• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

PELATIHAN LARI AEROBIK 400 METER TIGA

REPETISI DUA SET DAN DUA REPETISI TIGA

SET SELAMA 6 MINGGU SAMA-SAMA

MENINGKATKAN KECEPATAN JALAN CEPAT

3000 METER SISWA KELAS VII SMPN 11

DENPASAR

Dixon E.M. Taek Bete NIM 129 0361 001

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2014

(2)

PELATIHAN LARI AEROBIK 400 METER TIGA REPETISI DUA SET DAN DUA REPETISI TIGA SET SELAMA 6 MINGGU SAMA-SAMA MENINGKATKAN KECEPATAN JALAN CEPAT 3000 METER SISWA KELAS VII SMPN 11 DENPASAR

Tesis Untuk memperoleh Gelar Magister

Pada Program Magister, Program Studi Fisiologi Olahraga Program Pascasarjana Universitas Udayana

Dixon E.M. Taek Bete NIM 129 0361 001

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI FISIOLOGI OLAHRAGA PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

TESIS INI TELAH DISETUJUI

PADA TANGGAL 20 JUNI 2014

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. dr. Ketut Tirtayasa, MS, AIF Dr. dr. I Made Jawi, M.Kes NIP. 19501231 198003 1 015 NIP. 19581231 198601 1 006

Mengetahui

Ketua Program Fisiologi Olahraga Direktur

Program Pascasarjana Program Pascasarjana Universitas Udayana Universitas Udayana

Dr. dr. Susy Purnawati, M. KK Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP. 19680929 199903 2001 NIP. 19590215 198510 2 001

(4)

PENETAPAN PANITIA PENGUJI

Tesis Ini Telah Diuji Pada Tanggal : 20 Juni 2014

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor

Universitas Udayana, No : 1749/UN.14.4/HK/2014, Tanggal 16 Juni 2014

Ketua : Prof. dr. Ketut Tirtayasa, M.Kes, AIF, AIFO Sekertaris : Dr. dr. I Made Jawi, M.Kes, AIFO

Anggota :

1. Prof. dr. Nyoman Agus Bagiada, Sp. Biok 2. Dr. Ida Bagus Ngurah, M. For, AIFO 3. Dr. dr. Bagus Komang Satriyasa, M. Repro

(5)

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Dixon E.M. Taek Bete

NIM : 1290361001

Program Studi : Fisiologi Olahraga

Judul Tesis : Pelatihan Lari Aerobik 400 meter Tiga Repetisi Dua Set dan Dua Repetisi Tiga Set Selama 6 Minggu Sama-Sama Meningkatkan Kecepatan Jalan Cepat 3000 meter Siswa Kelas VII SMPN 11 Denpasar

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah ini bebas plagiat.

Apabila dikemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.

Denpasar,

Yang membuat pernyataan Materai

(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur peneliti panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat-Nyalah peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai derajat Magister Fisiologi Olahraga (M.Fis) pada Program Studi Fisiologi Olahraga Program Pascasarjana Universitas Udayana. Tesis ini berjudul “Pelatihan Lari Aerobik 400 meter Tiga Repetisi Dua Set dan Dua Repetisi Tiga Set Selama 6 Minggu Sama-Sama Meningkatkan Kecepatan Jalan Cepat 3000 meter Siswa Kelas VII SMPN 11 Denpasar”. Dalam penyusunan tesis ini tidak terlepas dari motivasi, semangat, petunjuk dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada berbagai pihak: 1. Rektor Universitas Udayana, Dekan Fakultas Kedokteran, dan

Koordinator Program Pascasarjana Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan pascasarjana di Universitas Udayana.

2. Dr. dr. Susy Purnawati, M. KK, sebagai Ketua Program Studi Magister Fisiologi Olahraga, atas saran dan bimbingannya.

3. Prof. dr. Ketut Tirtayasa, MS, AIF sebagai pembimbing I, atas petunjuk, dorongan dan bimbingannya.

4. Dr. dr. I Made Jawi, M.Kes sebagai Pembimbing II atas petunjuk, dorongan dan bimbingannya.

5. Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.Sc, Sp.And serta para Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah membekali penulis dengan berbagai disiplin ilmu sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

(7)

6. Semua staf Dosen dan pegawai Laboratorium Fisiologi Olahraga Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, yang membantu dan meminjamkan alat-alat selama pendidikan.

7. Rekan-rekan Mahasiswa Program Pascasarjana yang turut membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

8. Bapak, Mama, Kakak dan Adik tercinta yang selalu memberi dukungan, doa dan motifasi dalam menyelesaikan pendidikan ini.

9. Pihak lain yang tidak sempat penulis sebutkan namanya satu persatu, yang telah membantu dalam penulisan tesis ini.

Penulis menyadari bahwa isi dari tesis ini masih jauh dari sempurna sehingga bila terdapat kesalahan-kesalahan dalam penulisan dan lain-lain, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik demi kesempurnaannya. Sebagai penutup penulis sampaikan terima kasih dan semoga tesis ini bermanfaat bagi dunia pendidikan khususnya bidang olahraga.

Denpasar, Juni 2014 Penulis,

(8)

PELATIHAN LARI AEROBIK 400 METER TIGA REPETISI DUA SET DAN DUA REPETISI TIGA SET SELAMA 6 MINGGU SAMA-SAMA MENINGKATKAN KECEPATAN JALAN CEPAT 3000 METER SISWA KELAS VII SMPN 11 DENPASAR

ABSTRAK

Berdasarkan pemantauan penulis, selama ini di SMPN 11 Denpasar belum pernah meraih prestasi maksimal (juara) dalam nomor jalan cepat. Penyebabnya oleh motivasi siswa yang menurun, karena tampak minat siswa lebih condong ke bentuk olahraga lainnya, seperti permainan bola volly, sepak bola, futsall, tenis meja maupun bulu tangkis atau mungkin metode pelatihan yang tidak mengikuti prinsip-prinsip pelatihan yang dipersyaratkan. Beberapa pelatihan dapat dilakukan untuk melatih kecepatan secara bersungguh-sungguh seperti: sirkuit training, pelatihan lari aerobik, lari melewati rintangan, lari menanjak, lari menurun dan lain-lain. Tujuan dari pelatihan ini adalah untuk mengetahui adanya peningkatan kecepatan jalan cepat 3000 meter dengan lari aerobik 400 meter terhadap dua kelompok siswa dengan set dan repetisi yang berbeda.

Penelitian ini menggunakan metode eksperimen. Populasi diambil dari siswa kelas VII SMPN Denpasar. Sampel berjumlah 32 orang diambil secara acak sederhana dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Jumlah sampel dibagi menjadi dua kelompok dengan masing-masing kelompok terdiri dari 16 orang. Pelatihan yang dilakukan dalam penelitian ini ialah pelatihan lari aerobik 400 meter tiga repetisi dua set (kelompok I) dan dua repetisi tiga set (kelompok II), 4 kali seminggu selama 6 minggu pada siswa kelas VII di SMPN Denpasar Tahun Pelajaran 2013/2014. Data berupa hasil jalan cepat 3000 meter diambil sebelum dan sesudah pelatihan. Data yang diperoleh diuji menggunakan program komputer SPSS. Data berdistribusi normal dan homogen sehingga selanjutnya diuji menggunakan uji t-paired untuk membandingkan nilai rata-rata sebelum dan sesudah pelatihan antara masing-masing kelompok, sedangkan uji

t-test independent untuk mengetahui perbedaan nilai rata-rata antara kedua

kelompok.

Hasil uji t-paired kelompok I dan Kelompok II terjadi peningkatan yang bermakna (p < 0.05). Hasil uji t-test independent didapat bahwa kedua kelompok sebelum pelatihan tidak berbeda bermakna (p > 0,05), sedangkan setelah pelatihan kedua kelompok kecepatan jalan cepat sama-sama meningkat (p > 0,05).

Simpulannya bahwa pelatihan lari aerobik 400 meter tiga repetisi dua set dan dua repetisi tiga set selama 6 minggu ternyata sama dalam meningkatkan kecepatan jalan cepat 3000 meter siswa kelas VII SMPN 11 Denpasar.

(9)

400 METERS RUN AEROBIC TRAINING THREE REPS TWO SETS AND TWO REPSTHREE SETS FOR 6 WEEKS MAKES 3000 METERS BRISK

WALK RAPIDLY INCREASE THE SPEED FOR CLASSVII SMP 11 DENPASAR

ABSTRACT

Based on the monitoring of the author, SMP 11 Denpasar had never achieved maximum performance (champion) in a number of brisk walking. It caused by declining student motivation, it appears the student interest more inclined to the other sports, such as volleyball ball games, soccer, futsall, table tennis or badminton or perhaps training methods that do not follow the principles of training required. Some training can be done to train speed such as: circuit training, aerobic training run, running through obstacles, run uphill, downhill running and others. The purpose of this training is to determine an increase in the speed of a brisk walk 3000 meters by 400 meters aerobic run on two groups of students with different sets and reps.

This study used an experimental method. Population is taken from class VII SMP Denpasar. Samples are 32 people were selected randomly from the population who comply the inclusion and exclusion criteria. The samples divided into two groups with each group consisting of 16 people. Training was conducted in this study is 400 meters aerobic training run two sets of three reps (group I) and two sets of three reps (group II), 4 times a week for 6 weeks in class VII in SMP11 Denpasar academic year 2013/2014. brisk walking 3000 meter data results was taken before and after training. The data obtained were tested using SPSS computer program. The data were normally distributed and homogeneous so that further tested using paired t-test to compare mean values before and after training between each group, while the independent t-test to determine differences in mean values between the two groups.

Paired t-test results of Group I and Group II were significantly increased (P <0.05). The results of independent t-test found that the two groups before the training was not significant (p> 0.05), whereas both groups after training pace brisk walking are equally increased (p> 0.05).

Conclusion that aerobic training 400 meter run two sets of three reps and three sets of two reps for 6 weeks together (not significant) increase the speed of a brisk walk 3000 meters class VII SMP 11 Denpasar.

(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL PENELITIAN ... i

PERSYARATAN GELAR ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN-LAMPIRAN ... xv

DAFTAR SINGKATAN-SINGKATAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakan ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 10

1.3 Tujuan ... 10

1.4 Manfaaf Penelitian ... 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pelatihan ... 12

2.1.1 Pengertian Pelatihan ... 12

2.1.2 Tujuan Pelatihan ... 12

2.1.3 Prinsip-prinsip Pelatihan ... 14

2.1.4 Komponen Pelatihan ... 17

2.1.5 Repetisi dan Set ... 20

2.2 Komponen Biomotorik ... 20

2.3 Komponen-komponen Biomotorik Yang Berpengaruh Dalam Peningkatan Kecepatan Jalan Cepat ... 25

(11)

2.4 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kecepatan Jalan Cepat ... 25

2.4.1 Faktor Internal ... 25

2.4.2 Faktor Eksternal ... 31

2.5 Lari Aerobik 400 meter ... 33

2.6 Jalan Cepat ... 33

BAB III KARANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS 3.1 Karangka Berpikir ... 36

3.2 Karangka Konsep ... 37

3.3 Hipotesis Penelitian ... 38

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian ... 39

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 40

4.3 Populasi dan Sampel ... 40

4.3.1 Populasi ... 40

4.3.2 Sampel ... 41

4.3.3 Besaran Sampel ... 42

4.3.4 Teknik Pengambilan Sampel ... 43

4.4 Variabel Penelitian ... 43

4.5 Definisi Operasional Variabel ... 44

4.6 Alat Pengumpulan Data ... 46

4.7 Prosedur Pengumpulan Data ... 47

4.8 Pengolahan dan Analisis Data ... 48

4.9 Alur Penelitian ... 50

BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Analisis Deskriptif Karakter Subjek Penelitian ... 51

5.2 Karakteristik Lingkungan Penelitian ... 53

5.3 Uji Normalitas Kedua Kelompok Perlakuan ... 54

5.4 Uji Homogenitas Data ... 55

5.5 Uji Beda Rerata Kecepatan Jalan Cepat 3000 meter Kedua Kelompok Perlakuan ... 56

(12)

BAB VI PEMBAHASAN

6.1 Hasil Uji Beda Rerata Kecepatan Jalan 3000 meter Kedua

Kelompok Perlakuan ... 61

6.1.1 Hasil uji t-paired (paired-t test), pada kedua kelompok sebelum dan sesudah dilakukan pelatihan ... 61

6.1.2 Hasil uji t-Test independent sebelum dan sesudah pelatihan antar kelompok perlakuan I dengan kelompok perlakuan II ... 70

6.2 Kelemahan Penelitian ... 72

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan ... 73

7.2 Saran ... 73

DAFTAR PUSTAKA ... 74

(13)

DAFTAR GAMBAR

3.2 Karangka Konsep ... 37 4.1 Rancangan Penelitian ... 39 4.9 Bagan Alur Penelitian ... 50 5.5.1 Grafik rerata hasil jalan cepat 3000 m sebelum dan sesudah

perlakuan antara kedua kelompok ... 57 5.5.2 Grafik beda rerata hasil peningkatan kecepatan jalan cepat 3000 m

(14)

DAFTAR TABEL

2.1 Kesegaran Jasmani dan Kesehatan Mental (penilaian tes lari 2,4 km) ... 29 5.1 Karakter Subjek Penelitian Pada Dua Kelompok Perlakuan ... 52 5.2 Hasil Pengukuran Suhu Lingkungan Penelitian ... 53 5.3 Hasil Uji Normalitas Kecepatan Jalan Cepat 3000 m Perlakuan

Kelompok I dan Kelompok II ... 54 5.4 Hasil Uji Homogenitas Kecepatan Jalan Cepat 3000 meter

Kelompok I dan Kelompok II ... 55 5.5.1 Hasil Uji Beda Rerata Kecepatan jalan Cepat 3000 meter antara

Sebelum dan Sesudah Pelatihan Pada Kelompok I dan Kelompok II ... 56 5.5.2 Hasil Uji Perbedaan Rerata Kecepatan Jalan Cepat 3000 meter

Antar Kedua Kelompok Kelompok I dan Kelompok II sebelum dan

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Surat Keterangan Pembimbing ... 79

2. Surat Ijin Penelitian ... 80

3. Surat Selesai Penelitian ... 81

4. Jadwal Penelitian ... 82

5. Karakteristik Subjek Penelitian Pada Dua Kelompok Perlakuan ... 83

6. Karakteristik Lingkungan Penelitian ... 84

7. Uji Normalitas Kedua Kelompok Perlakuan ... 85

8. Uji t-paired (paired-t test), untuk membandingkan nilai rata-rata kecepatan jalan cepat 3000 meter sebelum dan sesudah dilakukan pelatihan pada kelompok berpasangan, dengan batas kemaknaan 0,05 ... 85

9. Uji beda rerata kecepatan jalan cepat 3000 meter dengan t-Test independent, untuk mengetahui perbedaan nilai rata-rata antar kelompok I (pelatihan lari aerobik 400 meter tiga repetisi dua set) dengan kelompok perlakuan II (pelatihan lari aerobik 400 meter dua repetisi tiga set) sebelum dan sesudah perlakuan, pada batas kemaknaan 0,05 ... 86

10. Grafik sebelum dan sesudah kedua kelompok perlakuan ... 88

11. Grafik sesudah perlakuan antara kelompok I dengan Kelompok II ... 88

(16)

DAFTAR SINGKATAN – SINGKATAN

AR : Alokasi random cm : Centi Meter

cm/dt² : Centi meter per detik kuadrat dkk : Dan Kawan-kawan

F : Nilai Homogenitas Varians IMT : Indeks Massa Tubuh K I : Kelompok Satu K II : Kelompok Dua

Kelompok I : Kelompok yang melakukan pelatihan lari aerobik 400 meter tiga repetisi dua set, 4 kali seminggu selama 6 minggu

Kelompok II : Kelompok yang melakukan pelatihan lari aerobik 400 meter dua repetisi tiga set, 4 kali seminggu selama 6 minggu

Km : Kilo Meter kg : Kilo Gram

kg/m2 : Kilo gram per meter kuadrat ºC : Celsius

% : Persen

mmHg : Milimeter merkuri hidrargyrum m : Meter

mnt : Menit

n : Besar sampel tiap kelompok

O1 : Observasi Jalan Cepat 3000 meter Kelompok Satu sebelum pelatihan

(17)

O3 : Observasi jalan cepat 3000 meter kelompok II sebelum pelatihan O4 : Observasi jalan cepat 3000 meter kelompok II setelah 6 minggu pelatihan O2 : Oksigen Pa : Laki-laki Pi : Perempuan p : Nilai Probabilitas P : Populasi P.1 : Perlakuan Satu P.2 : Perlakuan Dua R : Randomisasi S : Sampel SB : Simpangan Baku SK : Surat Keputusan

SMPN : Sekolah Menengah Pertama Negeri t : Banyaknya kelompok

th : Tahun

VO2max : volume oksigen maksimal x : Kali

> : Lebih Besar < : Lebih Kecil

(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Atletik merupakan cabang olahraga tertua, dimana dasar keseluruhan gerakan seperti: jalan, lari, lompat dan lempar dapat dijumpai pada hampir setiap cabang olahraga lainnya, atau sering dikatakan bahwa atletik merupakan induk dari semua cabang olahraga (mother of sport) (Anonim, 2004). Atletik juga merupakan aktivitas jasmani yang mendasar untuk cabang olahraga lainnya atau dengan kata lain bahwa atletik juga digunakan oleh cabang olahraga lain dalam penyempurnaan teknik olahraga tersebut, dimana gerakan-gerakan yang ada dalam atletik seperti: jalan, lari, lompat dan lempar dimiliki oleh sebagian besar cabang olahraga. Bahagia (2000), mengatakan bahwa atletik merupakan mother atau ibu dari semua cabang olahraga, maksudnya gerakan-gerakan olahraga pada umumnya itu berasal dari gerakan olahraga atletik.

Seiring dengan berkembangnya zaman, olahraga atletik mulai kurang diperhatikan masyarakat. Ini dapat kita perhatikan dalam hal jumlah penonton yang mulai berkurang antusiasmenya untuk melihat perlombaan atletik, bahkan dalam setiap perlombaan atletik yang ada di dalam stadion hanya ada atlet itu sendiri dan para official. Berbanding terbalik dengan olahraga sepak bola yang disetiap kursi stadion dipenuhi oleh suporter baik laki–laki maupun perempuan, dimana setiap pemain sepak bola bisa dihafal dan dikenal oleh masyarakat sementara untuk atletik kurang begitu dikenal dikalangan masyarakat. Dunia pendidikan juga mengalami hal yang sama khususnya pendidikan jasmani karena daya minat siswa cukup besar pada olahraga

(19)

permainan seperti olahraga sepak bola, bola voli dan lain-lain daripada olahraga atletik. Pelajaran atletik di sekolah sudah tidak lagi menjadi pelajaran yang diminati umum (Anonim, 2000).

Djumidar (2004), menyebutkan bahwa atletik adalah salah satu unsur dari pendidikan jasmani dan kesehatan yang merupakan komponen-komponen pendidikan keseluruhan yang mengutamakan aktivitas jasmani serta pembinaan hidup sehat dan pengembangan jasmani, mental, sosial dan emosional yang serasi, selaras dan seimbang. Atletik merupakan salah satu mata pelajaran pendidikan jasmani yang wajib diberikan kepada para siswa mulai dari tingkat sekolah dasar sampai tingkat sekolah lanjutan tingkat atas, sesuai dengan surat keputusan (SK) Mendikbud No. 0143/U/87.

Sekolah luar biasapun (SLB) mata pelajaran atletik merupakan mata pelajaran yang wajib diberikan kepada para siswanya karena disamping memelihara kesehatan dan memperkuat otot-otot tubuh, dapat pula dilakukan sebagai kegiatan yang menghibur, menyenangkan atau juga dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan prestasi. Kosasih (1993), memperjelas lebih dalam lagi bahwa kegiatan olahraga memberikan kesempatan yang sangat ideal untuk mengeluarkan tenaga dengan jalan yang baik (dalam lingkungan persahabatan, persaudaraan dan persatuan yang sehat, dan suasana yang akrab dan gembira) menuju kehidupan yang serasi, selaras dan seimbang untuk mencapai hidup sejati.

Olahraga tidak saja dapat mempengaruhi kondisi jasmani seseorang, namun juga memiliki peranan dalam membentuk rohani. Aktivitas gerak sebagai salah satu ciri olahraga memegang peranan penting dalam kehidupan manusia

(20)

tidak terkecuali dalam kemampuan akademik seseorang. Tuntutan nilai akademik yang tinggi hanya dapat diraih dengan kondisi belajar yang didukung oleh kondisi jasmani dan rohani yang setiap hari ditingkatkan melalui kegiatan olahraga (Wiguna, 2012).

Olahraga pendidikan sebagai salah satu lingkup kegiatan keolahragaan tak lepas dari upaya pengembangan dan peningkatan kualitas dalam pelaksanaannya. Amanat Undang-undang Nomor 3 tahun 2005 tentang sistem keolahragaan nasional pasal 25 ayat (1) yang menyatakan bahwa pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan dilaksanakan dan diarahkan sebagai satu kesatuan yang sistemis dan berkesinambungan dengan sistem pendidikan nasional. Peraturan pemerintah nomor 16 tahun 2007 tentang penyelenggaraan keolahragaan pasal 25 ayat (1) menyatakan bahwa pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan bertujuan untuk memperoleh pengetahuan, kepribadian, keterampilan, kesehatan dan kebugaran jasmani serta pengembangan minat dan bakat olahraga (Anonim, 2014). Uraian di atas dapat dikatakan bahwa olahraga pendidikan merupakan lingkup kegiatan keolahragaan nasional yang sangat penting dan terkait dengan penyiapan modal dasar pembangunan nasional yaitu sumberdaya manusia.

Pendidikan jasmani di sekolah merupakan dasar yang baik bagi perkembangan kegiatan olahraga di luar sekolah, pendidikan jasmani dapat dengan sengaja dan sadar untuk diarahkan pada suatu tujuan pencapaian suatu prestasi. Pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan (penjasorkes) merupakan bagian terintegrasi dari pendidikan secara keseluruhan, dimana pendidikan ini merupakan salah satu dari subsistem pendidikan yang memiliki peran dalam mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia

(21)

seutuhnya. Menurut Pahalawidi (2007), prestasi yang dicapai pada saat golden

age (usia emas) merupakan cerminan bagaimana pembinaan yang dilakukan

saat usia dini. Pendidikan ini dimulai dari usia dini dimana pendidik bertindak sebagai pembina bagi peserta didik disetiap satuan pendidikan. Selain membina dan mengembangkan potensi gerak, pembelajaran penjasorkes juga harus mengajarkan pola hidup sehat dan berperan serta dalam memelihara dan meningkatkan kebugaran jasmani para pesera didiknya (Mahardika, 2008).

Pendidikan jasmani adalah proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas jasmani yang direncanakan secara sistematik bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan individu secara alamiah, neuromuskular, perseptual, kognitif, dan emosional, dalam kerangka sistem pendidikan nasional. Dalam pendidikan jasmani, pendidik harus dapat mengajarkan pada peserta didik berbagai ketrampilan gerak dasar, teknik, strategi permainan, nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan jasmani sportifitas, jujur, saling bekerja sama, disiplin dan pembiasaan hidup sehat (Suherman, 2000).

Beberapa cabang atletik di atas yang ingin penulis teliti ialah jalan cepat karena berdasarkan pemantauan penulis, selama ini di SMPN 11 Denpasar belum pernah meraih prestasi maksimal (juara) dalam nomor jalan cepat. Penyebab prestasi siswa tidak maksimal mungkin disebabkan oleh motivasi siswa yang menurun, karena tampak minat siswa lebih condong ke bentuk olahraga lainnya, seperti permainan bola volly, sepak bola, futsall, tenis meja maupun bulu tangkis atau mungkin metode pelatihan yang tidak mengikuti prinsip-prinsip pelatihan yang dipersyaratkan.

(22)

Bagi para guru penjas, hal ini merupakan suatu tantangan bagi mereka agar membuat olahraga jalan cepat menjadi suatu olahraga yang menyenangkan bagi siswanya. Tujuan utama dari pembelajaran pendidikan jasmani adalah: meningkatkan kesegaran jasmani, meningkatkan pengalaman dan pengayaan gerak-gerak dasar umum maupun kemampuan motorik siswa sebagai dasar-dasar gerak cabang olahraga lainnya.

Guru perlu memahami karakteristik siswa yang memiliki kekhasan dalam bersikap yang diungkapkannya melalui bermain. Karakteristik inilah yang harus diangkat untuk menjembatani antara keinginan guru dan siswa. Guru dapat menggunakan pendekatan pengajaran yang sesuai dengan perkembangan siswanya. Guru dapat menggunakan model pembelajaran dengan pendekatan bermain (memperagakan seperti para model iklan berjalan sambil buat lucu) dalam mengajarkan teknik jalan cepat agar siswa tidak merasa tertekan dan tidak merasa bosan dalam mengikuti mata pelajaran tersebut (Anonim, 2002). Pembelajaran dengan pendekatan bermain akan lebih baik dan menguntungkan baik untuk pengajar maupun siswa, karena kebugaran akan tetap terjaga sehingga tingkat kesegaran jasmaninya juga akan lebih meningkat (Dewi, 2012).

Agar kegiatan jasmani yang dilakukan oleh olahragawan menghasilkan suatu manfaat yang baik maka harus dilaksanakan latihan dari organ-organ tubuh secara kontinyu dan berkesinambungan serta pembebanan yang cukup sehingga dapat meningkatkan: kekuatan otot-otot, kelenturan persendian, daya tahan, napas, kecepatan, ketangkasan, kelincahan tenaga ledak otot, keseimbangan dan lain-lain yang nantinya akan menghasilkan prestasi yang diinginkan (Kosasih, 1993).

(23)

Kegiatan pelatihan yang kontinyu merupakan strategi yang penting dalam proses coaching untuk mencapai mutu prestasi olahraga pada zaman modern. Prestasi yang tinggi adalah berkat peningkatan kondisi fisik dari olahragawan terutama yang ada hubungannya dengan kesepuluh komponen boimotorik seperti: kecepatan, ketepatan, kekuatan, keseimbangan, kelentukan, daya tahan, daya ledak, kelincahan, koordinasi, dan reaksi. Komponen-komponen biomotorik yang terpenting dalam pembinaan atau penelitian ini adalah kecepatan. Kecepatan merupakan kemampuan untuk berpindah atau bergerak dari tubuh atau anggota tubuh dari satu titik ke titik lainnya atau untuk mengerjakan suatu aktivitas berulang-ulang yang sama serta berkesinambungan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya (Nala, 2011).

Prestasi olahraga dihasilkan melalui program pembinaan dan pengembangan secara bertahap dan berkesinambungan, peranan ilmu pengetahuan dan teknologi, sumber daya manusia dan sumber daya alam mempengaruhi pencapaian prestasi. Pelatihan untuk mencapai suatu prestasi secara maksimal tidak lepas dari aspek fisik, teknik, taktik dan mental (Malisoux, Francaux dan Nielens, 2006).

Menurut Bompa (2000), faktor-faktor dasar latihan yaitu meliputi persiapan fisik, teknik, taktik dan kejiwaan (psikologi). Disamping itu juga komponen penting yang menentukan keberhasilan seorang atlet untuk berprestasi adalah kesegaran jasmani, tanpa kesegaran jasmani yang prima atlet tidak akan berhasil memperoleh prestasi walaupun memiliki keterampilan tehnik dan taktik yang baik. Kenyataan menunjukkan bahwa kesegaran jasmani yang baik berhubungan dengan prestasi olahraga. Latihan fisik dalam rangka memperbaiki

(24)

dan mengembangkan kesegaran jasmani merupakan jawaban yang tepat untuk menghadapi keadaan darurat dan tekanan-tekanan yang datang mendadak dalam kehidupan (Setijono, 2001).

Nala (2011), menyatakan pelatihan merupakan suatu gerakan fisik dan atau aktivitas mental yang dilakukan secara sistematis dan berulang-ulang dalam jangka waktu lama, dengan pembebanan yang meningkat secara progresif dan individual, yang bertujuan untuk memperbaiki sistem serta fungsi fisiologis dan psikologis tubuh agar pada waktu melakukan aktivitas olahraga dapat mencapai penampilan yang optimal. Menurut Harsono (2004), program latihan kondisi fisik haruslah direncanakan secara baik dan sistematis yang bertujuan untuk meningkatkan kebugaran fisik dan kemampuan fungsional dari sistem tubuh sehingga memungkinkan atlet mencapai prestasi yang lebih baik. Aktivitas yang teratur memantapkan fungsi sistem kekebalan, sedangkan aktivitas maraton yang melelahkan bersifat menekan kekebalan sehingga aktivitas yang teratur memiliki kontribusi terhadap kesehatan (Sharkey, 2012).

Banyak variasi bentuk pelatihan yang dapat dilakukan untuk melatih kecepatan secara bersungguh-sungguh seperti: sirkuit training, pelatihan lari aerobik, lari melewati rintangan, lari menanjak, lari menurun dan lain-lain (Sajoto, 2000). Pelatihan-pelatihan tersebut merupakan upaya dalam pengembangan gerakan-gerakan otot secara khusus, bukan hanya bagi kelompok otot tertentu yang dilatih tetapi juga terhadap gerakan yang dihasilkan.

Pelatihan yang meningkatkan gerakan-gerakan otot, khususnya kecepatan hendaknya melibatkan gerakan cabang olahraga yang bersangkutan. Komponen ini dapat ditempuh dengan dua cara yaitu metode progresif atau dengan metode

(25)

maksimum. Metode progresif di mana pelatihannya diawali dengan intensitas, volume dan kecepatan yang rendah kemudian secara bertahap bebannya ditingkatkan. Pelatihan dengan mempergunakan metode maksimum dimana sejak awal pelatihan sudah dilatih dengan kemampuan maksimumnya, dimana intensitas, volume dan kecepatan pelatihan dipilih takaran maksimum. Biasanya metode maksimum ini untuk atlet yang telah terlatih atau berpengalaman. Guru olahraga atau pelatih harus memperhatikan takaran pelatihan yang benar untuk meningkatkan kecepatan. Takaran pelatihan untuk meningkatkan kecepatan agar berhasil dengan baik adalah dengan intensitas yang tinggi (60-90%) disertai dengan pelatihan yang volumenya rendah (5-10 repetisi & 3-5 set) dan frekuensi pelatihannya yaitu 3-4 kali seminggu (Nala, 2011).

Sehubungan dengan permasalahan di atas serta belum ada yang meneliti tentang pelatihan lari aerobik 400 meter untuk meningkatkan kecepatan jalan cepat, sehingga mendorong minat penulis untuk mengkaji beberapa metode pelatihan. Metode pelatihan yang akan di teliti dalam meningkatkan kecepatan jalan cepat jarak 3.000 meter yaitu dengan bentuk pelatihan lari aerobik 400 meter tiga repetisi dua set dan dua repetisi tiga set selama 6 minggu pada siswa kelas VII SMPN 11 Denpasar tahun pelajaran 2013/2014.

Pelatihan lari aerobik 400 meter, dianggap cocok untuk meningkatkan kecepatan jalan cepat karena dapat meningkatkan kekuatan serta daya tahan umum (kardiovaskular). Nala (2011), mengemukakan bahwa pelatihan komponen biomotorik kecepatan akan lebih efektif hasilnya jika digabungkan dengan pelatihan komponen biomotorik lainnya. Menurut penelitian di Institut Penelitian

(26)

daya tahan umum (kardiovaskular) hasilnya akan meningkat lebih tinggi. Hasil pelatihan tunggal dengan melatih hanya satu komponen kecepatan saja, peningkatannya cuma 15%. Sebaliknya kalau pelatihan komponen kecepatan ini digabungkan dengan komponen kekuatan dan daya tahan umum, maka dalam waktu yang sama kecepatannya meningkat sebesar 40%.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : Apakah pelatihan lari aerobik 400 meter tiga repetisi dua set dan dua repetisi tiga set selama 6 minggu, sama-sama meningkatkan kecepatan jalan cepat 3000 meter siswa kelas VII SMPN 11 Denpasar?

1.3 Tujuan

Dari latar belakang masalah dan perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : Untuk mengetahui pelatihan lari aerobik 400 meter tiga repetisi dua set dan dua repetisi tiga set selama 6 minggu, sama-sama meningkatkan kecepatan jalan cepat 3000 meter siswa kelas VII SMPN 11 Denpasar.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini meliputi : 1. Manfaat Teoritis

Dengan hasil yang diperoleh dalam penelitan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran dan pengetahuan kepada siswa, pelatih dan para guru olahraga berkaitan dengan upaya untuk meningkatkan kecepatan jalan cepat.

(27)

2. Manfaat Praktis

Bagi mereka yang berkecimpung dalam olahraga prestasi hasil penelitian ini adalah sebagai pedoman dalam melakukan pelatihan lari aerobik 400 meter tiga repetisi dua set dan dua repetisi tiga set selama 6 minggu, sama-sama meningkatkan kecepatan jalan cepat 3000 meter siswa kelas VII SMPN 11 Denpasar, serta untuk melengkapi kebutuhan perpustakaan di Universitas Udayana yang nantinya dapat dipakai sebagai literatur bagi mahasiswa yang berkepentingan.

(28)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pelatihan

2.1.1 Pengertian Pelatihan

Pelatihan merupakan suatu gerakan fisik dan atau aktivitas mental yang dilakukan secara sistematis dan berulang-ulang dalam jangka waktu lama, dengan pembebanan yang meningkat secara progresif dan individual, yang bertujuan untuk memperbaiki sistem serta fungsi fisiologis dan psikologis tubuh agar pada waktu melakukan aktivitas olahraga dapat mencapai penampilan yang optimal (Nala, 2011). Pelatihan secara umum diarahkan kepada rangsangan gerak untuk tujuan prestasi tertentu, yang dilakukan secara kontinyu, berkelanjutan, dan terus-menerus. Proses pelatihan merupakan keseluruhan konsep yang tidak terpisahkan secara biologis, psikologis dan pedagogik, tetapi pengertian tersebut sering dijelaskan secara terpisah (Soetopo, 2007).

2.1.2 Tujuan Pelatihan

Tujuan pelatihan dalam bidang olahraga adalah untuk memperbaiki kemampuan teknik (keterampilan) atau penampilan atlet sesuai dengan kebutuhan dalam bidang olahraga spesialisasi atau yang digeluti, dan bertujuan untuk meningkatkan kebugaran, jasmani dan menjaga kesehatan (Nala, 2002). Berdasarkan atas hal ini maka pelatihan ditujukan untuk meningkatkan pengembangan fisik baik menyeluruh maupun khusus perbaikan terhadap

(29)

teknik, meningkatkan serta memelihara kebugaran jasmani dan kesehatan serta mencegah kemungkinan cedera.

Menurut Bompa (2009), untuk mencapai tujuan dalam latihan, yaitu memperbaiki prestasi tingkat terampil maupun unjuk kerja dari atlet, diarahkan oleh pelatihnya untuk mencapai tujuan umum latihan. Adapun tujuan-tujuan latihan sebagai berikut:

1. Untuk mencapai dan memperluas perkembangan fisik secara menyeluruh. 2. Untuk menjamin dan memperbaiki perkembangan fisik khusus sebagai

suatu kebutuhan yang telah ditentukan di dalam praktik olahraga. 3. Untuk memoles atau menyempurnakan teknik olahraga yang dipilih. 4. Memperbaiki dan menyempurnakan strategi yang penting yang dapat diperoleh dari belajar teknik lawan berikutnya.

5. Menanamkan kualitas kemauan melalui latihan yang mencukupi serta disiplin untuk tingkah laku, ketekunan, dan keingginan untuk menanggulangi kerasnya latihan dan menjamin persiapan psikologis.

6. Menjamin dan mengamankan persiapan tim secara optimal. 7. Untuk mempertahankan keadaan sehat setiap atlet.

8. Untuk mencegah cedera melalui pengamanan terhadap penyebabnya dan juga meningkatkan fleksibelitas di atas tingkat ketentuan untuk melakukan gerakan yang penting.

9. Untuk menambah pengetahuan seorang atlet dengan sejumlah pengetahuan teoritis yang berkaitan dengan dasar-dasar fisiologis dan psikologis latihan, pencernaan gizi, dan regenerasi.

(30)

2.1.3 Prinsip-prinsip Pelatihan

Prinsip pelatihan merupakan suatu petunjuk dan peraturan yang sistematis, dengan pemberian beban yang ditingkatkan secara progresif, yang harus ditaati dan dilaksanakan agar tercapai tujuan pelatihan (Nala, 2011). Soetopo (2007), menyatakan pelatihan adalah sistematika pedoman dan peraturan yang berhubungan dengan proses pelatihan. Lebih lanjut Soetopo (2007), menyatakan penguasaan dasar prinsip pelatihan merupakan langkah awal dalam menyusun program pelatihan yang optimal dan efektif untuk dapat diaplikasikan. Tujuan pelatihan yang telah dijelaskan akan memberikan arah dari suatu pelatihan olahraga, dan untuk mencapai tujuan tersebut secara maksimal, suatu pelatihan harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar pelatihan.

Ada tujuh prinsip dasar yang dikemukakan oleh Nala (2011) yaitu : a. Prinsip aktif dan bersungguh-sungguh dalam mengikuti pelatihan

Dalam prinsip ini setiap pemain/atlet dituntut selalu bertindak aktif dalam segala hal atau aktif dalam melakukan pelatihan tanpa dipaksa oleh pelatih untuk mencapai hasil yang maksimal. Oleh karena itu partisipasi dan kesungguhan dalam berlatih harus sudah tertanam dalam diri setiap atlet. b. Prinsip Pengembangan Multilateral

Dalam prinsip ini sebelum atlet melakukan pelatihan pada spesifikasi olahraga yang digulutinya, hendaknya dibekali terlebih dahulu dengan pelatihan dasar-dasar kebugaran badan dan komponen biomotorik yang menunjang dalam melakukan pelatihan.

(31)

c. Prinsip Spesialisasi

Dalam prinsip ini seorang atlet dianjurkan untuk mengembangkan secara khusus atau spesialisasi dengan cabang olahraga yang digulutinya dan pelatihan spesialisasi baru akan dimulai setelah disesuaikan dengan umur yang cocok untuk cabang olahraga yang dipilih oleh anak atau atlet yang bersangkutan (Nala, 2011). Prinsip pelatihan spesialisasi atau kekhususan adalah pelatihan yang khusus untuk satu cabang olahraga, mengarah pada perubahan morfologis dan fungsional yang dikaitkan dengan spesialisasi cabang olahraga bersangkutan (Bompa, 2009). Prinsip spesialisasi ini dipengaruhi oleh beberapa aspek, seperti: umur, kelompok otot yang dilatih, pola sistem energi utama, sudut sendi dan jenis kontraksi otot (Fox, Richard dan Merie, 1988).

d. Prinsip Individualisasi

Dalam prinsip ini, pelatihan yang diberikan harus disesuaikan dengan kemampuan atlet untuk mencapai hasil yang baik. Menurut Nala (2011), setiap orang mempunyai kemampuan, potensi, karakter belajar dan spesifikasi dalam olahraga yang berbeda dengan satu sama lainnya. Oleh sebab itu cara pelatihannyapun akan berbeda pula. Faktor individu harus diperhatikan, karena pada dasarnya setiap individu mempunyai karakteristik yang berbeda, baik secara fisik maupun secara psikologis (Bompa, 2009). Seluruh konsep pelatihan harus disusun sesuai dengan kekhususan setiap individu agar tujuan pelatihan dapat tercapai. Faktor seperti umur, jenis kelamin, bentuk tubuh, kedewasaan, latar belakang pendidikan, lama berlatih,

(32)

tingkat kesegaran jasmani, ciri-ciri psikologis, semuanya harus dipertimbangkan dalam mendesain program pelatihan (Soetopo, 2007). Menurut Sukadiyanto (2005), hal yang harus diperhatikan dalam prinsip individualisasi adalah faktor keturunan, kematangan, status gizi, waktu istirahat dan tidur, tingkat kebugaran, pengaruh lingkungan, cidera, dan motivasi.

e. Prinsip Variasi atau Keseberagaman

Berlatih sehari dalam beberapa jam, beberapa kali dalam seminggu dan seterusnya dalam bulanan serta tahunan, cukup membosankan bila pelatihannya bersifat monoton. Untuk menghindari hal tersebut maka dalam pelaksanaan pelatihan perlu dibuatkan variasi pelatihan, tentunya mempunyai tujuan yang sama, yaitu tetap mengacu pada tujuan pelatihan dan tidak keluar dari program pelatihan yang ditetapkan, sehingga atlet tetap bergairah dan bersemangat dalam berlatih (Nala, 2011). Pelatihan yang dilakukan secara periodik dengan volume yang tinggi atau lebih banyak mengulangi elemen-elemen teknik yang telah diprogramkan, membutuhkan variasi. Variasi ini dapat dilakukan melalui serangkaian pelatihan, modalitas, peralatan, repetisi dan set yang berbeda sehingga dapat mengembangkan pola gerakan, pola teknik ataupun kecakapan biomotorik. Seorang pelatih harus merencanakan program pelatihan secara matang sehingga dapat mengatasi pelatihan yang monoton dan membosankan (Soetopo, 2007).

(33)

f. Prinsip Mempergunakan Model Proses Pelatihan

Dalam prinsip ini, model yang dimaksud adalah imitasi, suatu simulasi dari kenyataan yang dibuat dari elemen atau unsur spesifik dari fenomena yang dicari atau diamati serta mendekati keadaan sebenarnya (Nala, 2011).

g. Prinsip Peningkatan Beban Progresif dalam Pelatihan

Dalam prinsip ini, peningkatan beban progresif yang dimaksud adalah beban pelatihan dimulai dengan beban awal yang ringan, kemudian ditingkatkan secara bertahap, sedikit demi sedikit sesuai kemampuan atlet bersangkutan, makin lama bebannya makin berat. Dapat pula diawali dengan gerakan sederhana kemudian ditingkatkan menjadi gerakan yang semakin rumit (Nala, 2011).

2.1.4 Komponen Pelatihan

Aktivitas latihan fisik yang dilakukan seseorang berpengaruh terhadap kondisi fisiologis, anatomi, dan psikologis. Dalam proses latihan efisiensi dan efektivitas sangatlah penting. Kedua unsur tersebut dipengaruhi oleh lamanya pelatihan, frekuensi pelatihan, intensitas pelatihan, serta tipe pelatihan (Muhajir, 2006).

1. Frekuensi Pelatihan

Adapun frekuensi pelatihan dalam penelitian ini adalah 4 kali dalam setiap minggunya. Hal ini sangat sesuai dengan pendapat yang menyatakan bahwa menjalankan program pelatihan 3-4 kali setiap minggu agar tidak terjadi kelelahan yang kronis (Sajoto, 2002). Frekuensi pelatihan fisik yang digunakan untuk meningkatkan kinerja fisik pada umumnya 3-5 kali

(34)

perminggu (Kanca, 2004). Pendapat lain mengatakan frekuensi pelatihan merupakan kekerapan pelatihan per minggu atau sering pula kekerapan melakukan pelatihan adalah suatu gerakan aktifitas yang disebut dengan pengulangan (repetition) (Nala, 2002). Frekuensi merupakan kerapnya pelatihan per minggu (Nala, 2011).

Menurut Nala (2011) frekuensi pelatihan yang diberikan sebagai berikut : a. Untuk meningkatkan kekuatan otot dianggap cukup bila dilakukan

pelatihan sebanyak 2-3 kali seminggu.

b. Untuk meningkatkan komponen daya raga jiwa atau daya tahan kardiovaskular, maka frekuensi pelatihannya sebanyak 4-5 kali seminggu, dengan selingan istirahat maksimal selama 48 jam atau tidak lebih dari dua hari berturutan.

c. Untuk meningkatkan daya tahan anaerobik, maka frekuensi pelatihannya sebanyak 3 kali per minggu dengan durasi pelatihan selama 8-10 minggu. Jadi, besar kecilnya frekuensi pelatihan amat ditentukan oleh jenis atau tipe olahraganya dan komponen biomotorik yang akan dikembangkan. 2. Intensitas Pelatihan

Intensitas merupakan komponen kualitatif yang dilakukan dalam satuan waktu. Jadi semakin banyak kerja yang dilakukan dalam satuan waktu, makin tinggi intensitasnya (Nala, 2011). Intensitas pelatihan adalah komponen kuantitatif yang mengacu pada jumlah kerja yang harus dilakukan dalam suatu unit waktu tertentu. Intensitas tercermin dari kuatnya rangsangan syaraf dalam latihan (Muhajir, 2006). Intensitas adalah kesungguhan berat ringannya suatu

(35)

aktifitas yang dilakukan yang sering dinyatakan dengan waktu, beban, pengukuran, dan denyut jantung (Nala, 2002). Pelatihan yang dilakukan secara berulang-ulang dapat memperbaiki dan mempertinggi kemampuan fungsi organ terutama, tergantung pada perbandingan antara volume dan intensitas kerja, pelatihan kerja dan interval.

3. Lama Pelatihan

Pada umumnya orang berpedoman bahwa pelatihan lebih sering dan lebih lama dilakukan maka hasil akan lebih besar, tetapi harus diingat adanya waktu pemulihan awal dan tidak boleh sampai over training. Makin besar intensitas pelatihan maka lama pelatihan semakin pendek demikian pula sebaliknya, makin ringan pelatihan maka intensitas pelatihan makin panjang (Nala, 2011). Lamanya suatu latihan dilakukan adalah sampai beberapa minggu atau beberapa bulan program tersebut dijalankan, sehingga atlet memperoleh hasil yang diharapkan (Sajoto, 2002). Juga disebutkan bahwa waktu latihan untuk meningkatkan otot rangka akan nampak bila dilakukan dalam jangka waktu 6-8 minggu (Sajoto, 2002). Sesuai dengan beberapa pendapat diatas maka lama penelitian ini dilaksanakan selama 6 minggu. 4. Tipe Pelatihan dan Takaran Pelatihan

Tipe dan takaran pelatihan merupakan dua unsur yang saling kait-mengait. Menetapkan suatu pelatihan tampa memperhatikan tipe/jenis pelatihan apa yang akan dipergunakan, walaupun takarannya telah benar, hasilnya tidaklah maksimal (Nala, 2011). Tipe pelatihan atau olahraga yang dipilih untuk meningkatkan kecepatan jalan cepat yaitu gerakan

(36)

berulang-ulang dengan menggunakan pelatihan lari aerobik 400 meter. Sehubungan dengan pelatihan itu maka aktivitas yang dilakukan oleh sampel diharapkan dapat meningkatkan kecepatan jalan cepat.

2.1.5 Repetisi dan Set

Repetisi adalah suatu gerakan berulang yang sama dilakukan lebih dari

satu kali. Sedangkan set adalah suatu rangkaian kegiatan dari suatu repetisi (Sajoto, 2002).

Jadi repetisi dan set yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pada kelompok I digunakan tiga repetisi dua set dan pada kelompok II digunakan dua repetisi tiga set.

2.2 Komponen Biomotorik

Komponen biomotorik merupakan kemampuan dasar gerak fisik dan atau aktivitas fisik dari tubuh manusia (Nala, 2011). Komponen kondisi fisik adalah satu kesatuan utuh dari komponen-komponen yang tidak dapat dipisahkan baik peningkatan maupun pemeliharanya (Sajoto, 2002). Komponen biomotorik tersebut yakni : kekuatan, daya tahan, daya ledak, kecepatan, kelentukan, kelincahan, ketepatan, waktu reaksi, keseimbangan, dan koordinasi (Nala, 2011). 1. Kecepatan

Kecepatan merupakan kemampuan untuk berpindah atau bergerak dari tubuh atau anggota tubuh dari satu titik ke titik lainnya atau untuk mengerjakan suatu aktivitas berulang-ulang yang sama serta berkesinambungan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya (Nala, 2011).

(37)

Kecepatan adalah kemampuan untuk menempuh jarak tertentu dengan waktu tempuh yang sesingkat mungkin (Bompa, 2009).

2. Kekuatan

Kekuatan adalah kemampuan otot skeletal tubuh untuk melakukan kontraksi atau tegangan maksimal dalam menerima beban sewaktu melakukan aktivitas (Nala, 2011). Kekuatan adalah komponen kondisi fisik seseorang tentang kemampuannya dalam mempergunakan otot untuk menerima beban suatu pekerjaan (Sajoto, 2002). Kekuatan adalah tenaga yang dipakai untuk mengubah keadaan gerak atau bentuk dari suatu benda (Anonim, 2007).

3. Kelentukan

Kelentukan adalah kesanggupan tubuh atau anggota gerak tubuh untuk melakukan gerakan pada sebuah atau menempuh beberapa sendi seluas-luasnya (Nala, 2011). Kelentukan merupakan kemampuan persendian yang dapat dihasilkan otot pada kontraksi maksimal (Anonim, 2005). Kelentukan adalah kemampuan untuk bergerak dalam ruang gerak sendi (Harsono, 2004).

4. Kecepatan Reaksi

Kecepatan reaksi adalah kemampuan tubuh atau anggota gerak tubuh untuk bereaksi secepat mungkin ketika ada rangsangan yang diterima oleh reseptor somatic, kinestetik atau vestibular (Nala, 2011). Reaksi adalah interval waktu antara penerimaan rangsangan dengan jawaban atau respon (Nurhasan, 2001).

(38)

5. Daya Tahan Otot

Daya tahan adalah kemampuan tubuh dalam melakukan aktivitas terus-menerus yang berlangsung cukup lama (Nala, 2011). Daya tahan adalah kondisi tubuh yang mampu berlatih untuk waktu yang lama tanpa mengalami kelelahan yang berlebihan setelah menyelesaikan pelatihan tersebut (Harsono, 2004). Daya tahan adalah suatu aktivitas yang menekankan pada kesanggupan tubuh dalam melakukan kerja yang agak lama serta dalam keadaan aerobik (Sajoto, 2002).

Menurut Nala (2011), daya tahan dibagi menjadi dua bagian yaitu : a. Daya Tahan Umum adalah kemampuan tubuh manusia untuk melakukan

aktivitas terus-menerus dalam jangka waktu yang lama (lebih dari 10 menit) dan dalam keadaan aerobik (metabolism sel ototnya memerlukan pasokan oksigen dari luar untuk mendapat tenaga bergerak atau berkonsentrasi).

b. Daya Tahan Lokal atau Daya Tahan Otot adalah kemampuan otot skeletal untuk melakukan kontraksi atau gerakan berulang-ulang dalam jangka waktu yang lama dengan beban tertentu.

6. Keseimbangan

Keseimbangan adalah kemapuan tubuh untuk melakukan reaksi atas setiap perubahan tubuh, sehingga tubuh tetap stabil dan terkendali (Nala, 2011). Keseimbangan adalah kemampuan untuk mempertahankan sistim dalam kondisi statis atau mengontrol sistem neuromuskuler dalam posisi yang efisien sewaktu melakukan gerak (Harsono, 2004). Keseimbangan

(39)

merupakan kemampuan mempertahankan sikap tubuh yang tepat pada saat diam atau bergerak (Anonim, 2005).

7. Daya Ledak

Daya ledak adalah kemampuan seseorang untuk mempergunakan kekuatan maksimum yang dikerahkan dalam waktu yang sesingkat – singkatnya. Dalam hal ini terdapat kenyataan bahwa daya ledak adalah = kekuatan x kecepatan (Sajoto, 2002). Daya ledak adalah kemampuan untuk melakukan aktivitas secara tiba-tiba dan cepat dengan mengerahkan seluruh kekuatan dalam waktu yang singkat (Nala, 2011).

8. Ketepatan

Ketepatan adalah kemampuan tubuh untuk mengendalikan gerakan bebas menuju ke suatu sasaran (Nala, 2011). Ketepatan adalah kemampuan seseorang dalam mengendalikan gerak-gerak bebas terhadap suatu sasaran (Sajoto, 2002).

9. Kelincahan

Kelincahan merupakan kemampuan tubuh atau bagian tubuh untuk mengubah arah gerak secara mendadak dalam kecepatan yang tinggi (Nala, 2011). Kelincahan merupakan kemampuan mengubah secara tepat dan tepat arah tubuh atau bagian tubuh tampa gangguan pada keseimbangan dan gerak itu sendiri (Anonim, 2005).

10. Koordinasi

Koordinasi adalah kemampuan tubuh untuk mengintegrasikan berbagai gerakan yang berbeda menjadi gerakan tunggal yang harmonis dan efektif

(40)

(Nala, 2011). Koordinasi merupakan hubungan harmonis berbagai faktor dalam suatu gerakan yang merupakan hasil interaksi antara sistem saraf dengan sistem musculoskeletal sehingga gerakan menjadi efisien, efektif, dan tepat sasaran (Anonim, 2005). Koordinasi adalah kemampuan untuk menyatukan berbagai sistim syaraf gerak, yang terpisah kedalam suatu pola gerak yang efisien (Sajoto, 2002). Pendapat lain menyatakan bahwa kordinasi suatu kemampuan biometric yang sangat komplek dan juga merupakan faktor yang menjadi dasar pada penampilan dan khususnya untuk gerakan-gerakan yang rumit (Harsono, 2004).

Dari kesepuluh komponen biomotorik tersebut, ada satu komponen biomotorik yang akan penulis teliti dalam melakukan pelatihan yaitu kecepatan.

2.3 Komponen-komponen Biomotorik yang Berpengaruh dalam

Peningkatan Kecepatan Jalan Cepat

Pelatihan komponen biomotorik kecepatan ini akan lebih efektif hasilnya jika digabungkan dengan pelatihan komponen biomotorik lainnya. Menurut penelitian di Institut Penelitian Physical Cultural di Liningrad, bila digabungkan dengan pelatihan kekuatan dan daya tahan umum (kardiovaskular) hasilnya akan meningkat lebih tinggi. Hasil pelatihan tunggal dengan melatih hanya satu komponen kecepatan saja, peningkatannya cuma 15%. Sebaliknya kalau pelatihan komponen kecepatan ini digabungkan dengan komponen kekuatan dan daya tahan umum, maka dalam waktu yang sama kecepatannya meningkat sebesar 40% (Nala, 2011).

(41)

2.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecepatan Jalan Cepat

Untuk dapat mencapai penampilan puncak pada cabang olahraga jalan cepat perlu memperhatikan beberapa faktor, yang secara garis besarnya dikelompokkan menjadi 2 bagian yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Dipertegas lagi dengan pendapat Nurhasan (2005), bahwa kebugaran jasmani pada umumnya dipengaruhi oleh dua faktor yaitu:

2.4.1 Faktor Internal

Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam tubuh atlet sendiri diantaranya; umur, genetik, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, teknik, mental, motivasi, disiplin dan pengalaman (Musneno, 2013).

1. Umur

Hampir semua komponen biomotorik dipengaruhi oleh umur. Umur menunjukkan tingkat kematangan yang berkaitan dengan pengalaman belajar. Menurut Astrand dan Rodahl (2003), peningkatan kekuatan otot berkaitan dengan pertambahan umur, dimensi, anatomi atau diameter otot dan kematangan seksual. Kekuatan otot akan terus meningkat sesuai dengan pertambahan umur hingga mencapai puncaknya pada umur 20-30 tahun. Setelah umur tersebut kekuatan otot akan menurun, kecuali di berikan pelatihan. Walaupun demikian, di atas umur 65 tahun kekuatan otot sudah berkurang sebanyak 20 % dibandingkan waktu muda (Nala, 2011). Untuk cabang olahraga jalan cepat mulai dilatih dari umur 8 tahun, mulai dilatih spesialisasi 14-16 tahun, dan puncak prestasinya pada umur 20-25 tahun (Bompa, 2009).

(42)

2. Genetik

Genetik berpengaruh terhadap kapasitas jantung paru, postur tubuh, obesitas, haemoglobin/sel darah dan serat otot (Anonim, 2005). Genetik bersifat pembawaan yang sering kali ikut berperan dalam penampilan fisik seperti proporsi tubuh, karakter fsikologis, otot putih dan otot merah, dan suku. Pengaruh genetik terhadap kecepatan, kekuatan dan daya tahan pada umumnya berhubungan dengan komposisi serabut otot yang terdiri dari serabut otot putih dan otot merah. Atlet yang memiliki lebih banyak serabut otot putih lebih mampu untuk melakukan kegiatan yang bersifat anaerobik, sedangkan yang lebih banyak memiliki serabut otot merah lebih tepat melakukan kegiatan yang bersifat aerobik (Nala, 2002). Dengan demikian faktor genetik juga berpengaruh terhadap pencapaian prestasi seorang atlet jalan cepat.

3. Jenis kelamin

Secara umum jenis kelamin mempengaruhi kemampuan anak dalam beraktivitas apalagi setelah mengalami pubertas, baik kekuatan, daya tahan, maupun kecepatan. Hal ini terjadi karena adanya hormon testosteron pada anak laki-laki (Astrand dan Rodahl, 2003).

Perbedaan kekuatan otot antara pria dan wanita sudah berbeda pada umur 10-12 tahun, kekuatan otot anak laki-laki lebih kuat sedikit daripada anak wanita, dan semakin jauh meningkat dengan bertambahnya umur (Nala, 2002). Pada umur 18 tahun ke atas laki-laki mempunyai kekuatan dua kali lebih besar dari wanita, hal ini disebabkan karena adanya

(43)

pengaruh hormon testoteron pada laki-laki yang memacu pertumbuhan tulang dan otot (Bompa, 2009). Dengan demikian jelas bahwa jenis kelamin mempengaruhi kecepatan jalan cepat.

4. Berat badan

Berat badan sangat mempengaruhi kecepatan jalan. Tubuh yang berat dengan kekuatan otot yang sama akan menghasilkan kecepatan jalan yang berbeda. Hal ini disebabkan karena berat badan merupakan gaya berat yang dipengaruhi oleh percepatan gravitasi. Makin tinggi gaya berat, maka gaya otot yang dibutuhkan untuk bergerak semakin besar. Sehingga dengan gaya otot yang sama pada berat badan yang lebih kecil akan lebih mudah tubuh untuk berjalan dan kecepatan tubuh yang membentuk sudut semakin tinggi (Hay, 1978). Hasil penelitian Pradana dan Wahyudi (2010), bahwa Berat badan memberikan kontribusi sebesar1,93% terhadap kecepatan lari cepat (sprint ) 100meter putra.

Dengan kecepatan tubuh semakin tinggi maka kecepatan berjalan makin banyak, dan bila tubuh berat maka kecepatan semakin rendah dan tubuh akan semakin lambat.

5. Tinggi badan

Tinggi badan berhubungan erat dengan panjang kaki, sehingga makin panjang kaki seseorang makin panjang jangkauan seseorang akan menghasilkan langkah kaki kiri dan kanan yang lebih baik atau lebih jauh. Hasil penelitian Pradana dan Wahyudi (2010), bahwa tinggi badan

(44)

memberikan kontribusi sebesar 62,57% terhadap kecepatan lari cepat (sprint ) 100 meter putra.

6. Kebugaran fisik

Kebugaran fisik merupakan kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari-hari tanpa merasa lelah berlebihan dan masih memiliki cadangan tenaga untuk menikmati waktu luang dan kegiatan-kegiatan yang sifatnya mendadak (Nala, 2011). Daya tahan umum yang menyangkut kemampuan paru, jantung dan pembuluh darah (Respiratio Cardiovascular Endurance) merupakan salah satu unsur utama kebugaran fisik. Daya tahan paru, jantung, dan pembuluh darah dapat diartikan sebagai kemampuan untuk melakukan tugas-tugas berat yang melibatkan kelompok-kelompok otot besar untuk jangka waktu yang lama. Tingginya tingkat daya tahan umum menunjukkan tingginya kapasitas kerja fisik, yang merupakan kemampuan untuk melepaskan jumlah energi yang relatif tinggi dalam jangka waktu yang lama (Nurhasan, 2001). Kebugaran fisik dapat diukur dengan berlari secepat-cepatnya sejauh 2,4 km yang dinyatakan dalam waktu tempuh, satuan menit, ketelitian 0,01 menit. Penilaian kebugaran fisik untuk putra dan putri berdasarkan umur terlihat pada tabel 2.1 (Sajoto, 2000).

(45)

Tabel 2.1

Penilaian tes lari 2,4 km.

Kesegaran Jasmani dan Kesehatan Mental

Kategori Pa/Pi 13-19th 20-29 th 30-39 th 40-49 th Jelek sekali Pa >15:81 >16:01 >16:31 >17:31 Pi > 18:31 >19:01 >19:31 >20:01 Jelek Pa 12:11-15:30 14:01-16:00 14:44-16:20 15:36-17:30 Pi 16:55:18:30 18:31-19:00 19:01-19:30 19:31-20:00 Sedang Pa 10:45-12:10 12:01-14:00 12:31-14:45 13:01-15:35 Pi 14:31-16:54 15:55-18:30 16:31-19:00 17:31-19:30 Baik Pa 09:41-10:48 10:46-12:00 11:01-12:30 11:31-13:00 Pi 12:30-14:30 13:31-15:54 14:31-16:30 15:56-17:30 Baik sekali Pa 08:37-09:40 09:45-10:45 10:00-11:00 10:30-11:30 Pi 11:50-12:29 12:30-13:30 13:00-14:30 13:45-15:55 Luar biasa Pa <08:37 <09:45 <10:00 <10:30 Pi <11:50 <12:30 <12:30 <13:45 Dikutip dari: Ananto, 2000.

7. Teknik

Teknik sangat menentukan hasil kecepatan. Tanpa penguasaan teknik yang memadai sulit untuk memperoleh prestasi yang diharapkan. Teknik tersebut mulai dari teknik melangkah serta teknik ayunan tangan (Dei, 2011). Dalam penelitian ini semua sampel dilatih juga teknik-teknik jalan cepat agar semua sampel melakukan jalan cepat dengan teknik jalan cepat yang benar.

8. Mental

Mental atlet tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan faktor-faktor di atas karena betapapun sempurnanya fisik, teknik dan taktik apabila mentalnya kurang bagus prestasi puncak tidak mungkin tercapai. Oleh karena itu mental

(46)

perlu ditingkatkan dengan cara pelatihan. Pelatihan mental ini penekanannya pada perkembangan kedewasaan serta emosional dan impulsif misalnya; semangat berlomba, sikap pantang menyerah, sportivitas, percaya diri, dan kejujuran. Dengan memberikan pelatihan maka fungsi fisiologis dan fsikologis tubuh meningkat sehingga mampu mencapai puncak penampilannya (Dei, 2011).

9. Motivasi

Motivasi untuk berprestasi setinggi-tingginya atau ingin sukses merupakan faktor yang sangat menentukan prestasi atlet dengan cara memakai semua daya dan upaya yang ada dengan menekan semua hal-hal yang lain. Dengan motivasi yang tinggi dapat meningkatkan besar dan kecepatan infuls saraf sehingga membangkitkan tenaga yang tinggi dan akan mempercepat pelaksanaan gerak (Fox, Richard dan Merie, 1988).

10. Disiplin

Faktor disiplin juga penting diperhatikan untuk mencapai prestasi puncak seorang atlet. Disiplin ini termasuk dalam pelatihan, kehadiran dalam berlatih dan disiplin dalam pengambilan data. Tanpa disiplin yang tinggi atlet sulit untuk mencapai prestasi yang diinginkan.

2.4.2 Faktor Eksternal

Faktor eksternal sangat mempengaruhi penampilan fisik atlet. Faktor tersebut menyangkut; suhu dan kelembaban lingkungan, arah dan kecepatan angin, dan ketinggian tempat.

(47)

1. Suhu dan Kelembaban Relatif Udara

Pada umumnya orang Indonesia beraklimatisasi pada suhu tropis antara 29-30°C dengan kelembaban relatif bervariasi antara 85-95%. Bila petinju biasa berlatih pada suhu kering sebesar 29°C kemudian akan bertanding pada tempat panas dengan temperatur lebih tinggi, maka harus menyesuaikan diri terhadap lingkungan selama 12-14 hari dan bila temperatur tempat bertanding lebih kecil dibandingkan tempat latihan penyesuaian hanya dibutuhkan beberapa hari saja. Penyesuaian ini dilakukan dengan cara berlatih ditempat bertanding dalam waktu tertentu atau membuat ruangan tempat berlatih suhunya sama dengan di tempat bertanding. Penurunan atau peningkatan temperatur kering udara secara langsung akan mempengaruhi kelembaban relatif udara dengan perbandingan berbanding terbalik (Kanginan, 2000).

Perubahan ini akan mempengaruhi penampilan fisik atlet bila berada diluar batas kenyamanan. Menurut Gabriel (2001), batas kenyamanan bagi orang Indonesia berkisar antara 70-80%. Oleh karena itu penelitian sebaiknya dilakukan pada tempat yang nyaman dengan mempertimbangkan tempat dan waktu penelitian. Penyesuaian terhadap cuaca lingkungan pada penelitian ini tidak menjadi masalah karena siswa biasa beraktivitas tidak jauh dari tempat pengambilan data.

2. Ketinggian Tempat

Setiap peningkatan ketinggian 1000 meter dari permukaan laut terjadi penurunan percepatan gravitasi sebesar 0,3 cm/dt2. Hal ini akan mempengaruhi penampilah atlet. Tempat yang percepatan gravitasinya

(48)

rendah akan lebih mudah mengangkat tubuh karena beratnya berkurang sebanding dengan penurunan percepatan gravitasi. Keuntungan ini dibayar dengan kerugian yang lebih besar yaitu setiap ketinggian 100 meter di atas permukaan laut akan terjadi penurunan tekanan udara sebesar 6-10 mmHg (Gabriel, 2001). Penurunan tekanan udara ini akan menurunkan kadar O2. Sehingga bila atlet biasa berlatih di dekat permukaan laut kemudian bertanding di tempat tinggi dengan kadar O2 rendah, maka kecepatan pernapasannya akan meningkat karena konsumsi O2 sama dengan saat berlatih sedangkan banyaknya O2 yang dihirup sekali nafas berkurang. Hal ini akan menjadi beban yang cukup besar. Oleh karena itu dalam perlombaan/pertandingan sebaiknya diadakan pada daerah yang mempunyai ketinggian yang tidak terlalu jauh berbeda.

2.5 Lari Aerobik 400 meter

Lari adalah gerakan berpindah tempat dengan maju kedepan yang dilakukan lebih cepat dari berjalan. Gerakan lari dan gerakan berjalan hampir sama, perbedaannya adalah jika pada berjalan kedua kaki selalu kontak dengan tanah sedangkan pada lari, ada saat badan melayang di udara (Syarifudin, 2005). Lari adalah frekuensi langkah yang dipercepat sehingga pada waktu berlari kecenderungan badan melayang (Djumidar, 2004). Artinya pada waktu berlari kedua kaki tidak menyentuh tanah sekurang-kurangnya satu kaki tetap menyentuh tanah. Aerobik merupakan rangkaian reaksi kimia yang memerlukan oksigen (Nala, 2011).

(49)

Metode latihan aerobik adalah kekuatan yang kecil atau sedang yang dapat dipertahankan untuk jangka waktu yang lama menggunakan energi yang berasal dari pembakaran O2. Proses aerobik merupakan suatu proses untuk menghasilkan energi di dalam sel otot dengan memakai O2 yang cukup dari udara luar (Anonim, 2007). Jarak 400 meter merupakan jaraknya suatu lintasan dalam atletik

Jadi lari aerobik 400 meter adalah lari yang mempergunakan kekuatan/tenaga kecil atau sedang untuk jangka waktu yang lama, menggunakan energi yang berasal dari pembakaran O2 menempuh jarah 400 meter atau satu kali putaran lintasan atletik.

2.6 Jalan Cepat

Jalan cepat adalah gerak langkah maju yang dilakukan sedemikian rupa sehingga pejalan tetap bersentuhan dengan tanah, dan tidak ada saat hilang kontak dengan tanah yang teramati langsung oleh mata telanjang. Secara alamiah setiap orang dikatakan normal apabila dapat berjalan tanpa mengalami kesulitan. Kaki yang bergerak maju dan kedepan harus diluruskan (tidak jongkok pada lutut) sejak saat bersentuhan pertama dengan tanah sehingga mencapai posisi badan tegak/vertical (Anonim, 2010).

Untuk memperoleh kemampuan fisik yang baik atau tinggi maka, perlu adanya pelatihan yang benar dan efisiensi sehingga tidak cepat menimbulkan kelelahan. Kelangsungan jalan cepat dapat dirinci sebagai berikut:

1. Start

Start jalan cepat biasanya dilakukan dengan berdiri, karena start tersebut tidak mempunyai pengaruh yang berarti pada hasil perlombaan,

(50)

maka tidak perlu ada teknik khusus yang harus dipelajari atau dilatih. Sikap start yang lazim dipergunakan adalah pada aba-aba “bersedia”, kaki berada di belakang garis start, kaki kanan di belakang kaki kiri dengan badan agak condong ke depan, sedangkan tangan bergantung kendor. Pada aba-aba “ya” atau bunyi tembakan pistol, segera melangkahkan kaki kanan ke depan, disusul kaki kiri dan terus berjalan (Tamat, 2000).

2. Langkah

Dimulai dari gerakan mengangkat pada kaki ayun ke depan lutut terlihat, tungkai bawah tergantung lemas, karena ayunan paha ke depan, menyebabkan lutut menjadi lurus, kemudian menapak pada tumit terlebih dahulu menyentuh tanah, bersamaan dengan mengangkat tumit. Selanjutnya ujung kaki tumpu lepas dari tanah ganti dengan kaki ayun (Tamat, 2000). 3. Condongan Badan

Condongan badan dimulai dari kepala, punggung/dada, pinggang sampai tungkai bawah sedikit condong ke depan. Kedua lengan tergantung lemas atau dengan sikut agak dibongkokkan, berada dekat badan, serta pandangan lurus kearah depan (Tamat, 2000).

4. Ayunan Lengan

Ayunan lengan kiri ke depan bersamaan dengan mengangkat paha dan kaki kanan, sehingga koordinasinya adalah lengan kiri bersamaan dengan kaki kanan dan lengan kanan bersamaan dengan kaki kiri.

Untuk memperoleh langkah-langkah yang baik dan memenuhi persyaratan sehingga tidak ada start melayang, maka pemindahan berat badan dan kaki

(51)

satu ke kaki yang lain harus tampak jelas, ini kelihatan pada gerak pinggul. Gerak ini perlu dilatih sehingga akan memperoleh gerakan yang serasi, lancar dan tidak lekas melelahkan (Tamat, 2000).

(52)

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Berpikir

Berdasarkan rumusan masalah dan kajian pustaka, maka dapat dibuat suatu kerangka berpikir sebagai berikut: faktor kecepatan merupakan faktor yang sangat diperlukan dalam cabang olahraga jalan cepat. Faktor kecepatan ini dapat ditingkatkan dengan melakukan pelatihan. Berhasilnya peningkatan tersebut tidak terlepas dari tepatnya pelatihan yang diberikan pada cabang oalahraga yang dilatih. Masing-masing komponen tidak dapat disamakan peran dan beban kerjanya, sehingga perlu dietapkan komponen yang dominan yang ditampilkan pada cabang olahraga yang bersangkutan dan harus diberikan porsi pelatihan yang lebih banyak dibandingkan dengan komponen yang lainnya. Program pelatihan harus dilakukan secara sistematis, terencana, teratur, dan berkelanjutan, salah satunya pelatihan lari aerobik

Frekuensi kecepatan dipengaruhi baik oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor internal antara lain: umur, jenis kelamin, tinggi badan, berat badan dan kesegaran jasmani, sedangkan faktor eksternal, seperti suhu lingkungan dan kelembaban relatif. Kecepatan jalan juga dipengaruhi oleh komponen biomotorik lain, yaitu kekuatan, daya tahan, kelentukan dan waktu reaksi, disamping juga tingkat otomatisasi gerak, mobilitas saraf, intensitas rangsangan, elastisitas otot, teknik dan semangat.

Gambar

Gambar 3.2 Karangka Konsep
Gambar 4.1 Rancangan Penelitian  Keterangan:
Gambar 4.9 Bagan Alur PenelitianPopulasi
Gambar 5.5.1 Grafik rerata hasil jalan cepat 3000 m, sebelum dan sesudah  perlakuan antara kedua kelompok
+2

Referensi

Dokumen terkait

Rakitlah rangkaian motor DC Seri untuk penyalaan dengan resistor starter seperti pada Lampiran 6. Atur Resistor Starter pada posisi

Telah dilakukan penelitian dengan judul “Penerapan Model Pembelajaran Guided Discovery dengan Teknik Bertukar Tempat pada Materi Kalor untuk Meningkatkan Hasil

Sebagaimana hasil penelitian terdahulu, bahwa pada jarak tanam yang lebih lebar, yaitu pada jarak tanam berbasis 30 cm, ternyata Varietas Pandan Wangi memberikan

Prinsip dari sistem tanam jajar legowo adalah meningkatkan populasi tanaman mengatur jarak tanam sehingga pertanaman akan memiliki barisan tanaman yang diselingi

Tabel 2 menunjukkan bahwa berdasarkan hasil uji BNT (0,05) ternyata secara faktor tunggal pengaruh Phosfat dan sulfur berpengaruh nyata akibat pemberian pemupukan

Masalah utama dalam agribisnis manggis saat ini adalah cemaran getah kuning, karena merupakan salah satu kriteria yang menurunkan kualitas buah. Studi tentang getah kuning pada

Menurut Subani (1984), udang karang atau lobster memiliki ciri-ciri yaitu badan besar dan dilindungi kulit keras yang berzat kapur, mempunyai duri-duri keras dan tajam,

- Herba sambiloto menurunkan jumlah neutrofil dalam darah tikus putih yang telah diinduksikan bakteri Staphylococcus aureus.. - Herba sambiloto meningkatkan kadar TNF-α