• Tidak ada hasil yang ditemukan

HAK PERPOLITIKAN PEREMPUAN DALAM KONSTITUSI INDONESIA DITINJAU MENURUT PERSPEKTIF SIYĀSAH SYAR IYYAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HAK PERPOLITIKAN PEREMPUAN DALAM KONSTITUSI INDONESIA DITINJAU MENURUT PERSPEKTIF SIYĀSAH SYAR IYYAH"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

MENURUT PERSPEKTIF

SIYĀSAH SYAR’IYYAH

SKRIPSI Disusun Oleh: SARATUL HUSNA NIM. 140105076

Mahasiswi Fakultas Syari’ah dan Hukum Program Studi Hukum Tata Negara

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY

DARUSSALAM-BANDA ACEH

2019 M/ 1440 H

(2)

SARATUL HUSNA NIM. 140105076

Mahasiswi Fakultas Syari’ah dan Hukum Program Studi Hukum Tata Negara

(3)
(4)
(5)

v

ABSTRAK

Nama/NIM : Saratul Husna/140105076

Fakultas/Prodi : Syari’ah dan Hukum/ Hukum Tata Negara

Judul Skripsi : Hak Perpolitikan Perempuan dalam Konstitusi Indonesia Ditinjau menurut Perspektif Siyāsah

Syar’iyyah

Tanggal Munaqasyah : 26 Juli 2019 Tebal Skripsi : 71 Halaman

Pembimbing I : DR. Jabbar Sabil, MA Pembimbing II : Syuhada, S. Ag., M. Ag

Kata Kunci : Hak Perpolitikan,Perempuan,Konstitusi Indonesia, Siyāsah Syar’iyyah.

Hak politik dalam Konsitusi Indonesia atau UUD 1945 merupakan hak mendasar yang dimiliki oleh seluruh warga negara, termasuk hak bagi kalangan perempuan. Hak perpolitikan perempuan diakui sama seperti laki-laki. Untuk itu, menarik untuk mengetahui sejauh mana hak politik perempuan diatur dalam Konstitusi Indonesia, dan bagaimana tinjauan

siyāsah syar’iyyah terhadap hak perpolitikan perempuan dalam Konstitusi

Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif, dengan jenis studi pustaka. Data-data dikumpulkan dari kepustakan dianalisis dengan cara deskriptif-analisis. Kesimpulan penelitian ini ada dua.

Pertama, Konstitusi Indonesia mengatur hak perpolitikan perempuan

dengan asas political equality, yaitu persamaan hal politik untuk dipilih maupun memilih. Pasal 19, Pasal 22C, dan Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945,

jo Pasal 46 UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, jo Pasal 169 dan

Pasal 245 UU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum, memberi hak tiap warga negara memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Berhak menduduki kursi DPR RI, DPRD Provinsi, dan Kabupaten/Kota, DPD, ikut dalam kepartaian, dengan keterwakilan perempuan paling sedikit 30%, serta berhak juga untuk menduduki jabatan eksekutif, seperti Presiden, Wakil Presiden, dan menduduki kementerian. Kedua, hak perpolitikan perempuan dalam Konstitusi Indonesia dalam perspektif

siyāsah syar’iyyah cenderung kurang sesuai, khususnya hak politik

perempuan untuk dipilih sebagai kepala negara atau presiden. Konsep

siyāsah syar’iyyah membatasi hak menjadi kepala negara hanya dari

laki-laki. Dibatasinya hak politik perempuan dalam bidang eksekutif atau presiden sejalan dengan pendapat pakar politik Islam, juga sejalan dengen ketentuan hadis riwayat Bukhārī, dari Uṡman bin Haiṡam dan Abī Bakrah, menyebutkan bahwa “tidak akan beruntung suatu kaum apabila urusan kepemimpinan diserahkan kepada perempuan”.

(6)

vi

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah swt yang telah menganugerahkan rahmat dan hidayah-Nya, Selanjutnya shalawat beriring salam penulis sanjungkan ke pangkuan Nabi Muhammad saw, karena berkat perjuangan beliau, ajaran Islam sudah dapat tersebar keseluruh pelosok dunia untuk mengantarkan manusia dari alam kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan. sehingga penulis telah dapat menyelesaikan karya tulis dengan judul: “Hak Perpolitikan Perempuan dalam Konstitusi Indonesia Ditinjau

menurut Perspektif Siyāsah Syar’iyyah”.

Rasa hormat dan ucapan terimakasih yang tak terhingga juga penulis sampaikan kepada pembimbing pertama Bapak DR. Jabbar Sabil, MA dan Bapak Syuhada, S. Ag., M. Ag selaku pembimbing kedua, di mana kedua beliau dengan penuh ikhlas dan sungguh-sungguh telah memotivasi serta menyisihkan waktu serta pikiran untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam rangka penulisan karya ilmiah ini dari awal sampai dengan terselesainya penulisan skripsi ini.

Terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Dekan Fakultas Syariah bapak dan Hukum UIN Ar-Raniry, Ketua Prodi Hukum Keluarga, Penasehat Akademik, serta seluruh Staf pengajar dan pegawai Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan masukan dan bantuan yang sangat berharga bagi penulis sehingga penulis dengan semangat menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Perpustakaan Syariah dan seluruh karyawan, kepala perpustakaan induk UIN Ar-Raniry dan seluruh karyawannya, Kepala Perpustakaan Wilayah serta Karyawan yang melayani serta memberikan pinjaman buku-buku yang menjadi bahan skripsi penulis. Dengan terselesainya

(7)

vii

pihak yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam rangka penyempurnaan skripsi ini. Tidak lupa pula penulis ucapkan terima kasih kepada teman-teman seperjuangan angkatan tahun 2014 yang telah memberikan dorongan dan bantuan kepada penulis serta sahabat-sahabat dekat penulis yang selalu setia berbagi suka dan duka dalam menempuh pendidikan Strata Satu.

Dan tidak lupa penulis mengucapkan rasa terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada ayahanda dan ibunda yang telah memberikan bantuan dan dorongan baik secara moril maupun materiil yang telah membantu selama dalam masa perkuliahan yang juga telah memberikan do’a kepada penulis, juga saudara-saudara selama ini yang telah membantu dalam memberikan motifasi dalam berbagai hal demi berhasilnya studi penulis.

Akhirnya, penulis sangat menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih sangat banyak kekurangannya. Penulis berharap penulisan skripsi ini bermanfaat terutama bagi penulis sendiri dan juga kepada para pembaca semua. Maka kepada Allah jualah kita berserah diri dan meminta pertolongan, seraya memohon taufiq dan hidayah-Nya untuk kita semua. Āmīn Yā Rabbal ‘Ālamīn.

Banda Aceh 2 Mei 2019 Penulis,

(8)

TRANSLITERASI ARAB-LATIN DAN SINGKATAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN DAN SINGKATAN

viii

TRANSLITERASI ARAB-LATIN DAN SINGKATAN

Dalam skripsi ini banyak dijumpai istilah yang berasal dari bahasa Arab ditulis dengan huruf latin, oleh karena itu perlu pedoman untuk membacanya dengan benar. Pedoman Transliterasi yang penulis gunakan untuk penulisan kata Arab berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri P dan K Nomor: 158 Tahun 1987 – Nomor: 0543 b/u/1987. Adapun Pedoman Transliterasi yang penulis gunakan untuk penulisan kata Arab adalah sebagai berikut:

1. Konsonan

No. Arab Latin Ket No. Arab Latin Ket

1 ا Tidak dilambangkan 61 ط ṭ t dengan titik di bawahnya 2 ب B 61 ظ ẓ z dengan titik di bawahnya 3 ت T 61 ع ‘ 4 ث Ś s dengan titik di atasnya 61 غ gh 5 ج J 02 ف f 6 ح ḥ h dengan titik di bawahnya 06 ق q 7 خ kh 00 ك k 8 د D 02 ل l 9 ذ Ż z dengan 02 م m

(9)

ix atasnya 10 ر R 02 ن n 11 ز Z 01 و W 12 س S 01 ه H 13 ش sy 01 ء ’ 14 ص Ş s dengan titik di bawahnya 01 ي Y 15 ض ḍ d dengan titik di bawahnya 2. Konsonan

Konsonan Vokal Bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.

a. Vokal Tunggal Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harkat, transliterasinya sebagai berikut:

Tanda Nama Huruf Latin

َ Fatḥah A

َ Kasrah I

َ Dammah U

b. Vokal Rangkap

Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara harkat dan huruf, transliterasinya gabungan huruf, yaitu:

(10)

x Tanda dan Huruf Nama Gabungan Huruf ي َ Fatḥah dan ya Ai و َ Fatḥah dan wau Au

Contoh:

فيك = kaifa, لوه = haula 3. Maddah

Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harkat dan huruf,

transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu: Harkat dan

Huruf

Nama Huruf dan tanda

ي/ا َ Fatḥah dan alif atau ya Ā

ي َ Kasrah dan ya Ī

و َ Dammah dan wau Ū

Contoh: لا ق = qāla ي م ر = ramā لْي ق = qīla لْوق ي = yaqūlu 4. Ta Marbutah (ة)

Transliterasi untuk ta marbutah ada dua. a. Ta marbutah ( ة) hidup

(11)

Ta marbutah ( ة) yang hidup atau mendapat harkat fatḥah, kasrah dan

dammah, transliterasinya adalah t.

b. Ta marbutah ( ة) mati

Ta marbutah ( ة) yang mati atau mendapat harkat sukun, transliterasinya adalah h.

c. Kalau pada suatu kata yang akhir huruf ta marbutah ( ة) diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang al, serta bacaan kedua kata itu terpisah maka ta marbutah ( ة) itu ditransliterasikan dengan h.

Contoh:

ْلافطَ الْا ْةَضاوَر : rauḍah al-aṭfāl/ rauḍatul aṭfāl ْاةَروَنملا ْةَنايِدملا : al-Madīnah al-Munawwarah/

al-Madīnatul Munawwarah

ْة َحلط : Ṭalḥah Modifikasi

1. Nama orang berkebangsaan Indonesia ditulis seperti biasa tanpa transliterasi, seperti M. Syuhudi Ismail. Sedangkan nama-nama lainnya ditulis sesuai kaidah penerjemahan. Contoh: Ḥamad Ibn Sulaiman.

2. Nama negara dan kota ditulis menurut ejaan Bahasa Indonesia, seperti Mesir, bukan Misr ; Beirut, bukan Bayrut ; dan sebagainya.

(12)

xii

1. Surat keputusan penunjukkan pembimbing. 2. Daftar Riwayat Penulis

(13)

xiii DAFTAR ISI

LEMBARAN JUDUL ... i

PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN SIDANG ... iii

LEMBARAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

TRANSLITERASI ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

DAFTAR ISI ... xiii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 4 1.3. Tujuan Penelitian ... 5 1.4. Penjelasan Istilah ... 5 1.5. Kajian Pustaka ... 7 1.6. Metode Penelitian ... 13 1.7. Sistematika Pembahasan ... 14

BAB II : TINJAUAN UMUM HAK-HAK PEREMPUAN DALAM KONSTITUSI INDONESIA DAN KONSEP SIYĀSAH SYAR’IYYAH ... 16

2.1. Pengertian Hak dan Konstitusi ... 16

2.2. Hak Perpolitikan dalam Konstitusi Indonesia ... 19

2.3. KonsepSiyāsah Syar’iyyah ... 25

2.4. Pendapat Ulama tentang Perpolitikan Perempuan dalam Siyāsah Syar’iyyah ... 31

BAB III : ANALISA HAK-HAK PEREMPUAN DALAM BIDANG POLITIK MENURUT KONSTITUSI INDONESIA ... 43

3.1. Hak Perpolitikan Perempuan Yang Diatur Dalam Konstitusi Indonesia ... 43

3.2. Tinjauan Siyāsah Syar’iyyah terhadap Hak Perpolitikan Perempuan dalam Konstitusi Indonesia 55

BAB IV : PENUTUP ... 63

4.1. Kesimpulan ... 63

(14)

xiv

DAFTAR KEPUSTAKAAN ... 66 LAMPIRAN ... 72 DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... 73

(15)

1 1.1. Latar Belakang Masalah

Persoalan atau isu yang hingga saat ini masih menjadi bahan perbincangan adalah tentang hak perempuan dalam politik menurut konstitusi Indonesia dilihat dari perspektif siyāsah syar’iyyah. Persoalan yang diangkat biasanya adalah tentang sejauh mana konstitusi Indonesia mengatur dan memberikan hak berpolitik bagi perempuan, serta bagaimana pula tinjauannya menurut siyāsah syar’iyyah. Dua soal inilah yang menjadi fokus diskusi khususnya dalam kaitan hak politik perempuan.

Indonesia merupakan negara hukum yang menghargai secara penuh hak-hak tiap warganya tidak terkecuali perempuan, semisal hak untuk berpendapat, hak untuk berpartisipasi dalam satu organisasi termasuk di dalamnya hak untuk ikut serta dalam meramaikan kancah perpolitikan. Konstitusi Indonesia memberi peluang bagi setiap orang untuk ikut serta dalam politik tidak terkekcuali perempuan. Bahkan di awal pemerintahan Indonesia terdapat beberapa naskah undang-undang yang menjadi rujukan hukum adanya hak-hak perempuan dalam masalah politik, semisal Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1958 Tentang Persetujuan Konvensi Hak Hak Politik Kaum Wanita.1

Undang-undang tersebut menyatakan bahwa perempuan mempunyai hak untuk memberikan suaranya dalam semua pemilihan-pemilihan dengan syarat‐ syarat yang sama dengan pria, tanpa suatu diskriminasi. Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantaraan wakil-wakil yang dipilih dengan

1Mariam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Polituk, Edisi Revisi, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 261.

(16)

bebas menurut cara yang ditentukan oleh Undang undang. Selanjutnya, dalam undang-undang tersebut juga ditegaskan perempuan dapat dipilih untuk pemilihan dalam semua badan badan pilihan umum, yang didirikan oleh hukum nasional, dengan syarat sama dengan pria, tanpa suatu diskriminasi. Perempuan juga mempunyai hak untuk menjabat jabatan umum dan menjalankan semua tugas-tugas umum.2

Ketentuan di atas memberi pemahaman bahwa peran dan akses perempuan di dunia politik Indonesia cukup mendapat tempat dan menjadi bagian dari hak asasi yang tidak boleh didiskriminasi. Perempuan bisa saja menduduki kursi kepemimpinan atas dasar hak penuh yang diberikan oleh konstitusi Indonesia. Hal ini senada dengan ketentuan beberapa pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi dasar Indonesia. Di antara pasal Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur hal tersebut adalah Pasal 27 ayat (1). Disebutkan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Ketentuan lebih tegas disebutkan dalam Pasal 28D ayat (3), bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar. Di mana setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Intinya, konstitusi Indonesia memberi peluang yang cukup besar bagi perempuan untuk memanfaatkan hak berpolitiknya. Ruang gerak setiap orang tidak terkecuali perempuan untuk bisa duduk sebagai pengambil kebijakan politik di lembaga politik formal diakui dan tidak boleh ada tindakan diskriminatif dari siapapun.

2Pasal 1, 2, dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1958 Tentang Persetujuan Konvensi Hak Hak Politik Kaum Wanita.

(17)

Bentuk regulasi yang bersifat lebih praktis tentang hak perpolitikan perempuan disebutkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Dalam undang-undang ini, segala bentuk keterwakilan perempuan harus memenuhi angka 30%, baik keterwakilan perempuan dalam keanggotaan Komisi Pemilihan Umum (KPU), kepengurusan partai politik tingkat pusat, maupun bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.3 Memperhatikan beberapa rujukan di atas, jelas bahwa konstitusi Indonesia mengakui hak perempuan dalam perpolitikan di Indonesia.

Peraturan perundang-undangan di Indonesia telah mengatur hak perempuan sedemikian rupa, antara lain dalam UUD 45, UU HAM, dan UU N. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Mengigat rakyat Indonesia mayoritas muslim, maka perlu adanya kajian dari perspektif siyāsah

syar’iyyah. Namun demikian, timbul satu persoalan apabila dilihat dari

kontruksi hukum yang berbeda, tepatnya mengacu pada bagaimana hukum Islam mengatur hak perpolitikan perempuan dalam tinjauan siyāsah

syar’iyyah.

Dalam kitab: al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah wa al-Wilāyāt al-Dīniyyah, merupakan kitab yang dianggap cukup representatif dalam bidang ilmu pemerintahan Islam klasik, tidak menyebutkan atau sedikitnya tidak menyinggung hak perpolitikan perempuan. Imām al-Māwardī sebagai penulis kitab tersebut tidak memuat syarat bagi pihak yang menduduki kursi kekuasaan adalah hanya dari laki-laki saja. Demikian juga dalam hal pembantu pemerintah (wazir) yang diejawantahkan semisal Menteri, DPR, DPRD, dan lainnya. Syarat yang ditentukan hanya dalam beberapa hal, di antaranya adalah adil, memiliki kompeten dan berpengetahuan, tidak cacat

3Pasal 10 ayat (2), Pasal 173 huruf e, serta Pasal 245 juncto Pasal 243 dan Pasal 241 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum.

(18)

penca indra, dan juga memiliki sikap berani.4 Demikian menurut Abī Ya’lā al-Ḥanbalī, juga tidak menyebutkan begitu jauh masalah hak perpolitikan perempuan. Ia juga menetapkan syarat-syarat bagi pemimpin dan pembantu pemimpin sebagaimana disebutkan oleh Imām al-Māwardī sebelumnya.5 Dalam konteks dalil hukum Islam baik Alquran dan hadis juga tidak ditemukan secara khusus masalah hak perempuan untuk berpolitik. Oleh sebab itu, bagaimana sebenarnya tinjauan siyāsah

syar’iyyah terhadap hak perempuan dalam perpolitikan yang saat ini

Konstitusi Indonesia mengakui hak-hak tersebut.

Mengacu pada persoalan di atas, maka menarik untuk dikaji lebih jauh tentang hak perpolitikan perempuan dalam kontitusi Indonesia, dilihat dari konsep hukum Islam dalam ranah siyāsah syar’iyyah dengan judul: Hak Perpolitikan Perempuan dalam Konstitusi Indonesia Ditinjau Menurut Perspektif Siyāsah Syar’iyyah.

1.2. Rumusan Masalah

Sehubungan dengan latar belakang masalah di atas, maka dapat disarikan beberapa persoalan dengan rumusan sebagai berikut:

1. Sejauh mana hak perpolitikan perempuan diatur dalam Konstitusi Indonesia?

2. Bagaimana aktualisasi hak perempuan dalam Konstitusi Indonesia untuk konteks sekarang?

3. Bagaimana tinjauan siyāsah syar’iyyah terhadap hak perpolitikan perempuan dalam Konstitusi Indonesia?

4Ḥabīb al-Māwardī, Kitāb al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah wa al-Wilāyāt al-Dīniyyah, (Kuwait: Maktabah Dar Ibn Qutaibah, 1989), hlm. 5.

5Abī Ya’lā Muḥammad al-Ḥusain al-Farrā’ al-Ḥanbalī, al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah, (Bairut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyyah, 2000), hlm. 20. Bandingkan dengan, Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, (terj: Masturi Irham, dkk), Cet. 9, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2017), hlm. 342.

(19)

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini memiliki tujuan-tujuan yang ingin dicapai, yaitu:

1. Untuk mengetahui hak perpolitikan perempuan yang diatur dalam Konstitusi Indonesia.

2. Untuk mengetahui aktualisasi hak perempuan dalam Konstitusi Indonesia untuk konteks sekarang.

3. Untuk mengetahui tinjauan siyāsah syar’iyyahi terhadap hak perpolitikan perempuan dalam Konstitusi Indonesia.

1.4. Penjelasan Istilah

Skripsi ini memiliki beberapa istilah penting yang pernting untuk dikemukakan. Di antara istilah-istilah tersebut adalah “hak perpolitikan”, “konstitusi”, dan istilah “siyāsah syar’iyyah”. Masing-masing dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Hak perpolitikan

Istilah hak perpolitikan terdiri dari dua kata. Hak berarti sesuatu yang harus dipenuhi, yang harus diterima, benar, milik, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu karena telah ditentukan oleh undang-undang, atau kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu. Sementara kata perpolitikan berasal dari kata politik, artinya cara untuk mendapat kekuasaan, atau cara untuk memenuhi keinginan negara demi kepentingan negara.6 Jadi, hak perpolitikan berarti adanya kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang untuk diterima

6Tim Redaksi, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hlm. 502.

(20)

berupa keikutsertaan dalam hal mencari kekuasaan, berpartisipasi untuk memeuhi tuntutan dan kepentingan negara.

2. Konstitusi

Istilah konstitusi sendiri berasal dari bahasa Latin, yaitu konstituo atau constitutum (constituerre: Prancis, constitutie: Belanda, constitution: Inggris), artinya asas, patokan, undang-undang dasar, dasar, dan pokok.7 Jadi, yang dimaksud dengan konstitusi dalam pembahasan ini adalah Undang-Undang Dasar 1945, termasuk peraturan yang berada di bawahnya yang memberi penjelasan praktis atas ketentuan Undang-Undang Dasar tersebut.

3. Siyāsah syar’iyyah

Istilah siyāsah syar’iyyah terdiri dari dua kata. Kata siyāsah berarti pengaturan kemaslahatan manusia. Adapun kata syar’iyyah berasal dari kata syari’ah yang umumnya dimaknai sebagai peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah agama Islam.8 Adapun siyāsah syar’iyyah diartikan sebagai pengaturan masalah-masalah umum bagi pemerintahan Islam yang menjamin terciptanya kemaslahatan dan terhindarnya kemudaratan dari masyarakat dengan tidak bertentangan dengan ketentuan syariat Islam dan prinsip-prinsip lainnya.9

Dalam pengertian lain, siyāsah syar’iyyah adalah kewenangan pemerintah untuk melakukan kebijakan yang dikehendaki kemaslahatan nya, melalui aturan-aturan yang tidak bertentangan dengan agama,

7P.N.H. Simanjuntak, Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, tt), hlm. 34.

8Abdul Manan, Politik Hukum: Studi Perbadningan dalam Praktik

Ketatanegaraan Islam dan Sistem Hukum Barat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2016), hlm. 11: Lihat juga, Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, Edidi Revisi, Cet. 2, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm. 24.

(21)

meskipun tidak ada dalil tertentu.10 Jadi, siyāsah syar’iyyah merupakan bentuk hukum praktis di bidang pemerintahan khususnya dalam masalah pengaturan masalah pemerintahan yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.

1.5. Kajian Pustaka

Setelah melakukan beberapa penelusuran baik dari tesis, skripsi, jurnal atau karya ilmiah lainnya dari internet maupun dari prodi Hukum Tata Negara dan pustaka Fakultas Syari’ah serta ruang referensi skrispi di pustaka Universitas Islam Negeri aR-raniry Banda Aceh, belum ada penelitian yang secara khusus membahas Hak Perpolitikan Perempuan

dalam Konstitusi Indonesia Ditinjau Menurut Perspektif Siyāsah Syar’iyyah, baik dalam bentuk studi kasus dalam maupun dalam bentuk

studi pustaka seperti penelitian ini. Namun demikian, kajian tentang Hak

Perpolitikan Perempuan dengan sudut pandang yang berbeda telah banyak

dilakukan. Di antaranya:

1.5.1. Tesis yang ditulis oleh M. Zainuri, Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Politik Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang, pada tahun 2007, dengan judul: “Partisipasi Politik Perempuan (Perspektif Tradisi Islam Lokal Kudus)”.

Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa; pertama, Kudus merupakan kota religius. Dalam kehidupan, agama menjadi pilar dan pedoman sejak Sunan Kudus sampai saat ini. Oleh karena itu, kedudukan dan peran kiai pada masyarakat Kudus sangat tinggi dan strategis. Di samping itu, masyarakat Kudus selalu menaati dan mematuhi teks-teks kitab salaf (kitab kuning). Kedua, peran dan kedudukan perempuan di Kudus dalam bidang sosial budaya dan

10Gemala Dewi, dkk., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Cet. 5, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2018), hlm. 7-8.

(22)

politik masih mengikuti teks-teks kitab salaf (kitab kuning) yang diajarkan kiai di pesantren, padahal teks-teks kitab salaf (kitab kuning) menempatkan perempuan di bawah kedudukan laki-laki.

Ketiga, ajaran-ajaran kitab kuning secara umum boleh dikatakan

tidak akomodatif terhadap perempuan walaupun posisi kitab kuning yang sebenarnya masih interpretable sering kali dipahami secara sepihak, sehingga sebagian besar kaum tradisionalis (masyarakat Kudus) bersikap apatis, sinisme dan anomie terhadap partisipasi politik perempuan, karenanya tradisi mereka digolongkan kedalam budaya politik parokial (parochial political culture). Keadaan yang demikian ini menyebabkan perempuan Kudus merasa terhambat baik secara politis, sosial budaya, psikologis dan agama sehingga selama pemilihan umum yang diselenggarakan sebelum masa reformasi perempuan Kudus hanya partisipatif dalam menyalurkan suara (ikut menggunakan hak pilih aktif saja).

Keempat, terjadi proses sosial masyarakat Kudus berupa

pelonggaran terhadap kitab kuning sehingga peran perempuan dalam politik tetapi dengan syarat tetap memegang komitmen pada ajaran Islam untuk tetap menjaga etika Islam dalam bergaul dan berinteraksi dengan kaum lakilaki baik dalam etika berbicara, berpakaian atau lobi-lobi ataupun dalam melakukan bentuk-bentuk partisipasi politik lainnya. Kelima, walaupun tradisi Islam lokal Kudus sangat membatasi perempuan terjun dalam politik namun karena adanya motif rasional bernilai dan rasional bertujuan dari politisi perempuan sehingga mereka menjadi anggota legislatif dengan tujuan dapat menyalurkan bakat berorganisasi, memper-juangkan aspirasi perempuan dalam meningkatkan perluasan akses perempuan dalam wilayah publik melalui peraturan daerah, dan

(23)

meningkatkan status sosial dan perekonomian keluarga. Keenam, perempuan dalam proses menjadi anggota legislatif mengalami hambatan antara lain adanya hambatan struktural, sosial budaya, isu agama, idiologi dan donimasi elit partai politik oleh laki-laki. Khusus mengenai proses perekrutan terhadap calon dan anggota DPRD Kabupaten Kudus sebagai bentuk partisipsi politik perempuan di kabupaten sebagian besar diawali dengan menjadi pengurus underbow partai politik atau melalui ormas yang dianggap menjadi mesin politik partai politik dan diusulkan oleh partai politik untuk melengkapi affirmative action.

Ketujuh, strategi yang dilakukan para caleg perempuan

tidak jauh berbeda satu sama lain yakni dengan memanfaat ormas Islam (perempuan) yang ada misalnya yang berlatar belakang NU memanfaatkan IPPNU, Fatayat NU, dan Muslimat NU melalui pengajian rutin yang diadakan ormas tersebut, dan yang berlatar belakang Muhammadiyah dengan memanfaatkan Aisiyah, di samping juga memanfaatkan organisasi perempuan yang menjadi

underbow partai politik, juga memanfaatkan kampanye massal

yang diadakan oleh partai politik sesuai jadwal yang disepakati peserta pemilu melalui koordinasi KPUD Kabupaten Kudus, memberikan selebaran yang berisi foto, tanda gambar, nomor urut, dan visi misi masuk menjadi anggota legislatif serta memberikan kaos, kopyah, kerudung bahkan ada juga yang memberikan tasbih. 1.5.2. Skripsi yang ditulis oleh Ni Putu Niti Suari Giri, Mahasiswa

Fakultas Hukum Universitas Udayana, pada tahun 2017, dengan judul: “Hak-Hak Konstitusi Perempuan Indonesia”.

Hasil penelitian menunjukkan diskriminasi terhadap perempuan sampai saat ini masih banyak terjadi. Meskipun sudah

(24)

mulai adanya perhatian terhadap kesamaan kedudukan perempuan dan laki-laki, baik di tingkat dunia maupun nasional. Kenyataanya masih juga terdapat tindakan-tindakan yang mendiskrimasi antara perempuan dan laki-laki. Masih banyak terjadi tindakan-tindakan diskriminasi terhadap perempuan diberbagai sektor atau bidang. Tindakan diskriminasi terjadi karena adanya budaya yang tumbuh di masyarakat dari masa ke masa sehingga menjadi warisan bagi generasi berikutnya. Pemahaman seseorang mengenai gender dan seks pada perempuan dan laki-laki belum memberikan kenyataan yang menggambarkan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan. Masih banyaknya terjadi tindakan diskriminasi tersebutlah yang membuat penulis membuat makalah yang mengangkat permasalahan mengenai gender ini. Permasalahan yang muncul dan akan dibahas dalam makalah ini, yaitu ”Bagaimanakah pengaturan mengenai Hak-Hak Perempuan dalam Konstitusional Indonesia?”.

Apabila berbicara mengenai diskriminasi maka solusi yang harus digunakan untuk menghapus diskriminasi tersebut adalah menanamkan kesetaraan gender. Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasiona, serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidak adilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki.

(25)

1.5.3. Skripsi yang ditulis oleh Feybe M.P Wuisan. Mahasiswa Program Studi Ilmu Politik pada Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP UNSRAT, pada tahun 2014, dengan judul: “Keterwakilan

Perempuan Dalam Politik Di Lembaga Legislatif (Suatu Kajian Pada Dprd Kota Tomohon Periode 2009-2014)”.

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan maka penulis dapat menguraikan kesimpulannya sebagai berikut: 1). Rendahnya tingkat partisipasi kaum perempuan menjadi anggota legislatif dipengaruhi oleh rendahnya wawasan dan pengetahuan dalam bidang politik, selain itu dipengaruhi oleh masih kuatnya budaya patriarkhi yang telah melekat bagi setiap anggota DPRD laki-laki sehingga seringkali dalam proses persaingan untuk memperoleh/ meraih jabatan strategis dalam bidang politik kaum wanita jauh tertinggal.

Oleh karena itu upaya avvirmative action untuk mendorong keterwakilan perempuan dalam politik khususnya menjadi anggota DPRD perlu dilakukan peningkatan melalui pemberian kesempatan dan kesetaraan yang sama dengan kaum laki-laki. 2). Dari hasil penelitian, program yang di jalankan oleh para anggota DPRD masih menemui kendala dalam pelaksanaanya, karena perempuan belum mempunyai minta dan ketertarikan yang lebih atau cuek. 3). Dari hasil penelitian membuktikan bahwa perempuan yang menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak melanggar kodratnya sebagai perempuan, dimana mereka yang sudah berkeluarga tetap menjadi ibu rumah tangga apabila kembali kerumah. 4). Dari hasil penelitian juga membuktikan bahwa keluarga menjadi salah satu faktor perempuan masuk dan berhasil di dunia politik. 5). Kaum perempuan pada dasarnya memiliki hak

(26)

dan kesempatan yang sama dengan kaum laki-laki dalam bidang politik termasuk menjadi anggota DPRD, oleh karena itu diskriminasi terhadap kaum perempuan dalam bidang politik harus dihilangkan dengan menempatkan pada konsep kesetaraan, kesejajaran, persamaan hak dengan kaum laki-laki dalam semua level khususnya perlu menghilangkan budaya patriarkhi yang selama ini melekat didalam masyarakat luas. 6). Kaum perempuan disarankan perlu meningkatkan wawasan dan pemahaman terhadap bidang politik serta selalu aktif dalam setiap organisasi agar dapat melatih diri menjadi pemimpin politik. 7). Bukan hanya program yang harus di jalani secara maksimal oleh wakil rakyat, akan tetapi pribadi dari wakil rakyat juga harus diperhatikan, karena mereka merupakan contohh bagi masyarakat yang dipimpinnya khususnya bagi kaum perempuan.

1.5.4. Jurnal yang ditulis oleh Erlina, “Jurnal Konstitusi, Vol. I, No. 1,

November 2012”. Dengan judul: “Implementasi Hak Konstitusional

Perempuan Dalam Peraturan Perundang-Undangan Di

Indonesia”.

Hasil penelitian menjelaskan bahwa telah cukup banyak peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia, khususnya di tingkat nasional yang merupakan bagian dari upaya untuk mengimplementasikan hak konstitusional perempuan, namun masih banyak pula peraturan perundang-undangan, khususnya di tingkat daerah yang justru menghambat pengimplementasian hak konstitusional perempuan.

(27)

1.6. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan sesuatu yang mesti ada dalam sebuah karya ilmiah. Hal ini bertujuan untuk mengembangkan objek penelitian secara terstruktur serta untuk mendapatkan informasi secara benar dan dapat dipertanggung jawabkan. Penelitian merupakan penelitian normatif. Penelitian normatif merupakan penelitian yang mengkaji studi dokumen, yakni menggunakan berbagai data sekunder seperti peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, teori hukum, dan dapat berupa pendapat para sarjana.11 Jadi, dalam penelitian ini akan dikaji tentang normatif hukum yang dimuat dalam beberapa pendapat.

1.6.1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian kepustakaan, yaitu dengan mengkaji sumber-sumber tertulis dari berbagai rujukan seperti buku-buku, skripsi, artikel serta undang-undang dan rujukan lain yang relevan dengan pembahasan ini. Secara khusus, data utama/pokok penelitian ini yaitu kontitusi Indonesia serta beberapa kitab fikih yang bicara soal siyāsah syar’iyyah.

1.6.2. Teknik pengumpulan data

Mengingat penelitian ini termasuk dalam penelitian kepustakaan (library research) yang mengambil rujukan dari sumber-sumber tertulis, maka data-data yang diperlukan adalah tulisan-tulisan terkait objek penelitian yang penulis kaji. Dalam hal ini, peneliti menggunakan tiga bahan hukum, yaitu:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan yang bersifat autoritatif (otoritas). Dalam hal ini, bahan utama penelitian yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Undang-Undang-Undang-Undang

11Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktik, (cet. XV, Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hlm. 21-22.

(28)

Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, dan undang-undang terkait perpolitikan perempuan.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberi keterangan dan penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti buku Fiqh Islam wa Adillatuhu karangan Wabah Zuhaili, Kitāb

al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah wa al-Wilāyāt al-Dīniyyah karangan Imām

Ḥabīb al-Māwardī, al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah karangan Abī Ya’lā Muḥammad al-Ḥusain al-Farrā’ al-Ḥanbalī, Muqaddimah Ibn

Khaldun karangan Ibn Khaldun, dan beberapa reverensi lain yang

dipandang relevan.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang meliputi kamus, ensiklopedi serta bahan dari internet yang berkaitan juga dengan objek masalah yang penulis kaji.

1.6.3. Analisa data

Penulis mengkaji masalah dengan menggunakan metode deskriptif-

analisis. Artinya, penulis berusaha menguraikan konsep masalah terkait

hak-hak perempuan dalam masalah politik menurut Konstitusi Indonesia, kemudaian dianalisa dengan konteks dan teori hukum Islam, khususnya dalam bidang siyāsah syar’iyyah.

1.7. Sistematika Pembahasan

Penelitian ini disusun dalam empat bab dan masing-masing bab terdiri dari beberapa sub pembahasan dengan sistematika sebagai berikut:

Bab satu merupakan bab pendahuluan yang berisi lima pembahasan, yaitu, latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kajian penelitian terdahulu, dan sistematika

(29)

pembahasan. Kelima pembahasan ini disajikan secara ringkas tentang aspek masalah yang diteliti.

Bab dua merupakan bab landasan teoritis tentang Tinjauan Umum Hak-Hak Perempuan Dalam Konstitusi Indonesia Dan Konsep Siyāsah

Syar’iyyah yang berisi lima subbahasan yaitu, pertama pengertian hak dan

Konstitusi, kedua bentuk-bentuk hak perempuan dalam Konstitus Indonesia, ketiga hak perempuan dalam bidang politik, ketiga, konsep

siyāsah syar’iyyah, dan keempat hak politik perempuan dalam tinjauan siyāsah syar’iyyah.

Bab tiga merupakan bab hasil penelitian dan pembahasan tentang analisa hak-hak perempuan dalam bidang politik menurut Konstitusi Indonesia, yang terdiri tiiga subbahasan, yaitu pertama hak perpolitikan perempuan yang diatur dalam Konstitusi Indonesia, kedua analisis tinjauan

siyāsah syar’iyyahi terhadap hak perpolitikan perempuan dalam Konstitusi

Indonesia.

Bab empat merupakan bab penutup. Dalam bab terakhir ini penulis menarik beberapa kesimpulan dari keseluruhan pembahasan yang merupakan jawaban terhadap pertanyaan penelitian yang diajukan dalam rumusan masalah. Dalam bab ini juga diajukan beberapa saran rekomendasi kepada pihak-pihak terkait sebagai tindak lanjut dari permasalahan yang ditemukan dalam penelitian.

(30)

16

KONSTITUSI INDONESIA DAN KONSEP

SIYĀSAH SYAR’IYYAH

2.1. Pengertian Hak dan Konstitusi

Sub bahasan ini secara khusus mengemukakan definisi operasional terkait dua term penting, yaitu istilah hak dan konstitusi. Masing-masing diuraikan dalam poin-poin berikut:

1. Hak

Secara bahasa, kata hak berasal dan diambil dari bahasa Arab, yaitu

ḥaqqun. Ibn Manẓūr menyebutkan kata ḥaqqun kebalikan (antonim) kata

dari al-bāṭil, bentuk jamaknya ada dua, yaitu ḥuqūq atau ḥiqāq.1 Susunan kata ḥaqqun yaitu ḥaqaqa, secara semantik terdiri dari beberapa pengertian. Menurut al-Jurjānī dan al-Barkatī, ḥaqqun secara bahasa berarti:

ُهُر َكَْن

ا ُغَو ْسَي َلَ يِ َّلَّا ُتِباَّثلا َوُه

ِ

.

“ Ia merupakan ketetapan yang tidak ada alasan untuk mengingkari-nya”.

Dalam Kamus al-Munawwir, kata ḥaqqun di antaranya berarti nyata, pasti, tetap, menetapkan, wajib baginya, keadilan, layak, pantas, atau patut.3 Dalam bahasa Inggris diartikan sebagai to be true, to be correct, to

1Ibn Manẓūr al-Anṣārī, Lisān al-‘Arb, Juz 11, (Kuwait: Dār al-Nawādir, 2010), hlm. 332: Lihta juga, Abd al-Karīm Zaidān, al-Mafaṣṣal fī Aḥkām al-Mar’ah wa al-Bait al-Muslim fī al-Syarī’ah al-Islāmiyyah, Juz 4, (Bairut: Mu’assasah al-Risālah, 1993), hlm. 147.

2Muḥammad ‘Amīm Barkatī, Ta’rīfāt Fiqhiyyah, (Bairut: Dār Kutb ‘Ilmiyyah, 2003), hlm. 80: Alī bin Muḥammad Jurjānī, Mu’jam Ta’rīfāt, (Tp: Dār al-Faḍīlah, 2004), hlm. 79,

3Achmad W. Munawwir dan Muhammad Fairuz, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2007), hlm. 282-283.

(31)

be right, truth, correctness, rightness, masing-masing kata tersebut

memiliki arti sama, yaitu benar atau menjadi benar.4 Jadi, kata hak (ḥaqqun) dalam bahasa Arab secara bahasa berarti benar, sesuatu yang tidak dapat diingkari, pasti atau patut.

Menurut terminologi, terdapat banyak rumusan, di antaranya disebutkan oleh al-Zuḥailī, seperti diikuti oleh Ghazaly dan kawan-kawan, bahwa hak adalah suatu hukum yang telah ditetapkan oleh syarak. Masih dalam kutipan yang sama, al-Khalif mendefinisikan hak sebagai kemaslahatan yang diperoleh secara syarak.5 Definisi lainnya dikemukakan oleh al-Zarqā, menurutnya hak dalam makna umum adalah:

ًافْيِ ْكَْت ْوَأ ًة َطْل ُس ُعْ َّشَّلا ِهِب ُرِ رَقُي ٌصا َصِتْخ

ا َوُه

ِ

.

“ Ia adalah kekhususan yang ditetapkan oleh syarak atas suatu kekuasaan atau pembebanan”.

Dalam pengertian lain, Fathi al-Duraini dikutip oleh Moneb, menyatakan bahwa hak merupakan suatu kekhususan kekuasaan terhadap sesuatu atau keha-rusan penunaian terhadap orang lain, untuk memenuhi kemaslahatan tertentu.7 Berdasarkan beberapa rumusan tersebut, dapat dipahami bahwa hak berkaitan langsung dengan kekuasaan untuk memiliki sesuatu. Jadi, hak merupakan kebe-naran yang ditetapkan syarak menyangkut kekuasaan atas sesuatu.

4Hans Wehr, a Dictionary of Modern, (New York: SLS, 1976), hlm. 191-192. 5Abdul Rahman Ghazaly, dkk., Fiqh Muamalat, Cet. 4, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2015), hlm. 46: Pengertian al-Zuḥailī tersebut juga cenderung sama seperti definisi yang dikemukakan oleh Mardani. Lihat, Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, Cet. 2, (Jakarta: Kencana Prenada Mdia Group, 2013), hlm. 66.

6Muṣṭafā Aḥmad al-Zarqā, al-Madkhal ilā Naẓariyyah al-‘Iltizām al-Āmmah fī

al-Fiqh al-Islāmī, (Damaskus: Dār al-Qalam, 1999), hlm. 19: Rumusan tersebut juga diulas dalam, Abdul Rahman Ghazaly, dkk., Fiqh Muamalat..., hlm. 46.

7Mohammad Moneb dan Islah Bahrawi, Islam dan Hak Asasi Manusia dalam

(32)

2. Konstitusi

Istilah konstitusi berasal dari bahasa latin, yaitu konstituo atau

constitutum (constituerre: Prancis, constitutie: Belanda, constitution:

Inggris), artinya undang-undang dasar. Jimly menyebutkan asal kata konstitusi yaitu constitutio. Maknanya berkaitan dengan “jus” atau “ius”, yaitu hukum dan prinsip.8 Berdasarkan makna bahasa tersebut, dapat diketahui bahwa konstitusi secara bahasa berarti prinsip yang menjadi ketentuan hukum yang umum.

Dalam bahasa Arab, disebut dengan qānūn, bentuk jamaknya

qawānīn, berarti asal, dasar, pokok, atau pangkal. Juga berarti asāsiyyun

atau dustūriyyun, yaitu undang-undang dasar.9 Yūsuf al-Qaraḍāwī mengartikan qānūn sebagai kaidah umum yang berisi hukum-hukum.10 Menurut Muhammad Muslehuddin, dikutip oleh Abdul Manan, bahwa yang dimaksud dengan qānūn adalah himpunan peraturan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan resmi di dalam satu negara, di mana negara atau komunitas tertentu menentukan sebagai sesuatu yang terikat kepada rakyatnya.11 Mengacu pada makna ini, term qānūn dalam bahasa Arab cenderung dimaknai umum untuk semua bentuk peraturan, baik undang-undang, maupun undang-undang dasar yang mengikat masyarakat.

Istilah konstitusi juga ditemukan dalam Kamus Bahasa Indonesia, istilah konstitusi berarti segala ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan (undang dasar dan sebagainya), atau

8P.N.H. Simanjuntak, Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, tt), hlm. 34: Lihat juga, Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2010), hlm. 3-5.

9Achmad W. Munawwir dan Muhammad Fairuz, Kamus al-Munawwir..., hlm. 1165: Lihat juga, Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi..., hlm. 5.

10Yūsuf al-Qaraḍāwī, Madkhal li Dirāsah al-Syarī’ah al-Islāmiyyah, (Terj: Ade Nurdin dan Riswan), (Bandung: Mizan Publika, 2010), hlm. 28.

11Abdul Manan, Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2017), hlm. 35.

(33)

undang dasar suatu negara.12 Makna yang digunakan dalam konteks ini cenderung hanya pada ketentuan undang-undang dasar sebuah negara. Hal ini senada dengan penjelasan Wheare, dikutip oleh Syahuri, bahwa konstitusi berhubungan dengan seluruh rules mengenai sistem ketatanegaraan, atau dokumen yang memuat aturan-aturan atau ketentuan tertentu yang bersifat pokok mengenai ketatanegaraan sebuah negara.13

Istilah yang digunakan di Indonesia ada dua, yaitu “konstitusi” dan “Undang-Undang Dasar”. Hal ini juga sama seperti di Belanda, yaitu groundwet (Undang-Undang Dasar), dan constitutie (konstitusi).14 Mengacu pada uraian beberapa rumusan tersebut, maka dapat ditarik satu pengertian baru bahwa konstitusi merupakan ketentuan tertulis berupa hukum-hukum dasar suatu negara yang dengannya segala aspek yang diatur mengacu pada ketentuan dasar tersebut. Atau dalam istilah lain, konstitusi adalah Undang-Undang Dasar sebuah negara.

2.2. Hak Perpolitikan dalam Konstitusi Indonesia

Konstitusi Indonesia berupa Undang-Undang Dasar 1945 memuat beberapa ketentuan dasar hak warga negara yang secara hukum sama dan seimbang. Tidak ada pembedaan berdasarkan usia, jenis kelamin, maupun budaya dan agama. Artinya, perspektif konstitusi Indonesia memandang semua warga negara memiliki hak yang sama di mata hukum. Istilah yang familiar dan populer berkembang dewasa ini yaitu “”equality before the

law”. Hal ini adalah konsekuensi dari ketentuan Undang-Undang Dasar

1945 (selanjutnya ditulis UUD 1945) sebagai konstitusi tertulis Indonesia

12Tim Redaksi, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas, 2008), hlm. 750.

13Taufiqurrahman Syahuri, Tafsir Konstitusi: Berbagai Aspek Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm. 65.

(34)

dan mengikat, bicara dalam persamaan hak tersebut dalam Pasal 27 ayat (1):

“ Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

Ketentuan di atas adalah pengejawantahan dari sikap hukum di Indonesia dalam memperlakukan sama tiap-tiap masyarakat dan warga negara. Tidak ada pembedaan berdasarkan status sosial dan lainnya. Menjelaskan ketentuan pasal tersebut, Marbun mengungkapkan apapun agamanya (kepercayaannya), profesi, kedudukan sosial (jabatan), atau suku adalah sama di muka hukum (equality before the law).15 Mohammad Moneb mengungkapkan isi pasal tersebut sebagai bentuk imparsialitas (ketidakberpihakan negara atas satu individu masyarakat) semua warga negara di mata hukum dan pemerintahan adalah sama.16 Ini berarti, semua orang, laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama atas perlindungan hukum, berbuat sesuai dengan nilai-nilai yang diakui oleh hukum, dan mendapat kesempatan yang sama yang diakui oleh hukum dalam berpartisipasi di bidang pemerintahan dan politik.

Terkait hak-hak perempuan dalam berpolitik, secara langsung bersentuhan dengan ketentuan hak keikutsertaan warga negara dalam pemerintahan. Secara tekstual, hak berpolitik memang tidak disebutkan secara tegas dalam konstitusi (UUD 1945), namun pemahaman tentang hak perpolitikan tersebut dipahami dari ketentuan adanya hak turut serta dalam pemerintahan. Ketentuan hak turut serta dalam pemerintahan disebutkan dalam Pasal 28D ayat (3), bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Menurut Sa’duddin, Anggota

15Rocky Marbun, Kiat Jitu Menyelesaikan Kasus Hukum, (Jakarta: Visis Media, 2011), hlm. 285.

(35)

Komisi II DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, seperti dikutip oleh

dakta.com, menyebutkan bahwa hak turut serta dalam pemerintahan

sebagaimana disebutkan Pasal 28D ayat (3) tersebut secara nyata negara memberikan pengakuan kepada setiap warga negara untuk ikut serta dalam pemerintahan yakni adanya hak politik, meliputi hak memilih dan dipilih.17 Intinya, konstitusi Indonesia memberi peluang yang cukup besar bagi perempuan untuk memanfaatkan hak politiknya. Perempuan bahwa dapat menempati kursi tertinggi pemerintahan, anggota dewan, dan segala bentuk unsur pemerintahan lainnya.

Penegasan hak-hak politik perempuan dibuktikan dengan telah diratifikasinya Konvensi Hak-Hak Politik Perempuan. Ketentuan dalam Konvensi PBB menurut Romany Sihite, dikutip oleh Suwarnatha, memuat tiga poin:18

1. Perempuan berhak untuk memberikan suara dalam semua pemilihan dengan syarat-syarat yang sama dengan laki-laki, tanpa suatu diskriminasi.

2. Perempuan berhak untuk dipilih bagi semua badan yang dipilih secara umum, diatur oleh hukum nasional dengan syarat-syarat yang sama dengan laki-laki tanpa ada diskriminasi.

3. Perempuan berhak untuk memegang untuk tiap-tiap jabatan publik dan menjalankan semua fungsi publik yang telah ditentukan berdasarkan ketentuan perundang-undangan, diatur oleh hukum nasional dengan syarat-syarat yang sama dengan laki-laki.

17Diakses melalui situs: http://www.dakta.com/news/1949/pengaturan-hak-politik-warga-negara, tanggal 20 Februari 2018.

18I Nyoman Ngurah Suwarnatha, “Hak Konstitusional Perempuan dalam Partisipasi Politik di Indonesia”. Jurnal Konstitusi, Volume I, Nomor 1, (Juni 2011), hlm. 30.

(36)

Berdasarkan tiga poin di atas, perempuan tidak hanya berpeluang dalam menduduki jabatan terendah dalam perpolitikan, tetapi boleh menempati posisi penting sebagai pejabat publik, orientasinya bisa dalam keberhakan untuk menduduki jabatan kepala desa, camat, bupati, gubernur, hingga menteri dan jabatan kepresidenan.

Hak perpolitikan perempuan dalam konstitusi Indonesia kemudian dijabarkan secara rinci dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Minimal, dalam konteks ini hanya disoroti dalam dua ketentuan, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan selanjutnya disingkat UU HAM, kemudian ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selanjutnya disingkat UU Pemilu.

Dalam UU HAM, hak perempuan secara khusus diatur pada “Bagian Kesembilan” tentang “Hak Wanita”, yaitu dari Pasal 45 hingga Pasal 51. Ketentuan yang secara langsung bersentuhan dengan hak politik dimuat pada Pasal 46:19

“ Sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif, harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan”.

Keterwakilan perempuan dalam bidang politik diakui meliputi seluruh bidang, termasuk dalam tiga jenis kelembagaan yaitu eksekutif (pemerintah atau presiden), legislatif (DPRD/DPR RI), dan yudikatif (bidang kehakiman). Selain pasal di atas, juga ditemukan dalam Pasal 49 UU HAM:

19UU HAM dalam konsiderannya memuat UUD 1945 sebagai dasar pembentukan pasal-pasal yang memuat Hak Azazi Manusia. Ini menunjukkan UU HAM merupakan penjabaran dari ketentuan umum konstitusi (UUD 1945).

(37)

“ Wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan, jabatan, dan profesi sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan”.

Pasal ini kemudian sebagai kekuatan yang bersifat normatif-yuridis bahwa perempuan memiliki hak untuk memilih sebagai masyarakat sipil dan hak ini harus dan wajib untuk dilindungi, serta berhak pula untuk dipilih sebagai pejabat publik dalam cakupan beberapa bidang sebelumnya telah dikemukakan. Ini artinya bahwa konstitusi Indonesia melalui UU HAM telah menegasikan hak cakupan hak perempuan dalam keterlibatannya di bidang politik. Hak ini tidak dibedakan dengan hak laki-laki, semua syarat dan ketentuan diberlakukan antara keduanya dan harus dipenuhi.

Menurut Herlambang, hak memilih dan hak dipilih bagi perempuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 UU HAM merupakan penjabaran dari ketentuan UUD 1945. Hak tersebut bersifat “statutory right”, artinya hak yang secara eksplisit tidak di atas dalam UUD 1945 namun diatur dalam undang-undang sebagai penjabarannya.20 Herlambang juga mengemukakan hak memilih dan hak dipilih sebagai sesuatu yang bersifat konstitusional telah diakui oleh Mahkamah Konstitusi yang intinya menyebutkan bahwa hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih (right to vote and right to be candidate) adalah hak yang dijamin oleh konstitusi.21 Barangkali, dengan adanya ketentuan pasal di atas menjadi acuan bahwa seluruh perempuan yang memenuhi syarat memiliki hak untuk memilih dan dipilih dalam proses politik.

Selanjutnya, regulasi praktis kedua mengatur hak perpolitikan seperti telah disinggung sebelumnya yaitu UU Pemilu. Dalam UU Pemilu

20Herlambang P. Wiratraman, dkk., Hak- Asasi Manusia: Dealektika

Universalisme VS Relativisme di Indonesia, (Yogyakarta: LkiS, 2017), hlm. 204.

(38)

ini, setidaknya keterwakilan perempuan dalam semua bidang, baik keanggotaan KPU, PPK, hingga DPR sebanyak 30%. Paling tidak, ditemukan delapan Pasal yang mengatur keterwakilan perempuan, masing-masing dapat diurai dalam poin-poin berikut:22

1. Pasal 10 ayat (7): “Komposisi keanggotaan KPU, keanggotaan KPU provinsi, dan keanggotaan KPU Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen)”.

2. Pasal 22 ayat (1): “Presiden membentuk keanggotaan tim seleksi yang berjumlah paling banyak 11 (sebelas) orang anggota dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen)”.

3. Pasal 52 ayat (3): Komposisi keanggotaan PPK memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen)”. 4. Pasal 55 ayat (3): “Komposisi keanggotaan PPS memperhatikan

keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen)”. 5. Pasal 59 ayat (4): “Komposisi keanggotaan KPPS memperhatikan

keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen)”. 6. Pasal 92 ayat (11): “Komposisi keanggotaan Bawaslu, Bawaslu

Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen)”. 7. Pasal 173 ayat (2) huruf e: “Menyertakan paling sedikit 30% (tiga

puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat”.

22Dalam konsideran UU Pemilu, memuat UUD 1945 sebagai dasar pembentukan pasal-pasal yang memuat materi hukum pemilu. Barangkali, ketentuan keterlibatan dan keterwakilan perempuan dalam bidang politik juga bagian dari pengejawantahan Konstitusi Indonesia.

(39)

8. Pasal 245: Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam pasal 243 memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen)”.23

Menurut Anggalih, keterwakilan perempuan dalam struktur politik formal atau di arena pembuat keputusan publik di segala tingkatan di Indonesia sebagaimana disajikan dalam delapan poin di atas menjadi persoalan penting bagi perempuan untuk mengartikulasikan kepentingan nya. Keberadaan keterlibatan perempuan dengan kuota 30% merupakan kebijakan afirmasi (affirmative action) terhadap perempuan dalam bidang politik setelah berlakunya perubahan UUD 1945 dimulai dengan disahkannya UU Pemilu.24 Peningkatan keterwakilan perempuan berusaha dilakukan dengan cara memberikan ketentuan agar partai politik peserta Pemilu memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% di dalam mengajukan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD.25 Intinya, keterlibatan perempuan dalam perpolitikan Indonesia adalah bagian dan pengakuan atas adanya persamaan hak bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam pemerintahan.

2.3. Konsep Siyāsah Syar’iyyah

Term “siyāsah syar’iyyah” atau dalam lafaz Arab “ ُةَّيِعْ َّشَّلا ُة َساَي ِ سلا” tersusun dari dua kata. Kata siyāsah secara bahasa berarti mengatur, mengurus, dan memerintah.26 Rachman menyebutkan kata siyāsah

23Maksud keterwakilan perempuan 30 % pada Pasal 245 di atas adalah keterwakilan dalam keanggotaan DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243.

24Anggalih Bayu Muh Kamim, “Realitas Perempuan di Parlemen, Sebuah Gambaran Upaya Mewujudkan Penguatan Keterwakilan Politik”. Dimuat dalam, Basri (peny), Perempuan Masa Kini Kumpulan Esai Keperempuanan, (Gowa: MBH, 2018), hlm. 65.

25Anggalih Bayu Muh Kamim, “Realitas Perempuan…, hlm. 65. 26Achmad W. Munawwir dan Muhammad Fairuz, Kamus..., hlm. 620.

(40)

merupakan padanan makna dari politik, atau bisa juga diartikan strategi atau taktik.27 Berdasarkan makna tersebut, istilah siyāsah menyangkut suatu strategi dalam mengatur dan menjalankan pemerintahan.

Dalam pengertian yang lebih luas, Ibn Aqīl, dikutip oleh Ibn Qayyim, menyebutkan bahwa siyāsah merupakan apa-apa yang menjadi tindakan atau perbuatan terhadap masyarakat (manusia) yang dapat mendekatkan kepada kemaslahatan dan menjauhkan dari kerusakan, meskipun tidak ada petunjuk dari Rasulullah saw., dan tidak ada pula penegasan dari wahyu (Alquran).28 Mencermati rumusan tersebut, Ibn Qayyim cenderung melihat bahwa konsep siyāsah dalam Islam berhubungan dengan pengaturan manusia, tujuan akhirnya adalah menciptakan kemaslahatan dan menolak kemudaratan.

Pendapat Ibn Qayyim tersebut sesuai dengan tujuan syariat yang dikemukakan oleh Ibn Taimiyah yang notabene merupakan guru Ibn Qayyim. Menurutnya, syariat Islam itu datang untuk menghilangkan kemudaratan (mafsadah) atau paling tidak mengurangi atau memperkecil kemudaratan. Apabila tidak memungkinkan untuk menghilangkan kemudaratan tersebut setidaknya ada usaha untuk memperkecil mudarat yang ada. Adapun hasilnya adalah untuk mendatangkan kemaslahatan dan menyempurnakannya.29 Jadi, term siyāsah berarti cara praktis yang dilakukan oleh pemerintah untuk menciptakan kemaslahatan hidup masyarakat.

27Chuzaimah Batubara, dkk., Handbook Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2018), hlm. 147: Lihat juga, Budhy Munawar-Rachman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, (Jakarta: Mizan Publika, 2006), hlm. 1824.

28Ibn Qayyim juga mengutip pendapat Imām al-Syāfi’ī yang berbeda dengan Ibn Aqīl. Ibn Aqīl sebelumnya bahwa siyāsah boleh meskipun tidak ada dalil syarak. Namun, al-Syāfi’ī menyatakan tidak ada siyāsah kecuali dengan adanya ketetapan syarak. Lihat, Ibn Qayyim al-Jauziyyah, al-Ṭurq al-Ḥukmiyyah fī al-Siyāsah al-Syar’iyyah, (Taḥqīq: Ibn Aḥmad al-Ḥamad), (Mekkah: Dār ‘Ālim al-Fawā’id, 1428), hlm. 29.

29Ibn Taimiyyah, Syarḥ Kitāb al-Siyāsah al-Syar’iyyah, (Syarḥ: Muḥammad bin Ṣāliḥ al-‘Uṡaimīn), (Bairut: Dār Ibn Ḥazm, 2004), hlm. 151.

(41)

Susunan kata kedua yaitu syar’iyyah. Term syar’iyyah atau biasa dan familiar digunakan dengan ungkapan syarī’ah berasal dari kata syara’a bentuk jamaknya adalah syarī’, secara bahasa berarti jalan ke tempat mata air, atau tempat yang dilalui air sungai. Penggunaan kata syarī’ah dalam Alquran dimaknai sebagai jalan yang jelas yang membawa kemenangan.30 Yūsuf al-Qaraḍāwī memandang makna bahasa syarī’ah yaitu menerangkan atau menjelaskan sesuatu, atau suatu tempat yang dijadikan sarana untuk mengambil air secara langsung sehingga orang yang mengambilnya tidak memerlukan alat lain untuk mengambilnya.31

Al Yasa’ Abubakar cenderung memaknainya dalam kerangka konsep, di mana syarī’ah adalah ketentuan atau konsep yang ada pada dalil sebelum diijtihadkan. Pemaknaan ini disebutkan dengan maksud untuk membedakan konsep fikih sebagai pemahaman atas dalil syarak.32 Dengan demikian, syarī’ah secara bahasa merupakan tempat atau sumber mata air, dalam konteks hukum dimaknai sebagai sumber dalil yang menjadi basis utama ijtihad.

Menurut istilah, syarī’ah adalah khitab (ketetapan) syarak (Allah Swt) yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf (orang-orang yang telah dibebani hukum, yaitu (orang-orang yang sudah baligh dan berakal) baik dalam bentuk tuntutan perintah, pilihan, maupun suatu

30Mardani, Bunga Rampai Hukum Aktual, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009), hlm. 183.

31Yūsuf al-Qaraḍāwī, Madkhal li Dirāsah..., hlm. 13.

32Lihat, Al Yasa’ Abubakar, Metode Istislahiah: Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan

dalam Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2016), hlm. 19: Pendapat Al Yasa’ Abubakar dalam membedakan makna syariah dan fikih juga diutarakan dalam pengantar Buku: “Menalar Hukum Tuhan”, karya Jabbar Sabil. Dalam hal ini, Al Yasa’ Abubakar menyatakan antara syariah dan fikih merupakan dua hal yang berbeda namun tidak dapat dipisahkan. Syariah merupakan landasan fikih, firman Allah Swt., yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf. Sementara fikih merupakan penjelasan atas syariah, atau hasil penalaran atas firman Allah dalam pembinaan yang lebih konkrit. Lihat, Jabbar Sabil, Melanar Hukum Tuhan: Akar Penalaran Ta’lili dalam Pemikiran Imam al-Ghazali, (Banda Aceh: LKAS, 2009), hlm. xv.

(42)

ketetapan.33 Pengertian semacam ini ditemukan hampir atau boleh dikatakan semua literatur ushul fikih. Mengacu pada makna tersebut, secara sederhana term “siyāsah syarī’ah” atau “siyāsah syar’iyyah” adalah politik hukum Islam yang digali atau paling tidak diterapkan tidak menyalahi nilai-nilai syariat Islam.

Berdasarkan uraian di atas, rumusan istilah siyāsah syar’iyyah secara tersendiri juga banyak ditemukan rumusannya. Di antaranya dikemukakan oleh Abd al-Wahhāb al-Khallāf, bahwa siyāsah syar’iyyah menurutnya adalah:

قيقتح لفكي ابم ةيملاسإلَا لةولدل ةماعلا نوئ شلا يربدت هي ةيعشَّلا ةساي سلاف

ىدعبي لَ امم راضلما عفدو لحاصلما

قفتي لم ناو ةيكْلا اهلوص أو ةعيشَّلا دودح

نيدتهلمجا ةم لا لاوق أو

.

“ Maka yang dimaksud dengan siyāsah syar’iyyah adalah pengaturan urusan pemerintahan Islam dengan cara mewujudkan kemaslahatan, mencegah terjadinya kerusakan melalui batasan-batasan yang ditetapkan oleh syarak dan prinsip-prinsip umum syariat, meskipun tidak ada kesepakatan para umat dan hanya menyadarkan pendapat para Mujtahid”.

Menurut Minhaji dan Kamali, dikutip oleh Kamaruzzaman, bahwa

siyāsah syar’iyyah adalah setiap kebijakan penguasa politik hendaknya

didasarkan atas ketentuan-ketentuan syariah, sebagaimana digariskan oleh Allah Swt., dan Rasul-Nya.35 Minimal, dari dua rumusan terakhir, dapat dipahami kembali bahwa siyāsah syar’iyyah merupakan satu bentuk, model, dan bagian ilmu dalam Islam berhubungan dengan cara-cara pemerintah dalam mengatur dan mensejahterakan masyarakat, menarik

33Abd al-Wahhāb al-Khallāf, ‘Ilm Uṣūl al-Fiqh, (Terj: Moh. Zuhri dan Ahmad Qarib), (Semarang: Dina Utama, 2014), hlm. 172.

34Abd Wahhāb Khallāf, Siyāsah Syar’iyyah au Niẓām Daulah

al-Islāmiyyah, (Mesir: Maṭba’ah al-Salafiyyah, 1350), hlm. 14.

35Kamaruzzaman Busmatam-Ahmad, Relasi Islam dan Negara: Perspektif

(43)

kemaslahatan dan menolak kemudaratan, yang disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah. Abd. Shomad menyebutkan siyāsah syar’iyyah merupakan salah satu pilar dari ilmu terapan.36 Dalam arti, siyāsah syar’iyyah masuk dalam satu disiplin ilmu khusus membahas bidang politik hukum Islam, yang akarnya adalah dari syariat Islam, atau paling tidak ide-idenya tidak bertentangan dengan nilai hukum dan syariat Islam. Hal ini menunjukkan konsep siyāsah syar’iyyah telah dikaji dalam satu disiplin ilmu syariah bersifat aplikatif-praktis, barangkali sama dengan disiplin ilmu ke-Islaman lainnya yang juga bersifat praktis seperti ilmu hukum keluarga Islam, hukum pidana Islam, hukum ekonomi Islam.

Menurut Ibn Qayyim, konsep siyāsah itu ada dua bentuk, yaitu

siyāsah yang memiliki unsur kezaliman, dan bentuk ini diharamkan dalam

syariat Islam. bentuk kedua adalah siyāsah yang memiliki unsur keadilan, berupa siyāsah yang dapat memunculkan kebenaran dari kezaliman.37 Kiranya, dua batasan inilah yang menjadi acuan dalam penerapan siyāsah

syar’iyyah. Konsep siyāsah yang diakui dalam Islam adalah siyāsah syar’iyyah. Tujuannya adalah bagaimana pemerintah sedapat mungkin

memelihara masyarakat yang berada di bawah kekuasaannya berada dalam keadaan baik, terciptanya keadilan atau paling tidak ada niat baik untuk menciptakan keadilan dalam masyarakat.

Muhammad Iqbal menyebutkan setidaknya ada empat dasar dari konsep siyāsah syar’iyyah:38

a. Bahwa siyāsah syar’iyyah berhubungan dengan pengurusan dan pengaturan kehidupan manusia.

36Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum

Indonesia, Edisi Revisi, Cet. 2, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm. 21.

37Ibn Qayyim al-Jauziyyah, al-Ṭurq al-Ḥukmiyyah..., hlm. 7-8.

38Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Cet. 2, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2016), hlm. 6.

(44)

b. Pengurusan dan pengaturan tersebut dilakukan oleh pemegang kekuasaan (ulil amri).

c. Tujuan pengaturan tersebut adalah untuk menciptakan kemaslahatan dan menolak kemudharatan.

d. Pengaturan tersebut tidak boleh bertentangan dengan roh atau semangat Islam yang universal.39

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa konsep siyāsah

syar’iyyah pada prinsipnya ditujukan dalam kaitan dengan cara dan upaya

pemerintahan untuk mensejahterakan masyarakat. Hal ini berarti konsep

siyāsah syar’iyyah bukan sekedar cara untuk mendapatkan kursi

kepemimpinan, jabatan pembantu pemerintahan, tetapi jauh dari itu untuk menciptakan keadilan dan kemaslahatan dalam masyarakat.

Konsep siyāsah syar’iyyah tidak berhenti pada pemaknaan, mengetahui tujuan-tujuan politik Islam, tetapi pembahasannya lebih jauh dan menyentuh hal-hal yang bersifat teknis, seperti bagian-bagian dan cara menata negara, pembentukan pembantu negara, lembaga-lembaga yang ada di dalamnya, serta kategori pihak-pihak yang dapat ikut masuk dalam pemerintahan. Untuk kategori terakhir, yaitu pihak yang ikut masuk dalam pemerintahan, barangkali mengacu pada jenis kelamin baik laki-laki maupun perempuan. Hanya saja, yang disoroti di sini adalah apakah hak perempuan sama dengan hak laki-laki dalam pemerintahan? Sebab, ada bagian-bagian yang mungkin dapat dilaksakan oleh jenis kelamin tertentu, dan tidak bisa dilakukan oleh jenis yang lain, atau bahkan antara laki-laki dan perempuan secara fisiki maupun mental dapat menjalankan dan ikut untuk mendapat hak yang sama, misalnya pemerintahaan bidang pendidikan dan kesehatan. Untuk kategori jabatan pembantu pemerintahan bidang pendidikan dan kesehatan ini barangkali lebih tepat untuk diambil

Referensi

Dokumen terkait

Demikian pula dalam partisipasi penyusunan anggaran, jika tujuan kelompok dengan kohesivitas tinggi tidak sesuai dengan tujuan manajemen organisasi maka hal

Jika diperhatikan pendapat Bawengan tersebut diatas, maka timbul kesan bahwa pembunuhan yang dimaksud dalam Pasal 339 KUHPidana dilakukan karena terpaksa, akan

Belajar yang efektif adalah proses belajar mengajar yang berhasil guna, dan proses pembelajaran itu mampu memberikan pemahaman, kecerdasan, ketekunan,

The associated widget changes its view and then invokes another Tcl script (one of its configuration options) that tells the scrollbar exactly what information is now displayed in

Masalah yang akan dijelaskan dalam penelitian ini adalah bagaimana merancang simulasi sistem pengaturan beban tenaga listrik berbasism SCADA dan merancang HMI yang

Database menurut Hartono (2005:217) merupakan “kumpulan dari data yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya, tersimpan disimpan luar komputer dan digunakan

Berdasarkan dari semua hal yang sudah penulis coba teliti dan ungkapkan di atas, maka semakin jelas bahwa sesungguhnya posisi Pos-pos pelayanan GKI Kwitang tidak

Berkaitan dengan hal di atas, Doni Koesoema mengandaikan adanya pendekatan yang integral diantara empat agen utama pendidikan, yaitu keluarga, lembaga pendidikan,