• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Kebijakan Pendidikan Nasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Kebijakan Pendidikan Nasional"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Kebijakan Pendidikan Nasional

Dalam undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 dinyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Pasal 3).

Untuk mewujudkan tujuan yang diamanatkan dalam undang-undang tersebut, Departemen (Kementrian) Pendidikan Nasional menyusun visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Dengan berlandaskan visi tersebut, maka pendidikan nasional memiliki misi sebagai berikut:

• Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia;

• Membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar;

• Meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral;

• Meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global;

• Memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan RI.

Kebijakan pembangunan pendidikan dalam kurun waktu 2004-2009 meliputi peningkatan akses rakyat terhadap pendidikan yang lebih berkualitas melalui peningkatan pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun dan pemberian akses yang lebih besar kepada kelompok masyarakat yang selama ini kurang dapat menjangkau pelayanan pendidikan, seperti masyarakat

(2)

miskin, masyarakat yang tinggal di daerah terpencil, masyarakat di daerah-daerah konflik ataupun masyarakat cacat (BPK 2006).

Program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun (wajib belajar sampai dengan tingkat Sekolah Menengah Pertama) dicanangkan pemerintah pada awal PELITA VI (1994/1995). Program yang perintisaannya dilaksanakan selama periode PELITA V tersebut pada prinsipnya merupakan pengembangan dan seklaigus kelanjutan dari program wajib belajar enam tahun yang telah dicanangkan pada PELITA III (2 Mei 1984) (Wahjoetomo 1993).

Program wajib belajar pada hakikatnya merupakan upaya pemerintah yang secara sistematis menginginkan terjadinya peningkatan kualitas manusia Indonesia, sehingga dapat berpatisipasi aktif dalam keseluruhan pembangunan nasional serta adaptif dalam penyerapan informasi ilmu pengetahuan dan teknologi, yang muaranya adalah mendekatkan pada pencapaian tujuan pembangunan nasional, yakni masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Selain itu, program wajib belajar merupakan salah satu upaya untuk perluasan dan pemerataan kesempatan belajar bagi setiap warga Negara. Kebijakan tersebut merupakan salah satu implementasi isi pasal 31 UUD 1945 ayat 1 yang menyatakan bahwa setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan. Hal ini sejalan dengan hasil Konferensi Pendidikan untuk Semua (Education for All) di Jomtien, Thailand, Maret 1990. Konferensi tersebut menegaskan bahwa “pendidikan merupakan hak bagi semua orang dan juga dapat membantu secara menyakinkan orang menjadi lebih aman, lebih sehat, lebih berhasil dan lebih berwawasan lingkungan” The World Bank Annual Report (1991) diacu dalam Wahjoetomo (1993).

Secara kualitatif, program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun diharapkan mampu mengantarkan manusia Indonesia pada pemilikan kompetensi pendidikan dasar sebagai kompetensi minimal. Kompetensi pendidikan dasar yang dimaksud, seperti ditegaskan pada Pasal 13 UU No. 2 Tahun 1989 adalah kemampuan atau pengetahuan dan keterampilan dasar yang diperlukan untuk hidup dalam masyarakat serta untuk mengikuti pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini juga relevan dengan unsur-unsur kompetensi pendidikan dasar yang diidentifikasi oleh International Development Research Center (1979) dalam Wahjoetomo (1993), antara lain:

1. Kemampuan berkomunikasi 2. Kemampuan dasar menghitung

(3)

3. Pengetahuan dasar tentang negara, budaya dan sejarah

4. Pengetahuan dan keterampilan dasar dalam bidang kesehatan, gizi, mengurus rumah tangga dan memperbaiki kondisi kerja

5. Kemampuan berpatisipas secara aktif dalam masyarakat sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat, memahami hak, dan kewajibannya sebagai warga negara, bersikap, dan berpikir kritis serta dapat memanfaatkan perpustakaan, buku-buku bacaan dan siaran radio (IDRC dalam Wahjoetomo 1993).

Tiga Pilar Pendidikan

Rencana pembangunan pendidikan nasional jangka menengah 2005-2009 (Depdiknas 2005) mencantumkan tiga pilar pendidikan sebagai panduan dalam meningkatkan kualitas pendidikan dasar. Tiga pilar ini berkaitan dengan akses terhadap pendidikan, peningkatan mutu, dan akuntabilitas.

1. Pemerataan dan Perluasan Akses

Pemerataan dan perluasan akses akan dilakukan dengan mengupayakan menarik semua anak usia sekolah yang sama sekali belum pernah sekolah, menarik kembali siswa putus sekolah dan lulusan yang tidak melanjutkan pendidikan. Program pemerataan dan perluasan akses dilakukan dengan kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

• Pemberian bantuan biaya operasional. Bantuan biaya operasional pendidikan diberikan dalam rangka membantu sekolah mencapai proses pembelajaran secara optimal. Bantuan pembiayaan tidak membedakan sekolah negeri maupun swasta, madrasah maupun sekolah umum.

• Penyediaan perpustakaan, buku teks pelajaran maupun nonteks pelajaran yang tidak membedakan sekolah negeri dan swata, sekolah umum dan madrasah.

• Rehabilitasi ruang kelas yang rusak, merupakan upaya melaksanakan penyediaan sarana penunjang pendidikan yang layak untuk pendidikan dasar (SD dan SMP).

• Unit sekolah baru dan RKB. Penyediaan prasarana pendidikan termasuk pembangunan unit sekolah baru (USB) dan ruang kelas baru (RKB) diupayakan dalam rangka pemerataan dan perluasan di tingkat SMP/MTs, untuk menampung peningkatan jumlah lulusan SD/MI. Pemerataan dan perluasan akses pendidikan di tingkat SD dilakukan dengan memanfaatkan layanan pendidikan yang sudah ada.

(4)

• Perintisan pendidikan dasar sembilan tahun satu atap, merupakan langkah untuk mendirikan SD dan SMP satu atap atau SMP Khusus, yaitu penambahan tingkat kelas (extended classes) untuk penyelenggaraan pendidikan menengah pertama pada setiap SD negeri yang ada di daerah terpencil, serta berpenduduk jarang atau terpencar. Pada pendidikan luar biasa (PLB) upaya pemerataan dan perluasan akses dilakukan dengan pengembangan sekolah terpadu (SMP dan SMPLB) melalui pendidikan inklusif.

• Penyelenggaraan kelas layanan khusus di sekolah dasar, merupakan layanan pendidikan bagi anak usia sekolah dasar (7-12 tahun) yang putus sekolah atau sama sekali belum pernah sekolah dasar sampai tamat. Layanan pendidikan dilaksanakan selama kurang satu tahun di luar kelas reguler pada sekolah dasar yang ada sebagai transisi untuk memasuki kelas reguler.

2. Peningkatan Mutu, Relevansi, dan Daya Saing

Peningkatan mutu, relevansi dan daya saing pendidikan dasar akan dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan berikut:

• Pengembangan kurikulum, metode pembelajaran, dan sistem penilaian. Pengembangan model kurikulum perlu memperhatikan potensi peserta didik, karakteristik daerah serta akar sosiokultural komunitas setempat, perkembangan IPTEK, dinamika perkembangan global, lapangan kerja, lingkungan budaya dan seni dan lain-lain. Pada jenjang pendidikan dasar muatan kecakapan dasar (basic learning contents) perlu ditekankan pada kecakapan berkomunikasi (membaca, menulis, mendengarkan dan menyampaikan pendapat dan sebagainya), kecakapan intrapersonal (pemahaman diri, penguasaan diri, evaluasi diri, tanggung jawab dan sebagainya), kecakapan interpersonal (bersosialisasi, bekerja sama, mempengaruhi/mengarahkan orang lain, bernegosiasi, dan sebagainya), kemampuan mengambil keputusan (memahami masalah, merencanakan, analisis, menyelesaikan masalah, dan sebagainya). Dalam rangka perluasan pendidikan kecakapan hidup, perlu dilaksanakan berbagai kegiatan yang mendukung pengenalan dasar kewirausahaan dan kepemimpinan, pengenalan dan pengembangan etika, penanaman dasar apreasi terhadap estika dan lingkungan hidup.

(5)

• Kapasitas profesi pendidik juga akan ditingkatkan agar mereka mampu membawakan proses pembelajaran efektif, sesuai dengan standar kompetensi pendidik yang telah ditetapkan. Proses pembelajaran efektif diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, memotivasi, menyenangkan, dan mengasyikkan untuk mendorong peserta didik berpartisipasi aktif, berinisiatif, kreatif, dan mandiri, sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik dan kematangan psikologis.

• Pengembangan mutu dan keunggulan pendidikan dasar, juga disertai dengan program peningkatan kualitas jasmani dan pengembangan sekolah sehat. Dengan demikian, dapat tercipta siswa yang sehat dan bugar, serta sekolah yang memenuhi standar sekolah sehat.

• Sarana dan bahan belajar seperti perpustakaan, media pembelajaran, laboratorium bahasa/ IPA/ matematika, alat peraga pendidikan, buku pelajaran dan buku nonteks pelajaran atau buku bacaan lain yang relevan perlu dikembangkan. Pemerintah akan melaksanakan pengembangan naskah buku pendidikan dan melakukan pengendalian mutu buku teks pelajaran dan buku nonteks pelajaran/ bacaan lainnya yang relevan. Dengan mempertimbangkan pesatnya perkembangan pemanfaatan ICT dalam berbagai sektor kehidupan, pemerintah akan terus mengembangkan pemanfaatan ICT untuk sistem informasi persekolahan dan pembelajaran termasuk pengembangan pembelajaran secara elektronik (e-learning).

3. Penguatan Tata Kelola, Akuntabilitas dan Citra Publik

Pengembangan kapasitas dewan pendidikan (DP) dan komite sekolah (KS) serta komite PLS merupakan kegiatan yang akan terus dilakukan dalam rangka pemberdayaan partisipasi masyarakat untuk ikut bertanggung jawab mengelola pendidikan dasar. Berfungsinya kedua kelembagaan tersebut secara optimal akan memperkuat pelaksanaan prinsip good governance dan akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan.

Pengembangan kapasitas juga akan terus dilakukan terhadap para pengurus sekolah atau satuan pendidikan nonformal lainnya untuk meningkatkan kemampuan manajerial dan leadership menuju otonomi pengelolaan. Kegiatan ini, bersama dengan penguatan DP/ KS/ komite PLS merupakan bagian dari upaya penerapan MBS dan manajemen berbasis masyarakat (MBM) secara maksimal. Pengembangan EMIS (education management

(6)

information systems) sebagai sistem pendukung manajemen akan dilakukan untuk menunjang keberhasilan upaya mengukur sejumlah indikator penting perluasan, mutu, dan efisiensi sesuai dengan standar nasional pendidikan dasar.

Bantuan Operasional Pendidikan (BOP)

Ekonomi menjadi faktor dominan penyebab seseorang tidak ikut serta dalam pendidikan, terutama pendidikan formal. Banyaknya beban biaya hidup menyebabkan seseorang membuat prioritas utama dalam mengalokasikan pengeluarannya. Langkah strategis yang dilakukan pemerintah dalam membantu mengurangi biaya pendidikan adalah melalui program pemberian Bantuan Operasional Sekolah (BOS) bagi SD/ MI/ SDLB/ SMP/ MTs/ SMPLB negeri/ swasta dan Pesantren Salafiyah serta sekolah keagamaan non-Islam setara SD dan SMP yang menyelenggarakan wajib belajar pendidikan sembilan tahun, yang selanjutnya disebut sekolah.

Program BOS bertujuan untuk membebaskan iuran siswa, tetapi sekolah tetap dapat mempertahankan mutu pelayanan pendidikan kepada masyarakat. Sasaran program BOS adalah semua sekolah baik negeri maupun swasta di seluruh kabupaten/ kota tidak termasuk program kejar paket A, B dan SMP Terbuka karena sudah dibiayai pemerintah sepenuhnya. Besar dana bantuan yang diterima sekolah penerima BOS dihitung berdasarkan jumlah siswa dengan ketentuan:

a. SD/ MI/ SDLB/ Salafiyah/ sekolah keagamaan non-Islam setara SD Rp 117.500,00 per siswa untuk setiap semester atau Rp 235.000,00 per tahun.

b. SMP/ MTs/ SMPLB/ Salafiyah/ sekolah keagaamaan non-Islam setara SMP Rp 162.250,00 per siswa untuk setiap semester atau Rp 324.500,00 per siswa per tahun.

Standar Nasional Pendidikan

Pelayanan pendidikan yang bermutu adalah pelayanan yang diberikan minimal sesuai dengan standar pelayanan mutu yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yang dimaksud dengan standar pelayanan adalah (Anonim 2005):

• Standar Isi

Pasal 5 - (1) Standar isi mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi untuk mencapai kompetensi lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan

(7)

tertentu. (2) Standar isi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar, kurikulum tingkat satuan pendidikan dan kalender pendidikan/ akademik.

• Standar Proses

Pasal 19 - (1) Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.

• Standar Kompetensi Lulusan

Pasal 25 - (1) Standar kompetensi lulusan digunakan sebagai pedoman penilaian dalam penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan. (2) Standar kompetensi lulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kompetensi untuk seluruh mata pelajaran atau kelompok mata pelajaran dan mata kuliah atau kelompok mata kuliah.

• Standar Pendidikan dan Tenaga Kependidikan

Pasal 28 - (1) Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. (2) Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik. (3) Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi:

a. Kompetensi pedagogik; b. Kompetensi kepribadian; c. Kompetensi profesional dan d. Kompetensi sosial.

• Standar Sarana dan Prasarana

Pasal 42 - (1) Setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan. (2) Setiap satuan pendidikan wajib memiliki prasarana yang meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang

(8)

unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa, tempat berolahraga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat berkreasi dan ruang/ tempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.

• Standar Pengelolaan

o Standar Pengelolaan oleh Satuan Pendidikan

Pasal 49 - (1) Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas. (2) Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi menerapkan otonomi perguruan tinggi.

o Standar Pengelolaan oleh Pemerintah Daerah

Pasal 59 - (1) Pemerintah Daerah menyusun rencana kerja tahunan bidang pendidikan dengan memprioritaskan program:

a. Wajib belajar;

b. Peningkatan angka partisipasi pendidikan untuk jenjang pendidikan menengah;

c. Penuntasan pemberantasan buta aksara;

d. Penjaminan mutu pada satuan pendidikan, baik yang diselenggarakan oleh Pemerintah

e. Daerah maupun masyarakat;

f. Peningkatan status guru sebagai profesi; g. Akreditasi pendidikan;

h. Peningkatan relevansi pendidikan terhadap kebutuhan masyarakat; dan

i. Pemenuhan Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang pendidikan. o Standar Pengelolaan oleh Pemerintah

Pasal 60 - Pemerintah menyusun rencana kerja tahunan bidang

pendidikan dengan memprioritaskan program: a. Wajib belajar;

b. Peningkatan angka partisipasi pendidikan untuk jenjang pendidikan menengah dan tinggi;

c. Penuntasan pemberantasan buta aksara;

d. Penjaminan mutu pada satuan pendidikan, baik yang diselenggarakan oleh Pemerintah maupun masyarakat;

(9)

e. Peningkatan status guru sebagai profesi; f. Peningkatan mutu dosen;

g. Standarisasi pendidikan; h. Akreditasi pendidikan;

i. Peningkatan relevansi pendidikan terhadap kebutuhan lokal, nasional, dan global;

j. Pemenuhan Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang pendidikan; dan penjaminan mutu pendidikan nasional.

• Standar Pembiayaan

Pasal 62 - (1) Pembiayaan pendidikan terdiri atas biaya investasi, biaya operasi, dan biaya personal. (2) Biaya investasi satuan pendidikan meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumberdaya manusia, dan modal kerja tetap. (3) Biaya personal sebagaimana meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik. (4) Biaya operasi satuan pendidikan meliputi:

a. Gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji,

b. Bahan atau peralatan pendidikan habis pakai, dan

c. Biaya operasi pendidikan tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, asuransi, dan lain sebagainya.

• Standar Penilaian Pendidikan

Pasal 63 - (1) Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas:

a. Penilaian hasil belajar oleh pendidik;

b. Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan; dan c. Penilaian hasil belajar oleh pemerintah.

(2) Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi terdiri atas: a. Penilaian hasil belajar oleh pendidik; dan

b. Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan tinggi.

Pendidikan Dasar Sebagai Bentuk Jasa

Jasa adalah setiap tindakan atau unjuk kerja yang ditawarkan oleh salah satu pihak ke pihak lain yang secara prinsip tidak berwujud dan tidak menyebabkan perpindahan kepemilikan apapun. Produksinya bisa terkait dan

(10)

bisa juga tidak terikat pada suatu produk fisik (Kotler 1997). Interaksi antara penyedia jasa dan pelanggan lebih sering terjadi dalam transaksi jasa dibandingkan dengan transaksi produk. Selain itu, dimungkinkan ada situasi di mana pelanggan sebagai individu tidak berinteraksi langsung dengan perusahaan jasa, tetapi melalui pekerjanya.

Lembaga pendidikan tumbuh dan berkembang sebagaimana layaknya industri jasa. Perhatian pada mutu layanan pendidikan bertujuan untuk menarik para calon siswa, melayani dan mempertahankan mereka. Peningkatan mutu pendidikan termasuk di dalamnya mutu layanan akademik dan mutu pengajaran merupakan upaya-upaya yang harus dilakukan agar kepuasan siswa dan orangtua sebagai pelanggan lembaga pendidikan dapat diberikan secara optimal.

Dalam mengevaluasi tingkat kepuasan terhadap kualitas jasa, Zeithaml et al. diacu dalam Rangkuti (2006) menggunakan lima dimensi besar, yaitu:

1. Kepercayaan (Reliability)

Kemampuan karyawan untuk memberikan jasa sesuai dengan yang dijanjikan, terpercaya, akurat, dan konsisten.

2. Tanggung jawab (Responsiveness)

Kemauan dari karyawan dan pengusaha untuk membantu pelanggan dan memberikan jasa dengan cepat dan bermakna serta kesediaan mendengar dan mengatasi keluhan yang diajukan pelanggan, misalnya penyediaan sarana yang sesuai untuk menjamin terjadinya proses yang tepat.

3. Kepastian (Assurance)

Berupa kemampuan karyawan untuk menimbulkan keyakinan dan kepercayaan terhadap janji yang telah dikemukakan kepada pelanggan, misalnya janji dalam promosi. Hal ini mencakup :

a. Competence, mengukur tingkat kepuasan pelanggan atas ketrampilan dan keahlian yang dimiliki penyedia jasa.

b. Courtesy, mengukur kepuasan pelanggan terhadap sikap sopan santun dan keramahan penyedia jasa.

c. Credibility, mengukur kepuasan pelanggan terhadap kejujuran perusahaan, apakah perusahaan dapat dipercaya atau tidak.

d. Security, mengukur kepuasan pelanggan terhadap rasa aman yang meliputi secara fisik, secara finansial, dan rahasia yang dapat dijamin perusahaan.

(11)

4. Empati (Emphaty)

Kesediaan karyawan dan pengelola untuk lebih peduli memberikan perhatian secara pribadi kepada langganan, misalnya karyawan atau pengelola harus mencoba menempatkan diri sebagai pelanggan. Jika pelanggan mengeluh, maka harus dicari solusi untuk mencapai persetujuan yang harmonis dengan menunjukkan rasa peduli yang tulus. 5. Berwujud (Tangible)

Berupa penampilan fasilitas fisik, peralatan, dan berbagai materi komunikasi, misalnya gedung dan kebersihan yang baik serta penataan ruangan yang rapi.

Berdasarkan kriteria tersebut, maka pelayanan jasa pendidikan yang dapat berkualitas adalah ketika pelanggan tersebut memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi karena sekolah memberikan pelayanan sesuai yang dijanjikan kepada pelanggan, pelanggan dilayani dengan ramah dan sopan oleh pihak sekolah, keluhan pelanggan ditanggapi dengan cara pihak sekolah menerima saran pelanggan dan berusaha untuk memperbaiki kesalahannya, serta kondisi fasilitas sekolah yang baik.

Teori Kepuasan Pelanggan

Rangkuti (2002) mendefinisikan kepuasan sebagai respon pelanggan terhadap ketidaksesuaian antara tingkat kepentingan sebelumnya dan kinerja aktual yang dirasakan setelah pemakaian. Tingkat kepentingan pelanggan merupakan keyakinan pelanggan sebelum mencoba atau membeli suatu produk jasa yang akan dijadikannya standar acuan dalam menilai kinerja produk jasa tersebut (Amalia 2005). Sementara itu, Engel et al. (1994) mendefinisikan kepuasan pelanggan sebagai evaluasi purnabeli dimana alternatif yang dipilih sekurang-kurangnya memberikan hasil sama atau melampaui harapan pelanggan, sedangkan ketidakpuasan timbul apabila hasil yang diperoleh tidak memenuhi harapan pelanggan.

Harapan dibentuk melalui pengalaman masa lalu, komentar atau saran dari pengguna dan informasi dari pesaing. Ada tiga harapan mengenai suatu produk atau jasa yang diidentifikasi oleh beberapa peneliti yaitu :

1. Kinerja yang wajar 2. Kinerja yang ideal 3. Kinerja yang diharapkan

(12)

Kinerja yang diharapkan adalah yang paling sering digunakan dalam penelitian karena logis dalam proses evaluasi alternatif yang dibahas. Ketidakpuasan pelanggan terhadap suatu jasa pelayanan karena tidak sesuai dengan yang diharapkan dapat berdampak negatif terhadap keberhasilan jasa pelayanan tersebut (Engel 1994).

Sumarwan (2003) menjelaskan proses pembentukkan kepuasan melalui the expectancy disconfirmation model, yaitu kepuasan yang terbentuk setelah membandingkan harapan mengenai bagaimana produk tersebut seharusnya berfungsi (performance expectation) dengan kinerja produk sesungguhnya (actual performance). Ketika pelanggan membeli suatu produk, harapan yang dimiliki pelanggan bagaimana produk tersebut berfungsi (product performance) adalah sebagai berikut:

1. Produk berfungsi lebih baik dari yang diharapkan, inilah yang disebut diskonfirmasi positif (positive disconfirmation). Jika ini terjadi, maka pelanggan akan merasa puas.

2. Produk berfungsi seperti yang diharapkan, inilah yang disebut konfirmasi sederhana (simple confirmation). Produk tersebut tidak memberikan rasa puas, tetapi tidak mengecewakan pelanggan. Pelanggan akan memiliki perasaan netral.

3. Produk berfungsi lebih buruk dari yang diharapkan, inilah yang disebut diskonfirmasi negatif (negative disconfirmation). Produk yang berfungsi buruk, tidak sesuai dengan harapan pelanggan akan menyebabkan kekecewaan sehingga pelanggan merasa tidak puas.

Berdasarkan diagram proses kepuasan pelanggan (Gambar 1 ), terdapat dua tingkat kepentingan pelanggan, yaitu adequate service dan desire service. Adequate service adalah tingkat kinerja jasa minimal yang masih dapat diterima berdasarkan perkiraan jasa yang mungkin akan diterima dan tergantung pada alternatif yang tersedia. Desire service adalah tingkat kinerja jasa yang diharapkan pelanggan akan diterimanya, yang merupakan gabungan dari kepercayaan pelanggan mengenai apa yang dapat dan harus diterimanya. Sedangkan yang dimaksud dengan zone of tolerance adalah daerah diantara adequate service dan desire service, yaitu daerah dimana variasi pelayanan yang masih dapat diterima oleh pelanggan (Rangkuti 2002). Apabila pelayanan yang diterima oleh pelanggan di bawah adequate service, pelanggan akan

(13)

frustasi dan kecewa. Sedangkan apabila pelayanan yang diterima pelanggan melebihi desire service, pelanggan akan sangat puas dan terkejut (Amalia 2005).

Terdapat kesamaan diantara beberapa definisi di atas, yaitu menyangkutkan komponen kepuasan pelanggan (harapan dan kinerja/ hasil) yang dirasakan). Umumnya harapan pelanggan merupakan perkiraan atau keyakinan pelanggan tentang apa yang akan diterimanya bila ia membeli atau mengkonsumsi suatu produk (barang atau jasa). Sedangkan kinerja dirasakan adalah persepsi pelanggan terhadap apa yang ia terima setelah mengkonsumsi produk yang dibeli (Tjiptono 2000).

Mowen dan Minor (1998) berpendapat bahwa kepuasan pelanggan tidak hanya berdasarkan model expectation disconfirmation, tetapi juga ada disebut dengan teori atribut (attribution theory) dan teori kesetaraan (equition theory). Attribution theory menyatakan bahwa kepuasan pelanggan terbentuk karena kualitas atribut produk. Atribut produk terdiri atas atribut internal dan atribut eksternal. Atribut internal berkitan dengan baik/ buruknya kualitas produk, sebagai contoh handphone, atribut yang melekat pada handphone adalah kualitas kamera, music, layar, memori, konektifitas dan modelnya. Sementara itu yang dimaksud dengan atribut eksternal adalah keramahan pegawai terhadap pelanggan, pelayanan purnajual dan adanya potongan harga.

Equition theory menganalisis berdasarkan pertukaran input yang dikeluarkan pelanggan dan outcomes yang di dapatkan pelanggan. Input pelanggan terdiri pencarian informasi, usaha yang dilakukan, uang dan waktu yang dikorbankan untuk mendapatkan produk. Sementara itu, outcomes

Sangat Puas

Sangat tidak puas

Gambar 1 Diagram proses kepuasan pelanggan (Rangkuti 2003). Persepsi pelanggan Perceive service Adequate service Zone of tolerance Desire service Harapan pelanggan

(14)

pelanggan terdiri dari manfaat dan kerugian yang didapat setelah proses pertukaran berlangsung. Persamaannya dinyatakan sebagai berikut:

Ilustrasi dari persamaan diatas adalah pelanggan A dan B membeli jenis produk yang sama tetapi berbeda merek. Produk yang dibeli oleh pelanggan A lebih murah dan mudah di dapat sehingga waktu yang digunakan dan proses pencarian informasi yang dilakukan lebih sedikit (biaya korbanan kecil), sedangkan pelanggan B membeli produk lebih mahal dua kali lipat dibandingkan dengan pelanggan A dan waktu yang dibutuhkan lebih banyak karena produk tersebut hanya terdapat di toko-toko khusus (biaya korbanan banyak). Namun kualitas produk yang dibeli oleh pelanggan B jauh lebih baik dengan kualitas produk pelanggan A. Tingkat kepuasan yang didapat oleh pelanggan A dan pelanggan B akan setara (equaty), karena meskipun kualitas produk yang dibeli pelanggan A lebih rendah dibandingkan produk pelanggan B, namun biaya yang dikorbankan oleh pelanggan lebih sedikit dibandingkan dengan pelanggan B. Jadi, tingkat kepuasan dibentuk melalui perbandingan biaya yang dikeluarkan pelanggan dengan kualitas produk yang didapat.

Pengukuran Kepuasan Pelanggan

Dalam mengukur kepuasan pelanggan dapat diformulasikan menjadi (Amalia 2005):

1. Jasa yang diterima lebih kecil dari harapan (perceive service < expected service), maka pelayanan dapat dikatakan tidak bermutu atau dipersepsikan buruk.

2. Jasa yang diterima sesuai dengan apa yang diharapkan (perceive service = expected service), maka pelayanan dapat dikatakan memiliki mutu yang ideal.

3. Jasa yang diterima lebih baik dari yang diharapkan (perceive service > expected service), maka pelayanan dapat dikatakan bermutu dan memuaskan.

Permasalahan yang sering ditemui adalah para manajer yang salah memperkirakan tingkat harapan atau keinginan dari para pelanggan, sehingga jasa atau pelayanan yang diperkirakan manajer tersebut masih jauh di bawah harapan pelanggan. Hal inilah yang mengakibatkan tidak tercapainya harapan

Outcomes A ≈ Outcomes B Inputs A Inputs B

(15)

mutu jasa atau pelayanan yang diinginkan pelanggan (Assauri 2003 dalam Amalia 2005).

Berdasarkan hal tersebut, terdapat lima gaps (kesenjangan) yang membuat perusahaan tidak mampu memberikan pelayanan yang bermutu kepada para pelanggannya (Gambar 3). Berikut ini adalah penjelasan dari kelima kesenjangan yang dimaksud (Zeithaml et al. diacu dalam Rangkuti 2002):

1. Kesenjangan antara harapan pelanggan dan persepsi manajemen perusahaan tentang apa yang diinginkan pelanggan (gap 1). Pada kenyataannya, pihak manajemen suatu perusahaan tidak selalu dapat merasakan atau memahami secara tepat apa yang diinginkan pelanggan. Akibatnya manajemen tidak mengetahui bagaimana produk/ jasa seharusnya didesain dan jasa-jasa pendukung apa saja yang diinginkan oleh pelanggan.

2. Kesenjangan antara persepsi manajemen perusahaan atas harapan pelanggan dengan spefikasi mutu jasa (gap 2). Kadangkala manajemen mampu memahami secara tepat apa yang diinginkan oleh pelanggan, tetapi mereka tidak menyusun standar kinerja yang jelas. Hal ini dapat terjadi karena tiga faktor, yaitu tidak adanya komitmen total manajemen terhadap kualitas jasa, kurangnya sumberdaya dan karena adanya kelebihan permintaan.

3. Kesenjangan antara spesifikasi mutu jasa dengan cara penyampaian jasa tersebut kepada pelanggan (gap 3). Keberadaan kesenjangan tersebut lebih diakibatkan oleh ketidakmampuan sumberdaya manusia perusahaan untuk memenuhi standar mutu pelayanan yang telah ditetapkan.

4. Kesenjangan antara penyampaian jasa kepada pelanggandengan komunikasi eksternal (gap 4). Kesenjangan tersebut tercipta karena perusahaan ternyata tidak mampu memenuhi janji-janjinya yang dikomunikasikan secara eksternal melalui berbagai bentuk promosi.

5. Kesenjangan antara harapan pelanggan dengan kenyataan pelayanan yang diterima (gap 5). Kesenjangan tersebut terjadi bila pelanggan mengukur kinerja atau prestasi perusahaan dengan cara yang berbeda atau apabila pelanggan keliru mempersepsikan kualitas jasa tersebut. Kelima bentuk kesenjangan tersebut dapat dibuat suatu diagram seperti disajikan dalam Gambar 2.

(16)

Menurut Gerson (2001), terdapat tujuh alasan utama mengapa perlu dilakukan pengukuran kepuasan pelanggan, yaitu:

1. Mempelajari persepsi pelanggan.

2. Menentukan kebutuhan, keinginan, persyaratan dan harapan pelanggan. 3. Menutupi kesenjangan.

4. Memeriksa apakah peningkatan mutu pelayanan dan kepuasan pelanggan sesuai harapan pelanggan atau tidak.

5. Peningkatan kinerja membawa peningkatan laba.

6. Mempelajari bagaimana sebenarnya kinerja perusahaan dan apa yang harus dilakukan perusahaan di masa depan.

7. Menerapkan proses perbaikan berkesinambungan.

Gambar 2 Diagram kesenjangan kualitas jasa (Zeithaml et al. diacu dalam Rangkuti

gap 1

gap 4

Komunikasi dari mulut ke mulut

Jasa yang diharapkan

Persepsi manajemen atas harapan konsumen Terjemahan atas persepsi ke dalam spesifikasi mutu/ kualitas jasa

Komunikasi eksternal ke konsumen Pengalaman masa lalu Kebutuhan perorangan

Jasa yang diterima

Penyerahan jasa gap 5 gap 2 gap 3 Konsumen Pemasar

(17)

Sementara itu, manfaat pengukuran kepuasan pelanggan menurut Gerson (2001) adalah sebagai berikut:

1. Pengukuran menyebabkan orang memiliki rasa berhasil dan berprestasi, yang kemudian diterjemahkan menjadi pelayanan yang prima kepada pelanggan.

2. Pengukuran bisa dijadikan dasar menentukan standar kinerja dan standar prestasi yang harus dicapai, yang akan mengarahkan mereka menujuu mutu yang semakin baik dan kepuasn pelanggan yang meningkat.

3. Pengukuran memberikan umpan balik segera kepada pelaksana, terutama bila pelanggan sendiri yang mengukur kinerja pelaksana atau perusahaan yang memberi pelayanan.

4. Pengukuran memberikan informasi kepada pihak penyedia jasa apa yang seharus dilakukan untuk memperbaiki mutu dan kepuasan pelanggan serta bagaimana harus melakukannya.

5. Pengukuran memotivasi orang untuk melakukan dan mencapai tingkat produktivitas yang lebih tinggi.

Pada prinsipnya kepuasan pelanggan itu dapat diukur dengan berbagai macam metode dan teknik, salah satu cara mengukur kepuasan pelanggan adalah melalui survey kepuasan pelanggan (Tjiptono 2000 diacu dalam Amalia 2005). Melalui survey, perusahaan akan memperoleh tanggapan atau umpan balik secara langsung dari pelanggan sekaligus juga memberikan tanda positif bahwa perusahaan menaruh perhatian terhadap para pelanggannya. Pengukuran kepuasan pelanggan melalui metode ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya:

1. Direct reported satisfaction (kepuasan yang dilaporkan langsung)

Pengukuran dilakukan secara langsung melalui pertanyaan dengan jawaban menggunakan skala, seperti sangat tidak puas, tidak puas, netral, puas dan sangat puas.

2. Derived satisfaction (kepuasan berdasarkan harapan dan kinerja produk) Pertanyaan yang diajukan menyangkut dua hal utama. Yakni besarnya harapan pelanggan terhadap atribut tertentu dan besarnya kinerja yang mereka rasakan.

3. Problem analysis (analisis masalah)

Pelanggan yang dijadikan responden diminta untuk mengungkapkan dua hal pokok. Pertama, masalah-masalah yang mereka hadapi berkaitan

(18)

dengan penawaran dari perusahaan. Kedua, saran-saran untuk melakukan perbaikan.

4. Importance-performance analysis (analisis tingkat kepentingan dan kinerja)

Dalam teknik ini, responden diminta untuk merangking berbagai elemen (atribut) dari penawaran berdasarkan derajat pentingnya setiap elemen tersebut. Selain itu, responden juga diminta merangking seberapa baik kinerja perusahaan dalam masing-masing elemen/ atribut tersebut.

Metode pengukuran kepuasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah direct reported satisfaction, derived satisfaction dan importance-performance analysis. Direct reported satisfaction dilakukan dengan cara memberikan sembilan pertanyaan kepada responden berkaitan dengan atribut pelayanan pendidikan dasar dengan menggunakan skala Likert 1-5 (sangat puas hingga tidak puas). Metode derived satisfaction mengukur kepuasan dengan mengetahui harapan orangtua terhadap kinerja 40 atribut pendidikan dasar, kemudian dibandingkan dengan kinerja aktual saat ini. Metode ketiga digunakan untuk mengetahui artibut pelayanan pendidikan yang perlu diptioritaskan untuk diperbaiki karena dianggap orangtua kinerjanya masih di bawah standar. Melalui IPA dapat juga diketahui atribut pelayanan yang perlu (jika ada) dihilangkan karena keberadaannya tidak terlalu penting. Hal ini akan menghemat biaya yang dikeluarkan oleh pihak sekolah sebagai penyelenggara pendidikan.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Pelanggan

Kepuasan pelanggan dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang melekat pada produk, karakteristik konsumen dan situasi pemeblian. Menurut Rangkuti (2002) ada delapan faktor yang memepengaruhi kepuasan, yaitu:

1. Nilai

Nilai didefinisikan sebagai pengkaji secara menyeluruh manfaat dari suatu produk. Nilai didasarkan pada persepsi pelanggan atas apa yang telah diterima oleh pelanggan dan telah diberikan oleh produk tersebut. Pelanggan membutuhkan pelayanan serta manfaat dari produk yang dikonsumsinya.

2. Harapan

Harapan pelanggan diyakini mempunyai peranan besar dalam menentukan mutu produk (barang maupun jasa) dan kepuasan pelanggan. Pada dasarnya ada hubungannya yang erat antara penentuan

(19)

mutu dan kepuasan pelanggan. Dalam mengevaluasi, pelanggan akan menggunakan harapannya sebagai standar atau acuan. Dengan demikian harapan pelanggan yang melatarbelakangi mengapa dua organisasi pada bisnis yang sama dapat dinilai berbeda oleh pelanggannya (Tjiptono 2002 diacu dalam Riyanto 2005). Rangkuti (2002) berpendapat bahwa tingkat kepentingan atau harapan pelanggan sebagai keyakinan pelanggan sebelum mencoba atau membeli suatu produk atau jasa. Hal ini yang akan dijadikan standar dalam menilai kinerja produk jasa tersebut.

3. Daya Saing

Suatu produk jasa maupun barang harus memiliki daya saing tinggi, agar dapat menarik pelanggan. Produk mempunyai daya saing, bila keunggulan produk tersebut dibutuhkan pelanggan. Keunggulan suatu produk jasa terletak pada keunikan dan mutu pelayanan produk jasa tersebut kepada pelanggan, maka supaya bersaing harus mempunyai keunikan dibandingkan dengan produk lain yang sejenis.

4. Persepsi Pelanggan

Persepsi pelanggan adalah proses dimana individu memilih, mengorganisasikan, dan mengartikan stimulus yang diterima melalui alat inderanya menjadi suatu makna. Meskipun demikian, makna dari proses persepsi tersebut juga dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu individu bersangkutan. Proses persepsi terhadap suatu jasa tidak mengharuskan pelanggan menggunakan jasa tersebut terlebih dahulu. Persepsi merupakan bagaimana seorang pelanggan melihat di luar dirinya atau di dunia sekelilingnya. Dalam hal ini, pelanggan seringkali memutuskan pembelian suatu produk berdasarkan persepsinya terhadap produk atau jasa tersebut.

5. Harga

Harga rendah menimbulkan persepsi produk atau jasa itu mutunya rendah. Harga yang terlalu rendah berakibat persepsi pelanggan kurang percaya terhadap produsen. Sebaliknya, harga tinggi menimbulkan persepsi pelanggan terhadap produk atau jasa tersebut bermutu tinggi. Namun, harga yang terlalu tinggi berakibat pada hilangnya pelanggan.

(20)

6. Citra

Citra buruk menimbulkan persepsi produk tidak bermutu, sehingga pelanggan mudah marah apabila terjadi kesalahan sedikitpun. Sebaliknya, citra yang bagus terhadap suatu produk menimbulkan produk itu bermutu baik, sehingga pelanggan akan memaafkan jika terjadi kesalahan sedikit.

7. Tahap Pelayanan

Kepuasan pelanggan ditentukan oleh berbagai jenis pelayanan yang didapatkan selama yang bersangkutan menggunakan beberapa tahapan pelayanan tersebut.

8. Situasi Pelayanan

Situasi pelayanan dikaitkan dengan kondisi internal pelanggan, sehingga mempengaruhi kinerja pelayanan. Sementara itu, kinerja pelayanan ditentukan oleh pelayan, proses pelayanan, dan kondisi lingkungan fisik ketika pelayanan diberikan.

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepuasan pelanggan adalah umur dan tingkat pendidikan (Ebtariani 2007), serta tingkat pendapatan (Ana 2008). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Anzola (2008) menunjukkan bahwa jenis kelamin mempengaruhi tingkat kepuasan konsumen terhadap tanggapan perusahaan pasca tindakan konplain melalui media massa Kompas, yaitu konsumen laki- laki lebih puas dibandingkan dengan konsumen perempuan. Penelitian Muthi (2009) dengan judul Analisis Tingkat Kepuasan Konsumen Terhadap Layanan Purna Jual Handphone menyatakan bahwa umur berpengaruh terhadap kepuasan konsumen yaitu semakin tua usia konsumen maka berpeluang sebesar 1.075 kali belih puas dibandingkan dengan konsumen yang lebih muda.

Strategi Peningkatan Kepuasan Pelanggan

Kepuasan pelanggan total bukan hal yang mudah untuk dicapai bagi tiap perusahaan. Berbagai upaya harus dapat dilakukan perusahaan untuk mempertahankan para pelanggannya agar tidak berpindah ke pesaing lain dengan mengorbankan banyak biaya dan investasi. Menurut Tjiptono (2004) diacu dalam Buchori (2006) terdapat berbagai strategi yang dapat diterapkan perusahaan untuk meningkatkan kepuasan pelanggannya, antara lain:

(21)

1. Relationship marketing (pemasaran melalui relasi)

Hubungan transaksi antara penyedia jasa dan pelanggan tidak berakhir setelah penjualan selesai, namun berupaya untuk menjalin suatu kemitraan jangka panjang dengan pelanggan secara terus-menerus agar terjadi pembelian ulang. Penerapannya dapat dilakukan dengan cara dibentuknya database pelanggan yang tidak hanya sekedar berisi nama pelanggan, tetapi mencakup hal-hal penting lainnya, misalnya frekuensi dan jumlah pembelian. Penerapannya dapat dilakukan dengan cara membrikan potongan harga khusus dan memberikan jaminan reservasi bagi pelanggan yang menggunakan jasa dengan frekuensi tertentu. 2. Superior customer service (pelayanan untuk konsumen superior)

Penerapan strategi ini memerlukan biaya besar, kemampuan SDM yang professional dan gigih, karena perusahaan berusaha menawarkan pelayanan lebih unggul daripada pesaingnya. Keunggulan pelayanan yang diberikan menuntu perusahaan untuk membebankan harga tinggi terhadap jasanya, namun akan terdapat pelanggan yang tidak keberatan denga tingginya harga tersebut. Perusahaan yang memberikan pelayanan superior ini pada akhirnya akan meraih laba dan tingkat pertumbuhan yang pesat dibandingkan pesaingnya.

3. Unconditional Guarantees (garansi tak terkondisi)

Perusahaan memberikan garansi tertentu ataupun memberikan layanan purna jual yang baik yang mampu menyediakan media efisien dan efektif untuk menangani keluhan. Intinya perusahaan memiliki komitmen memberikan kepuasan kepada pelanggan, yang pada akhirnya dapat menjadi sumber berguna untuk menyempurnakan mutu jasa dan kinerja perusahaan, serta akan meningkatkan motivasi para karyawan untuk mencapai tingkat kinerja yang lebih baik daripada sebelumnya.

4. Penanganan Keluhan Efektif

Penanganan ini dapat dilakukan dengan cara mengidentifikasi dan menentukan sumber masalah yang menyebabkan pelanggan tidak puas dan mengeluh. Masalah ini perlu diatasi, ditindaklanjuti dan diupayakan, agar di masa mendatang tidak timbul masalah yang sama.

5. Peningkatan Kinerja Perusahaan

Pemberian pendidikan dan pelatihan mencakup komunikasi, salesmanship dan public relations (PR) kepada setiap manajemen dan

(22)

karyawan dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Alternatif lain yang dapat dilakukan perusahaan untuk meningkatkan kinerjanya adalah membentuk tim-tim kerja lintas fungsional, sehingga diharapkan wawasan dan pengalaman karyawan semakin meningkat, yang pada aksirnya dapat meningkatkan kemampuan melayani pelanggan.

6. Quality Function Deployment (QFD)

QFD berupaya untuk menerjemahkan apa yang dibutuhkan pelanggan dan menjadi apa yang dihasilkan perusahaan. Hal ini dilaksanakan dengan melibatkan pelanggan dalam proses pengembangan produk dan jasa, maka perusahaan dapat memprioritaskan kebutuhan pelanggan, menemukan tanggapan inovatif terhadap kebutuhan tersebut dan memperbaiki proses, sehingga tercapai efektifitas maksimum.

Gambar

Gambar 1 Diagram proses kepuasan pelanggan (Rangkuti 2003).
Gambar 2 Diagram kesenjangan kualitas jasa (Zeithaml et al. diacu dalam Rangkuti gap 1

Referensi

Dokumen terkait

Analisis Kepuasan Mahasiswa terhadap Pelayanan Jasa Pendidikan Pada Sekolah Tinggi Illmu Ekonomi Mataram.. Psikologi Pelayanan dalam

Proses penyampaian jasa yang terjadi dalam lembaga perguruan tinggi (PT) tidak dapat dipisahkan dari keberadaan mahasiswa sebagai pelanggan jasa pendidikan yang ditawarkan3.

Profesi yang memberikan jasa pelayanan kepada masyarakat perlu mendapatkan kepercayaan dari masyarakat pengguna jasa profesi tersebut. Tanpa kepercayaan, profesi tersebut

19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, khususnya pasal 9 ayat 2 (a) menyatakan bahwa Kurikulum tingkat satuan pendidikan tinggi wajib memuat mata kuliah

Aspek jasa yang diberikan peningkatan kualitas pelayanan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat pelanggan diharapkan dapat dilakukan dengan cara memberikan kemudahan dalam

Kepercayaan memiliki pengaruh lebih kuat terhadap loyalitas pelanggan dibanding kualitas jasa terhadap loyalitas pelanggan, namun perlu dicatat bahwa kualitas jasa memiliki pengaruh

Berdasarkan alasan-alasan tersebut diatas jelaslah bagi kita bahwa memberikan pelayanan yang berkualitas pada pelanggan pendidikan merupakan sebuah keharusan karena dengan

Upaya untuk mendukung tingkat retensi pelanggan yang tinggi adalah pelaksanaan aktivitas program pelayanan pelanggan yang dapat memberikan kepuasan sehingga perusahaan tetap