15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana hakikatnya merupakan istilah yang berasal dari bahasa Belanda : strafbaarfeit. Kemudian arti kata strafbaarfeit diterjemahkan kedalam berbagai terjemahan bahasa Indonesia. Beberapa kata yang digunakan untuk menerjemahkan kata strafbaarfeit menurut sarjana – sarjana Indonesia antara lain, yaitu seperti : tindak pidana, delict, dan perbuatan pidana.
Pendapat Simons mengatakan bahwa, “strafbaarfeit (bahasa Belanda) diartikan sebagai perbuatan yang diancam pidana, bersifat melawan hukum atau melawan peraturan perundang – undangan yang berlaku, berhubungan dengan kesalahan, perbuatannya dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab”.11
Sedangkan Van Hammel mengatakan bahwa, “strafbaarfeit merupakan perbuatan orang yang dirumuskan dalam hukum atau wet, yang bersifat melawan hukum atau peraturan yang berlaku, dan patut dipidana, serta perbuatannya dilakukan dengan kesalahan”.
Dari kedua pendapat ahli diatas dapat disimpulkan bahwa strafbaarfeit pada dasarnya mengandung pengertian sebagai berikut :
1. Kata feit dalam strafbaarfeit memiliki arti kelakuan atau tingkah laku. 2. Bahwa pengertian strafbaarfeit dihubungkan dengan kesalahan orang
yang mengadakan kelakuan tersebut.
2. Unsur – unsur Tindak Pidana
Untuk menguraikanmsuatu tindak pidana terdapat 2 (dua) unsur, yaitu sebagai berikut :
a. Unsur Objektif
Unsur objektif merupakan unsur yang ada di luar pelaku, dapat berupa, contohnya :
i. Perbuatan, baik dalam arti berbuat maupun tidak berbuat.
ii. Akibat, yang menjadi syarat mutlak dalam tindak pidana materiil. iii. Keadaan atau masalah - masalah tertentu yang dilarang dan
diancam dalam undang- undang.12
Contoh dari unsur ini yang berupa perbuatan adalah seperti perbuatan yang dilarang dan diancam undang-undang, seperti yang disebutkan didalam Pasal 359 dan 360 KUHP. Contoh dari unsur objektif ini yang berupa akibat adalah akibat-akibat yang dilarang, dan diancam oleh undang-undang, sekaligus merupakan syarat-syarat mutlak dalam tindak pidana. Antara lain disebutkan dalam Pasal 359 dan 360 KUHP. Serta contoh yang berupa keadaan yang dilarang dan
diancam oleh undang-undang adalah seperti yang disebut dalam Pasal 361 KUHP.
b. Unsur Subjektif
Yang dimaksud dengan unsur subjektif adalah unsur yang terdapat dalam diri sang pelaku yang dapat berupa, misalnya :13
i. Hal tersebut dapat dipertanggung jawabkan oleh seseorang yang melakukan suatu tindak pidana (pertanggung jawaban pidana). ii. Kesalahan atau dalam bahasa Belanda disebut dengan schuld yang
berarti seseorang mampu bertanggung jawab apabila dalam diri seseorang tersebut memenuhi tiga syarat, yaitu sebagai berikut : 1. Seseorang tersebut harus dapat menilai perbuatannya (baik itu
perbuatan baik dan buruk).
2. Seseorang tersebut harus dapat menentukan kehendak atas perbuatan yang telah ia lakukan.
3. Seseorang tersebut harus dapat menyadari perbuatan mana yang dilarang/tidak deperbolehkan dan tidak dilarang menurut undang-undang.
Lalu kesalahan atau schuld didalam hukum pidana dibedakan menjadi dua bentuk atau bagian yaitu dolus atau opzet atau kesengajaan, dan culpa atau ketidaksengajaan.
B. Tinjauan Umum Kesalahan 1. Pengertian Kesalahan
Kesalahan merupakan dasar penjatuhan pidana bagi orang yang melakukan tindak pidana. Pergeseran orientasi hukum pidana dari hukum pidana yang hanya berorientasi pada perbuatan (pidana) kearah hukum pidana yang juga berorientasi pada orang (yang melakukan perbuatan pidana), merupakan titik awal masuknya unsur kesalahan sebagai dasar pertimbangan dalam penjatuhan pidana yang sampai sekarang tetap dianut.14
Agar orang yang melakukan perbuatan pidana itu dapat dijatuhi pidana, dalam pengertian dimintai pertanggung jawaban pidana, masih perlu adanya syarat bahwa orang yang melakukan perbuatan pidana itu mempunyai kesalahan atau bersalah.15
Jadi, untuk menentukan apakah orang yang melakukan perbuatan pidana itu kemudian dijatuhi pidana atau tidak sebagai bentuk pertanggung jawaban pidana hal ini sangat tergantung atas persoalan apakah dalam melakukan perbuatan tersebut orang itu mempunyai kesalahan atau tidak. Karena, didalam prinsip/asas pertanggung jawaban dalam hukum pidana adalah “Tiada pidana tanpa kesalahan”.
Didalam buku Asas – Asas Hukum Pidana karangan Moeljanto yang menyebutkan pendapat Simons, kesalahan adalah keadaan batin
14 Tongat, 2012, Dasar – Dasar Hukum Pidana, Malang, UMM Press, Op.Cit, Hal. 197 15 Ibid
(psychis) yang tertentu dari si pembuat dan hubungan antara keadaan batin (dari si pembuat) tersebut dengan perbuatannya yang sedemikian rupa, sehingga si pembuat dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.16
Untuk adanya kesalahan terdapat dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu :
a. Kesalahan harus terdapat keadaan batin dari si pembuat/pelaku. Keadaan batin yang tertentu itu adalah keadaan batin yang normal, yaitu keadaannbatin atau jiwa yang tidak cacattbaik dalam pertumbuhannya maupun karena terganggu oleh suatu penyakit.
b. Kesalahannjuga harus terdapat hubungan antara keadaan batin si pelaku dengan perbuatannya, sehingga si pembuat dapatddicela karena perbuatannya itu.
2. Pengertian Dewasa
Dalam berbagai pandangan hukum, ukuran umur seseorang dinyatakan dewasa memiliki pandangan yang berbeda. Yang dimaksud dewasa adalah dimana pada saat itu umur seseorang tersebut dinyatakan cakap hukum (legal capacity). Terdapat beberapa golongan orang dalam hukum yang menyatakan tidak cakap atau kurang cakap untuk bertindak sendiri dalam melakukan perbuatan – perbuatan hukum, maka mereka harus diwakili atau dibantu orang lain.17
16 Moeljanto, 2008, Asas – asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, Op.cit, Hal. 158 17 Kansil, 1999, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Balai Pustaka, Hal. 5
Dalam peristilahan tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian cakap hukum dalam pandangan hukum menggunakan terminologi yang berbeda – beda dan tidak semua orang diperbolehkan untuk bertindak sendiri dalam melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai subjek hukum. Dalam sudut pandang hukum pidana, usia dewasa dapat dilihat dalam ketentuan pada Pasal 45 dan 46 Kitab Undang – undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu bahwa mereka yang belum cukup umur (minderjarig) adalah yang belum berusia 18 tahun (dibawah umur 18 tahun). Jadi, usia dewasa dalam Hukum Pidana adalah mereka yang telah memasuki usia 18 tahun dan cakap hukum dapat diancam hukum pidana apabila seseorang yang sudah atau telah berumur 18 tahun yang sehat akan akal pikirannya. Mereka yang telah berumur 18 tahun dapat dijatuhi sanksi pidana jika melakukan perbuatan pidana.
3. Kemampuan Bertanggungjawab
a. Batasan Kemampuan Bertanggungjawab
Salah satu syarat untuk adanya pertanggungjawaban dalam hukum pidana adalah adanya “kemampuan bertanggungjawab”, artinya seseorang baru dapat dimintai pertanggungjawaban dalam hukum pidana apabila orang itu dianggap “mampu bertanggungjawab”.
Prinsip pertanggungjawaban pidana didasarkan pada asas kesalahan (asas culpabilitas) yang menyatakan bahwa “tiada pidana tanpa kesalahan”. Yang artinya, seseorang baru dapat dimintai pertanggungjawaban dalam hukum pidana apabila orang tersebut telah
melawan hukum dan dalam diri orang tersebut terdapat “kesalahan”. Namun, apabila dalam diri orang tersebut tidak terdapat “kesalahan” maka orang tersebut tidak dapat dimintai pertanggung jawaban pidana.
Van Hamel berpendapat bahwa, “kemampuan bertanggung jawab merupakan suatu keadaan yang normal dan kedewasaan secara psikis yang membuat seseorang itu mempunyai tiga macam kemampuan”, yaitu :
1. Mampu untuk mengerti akan maksud yang sebenarnya dari apa yang ia telah lakukan.
2. Mampu untuk menyadari, bahwa tindakannya itu dapat atau tidak dapat dibenarkan oleh masyarakat.
3. Mampu untuk menentukan kehendak terhadap apa yang ingin ia lakukan.18
Untuk dapat dikatakan adanya kemampuan bertanggung jawab pada seseorang, maka keadaan jiwa orang itu haruslah normal baik dalam fungsi maupun keadaannya. Maka dari itu untuk adanya kemampuan bertanggungjawab diperlukan dua syarat yaitu fungsi batin/jiwanya normal dan keadaan batin/jiwanya normal.
b. Pertanggung jawaban Pidana
Pertanggung jawaban pidana adalah suatu bentuk untuk menentukan apakah seorang tersebut yaitu pelaku, tersangka atau
terdakwa dapat dipertanggung jawabkan atas suatu tindak pidana yang telah terjadi atau yang telah ia lakukan. Dengan kata lain pertanggung jawaban pidana adalah suatu bentuk yang menentukan apakah seseorang tersebut dibebaskan atau dapat dipidana.
Roeslan Saleh berpendapat bahwa, “pertanggung jawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu”. Yang dimaksud celaan objektif adalah perbuatan yang bertentangan atau dilarang oleh hukum, baik hukum materiil dan hukum formil. Sedangkan celaan subjektif adalah melakukan perbuatan yang dilarang atau bertentangan dengan hukum.19
C. Tinjauan Umum Kealpaan/Kelalaian 1. Pengertian Kealpaan/Kelalaian
Kelalaian, kesalahan, kurang hati-hati, atau kealpaan didalam hukum pidana disebut dengan culpa. Arti culpa adalah “kesalahan pada umumnya”, tetapi dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, yaitu “suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat seperti kesengajaan, yaitu kurang berhati-hati sehingga akibat yang tidak disengaja terjadi”.20
19 Roeslan Saleh, 1986, Pikiran – Pikiran Tentang Pertanggung Jawaban Pidana, Jakarta, Ghalia
Indonesia, Hal. 33
20 Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H., 2016, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung,
Jan Remmelink berpendapat bahwa “Pada intinya, culpa mencakup kurang (cermat) berpikir, kurang pengetahuan, atau bertindak kurang terarah”. Menurut Jan Remmelink, culpa di sini jelas “merujuk pada kemampuan psikis seseorang dan karena itu dapat dikatakan bahwa culpa berarti tidak atau kurang menduga secara nyata (terlebih dahulu kemungkinan munculnya) akibat fatal dari tindakan orang tersebut – padahal itu mudah dilakukan dan karena itu seharusnya dilakukan”.21
2. Kealpaan yang Disadari dan Kealpaan yang Tidak Disadari
Dalam kealpaan yang disadari si pelaku dapat menyadari tentang apa yang dilakukan beserta akibatnya, akan tetapi ia percaya dan berharap, bahwa akibat (buruk) itu tidak akan terjadi22. Berbeda dengan “kesalahan yang disadari” dimana pelaku “menyadari“ terhadap apa yang dilakukannya beserta akibatnya.
Kesalahan yang tidak disadari yaitu pelaku mekakukan suatu perbuatan dengan “tidak menyadari” kemungkinan akan timbulnya akibat, meskipun “seharusnya“ ia dapat menduga sebelumnya. Dengan kata lain, ia tidak memperhitungkan adanya kemungkinan akan timbulnya akibat yang dilarang dan diancam pidana.23
21 Jan Remmelink, 2003, Hukum Pidana, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, Hal. 177 22 Sudarto, Diktat Hukum Pidana Jilid I A-B, Op.cit, Hal. 42
3. Istilah Kealpaan/Kelalaian dalam KUHP
Beberapa istilah kealpaan yang digunakan dalam KUHP yaitu : Karena kealpaannya. Istilah ini misalnya dapat dijumpai dalam beberapa ketentuan KUHP, antara lain :
a. Pasal 359 KUHP, yang menyatakan :
“Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”.
b. Pasal 360 KUHP, yang menyatakan :
(1) “Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat Iuka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”.
(2) “Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain Iuka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah”.
D. Tinjauan Umum Profesi Tukang Gigi 1. Pengertian Tukang Gigi
Tukang Gigi adalah pekerja yang melakukan pekerjaan di bidang kesehatan gigi, tanpa mempunyai ijazah resmi Dinas atau Departemen Kesehatan atau lembaga yang di akui oleh Dinas Kesehatan atau Departemen Kesehatan.24
Di dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2014 tentang Pembinaan, Pengawasan dan Perizinan Pekerjaan
Tukang Gigi, yang berbunyi : “Tukang gigi adalah orang yang mampu membuat dan memasang gigi tiruan lepasan”.25
Menurut hemat penulis, gigi tiruan lepasan adalah gigi tiruan yang dapat dilepas pasang, dan tidak menempel pada rahang secara permanen (bersifat temporer). Menurut KBBI arti dari kata temporer adalah bersifat sementara.
2. Tugas dan Kewenangan Tukang Gigi
Tugas dan Kewenangan Tukang Gigi diatur dalam Permenkes No. 39 Tahun 2014 tentang Pembinaan, Pengawasan dan Perizinan, Pekerjaan Tukang Gigi, dengan pasal – pasal sebagai berikut :
1) Pasal 2 ayat (1) Permenkes No. 39 Tahun 2014
“Semua Tukang Gigi yang menjalankan pekerjaan Tukang Gigi wajib mendaftarkan diri kepada pemerintah daerah kabupaten/kota atau dinas kesehatan kabupaten/kota setempat untuk mendapat Izin Tukang Gigi”.
2) Pasal 6 ayat (2) Permenkes No. 39 Tahun 2014
Dimana pekerjaan tukang gigi tersebut hanya berupa :
a. “Membuat gigi tiruan lepasan dan atau penuh yang terbuat dari bahan heat curing acrylic yang memenuhi ketentuan persyaratan kesehatan”.
b. “Memasang gigi tiruan lepasan sebagian dan atau penuh yang terbuat dari bahan heat curing acrylic dengan tidak menutupi sisa akar gigi”.
3) Pasal 9 Permenkes No. 39 Tahun 2014
Tukang gigi dilarang :
a. “Melakukan pekerjaan selain kewenangan yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2)”.
b. “Mewakilkan pekerjaannya kepada orang lain”.
25 Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2014 tentang Pembinaan,
c. “Melakukan promosi yang mencantumkan pekerjaan selain yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2)”.
d. “Melakukan pekerjaan secara berpindah – pindah”.
Dalam Pasal tersebut, tukang gigi dilarang melakukan pekerjaan selain kewenangan yang di atur dalam Pasal 6 ayat (2), dalam pasal tersebut menyebutkan bahwa “Pekerjaan tukang gigi hanya membuat gigi tiruan lepasan dan atau penuh yang terbuat dari bahan heat curing acrylic”.
Tukang gigi dilarang mewakilkan pekerjaannya kepada orang lain, maka dapat disimpulkan bahwa tukang gigi sebagai pelaku usaha tidak boleh memberikan atau mewakilkan pekerjaannya kepada orang lain atau pekerjaannya tersebut dikerjakan orang lain selain dirinya.
Tukang gigi juga dilarang untuk melakukan promosi dengan mencantumkan pekerjaan selain yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2) seperti yang di jelaskan diatas. Contohnya seperti memasang papan reklame yang seolah – olah tukang gigi tersebut seperti dokter gigi, yaitu seperti menerima jasa pemasangan kawat gigi, venner gigi, dan memasang gigi tiruan secara permanen dalam papan promosi atau papan reklame tersebut.
Melakukan pekerjaannya secara berpindah – pindah, dalam hal ini yaitu tukang gigi tersebut dalam menjalankan pekerjaannya melakukan berpindah – pindah tempat, dari tempat satu ke tempat lainnya, dan tidak memiliki tempat yang tetap untuk menjalankan pekerjaannya sebagai tukang gigi.
E. Hak dan Kewajiban Konsumen 1. Pengertian Konsumen
Menurut Pasal 1 angka 2 Undang – Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah “Setiap orang pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”26.
Menurut Az Nasution, konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan secara sah dan menggunakan barang atau jasa untuk suatu kegiatan tertentu27.
Terkait dengan penelitian ini, yang membuat atau memasang gigi tiruan adalah tukang gigi, sedangkan konsumen adalah yang memesan dan menggunakan jasa tukang gigi dalam pembuatan gigi tiruan.
2. Hak Konsumen
Hak konsumen diatur di dalam Pasal 4 Undang – undang No. 8 Tahun 1999, yang menyebutkan sebagai berikut :
1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
26 Lihat Pasal 1 angka 2 Undang – Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 27 Az. Nasution, 1995, Konsumen dan Hukum : Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum pada
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Menurut Sudikno Martokusumo, Hak merupakan kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum. Kepentingan dalam arti tersebut merupakan tuntutan yang diharapkan untuk dipenuhi. Jadi, dapat dikatakan bahwa hak merupakan suatu tuntutan yang pemenuhannya dilindungi oleh hukum.28
Menurut hemat penulis, dalam penjelasan – penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa konsumen harus mengetahui atas hak – haknya sebelum memakai barang atau jasa yang akan diperjanjikan antara konsumen dan pelaku usaha.
3. Kewajiban Konsumen
Kewajiban Konsumen diatur didalam Pasal 5 Undang – Undang No. 8 Tahun 1999, yang menyebutkan bahwa :
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
28 Janus Sidabalok, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung, Citra Aditya
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Dalam pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa kewajiban konsumen sebelum melakukan suatu perjanjian harus membaca dan mengikuti petunjuk informasi pemakaian atau pemanfaatan barang dan jasa untuk keamaan dan keselamatan konsumen yang memakai barang dan jasa tersebut.
Kewajiban konsumen juga harus beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang atau jasa antara konsumen dengan pelaku usaha, serta membayar uang sesuai dengan kesepakatan antara konsumen dan pelaku usaha.
Apabila dalam perjanjian tersebut terdapat masalah maka konsumen wajib untuk mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
F. Perjanjian Antara Tukang Gigi dan Konsumen 1. Pengertian Perjanjian
Pengertian Perjanjian diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.29
Menurut kamus hukum, perjanjian adalah permufakatan, persetujuan antara dua orang atau pihak untuk melaksanakan sesuatu. Jika diadakan secara tertulis maka hal tersebut dinamakan kontrak.30
Pengertian perjanjian menurut para ahli seperti M. Yahya Harahap, yang menyebutkan bahwa : “Perjanjian merupakan hubungan hukum yang menyangkut dua orang atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan pihak lain tentang suatu prestasi”.31
Sedangkan menurut Syahmin AK, bentuk perjanjian berupa dalam suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji – janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.32
Dalam pengertian – pengertian di atas dapat di simpulkan bahwa, perjanjian merupakan hubungan antara satu orang atau lebih yang telah melakukan perjanjian, dalam perjanjian tersebut dapat berupa suatu perkataan yang telah diperjanjikan atau perjanjian tersebut dapat dilakukan dengan cara tertulis, dalam hal tertulis maka perjanjian tersebut disebut dengan perjanjian kontrak. Sedangkan prestasi adalah pencapaian atau keberhasilan atas apa yang telah di perjanjikan.
2. Jenis – jenis Perjanjian
Perjanjian dapat dibedakan dengan berbagai cara. Dalam penelitian ini penulis berpandangan terhadap perjanjian atas beban, yaitu dalam Pasal 1314 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa : “Suatu perjanjian atas
30 Subekti, 2005, Kamus Hukum, Jakarta, Pranadnya Paramita, Hal. 89
31 M. Yahya Harahap, 1986, Segi – segi Hukum Perjanjian, Bandung, Perc : Alumni, Hal. 6 32 Syahmin, 2006, Hukum Kontrak Internasional, Jakarta, Raja Grafindo Persada, Hal. 140
beban adalah suatu perjanjian yang mewajibkan masing – masing pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu”.33
Dalam Pasal tersebut perjanjian atas beban merupakan perjanjian terhadap prestasi dari pihak satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain dan diantara kedua prestasi itu terdapat hubungannya menurut hukum.
Pada penelitian ini menurut penulis, dalam Pasal 1314 KUHPer yang memberikan sesuatu adalah konsumen dan yang berbuat sesuatu adalah tukang gigi selaku pelaku usaha. Dalam perjanjian tersebut terdapat prestasi, yaitu suatu pencapaian atau keberhasilan atas apa yang telah di perjanjikan.
Sedangkan kontra prestasi adalah prestasi atau hal – hal yang harus dilakukan seseorang atau kelompok terhadap prestasi yang telah diberikan oleh pihak lain sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat. Bentuknya dapat bermacam – macam, dapat berupa uang, barang atau jasa.34
3. Syarat Sah Perjanjian
Syarat Sah Perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUHPer, Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 syarat, yaitu :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. 3. Suatu hal tertentu.
4. Suatu sebab yang halal.
Syarat ke 1 dan 2 dinamakan syarat subjektif, karena berkenaan dengan para subjek yang membuat dalam perjanjian itu. Sedangkan syarat
33 Lihat dalam Pasal 1314 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata
34http://www.definisimenurutparaahli.com – Pengertian Kontra Prestasi, diakses pada 8 Januari
ke 3 dan 4 dinamakan syarat objektif karena berkenaan dengan objek dalam perjanjian tersebut.
4. Para Pihak dalam Perjanjian
Para pihak dalam perjanjian dapat dilihat terlebih dahulu atas apa yang telah diperjanjikan. Dalam penelitian ini yang melakukan perjanjian adalah antara Tukang Gigi sebagai pelaku usaha dan konsumennya.
5. Cidera Janji
Cidera Janji atau wanprestasi adalah apabila kesepakatan perjanjian tidak terpenuhi. Bentuk – bentuk cidera janji biasanya terjadi dalam hal : a. Tidak melaksanakan prestasi sama sekali.
b. Melaksanakan tetapi tidak tepat waktu.
c. Melaksanakan tetapi tidak seperti yang diperjanjikan.
d. Melaksanakan yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.35 6. Klausula Eksonerasi
Arti Eksonerasi (exoneration) dalam buku “Terminologi Hukum Inggris – Indonesia” yang diartikan oleh I.P.M Ranuhandoko B.A yaitu membebaskan seseorang atau badan usaha dari suatu tuntutan atau tanggung jawab. Maka secara sederhana Klausula Eksonerasi ini dapat diartikan sebagai pengecualian kewajiban tanggung jawab atau tanggung jawab dalam perjanjian.
Didalam buku Aneka Hukum Bisnis karangan Mariam menyebutkan bahwa Klausula Eksonerasi adalah Klausula yang dicantumkan dalam suatu perjanjian, dimana salah satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya untuk membayar ganti
rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melawan hukum.36
Klausula tersebut merupakan klausula yang sangat merugikan konsumen yang pada umumnya memiliki posisi lemah jika dibandingkan dengan pelaku usaha. Karena beban tersebut yang seharusnya di pikul oleh pelaku usaha, namun menjadi beban konsumen karena adanya klausula tersebut.