• Tidak ada hasil yang ditemukan

DINAMIKA PERILAKU KECURANGAN AKADEMIK PADA SISWA SEKOLAH BERBASIS AGAMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DINAMIKA PERILAKU KECURANGAN AKADEMIK PADA SISWA SEKOLAH BERBASIS AGAMA"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

DINAMIKA PERILAKU KECURANGAN AKADEMIK

PADA SISWA SEKOLAH BERBASIS AGAMA

Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata II pada Program Magister Psikologi

Oleh:

SARI PURNAMAWATI S 300080021

PROGRAM MAGISTER PSIKOLOGI SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2016

(2)

i

HALAMAN PERSETUJUAN

DINAMIKA PERILAKU KECURANGAN AKADEMIK

PADA SISWA SEKOLAH BERBASIS AGAMA

PUBLIKASI ILMIAH

Oleh:

SARI PURNAMAWATI S 300080021

Telah diperiksa dan disetujui untuk diuji oleh: Dosen Pembimbing

(3)
(4)
(5)

1

DINAMIKA PERILAKU KECURANGAN AKADEMIK PADA SISWA SEKOLAH BERBASIS AGAMA

(Dinamika Perilaku Kecurangan Akademik, faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kecurangan akademik pada siswa di sekolah berbasis agama)

Abstrak

Penelitian ini menggambarkan dinamika kecurangan akademik pada siswa sekolah berbasis agama, terdiri dari: (1) Faktor Diri sendiri. (2) Faktor Teman. (3) Faktor Guru. (4) Faktor Orangtua. Lokasi penelitian dilakukan di MAN Al Huda Kabupaten Semarang dengan informan penelitian berjumlah 5 siswa. Metode pengumpulan data menggunakan wawancara dan analisis data menggunakan interactive model.

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan: (1) Faktor Diri sendiri, informan melakukan kecurangan akademik karena empat hal, yaitu: (a) pandangan terhadap perilaku kecurangan, (b) rasa malas atau rendahnya motivasi, (c) kesulitan akan pemahaman materi, (d) Kebutuhan akan pengakuan. (2) Faktor teman terdiri dari: (a) terpengaruh perilaku teman (b) solidaritas atau konformitas dan (c) kerjasama . (3) Faktor Guru terdiri dari: (a) pengawasan saat ulangan, (b) metode pembelajaran atau suasana pembelajaran, dan (c) kedisiplinan guru. (4) Faktor Orangtua, terdiri dari (a) tuntutan nilai yang baik, (b) perhatian yang minim, dan (c) sikap orangtua yang suka membandingkan. Dinamika psikologis perilaku kecurangan akademik pada sekolah berbasis agama, dapat disimpulkan sebagi berikut: (1) informan memiliki sikap positif terhadap perilaku menyontek, yang membuat informan memiliki pengalaman yang menyenangkan, (2) informan memiliki keyakinan bahwa perilaku menyontek dan bekerjasama dengan teman dapat menguntungkan untuk memperoleh nilai bagus, sehingga intensitas menyontek secara berulang-ulang dan menjadi kebiasaan, (3) suasana pembelajaran yang tidak kondusif mendorong informan untuk melakukan kecurangan secara berulang dan (4) tuntuntan orangtua tanpa disertai perhatian yang cukup membuat informan memilih melakukan kecurangan untuk memperoleh nilai yang baik.

(6)

2 Abstract

The study describes the dynamics of academic fraud of the religion based school students which consists of four factors: (1) self, (2) friends, (3) teachers, and (4) parents. The study took place in MAN Al Huda in Semarang District involving five students. The data is collected by interview and then analyzed by using interactive model. Based on the result of the study, it can be concluded that: (1) the self factor, informants do academic fraud because: (a) their view towards fraud behavior, (b) the laziness or low motivation, (c) difficulty in understanding the materials, and (d) the need of acknowledgement or recognition. (2) the friends factor consists of: (a) the influence of friends’ behavior, (b) solidarity or conformity, (c) cooperation. (3) the teachers factor consists of: (a) the surveillance in the examination, (b) the method and condition of the learning process, (c) teachers’ discipline. (4) the parents factor consists of: (1) the demands of high scores, (b) lack of attention, (c) the attitude of comparing. The dynamic of academic fraud of the religion based school students can be concluded as follows: (1) informants have positive view towards cheating which makes them continuously do the act, (2) informants believe that cheating and cooperating with friends is an advantageous act that can give them good scores and so the act is become a habit. (3) the method and condition of the learning process encourage the informants to repeatedly do the cheating act, and (4) the parents’ demand of high scores without giving attention force the informants do the fraud.

(7)

3 PENDAHULUAN

Kecurangan akademis dapat ditemukan di institusi pendidikan tingkat manapun. Walau keberadaan kecurangan akademis di dunia pendidikan tidak mungkin ditiadakan sepenuhnya, masalah ini tetap harus diperlakukan secara serius oleh akademis Indonesia. Selama ini belum ada bentuk punishment untuk menghentikan kebiasaan buruk ini.

Sesuai dengan penjelasan Bintoro, (2013) bahwa hubungan dengan manusia yang berkualitas, di dalam ranah keilmuan psikologi terdapat suatu istilah kecurangan akademik yang menunjukkan suatu perilaku tidak jujur dalam pelaksanaan ujian, yang tidak peduli apakah kecurangan tersebut merugikan atau tidak, setiap kecurangan dalam menghadapi suatu tugas dan ujian dinamakan kecurangan akademik.

Davis, (2009) menyatakan bahwa perilaku curang merupakan “deciving or depriving by trickery, defrauding misleading or fool another”. Maka menurutnya ketika hal

tersebut dikenakan pada istilah kecurangan siswa, kecurangan akademik atau penyimpangan akademik menjadi suatu perbuatan yang dilakukan siswa yang menipu, mengaburkan atau mengecoh pengajar hingga pengajar berpikir bahwa pengerjaan akademik yang dikumpulkan siswa adalah hasil pekerjaan siswa sendiri. Tindakan kecurangan akademis, seperti menyontek, sebenarnya merupakan salah satu tindakan yang melanggar nilai sosial masyarakat ini, yaitu nilai kejujuran. Adanya kecurangan-kecurangan akademik menunjukkan hilangnya esensi pendidikan yang awalnya adalah mencari ilmu beralih menjadi ajang perlombaan mencari nilai. Idealnya pendidikan semestinya menjadi tempat dalam mengambangkan bakat, minat, mencapai prestasi dan menghasilkan sesuatu yang lebih positif sehingga memunculkan prestasi belajar yang optimal.

Barzegar dan Khezri (2012) melaporkan tentang tipe kecurangan yang dilakukan oleh siswa yaitu di antaranya menyalin jawaban dari siswa lain, menerima jawaban dari siswa lain secara cuma-cuma, meminta izin untuk melihat jawaban siswa lain ketika pelaksanaan kuis atau ujian, melakukan copying dari buku pada saatu ujian sementara sifat ujiannya adalah tutup buku. Bentuk-bentuk kecurangan dan ketidakjujuran

(8)

4

dalam pelaksanaan ujian adalah menyalin jawaban dari bagian belakang kartu, menyalin pekerjaan temannya, keliru menulis apa yang dilihat, didengar, atau dilakukan. Kecurangan akademik yang paling sering dilakukan oleh siswa adalah pelanggaran terhadap peraturan-peraturan dalam menyelesaikan ujian atau tugas, memberikan keuntungan kepada siswa lain di dalam ujian atau tugas dengan cara tidak jujur, dan pengurangan keakuratan yang diharapkan pada performansi siswa. Kecurangan di dalam kelas diantaranya menggunakan buku catatan pada saat ujian, menyalin jawaban dari pekerjaan siswa yang lain, membiarkan orang lain menyalin pekerjaan rumah, menjiplak, dan lain-lain.

Penelitian yang dilakukan oleh Suparman (2011) pada sekolah MAN dan SMAN, didapatkan hasil bahwa kualitas perilaku jujur pada siswa MAN lebih tinggi dibandingkan dengan siswa SMAN. Hal ini dipengaruhi oleh perbedaan jumlah jam pelajaran pendidikan agama pada sekolah MAN yang jauh lebih banyak yaitu 5 jam per minggu. Dengan demikian pendidikan agama di sekolah merupakan salah satu faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap pembinaan akhlak anak didik, dalam hal ini termasuk sikap jujur. Namun, berdasarkan hasil penelitian dari Azizah (2006) menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan religiusitas antara siswa berlatar belakang pendidikan umum dan siswa berlatar belakang pendidikan agama, tetapi dalam hal perilaku moral terdapat perbedaan yang signifikan, dimana siswa berlatar belakang pendidikan umum mempunyai perilaku moral yang lebih tinggi daripada siswa berlatar belakang pendidikan agama.

Hal tersebut juga terjadi di MAN Al Huda Kabupaten Semarang. Sebagai sekolah berbasis agama MAN Al Huda Kabupaten Semarang, sebagian para siswa ditemui melakukan kecurangan akademik. Dari wawancara dengan beberapa siswa dan guru BK (Wawancara, Guru dan Siswa MAN Al Huda Kabupaten Semarang, 12 September 2015), bentuk-bentuk kecurangan akademis yang sering terjadi adalah: (1) Meniru hasil pekerjaan teman, saat guru memberikan tugas atau pekerjaan untuk materi yang sama. Ada beberapa siswa yang sengaja meniru pekerjaan teman mereka baik di kelas yang sama atau berbeda. (2) Ketika ada tugas untuk membuat paper mereka tidak mencantumkan sumber data dengan alasan susah atau lupa tidak

(9)

5

mencatat sumber datanya. (3) Pemalsuan data, yaitu mencantumkan data pada tulisan tanpa mensurvei terlebih dahulu.

Bentuk kecurangan lainnya, (4) Penggandaan tugas, yakni mengajukan dua karya tulis yang sama pada dua kelas yang berbeda tanpa ijin guru. (5) Mencontek pada saat ujian, meliputi Menyalin lembar jawaban orang lain, Menggandakan lembar soal kemudian memberikannya kepada orang lain, Memberikan jawaban soal ujian kepada teman, Menggunakan catatan kecil saat ujian padahal tidak diperbolehkan, dan Menggunakan handphone untuk mencontek. (6) Kerjasama yang salah. Beberapa guru mengatakan bahwa siswa melakukan kecurangan akademik dengan cara: menyontek dengan menggunakan materi yang tidak sah dalam ujian, menggunakan informasi palsu, plagiat, membantu siswa lain untuk menyontek seperti membiarkan siswa lain menyalin tugasnya, memberikan kumpulan soal-soal yang sudah diujiankan, mengingat soal ujian kemudian membocorkannya.

Kecurangan akademik yang menjadi kebiasaan akan berakibat negatif bagi diri siswa, seperti siswa yang terbiasa melakukan kecurangan akademik akan senang menggantungkan pencapaian hasil belajarnya pada orang lain atau sarana tertentu dan bukan pada kemampuan dirinya sendiri. Akibat dari kecurangan akademik akan memunculkan dalam diri siswa perilaku atau watak yang tidak percaya diri, tidak disiplin, tidak bertanggung jawab, tidak kreatif, tidak berprestasi, tidak mau membaca buku pelajaran tapi siswa lebih rajin membuat catatan-catatan kecil untuk bahan menyontek. Secara psikologis, kecurangan dapat menyebabkan ketidakstabilan nilai yang berpotensi kepada masalah psikologis selanjutnya seperti menjadi merasa bersalah dan malu (Mulyawati, 2010)

Kecurangan akademik berdampak negatif pada siswa sendiri, guru, dan lembaga sekolah. Dampak pada siswa antara lain tidak percaya diri, tidak disiplin, tidak bertanggung jawab, tidak kreatif, atau tidak berprestasi. Dampak bagi guru hasil penilaian pendidikan menjadi tidak valid dan dampak bagi sekolah menyebabkan penurunan keandalan kualitas pendidikan.

Fenomena kecurangan akademik yang dilakukan siswa MAN menimbulkan beberapa rumusan masalah yaitu: (1) faktor-faktor apa yang mendorong siswa melakukan kecurangan akademik, (2) bagaimanakah bentuk-bentuk kecurangannya yang

(10)

6

dilakukan oleh siswa pada sekolah berbasis agama, dan (4) bagaimanakah dinamika psikologis perilaku kecurangan akademik pada sekolah berbasis agama?

METODE

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif ini secara spesifik lebih diarahkan pada penggunaan pendekatan studi kasus. Sebagaimana pendapat Lincoln dan Guba (Moelong, 2008) yang menyebutkan bahwa pendekatan kualitatif dapat juga disebut dengan case study

ataupun qualitative, yaitu penelitian yang mendalam dan mendetail tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan subjek penelitian. Studi kasus dapat diartikan sebagai suatu teknik mempelajari seseorang individu secara mendalam mengenai kecurangan akademik pada siswa

INFORMAN PENELITIAN

Penelitian ini akan menggunakan subjek yang dijadikan informan sebanyak 5 orang, seperti yang dikemukakan oleh Polkinghorne (dalam Creswell, 2008) bahwa informasi dikumpulkan melalui wawancara panjang dengan subjek yang berkisar 5-25 subjek. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 5 0rang.

Subjek penelitian ditentukan secara purposive sampling yaitu menentukan ciri-ciri atau karakteristik tertentu dari informan (Hadi, 2000). Pengambilan subjek dengan metode purposive sampling diharapkan tujuan penelitian akan dapat terpenuhi secara baik. Subjek penelitian adalah siswa, dengan karakteristiknya sebagai berikut:

1. Subjek tercatat secagai siswa di MAN Al Huda Kabupaten Semarang. 2. Subjek pernah melakukan kecurangan akademik.

ANALISIS DAN VERIFIKASI DATA

Analisis data dalam penelitian dengan pendekatan fenomenologi ini terdiri dari empat tahap yaitu epoche, reduksi fenomenologi, variasi imajinasi, sintesis makna dan esensi (Huserl dalam Cresswel, 2009).

(11)

7

Epoche merupakan pemutusan hubungan dengan pengalaman dan pengetahuan yang peneliti miliki sebelumnya. Dalam penelitian ini peneliti memerlukan sebuah cara untuk melihat, memperhatikan, tanpa melibatkan prasangka peneliti pada apa yang dilihat, dipikirkan dan dirasakan. Peneliti mengamati pengalaman yang dialami subyek tanpa melibatkan pengalaman dan pengetahuan peneliti sehingga peneliti hanya focus pada subyek penelitian.

a. Kegiatan wawancara

Wawancara dilakukan untuk mengetahui factor-faktor yang mempengaruhi kecurangan akademis dan bentuk-bentuk kecurangannya menggunakan guide interview yang disusun berdasarkan studi pendahuluan (observasi dan wawancara) yang dilakukan sebelum penelitian.

b. Pemberian kode (koding) untuk reduksi data

Koding adalah pemberian kode pada satuan-satuan yang telah direduksi. Pemberian kode meliputi: (a) penandaan sumber asal satuan, dalam penelitian ini data yang berdasar wawancara, (b) penandaan jenis informan, pada penelitian ini kode 1 = untuk wawancara pertama pada informan dan 2 = untuk wawancara kedua. Kelima informan akan dibedakan dengan pemberian kode inisial nama. (c) penandaan letak baris didalam verbatim, penandaan dilakukan dengan menggunakan angka arab untuk menunjukkan letak baris dalam verbatim. Contoh: W.I.F.65-67 artinya wawancara pertama terhadap informan yang bernama F dan kutipan diambil dari baris 65-67 dalam verbatim.

2. Tahap kedua (Reduksi Fenomenologi)

Pada langkah ini peneliti menjelaskan bagaimana subyek terlihat. Tidak hanya secara eksternal melainkan juga secara internal yang meliputi kesadaran dalam tindakan, pengalaman dan hubungannya dengan fenomena yang dikaji yaitu kecurangan akademis. Data yang diperoleh dikelompokkan sesuai dengan faktor-faktor yang ditemukan selama wawancara.

3. Tahap ketiga (Variasi Imajinasi)

Variasi imajinasi mencari makna yang mungkin dengan memanfaatkan imajinasi, kerangka rujukan, dan pendekatan terhadap fenomena dari perspektif yang berbeda. Tujuannya untuk mencapai deskripsi structural dari sebuah pengalaman. Peneliti

(12)

8

melakukan pemberian makna sesuai data yang diperoleh dari suyek penelitian. Pemberian makna dapat berupa bahasa yang diperoleh peneliti melalui wawancara dan dipadukan dengan hasil observasi sebelum dan saat melakukan penelitian.

4. Tahap keempat (Sintesis makna dan esensi)

Pada tahap ini peneliti menyimpulkan hasil temuan dengan cara menghubungkan pemaknaan hasil wawancara dan observasi sehingga memperoleh satu kesimpulan sebagi esensi pengalaman dan fenomena secara keseluruhan.

Berikut ini bagan penjelasan analisis data.

Bagan 3.1 Proses Analisis Data

Sumber: Huserl (2009) HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil temuan data di lapangan, dapat diketahui bahwa siswa MAN Al Huda melakukan kecurangan akademik dipengaruhi oleh beberapa faktor :

1. Faktor diri sendiri

Alfindra Primaldi (dalam Martindas, 2010) menyebutkan faktor yang bersifat internal antara lain meliputi academic self-efficacy, indeks prestasi akademik, self-esteem, kemampuan atau kompetensi motivasi akademik (need for approval belief), dan moralitas.

Ajzen (dalam Meng, dkk., 2011) menyatakan bahwa factor internal terdiri dari dari aspek: (a) sikap terhadap perilaku (attitude toward behavior): keyakinan tentang perilaku tertentu beserta konsekuensinya, (b) norma informantif (subjective norm) adalah harapan yang bersifat normatif (menurut norma atau kaidah yang berlaku) dari

Epoche

Sintesis Makna

Variasi Imajinasi

(13)

9

orang lain yang dianggap penting oleh pelaku perilaku tertentu, (c) kontrol perilaku yang dirasakan (perceived behavioral control) adalah kesulitan atau hambatan yang dirasakan atau kemudahan dalam melakukan perilaku tertentu (d) kewajiban moral (moral obligation): perasaan individu mengenai kewajiban untuk terlibat atau menolak melakukan perilaku tertentu.

Ini sesuai dengan hasil penelitian yang menemukan empat hal dalam faktor diri sendiri informan, yang meliputi kebutuhan akan prestasi akademik, pandangan moral terhadap perilaku kecurangan, kebutuhan akan pengakuan, serta motivasi prestasi yang menjadi pendorong perilaku kecurangan.

Keinginan siswa untuk memperoleh hasil yang lebih baik dengan cara efisien keinginan untuk memperoleh hasil yang baik terkadang tidak disertai dengan kemauan berusaha, karena itu sering muncul keinginan untuk mendapat hasil dengan cara yang singkat dan mudah yaitu dengan cara menyontek. Sikap peserta didik adalah gejala internal yang berdimensi efektif berupa kecenderungan untuk mereaksi atau merespon dengan cara yang relatif tetap terhadap objek barang dan sebagainya baik secara positif maupun negatif.

Perilaku menyontek yang dilakukan peserta didik saat ulangan atau ujian, dapat mengikis kepribadian positif didalam diri peserta didik, menzalimi temannya sendiri, dan akan mengalami kerugian terhadap dirinya, menyontek bisa mendapatkan nilai yang tinggi akan tetapi mengalami kesulitan saat belajar nya dan kemungkinan tidak memahami soal-soal saat ulangan hal ini disebabkan perilaku menyontek merupakan tindakan curang yang mengabaikan kejujuran, mengabaikan usaha optimal seperti belajar tekun sebelum ujian, serta mengikis kepercayaan diri peserta didik.

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, tiga pernyataan yang sering dijadikan alasan oleh informan, yaitu: (1) nilai tinggi penting untuk mendapat pengakuan; (2) saya malas untuk belajar tetapi ingin mendapat nilai yang tinggi; (3) Saya mengalami kesulitan dalam memahami materi dalam kelas.

2. Faktor teman

Di masa informan atau pada saat duduk di bangku SMA, informan sangat rentan terpengaruh terhadap pengaruh sosial yang akan mempengaruhi perilaku informan.

(14)

10

Selanjutnya pengaruh dari orang lain dalam sebuah kelompok inilah yang disebut sebagai konformitas. Santrock (2003), mendefinisikan konformitas sebagai hal yang muncul ketika individu meniru tingkah laku atau sikap orang lain. Sikap menyesuaikan diri dengan kelompok atau yang disebut konformitas teman sebaya tersebut dapat menimbulkan beberapa akibat seperti kehilangan identitas diri dan kurangnya rasa percaya diri (Myers, 2008).

Informan mempengaruhi teman untuk menyontek. Sikap solidaritas informan dibagi menjadi dua hal, yaitu solidaritas yang positif dan solidaritas negatif, jika solidaritas ditanggapi secara positif oleh informan sekarang maka dampaknya akan baik sekali untuk perkembangan kehidupan sosial informan di masa yang akan datang. Tetapi jika sikap solidaritas ini sudah menyimpang dari arti yang sebenarnya inilah yang membuat sikap solidaritas itu sendiri menjadi negatif. Melihat fenomena ini para informan di sekolah misalnya pada saat ujian berlangsung informan membantu temannya dengan cara memberikan jawaban dengan alasan bahwa itu merupakan sikap solider.

Menurut Ajzen (dalam Meng, dkk., 2011) terdiri dari dari aspek: (a) sikap terhadap perilaku (attitude toward behavior), yaitu keyakinan tentang perilaku tertentu beserta konsekuensinya, (b) norma informantif (subjective norm) adalah harapan yang bersifat normatif (menurut norma atau kaidah yang berlaku) dari orang lain yang dianggap penting oleh pelaku perilaku tertentu, (c) kontrol perilaku yang dirasakan (perceived behavioral control) adalah kesulitan atau hambatan yang dirasakan atau kemudahan dalam melakukan perilaku tertentu, dan (4) kewajiban moral (moral obligation) didefinisikan sebagai perasaan individu mengenai kewajiban untuk terlibat atau menolak melakukan perilaku tertentu.

Sikap mempengaruhi perilaku lewat suatu proses pengambilan keputusan yang teliti dan beralasan dan berdampak sebagai berikut: 1) Perilaku tidak banyak ditentukan oleh sikap umum tapi oleh sikap yang spesifik terhadap sesuatu. 2) Perilaku dipengaruhi tidak hanya oleh sikap tetapi juga oleh norma-norma subjektif yaitu keyakinan kita mengenai apa yang orang lain inginkan agar kita perbuat. 3) Sikap terhadap suatu perilaku bersama norma-norma subjektif membentuk suatu intensi atau niat untuk berperilaku tertentu.

(15)

11

Sikap spesifik yang dapat mempengaruhi perilaku adalah sikap social yang dinyatakan dengan cara berulang-ulang pada kegiatan yang sama atau lebih lazimnya disebut kebiasaan, motif merupakan dorongan, keinginan dan hasrat yang berasal dari dalam diri, nilai-nilai merupakan norma-norma subjektif sedangkan kekuatan pendorong dan kekuatan penahan adalah berupa nasihat atau penyuluhan dan informasi.

Fishbein dan Ajzen (dalam Meng, dkk., 2011) mengemukakan hasil penelitian yang kemudian disebut dengan Teori Reasoned Action bahwa suatu perilaku seseorang dipengaruhi oleh intensi untuk melakukan perilaku tersebut, sedangkan intensi itu dipengaruhi oleh sikap dan norma informantif orang tersebut. Sikap ini merupakan faktor personal seseorang yaitu adanya keyakinan bahwa perilaku yang dipikirkannya memiliki dampak yang menguntungkan atau merugikan dirinya. Kemudian terjadi proses pertimbangan evaluasi atau penilaian konsekuensi yang dihasilkan dari perilaku tersebut. Apabila penilaian tersebut positif, maka orang akan cenderung memiliki intensi melakukan perilaku yang dipikirkannya. Sedangkan, norma informantif ini merupakan faktor sosial seseorang yaitu adanya persepsi informatif atas pendapat orang-orang yang menjadi teladan atau panutannya. Orang cenderung akan mematuhi pendapat orang yang menjadi panutannya. Apabila yang dipersepsikan ialah panutannya akan melakukan perilaku yang dipikirkan, maka orang tersebut memiliki intense kuat untuk melakukan perilaku yang dipikirkannya. Sikap terhadap kecurangan akademis adalah tingkatan dimana individu memiliki evaluasi setuju dan tidak setuju atau penetapan nilai terhadap kecurangan akademis. Sikap terhadap kecurangan akademis diasumsikan dari keyakinan-keyakinan atas perilaku plagaisi dan evaluasi secara positif atau negatif terhadap konsekuensi kecurangan akademis. Konsekuensi kecurangan akademis meliputi keuntungan dan kerugian yang didapat individu saat melakukan tindak kecurangan akademis.

3. Faktor guru

Sikap informan yang positif terutama dalam mata pelajaran yang di sajikan guru merupakan pertanda awal yang baik bagi proses belajar peserta didik tersebut. Sebaliknya sikap negatif informan terhadap guru dan mata pelajaran, apabila diiringi

(16)

12

dengan sikap tidak suka kepada guru dan mata pelajarannya dapat menimbulkan atau mempengaruhi nilai dan prestasi yang dicapai peserta didik akan kurang.

Guru yang kurang tegas menjadi faktor informan menyontek, suasana kelas dan tindakan-tindakan guru mempengaruhi pembentukan sikap dan perasaan para siswa. Oleh karena itu, guru berperan besar dalam membentuk perilaku dan karakter siswa atau peserta didiknya. Kebijakan yang ditetapkan oleh pendidik di kelas menentukan perilaku peserta didik ketika di kelas. Demikian pula dengan pembiasaan-pembiasaan yang diterapkan pendidik ketika di kelas, termasuk membiasakan kejujuran dalam setiap kegiatan akademik peserta didik akan mempengaruhi perilaku peserta didik dalam kegiatan akademiknya.

Mencontek terjadi pada informan, karena adanya peluang atau kesempatan. Salah satu penyebab munculnya kesempatan mencontek adalah pengawas lengah terhadap tingkah laku informan. Informan sering memanfaatkan kelemahan pengawas dengan cara berinteraksi dan melakukan aktivitas mencontek. Oleh karena itu, kesempatan men-contek ini haruslah diminimalisir oleh pengawas dengan melakukan pengawasan yang ketat dan disiplin selama masa ujian.

Informan yang mengungkapkan bahwa faktor utama individu akan melakukan kecurangan akademik jika ada peluang. Peluang yang dimaksud seperti jika saat ujian tim pengawas tidak ketat dalam melakukan pengawasan, maka informan tersebut akan mudah dalam melakukan kecurangan. Pernyataan kedua ada banyak informan yang menyalin jawaban informan lain juga merupakan peluang dalam perilaku kecurangan. Jika pada saat ujian berlangsung, pengawasan lemah dan ditambah dengan sanksi yang diberikan pengawas kurang tegas seperti hanya teguran saja akan membuat informan semakin leluasa dalam melakukan kecurangan akademik. Informan yang melakukan kecurangan akademik selalu melakukan pembenaran dengan mengatakan bahwa kecurangan akademik tersebut wajar dilakukan karena hal-hal tertentu. Banyak informan yang tidak ingin disalahkan ketika melakukan kecurangan akademik.

(17)

13

Tuntutan orang tua untuk mendapat nilai yang tinggi saat ulangan dan peraturan-peraturan yang di buat serta memaksa anaknya untuk menuruti semua yang di katakan. Oleh karena itu peserta didik menghalalkan segala cara untuk mendapatkan nilai yang tinggi.

Orangtua informan tidak menargetkan untuk mendapatkan rangking di kelas membuat siswa tidak tertekan untuk memperoleh nilai tinggi.

Sejalan dengan pendapat Syah (2003:145) bahwa lingkungan sosial sekolah seperti para guru, para staf administrasi dan teman-teman sekelas dapat mempengaruhi semangat belajar seorang peserta didik.. Selanjutnya lingkungan sosial yang lebih banyak mempengaruhi kegiatan ialah orang tua dan keluarga peserta didik itu sendiri. Informan mengabaikan keberadaan orangtua dan kurang peduli kalau perilaku menconteknya ketahuan orangtua. Orangtua sering menekankan anaknya untuk memperoleh nilai dan peringkat akademis daripada pemahaman materi pelajaran, orang tua yang ingin anaknya meraih prestasi tinggi, ada yang menyadari kemampuan anaknya tidak terlalu baik sehingga tidak terlalu menuntut nilai tinggi, tetapi tetap memberikan motivasi untuk berprestasi lebih baik, ada juga orang tua yang memahami kemampuan anaknya pas-pasan tetap menuntut prestasi tinggi demi gengsi dan kebanggaan, sehingga anak dimarahi jika mendapat nilai jelek.

5. Cara melakukan kecurangan

Dalam penelitian ditemukan persamaan antara temuan data di lapangan dengan teori. Seperti, informan menyontek dengan cara meminjam jawaban informan, memanfaatkan meja untuk menuliskan contekannya, menyiapkan kertas kecil, menggunakan kode saat menyontek bersama teman, bertanya pada teman, membuat catatan-catatan dengan huruf kecil, contekan diletakkan di bawah meja atau di pangkuan.

Anitsal, (2009) menambahkan bahwa ada dua kategori kecurangan akademik yaitu kecurangan akademik pasif dan kecurangan akademik aktif. Perilaku kecurangan akademik pasif meliputi melihat orang lain menyontek tapi tidak melaporkannya, memberikan informasi tentang soal ujian kepada orang yang belum ujian di mata pelajaran yang sama.

(18)

14 6. Dinamika Kecurangan Akademik

Informan melakukan kecurangan akademik dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu faktor diri sendiri, teman, guru, dan orangtua. Faktor diri sendiri terdiri dari pandangan terhadap perilaku kecurangan, rasa malas, kesulitan akan pemahaman materi, dan kebutuhan akan pengakuan. Faktor teman terdiri dari terpengaruh perilaku teman, solidaritas atau konformitas, dan kerjasama. Faktor guru terdiri dari pengawasan saat ulangan, metode pembelajaran atau suasana pembelajaran, dan kedisiplinan guru. Faktor orangtua meliputi tuntutan nilai yang baik, minimnya perhatian, dan sikap suka membandingkan.

Keempat faktor ini saling memperkuat satu dengan yang lainnya dalam mendorong perilaku kecurangan akademik. Faktor diri sendiri mempengaruhi sikap informan terhadap faktor teman, guru, dan orangtua. Informan merasa bahwa perbuatan curang itu biasa saja dan sah dilakukan ketika ingin mendapatkan nilai yang baik dengan cara yang mudah.

Kebutuhan akan pengakuan mendorong informan untuk mengikuti perilaku curang yang dilakukan teman. Temanpun mendorong atau mempengaruhi informan untuk melakukan kecurangan dengan alasan solidaritas. Alasan yang sama digunakan oleh

Faktor Diri Sendiri

- Pandangan terhadap perilaku curang

- Rasa malas atau rendahnya motivasi - Kesulitan akan pemahaman materi - Kebutuhan akan pengakuan Faktor Teman - Terpengaruh perilaku teman - Solidaritas atau konformitas - Kerja sama Faktor Guru - Pengawasan saat ulangan - Metode pembelajaran atau suasana pembelajaran - Kedisiplinan guru Faktor Orangtua

- Tuntutan nilai yang baik

- Perhatian yang minim - Sikap suka

membandingkan - Kedisiplinan guru

PERILAKU KECURANGAN

(19)

15

informan untuk melakukan kerjasama dalam kecurangan akademik dengan teman. Informan merasa mendapatkan keuntungan dan kemudahan dalam melakukan kecurangan akademik saat bekerjasama dengan teman. Rasa malas belajar dan kesulitan akan pemahaman materi mendorong informan untuk terus menerus melakukan kerjasama dalam hal kecurangan ini.

Keinginan untuk mendapatkan nilai yang baik dengan cara yang mudah juga didukung dengan suasana pembelajaran yang tidak kondusif. Lemahnya pengawasan dari guru memberi dimanfaatkan oleh informan untuk melakukan kecurangan akademik, baik secara individu maupun dengan cara bekerjasama dengan teman. Tidak adanya sanksi yang tegas dari guru dan puasnya informan dengan nilai yang didapat dari perilaku kecurangan menyebabkan perilaku ini terus berulang.

Sikap orangtua yang menuntut nilai yang tinggi tanpa diimbangi dengan perhatian yang cukup menjadi dasar bagi informan untuk mendapatkan nilai yang baik dengan cara curang. Orangtua tidak mempermasalahkan bagaimana cara anak mendapat nilai yang baik tetapi hanya focus pada hasilnya menjadikan informan merasa sah-sah saja untuk melakukan kecurangan. Hal ini diperburuk dengan sikap orangtua yang suka membandingkan prestasi informan dengan prestasi anak lain, misalnya teman atau saudara. Hal ini sejalan dengan kebutuhan akan pengakuan sehingga perilaku kecurangan berlangsung terus menerus.

Perilaku kecurangan yang berhasil membuat informan mendapat nilai yang baik tanpa adanya sanksi akademik dan sanksi sosial membuat perilaku ini terus berulang.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil pembahasan dapat diperoleh kesimpulan bahwa ada empat faktor pendorong perilaku kecurangan akademik yaitu: (1) faktor diri sendiri yang terdiri (2) faktor teman, (3) faktor guru, dan (4) adalah orangtua.

Bentuk-bentuk kecurangannya akademik yang dilakukan oleh informan dalam menyontek dengan berbagai cara, cara-cara tersebut yaitu: menyontek dengan cara meminjam jawaban siswa, memanfaatkan meja untuk menuliskan contekannya, menyiapkan kertas kecil, menggunakan kode saat menyontek bersama teman, bertanya pada teman, membuat catatan-catatan dengan huruf kecil, contekan diletakkan di bawah meja atau di pangkuan.

Dinamika psikologis kecurangan akademik pada siswa sekolah berbasis agama dapat dijelaskan sebagai hasil dari perpaduan empat faktor pendorong. Adanya tuntutan dari orangtua dan pengakuan dari teman menyebabkan informan melakukan kecurangan akademik. Hal ini didukung dengan mudahnya informan melakukan kecurangan dan tidak adanya sanksi yang berarti untuk setiap kecurangan yang dilakukan.

beberapa saran yang dapat diberikan peneliti adalah: 1. Bagi Siswa

Agar dapat hasil yang maksimal dari perubahan tingkah laku positif yang telah dicapai hendaknya siswa dapat membedakan perilaku yang baik dan buruk bagi

(20)

16

dirinya sehingga tidak melakukan perilaku yang merugikan diri sendiri maupun orang lain.

2. Bagi Guru

Dibutuhkan pendekatan atau tindakan kuratif guru, yang berlaku bagi siswa yang sudah terbiasa dengan contek mencontek, dengan memberikan peringatan bentuk kongkrit misalnya teguran verbal dan sanksi yang mendidik. Memberikan bimbingan dan ketegasan terhadap siswa.

3. Bagi Kepala Sekolah

Kepala Sekolah menindak tegas terhadap siswa yang melakukan kecurangan. Cara yang dapat dilakukan yaitu memberi bimbingan, peringatan, dan sanksi untuk tidak mengikuti ulangan serta memberikan kesempatan kepada siswa untuk melaporkan temannya yang melakukan kecurangan akademik, dengan cara menyediakan tempat atau kotak dapat untuk menerima laporan-laporan mengenai kecurangan yang terjadi. 4. Bagi Sekolah

Sekolah berbasis agama seharusnya mengedepankan sisi religiusitas dalam pembelajarannya. Faktor agama atau relgiusitas merupakan salah satu faktor penting dalam membentuk sikap dan moral siswa mengenai perbuatan yang baik dan buruk.

DAFTAR PUSTAKA

Anitsal, I., Anitsal, M.M., & Elmore, R. 2009. Academic dishonesty and intention to cheat: A model on active versus passive academic dishonesty as perceived by business student. Academic of Educational Leadership Journal,13 (2): 17-26.

Arya. 2014. Kejujuran adalah Segalanya dalam Pendidikan. http://edukasi.kompas.com/read/2011/06/15/13261685/Dalam.Pendidikan.K ejujuran.adalah.Segalanya, diunduh pada Rabu, 17 September 2015.

Azizah, N. 2006. Perbedaan religiusitas Terhadap perilaku moral Pada Siswa SMA Malang. Jurnal Penabur. Vol. 3. No. 2. Hal. 23-32.

Azwar, S. 2008. Pengukuran Sikap dan Perilaku Manusia. Jakarta: Rineka Cipta. Bintoro, W., Purwanto, E., dan Indah, D. 2013. Hubungan Self Regulated Learning

dengan Kecurangan Akademik Siswa. Educational Psychology Journal. 2 (1). Hal. 57-64.

Barzegar, K dan Khezri, H. 2012. Predicting Academic Cheating Among the Fifth Grade Students: The Role of Efficacy and Academic Self-Handicapping. J. Life Sci. Biomed. 2(1): 1-6.

Creswell, J.W. 2008. Qualitative Inquiri and Reseacrh Design: Chosing Among Five. USA: Sage Publication, Inc.

(21)

17

Davis, S. F., Grover, C. A., Becker, A. H., & McGregor, L. N. 2009. Academic dishonesty: Prevalence, Determinants, Techniques, and Punishments.

Teaching of Psychology, 19, 16–20.

Hadi, S. 2000. Metodology Research II. Yogyakarta: Andi Press.

Martindas, R. 2010. Mencegah kecurangan akademik. http://budimatindas.blogspot.com, diakses tanggal 12 Februari 2014.

Meng, T.H. Jawahar, J.M., dan Kisamore, J.L. 2011. Predicting Academic Misconduct Intentions and Behavior Using the Theory of Planned Behavior and Personality. Basic And Applied Social Psychology, 32:35–45.

Moleong, L. J. 2008. Metodologi Penelitia Kualitatif. Bandung : Remaja Perda Karya.

Mulyawati, H., Masturoh, I., Anwaruddin, I., Mulyati, L. Agustendi, S., & Tartila, T.S.S. 2010. Pembelajaran Studi Sosial. Bandung: Alfabeta.

Santrock, J.W. 2003. Adolecense (Perkembangan Remaja). Terjemahan oleh Soedjarwo. Jakarta : Erlangga.

Suparman. 2011. Studi Perbedaan Kualitas Sikap Jujur Siswa Kelas III SMTA Negeri Kota Madiun. Interaksi, Vol. 7 (1), 1-13.

Syah, M. 2003. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Referensi

Dokumen terkait

PENGARUH PENDEKATAN MISSOURI MATHEMATHICS PROJECT TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA DITINJAU DARI MOTIVASI BELAJAR SISWA KELAS VIII SEMESTER GASAL DI SMP.. MUHAMMADIYAH

Perencanaan pemasaran yang melibatkan setiap anggota rantai pasokan perusahaan akan menyebabkan setiap anggota mengetahui siapa pasar yang menjadi sasaran perusahaan, berapa

Adapun target luaran dari penelitian ini adalah dapat terciptanya suatu sistem pengolahan limbah yang mampu mengurangi cemaran logam berat dari perairan dengan teknologi membran

Objek dalam penelitian ini adalah hasil belajar siswa pada materi pokok. pentingnya keanekaragaman makhluk hidup dalam pelestarian

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian 10% ekstrak daun bawang putih ( Allium sativum ) dan katuk ( Sauropus androgynus ) dapat meningkatkan penampilan dan

Saya dapat menerima pendapat orang lain yang berbeda dari saya, untuk menjaga kenyamanan diantara kami 27.. Saya melontarkan pujian pada teman

Aplikasi Layanan Masyarakat dengan tema pentingnya vaksinasi dan imunisasi polio, sudah ada dalam iklan dan penulis membuatnya sebagai alternatif penyampaian informasi, dimana

RINCIAN PERUBAHAN APBD MENURUT URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH, ORGANISASI, PENDAPATAN, BELANJA DAN