum mashlahah condition (OMC), yaitu :
Jadi optimum mashlahah condition dari persamaan diatas menyatakan bahwasanya mashlahah akan maksimum jika dan hanya jika nilai dari unit terakhir yang diproduksi (BPdQ) sama dengan perubahan (tambahan) yang terjadi pada biaya total (dTR) dan pengeluaran berkah total (dBC) pada unit terakhir yang di produksi (BPdQ) masih lebih besar dari pengeluarannya, dTC + dBC, maka tidak akan ada lagi dorongan bagi produsen untuk menambah produksi lagi. Dalam kondisi demikian produsen dikatakan berada pada posisi keseimbangan (equilibrium) atau optimum.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Secara teknis produksi adalah proses mentransformasi input menjadi output, tetapi definisi produksi dalam pandangan ilmu ekonomi jauh lebih luas. Kegiatan produksi dalam perspektif ekonomi Islam pada akhirnya mengerucut pada manusia dan eksistensinya yaitu mengutamakan harkat kemuliaan manusia.
Kegiatan produksi dan konsumsi merupakan sebuah mata rantai yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Kegiatan produksi harus sepenuhnya sejalan dengan kegiatan konsumsi. Tujuan kegiatan produksi adalah menyediakan barang dan jasa yang bisa memberikan mashlahah maksimum bagi konsumen yang diwujudkan dalam pemenuhan kebutuhan manusia pada tingkatan moderat, menemukan kebutuhan masyarakat dan pemenuhannya, menyiapkan persediaan barang/jasa di masa depan, serta memenuhi sarana bagi kegiatan sosial dan ibadah kepada Allah Dalam konsep ekonomi konvensional (kapitalis) produksi dimaksudkan untuk memperoleh laba sebesar besarnya.
Berbeda dengan tujuan produksi dalam ekonomi konvensional, tujuan produksi dalam Islam yaitu memberikan mashlahah yang maksimum bagi konsumen. Walaupun dalam ekonomi Islam tujuan utamannya adalah memaksimalkan mashlahah, memperoleh laba tidaklah dilarang selama berada dalam bingkai tujuan dan hukum Islam. Dalam konsep
mashlahah dirumuskan dengan keuntungan ditambah dengan berkah.
DAFTAR PUSTAKA
(P3EI), P. P. (2015). EKONOMI ISLAM. Yogyakarta: Raja Gravindo Persada. Diana, I. N. (2008). Ekonomi Islam. Jakarta: Rajawali Pers.
Kahf, M. (1997). Ekonom Islam; Telaah Analitik terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Karim, A. (2007). Ekonomi Mikro Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Masyhuri. (2007). Ekonomi Mikro . Malang: UIN Malang Press.
Metwally. (1995). Teori dan Model Ekonomi Islam. Jakarta : PT. Bangkit Daya Insana. Mustafa Edwin Nasution, d. ( 2007). Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta: Kencana. Qardhawi, Y. (1997). Norma dan Etika Ekonomi Islam . Jakarta: Gema Insani Press.
Rahman, A. (1995). Doktrin Ekonomi Islam. Jakarta : Dana Bhakti Wahab.
Rosyidi, S. (2006). Pengantar Teori Ekonomi Pendekatan kepada Teori Ekonomi Mikro dan Makro. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,.
PERTANYAAN
1. Miftakhul Afiyah Maspeke
Dalam pembahasan perbedaan antara produsen muslim dan produsen non muslim disitu dikatakan bahwa produsen islam menggunakan normadan etika. Apakah produsen non muslim (konvensional) tidak memiliki norma dan etika ?
Jawaban :
Yang dimaksud norma dan etika pada produsen muslim adalah norma dan etika syariah, jadi norma dan etika ini hanya dimiliki oleh produsen muslim saja karena norma dan etika produsen muslim berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits, sedangkan produsen non muslim hanya memiliki norma dan etika dalam berbisnis secara umum saja bukan norma dan etika syariah yang memperimbangkan kemaslahatan umat.
2. M Dony Multazam
Berikan Contoh real produsen muslim dan produsen non muslim! Jawaban :
Contoh perusahaan muslim : a. Perusahaan kripik Karichips b. PT Trakindo Utama
c. PT Chandra Sakti Utama Leasing
Contoh Perusahaan non muslim : a. PT Djarum Kudus
b. Abadi Barindo Authotec c.Wings
3. Siti Shalma
Apakah ada perbedaan dalam cara memproduksi antara produsen islam dan produsen konvensional ?, jelaskan
Jawabanya :
Terdapat perbedaan cara memproduksi antara produsen muslim dan non muslim yaitu produsen muslim mempertimbangkan kemaslahatan umat dalam kegiatan produksinya seperti kehalallan suatu produk,manfaat dari produk yang diproduksi,penentuan keuntunganya semua itu dipertimbangkan, sedangkan produsen non muslim tidak mempertimbangkan kemaslahatan umat,mereka hanya mementingkan keuntungan maksimal.
4. Joko
Bagaimana cara memaksimalkan falah ?
Apakah produsen muslim boleh bekerja sama dengan produsen non muslim ? Jawabanya :
a. Cara memaksimalkan falah dimulai dari memperbaiki diri terlebih dahulu, dengan kesadaran diri sendiri dan iman yang kuat, kita sadar akan pentingnya memilah suatu produk yang halal atau tidak, kita sadar akan dampak baik atau buruk dalam pemakaian suatu produk bagi diri sendiri maupun orang lain, dst. Jika pertimbangan - pertimbangan tersebut akhirnya dipilih menjadi suatu keputusan , maka keputusan yang mengandung unsur manfaat dan mashlahah lah yang akan mendorong kita menuju falah yang maksimal dari segi ekonomi.
b. Boleh selagi tidak membuat iman kita luntur dan masih dalam batas batas ukuwah yang ditentukan oleh Allah
5. Aisyah Isnaeni
Jelaskan Etika bisnis dalam EKIS! Jawab :
Etika bisnis dalam ekonomi islam :
a. Kesatuan (Tauhid/Unity)
Memadukan keseluruhan aspek-aspek kehidupan muslim baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial menjadi keseluruhan yang homogen.
b. Keseimbangan (Equilibrium/Adil)
Islam sangat mengajurkan untuk berbuat adil dalam berbisnis, dan melarang berbuat curang atau berlaku dzalim.
Seperti yang tertulis dalam Q.S. al-Isra’: 35 yang artinya :
“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya,”
c. Kehendak Bebas (Free Will)
Kebebasan merupakan bagian penting dalam nilai etika bisnis islam, tetapi kebebasan itu tidak merugikan kepentingan kolektif. Kepentingan individu dibuka lebar. Tidak adanya batasan pendapatan bagi seseorang mendorong manusia untuk aktif berkarya dan bekerja dengan segala potensi yang dimilikinya.
d. Tanggung jawab (Responsibility)
untuk memenuhi tuntunan keadilan dan kesatuan, manusia perlu mempertaggungjawabkan tindakanya.
e. Kebenaran: kebajikan dan kejujuran
Dalam konteks bisnis kebenaran dimaksudkan sebagia niat, sikap dan perilaku benar yang meliputi proses akad (transaksi) proses mencari atau memperoleh komoditas pengembangan maupun dalam proses upaya meraih atau menetapkan keuntungan.
Dengan prinsip kebenaran ini maka etika bisnis Islam sangat menjaga dan berlaku preventif terhadap kemungkinan adanya kerugian salah satu pihak yang melakukan transaksi, kerjasama atau perjanjian dalam bisnis.
6. M Dzakky Sore2
Bagaimana pandangan ekonomi islam terhadap barang-barang kw ? Jawab :
Hukum memplagiat merk dalam pembuatan sebuah produk tanpa izin pemiliknya adalah aktivitas pelanggaran hak cipta, yang secara hukum dan secara syariah dilarang, dan hukumnya sama seperti mencuri.
Namun, bila suatu perusahaan kecil membeli lisensi/merk subuah produk dari pemilik aslinya dan perusahaan kecil tersebut membayar pajaknya maka kegiatan produksi tersebut boleh-boleh saja karena sudah mendapat izin dari pemilik asli dari merk dagang yang dimaksud, namun perusahaan kecil tersebut tidak diakui sebagai cabang dari perusahaan pemilik lisensi.
7. M Habib al-Fajri
Apakah produsen muslim mempunyai hak untuk menaikan harga daganganya diatas harga pasar ?
Produsen muslim boleh menaikan harga Namun bila produsen sudah menaikkan harga di atas batas kewajaran, mereka itu telah berbuat zalim dan sangat membahayakan umat manusia,maka seorang penguasa (Pemerintah) harus campur tangan dalam menangani persoalan tersebut dengan cara menetapkan harga standar. Dengan maksud untuk melindungi hak-hak milik orang lain., mencegah terjadinya penimbunan barang dan menghindari dari kecurangan- kecurangan. Inilah yang pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Kattab
8. Bapak M Iqbal, S.E.I , M.S.I
Bagaimana pandangan islam terhadap teori pareto optimum yang berkaitan dalam hal teori produksi?
Jawab :
Ekonomi Islam memandang banyak kekurangan pada penerapan konsep pareto optimum sebagai kondisi efisien dalam perekonomian.
Pada konsep pareto optimum sebenarnya banyak sekali ditemukan ketidakadilan. Hal ini dikarenakan titik berat pareto optimum yang hanya menekankan pada efisiensi perekonomian. Efisiensi dalam perekonomian konvensional hanya bertujuan untuk memaksimalkan surplus konsumen dan produsen.
Pada analisiscontract curve dalam kotak Edgeworth, dijelaskan bahwa sepanjang contract curve alokasi sumber daya akan selalu efisien. Ini suatu pernyataan yang sangat tidak adil karena dengan begitu kita bisa saja mengambil titik pada contract curve yang memberikan alokasi terbesar hanya kepada satu pihak yang diinginkan dengan begitu pihak lain akan mendapatkan alokasi sumber daya yang sangat kecil. Namun menurut konsep pareto optimum kondisi seperti itu sudah terbaik dalam perekonomian .
Pihak yang mendapatkan alokasi terkecil pun dianggap sudah mencapai alokasi sumber daya terbaiknya dan tidak dapat menaikkan utilitasnya, yang sangat kecil itu, karena jika dinaikkan akan membuat pihak lain, yang utilitasnya sangat besar, menjadi worse-off dan berakibat pada terganggunya efisiensi perekonomian konvensional. Hal ini jelas menunjukkan ketidakadilan terhadap masyarakat kecil (miskin).