• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PETA KERENTANAN LONGSORAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV PETA KERENTANAN LONGSORAN"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

53

PETA TOPOGRAFI DIGITAL BAKOSURTANAL

CITRA SATELIT LANDSAT 7 ETM+

SKEMA PENGKELASAN ANBALAGAN (1992) (LANDSLIDE HAZARD EVALUATION FACTOR)

PETA KEMIRINGAN LERENG PETA RELIEF RELATIF PETA TUTUPAN LAHAN PETA KEBASAHAN LAHAN PETA GEOLOGI PETA GEOLOGI

PROSES HIRARKI ANALITIK

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

PETA KERENTANAN LONGSORAN

BAB IV

PETA KERENTANAN LONGSORAN

4.1 Metodologi

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan dan mengidentifikasi tingkat kerentanan suatu tempat tertentu untuk mengalami kejadian longsoran, dengan mengklasifikasikannya berdasarkan faktor-faktor penyebab longsoran. Klasifikasi yang digunakan untuk pengkelasan masing-masing faktor penyebab longsoran, menggunakan klasifikasi Anbalagan (1992). Metode yang digunakan adalah metode proses hirarki analitik atau Analytic

Hierarchy Process (AHP) untuk pembobotan dan pengujian rasio konsistensi, dan sistem

informasi geografis atau Geographic Information system (GIS) untuk pengolahan data (Gambar 4.1).

(2)

54

4.2 Klasifikasi Anbalagan

Klasifikasi Anbalagan adalah klasifikasi untuk menentukan zonasi longsoran dengan cara pengkelasan (rating) pada masing-masing faktor penyebab longsoran. Fakor-faktor yang digunakan sebagai acuan pengkelasan adalah kemiringan lereng, litologi, relief relatif, kebasahan lahan, dan tutupan lahan.

Klasifikasi ini cukup sistematis, sederhana, dan efektif sehingga sangat mudah digunakan. Klasifikasi ini dapat berfungsi sebagai investigasi awal untuk mengetahui tingkat kerentanan longsoran. Pendekatan yang dikembangkan untuk mengetahui tingkat kerentanan longsoran pada metode ini adalah skema pengkelasan numerik yang disebut faktor evaluasi bahaya longsoran atau Landslide Hazard Evaluation Factor (LHEF).

4.2.1 Skema Pengkelasan Faktor Evaluasi Bahaya Longsor/Landslide Hazard Evaluation Factor (LHEF)

LHEF adalah sistem pengkelasan numerikal pada faktor-faktor penyebab longsoran yang utama. Faktor-faktor tersebut meliputi kemiringan lereng, litologi, relief relatif, kebasahan lahan, dan tutupan lahan. Faktor-faktor pemicu seperti curah hujan dan seismik tidak termasuk faktor yang digunakan dalam metode ini. Nilai maksimum untuk masing faktor berbeda, tergantung seberapa besar faktor tersebut dapat mempengaruhi suatu lereng untuk mengalami longsoran. Nilai maksimum untuk jumlah seluruh faktor (total bobot) adalah 1 atau 100 % yang diperoleh dari hasil proses hirarki analitik atau Analytic Hierarchy

Process (AHP). Nilai 1 atau 100% menunjukkan kondisi yang memiliki tingkat kerentanan

longsoran sangat tinggi.

Berikut ini adalah uraian mengenai rincian faktor-faktor yang digunakan dalam skala pengkelasan LHEF:

a. Kemiringan Lereng

Sudut kemiringan lereng adalah sudut yang dibentuk antara bidang permukaan tanah dengan bidang normal. Besar kecilnya kemiringan lereng di suatu area dipengaruhi oleh sejarah proses geomorfologi. Setiap unit kemiringan lereng menunjukkan proses dan kontrol yang terjadi di daerah tersebut. Peta kemiringan lereng dibuat dari peta topografi yang dibagi berdasarkan banyaknya garis kontur yang melewati satu lereng. Kemiringan lereng pada metode ini dikelaskan menjadi lima kelas yaitu sangat terjal (> 45 derajat), terjal

(3)

55

(35–45 derajat), sedang (25–35 derajat), landai (15–25 derajat) dan sangat landai (< 15 derajat).

b. Litologi

Kondisi litologi diperoleh dari peta geologi yang telah dipetakan langsung di lapangan oleh peneliti. Jenis litologi sangat berpengaruh terhadap kemungkinan suatu lereng untuk longsor. Sebagai contoh, batuan seperti kuarsit, batugamping, dan batuan beku merupakan batuan yang keras, kompak, dan tahan terhadap erosi sehingga kecil kemungkinan terjadi longsoran pada daerah dengan litologi ini. Sebaliknya, batuan sedimen campuran lunak dan sangat mudah tererosi memiliki kemungkinan yang sangat besar untuk longsor.

c. Relief Relatif

Relief relatif adalah besaran yang menunjukkan kekasaran morfologi permukaan suatu daerah. Pada metode ini relief relatif ditunjukkan dengan selisih ketinggian antara puncak tertinggi dan lembah yang paling rendah pada satu individu faset. Relief relatif pada metode ini dikelaskan menjadi tiga kelas, yaitu rendah (<100 m), sedang (101-300 m) dan tinggi (> 300 m).

d. Kebasahan Lahan

Airtanah pada daerah berbukit umumnya mengalir pada saluran jalur diskontinuitas, sehingga air tanah di daerah berbukit tidak memiliki pola aliran yang seragam. Analisis perilaku air tanah pada daerah yang sangat luas dan pada kondisi seperti ini sangat sulit untuk dilakukan. Oleh karena itu untuk melakukan analisis kondisi airtanah dengan dengan alokasi waktu yang lebih kecil, maka dilakukan analisis terhadap kondisi keairan permukaan. Analisis kondisi keairan pada permukaan diharapkan dapat mempresentasikan kondisi air tanahnya. Kondisi keairan permukaan pada metode ini dikelaskan menjadi lima yaitu kering, lembab, basah, jenuh dan merembes.

e. Tutupan Lahan

Tutupan lahan adalah salah satu indikasi tidak langsung dari kestabilan lereng. Lahan gundul dan lahan yang jarang tanaman akan cepat tererosi sehingga menyebabkan lereng menjadi tidak stabil. Sebaliknya, lahan yang ditanami banyak tumbuhan akan lebih resisten terhadap erosi, sehingga lerengnya lebih stabil. Hutan secara umum dapat mengurangi akibat dari pengaruh iklim terhadap lereng, dan melindunginya terhadap erosi. Akar yang tertanam kuat

(4)

56

dapat membuat permukaan menjadi lebih sukar untuk bergerak. Pertanian secara umum dilakukan pada lahan dengan kemiringan lereng yang rendah walaupun terkadang juga dilakukan pada lereng yang sedikit terjal. Bagaimanapun, lahan pertanian adalah area yang mengalami pengairan berulang yang diperkirakan stabil.

4.3 Metode Proses Hirarki Analitik/Analytical Hierarchy Process (AHP)

Metode AHP dalam penelitian ini digunakan untuk menentukan bobot dan nilai maksimum untuk jumlah semua faktor yang diperoleh dari penilaian perbandingan antara satu faktor dengan faktor lainnya dalam sebuah matriks perbandingan atau matriks pairwise

comparison. Penilaian matriks perbandingan dilakukan oleh para ahli geologi teknik yang

telah berpengalaman meneliti longsoran di berbagai tempat. Dalam penelitian ini peneliti memakai pendapat Ercanoglu et al. (2005), yang telah memakai metode AHP dalam penentuan tingkat kerentanan longsoran di kawasan Laut Hitam, Turki. Ercanoglu et al. (2005) melakukan penelitian tingkat kerentanan longsoran dengan memberikan penilaian ke dalam tujuh buah matriks perbandingan yang diambil dari tujuh pendapat para ahli longsoran. Masing-masing dari tujuh ahli longsoran tersebut, memberikan penilaian tingkat kerentanan longsoran dalam sebuah matriks perbadingan. Untuk proses yang dilakukan pada daerah penelitian dengan metode AHP ini, dilakukan perhitungan rata-rata dari tujuh pendapat para ahli, kemudian dimasukkan ke dalam sebuah matriks perbandingan (Tabel 4.1). Dalam perhitungan metode AHP ini digunakan perangkat lunak Microsoft Excel.

Tabel 4.1. Matriks perbandingan pengaruh faktor kerentanan longsoran, yang diambil dari pendapat tujuh ahli longsoran setelah dirata-ratakan.

(5)

57 Keterangan: A = Kemiringan Lereng B = Litologi C = Relief Relatif D = Kebasahan Lahan E = Tutupan Lahan

Matriks perbandingan dibuat untuk menentukan bobot prioritas masing-masing faktor yang merupakan inti dari AHP. Dalam penentuan bobot prioritas dilakukan lagi pengolahan data dari suatu matriks baru hasil normalisasi. Matriks normalisasi didapat dari individu elemen dibagi total kolom pada matriks perbandingan. Penentuan bobot prioritas didapat dari penjumlahan tiap baris matriks dibagi dengan jumlah n matriks. Total bobot prioritas yang didapat adalah 1 atau 100% yang merupakan nilai maksimum untuk jumlah seluruh faktor-faktor penyebab longsoran(Tabel 4.2). Bobot prioritas yang telah didapatkan akan diolah didalam metode berikutnya yaitu Sistem Informasi Geografis yang berfungsi sebagai alat pengolahan data.

Tabel 4.2. Normalisasi dari matriks perbandingan dan penentuan bobot prioritas.

Keterangan: A = Kemiringan Lereng B = Litologi C = Relief Relatif D = Kebasahan Lahan E = Tutupan Lahan

(6)

58

Konsistensi pebandingan ditinjau per matriks perbandingan untuk memastikan bahwa urutan prioritas yang dihasilkan dari suatu rangkaian perbandingan masih berada dalam preferensi yang logis. Setelah melakukan perhitungan bobot prioritas langkah selanjutnya adalah pengujian konsistensi matriks perbandingan. Dalam perkembangan akan dilakukan pengujian rasio konsistensi.

Pengujian rasio konsistensi dimulai dengan mengetahui principal eigen value maksimum. Untuk mendapatkan nilai tersebut harus didapatkan nilai eigen dengan prinsip perkalian matriks yaitu baris dikali kolom. Matriks perbandingan dikali dengan matriks bobot priroritas yang akan menghasilkan matriks nilai eigen. Nilai eigen ini merepresentasikan kisaran angka dari masing-masing elemen principal eigen dan frekuensi maksimum. Setelah didapatkan nilai eigen, akan ditentukan nilai principal eigen yang didapat dari pembagian tiap elemen matriks nilai eigen dengan tiap elemen matriks bobot prioritas pada baris yang sama. Matriks principal eigen yang telah didapat berupa matriks n baris dan 1 kolom, selanjutnya matriks tersebut dirata-ratakan berdasarkan jumlah baris. Nilai rata-rata ini

merupakan principal eigen value maksimum (λmaks). Perhitungan principal eigen value

maksimum (λmaks) adalah sebagai berikut.

2,047460449 : 0,384973553 = 5,31844443 1,52450594 : 0,280260884 = 5,439595841 0,296484847 : 0,057901652 = 5,120490269 1,215620088 : 0,226657063 = 5,363257047 0,257535974 : 0,050206848 = 5,12949894 ∑ = 26,7129 λmaks = 26,7129/5 = 5,274257306

Tahapan berikutnya setelah mendapatkan principal eigen value maksimum adalah

menentukan indeks konsistensi yang didapat dari rumus λmaks – n/n – 1. Setelah didapat

indeks konsistensi, maka peneliti dapat menentukan rasio konsistensi. Rasio konsistensi merupakan pembagian indeks konsistensi dengan Random Index. Untuk melakukan

(7)

59

perhitungan ini diperlukan bantuan tabel Random Index (RI) yang nilainya untuk setiap n matriks dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.3 Random Index untuk tiap n matriks

Indeks Konsistensi = λmaks – n/n – 1

= 5,274257306 – 5/5 – 1

= 0,068564326

Rasio Konsistensi = Indeks Konsistensi/Random Index

= 0,068564326/1,12 untuk matriks n = 5 maka RI = 1,12

= 0,061218149 hasil cukup konsisten

Hasil pengujian rasio konsitensi didapat nilai 0,061218149 yang merepresentasikan nilai yang konsisten dari suatu matriks perbandingan. Hal ini didasarkan pada matriks perbandingan yang memiliki faktor-faktor kerentanan longsoran dengan intensitas pengaruh suatu faktor terhadap faktor lainnya masih logis. Hal ini akan berbeda hasilnya jika intensitas pengaruh suatu faktor terhadap faktor lainnya memiliki intensitas yang sama atau dalam matriks perbandingan semua elemen akan bernilai 1, maka rasio konsistensi yang didapat akan bernilai 0 yang merepresentasikan tidaknya suatu pengaruh terhadap pengaruh lainnya. Selain itu, jika intensitas pengaruh suatu faktor terhadap faktor lainnya memiliki intensitas

yang mutlak lebih berpengaruh daripada faktor lainnya atau dalam matriks perbandingan

akan membentuk sebuh diagonal bernilai 1 sementara elemen lain memiliki nilai tinggi yang relatif sama, maka akan didapat nilai rasio konsistensi lebih dari 0,1 yang merepresentasikan suatu faktor mutlak lebih berpengaruh daripada faktor lainnya, artinya faktor yang lain tidak memiliki pengaruh apapun atau tidak dapat dibandingkan dengan faktor lainnya sehingga

(8)

60

4.4 Sistem Informasi Geografis/Geographic Information System (GIS)

Metode ini merupakan bagian dari pengolahan data yang telah diperoleh dari klasifikasi Anbalagan (1992) dan metode AHP. Data-data yang telah didapat dari dua metode sebelumnya diolah dengan menggunakan perangkat lunak GIS seperti ArcGIS 9.3, Er Mapper 7.0, dan Global Mapper 10.

4.4.1 Pengolahan Data

Data yang digunakan dan diolah dalam penelitan ini adalah data-data spasial. Data spasial tersebut berupa peta-peta tematik dan citra satelit. Peta-peta tematik yang digunakan sebagai data adalah peta kemiringan lereng, peta geologi, peta relief relatif. Peta-peta tematik ini tdak didapatkan murni sebagai data sekunder, tetapi sebagai data mentah yang harus diolah terlebih dahulu untuk mendapatkan peta-peta tematik data yang dibutuhkan dalam zonasi kerentanan longsoran dengan klasifikasi Anbalagan (1992). Sedangkan citra satelit digunakan untuk membuat peta tutupan lahan dan peta kebasahan lahan melalui proses

remote sensing. Proses-proses remote sensing tersebut meliputi metode NDVI (Normalized Difference Vegetation index) dan Tasseled Cap. Keseluruhan data-data mentah ini diperoleh

dari berbagai sumber antara lain Bakosurtanal dan Pusat Survei Geologi, USGS dan sebagainya. Data yang didapatkan dari Bakosurtanal adalah peta digital yang berisikan data ketinggian (topografi), dan data tata guna lahan. Data citra satelit didapat dari USGS dan Pusat Survei Geologi. Data yang didapatkan dari pemetaan langsung di lapangan adalah data geologi.

Peta-peta tematik yang telah diproses, disamakan terlebih dahulu menjadi skala 1 : 50.000 agar tidak terjadi kesalahan data pada saat tumpang tindih, dan juga dilakukan penyamaan sistem koordinat peta menjadi sistem koordinat Universal Tranverse Mercator (UTM), Zona 48S, WGS 1984. Data diolah dengan menggunakan metode GIS, sehingga data yang akan diolah sebelumnya harus dikalibrasi, disamakan, dan disesuaikan ke dalam format digital yang sama, yaitu ke dalam format ESRI Shape (.shp) pada perangkat lunak ArcGIS. Pengolahan data yang dilakukan adalah pengolahan data menjadi faktor-faktor yang mengontrol terjadinya longsoran dengan menggunakan klasifkasi pengkelasan LHEF (Landslide Hazard Evaluaton Factor). Data-data yang digunakan, dijumlahkan nilai bobot penyebab longsoran, sehingga memiliki satu nilai dari kelima faktor. Faktor-faktor tersebut adalah :

(9)

61

1. Kemiringan lereng, yang diolah dari peta topografi. 2. Litologi, yang diolah dari peta geologi.

3. Relief relatif, yang diolah dari peta topografi. 4. Tutupan lahan, yang diolah dari citra satelit. 5. Kebasahan lahan, yang diolah dari citra satelit.

Proses yang dilakukan setelah mendapat peta-peta faktor penyebab longsoran adalah memasukkan nilai-nilai hasil pembobotan dari AHP pada dengan metode weighted overlay pada spatial analyst tools yang ada pada perangkat lunak ArcGIS. Setelah itu, akan didapatkan peta kerentanan longsoran di daerah penelitian, seperti yang ditunjukkan pada diagram alir (lihat Gambar 4.1).

4.4.1.1 Kemiringan Lereng

Kemiringan Lereng pada klasifikasi Anbalagan (1992) didefinisikan dengan derajat lereng. Derajat lereng adalah rasio antara tinggi lereng (vertikal) dan panjang lereng (horizontal). Data yang digunakan dalam pembuatan peta kemiringan lereng ini adalah peta topografi dan administrasi digital dari Bakosurtanal tahun 2002.

Perangkat lunak yang digunakan untuk menghasilkan peta kemiringan lereng adalah ArcGIS. Fasilitas yang digunakan pada perangkat lunak ini adalah konversi peta digital topografi menjadi peta kemiringan lereng dengan metode Triangulated Irregular Network (TIN). TIN adalah metode penentuan besar dan arah kemiringan lereng dengan menggunakan tiga titik data. Dari tiga titik tersebut dihitung arah dari lereng beserta kemiringannya. Hasil akhirnya adalah sebuah peta kemiringan lereng.

Pada peta tersebut telah dikelaskan nilai-nilai kemiringan sesuai dengan skema pengkelasan LHEF pada klasifikasi Anbalagan (1992). Terdapat lima kelas kemiringan lereng yaitu di bawah 15 derajat, 16 sampai 25 derajat, 26 sampai 35 derajat, 36 sampai 45 derajat, dan lebih besar dari 45 derajat (Gambar 4.2).

(10)

62 107°24’15” 107°24’30” 107°25’00” 107°25’30” 107°26’00” 107°26’30” 107°27’00” 107°27’30” 107°24’15 BT”107°24’30” 107°25’00” 107°25’30” 107°26’00” 107°26’30” 107°27’00” 107°27’30” 6 °4 6 ’0 0 L S 6 °4 6 ’3 0 6 °4 7 ’0 0 6 °4 7 ’3 0 6 °4 8 ’0 0 6 °4 8 ’3 0 6 °4 6 ’0 0 6 °4 6 ’3 0 6 °4 7 ’0 0 6 °4 7 ’3 0 6 °4 8 ’0 0 6 °4 8 ’3 0

Desa Sumur Bandung

D

Desa Mandalasari Desa Kanangasari

Desa Nyalindung

PETA KEMIRINGAN LERENG DAERAH SASAKSAAT DAN SEKITARNYA KABUPATEN BANDUNG BARAT, JAWA BARAT

KETERANGAN: = <15° = 16°-25° = 26°-35° = 36°-45° = >45° = Jalan Raya

= Jalan Kereta Api = Jalan Perkebunan = Sungai = Garis Kontur = Titik Ketinggian = Jalan Tol

Gambar 4.2. Peta faktor kemiringan lereng 4.4.1.2 Litologi

Litologi merupakan faktor yang sangat mempengaruhi dalam hal kerentanan longsoran. Dalam hal ini yang berpengaruh adalah tingkat kekerasan dan kesolidan litologi tertentu. Batuan yang memiliki sifat keras, kompak dan masif seperti batuan beku akan memilki faktor kerentanan longsoran yang rendah. Sebaliknya batuan yang cenderung bersifat lunak, tidak solid dan mudah terkikis seperu batulempung, batulanau, dan serpih akan memiliki faktor kerentanan yang tinggi.

Data yang digunakan untuk faktor litologi adalah peta geologi yang dipetakan langsung di lapangan (Gambar 4.3). Informasi yang didapat dari peta geologi untuk faktor litologi adalah satuan batuan di daerah penelitian. Dalam pengolahan data faktor litologi, peneliti mengolah peta geologi ke dalam bentuk peta digital yang terdiri dari batas area, koordinat dan informasi daerah tersebut. Kondisi litologi tersebut menjadi sumber peninjauan pengkelasan yang disesuaikan dengan pengkelasan LHEF pada klasifikasi Anbalagan (1992). Pada pengkelasan ini, batuan yang tidak solid dan mudah bergerak seperti batulempung, batulanau, serpih, dan tuf diberi nilai pengkelasan tinggi, yang menandakan daerah tersebut memiliki kerentanan tinggi terhadap longsoran jika ditinjau dari sudut pandang litologi. Sebaliknya, batuan-batuan yang solid dan masif seperti andesit memiliki nilai pengkelasan yang rendah, yang menunjukkan bahwa daerah tersebut jika ditinjau dari sudut pandang litologinya memiliki kerentanan yang rendah terhadap longsoran.

(11)

63

4.4.1.3 Relief Relatif

Relief relatif adalah besaran yang menunjukkan kekasaran morfologi permukaan suatu daerah. Pada metode ini relief relatif ditunjukkan dengan selisih ketinggian antara puncak tertinggi dan lembah yang paling rendah dalam satu faset. Data yang digunakan untuk relief relatif ini adalah peta topografi digital bakosurtanal tahun 2002. Dari data garis topografi tersebut diambil nilai titik tingginya. Proses ini dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak ArcGIS. Proses ini dilakukan dengan cara mengekstrak data-data vektor berupa point dari peta topografi digital yang menunjukkan titik ketinggian daerah penelitian. Data vektor berupa point yang telah diekstrak memiliki data tabulasi berupa koordinat x, koordinat y, dan ketinggian titik tersebut.

Data titik ketinggian yang telah diekstrak selanjutnya dioverlay dengan data face slope dan face elevation untuk mengetahui puncak punggungan dan lembah terendah serta mendapatkan faset-faset kecil yang berupa data TIN. Setiap faset-faset kecil memiliki nilai titik-titik ketinggian yang berbeda, oleh karena itu peneliti mengintegrasikan titik ketinggian tersebut ke dalam atribut faset sehingga satu faset kecil hanya memiliki satu buah titik data. Setelah didapat atribut faset, dilakukan penyelisihan nilai ketinggian antara puncak

107°24’15” 107°24’30” 107°25’00” 107°25’30” 107°26’00” 107°26’30” 107°27’00” 107°27’30” 107°24’15 BT”107°24’30” 107°25’00” 107°25’30” 107°26’00” 107°26’30” 107°27’00” 107°27’30” 6 °4 6 ’0 0 LS 6 °4 6 ’3 0 6 °4 7 ’0 0 6 °4 7 ’3 0 6 °4 8 ’0 0 6 °4 8 ’3 0 6 °4 6 ’0 0 6 °4 6 ’3 0 6 °4 7 ’0 0 6 °4 7 ’3 0 6 °4 8 ’0 0 6 °4 8 ’3 0

Desa Sumur Bandung

D

Desa Mandalasari Desa Kanangasari

Desa Nyalindung

PETA PENYEBARAN LITOLOGI DAERAH SASAKSAAT DAN SEKITARNYA KABUPATEN BANDUNG BARAT, JAWA BARAT

KETERANGAN: = Tuf = Lava Andesit

= Jalan Raya

= Jalan Kereta Api = Jalan Perkebunan = Sungai

= Garis Kontur (interval 50 m) = Titik Ketinggian = Jalan Tol = Breksi Piroklastik = Batulempung II = Batupasir = Breksi = Batulempung I

(12)

64

punggungan dan lembah terendah dalam satu faset yang datanya diambil dari atribut faset-faset kecil.

Relief relatif pada metode ini dikelaskan menjadi tiga kelas, yaitu rendah (<100 m), sedang (100 - 300 m) dan tinggi (> 300 m), untuk di daerah penelitian hanya memiliki dua kelas yaitu rendah dan sedang (Gambar 4.4). Dapat dilihat daerah baratlaut penelitian memiliki relief yang kasar pada kelas sedang, karena memiliki punggungan yang membentang dengan timurlaut barat daya dan di antara punggungan tersebut terdapat lembah yang memiki nilai ketinggian yang cukup rendah.

4.4.1.4 Kebasahan Lahan

Kebasahan lahan dikontrol oleh seberapa besar kadar air yang terdapat pada permukaan lahan. Untuk mendapatkan kebasahan, pendekatan dilakukan menggunakan citra satelit. Pengolahan data yang digunakan adalah menggunakan Metode Tasseled Cap.

Citra satelit yang sebelumnya memiliki delapan band panjang gelombang sebagai atributnya, diproses untuk mendapatkan atribut Tasseled cap dengan perangkat lunak Er Mapper. Atribut tersebut adalah greenes, wetness, dan brightness. Atribut yang diambil adalah wetness diambil untuk mengetahui kebasahan lahan daerah penelitian. Atribut wetness pada citra satelit yang telah diolah, diidentifikasi dengan metode klasifikasi unsupervised

classification dengan sebelumnya melakukan koreksi radiometrik citra untuk objek air.

107°24’15” 107°24’30” 107°25’00” 107°25’30” 107°26’00” 107°26’30” 107°27’00” 107°27’30” 107°24’15 BT”107°24’30” 107°25’00” 107°25’30” 107°26’00” 107°26’30” 107°27’00” 107°27’30” 6 °4 6 ’0 0 L S 6 °4 6 ’3 0 6 °4 7 ’0 0 6 °4 7 ’3 0 6 °4 8 ’0 0 6 °4 8 ’3 0 6 °4 6 ’0 0 6 °4 6 ’3 0 6 °4 7 ’0 0 6 °4 7 ’3 0 6 °4 8 ’0 0 6 °4 8 ’3 0

Desa Sumur Bandung

D

Desa Mandalasari Desa Kanangasari

Desa Nyalindung

PETA RELIEF RELATIF DAERAH SASAKSAAT DAN SEKITARNYA KABUPATEN BANDUNG BARAT, JAWA BARAT

KETERANGAN:

= <100 m = >100 m = Jalan Raya

= Jalan Kereta Api = Jalan Perkebunan = Sungai = Garis Kontur = Titik Ketinggian = Jalan Tol

(13)

65 107°24’15” 107°24’30” 107°25’00” 107°25’30” 107°26’00” 107°26’30” 107°27’00” 107°27’30” 107°24’15 BT”107°24’30” 107°25’00” 107°25’30” 107°26’00” 107°26’30” 107°27’00” 107°27’30” 6 °4 6 ’0 0 L S 6 °4 6 ’3 0 6 °4 7 ’0 0 6 °4 7 ’3 0 6 °4 8 ’0 0 6 °4 8 ’3 0 6 °4 6 ’0 0 6 °4 6 ’3 0 6 °4 7 ’0 0 6 °4 7 ’3 0 6 °4 8 ’0 0 6 °4 8 ’3 0

Desa Sumur Bandung

D

Desa Mandalasari Desa Kanangasari

Desa Nyalindung

PETA KEBASAHAN LAHAN DAERAH SASAKSAAT DAN SEKITARNYA KABUPATEN BANDUNG BARAT, JAWA BARAT

KETERANGAN: = Merembes = Jenuh = Basah = Lembab = Kering = Jalan Raya

= Jalan Kereta Api = Jalan Perkebunan = Sungai

= Garis Kontur (interval 50 m) = Titik Ketinggian = Jalan Tol

Citra satelit yang telah diklasifikasi dan diidentifikasi menghasilkan peta kebasahan lahan yang selanjutnya dikelaskan menurut pengkelasan LHEF dari klasifikasi Anbalagan (1992). Terdapat lima kelas yaitu merembes, jenuh, basah, lembab dan kering (Gambar 4.5).

4.4.1.5 Tutupan Lahan

Peta tutupan lahan ini menggunakan pengkelasan seberapa besar kerapatan tutupan tumbuhan pada suatu area. Data yang digunakan pada pengolahan faktor tutupan lahan ini adalah berupa data raster yaitu Citra Satelit Landsat ETM+ 8 band dari USGS (2003) dengan band 3 dan 4 sebagai data olahan.

Citra yang beratribut 8 band diolah dengan menggunakan metode NDVI (Normalized

Difference Vegetation Index). Perangkat lunak yang digunakan untuk metode NDVI adalah

Er Mapper. Metode NDVI menggunakan data olahan band 4 yang memiliki kemampuan aplikasi mengetahui survei biomassa dan delineasi tubuh air, sedangkan band 3 memiliki kemampuan aplikasi membedakan tingkat absorbsi klorofil pada vegetasi.

Setelah itu dilakukan klasifikasi citra dengan metode identifikasi berupa supervised

classification menggunakan peta tata guna lahan digital Bakosurtanal (2002), Google Earth,

dan observasi vegetasi peneliti selama melakukan pemetaan geologi di lapangan.

Citra satelit yang telah diklasifikasi dan diidentifikasi menghasilkan peta tutupan lahan, selanjutnya dikelaskan menurut pengkelasan LHEF dari klasifikasi Anbalagan (1992).

(14)

66

Terdapat empat kelas yaitu vegetasi rapat, vegetasi sedang, vegetasi jarang, dan lahan gundul (gambar 4.6).

4.4.2 Peta Kerentanan Longsoran

Peta kerentanan longsoran merupakan hasil penjumlahan dari peta-peta faktor menurut LHEF pada klasifikasi Anbalagan. Kelima faktor yang ada dilakukan pembobotan yang didapat dari hasil proses hirarki analitik, kemudian dilakukan metode tumpang tindih pada pengolahan data di GIS, sehingga membentuk satu peta kerentanan longsoran dengan empat atribut.Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak ArcGIS dengan fasilitas weighted overlay pada spatial analysis tools. Fasilitas yang tersedia pada perangkat lunak dapat membuat satu penggabungan peta dari kelima faktor yang telah diproses. Kemudian, kelima faktor tersebut dijumlahkan dan dipersentase untuk mendapat tingkat kerentanan longsoran daerah penelitian.

Peta kerentanan longsoran kemudian diklasifikasikan berdasarkan nilai dan persentase. Setiap daerah-daerah kecil pada daerah penelitian memiliki nilai dan persentase yang berbeda. Nilai dan persentse yang tinggi menunjukkan tingkat kerentanan longsoran yang sangat tinggi. Tingkat kerentanan longsoran diklasifikasikan ke dalam 4 tingkat kerentanan yaitu kerentanan sangat tinggi, kerentanan tinggi, kerentanan sedang dan kerentanan rendah. Hasil akhir dari keseluruhan pengolahan data adalah peta kerentanan longsoran dari

Gambar 4.6 Peta faktor tutupan lahan.

PETA TUTUPAN LAHAN DAERAH SASAKSAAT DAN SEKITARNYA KABUPATEN BANDUNG BARAT, JAWA BARAT

KETERANGAN: = Vegetasi Rapat = Vegetasi Jarang = Vegetasi Sedang = Lahan Gundul = Jalan Raya

= Jalan Kereta Api = Jalan Perkebunan = Sungai

= Garis Kontur (interval 50 m) = Titik Ketinggian = Jalan Tol 107°24’15” 107°24’30” 107°25’00” 107°25’30” 107°26’00” 107°26’30” 107°27’00” 107°27’30” 107°24’15 BT”107°24’30” 107°25’00” 107°25’30” 107°26’00” 107°26’30” 107°27’00” 107°27’30” 6 °4 6 ’0 0 L S 6 °4 6 ’3 0 6 °4 7 ’0 0 6 °4 7 ’3 0 6 °4 8 ’0 0 6 °4 8 ’3 0 L S 6 °4 6 ’0 0 6 °4 6 ’3 0 6 °4 7 ’0 0 6 °4 7 ’3 0 6 °4 8 ’0 0 6 °4 8 ’3 0

Desa Sumur Bandung

D

Desa Mandalasari Desa Kanangasari

(15)

67

perpaduan klasifikasi Anbalagan (1992) untuk pengkelasan dan metode proses hirarki analitik untuk pembobotan yang diolah dan dianalisis dengan menggunakan sistem informasi geografis.

4.5 Tingkat Kerentanan Longsoran

Proses pengolahan data yang dimulai dari pengkelasan dengan klasifikasi Anbalagan (1992), dilanjutkan dengan pembobotan dengan metode AHP, dan pengolahan data dengan GIS telah sampai pada tahap zonasi tingkat kerentanan longsoran di daerah penelitian. Terdapat empat tingkat kerentanan longsoran, yaitu kerentanan longsoran sangat tinggi, kerentanan longsoran tinggi, kerentanan longsoran sedang, dan kerentanan longsoran rendah.

1. Tingkat Kerentanan Rendah

Tingkat kerentanan ini memiliki luas sekitar 9,15 km2 atau 28,15% daerah

penelitian. Daerah ini secara umum dikontrol oleh litologi breksi piroklastik dan memiliki kemiringan lereng yang relatif landai (kurang dari 15° hingga 25°), kondisi relief yang relatif halus, kondisi kebasahan yang agak lembab, serta kerapatan vegetasi yang sedang hingga rapat.

2. Tingkat Kerentanan Sedang

Tingkat kerentanan ini memiliki luas sekitar 11,5 km2 atau 35,3% daerah

penelitian. Daerah ini secara umum dikontrol oleh berbagai litologi seperti breksi Gambar 4.7. Peta kerentanan longsoran.

107°24’15” 107°24’30” 107°25’00” 107°25’30” 107°26’00” 107°26’30” 107°27’00” 107°27’30” 107°24’15 BT”107°24’30” 107°25’00” 107°25’30” 107°26’00” 107°26’30” 107°27’00” 107°27’30” 6 °4 6 ’0 0 LS 6 °4 6 ’3 0 6 °4 7 ’0 0 6 °4 7 ’3 0 6 °4 8 ’0 0 6 °4 8 ’3 0 6 °4 6 ’0 0 6 °4 6 ’3 0 6 °4 7 ’0 0 6 °4 7 ’3 0 6 °4 8 ’0 0 6 °4 8 ’3 0

Desa Sumur Bandung

D

Desa Mandalasari Desa Kanangasari

Desa Nyalindung

PETA KERENTANAN LONGSORAN DAERAH SASAKSAAT DAN SEKITARNYA KABUPATEN BANDUNG BARAT, JAWA BARAT

KETERANGAN:

= Jalan Raya

= Jalan Kereta Api = Jalan Perkebunan = Sungai

= Garis Kontur (interval 12,5 m) = Titik Ketinggian = Jalan Tol

= Kerentanan Sangat Tinggi = Kerentanan Tinggi = Kerentanan Sedang = Kerentanan Rendah

(16)

68

piroklasik, andesit, batulempung, dan tuf. Kemiringan lereng pada daerah ini juga bervariasi mulai dari 15° hingga lebih dari 45° dan relief yang bergelombang. Kondisi kebasahan relatif lembab hingga basah, serta kerapatan vegetasi yang sedang hingga rapat.

3. Tingkat Kerentanan Tinggi.

Tingkat kerentanan ini memiliki luas sekitar 10, 8 km2 atau 33,2% daerah

penelitian. Daerah ini secara umum dikontrol oleh berbagai litologi seperti tuf, batulempung, andesit, dan batupasir. Kemirngan lereng di daerah ini umumnya di atas 25° dan dominan daerah terjal, serta relief yang kasar. Kondisi kebasahan relatif basah hingga jenuh, bahkan di bagian timur laut sudah mulai area merembes. Kerapatan vegetasi sedang, tetapi di beberapa tempat terdapat lahan gundul karena terjadinya pembukaan lahan.

4. Tingkat kerentanan tinggi

Tingkat kerentanan ini memliki luas sekitar 1,05 km2 atau 3,2% daerah penelitian.

Daerah ini secara umum dikontrol oleh litologi batupasir, breksi, dan breksi piroklastik. Kemiringan lereng pada daerah ini umumnya di atas 35° dan sangat didominasi daerah terjal, serta relief yang kasar. Kondisi kebasahan di daerah ini merupakan daerah yang basah hingga jenuh. Kerapatan vegetasi umumnya jarang hingga sedang.

Dari hasil tingkat kerentanan longsoran yang dihasilkan, dapat dilihat bahwa kemiringan lereng merupakan pengontrol utama terjadinya suatu longsoran dan menentukan tingkat kerentanan longsoran di suatu daerah. Lereng yang terjal serta relief yang kasar akan memudahkan batuan atau tanah mengalami gelinciran, aliran, ataupun jatuhan akibat adanya gaya gravitasi.

Litologi juga merupakan salah satu pengontrol yang menyebabkan terjadinya suatu longsoran. Litologi yang lunak, mudah lapuk, dan rentan hancur akan menyebabkan suatu daerah rentan mengalami kejadian longsoran. Akan tetapi, tidak semua litologi yang lunak rentan terhadap longsoran apabila kemiringan lereng landai, dan kondisi keairan cukup kering.

Kebasahan lahan akan membuat pengaruh yang cukup kuat terhadap kerentanan suatu daerah untuk longsor. Daerah yang jenuh dan memiliki rembesan air akan rentan terhadap longsoran, dan hal ini akan sangat mendukung terjadinya longsoran apabila berada pada lereng yang terjal atau litologi lunak, karena air apabila sudah jenuh dan merembes akan

(17)

69

mendesak tanah atau batuan untuk bergerak. Akan tetapi, kondisi keairan ini dapat dapat diimbangi dengan rapatnya vegetasi. Vegetasi yang rapat dengan tumbuhan yang keras akan membuat air diserap oleh akar tanaman. Meskipun demikian, rapatnya vegetasi tidak mutlak dapat menahan terjadinya longsoran apabila litologi yang ada dominan lunak , lereng terjal dan kondisi keairan mulai jenuh, karena banyak kasus kejadian longsoran juga terjadi pada daerah hutan.

4.6 Verifikasi Lapangan

Verifikasi lapangan pada penelitian ini dilakukan untuk melihat dan memvalidasikan peta tingkat kerentanan longsoran yang telah dibuat dengan kondisi-kondisi yang ada di lapangan. Hal ini dilakukan dengan meninjau dan melihat langsung ke lapangan. Lokasi yang memilki tingkat kerentanan longsoran yang sangat tinggi berada di timurlaut daerah penelitian (Gambar 4.8). Lokasi tersebut merupakan area persawahan, perkebunan, hutan, dan sebagian pemukiman penduduk. Longsoran yang ditemukan pada daerah timurlaut cukup banyak, dan umumnya berada di area perkebunan dan persawahan.

Secara umum, peta kerentanan longsoran yang telah dibuat menunjukkan hasil yang hampir sesuai dengan kondisi sebenarnya di lapangan, seperti yang ada di bagian barat laut hingga utara daerah penelitian (Gambar 4.9). Daerah-daerah lain yang diidentifikasi memiliki kerentanan tinggi dan sedang, terdapat lereng kritis dan tidak stabil yang memungkinkan untuk longsor (Gambar 4.10). Sedangkan pada daerah yang diidentifikasi memilki kerentanan rendah, umumnya memiliki lereng yang tidak terjal dan terlihat lereng yang stabil, serta kejadian longsoran yang jarang terjadi (Gambar 4.11).

Gambar 4.8. Longsoran pada zonasi tingkat kerentanan tinggi di Kampung Tapos Girang yang berada di timur laut daerah penelitian. Longsoran yang terjadi sering mengakibatkan

(18)

70

Gambar 4.9. Lereng yang menggantung dan rentan untuk terjadi longsoran pada zonasi tingkat kerentanan tinggi di kampung Cihuni (gambar kiri) yang berada di baratlaut daerah

penelitian, dan lereng kritis yang berada di Perkebunan Maswati yang berada di utara daerah

penelitian.

Gambar 4.10. Lereng kritis pada zonasi tingkat kerentanan sedang yang berada di Kampung

(19)

71

Gambar 4.11. Contoh lereng yang stabil pada bagian persawahan yang berada pada zona tingkat kerentanan rendah di Kampung Cinangsi. Lereng yang tidak

Gambar

Gambar 4.1. Diagram alir pengolahan data peta kerentanan longsoran.
Tabel 4.1. Matriks perbandingan pengaruh faktor kerentanan longsoran, yang diambil dari  pendapat tujuh ahli longsoran setelah dirata-ratakan
Tabel 4.2. Normalisasi dari matriks perbandingan dan penentuan bobot prioritas.
Tabel 4.3 Random Index untuk tiap n matriks
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penilaian tingkat kepentingan kriteria dalam pemilihan supplier menghasilkan skala prioritas/bobot sebagai berikut: prioritas I kualitas (0,486), prioritas II

Tidak dapat disangkal lagi bahwa kehadiran matematika dan sain teknologi memberikan kemudahan bagi kita umat Islam dalam menentukan waktu shalat, yakni dengan

Adapun fokus pada penelitian ini berdasarkan teori pertukaran sosial dan komunikasi Yang menjadi landasan peneliti untuk menganalisis bagaimana setiap mahasiswi dalam kelompoknya

[r]

HAFISZ TOHIR DAERAH PEMILIHAN SUMATERA SELATAN I.. Oleh karena itu Anggota DPR RI berkewajiban untuk selalu mengunjungi ke daerah pemilihan telah ditetapkan sesuai dengan

paling optimum dengan nilai IAA sebesar 1,182 ppm pada hari ke-3, hal ini disebabkan selama masa inkubasi sampai dengan 48 jam enzim yang dihasilkan oleh isolat

Jadi dalam penelitian ini fenomena yang akan diteliti adalah mengenai keadaan penduduk yang ada di Kabupaten Lampung Barat berupa dekripsi, jumlah pasangan usia

Ades telah menyembunyikan informasi material, dan manajemen Ades telah melaporkan adanya perbedaan angka antara produksi dan penjualan pada kuartal pertama 2004 sebesar 600