• Tidak ada hasil yang ditemukan

VII. PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN HUTAN KEMASYARAKATAN DI PULAU LOMBOK 7.1. Bentuk, Tipe dan Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "VII. PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN HUTAN KEMASYARAKATAN DI PULAU LOMBOK 7.1. Bentuk, Tipe dan Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

7.1. Bentuk, Tipe dan Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Hutan Kemasyarakatan

Partisipasi merupakan sebuah proses bertingkat dari pendistribusian hak masyarakat dalam pengambilan keputusan, sehingga mereka dapat memperoleh kontrol yang lebih besar pada hidup mereka sendiri. Partisipasi sesungguhnya lebih dari sekedar kekuatan karena merupakan sinergi bersama untuk mencapai lebih dari yang dimiliki dari aktivitas pembelajaran sosial, pemberdayaan, ekonomi bersama dan spirit ekonomi sebagai suatu infrastruktur moral. Mitchell

et al. (2003) menyatakan bahwa ada beberapa alasan penting partisipasi

masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup yaitu merumuskan persoalan menjadi lebih efektif, merumuskan alternatif penyelesaian masalah yang secara sosial dapat diterima, mendapatkan informasi dan pemahaman diluar jangkauan ilmiah, perasaan memiliki terhadap rencana dan penyelesaiaan dan memudahkan penerapannya.

Arnstein dalam Setyowati (2006) mengidentifikasi tingkat partisipasi disusun berdasarkan berdasarkan kewenangan yang diberikan kepada partisipan sebagai berikut: Manipulasi (manipulation), b. Terapi (therapy), c. Informasi (informing), d. Konsultasi (consultation), e. Placation, f. Kemitraaan (partnership), g. Pendelegasian wewenang (delegated power) dan h. Kontrol masyarakat (citizen power). Tingkatan partisipasi sedang (tokenims) bila partisipasi masyarakat dalam tahapan Informasi, Konsultasi dan Placation. Kemudian tingkatan partisipasi rendah (non participation) bila tipe partisipasi berada pada tahapan Manipulasi dan Terapi. Sementara itu, tahapan partisipasi tinggi adalah Kemitraaan (partnership), g. Pendelegasian wewenang (delegated

power) dan h. Kontrol masyarakat (citizen power).

Dari hasil wawancara mendalam dengan staf dinas kehutanan bahwa pemahaman partisipasi lebih pada pelibatan masyarakat dalam implementasi pembangunan HKm dan bukan termasuk pelibatan masyarakat dalam perencanaan dan monitoring. Situasi ini memberikan dampak terhadap partisipasi masyarakat pada tahapan program pembangunan HKm. Terbatasnya pemahaman staf tersebut berdampak pada rendahnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan program

(2)

pembangunan HKm dan lebih terkonsentrasi pada kegiatan implementasi. Bentuk kegiatan Dinas Kehutanan lebih bersifat teknis dan pembinaan pada kelompok pengelola HKm dan khususnya pada teknologi tanaman kayu hutan dan MPTS.

Namun kehadiran LSM dalam pembangunan HKm yang merupakan keharusan dari program pembangunan HKm memberikan warna pada kedalaman partisipasi masyarakat. LSM berperan dalam mendampingi masyarakat dalam identifikasi pencadangan areal dan mendampingi masyarakat dalam membangun kelembagaan HKm. Pada proses pendampingan ini terjadi proses pembelajaran pada masyarakat khususnya dalam proses pengambilan keputusan dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan HKm.

Melalui kehadiran LSM dalam pembangunan HKm berdampak pada tipe, bentuk dan tingkat partisipasi masyarakat. Meskipun kondisi partisipasi masyarakat yang kurang aktif, namun bentuk partisipasi adalah kolaboratif. Maknanya adalah setiap keputusan yang diambil selalu dikomunikasikan dengan pihak-pihak lainnya termasuk dengan sesama anggota kelompok pengelola HKm. Dengan demikian, tingkat atau kedalam partisipasi tersebut merupakan output dari hasil kompromi, dan hal inilah yang nampak sekali dari peranan pendampingan LSM dalam pembangunan HKm di Pulau Lombok.

Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan HKm dipengaruhi juga oleh faktor dari dalam dan faktor dari luar. Faktor dari dalam individu berupa faktor sosial ekonomi, sedangkan faktor luar berupa kelembagaan yang terbangun oleh pemerintah dan kelembagaan sosial yang ada dalam masyarakat pesanggem. Faktor-faktor tersebut juga cukup berpengaruh dalam membangun bentuk, tipe dan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan HKm di Pulau Lombok.

Kelembagaan yang terbangun dapat menjadi penghadang (barrier) partisipasi masyarakat secara langsung dalam pembangunan HKm, sehingga kondisi tersebut membentuk terjadinya partisipasi tidak langsung (indirect

participation) atau partisipasi perwakilan. Peranan kelembagaan lokal masih

terbatas hanya pada tingkatan wadah informasi dan komunikasi dari program HKm. Sementara itu, faktor sosial ekonomi masyarakat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap bentuk, tipe dan tingkatan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan.

(3)

Realitasnya partisipasi masyarakat memiliki berbagai bentuk dan tipe serta tingkatan. Kondisi ini tergantung dari kepentingan program dan kondisi sosial ekonomi masyarakat serta kelembagaan yang terbangun, baik kelembagaan formal maupun kelembagaan tradisional (pengetahuan lokal). Hasil penelitian menemukan tiga bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan HKm yaitu aktif, kurang aktif dan tidak aktif. Sementara itu, ditemukan juga empat tipe partisipasi masyarakat dalam pembangunan HKm yaitu partisipasi kontraktual, partisipasi konsultatif, partisipasi kolaboratif dan partisipasi kolega. Selain itu, ditemukan tiga tingkatan partisipasi yaitu rendah, sedang dan tinggi. Tingkatan partisipasi ini menggambarkan kewenangan masyarakat dalam pengambilan keputusan.

Berdasarkan keaktifannya partisipasi masyarakat dibagi menjadi bentuk aktif, kurang aktif dan tidak aktif. Hasil penelitian menemukan ketiga bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan HKm di Lombok. Namun kondisi bentuk partisipasi tersebut sebagian besar berada dalam kondisi tidak aktif. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan Hutan Kemasyarakatan diwujudkan dalam tiga tahapan yaitu perencanaan, pelaksanaan/implementasi dan monitoring dan evaluasi. Program perencanaan yang terdiri dari kegiatan sosialisasi, penataan batas, pembentukan kelembagaan, pemberdayaan dan pengurusan ijin. Sementara itu, program implementasi terdiri dari kegiatan penataan areal, penyusunan rencana kerja, penanaman/pemanfaatan lahan, rehabilitasi hutan dan perlindungan kawasan hutan. Program monitoring terdiri dari kegiatan pengawasan/monitoring dan evaluasi. Bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan HKm disajikan pada tabel berikut ini.

(4)

Tabel 29. Bentuk Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan HKm pada Kawasan Hutan Lindung di Pulau Lombok

Bentuk Partisipasi

Perencanaan Implementasi Monitoring Sampel (n) Persen (%) Sampel (n) Persen (%) Sampel (n) Persen (%) 1. Aktif 13 12,10 69 64,50 20 18,70 2. Kurang Aktif 29 27,10 35 32,70 35 32,70 3. Tidak Aktif 65 60,70 3 2,80 52 48,60 Total 107 100,00 107 100,00 107 100,00

Tabel di atas memberikan gambaran bahwa bentuk partisipasi masyarakat pada perencanaan dan monitoring sebagian besar pada posisi tidak aktif, sedangkan dalam implementasi sebagian besar berada pada posisi aktif. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bentuk partisipasi masyarakat tersebut kurang aktif dan tidak aktif pada kegiatan perencanaan dan monitoring, namun sebaliknya masyarakat pesanggem aktif pada kegiatan implementasi.

Adanya perbedaan bentuk partisipasi masyarakat pada setiap program HKm berkaitan dengan sifat dari program. Pada kegiatan perencanaan dan evaluasi, pelibatan masyarakat umumnya berbentuk perwakilan, sehingga yang terlibat umumnya berupa pengurus kelompok dan ketua blok, namun dapat pula anggota kelompok lainnya secara sukarela berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Berbeda keadaanya dengan kegiatan implementasi yang memiliki karakteristik yaitu semua anggota atau petani pesanggem dilibatkan dalam kegiatan.

Kotak 13. Proses Pelibatan dan Pengambilan Keputusan Pesanggem

dalam Pembangunan HKm di Pulau Lombok.

Hasil wawancara mendalam dengan anggota kelompok memberikan gambaran tentang proses pelibatan dan pengembilan keputusan dalam Keterlibatan kami dalam berbagai bentuk program dan kegiatan HKm. Pada setiap kegiatan baik perencanaan, implementasi program dan monev, kami diinformasikan dari LSM pendamping tentang adanya rencana kegiatan tersebut. Kemudian ketua kelompok memberitahukan tentang siapa yang akan terlibat dalam kegiatan tersebut sebagai perwakilan kelompok. Kemudian apabila ketua kelompok tidak bisa hadir dalam pertemuan tersebut, maka ditunjuk pengurus/anggota yang akan mewakilinya. Selanjutnya kami sepakat untuk menyerahkan segala bentuk keputusan pada wakil kami yang terlibat dalam kegiatan ataupun pertemuan yang diadakan oleh proyek.

Kami sulit terlibat secara langsung karena proyek membatasi jumlah peserta yang terlibat dalam pertemuan tersebut. Dengan demikian, kami harus ihlas untuk diwakilkan dalam berbagai bentuk keputusan proyek. Namun meskipun bentuk perwakilan, kami anggota menerima hasil keputusan walaupun kadang-kadang terlambat dan sering kami terima informasi tersebut pada saat acara

hijiban/tahlillan (bentuk pengajian bersama yang tidak hanya dihari oleh

kelompok HKm tapi dihadiri pula oleh masyarakat umum).

(5)

Tipe partisipasi masyarakat pesanggem tersebut tidak menyebar merata, namun lebih terkonsentrasi pada tipe kolaboratif dan kemudian tipe kontraktual dan hanya sebagian kecil saja tersebar pada partisipasi kolega dan kontraktual. Kondisi yang demikian tersebut, merupakan gambaran bahwa masyarakat pengelola HKm memiliki kekompakan dan kearifan dalam pengambilan keputusan. Pertentangan kepentingan yang terjadi antara pihak pemerintah dalam pembangunan HKm selalu dimusyawarahkan terlebih dahulu. Tabel di bawah ini menyajikan beragam tipe partisipasi dalam pembangunan HKm di Pulau Lombok.

Tabel 30. Distribusi Tipe Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan HKm pada Kawasan Hutan Lindung di Pulau Lombok

Tipe Partisipasi

Program Pembangunan HKm

Perencanaan Implementasi Monitoring Sampel (n) Persen (%) Sampel (n) Persen (%) Sampel (n) Persen (%)

1. Kontraktual 19 17,8 8 7,5 21 19,6

2. Konsultatif 14 13,1 14 13,1 15 14,0

3. Kolaboratif 71 66,4 74 69,2 67 62,6

4. Kolega 3 2,8 11 10,2 4 3,7

Total 107 100,0 107 100,0 107 100,0

Keterangan : 1). Partisipasi Kontraktual, bila seseorang mendelegasikan hak pengambilan keputusan pada pihak lainnya.

2). Partisipasi Konsultatif, bila seseorang hanya berkonsultasi dalam pengambilan keputusan.

3). Partisipasi Kolaboratif, bila seseorang berkolaborasi dengan pihak lainnya dalam pengambilan keputusan

4). Partisipasi Kolega, bila seseorang dengan kolega lainnya bersama-sama dalam pengambilan keputusan.

Dari tabel di atas nampak bahwa sebagian besar tipe partisipasi masyarakat baik dalam program perencanaan, implementasi maupun monitoring dan evaluasi berada pada tipe kolaboratif yaitu di atas 60 % dan hanya sebagian kecil saja dengan tipe konsultasif, kontraktual dan kolega yaitu kurang dari masing-masing 15 %, 20% dan 11%.

Tingginya tipe partisipasi dalam bentuk kolaboratif dalam pengelolaan HKm disadari karena peran LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang pada saat pendampingan menanamkan/mengajarkan bentuk-bentuk pengambilan keputusan oleh karena itu, pada akhirnya bentuk-bentuk kolaboratif tersebut ternyata cukup diserap dan dimplementasikan oleh masyarakat pengelola HKm.

Bila dikaitkan dengan tipe partisipasi atau tingkat keterlibatan pengelola dalam program pembangunan HKm, ternyata ditemukan bahwa keputusan

(6)

partisipasi kolaboratif tersebut berhubungan dengan bentuk partisipasi pengelola. Pada bentuk partisipasi pengelola aktif dan kurang aktif ditemukan sebagian besar tipe partisipasi pengelola adalah kolaboratif.

Namun berbeda dengan tipe partisipasi kontaktual juga menempati posisi kedua dari tipe partisipasi yang ada. Rendahnya keterlibatan pengelola dalam program pembangunan HKm menyebabkan pengelola mendelegasikan keputusannya pada teman-teman kelompoknya. Demikian juga yang terjadi pada tipe partisipasi konsultatif dan kolega. Pada tipe partisipasi konsultatif, pengelola HKm hanya menerima keputusan dari pihak lainnya (teman anggota kelompok dan pemerintah) dan hanya memberikan konsultasi kepada rekanannya. Demikian juga yang terjadi pada tipe partisipasi kolega dimana pesanggem/pengelola secara bersama mengambil keputusan dan diserahkan pada pihak lain

Implikasi dari munculnya empat tipe partisipasi tersebut adalah sesungguhnya masyarakat sebagai pengelola HKm meskipun memiliki kepentingan dan kebutuhan yang beragam, namun rendah konflik konflik horizontal antar sesama pengelola atau dengan kelompok masyarakat lainnya khususnya dalam pengelolaan HKm. Dengan ungkapan lainnya bahwa masyarakat pengelola HKm dapat mengelola konflik dengan baik, sehingga pembangunan HKm dapat berjalan.

Hasil wawancara mendalam menemukan bahwa sumber konflik horizontal adalah adanya ganti rugi kawasan HKm terhadap pihak lain dan prosesnya terjadi dibawah tangan. Meskipun aturan ganti rugi telah masuk dalam awik-awik dan memiliki sanksi pada pihak pengganti yaitu berupa ditariknya lahan tersebut kedalam pengelolaan ketua kelompok, namun peristiwa ini tetap terjadi karena tidak diberlakukan awik-awik tersebut. Hal ini sangat dilematis, karena para pengganti rugi adalah masyarakat sekitarnya dan bahkan anggota kelompok HKm itu sendiri. Oleh karena itu, implementasi awik-awik hanya berupa teguran pada pihak pengganti tetapi lahan tidak dicabut seperti yang tertuang dalam awik-awik.

Kemudian dalam aspek tingkatan partisipasi atau dalam kewenangan pengambilan keputusan sebagian besar masyarakat pesanggem masuk dalam katagori tokenism (n=63), kemudian non participation (n=26) dan sebagian kecil saja pada katagori citizen power (n=18). Namun dalam pencapaian skor partisipasi

(7)

terdapat kontradiksi yaitu skor partisipasi tertinggi dicapai oleh kelompok citizen

power (81,67%), kemudian kelompok tokenism (38,33%) dan terendah adalah

kelompok non participation (38,33%). Akan tetapi rata-rata pencapaian skor sebesar 56,67% dari total skor 60. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 31. Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Hutan Kemasarakatan pada Kawasan Hutan Lindung di Pulau Lombok

Tingkat Partisipasi

Rata-rata Skor Partisipasi Capaian Partisipasi Perencanaan Implementasi Monitoring

Skor % Skor %. Skor % Skor % 1. Rendah (n=26) 9 36 10 40 3 30 23 38,33 2. Sedang (n=63) 14 56 15 60 5 50 34 56,67 3. Tinggi (n=18) 20 80 20 80 9 90 49 81,67 Rata-Rata 14 56 15 60 5 50 34 56,67

Keterangan : % = Capaian dari skor maksimum (25 untuk perencanaan, 25 untuk implementasi dan 10 untuk monitoring)

n = Jumlah responden

Tabel di atas memperlihatkan bahwa sebaran pencapaian skor pada masing-masing program adalah relatif tinggi (56% ) untuk program perencanaan, 60% untuk program implementasi dan 50% untuk program monev. Namun nilai tersebut beragam pada masing-masing kelompok partisipan. Pencapaian skor tertinggi pada program perencanaan ditunjukkan oleh kelompok citizen power (80%) dan 56% untuk kelompok tokenism serta 36% untuk kelompok non

participation. Demikian juga kondisinya dalam program implementasi dan

monev yaitu kelompok citizen power memiliki capaian skor tertinggi adalah 80% dan 90%. Kemudian kelompok tokenism yaitu 60% dan 50% dan sebaliknya kelompok non participation memiliki pencapaian skor terendah dalam program implementasi dan monev yaitu 10% dan 30%.

Makna yang dapat diangkat dari kondisi demikian bahwa pembangunan HKm di Pulau Lombok bersifat partisipatif dalam pengertian bahwa pembangunan HKm telah melibatkan masyarakat sebagai pengelola HKm dalam bentuk perwakilan pada berbagai tahapan program seperti perencanaan, pelaksanaan/implementasi dan monitoring dan evaluasi. Masyarakat juga dilibatkan dalam pengambilan keputusan pembangunan. Sifat pelibatan masyarakat dalam pembangunan HKm yaitu sebagian besar tokenism dan sebagian kecil saja berupa citizen power serta non participation.

(8)

Partisipasi yang bersifat tokenism (58,68%) yaitu rentang kewenangan keputusan atau partisipasi masyarakat pesanggem mulai dari mendapatkan informasi, memberikan saran kepada pihak pemerintah, negosiasi dan terlibat dalam pengambilan keputusan pembangunan baik dalam tahapan perencanaan, implementasi dan monev(monitoring dan evaluasi). Kemudian sejumlah 16,82% masyarakat memiliki kontrol atau kewenangan dalam pengambilan keputusan pembangunan HKm atau citizen power dan sebaliknya sekitar 24,30% masyarakat

pesanggem pada level non participation yaitu masyarakat tidak dilibatkan dalam

pengambilan keputusan. Masyarakat pesanggem hanya sebagai objek dari pembangunan atau dengan ungkapan lain bahwa pemerintah hanya menyembuhkan atau mendidik masyarakat.

Kemudian adanya indikasi bahwa pada masyarakat pesanggem yang tergolong dalam partisipasi rendah (non participation) memiliki pencapaian skor pada setiap kegiatan pembangunan (perencanaan, implementasi dan monitoring) yang lebih rendah pula bila dibandingkan dengan kelompok pesanggem yang memiliki tingkat partisipasi lebih tinggi. Indikasi memberikan makna bahwa kewenangan dalam pengambilan keputusan partisipasi untuk kelompok non partisipasi sangat terbatas, terutama pada kegiatan perencanaan dan monitoring yaitu kurang dari 40%. Namun bila dikaji dari perbandingan pencapaian skor antar kegiatan (perencanan, implementasi dan monitoring) untuk semua kelompok

pesanggem (rendah, sedang dan tinggi) terlihat bahwa kewenangan pengambilan

keputusan tertinggi adalah dalam implementasi program, kemudian perencanaan program dan evaluasi, kecuali pada kelompok pesanggem dengan katagori partisipasi tinggi yang memiliki pencapaian skor partisiapasi pada semua program lebih dari 80%.

Sebaran pencapaian skor tersebut memberikan makna bahwa kebebasan mengambil keputusan partisipasi tertinggi adalah dalam program implementasi, kemudian perencanaan dan evaluasi. Hal ini tentunya berkaitan dengan karakteristik proyek pembangunan HKm yaitu lebih membebaskan masyarakat

pesanggem dalam implementasi program, sementara itu keterlibatan dan

(9)

evaluasi masih mendapat kontrol yang kuat dari pihak pemerintah dan LSM pendamping.

Pada kondisi tingkat partisipasi yang beragam tersebut memberikan makna bahwa pemerintah telah cukup berhasil melibatkan masyarakat pesanggem dalam pembangunan HKm, meskipun dalam berbagai tingkat keragaman partisipasi. Adanya keragaman partisipasi tersebut merupakan suatu kewajaran karena masyarakat pesanggem bukan pada entitas yang homogen akan tetapi dalam entitas yang heterogen. Artinya keragaman partisipasi masyarakat tentunya sebagai akibat dari perbedaan kondisi sosial ekonomi dan kelembagaan pada lingkungan setempat. Faktor-faktor tersebut dapat berupa faktor internal dan ekternal (faktor kelembagaan) yang cukup menentukan tingkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Oleh karena itu, maka partisipasi masyarakat

pesanggem menuju tingkatan paling tinggi (kontrol masyarakat) diperlukan waktu

yang cukup panjang dan penuh dengan rintangan. Pernyataan ini diungkapkan oleh Setyowati (2006) bahwa partisipasi merupakan proses yang panjang dan beringkat dari pendistribusian kekuasaan pada masyarakat, sehingga mereka mendapat kontrol lebih besar pada hidup mereka sendiri.

Oleh karena itu, meskipun partisipasi masyarakat dalam pembangunan HKm belum pada tingkatan partisipasi yang sempurna, namun partisipasi masyarakat telah mengarah pada proses partisipasi yang sebenarnya. Keadaan ini ditunjukkan oleh terbukanya proses kesadaran bersama antara pemerintah dan masyarakat. Pihak pemerintah telah memberikan kesempatan pada masyarakat untuk berpartisipasi secara penuh dalam pembangunan HKm dan demikian juga dengan kondisi masyarakat mulai secara sadar melibatkan diri pada setiap tahapan pembangunan HKm. Namun masih banyak masyarakat tidak dapat berpartisipasi langsung karena lemahnya kelembagaan yang terbangun dan kurang optimal dalam mengadopsi kebutuhan dan kepentingan masyarakat dalam pembangunan. Dengan demikian, pada kondisi yang demikian tersebut diperlukan modifikasi dari kelembagaan yang ada ditingkat petani dan pemerintahan desa. Proses menuju jalan partisipasi penuh masyarakat melalui modifikasi kelembagaan HKm dan Desa dinamakan sebagai “Partisipasi Termodifikasi”.

(10)

7.2. Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi dan Kelembagaan Masyarakat terhadap Partisipasi Masyarakat

Keberhasilan dari pembangunan tidak cukup karena peran pemerintah semata, namun tidak kalah pentingnya ditentukan oleh kondisi lingkungan termasuk kondisi masyarakat itu sendiri. Pembangunan yang bersifat top down sedikit-demi sedikit telah mengalami pergeseran kearah pembangunan yang bersifat partisipatif yaitu melalui pelibatan masyarakat baik dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan.

Khususnya dalam pembangunan sektor kehutanan, pelibatan masyarakat telah dimulai sejak tahun 1995 melalui Program Hutan Kemasyarakatan (HKm). Masyarakat telah dilibatkan dalam berbagai kegiatan seperti perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program. Tentunya keberhasilan pembangunan tersebut berkaitan dengan faktor sosial ekonomi masyarakat dan kelembagaan yang berkembang.

7.2.1. Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi Terhadap Partisipasi Masyarakat

Faktor sosial ekonomi memiliki hubungan dengan bentuk dan tingkat partisipasi masyarakat pesanggem dalam pembangunan HKm di Pulau Lombok. Faktor sosial ekonomi dan kelembagaan masyarakat yang dimasukkan dalam model sebanyak 16 faktor, seperti faktor umur, pendidikan, ukuran rumahtangga, pengetahuan masyarakat tentang HKm, tipe kepemimpinan, kepengurusan kelompok, kesejahteraan rumahtangga, pendapatan dari HKm, jarak rumah dengan lokasi kawasan HKm dan pekerjaan pokok dari pesanggem.

Hasil analisis menunjukkan bahwa dari ke 16 faktor yang dimasukkan dalam model dan ternyata hanya 10 faktor yang mempengaruhi bentuk partisipasi masyarakat dalam program pembangunan HKm. Secara rinci hasil analisis disajikan pada Tabel 31 berikut ini.

(11)

Tabel 32. Hasil Analisis Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi Terhadap Bentuk Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan HKm pada Kawasan Hutan Lindung di Pulau Lombok

Faktor Sosial Ekonomi

Bentuk Partisipasi dalam Program

Perencanan Implementasi Monev -2 Log Likeli-hood Chi-Squar e Sig. -2 Log Likeli-hood Chi- Squa-re Sig. -2 Log Likeli -hood Chi-Squar e Sig.

Konstanta 3,01(a) 0,00 34,04(a) 0,00 . 6,23

(a) ,000 . Umur (X1) 45,62 42,61 0,00 38,06 4,01 0,405 68,71 (b) 62,47 0,000 Pendidikan (X2) 34,83(b) 31,82 0,00 97,27(b) 63,22 0,000 8,54 (b) 2,31 0,999 Ukuran Rt (X3) 25,20(b) 22,18 0,00 43,42(c) 9,38 0,052 6,93 (b) 0,70 0,994 Pengetahuan HKm (X5) 8,70(b) 5,69 0,058 41,97 7,92 0,019 6,23 (b) 0,001 1,000 Tipe Kepemimpi nan (X8) 9,60(b) 6,59 0,037 34,65 0,61 0,739 16,37 (b) 10,14 0,017 Kepengurus an Klp. (X9) 26,77(b) 23,76 0,00 43,62(c) 9,58 0,008 6,23 (b) . . Kesejahteraa n Rt (X10) 31,29(b) 28,28 0,00 34,92 0,88 0,645 6,23 (b) 0,00 1,000 Pendapatan (X11) 19,97(b) 16,96 0,002 39,95 5,91 0,206 6,46 (b) 0,23 1,000 Jarak Rumah dengan Lokasi HKm (X13) 29,93(b) 26,92 0,000 44,46(c) 10,41 0,034 6,23 (b) 0,00 1,000 Pekerjaan Pokok Sekarang (X15) 3,01(b) . . 38,58(c) 4,54 0,103 18,01 (b) 11,77 0,008

Keterangan : (a), (b) dan (c) = faktor yang dipertimbangkan masuk dalam model karena memiliki hubungan dengan faktor lainnya

Tabel 32 memperlihatkan bahwa dari 10 faktor internal (sosial ekonomi) dan ekternal (kelembagaan) yang berpengaruh tersebut terdapat 8 faktor yang mempengaruhi bentuk partisipasi masyarakat pada program perencanaan dan 4 faktor saja mempengaruhi implementasi serta hanya 3 faktor saja yang mempengaruhi program monitoring dan evaluasi. Faktor-faktor yang

(12)

mempengaruhi bentuk partisipasi dalam program perencanaan adalah tingkat usia, tingkat pendidikan, ukuran rumahtangga, tipe kepemimpinan, kepengurusan kelompok, pendapatan dari HKm, kesejahteraan rumahtangga, jarak rumah dengan lokasi HKm dan jenis pekerjaan pokok sekarang ini. Kemudian faktor yang mempengaruhi bentuk partisipasi masyarakat pada program implementasi adalah tingkat pendidikan, pengetahuan tentang HKm, kepengurusan kelompok dan jarak dengan lokasi HKm. Sementara itu, faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi bentuk partisipasi pada program monitoring/evaluasi adalah umur, tipe kepemimpinan/ kelembagaan dan jenis pekerjaan pesanggem saat ini.

Faktor internal seperti faktor sosial ekonomi berupa tingkat usia berpengaruh terhadap probabilitas semakin aktifnya masyarakat dalam program perencanaan dan monitoring/evaluasi seiring dengan semakin tingginya usia

pesanggem. Keadaan ini dapat dijelaskan bahwa masyarakat anggota HKm pada

usia muda memiliki kecenderungan untuk tidak terlibat dalam program HKm dan menyerahkan keputusannya pada orang-rang yang dituakan, sehingga pada aktifitas program cenderung dihadiri oleh kelompok usia setengah baya (30-59 tahun). Selain itu, karena orang-orang yang dituakan tersebut umumnya merupakan ketua blok sehingga sering dilibatkan pada program perencanaan.

Faktor tingkat pendidikan masyarakat anggota HKm mempengaruhi bentuk partisipasi dalam program perencanaan dan implementasi. Semakin tinggi tingkat pendidikan menyebabkan probabilitas semakin aktifnya masyarakat dalam menghadari program perencanaan dan implementasi. Dengan semakin tingginya pendidikan pesanggem HKm, maka semakin tinggi pula peluang pesanggem tersebut untuk terlibat karena keterlibatan seseorang dalam kegiatan perencanaan terbatas pada anggota yang memiliki kualitas sumberdaya manusia yang baik dan merupakan pengurus kelompok seperti ketua kelompok maupun ketua blok. Demikian juga masyarakat yang memiliki tingkat pengetahuan tentang HKm lebih tinggi cenderung memiliki keaktifan lebih tinggi dalam program implementasi HKm. Dengan tingkat pemahaman tentang HKm yang dimiliki oleh anggota HKm merupakan faktor pendorong untuk dapat mengaplikasikan pengetahuan yang dimiliki dalam pembangunan HKm. Hal ini dilakukan melalui semakin seringnya frekuensi pesanggem/anggota tersebut terlibat dalam

(13)

implementasi program. Faktor pendidikan dan pengetahuan anggota tersebut juga merupakan pertimbangan Dinas Kehutanan dan LSM pendamping dalam pelibatan masyarakat pada setiap tahapan program pembangunan Hutan Kemasyarakatan. Namun tidak demikian adanya dalam program monitoring dan evaluasi bahwa faktor pendidikan bukan merupakan faktor yang mendorong keterlibatan anggota. Hal ini dikarenakan oleh keterbatasan dalam jumlah

pesanggem (anggota kelompok HKm) yang harus dilibatkan dalam program

pembangunan HKm, sehingga cukup dengan perwakilan dari kelompok HKm dan kelompok gabungan atau dari perwakilan blok.

Faktor ukuran rumahtangga merupakan faktor yang menentukan keterlibatan atau keaktifan anggota dalam program HKm. Dengan semakin besar ukuran rumahtangga semakin meningkatnya keaktifan masyarakat dalam program perencanaan. Keadaan ini berkait dengan kondisi bahwa kelompok rumahtangga dengan ukuran besar ternyata merupakan kelompok masyarakat yang dituakan. Demikian juga keadaannya dengan semakin tingginya tingkat kesejahteraan rumahtangga, maka peluang pelibatannya cukup tinggi dalam program penting, seperti program perencanaan. Keadaan ini seiring dengan meningkatnya pendapatan pesanggem dari lahan HKm ternyata merupakan faktor pendorong meningkatnya keaktifan masyarakat dalam program perencanaan.

Dengan meningkatnya pendapatan rumahtangga dari areal HKm dan kesejahteraan rumahtangga menyebabkan peluang meningkatnya kehadiran anggota HKm dalam program perencanaan. Pendapatan dari dalam HKm mempengaruhi tingkat kesejahteraan rumahtangga dan status sosial, sehingga memiliki kecenderungan untuk dilibatkan dalam program perencanaan. Kartasubrata (1989) mengungkapkan bahwa partisipasi masyarakat dalam pembangunan perhutanan sosial dipengaruhi oleh nilai insentif yang dimiliki. Ukuran insentif dalam temuan tersebut adalah luas lahan yang dikelola. Semakin luas lahan dikelola, maka mendorong parfisipasi masayrakat dalam pembangunan perhutanan sosial. Dalam masyarakat pedesaan di Pulau Lombok masih berlaku bahwa faktor kesejahteraan seseorang cukup menentukan status sosial dalam masyarakat. Kelompok orang-orang tersebut hampir selalu didahulukan dalam pengambilan keputusan.

(14)

Hasil penelitian yang berkaitan dengan partisipasi masyarakat, Beteu (2004) menemukan bahwa partisipasi masyarakat dalam proyek konservasi air di Banglades umumnya cenderung rendah dan partisipasi masyarakat pada posisi yang tinggi didominasi oleh kepala desa, tokoh masyarakat dan kaum elit desa serta laki-laki. Demikian juga keadaannya partisipasi masyarakat miskin adalah tergolong dalam bentuk partisipasi rendah. Namun tipe partisipasi masyarakat dalam termasuk katagori manipulate participation, artinya bahwa masyarakat hanya diinformasikan dan diajak berdiskusi mengenai proyek, namun tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan.

Faktor pekerjaan pokok selain pertanian pangan juga menentukan keaktifan masyarakat dalam program monitoring dan evaluasi. Masyarakat yang memiliki pekerjaan pokok selain pertanian pangan di dalam kawasan HKm merupakan masyarakat memiliki status sosial lebih tinggi daripada masyarakat umumnya. Oleh karena itu dengan status yang dimiliki maka kelompok

pesanggem tersebut cenderung lebih didahulukan untuk terlibat pada program

HKm.

Faktor eksternal seperti tipe kepemimpinan kelompok/kelembagaan dan lokasi domisili pesanggem memiliki pengaruh dalam program perencanaan. Namun sebaliknya agak berbeda dengan jarak rumah dengan lokasi HKm menyebabkan peluang menurunnya kehadiran anggota anggota HKm dalam program perencanaan. Masyarakat pesanggem HKm yang bertempat tinggal jauh dari lokasi HKm memiliki peluang rendah untuk dilibatkan dalam program perencanaan. Hal ini didukung oleh hasil observasi dan wawancara mendalam bahwa cukup banyak masyarakat menjadi anggota HKm pada desa lainnya hanya karena peristiwa awal pembagian lahan. Hal ini terjadi di Kawasan Hutan Lindung Sesaot yang arealnya cukup luas dan meliputi tiga desa yaitu Desa Sesaot, Desa Lebah Sempage dan Desa Sedau. Artinya, anggota HKm yang lahannya terletak di Desa Sesaot akan tetapi bertempat tinggal di Desa Lebah Sempage. Kejadian yang lebih kontras lagi adalah pengelola HKm yang berada di lokasi HKm Sekaroh berdomisili di luar desa lokasi HKm seperti Desa-desa di Kecamatan Pujut dan Sakra. Aktivitas masyarakat pada lahan HKm hanya pada waktu musim tanam dan panen tanaman pangan

(15)

Kemudian faktor sosial ekonomi masyarakat juga memiliki hubungan dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan HKm di Pulau Lombok. Faktor sosial ekonomi tersebut juga mempengaruhi kewenangan pengambilan keputusan dalam pengambilan keputusan. Tabel di bawah ini memperlihatkan adanya kecenderungan meningkatnya partisipasi masyarakat pengelola HKm sesuai dengan perubahan kondisi masing-masing dari faktor sosial ekonomi. Kecenderungan tersebut terlihat dari partisipasi masyarakat dengan pola rendah dan kemudian meningkat dan menurun kembali. Maknanya bahwa jumlah masyarakat yang berada pada tingkat partisipasi sedang adalah yang terbanyak, kemudian pada posisi tingkat partisipasi rendah dan tingkat partisipasi tinggi menempati posisi paling sedikit.

Dengan menghubungkan faktor-faktor sosial ekonomi pesanggem dan kelembagaan dengan tingkat partisipasinya, maka ditemukan bahwa dari16 variabel faktor sosial ekonomi dan kelembagaan yang diduga berpengaruh terhadap tingkat partisipasi masyarakat pada pembangunan HKm di Pulau Lombok, ternyata hanya 10 faktor saja yang berpengaruh yaitu Tingkat Usia (X1), Tingkat Pendidikan (X2), Ukuran Rumahtangga (X3), Persepsi (X4), Kepengurusan Kelompok (X9), Pendapatan HKm (X11), Luas Lahan Dikelola (X12), Jarak Rumah dengan Kawasan HKm (X13) dan Sejarah Aktivitas Ekonomi (X14). Hasil analisis statistik tersebut disajikan pada tabel di bawah ini.

(16)

Tabel 33. Distribusi Faktor Sosial Ekonomi dan Hubungannya dengan Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Hutan Kemasyarakatan pada Kawasan Hutan Lindung di Pulau Lombok.

Faktor Sosial Katagori Ekonomi

Tingkat Partisipasi Total (%) Rendah Sedang Tinggi

Umur (X1) Muda 3 4 2 8,41 Sedang 22 52 14 82,24 Tua 1 7 2 9,35 Pendidikan (X2) Tidak Tamat SD 7 10 1 16,82 Tamat SD 19 38 5 57,94 Tamat SLTP 0 10 4 13,08 Tamat SLTA 0 5 7 11,21 Tamat PT 0 0 1 0,93 Ukuran Rt (X3) Kecil 14 29 4 43,93 Sedang 11 30 10 47,66 Besar 1 4 4 8,41

Persepsi (X4) Kurang Baik Baik 9 22 4 32,71

17 41 14 67,29

Pengetahuan HKm (X5) Paham Kurang Paham 6 9 5 18,69

20 54 13 81,31

Sejarah Demografi (X6) Non Migran Migran 21 50 12 77,57

5 13 6 22,43

Kohesifitas (X7) Kurang Dekat 12 26 6 41,12

Dekat 14 37 12 58,88

Tipe Kepemimpinan (X8) Representatif 14 25 10 45,79

Karismatit 12 38 8 54,21

Kepengurusan Klp. (X9) Anggota Ketua/Pengurus 24 51 7 76,64

2 12 11 23,36

Kesejahteraan Rt (X10) Miskin Tidak Miskin 23 54 17 87,85

3 9 1 12,15 Pendapatan (X11) Rendah 11 20 3 31,78 Sedang 11 34 10 51,40 Tinggi 4 9 5 16,82

Luas Lahan Dikelola (X12)

Sempit 1 5 1 6,54

Sedang 20 39 4 58,88

Luas 5 19 13 34,58

Jarak Rumah dengan Lokasi HKm (X13) Dekat 29 18 7 50,47 Sedang 29 11 7 43,93 Jauh 5 1 0 5,61 Sejarah Aktivitas Ekonomi (X14) Pertanian Pangan 4 6 2 11,21

Non Pert. Pangan 22 57 16 88,79 Pekerjaan Pokok Sekarang

(X15)

Pertanian 20 46 13 73,83

Non Pertanian 6 17 5 26,17

Gender (X16) Perempuan 2 6 1 8,41

(17)

Tabel 34. Hasil Analisis Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi Terhadap Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Hutan Kemasyarakatan pada Kawasan Hutan Lindung di Pulau Lombok

Faktor

Model Fitting

Criteria Likelihood Ratio Tests -2 Log Likelihood

of Reduced Model Chi-Square df Sig. Intercept (Konstanta) 62,898(a) 0,000 0 . Tingkat Usia (X1) 89,386(b) 26,488 4 0,000 Tingkat Pendidikan (X2) 120,242 57,344 8 0,000 Ukuran Rumahtangga (X3) 89,573 26,675 4 0,000 Persepsi (X4) 88,295 25,397 2 0,000 Pengetahuan HKm (X5) 63,782(b) 0,885 2 0,643 Sejarah Demografi (X6) 63,420(b) 0,522 2 0,770 Kohesifitas anggota dengan

Ketua(X7) 63,336(b) 0,439 2 0,803

Tipe Kepemimpinan (X8) 64,517(b) 1,619 2 0,445 Kepengurusan Kelompok (X9) 107,413 44,515 2 0,000 Kesejahteraan RT (X10) 71,222(b) 8,324 2 0,016 Pendapatan HKm (X11) 101,865 38,967 4 0,000 Luas Lahan Dikelola (X12) 98,176 35,278 4 0,000 Jarak Rumah dengan Kawasan

HKm(X13) 95,387 32,489 4 0,000

Sejarah Aktivitas Ekonomi (X14) 92,290 29,392 2 0,000 Pekerjaan Pokok (X15) 63,091(b) 0,193 2 0,908 Jenis Kelamin (X16) 63,323(b) 0,425 2 0,808

Keterangan : (a). Reduce Model (Konstanta) dan (b). Variabel yang tidak diharapkan

Tabel 34 di atas memperlihatkan bahwa tingkatan probabilitas pengaruh dari masing-masing faktor adalah berbeda. Faktor tingkat pendidikan yang memiliki kekuatan pengaruh paling tinggi, kemudian faktor kepengurusan kelompok dan sebaliknya yang terendah adalah faktor kesejahteraan rumahtangga. Sementara itu, faktor lainnya memiliki kekuatan probablitas pengaruh adalah hampir sama. Nilai kekuatan probabilitas tersebut terlihat dari besarnya nilai Chi-Square pada Tabel 34 di atas.

Faktor sosial ekonomi dan kelembagaan yang berpengaruh tersebut menunjukkan signifikansi pada peluang semakin meningkatnya kewenangan dalam pengambilan keputusan dalam keterlibatan masyarakat dalam pembangunan HKm. Dengan ungkapan lainnya bahwa pengaruh faktor sosial ekonomi terhadap tingkatan partisipasi adalah berupa perubahan tingkat kewenangan masyarakat dalam pengambilan keputusan dalam berpartisipasi mulai

(18)

dari non participation, tokenism dan citizen power. Pada non partisipasi tersebut tingkat pengambilan keputusan masyarakat hampir tidak ada dan sebaliknya pada

citizen power yaitu tingkat kewenangan pengambilan keputusan sepenuhnya oleh

masyarakat. Sementara itu, pada tingkat partisipasi tokenism adalah kewenangan pengambilan keputusan antara pemerintah dan masyarakat pengelola HKm hampir sama

Faktor sosial ekonomi berupa tingkat usia dan tingkat pendidikan serta ukuran rumahtangga merupakan faktor yang mempengaruhi dalam pengambilan keputusan. Semakin tinggi usia, pendidikan dan ukuran rumahtangga memberikan peluang semakin meningkatnya kewenangan keputusan yang dapat diambil oleh pengelola HKm. Pengelola yang berusia muda umumnya memiliki keterlibatan yang rendah dalam program HKm dan umumnya keputusannnya diserahkan kepada orang yang dituakan, seperti pengelola pada kelompok umur separuh baya (30-59 tahun).

Demikian juga dengan faktor pendidikan dan pengetahuan pengelola ternyata mendorong tingkatan keterlibatan dan dalam pengambilan keputusan. Semakin tinggi tingkat pendidikan yang pernah ditempuh pengelola HKm, maka semakin tinggi tingkat partsipasinya dalam pembangunan HKm. Semakin tingginya tingkat pendidikan menjadi faktor yang memotivasi pesanggem untuk lebih berani untuk mengambil keputusan-keputusan dalam program pembangunan HKm. Keadaan ini seiring dengan hasil penelitian pada DAS Konto Kabupaten Malang (ICRAF 2009) menemukan bahwa keberhasilan program pembangunan perhutanan sosial seperti PHBM ditentukan beberapa faktor diantaranya adalah faktor pengetahuan dari pesanggem, karena pengetahuan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungannya

Faktor ukuran rumahtangga ternyata mempengaruhi tingkat kewenangan dalam pengambilan keputusan. Ternyata pada rumahtangga dengan ukuran besar dihuni oleh kepala keluarga dengan usia separuh baya dan tua yang lebih didahulukan dan dihargai serta dituakan oleh kelompok masyarakat, sehingga keadaan ini menjadi faktor yang berpengaruh dan menjadi faktor pendorong keberanian serta memiliki kewenangan lebih tinggi dalam pengambilan keputusan.

(19)

Kondisi ini searah dan sama dengan faktor sosial ekonomi berupa persepsi dan kepengurusan kelompok juga merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi pengelola dalam pembangunan HKm. Pesanggem yang memiliki persepsi baik lebih berani mengambil keputusan bila dibandingkan dengan pesanggem yang memiliki persepsi kurang baik. Kelompok pesanggem yang memiliki persepsi baik tersebut umumnya merupakan pengurus kelompok. Pengurus kelompok merupakan orang yang diwakilkan oleh anggota dalam pengambilan keputusan artinya bahwa pengurus memiliki kewenangan penuh dalam pengambilan keputusan dalam program pembangunan HKm di Pulau Lombok.

Faktor kesejahteraan rumahtangga, pendapatan dari HKm dan luas lahan merupakan faktor yang berkaitan dengan status sosial pengelola dalam masyarakat. Orang dengan status sosial tinggi dengan ciri dikelompokkan sebagai orang kaya (pendapatan tinggi) dan memiliki luas lahan cukup luas merupakan orang yang lebih didahulukan dan lebih dihormati atau dihargai oleh masyarakat sehingga ucapannya selalu didengar. Kelompok ini merupakan pengelola yang keterlibatannya tinggi dalam pembangunan HKm dan memiliki keberanian untuk mengambil keputusan, sehingga berdampak pada semakin tingginya tingkat kewenangannya dalam berpatisipasi pada pembangunan HKm.

Faktor perubahan status ekonomi yang ditunjukkan oleh perubahan pekerjaan utama masyarakat merupakan faktor yang menentukan status sosial orang dalam masyarakat. Pekerjaan pertanian dengan lahan sempit merupakan status yang dianggap rendah oleh masyarakat. Kemudian pekerjaan dagang dan jasa atau non pertanian merupakan jenis pekerjaan yang memiliki posisi lebih tinggi dalam masyarakat. Kelompok orang-orang ini merupakan kelompok yang lebih dihargai dan diberikan posisi didepan daripada kelompok orang yang memiliki pekerjaan pertanian dengan kondisi miskin. Oleh karena itu, kelompok orang-orang ini terdorong memiliki keberanian dalam pengambilan keputusan dan berdampak pada level partisipasinya dalam pembangunan HKm.

Agak berbeda kondisinya dengan kelompok pengelola yang memiliki tempat tinggal jauh dari lokasi HKm. Kelompok pengelola ini jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan, sehingga memiliki dampak terhadap rendahnya

(20)

tingkat partisipasinya dalam pembangunan HKm. Dengan kata lain bahwa semakin jauh jarak tempat tinggal dengan lokasi HKm dapat memberikan pengaruh terhadap rendahnya keaktifan masyarakat dan menurunnya keberanian dalam pengambilan keputusan yang selanjutnya berdampak terhadap rendahnya tingkat partisipasi masyarakat.

7.2.2. Pengaruh Faktor Kelembagaan Terhadap Partisipasi Masyarakat.

Cukup banyak kelembagaan yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Keterlibatan tersebut tentunya sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan kelembagaan tersebut. Kebutuhan tersebut ada yang bersifat ekonomi dan non ekonomi (perlindungan, penelitian dan pengabdian masyarakat). Kebutuhan ekonomi umumnya bersifat pemanfaatan sumberdaya hutan itu sendiri, seperti kebutuhan rumahtangga dan PDAM terhadap sumberdaya hutan. Rumahtangga desa memanfaatkan sumberdaya hutan sebagai penopang kehidupan sehari-hari. Sementara itu, PDAM memanfaatkan hutan sebagai sumber bahan baku air minum. Sedangkan kelembagaan lainnya memanfaatkan hutan sebagian besar bersifat non ekonomi seperti sebagai lokasi penelitian, laboratorium dan pengabdian masyarakat serta tujuan perlindungan kawasan seperti yang dilakukan oleh pemerintah dan termasuk LSM.

Beragamnya kelembagaan yang memiliki kepentingan terhadap sumberdaya hutan mempengaruhi keberdaaan dan dinamika kelembagaan yang berada ditingkat desa baik kelembagaan yang bersifat formal maupun kelembagaan tradisional termasuk keberdaaan kelembagaan HKm. Demikian pula, organisasi atau kelembagaan HKm berupa kelembagaan yang berbentuk Koperasi dan Kelompok Tani Hutan. Kemudian dari karakteristik organisasinya dipimpin oleh pemimpin karismatik (tokoh agama dan orang yang dituakan) dan pemimpin representatif adalah pemimpin yang berasal dari perwakilan anggota.

Karakteristik kepemimpinan dari kelembagaan HKm memberikan bukti bahwa mempengaruhi bentuk dan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan HKm. Hasil analisis statistik setperti yang ditunjukkan pada Tabel 32 dan 34 bahwa tipe kepemimpinan memberikan dorongan kepada masyarakat untuk lebih aktif ikut berpartisipasi pada berbagai tahapan pembangunan. Namun tidak mempengaruhi tingkat partisipasi atau tingkat kewenangan pesanggem

(21)

dalam pengambilan keputusan. Hal ini disebabkan karena tingkat partisipasi/kewenangan dalam pengambilan keputusan masih didominasi oleh pihak pemerintah dan LSM pendamping.

Gambar 21. Hubungan Kerja Kelembagaan/Stakeholders dalam Program Pembangunan HKm di Pulau Lombok

Makna dari hasil analisis statistik tersebut bahwa pimpinan karismasik mampu mendorong anggotanya untuk terlibat dalam kegiatan pembangunan HKm. Selain itu juga mampu mempengaruhi pemerintah dan LSM pendamping agar anggotanya dilibatkan dalam aktivitas pembangunan. Lebih jauh, pemimpin karismatik juga mampu memberikan arahan dan pembelajaran sehingga dapat menjadi motivator anggota kelompoknya untuk terlibat aktif dalam program pembangunan HKm.

Keadaan ini dapat terjadi karena pemimpin karismatik yang menjadi ketua kelompok HKm tersebut merupakan kelompok orang-orang yang dituakan dan tokoh agama yang memiliki kecenderungan lebih didahulukan dan didengar ucapannya oleh semua orang. Oleh karena itu, maka dapat dikatakan bahwa pemimpin karismatik yang ada dalam kelompok HKm tersebut tidak hanya

Kawasan HKm

PDAM Pemerintah Prov Pemerintah Kab DPRD Prov

DPRD Kab

Kelompok HKm Kelembagaan Desa

Rumahtangga BPDAS Dishut Prov Dishut Kab UPTD Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian Kelembagaan Tradisional LSM Lembaga Independen Perda HKm dan Kebijakan Lainnya Akses Pengelolaan Proyek/Program Program LSM Pendampingan D an a Re tr ib u si P D A M Penelitian Arboretum Pengab. Masy

(22)

didengar dan dihormati oleh masyarakat, namun didengar dan dihormati juga oleh semua pihak termasuk pemerintah dan LSM pendamping.

Dengan demikian, maka partisipasi masyarakat dalam program pembangunan HKm di Pulau Lombok dipengaruhi oleh faktor kelembagaan dan salah satu komponen kelembagaan adalah tipe kepemimpinan. Pemimpin karismatik tersebut umumnya memiliki sifat empati, berkemampuan dan sangat dihormati oleh anggotanya. Dengan sifat yang dimiliki tersebut, maka pemimpin kelompok tersebut dapat memperkuat kesatuan kelompok dan menciptakan suasana menyenangkan untuk mencapai tujuan bersama.

Hasil penelitian di Thailand Utara menemukan kegagalan dan keberhasilan pendekatan partisipatif dalam pembangunan perhutanan sosial. Rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan hutan kemasyarakatan dapat disebabkan oleh hancurnya kelembagaan sosial dalam masyarakat. Nilai-nilai kebersamaan seperti modal sosial mulai melemah, demikian juga halnya dengan pengetahuan lokal yang ada mulai ditinggalkan. Kemudian keberhasilan HKm tidak lagi ditentukan oleh faktor agama, kuil dan organisasi, namun lebih ditentukan oleh kelembagaan sosial yang ada (Shin’ichi 2000).

Dari pengalaman Thailand tersebut bahwa modal sosial, nilai-nilai masyarakat dan pengetahuan lokal menjadi faktor yang dapat mendorong keberhasilan pembangunan perhutanan sosial atau hutan kemasyarakatan. Dengan demikian, bila masih memungkinkan maka revitalisasi terhadap kelembagaan masyarakat atau pengetahuan lokal yang ada menjadi penting karena kelembagaan lokal tersebut selain mengandung proses kognitif (pemahaman), juga mengandung kepercayaan dan pengaturan. Hal ini pernah terangkat dari penelitian Satria dan Akhmad (2007) di Kabupaten Lombok Utara. Revitalisasi pengetahuan lokal berupa sawen untuk bidang perikanan laut mampu mengendalikan sumberdaya perikanan di Kabupaten Lombok Utara. Revitalisasi tersebut dengan memasukkan atau merumuskan pengetahuan lokal tersebut dalam bentuk aturan main/awik-awik kelembagaan perikanan.

(23)

7.3. Tingkat Partisipasi dan Kelembagaan dan Hubungannya dengan Kondisi Ekologi Kawasan

Kondisi ekologi kawasan Hutan Kemasyarakat khususnya pada kawasan hutan lindung di Pulau Lombok ditumbuhi oleh tiga kelompok tanaman yang tanaman kayu-kayuan, tanaman MPTS (Multi Purpose Tree Crop Species) dan tanaman pangan. Komposisi tanaman yang ada dalam kawasan HKm sebagian besar ditumbuhi oleh tanaman MPTS dan tanaman pangan. Keberadaan tanaman dalam kawasan tersebut berasar dari tiga sumber yaitu tanaman kayu semula, tanaman yang berasal dari program HKm dan tanaman yang bersumber dari usaha masyarakat sendiri.

Harapan komposisi tanaman kayu-kayuan yang berfungsi sebagai tanaman konservasi mencapai 30% (sesuai dengan kesepakatan) tidak terpenuhi. Masyarakat memiliki kecenderungan mengusahakan tanaman MPTS berupa buah-buahan dan tanaman pangan yang memberikan nilai ekonomi tinggi dalam jangka pendek. Masyarakat memiliki pandangan kurang baik terhadap tanaman kayu-kayuan yang akan ditanam karena tidak memiliki harapan ekonomi. Berdasarkan kesepakatan yang ada bahwa tanaman kayu-kayuan tidak dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, mengingat bahwa kawasan tersebut merupakan kawasan hutan lindung. Masyarakat hanya dapat mengambil manfaat berupa jasa lingkungan dan hasil bukan kayu dari kawasan tersebut.

Hasil observasi dan survei memberikan gambaran bahwa jenis tanaman yang tumbuh dalam kawasan HKm menunjukkan perbedaan jenis dan komposisi pada setiap lokasi. Untuk tanaman kayu-kayuan memiliki perbedaan antar lokasi, demikian juga untuk tanaman MPTS hampir memiliki kesamaan jenis kecuali pada HKm di Sekaroh Kabupaten Lombok Timur dengan Tanaman MPTS adalah jambu mete dengan persentase tumbuh cukup rendah..

Demikian juga dengan komposisi antara tanaman kayu-kayuan dan tanaman MPTS yang memberikan perbedaan antar lokasi. Perbedaan ini sangat tergantung pada kondisi alam pada masing-masing lokasi dan motivasi pesanggem untuk mangisi kawasannya dengan berbagai jenis tanaman. Hasil penelitian menemukan bahwa komposisi tanaman kayu dan MPTS pada lokasi HKm Sesaot adalah 25,02 % : 74,98 %, sedangkan pada HKm Batukliang Utara

(24)

12,17 % : 87,83 % dan pada HKm Sekaroh adalah 37,48 % : 62,52 %. Kondisi tersebut membuktikan motivasi penanaman kayu lebih rendah daripada penanaman tanaman MPTS dan pangan, kecuali di Kabupaten Lombok Timur yaitu komposisi tanaman kayu melewati kesepakatan yang ada, namun kepadatannya tidak sesuai dengan ketetapan yang ada. Persentase tumbuh tanaman kayu dan MPTS dari jumlah tanaman yang seharusnya pada setiap lokasi HKm juga memberikan gambaran yang berbeda.

Dari tabel di bawah terlihat bahwa komposisi tanaman pangan dan MPTS yang tumbuh pada masing-masing kawasan HKm di Pulau Lombok adalah hampir sama, kecuali HKm di Kabupaten Lombok Timur adalah tanaman jagung dan padi, sedangkan tanaman MPTS nya adalah jambu mete. Kontrasnya jenis tanaman pangan dan MPTS pada kawasan HKm di Kabupaten Lombok Timur dikarenakan oleh kondisi kawasan HKm tersebut masih terbuka, sehingga masih dikembangkan tanaman pangan secara intensif dan tanaman jambu mete yang membutuhkan pencahayaan yang tinggi.

Berdasarkan ketentuan yang ada bahwa setiap areal lahan HKm dapat ditumbuhi 400 tanaman kayu dan MPTS. Berdasarkan kesepakatan yang ada bahwa perbandingan jumlah tanaman kayu dan MPTS yang boleh tumbuh pada kawasan hutan lindung adalah 30 % untuk tanaman kayu dan 70 % untuk tanaman MPTS. Diantara tanaman kayu dan MPTS dapat dikembangkan tanaman pangan dengan sistem tumpang sari.

Tabel 34. memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan jumlah keharusan tumbuh untuk tanaman MPTS dan kayu pada kawasan HKm disetiap lokasi. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan rata-rata luas lahan yang dikelola oleh setiap

pesanggem pada setiap lokasi HKm. Rata-rata luas pengelolaan terluas untuk

setiap pesanggem terdapat di Kabupaten Lombok Timur yaitu 2 hektar, sementara untuk Kabupaten Lombok Barat dan Lombok Tengah masing-masing seluas 52,75 are dan 53,01 are. Namun secara keseluruhan rata-rata luas kelola kawasan HKm untuk setiap pesanggem di Pulau Lombok adalah 72,49 are.

(25)

Tabel 35. Komposisi Jenis dan Realisasi Tumbuh Tanaman pada Lokasi Sampel HKm pada Hutan Lindung di Pulau Lombok

No Lokasi HKm Jenis Tanaman

Target Jlh.Tanaman/per lahan Garapan (pohon) Realisai Tumbuh Tanaman (%) Pangan Kayu MPTS Kayu MPTS Kayu MPTS 1. a. Kawasan HKm Sesaot Kabupaten Lombok Barat b. Rata-rata luas lahan: 0,53 ha Pisang, Pepaya, Ubi kayu, Talas dan Empon-empon Randu, Rajumas, Bajur dan Dadap Mangga, Nangka, Alpukat, Rambutan, Durian, Manggis, Kemiri, Kakao dan Kepundung 63 148 50,69 71,80 2. a. Kawasan HKm Batukliang Utara Kabupa-ten Lombok Tengah b. Rata-rata luas lahan: 0,53 ha Pisang, Pepaya, Sing-kong, Temula wak, Jahe, Empon- empon Mahoni, Sengon dan Albizia, Alpukat, Rambutan , Mente, Mangga, Nangka, Jeruk Durian dan Vanili 64 148 33,91 184,73 3. a. Kawasan HKm Sekaroh Kabupaten Lombok Timur b. Rata-rata Luas Lahan 2 ha Padi, Jagung, Kacang Hijo dan Kacang Tunggak Jati, Imba Sengon dan Sono-kling Jambu Mete 240 560 17,22 17,03 4 a. HKm Pulau Lombok b. Rata-rata luas : 0,73 ha 87 203 42,30 187,89 5 a. HKm Pulau Lombok

b. Rata Luas Lahan: 0,73 ha Kayu dan MPTS 290 Kayu dan MPTS 143,72

Dalam hal penumbuhan tanaman MPTS dan kayu terlihat bahwa terjadi ketimpangan antara kedua jenis tanaman tersebut. Tanaman pengisi areal HKm sebagian besar tanaman MPTS dan pangan daripada tanaman kayu sebagai tanaman konservasi. Persentase tanaman kayu yang tumbuh jauh lebih sedikit daripada tanaman MPTS, sehingga dapat dikatakan bahwa masyarakat pengelola HKm masih melanggar kesepakatan yang ada (30 % untuk tanaman kayu dan 70% untuk tanaman MPTS). Keadaan ini terlihat bahwa pada luasan HKm rata-rata 72,49 are seharusnnya ditanam 87 pohon tanaman kayu dan 203 tanaman

(26)

MPTS, namun sebagian besar ditumbuhkan tanaman MPTS (187,89%) dan sebagian kecil saja yang ditanam kayu-kayuan (43,30%).

Demikian juga keadaannya pada lokasi HKm disetiap kabupaten di Pulau Lombok. Pada setiap lokasi HKm terlihat bahwa penanaman tanaman kayu dari yang seharusnya belum tercapai yaitu kurang dari 60 %. Capaian paling rendah adalah pada lokasi HKm di kawasan hutan lindung Sekaroh Kabupaten Lombok Timur dengan pencapaian hanya 17,22 %, kemudian 33,91 % di Kabupaten Lombok Timur dan 50,69 % di Sesaot Kabupaten Lombok Barat. Berbeda keadaannya dengan jumlah tanaman MPTS yang tumbuh dalam areal HKm yaitu capaian tumbuhnya lebih tinggi daripada tanaman kayu dan bahkan telah melampaui batas atau ketentuan yang telah disepakati. Pada lokasi HKm di Batukliang Utara, capaian tumbuh tanaman MPTS telah melanggar ketentuan yaitu mencapai 184,73 %, sementara pada lokasi HKm Sesaot hanya 71,80 % (belum melanggar batas yang ada) dan di Sekaroh hanya 17,03 persen. Ironisnya, meskipun areal tumbuh belum ditumbuhi tanaman kayu dan MPTS secara optimum, namun kekosongan areal tersebut diisi oleh tanaman pangan, seperti pisang, ubikayu, pepaya, kakao dan sebagainya. Khususnya untuk lokasi HKm di Kabupaten Lombok Timur dikembangkan tanaman pangan padi dan jagung karena masih terbuka.

Rendahnya capaian tumbuh tanaman kayu dan berkembang tanaman MPTS dan pangan dikarenakan oleh rendahnya harapan masyarakat pada tanaman kayu yang ada dan menggantungkan sumber pendapatan pada tanaman MPTS dan tanaman pangan. Dari ketentuan yang ada bahwa tanaman kayu pada HKm hutan lindung tidak boleh dipanen, sehingga pesanggem memperbanyak tanaman MPTS dan tanaman pangan yang dapat memberikan pendapatan dalam jangka pendek dan jangka panjang. Harapan masyarakat adalah pemerintah dapat menyediakan tanaman kayu yang dapat dipanen dan memberikan hasil.

Selain karena faktor motivasi masyarakat dalam menumbuhkan jenis tanaman, kondisi ekologi kawasan juga dipengaruhi oleh faktor tingkat keterlibatan atau partisipasi masyarakat dalam pembangunan HKm. Hubungan antara tingkat partisipasi dan kondisi pertanaman atau ekologi kawasan disajikan pada tabel berikut ini.

(27)

Tabel 36. Hasil Analisis Hubungan Antara Tingkat Partisipasi dan Daya Tumbuh Tanaman Kayu dan MPTS Dalam Area HKm Hutan Lindung di Pulau Lombok

Deskripsi Tingkat Partisipasi Daya Tumbuh Spearman's rho Tingkat Partisipasi Correlation Coefficient 1,000 0,159 Sig. (1-tailed) . 0,051 N (Sample) 107 107 Daya Tumbuh Correlation Coefficient 0,159 1,000 Sig. (1-tailed) 0,051 . N (Sample) 107 107

Tabel di atas memperlihatkan bahwa dari hasil analisis statistik korelasi Spearman memberikan hasil tidak adanya hubungan antara tingkat partisipasi dengan daya tumbuh tanaman kayu dan MPTS pada nilai taraf kepercayaan 95 %, namun akan memberikan hubungan yang nyata pada taraf kepercayaan 90 %. Bila taraf kepercayaan 90 % digunakan sebagai perhitungan, maka diperoleh nilai koefisien korelasi sebesar 0,159. Nilai tersebut memberikan makna bahwa hubungan antara tingkat partisipasi dengan daya tumbuh tanaman adalah lemah (kurang dari 0,25) dan searah (karena bernilai positif). Nilai positip atau searah memberikan pengertian bahwa meningkatnya nilai partisipasi/kewenangan diikuti pula dengan meningkatnya pertumbuhan tanaman kayu dan MPTS.

Implikasi dari lemahnya hubungan tingkat partisipasi dengan pertumbuhan tanaman kayu dan MPTS yaitu petani pesanggem dalam mengelola lahan HKm, khususnya dalam menanam tanaman kayu dan MPTS tidak terlalu didorong oleh keaktipannya dalam mengikuti program pembangunan HKm, namun lebih karena faktor lain seperti kondisi ekonomi. Hal ini dapat dimaklumi karena pengadaan kayu dan tanaman MPTS sebagian besar bersumber dari rumahtangga petani atau swadaya dan hanya sebagian kecil saja yang bersumber dari aktivitas program HKm dan program lainnya yang terimplementasi dalam kawasan HKm.

Tingginya kewenangan pesanggem dalam menentukan pilihan tanaman dan lemahnya kekuasaan pemerintah dalam program implementasi ternyata membawa dampak terhadap rasionalitas pesanggem dalam penumbuhan jenis tanaman konservasi. Pesanggem lebih memilih jenis tanaman yang memiliki nilai ekonomi dan memberikan manfaat secara individu. Kesepakatan dan aturan main

(28)

kelompok untuk menumbuhkan tanaman konservasi cenderung ditinggalkan. Kelompok melalui ketua kelompoknya tidak mampu untuk mengendalikan prilaku

pesanggem untuk lebih mengembangkan tanaman-tanaman yang memberikan

manfaat ekonomi. Armah et al. (2009) dalam konteks pemberdayaan dan konservasi di Ghana menemukan bahwa pemberdayaan dalam aspek sosial ekonomi berhasil namun memiliki kegagalan dalam partisipasi pada aspek ekologi yaitu kondisi ekologi Korle Lagoon tidak meningkat.

Hubungannya dengan hasil penelitian bahwa kegagalan dalam mengkonservasi lahan disebabkan karena ketidakmampuan pemerintah dan kelompok dalam mengendalikan anggotanya melalui aturan main yang ada. Artinya bahwa aturan main/awik-awik kelompok belum mampu untuk diimplementasikan secara tegas khususnya dalam konservasi kawasan. Hal ini disebabkan karena Awik-awik yang terbangun belum mengandung kesepakatan yang tegas dan belum mengatur sanksi terhadap keharusan dalam mengkonservasi. Sebagai implikasinya adalah masyarakat pesanggem cenderung untuk mengabaikan tindakan konservasi pada kawasan yang dikelolanya.

7.4. Paradoks Teori Partisipasi dalam Pembangunan Hutan Kemasyarakatan

Teori partisipasi masyarakat (community participation theory) berkembang sebagai respon hasil pembangunan selama ini yang mengeksploitasi masyarakat dalam pembangunan pedesaan melalui pemberdayaan masyarakat lokal. Manfaat penting dari partisipasi adalah terjadinya efektifitas pengambilan keputusan dan posisi tawar antara masyarakat dan pemerintah (Howell et al. 1987).

Teori partisipasi dibangun oleh tiga teori dasar yaitu Teori Demokrasi, Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory) dan Teori Mobilisasi Sosial (Social Mobilization Theory). Dari ketiga jenis teori yang membangun Teori Partisipasi tersebut, maka Teori Pertukaran Sosial memberikan kontribusi yang relatif besar dalam Teori Partisipasi. Teori Pertukaran ini juga dipengaruhi oleh teori ekonomi klasik (Adam Smith) yang mengasumsikan bahwa manusia tersebut berpikir rasional dalam menentukan pilihannya. Teori Pilihan Rasional memiliki perhatian pada aktor. Aktor dipandang sebagai sebagai manusia yang memiliki tujuan berupa maksimisasi kepuasan untuk pemenuhan kebutuhan. Pertukaran

(29)

sebagai upaya pemenuhan kebutuhan tersebut dipengaruhi keterbatasan sumberdaya dan kelembagaan sosial. (Goodman and Rizzer 2003; Turner 1987).

Akan tetapi, dalam pandangan para ilmuwan sosial bahwa tidak semua manusia rasional, tetapi alternatif pilihan yang tersedia adalah terbatas (Cook 1987). Menurut Thibaut dan Kelly (1959); Homans (1961) dan Blau (1964) yang mengkaji perkembangan Sosial Exchange Theory dalam Howell et al. (1987), menyatakan bahwa keterlibatan masyarakat dalam aktivitas tertentu adalah untuk mencari benefit (insentif). Insentif merupakan manfaat langsung maupun tidak langsung dan dalam jangka pendek ataupun jangka panjang yang diterima oleh individu dari tindakan yang dilakukannya ataupun pemberian pihak luar. Benefit dapat berupa pendapatan, penghargaan dan kepercayaan serta kepastian hak (bundle of right) dan kenyamanan. Batasan hak dalam pengelolaan sumberdaya yang bersifat common-pool resources menurut Agrawal and Ostrom (2001) bahwa hak (bundle of right) mengandung empat unsur penting yaitu withdrawal,

management, exclusion dan alienation.

Berdasarkan Teori Partisipasi dan kajian dari hasil penelitian, maka dalam pembangunan perhutanan sosial (HKm) di Pulau Lombok ditemukan Paradoks dari Teori Partisipasi. Insentif melalui kebijakan pemerintah tidak memenyebabkan meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan Hutan Kemayarakatan dan malah sebaliknya yaitu partisipasi (keaktifan) masyarakat rendah. Demikian juga dengan insentif dari manfaat tidak langsung konservasi memiliki hubungan yang rendah dengan partisipasi masyarakat dalam menumbuhkan tanaman kayu-kayuan sebagai tanaman konservasi.

Kebijakan pemerintah berupa pemberian hak pemanfaatan menjadi 35 tahun dan terbatas pada hanya hak pemanfaatan saja (sebagai suatu insentif ) seharusnya mampu meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan Hutan kemasyarakatan, namun demikian justru menyebabkan partisipasi masyarakat rendah. Waktu pengelolaan sesungguhnya merupakan insentif, karena meningkatkan kepastian hak pengelolaan dan pemanfaatan kawasan sehingga terdapat kepastian dan jaminan untuk dapat memperoleh hasil (panen) dari tanaman MPTS tanaman umur panjang yang diusahakan. Idiologis masyarakat

(30)

mendorong partisipasinya dalam pembangunan HKm. Hal tersebut menjadi rasional juga bila dipandang meskipun kebijakan memberikan kepastian atau perpanjangan hak jangka waktu pemanfaatan, namun haknya hanya terbatas pada memanfaatkan dari seberkas hak (bundle of right) yang ada. Hak pemanfaatan memberikan keterbatasan atau kebebasan untuk mengelola kawasan termasuk dalam bentuk atau sistem usahatani yang ada dalam kawasan hutan mendorong timbulnya rasa kepemilikan yang rendah terhadap kawasan tersebut dan berimplikasi pada rendahnya partisipasi masyarakat pesanggem pada program pembangunan Hutan Kemasyarakatan.

Kemudian Paradoks Teori Partisipasi lainnya adalah dalam perlindungan kawasan hutan melalui aktivitas konservasi kawasan. Konservasi merupakan insentif secara tidak langsung, karena memberikan manfaat terhadap perlindungan kawasan. Konservasi memberikan manfaat jangka panjang terhadap kesuburan kawasan karena perbaikan tata air dan menjaga lahan dari erosi. Sebenarnya dengan adanya insentif dari aktivitas konservasi, maka masyarakat terdorong berpartisipasi yang kuat dalam dalam kegiatan tersebut. Namun kejadian tersebut tidak demikian, hubungan partisipasi dengan kondisi ekologi kawasan (penumbuhan tanaman konservasi) adalah rendah. Hal ini ditujukkan dari hasil wawancara mendalam bahwa masyarakat pesanggem bahkan mengurangi tanaman konservasi dan memperbanyak tanaman memiliki nilai ekonomi.

Bila dikaitkan dengan dasar Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange

Theory) yang membangun Teori Partisipasi bahwa pertukaran terjadi apabila

terdapat insentif ekonomi ataupun penghargaan (non ekonomi) yang diterima oleh antar pelaku. Atau dengan ungkapan lain bahwa partisipasi terjadi bila terdapat insentif baik yang bersifat ekonomi atau non ekonomi (reward).

Pesanggem seharusnya memiliki partisipasi yang tinggi pada penumbuhan tanaman konservasi. Namun sebaliknya terjadi partisipasi yang rendah dan hal ini nampaknya cukup rasional bagi dari pandangan pesanggem. Pesanggem memiliki pandangan atau pengetahuan kurang lengkap mengenai manfaat konservasi, sehingga beranggapan bahwa konservasi bukan merupakan insentif dan sebaliknya kegiatan konservasi dianggap sebagai sumber pengeluaran dan manfaatnya tidak dapat dirasakan secara langsung.

(31)

Bila dikaitkan dengan output dari konservasi adalah jasa lingkungan (barang publik) seperti kondisi iklim setempat dan ketersedian sumberdaya air dan dalam kondisi pesanggem yang memiliki keterbatasan rasionalitas (bounded

rationality), maka keputusan partisipasi pesanggem yang menghindar atau

mengurangi aktivitas konservasi menjadi rasional pula. Artinya pesanggem tidak mendapat manfaat dari kegiatan konservasi, karena outputnya berupa barang publik yang dinikmati oleh semua orang. Pada kondisi sekarang bahwa keadaan iklim setempat masih baik dan ketersediaan air masih berlimpah serta tidak memiliki persaingan untuk memperolehnya, maka logis setiap individu termasuk pesanggem kurang peduli terhadap tindakan konservasi dengan catatan bahwa masih ada alternatif yang lebih menguntungkan yaitu mengembangkan tanaman MPTS yang memiliki nilai ekonomi sebagai bentuk insentif yang akan diterima oleh petani pesanggem.

Pada kondisi individu dihadapkan pada barang publik, maka individu cenderung menjadi penumpang gelap dan kejadian ini lebih parah dalam kelompok yang lebih besar dan barang milik bersama (common good) dan terjadi kecenderungan lebih parah dengan semakin besarnya kelompok yang ada. Peristiwa ini pernah diungkapkan oleh Hardin (1968) bahwa karena pada sumberdaya milik bersama dan bersifat open access. Pada karakteristik sumberdaya tersebut, terjadi peluang suatu kehancuran yang kita dengan dengan istilah Tragedy of Common. Pada peristiwa ini semua masyarakat dapat mengakses sumberdaya tersebut, namun tidak satupun yang berusaha memelihara sumberdaya tersebut, sehingga sumberdaya tersebut mengalami kehancuran (negative eksternalitas).

Karakteristik sumberdaya yang diungkapkan oleh Hardin (1968) ini nampaknya sesuai dengan karakteristik sumberdaya hutan (jika sifatnya open

access) dalam menghasilkan jasa lingkungan, sehingga memiliki potensi untuk

terjadinya tragedy of common tersebut. Oleh karena itu, maka untuk menghindari terjadinya tragedi tersebut pada sumberdaya yang bersifat common tersebut diperlukan pengelolaan yang tepat melalui intervensi pemerintah dalam pengaturan akses terhadap sumberdaya tersebut.

(32)

Dikaitkan dengan kawasan HKm di Pulau Lombok bahwa pelibatan masyarakat didalamnya seperti pisau bermata dua yaitu pada satu sisi dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun pada sisi lainnya merupakan pintu perambahan (bila masyarakat tidak dapat melindungi kawasan tersebut) dan kehancuran kawasan hutan karena tidak terkonservasi. Partsipasi masyarakat

pesanggem nampaknya sangat sulit diharapkan dalam aspek konservasi. Oleh

karena itu diperlukan model pengelolaan yang cukup tepat dan bijak dalam pembangunan kawasan Hutan Kemasyarakatan.

Beberapa bentuk pengelolaan yang memungkinkan adalah melalui intervensi yang kuat dari pemerintah melalui kebijakan, kemudian dapat juga dilakukan dengan pemberdayaan masyarakat khususnya pembelajaran mengenai konservasi. Pemberdayaan lainnya seperti pengembangan aktivitas ekonomi masyarakat kawasan, penataan kelembagaan serta penataan kawasan HKm yang lebih memberikan manfaat ekonomi lebih tinggi dan seimbang melalui penataan antar tanaman pangan, MPTS dan tanaman konservasi serta menata dan mengemkan tanaman bernilai ekonomi tinggi yang memiliki tuntutan konservasi tanaman, sehingga menanam tanaman ekonomi tinggi sekaligus memiliki manfaat konservasi kawasan.

Gambar

Tabel 32. Hasil Analisis Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi Terhadap Bentuk                       Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan HKm pada Kawasan                            Hutan  Lindung di  Pulau Lombok
Tabel 33. Distribusi Faktor Sosial Ekonomi dan Hubungannya dengan Tingkat                      Partisipasi  Masyarakat  dalam Pembangunan Hutan Kemasyarakatan                      pada Kawasan  Hutan Lindung di Pulau Lombok
Tabel  34  di atas memperlihatkan bahwa tingkatan probabilitas pengaruh  dari masing-masing faktor adalah berbeda
Gambar 21. Hubungan Kerja Kelembagaan/Stakeholders dalam Program      Pembangunan  HKm di Pulau Lombok
+2

Referensi

Dokumen terkait

Bidang Penjagaan, Patroli dan Penyidikan mempunyai tugas melaksanakan pengawasan keselamatan dan keamanan pelayaran terkait dengan kegiatan bongkar muat barang

Memiliki persediaan dengan memiliki berbagai macam barang, ukuran, jenis, merk, dan kualitas yang berbeda sehingga membutuhkan sarana teknologi informasi agar dapat

Naiset ilmoittivat, että he eivät ole mielenosoittajatyyppejä, mutta ”nyt supervallan isomman oikeudella tekemä hyökkäys on liikaa” (Irak-aineisto HS, uutinen 22.3.2003).

Keunggulan kompetitif produk yang dihasilkan bukan hanya untuk memperoleh keberhasilan ekonomi perusahaan, tetapi tentang kepedulian Sindo terhadap edukasi praktik

keuntungan lain yang bisa didapat ketika Silika ada bersama dengan PANi, Silika merupakan bahan dengan kapasitas panas yang tinggi sedangkan PANi merupakan polimer yang tidak

Until present, several therapeutic modalities were available to treat Achalasia, among them was pharmacology therapy, botulinum toxin injection via endoscopy, pneumatic

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penyimpanan hipobarik mampu menghambat pemasakan sawo, karena penurunan tekanan parsial pada oksigen yang digunakan untuk

ditransmisikan, dan diduplikasikan dalam satu tempat untuk memberikan pengaruh yang signifikan. Dengan demikian, informasi dapat berjalan dua arah.. Namun, penggunaannya masih sangat