• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Adanya hubungan antar bangsa sudah lama terjadi dan hubungan tersebut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Adanya hubungan antar bangsa sudah lama terjadi dan hubungan tersebut"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hubungan Internasional

Adanya hubungan antar bangsa sudah lama terjadi dan hubungan tersebut berlangsung dalam suatu masyarakat yang disebut dengan masyarakat antar bangsa. Hubungan yang semula dalam bentuk primitif kemudian berkembang ke dalam bentuk yang lebih modern. Hubungan tersebut terjadi karena pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri dan membutuhkan orang lain.

Begitu juga dengan sebuah negara, negara adalah suatu daerah atau wilayah yang ada di permukaan bumi di mana terdapat pemerintahan yang mengatur ekonomi, politik, sosial, budaya, pertahanan keamanan, dan lain sebagainya. Di dalam suatu negara minimal terdapat unsur-unsur negara seperti rakyat, wilayah, pemerintah yang berdaulat serta pengakuan dari negara lain. Untuk memenuhi semua kebutuhan suatu negara tidak mungkin dapat dilakukan dengan sendirinya maka dari itu negara tersebut membutuhkan negara lainnya sehingga tercipta suatu hubungan internasional.

Ilmu Hubungan Internasional merupakan pendatang baru dalam deretan ilmu-ilmu sosial lainnya. Ilmu Hubungan Internasional merupakan ilmu yang berdiri sendiri, kira-kira baru pada tahun 1930-an, dimulai dengan kegiatan-kegiatan sebelumnya berupa penelitian dan pengkajian akademis. Jadi umur ilmu

(2)

Hubungan Internasional belumlah tua dan masih terus berkembang (Soeprapto, 1997: 11).

Istilah Hubungan Internasional diciptakan pertama kali oleh Jeremy Bantham. Jeremy Bantham adalah salah seorang yang mempunyai minat yang besar terhadap hubungan antar negara yang tumbuh semakin popular pada saat itu. Sebagai suatu ilmu, Hubungan Internasional merupakan satu-kesatuan disiplin, dan memiliki ruang lingkup serta konsep-konsep dasar (Soeprapto, 1997: 12).

Dalam bukunya yang berjudul Hubungan Internasional Sistem, Interaksi, dan Perilaku, Soeprapto mengatakan terdapat dua sebab yang mendorong lahirnya Ilmu Hubungan Internasional. Kedua sebab tersebut adalah :

1. Adanya minat yang besar terhadap fenomena yang ada setelah Perang Dunia I selesai. Fenomena tersebut banyak menarik perhatian mereka. 2. Perang Dunia I telah banyak menelan korban manusia serta

kerusakan-kerusakan materil. Melihat akibat dari Perang Dunia I tersebut timbul kesadaran betapa pentingnya kebutuhan untuk mencegah peperangan dan terselenggaranya ketertiban dunia (Soprapto, 1997: 12).

Secara sederhana pengertian Hubungan Internasional dipahami sebagai interaksi yang terjadi antar aktor-aktor tertentu, dimana interaksi tersebut telah melampaui batas yurisdiksi nasional sebuah negara. Sementara, sebagai sebuah disiplin ilmu, Hubungan Internasional dipahami sebagai kajian akademis yang berusaha memahami interaksi antar aktor-aktor tertentu yang telah melampaui batas yurisdiksi nasional negara.

(3)

Pada dasarnya tujuan utama studi Hubungan Internasional adalah mempelajari perilaku internasional, yaitu perilaku aktor, negara maupun non negara, didalam arena transaksi internasional, dimana perilaku tersebut bisa berwujud perang, kerjasama, pembentukan aliansi, interaksi dalam organisasi internasional dan sebagainya (Mas’oed, 1994: 31-32).

Menurut T. May Rudy dalam “Administrasi dan Organisasi Internasional”, Hubungan Internasional dapat disimpulkan sebagai berikut:

“Hubungan Internasional adalah hubungan yang mencakup berbagai macam hubungan atau interaksi yang melintasi batas-batas wilayah negara dan melibatkan pelaku-pelaku yang berbeda kewarganegaraan, berkaitan dengan segala bentuk kegiatan manusia. Hubungan ini dapat berlangsung baik secara kelompok maupun secara perorangan dari suatu bangsa atau negara, yang melakukan interaksi baik secara resmi maupun tidak resmi dengan kelompok atau perorangan dari bangsa atau negara lain (Rudy, 1993: 3).

Dalam mengkaji Ilmu Hubungan Internasional dapat menggunakan berbagai pendekatan. Menurut T. May Rudy, dalam buku Administrasi dan Organisasi Internasional, Hubungan Internasional merupakan:

“Ilmu dengan kajian interdisipliner, maksudnya, ilmu ini dapat menggunakan berbagai teori, konsep, dan pendekatan dari bidang ilmu-ilmu lain dalam mengembangkan kajiannya. Sepanjang menyangkut aspek internasional (hubungan/interaksi yang melintasi batas negara) adalah bidang Hubungan Internasional dengan kemungkinan berkaitan dengan ekonomi, hukum, komunikasi, politik, dan lainnya. Demikian juga untuk menelaah Hubungan Internasional dapat meminjam dan menyerap konsep-konsep sosiologi, psikologi, bahkan matematika (konsep-konsep probabilitas), untuk diterapkan dalam kajian Hubungan Internasional (Rudy, 1993: 3).

(4)

Hubungan Internasional pada awalnya hanya mempelajari tentang interaksi antar negara-negara berdaulat saja. Namun, seiring dengan perkembangannya ilmu Hubungan Internasional menjadi semakin luas cakupannya. Kemudian pada tahun 1960-an dan 1970-an perkembangan studi Hubungan Internasional makin kompleks dengan masuknya aktor-aktor non-negara seperti organisasi internasional baik pemerintah maupun non-pemerintah, Multi National Corporation (MNC), bahkan individu sekalipun dapat menjadi aktor non-negara. Pada dekade 1980-an pola Hubungan Internasional adalah studi tentang interaksi antara negara-negara yang berdaulat di dunia, juga merupakan studi tentang aktor bukan negara yang perilakunya mempunyai pengaruh terhadap kehidupan negara-bangsa.

Hubungan internasional pada dasarnya merupakan studi mengenai interaksi antar aktor, baik negara maupun aktor non-negara, yang berlangsung di dalam sistem internasional dan hubungan yang dijalin dapat berbentuk hubungan ekonomi, sosial budaya, maupun politik, yang memiliki konsekuensi-konsekuensi penting bagi aktor-aktor lainnya diluar unit politiknya (Johari, 1985: 5).

Hubungan Internasional dapat dilihat dari berkurangnya peranan negara sebagai aktor dalam politik dunia dan meningkatnya peranan aktor-aktor non-negara. Batas-batas yang memisahkan bangsa-bangsa semakin kabur dan tidak relevan. Bagi beberapa aktor non-negara bahkan batas-batas wilayah secara geografis tidak dihiraukan.

(5)

Hingga saat ini ilmu Hubungan Internasional telah mengalami sejumlah perkembangan signifikan. Setidaknya ini dapat dilihat dari perkembangan ruang lingkup kajian dan aktor-aktor di dalam Hubungan Internasional, yang pada awalnya hanya terbatas pada kajian keamanan dan negara menjadi sangat variatif dengan melibatkan aktor-aktor non-negara dan isu-isu yang beragam, seperti ekonomi, sosial, lingkungan dan sebagainya.

2.2. Paradigma Liberalis

Liberalisme muncul setelah berakhirnya Perang Dunia I sebagai sebuah respon dari ketidakmampuan negara-negara untuk menghentikan perang.

Dalam bukunya yang berjudul Essentials of International Relation, Karen Mingst mengatakan :

“liberalisme berpendapat bahwa sifat manusia pada dasarnya adalah baik dan bahwa kebaikan tersebut membuat kemajuan sosial. Perilaku jahat manusia tidak dapat diterima, seperti perang menurut kaum liberal merupakan produk dari lembaga sosial yang tidak memadai dan adanya kesalahpahaman di antara para pemimpin. Liberal percaya bahwa perang atau perilaku agresif lainnya yang tidak terelakkan dapat dikelola melalui reformasi institusional. melalui tindakan kolektif, dan negara dapat bekerja sama untuk menghilangkan kemungkinan perang” (Mingst, 1999:66).

Menurut Fukuyama yang dikutip oleh Schott Burchill dan Andrew Linklater dalam bukunya yang berjudul Teori-Teori Hubungan Internasional menyatakan bahwa penyebarluasan tatanan politik yang sah pada akhirnya akan mengakhiri konflik internasional, penerjemahan yang progresif terhadap prinsip-prinsip demokrasi liberal bagi dunia internasional dikatakan telah memberikan prospek terbaik bagi tatanan dunia yang damai karena dunia yang terbentuk atas

(6)

demokrasi liberal seharusnya tidak boleh memicu perang, karena semua bangsa satu sama lain akan memahami legitimasi bangsa lain (Burchill & Andrew, 2009: 38-39).

Schott Burchill dan Andrew Linklater dalam bukunya yang berjudul Teori-Teori Hubungan Internasional menyatakan bahwa :

“Menurut kaum liberal perdamaian merupakan permasalahan negara yang lazim: istilah Kant, perdamaian bisa bersifat abadi. Hukum alam mengatur keselarasan dan kerjasama antar manusia. Oleh karenanya, perang itu tidak alami dan tidak masuk akal: perang merupakan alat buatan dan bukanlah hasil dari hubungan sosial atau keganjilan sifat manusia yang tidak sempurna. Kaum liberal memiliki keyakinan akan perkembangan dan kesempurnaan kondisi manusia. Dengan keyakinan mereka akan kekuatan akal manusia serta kemampuan manusia mewujudkan potensi diri mereka, mereka tetap percaya bahwa noda perang bisa dihapuskan dari kehidupan manusia” (Burchill & Andrew, 2009: 41).

Paradigma liberalis juga menganggap bahwa negara-negara mendapatkan keuntungan satu sama lain melalui suatu kerjasama dan perang dengan mengedepankan militer bukanlah suatu hal yang berguna dan sia-sia. Liberalisme mengedepankan adanya suatu institusi internasional untuk memajukan suatu kerjasama antar negara, dengan adanya suatu kerjasama maka negara-negara akan sibuk dan memiliki sifat ketergantungan yang menguntungkan antara satu sama lain dan negara-negara tersebut akan melupakan perang. Liberalisme percaya bahwa suatu sistem internasional akan dikelola dengan baik melalui sebuah organisasi internasional sehingga tercipta suatu kedamaian dalam sistem politik global.

(7)

Schott Burchill dan Andrew Linklater dalam bukunya yang berjudul Teori-Teori Hubungan Internasional menyatakan bahwa :

“Perang adalah kanker dalam tubuh politik. Tetapi perang juga merupakan penyakit yang bisa disembuhkan sendiri oleh manusia. Penyelesaian yang mulai dikemukakan sejak abad ke-18 tidak pernah berubah: penyakit perang bisa disembuhkan melalui 2 pengobatan: demokrasi dan pasar bebas. Proses-proses dan lembaga-lembaga demokrasi akan menghancurkan kekuatan elit yang berkuasa dan mengekang kecenderungan mereka pada kekerasan. Pasar dan perdagangan bebas akan menghapus batasan artifiasial antara individu-individu dan menyatukan mereka dimanapun berada ke dalam satu komunitas” (Burchill & Andrew, 2009: 42).

Sebuah perdamaian juga dapat tercapai ketika terbentuknya sebuah interdependensi antar negara-negara. Ketika negara-negara memiliki tujuan yang sama dan memiliki ketergantungan yang sangat kompleks, maka negara-negara akan lebih memilih untuk berkerja sama dengan membentuk sebuah institusi daripada harus saling berperang. Hal tersebut yang pada akhirnya akan mengurangi resiko peperangan. Kaum liberal sangat yakin bahwa walaupun dalam keadaan anarki, sebuah institusi internasional yang mampu menumbuhkan kerja sama antar negara anggota akan dapat dibentuk. Ketika negara-negara saling membutuhkan satu sama lain, membuat keinginan untuk membentuk sebuah institusi internasional menjadi semakin besar sehingga negara-negara yang terbiasa memecahkan sebuah permasalahan dengan jalur militer akan lebih memilih menggunakan jalur yang damai karena adanya sifat saling membutuhkan tersebut.

(8)

2.3. Politik Internasional

Politik internasional merupakan salah satu kajian pokok dalam Hubungan Internasional. Politik internasional memiliki perbedaan dengan Hubungan Internasional dalam ruang lingkupnya. Hubungan Internasional meliputi seluruh bentuk interaksi antar negara, termasuk organisasi non-negara. Sedangkan politik internasional terbatas hanya pada hal-hal yang berfokus pada kekuasaan yang melibatkan negara-negara berdaulat.

K.J. Holsti dalam buku Pengantar Ilmu Hubungan Internasional karya DR. Anak Agung Banyu Perwita & DR. Yanyan Mochamad Yani menyatakan bahwa:

"Politik internasional merupakan studi terhadap pola tindakan negara terhadap lingkungan eksternal sebagai reaksi atas respon negara lain. Selain mencakup unsur power, kepentingan dan tindakan, politik internasional juga mencakup perhatian terhadap sistem internasional dan perilaku para pembuat keputusan dalam situasi politik. Jadi politik internasional menggambarkan hubungan dua arah, menggambarkan reaksi dan respon bukan aksi” (Perwita & Yani, 2005: 40).

Secara umum, objek dalam politik internasional juga merupakan objek dari politik luar negeri. Suatu analisis mengenai tindakan terhadap lingkungan eksternal serta berbagai kondisi domestik yang menopang formulasi tindakan merupakan kajian politik luar negeri dan akan menjadi kajian politik internasional apabila tindakan tersebut dipandang sebagai salah satu pola tindakan suatu negara serta reaksi atau respon oleh negara lain. Dalam interaksi antar negara terdapat hubungan pengaruh dan respon. Pengaruh dapat langsung ditujukan pada sasaran tetapi dapat juga merupakan limpahan dari suatu tindakan tertentu. Kemudian, dalam interaksi antarnegara, interaksi dilakukan didasarkan pada kepentingan

(9)

nasional masing-masing negara. Menurut DR. Anak Agung Banyu Perwita & DR. Yanyan Mochamad Yani dalam bukunya Pengantar Ilmu Hubungan Internasional bahwa kepentingan nasional adalah tujuan utama dan merupakan awal sekaligus akhir perjuangan suatu bangsa (Perwita & Yani, 2005: 41).

Dalam politik internasional proses interaksi berlangsung dalam suatu wadah atau lingkungan, atau suatu proses interaksi, interrelasi serta saling mempengaruhi (interplay) antara aktor dengan lingkungannya atau sebaliknya. Istilah politik internasional pada dasarnya merupakan istilah tradisional yang sangat menekankan interaksi para aktor negara. Namun, pola-pola interaksi politik dalam hubungan internasional kini sudah melibatkan interaksi antar aktor negara dengan aktor non-negara.

Terdapat keterkaitan antara Hubungan Internasional dengan politik internasional. Pada Hubungan Internasional orang dapat menyaksikan adanya berbagai macam bentuk interkasi antar negara dalam masyarakat internasional, sedangkan politik internasional bertalian dengan masalah interaksi karena adanya tindakan suatu negara serta reaksi atau respon dari negara lain (Soeprapto, 1997: 27).

2.4. Kerjasama Internasional

Kerja sama internasional adalah bentuk hubungan yang dilakukan oleh suatu negara dengan negara lain yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan rakyat dan untuk kepentingan negara-negara di dunia. Kerja sama internasional, yang meliputi kerja sama di bidang politik, sosial, pertahanan keamanan,

(10)

kebudayaan, dan ekonomi, berpedoman pada politik luar negeri masing-masing negara.

Kerjasama akan dilakukan apabila manfaat yang diperoleh diperkirakan akan lebih besar daripada konsekuensi-konsekuensi yang harus ditanggungnya. Oleh sebab itu keberhasilan suatu kerjasama dapat diukur dari perbandingan besarnya manfaat yang dicapai terhadap konsekuensi yang ditanggung. Masalah kerjasama terletak pada pencapaian sasaran. Tujuan akhir yang kemudian dijabarkan ke dalam sasaran-sasaran kerjasama ditentukan oleh persamaan kepentingan yang fundamental dari masing-masing pihak yang melakukan kerjasama (Soprapto, 1997: 181).

Dalam suatu kerjasama internasional bertemu berbagai macam kepentingan nasional dari berbagai negara dan bangsa yang tidak dapat dipenuhi di dalam negerinya sendiri (Perwita dan Yani, 2005; 33).

Dengan kata lain kerjasama dapat terbentuk karena kehidupan internasional yang meliputi berbagai bidang seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial, lingkungan hidup, kebudayaan, pertahanan, dan keamanan. Hal tersebut memunculkan kepentingan yang beraneka ragam sehingga mengakibatkan berbagai masalah sosial. Untuk mencari solusi atas berbagai masalah tersebut maka beberapa negara membentuk suatu kerjasama internasional.

Saat ini, sebagian besar transaksi dan interaksi antarnegara dalam sistem internasional sekarang bersifat rutin dan hampir bebas dari konflik. Berbagai jenis masalah nasional, regional, ataupun global yang bermunculan memerlukan perhatian dari berbagai pihak. Dalam kebanyakan kasus yang terjadi, pemerintah

(11)

saling berhubungan dengan mangajukan alternatif pemecahan, perundingan atau pembicaraan mengenai masalah yang dihadapi, mengemukakan berbagai bukti teknis untuk menopang pemecahan masalah tertentu dan mengakhiri perundingan dengan membentuk suatu perjanjian atau saling pengertian yang memuaskan bagi semua pihak. Proses seperti ini biasa disebut kerjasama atau kooperasi.

Sedangkan menurut Drs. Teuku May Rudi, S.H., M.IR., M.Sc. dalam bukunya, Teori, Etika dan Kebijakan Hubungan Internasional, kerjasama internasional dapat didefinisikan sebagai:

"Pola kerjasama yang melintasi batas-batas negara, dengan didasari struktur yang jelas dan lengkap serta diharapkan akan diproyeksikan untuk berlangsung serta melaksanakan fungsinya secara berkesinambungan dan melembaga guna mengusahakan tercapainya tujuan-tujuan yang diperlukan serta disepakati bersama, baik antara pemerintah dengan pemerintah maupun antara sesama kelompok non-pemerintah pada negara yang berbeda“ (Rudy, 1993: 3).

Menurut Koesnadi Kartasasmita dalam “Organisasi dan Administrasi Internasional”, menjelaskan pengertian kerjasama internasional yang dapat dipahami sebagai:

“Kerjasama dalam masyarakat internasional suatu keharusan sebagai akibat terdapatnya hubungan interdepedensia dan bertambah kompleksnya hubungan manusia dalam masyarakat internasional. Kerjasama internasional terjadi karena national understanding serta mempunyai arah tujuan sama, keinginan yang didukung oleh kondisi internasional yang saling membutuhkan. Kerjasama itu didasari oleh kepentingan bersama diantara negara-negara, namun kepentingan itu tidak identik (Kartasasmita, 1997: 20)”

Dalam bukunya yang berjudul Hubungan Internasional Sistem Interaksi dan Perilaku, Soeprapto menggolongkan kerjasama internasional ke dalam empat bentuk yaitu :

(12)

1. Kerjasama Global : adanya keinginan yang kuat dari berbagai bangsa di dunia untuk bersatu dalam suatu wadah yang mampu mempersatukan cita-cita bersama merupakan dasar utama bagi kerjasama global. Sejarah kejasama global dapat ditelusuri kembali mulai dari dibetuknya kerjasama multilateral seperti yang diperlihatkan oleh perjanjian Westphalia (1648) dan merupakan akar dari kerjasama global.

2. Kerjasama Regional : merupakan kerjasama antar negara yang secara geografis letaknya berdekatan. Kerjasama tersebut bisa berada dalam bidang pertahanan tetapi juga bisa di bidang lain seperti pertanian, hukum, kebudayaan, dan lain sebagainya.

3. Kerjasama Fungsional : permasalahan maupun metode kerjasamanya menjadi semakin kompleks disebabkan oleh semakin banyaknya berbagai lembaga kerjasama yang ada. Walaupun kompleksitas dan banyak permasalahan yang dihadapi dalam kerjasama fungsional baik di bidang ekonomi maupun sosial, untuk pemecahannya diperlukan kesepakatan dan keputusan politik. Disini terlihat bahwa kerjasama fungsional tidak bisa dilepaskan dari power.

4. Kerjasama Ideologi : pengertian ideologi adalah alat dari suatu kelompok kepentingan untuk membenarkan tujuan dan perjuangan kekuasaan. Dalam hal perjuangan atau kerjasama ideologi batas-batas teritorial tidaklah relevan. Berbagai kelompok kepentingan berusaha mencapai tujannya dengan memanfaatkan berbagai kemungkinan yang terbuka di forum global (Soprapto, 1997: 182).

(13)

Menurut K.J. Holsti dalam buku Politik Internasional: Suatu Kerangka Teoritis, ada beberapa alasan mengapa negara melakukan kerjasama dengan negara lainnya:

1. Demi meningkatkan kesejahteraan ekonominya, dimana melalui kerjasama dengan negara lainnya, negara tersebut dapat mengurangi biaya yang harus ditanggung dalam memproduksi suatu produk kebutuhan bagi rakyatnya karena keterbatasan yang dimiliki negara tersebut;

2. Untuk meningkatkan efisiensi yang berkaitan dengan pengurangan biaya;

3. Karena adanya masalah-masalah yang mengancam keamanan bersama;

4. Dalam rangka mengurangi kerugian negatif yang diakibatkan oleh tindakan-tindakan individual negara yang memberi dampak terhadap negara lain (Holsti, 1995: 362-363).

Menurut Muhadi Sugiono ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam kerjasama internasional;

- Pertama, negara bukan lagi sebagai aktor eksklusif dalam politik internasional melainkan hanya bagian dari jaringan interaksi politik, militer, ekonomi dan kultural bersama-sama dengan aktor-aktor ekonomi dan masyarakat sipil.

- Kedua, kerjasama internasional tidak lagi semata-mata ditentukan oleh kepentingan masing-masing negara yang terlibat di dalamnya, melainkan juga oleh institusi internasional, karena institusi internasional seringkali bukan hanya bisa mengelola berbagai kepentingan yang berbeda dari negara–negara anggotanya, tetapi juga memiliki dan bisa memaksakan kepentingannya sendiri (Sugiono, 2006; 6).

(14)

Kerjasama yang terbentuk pada akhirnya akan mengarah pada terciptanya interdependensi, dimana organisasi internasional sebagai wadah kerjasama memainkan peran penting dengan kapasitasnya sebagai aktor non-negara. Tujuan akhir dari kerjasama yang terjalin ditentukan oleh persamaan kepentingan yang hakiki dari masing-masing pihak yang terlibat.

2.4.1. Konsep Kerjasama Regional

Kerjasama regional mempunyai wilayah kegiatannya bersifat regional dan keanggotaan hanya diberikan bagi negara-negara pada kawasan tertentu saja.

Kesamaan budaya, ekonomi, politik, ideologi, dan geografis dalam suatu wilayah diasumsikan dapat memunculkan organisasi yang lebih efektif. Organisasi regional telah siap untuk bekerjasama, dan pengalaman organisasi regional yang sukses akan mempengaruhi dan mendorong ke arah integrasi yang lebih jauh. Regionalisme dapat menghasilkan “model masyarakat” atau “model negara.” Bentuk regionalisme dapat dibedakan berdasarkan kriteria geografis, militer/politik, ekonomi, atau transaksional, bahasa, agama, kebudayaan, dan lain lain. Tujuan utama dari organisasi regional adalah untuk menciptakan perjanjian perdamaian dan kerjasama yang saling menguntungkan di berbagai aspek dan penguatan area saling ketergantungan pada negara-negara superpower.

Organisasi regional paska Perang Dunia II terdiri dari tiga tipe yaitu:

1. Organisasi regional gabungan. Dibentuk dari banyak tujuan dan melakukan banyak aktivitas. Contoh : OAS, OAU, Liga Arab, dan lain lain.

(15)

2. Organisasi pertahanan regional. Sebagai organisasi militer antar negara dalam satu wilayah tertentu. Contoh: SEATO, NATO, Pakta Warsawa, dan lain lain.

3. Organisasi fungsional regional. Bekerja dengan pendekatan fungsional terhadap Integrasi regional. Contoh: OPEC, ASEAN, NAFTA, dan lain lain.

Tren ke arah regionalisme terus berlangsung. Pada tahun 1990-an negara-negara di seluruh dunia telah membentuk perjanjian perdagangan regional atau Regional Treaty Agreements (RTAs) seperti yang telah terjadi di negara-negara Eropa, Afrika, Asia Timur, Timur Tengah, dan negara-negara di belahan bumi bagian barat. Hal ini menunjukkan perkembangan regionalisme terus berlanjut.

Pendapat lain mengenai konsep regionalisme diberikan pula oleh Louis Cantori dan Steven Spiegel.

“Kawasan sebagai dua atu lebih negara yang saling berinteraksi dan memiliki kedekatan geografis, kesamaan etnis, bahasa, budaya, keterkaitan sosial dan sejarah serta perasaan identitas yang seringkali meningkat disebabkan adanya aksi dan tindakan dari negara-negara diluar kawasan. Lebih jauh mereka membagi subordinate system kedalam tiga bagian: negara inti (core sector) negara pinggiran (peripheral sector) dan negara eksternal kawasan yang dapat berpartisipasi dalam interaksi kawasan (intrusive sector)” (Perwita dan Yani, 2005: 104).

Situasi dan kondisi dalam Hubungan Internasional berlangsung sangat dinamis. Fenomena-fenomena yang terjadi datang dan pergi silih berganti. Perubahan-perubahan yang berlangsung sangat cepat ini telah memunculkan perbedaan antara regionalisme lama dan baru. Perbedaan antara keduanya dapat dibedakan dalam beberapa kategori.

(16)

• Kategori pertama, regionalisme lama pada dasarnya merupakan warisan Perang Dingin dimana regionalisme dibentuk berdasarkan kalkulasi ideologi dan keamanan sebagaimana yang terlihat di Eropa sebelum runtuhnya tembok Berlin. Sementara regionalisme baru terbentuk berdasarkan sturktur interaksi yang lebih bersifat multipolar.

• Kategori kedua, mengarah pada perbedaan inisiatif regionalisme. Regionalisme lama kerapkali dibentuk melalui intervensi negara-negara adikuasa, sedangkan regionalisme baru lebih bersifat spontan yang berasal dari kebutuhan dalam kawasan itu sendiri. Hal ini dikarenakan negara-negara dalam kawasan membutuhkan kerjasama diantara mereka untuk mengatasai berbagai tantangan global baru.

• Kategori ketiga, regionalisme lama lebih berorientasi ke dalam dan bersifat proteksionis, sedangkan regionalisme baru lebih cenderung untuk bersifat terbuka dan menyesuaikan dengan ekonomi dunia yang semakin interdependen.

• Kategori keempat, mengacu pada lingkup kegiatan dari kerjasama regional. Regionalisme lama lebih bersifat spesifik pada fokus kegiatannya. Hal ini terlihat dari contoh kasus North Atlantic Treaty Organization (NATO) yang lebih memfokuskan diri pada aliansi militer di Eropa. Sedangkan regionalisme baru lebih bersifat komprehensif dan multidimensional. Lingkup kegiatannya tidak hanya pada satu bidang saja, namun juga mencakup bidang-bidang lainnya yang saling terkait.

(17)

• Kategori terakhir, mengacu pada hubungan antar aktor yang terlibat dalam kerjasama kawasan. Regionalisme lama hanya memusatkan perhatiannya pada aktor negara, sedangkan regionalisme baru lebih melibatkan aktor-aktor non negara dalam interaksi kawasan. Jadi dalam regionalisme baru selain isu yang beragam, aktor yang terlibat juga sangat bervariatif (Perwita dan Yani, 2005: 105-106).

2.5. Konflik

2.5.1. Definisi Konflik

Konflik merupakan kenyataan sejak awal sejarah Afrika yang tercatat, baik antara maupun dalam kelompok ras. Migrasi oleh kelompok-kelompok kulit hitam maupun putih terjadi di bawah ekspansionisme Zulu maupun Inggris, dan suku-suku kulit hitam mengalami sejumlah pertikaian dan pertempuran dengan kelompok Boer (Afrikaner, yakni keturunan orang Belanda di Afrika) dan pendatang Inggris sepanjang tahun 1800-an. Ketegangan antara Inggris dan Boer berpuncak pada Perang Boer (1899-1902). Penemuan intan (1867) dan emas (1886) membuka ekonomi dan menambah kompetisi perebutan sumber daya dan kekuasaan (Hariss dan Ben Reilly, 2000: 53).

Konflik sendiri berasal dari kata latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya (http://id.wikipedia.org/wiki/konflik - diakses pada 22 Mei 2010).

(18)

Secara umum definisi konflik diartikan sebagai pertentangan atau percekcokan (Poerwadarmanta, 1991: 217). Dalam bukunya yang berjudul Demokrasi dan Konflik yang Mengakar: Sejumlah Pilihan untuk Negosiator, Hariss dan Ben Reilly mengatakan bahwa konflik adalah interaksi dari beberapa keinginan dan tujuan yang berbeda dan berlawanan yang di dalamnya perselisihan bisa diproses, akan tetapi tidak secara pasti diselesaikan (Hariss dan Ben Reilly, 2000: 19).

Sedangkan menurut Fisher dalam bukunya yang berjudul Mengelola Konflik mengatakan bahwa konflik adalah suatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan. Berbagai perbedaan pendapat dan konflik biasanya diselesaikan tanpa kekerasan, dan sering menghasilkan situasi yang lebih baik bagi sebagian besar atau semua pihak yang terlibat. Konflik timbul karena ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan itu, contohnya: kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran dan akses yang tidak seimbang terhadap sumber daya, serta kekuasaan yang tidak seimbang yang kemudian menimbulkan masalah-masalah seperti diskriminasi, pengangguran, kemiskinan, penindasan, kejahatan (Fisher dkk, 2000: 4).

Konflik dibedakan ke dalam beberapa kategori, jika dilihat dari sudut aktor yang terlibat di dalamnya, yakni:

• Konflik antar negara yang melibatkan dua atau lebih negara berdaulat yang saling bertentangan satu sama lain.

(19)

• Konflik ekstra-sistemik yang bernuansa ideologis/revolusioner dimana pihak-pihak yang saling bertikai menggunakan cara-cara kekerasan untuk memaksakan norma-norma dan nilai-nilai yang dianutnya kepada pihak lain.

• Konflik ideologis atau separatisme, dimana suatu kelompok (biasanya kaum minoritas) yang merasa dipaksa menerima nilai atau norma kelompok lain melakukan pemberontakan (Luc, 1999: 12).

2.5.2. Konflik Bersenjata

Konflik bersenjata menurut Protokol Tambahan II pada Konvensi Jenewa yaitu antara lain :

• Bahwa konflik bersenjata melibatkan beberapa pihak, yakni pemerintah yang sah dan pemberontak, maka konflik bersenjata dapat terlihat sebagai suatu situasi di mana terjadi permusuhan antara angkatan bersenjata pemerintah yang sah dengan kelompok-kelompok bersenjata yang terorganisir (organized armed groups) di dalam wilayah suatu negara. • Konflik bersenjata mungkin pula terjadi pada situasi-situasi di mana

faksi-faksi bersenjata (armed factions) saling bermusuhan satu sama lain tanpa intervensi dari angkatan bersenjata pemerintah yang sah (sumber: http://pdfcontact.com/ebook/konvensi_jenewa.html - diakses pada 10 Juni 2010).

(20)

Pada Pasal 1 ayat (2). “Protokol ini tidak berlaku untuk situasi-situasi kekerasan dan ketegangan dalam negeri, seperti huru-hara, tindak kekerasan yang bersifat terisolir dan sporadis, serta tindak kekerasan serupa lainnya, yang bukan merupakan konflik bersenjata”

(sumber: http://pdfcontact.com/ebook/konvensi_jenewa.html - diakses pada 10 Juni 2010).

Konflik bersenjata adalah konfrontasi bersenjata yang terjadi di dalam wilayah suatu negara, yaitu antara pemerintah di satu sisi dan kelompok perlawanan bersenjata di sisi lain. Anggota kelompok perlawanan bersenjata tersebut apakah digambarkan sebagai pemberontak, kaum revolusioner, kelompok yang ingin memisahkan diri, pejuang kebebasan, teroris, atau istilah-istilah sejenis lainnya, berperang untuk menggulingkan pemerintah, atau untuk memperoleh otonomi yang lebih besar di dalam negara tersebut, atau dalam rangka memisahkan diri dan mendirikan negara mereka sendiri. Penyebab dari konflik seperti ini bermacam-macam, seringkali penyebabnya adalah pengabaian hak-hak minoritas atau hak asasi manusia lainnya yang dilakukan oleh pemerintah yang diktator sehingga menyebabkan timbulnya perpecahan di dalam negara tersebut.

2.5.3. Penyebab dan Penanganan Konflik

Terdapat beberapa teori yang menyebabkan terjadinya konflik yaitu antara lain :

1. Teori hubungan masyarakat, menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara

(21)

kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. Sasaran yang ingin dicapai dari teori ini adalah :

• Meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antara kelompok-kelompok yang mengalami konflik.

• Mengusahakan toleransi dan agar masyarakat lebih bisa saling menerima keragaman yang ada di dalamnya.

2. Teori negosiasi prinsip, menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah ;

• Membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk memisahkan perasaan pribadi dengan berbagai masalah dan isu, dan memampukan mereka untuk melakukan negosiasi berdasarkan kepentingan-kepentingan mereka daripada posisi tertentu yang sudah tetap.

• Melancarkan proses pencapaian kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak atau semua pihak.

3. Teori kebutuhan manusia, berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia antara lain fisik, mental, dan sosial yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi, dan otonomi sering merupakan inti pembicaraan. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah:

• Membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk mengidentifikasi dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang

(22)

tidak terpenuhi, dan menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu.

• Agar pihak-pihak yang mengalami konflik mencapai kesepakatan untuk memenuhi kebutuhan dasar semua pihak.

4. Teori identitas, berasumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah:

• Melalui fasilitasi lokakarya dan dialog antara pihak-pihak yang mengalami konflik mereka diharapkan dapat mengidentifikasi ancaman-ancaman dan ketakutan yang mereka rasakan masing-masing dan untuk membangun empati dan rekonsiliasi di antara mereka. • Meraih kesepakatan bersama yang mengakui kebutuhan identitas

kelompok semua pihak.

5. Teori kesalahpahaman antar budaya, berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah:

• Menambah pengetahuan pihak-pihak yang mengalami konflik mengenai budaya pihak lain.

• Mengurangi stereotrip negatif yang mereka miliki tentang pihak lain. • Meningkatkan keefektifan komunikasi antar budaya.

(23)

6. Teori transformasi konflik berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya, dan ekonomi. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah:

• Mengubah berbagai struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan, termasuk kesenjangan ekonomi. • Meningkatkan jalinan hubungan dan sikap jangka panjang di antara

pihak-pihak yang mengalami konflik.

• Mengembangkan berbagai proses dan sistem untuk mempromosikan pemberdayaan, keadilan, perdamaian, pengampunan, rekonsiliasi, pengakuan (Fisher dkk, 2000: 8-9).

Terdapat beberapa istilah-istilah yang menunjukan berbagai pendekatan untuk menangani konflik, yang kadang juga dipandang sebagai tahap-tahap dalam suatu proses. Masing-masing tahap akan melibatkan tahap sebelumnya. Tahap-tahap tersebut yaitu:

1. Pencegahan konflik bertujuan untuk mencegah timbulnya konflik yang keras.

2. Penyelesaian konflik bertujuan untuk mengakhiri perilaku kekerasan melalui suatu persetujuan perdamaian.

3. Pengelolaan konflik bertujuan untuk membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku yang positif.

(24)

Menurut Luc, dalam bukunya yang berjudul Between Development and Destruction: An Inquiry Into The Cause of Conflict in Past-Colonial States mengatakan bahwa terdapat cara untuk menangani konflik melalui resolusi konflik yaitu merupakan sebuah konsep normatif yang bertujuan melakukan rekonsiliasi, harmonisasi atau mengatur kepentingan-kepentingan yang bertentangan dengan membantu perkembangan proses interaksi perdamaian.

Secara umum terdapat empat macam strategi yang dapat diambil negara dalam menyelesaikan konflik, yakni dengan jalan kekerasan dan pemaksaan, deterrence, ajudikasi, serta melakukan strategi akomodatif seperti tawar-menawar dan mediasi (Jacob, 1999: 17).

Vinsensio dalam jurnalnya yang berjudul Mediasi Sebagai Mekanisme Resolusi Konflik mengatakan bahwa:

“Dalam mediasi, kehadiran pihak ketiga terutama berfungsi sebagai fasilitator, dimana ia dapat memberikan saran, namun tidak memiliki kekuasaan yang memberikan kewenangan untuk membuat keputusan. Keputusan terakhir tetap berada di tangan pihak-pihak yang telibat konflik” (Vinsensio, 2002: 24).

Diperlukan tiga hal penting dalam mediasi yaitu :

1. Motivasi pihak yang berkonflik untuk menuju penyelesaian.

2. Kesempatan mediator untuk terlibat (biasanya mediator ditunjuk secara langsung oleh salah satu atau kedua belah pihak yang bertikai).

3. Kemampuan mediator (Jacob, 1999: 32).

Menurut Abdollah dalam bukunya yang berjudul Internal and International Dynamics of Ethnic Conflict: Case of Iran, mengatakan bahwa

(25)

terdapat beberapa latar belakang pihak ketiga dalam menyelesaikan konflik internal suatu negara, antara lain:

1. Penyebaran arus demokrasi.

2. Perhatian utama dunia internasional terhadap isu-isu demokrasi.

3. Ambisi negara-negara untuk mendapatkan kekuasaan atas suatu wilayah negara tertentu.

4. Sehubungan dengan batas-batas negara dimana konflik domestik dapat memberi efek kepada negara tetangga.

Tabel 2.1.

Berbagai Prakarsa Untuk Mengembangkan Perdamaian Berbagai Prakarsa Untuk Mengembangkan Perdamaian

Tindakan Sementara/Jangka Pendek Tindakan Jangka Menengah Tindakan Jangka Panjang Militer/ Keamanan Pelucutan senjata, demobilisasi faksi-faksi, pemisahan militer/polisi Konsolidasi angkatan bersenjata nasional yang baru, integrasi polisi nasional Demiliterisasi politik, transformasi budaya kekerasan Politik/ Konstitusi Mengelola masalah-masalah pemerintahan transisi, reformasi konstitusi Mengelola tantangan pemilu kedua Menumbuhkan tradisi kepemerintahan yang baik, termasuk rasa hormat terhadap demokrasi, supremasi hukum,

pengembangan masyarakat madani

(26)

Ekonomi/ Sosial Bantuan kemanusiaan, layanan kebutuhan pokok, komunikasi Rehabilitasi masyarakat yang telah dimukimkan kembali, dan

demobilisasi tentara, kemajuan dalam pembangunan kembali infrastruktur dan

pembersihan ranjau darat

Kebijakan ekonomi makro yang stabil dalam jangka panjang, manajemen ekonomi, pembangunan

berkelanjutan bagi masyarakat lokal, keadilan yang merata Psiko-Sosial Mengelola masalah

ketidakpercayaan

Penyembuhan penderitaan

psikologis, rekonsiliasi jangka panjang

Internasional Dukungan langsung untuk mendukung proses perdamaian yang peka terhadap budaya masyarakat penerima

Mengelola prioritas yang saling bersaing antara perdamaian dan keadilan

Integrasi ke dalam struktur regional dan global yang setara dan saling menguntungkan

(Fisher, 2001: 128).

2.6. Intervensi Kemanusiaan

Konsep intervensi muncul sejak abad 19, namun hingga kini definisi konsep ini masih beragam. Pada tahun 1919 intervensi bertujuan untuk melindungi hak-hak negara-negara minoritas (Chesterman, 2001: 8). William Edward Hall merupakan orang pertama yang memunculkan konsep intervensi kemanusiaan. Konsep ini mirip dengan konsep yang terdapat di dalam literatur bahasa Inggris yang berarti intervensi yang dilakukan atas dasar kemanusiaan atau

(27)

intervensi yang dilakukan atas dasar kepentingan kemanusiaan, dan untuk menghilangkan kondisi yang sangat tidak disukai.

Intervensi yang menitikberatkan pada negara sebagai target berkaitan dengan kewajban moral dikenal sebagai intervensi yang didasarkan pada asas kemanusiaan. Berdasarkan tujuan yang ada, seringkali suatu negara melakukan intervensi yang didasarkan atas asas kemanusiaan atau biasa disebut sebagai Intervensi Kemanusiaan (Humanitarian Intervention) (Chesterman, 2001: 8).

Intervensi sendiri merupakan suatu prosedur tingkat tinggi dan ringkas yang terkadang berada di luar jangkauan hukum. Intervensi harus terbebas dari sifat keinginan untuk mencapai kepentingan nasional dari negara yang melakukan intervensi, dan aspek kemanusiaan harus menjadi tujuan utama (Historicus, 1863: 42).

Menurut Adam Roberts dalam bukunya yang berjudul Humanitarian War: Military Intervention & Human Right International Affairs memberikan definisi intervensi kemanusiaan sebagai berikut:

“Intervensi kemanusiaan merupakan intervensi militer yang dilakukan di negara lain dengan kesepakatan yang bersifat terbatas ataupun tanpa kesepakatan sama sekali antara pihak yang melakukan intervensi dengan penguasa setempat, untuk mencegah terjadinya kesengsaraan & korban jiwa lebih lanjut” (Roberts, 1993: 46).

Simon Chesterman dalam bukunya yang berjudul Just War or Just

Peace?: Humanitarian Intervention and International Law, melihat intervensi

kemanusiaan dari beberapa aspek:

1. Intervensi kemanusiaan sebagai hak hukum, terdiri dari beberapa pendapat yang terbagi menjadi:

(28)

a. Intervensi kemanusiaan sebagai suatu ukuran penegakan ketertiban. Intervensi kemanusiaan sebagai suatu usaha untuk memberikan dasar hukum bagi suatu negara untuk melatih kemampuannya dalam melaksanakan fungsinya mengawasi dunia internasional melalui tindakan yang dilakukan oleh negara lainnya yang dianggap berlawanan.

b. Intervensi kemanusiaan atas nama golongan tertindas. Pertama, apabila suatu negara telah menindas hak warga negaranya, maka negara lain yang memiliki tujuan serta keinginan untuk menegakan keadilan akan melakukan suatu tindakan yang dinamakan sebagai suatu intervensi. Kedua, tindakan untuk melakukan intervensi didasarkan pada situasi yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya perang sipil atau aksi yang dilakukan oleh para pemberontak hingga menyebabkan terjadinya kekacauan politik. Ketiga, situasi yang menyebabkan ras tertentu mendapatkan tekanan kuat dari ras lainnya yang berkuasa.

2. Intervensi kemanusiaan sebagai suatu tindakan yang berbahaya. Kepentingan umum yang menyangkut kemanusiaan ditinjau dari sisi intervensi mungkin bisa dikatakan sebagai motif penunjang, justifikasi substantif dan bersifat khusus namun tidak dapat dibenarkan dalam hukum internasional karena ada kecenderungan terjadinya tindakan kekerasan, penindasan dan perusakan terhadap dasar-dasar sistem hukum yang berlaku.

(29)

3. Intervensi kemanusiaan sebagai suatu tindakan yang tidak dapat dihindari. Intervensi merupakan suatu masalah yang lebih erat kaitannya dengan kebijakan bila dibandingkan dengan hukum. Hal ini karena masalah tersebut berada di luar lingkup hukum, dan bila ditangani oleh pihak yang berkuasa dengan adil dan bijaksana akan menjadi suatu kebijakan yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan keadilan (Chesterman, 2001: 36-38). Definisi intervensi kemanusiaan juga dinyatakan oleh J.L. Holzgrefe dan Robert O. Keohane dalam bukunya yaitu Humanitarian Intervention: Ethical, Legal, and Political Dilemmas sebagai berikut:

“Intervensi kemanusiaan merupakan suatu tindakan yang bersifat mengancam atau menggunakan kekuatan yang melintasi batas negara oleh suatu negara atau kelompok negara yang bertujuan untuk mencegah atau mengakhiri semakin menyebar dan meningkatnya tindak pelanggaran terhadap hak asasi manusia oleh suatu negara terhadap warga negaranya dan dilakukan tanpa seijin dari negara yang wilayahnya merupakan target pelaksanaan intervensi tersebut” (Holzgrefe dan Keohane, 2003: 18).

Dalam menghadapi krisis kemanusiaan dengan kekuatan militer ada dua pilihan yang bisa diambil yaitu melakukan suatu tindakan atau hanya berdiam diri saja. Pilihan untuk melakukan sesuatu berarti menggunakan kekuatan militer untuk mengatasi krisis yang terjadi (Chesterman, 2001: 220).

Semakin meningkatnya kesadaran bahwa tindak kekerasan yang terjadi terhadap hak asasi manusia dalam konflik internal bisa menjadi acuan pembenaran dilakukannya intervensi. Akan tetapi tampaknya tidak ada kejelasan tentang siapa yang harus melakukan tindakan dan siapa yang harus menentukan apakah suatu tindak kekerasan memerlukan adanya intervensi.

(30)

Intervensi kemanusiaan menjadi salah satu pilihan pada tahun 1990 saat politik dunia memasuki periode yang konfrontatif. Pada beberapa kasus, Dewan Keamanan PBB setuju untuk memberikan mandat bagi pelaksanaan intervensi. Bahkan, apabila intervensi dirasa tidak akan mendatangkan peperangan yang besar, tanpa mandat Dewan Keamanan PBB pun hal ini bisa terjadi.

Intervensi kemanusiaan dapat dipandang dalam konsep human security. Pemahaman bahwa security lebih dari state security dan bahwa keamanan manusia bersifat universal yang mengatasi batas-batas kedaulatan negara.

Gagasan atau ide tentang human security membangkitkan kembali perdebatan mengenai apa itu keamanan dan bagaimana mencapainya. Paling tidak ada tiga kontroversi dalam perdebatan tersebut. Pertama, human security merupakan gagasan dan upaya negara-negara Barat dalam bungkus baru untuk menyebarkan nilai-nilai mereka terutama tentang hak azasi manusia. Kedua,

human security, sebagai suatu konsep, bukanlah hal baru. Human security yang

secara luas mencakup isu-isu non-militer juga sudah dikembangkan di dalam konsep keamanan komprehensif. Ketiga, barangkali perdebatan yang paling tajam, adalah perbedaan dalam definisi dan upaya untuk mencapai human security oleh masing-masing pemerintah nasional berdasarkan sudut pandang, pengalaman, dan prioritas yang berbeda.

Human Security adalah sebuah paradigma yang muncul untuk memahami kerentanan global yang mendukung gagasan tradisional mengenai tantangan keamanan nasional bahwa rujukan yang tepat untuk keamanan harus individu

(31)

bukan negara. Human Security menyatakan bahwa keamanan diperlukan untuk stabilitas nasional, regional, dan global.

Konsep human security muncul paska Perang Dingin. United Nations Development Programme’s (UNDP) dianggap sebagai tonggak sejarah bagi

human security dengan menyatakan bahwa human security sebagai : “first, safety

from such chronic threats such as hunger, disease, and repression. And, second, protection from sudden and hurtful disruptions in the patterns of daily life whether in homes, in jobs or in communities”. Jadi, secara umum, definisi human security menurut UNDP mencakup “freedom from fear and freedom from want”.

Menguatnya gagasan dan upaya human security merupakan reaksi terhadap masalah-masalah kemanusiaan yang melanda dunia saat ini, mulai dari pengungsi akibat konflik dan kekerasan fisik, penjualan anak-anak dan wanita, masalah pangan, terorisme, perdagangan senjata ilegal, pelanggaran hak azasi manusia, dan sebagainya.

2.6.1. Intervensi Kemanusiaan Sebagai Salah Satu Bentuk Resolusi Konflik Hingga saat ini para pengkaji konflik imternasional memfokuskan kajiannya pada pertikaian yang terjadi dalam suatu wilayah negara. Akan selalu terjadi perang sipil jika dua kelompok internal atau lebih berusaha untuk mencari kekuasaan di suatu negara. Dalam dua dasawarsa terakhir dapat dilihat banyaknya perang revolusioner dari kelompok pembebasan nasional.

Dalam bukunya yang berjudul Conflict: Resolution and Provention, John Burton menyatakan bahwa:

(32)

“Resolusi konflik merupakan transformasi hubungan dalam suatu kasus tertentu dengan penyelesaian masalah yang mengarah pada perilaku yang konfliktual. Resolusi konflik merupakan perlakuan terhadap suatu persoalan yang merupakan sumber konflik, dan pemaksaan penyelesaian masalah dengan menggunakan jalan koersif atau tawar-menawar serta ngosiasi di mana kekuasaan yang relatif menentukan hasilnya” (Burton, 1990: 3).

Resolusi konflik yang memenangkan kedua belah pihak yang bertikai (win-win) dapat menjadi bagian proses yang lebih luas dari rekonsiliasi, dimana ketegangan antara pihak yang bertikai dihilangkan karena akar permasalahan konflik dapat dihapuskan (Burton, 1990: 48).

Intervensi kemanusiaan yang merupakan salah satu bentuk resolusi konflik bisa dilihat dari pelaksanaannya terdiri dari dua jenis, yaitu:

1. Intervensi kemanusiaan yang menggunakan kekuatan militer. Ancaman atau penggunaan kekuatan merupakan bentuk klasik dari intervensi, baik dengan menggunakan aksi militer, bahkan sanksi ekonomi atau politik dalam beberapa kasus dimasukkan ke dalam intervensi karena terdapat unsur paksaan sebagai dampaknya. Penggunaan kekuatan dilakukan dengan berbagai alasan guna mencapai tujuan.

2. Intervensi kemanusiaan tanpa mengunakan kekuatan militer (non military). Intervensi kemanusiaan yang dilakukan tanpa mengunakan kekuatan militer biasanya dilakukan oleh organ PBB misalnya United Nations High Commisioner for Refugees (UNHCR). UNHCR menggunakan usaha yang praktis dan sistematik untuk meningkatkan kecekatan dan efektifitas untuk menanggapi setiap situasi yang darurat (Otunnu dan Doyle, 1996:219).

(33)

Intervensi kemanusiaan yang dilakukan dalam konflik domestik suatu negara cenderung lebih sulit untuk dilakukan karena berkaitan dengan masalah kedaulatan. Sebagai contoh pada Perang Dunia I hanya 5% dari korban adalah sipil; sampai Perang Dunia II angkanya meningkat menjadi 50%. Akan tetapi dalam tahun 1990-an, korban perang sipil menjulang sampai 80%. Hingga tahun 1992, ada 17 juta pengungsi yang dipaksa keluar dari batas negaranya karena perang, dan diperkirakan ada 20 juta orang lagi yang tergusur dan menjadi tunawisma karena peperangan internal akan tetap berada dalam batas negara (Haris dan Reilly, 2000: 13).

2.7. Konsep Peranan

Peranan biasanya didefinisikan sebagai gambaran pekerjaan atau sebagai aturan-aturan perilaku yang diharapkan bagi presiden, menteri-menteri kabinet, birokrat (pejabat) tingkat tinggi, wakil-wakil di kongres dan para senator, wartawan para pendidik, persatuan para buruh, dan para pemimpin kelompok penekan lainnya serta elit-elit lain yang mempengaruhi, merumuskan dan melaksanakan kebijaksanaan.

Teori Peranan menegaskan bahwa :

“Peranan merupakan tugas atau kewajiban suatu posisi sekaligus juga hak atas suatu posisi. Peranan memiliki sifat saling tergantung” (Perwita, 2005: 30).

Peranan merupakan aspek dinamis. Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka ia menjalankan suatu peranan (Soekanto, 2001: 268).

(34)

Peranan (role) dapat dikatakan sebagai berikut seperangkat perilaku yang diharapkan dari seorang atau struktur tertentu yang menduduki suatu posisi didalam suatu sistem. Suatu organisasi memiliki struktur organisasi untuk mencapai tujuan organisasi yang telah di sepakati bersama. Apabila struktur-struktur tersebut telah menjalankan fungsi-fungsinya, maka organisasi itu telah menjalankan peranan tertentu. Dengan demikian, Peranan dianggap sebagai fungsi dalam rangka mencapai tujuan-tujuan kemasyarakatan” (Kantaprawira, 1987: 32).

Menurut Mochtar Mas’oed dalam Perwita menyatakan bahwa peranan (role) adalah :

“Peranan adalah perilaku yang diharapkan akan dilakukan oleh seseorang yang menduduki suatu posisi. Ini adalah perilaku yang dilekatkan pada posisi tersebut, diharapkan berperilaku sesuai dengan sifat posisi tersebut” (Perwita, 2005: 30).

Teori peranan menegaskan bahwa perilaku politik adalah perilaku dalam menjalankan peranan politik. Teori ini berasumsi bahwa sebagian besar perilaku politik adalah akibat dari tuntutan atau harapan terhadap peran yang kebetulan dipegang oleh aktor politik. Seseorang yang menduduki posisi tertentu di harapkan akan berperilaku tertentu pula. Harapan itulah yang membentuk peranan (Mas’oed, 1989:45).

Jadi, peranan dapat dikatakan sebagai pelaksanaan dari fungsi oleh struktur-struktur tertentu. Peranan ini tergantung juga pada posisi atau kedudukan struktur itu dan harapan lingkungan sekitar terhadap struktur tadi. Peranan juga di pengaruhi oleh situasi dan kondisi serta kemampuan dari si pemeran.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisis koefisien determinasi dapat diketahui bahwa sumbangan efektif variabel disiplin belajar dan lingkungan sosial terhadap prestasi belajar mahasiswa

nilai ambang maka sistem persamaan linear yang dibangkitkan akan mempunyai variabel yang semakin banyak sehingga akan semakin sulit untuk menemukan solusi persamaan. Menezes,A,

Hasil penelitian yang sama juga dilakukan oleh Delone dan McLean (2003) dengan menguji obyek penelitian serqualitas dan Holsapple dan Lee-post (2006) pada pelajar online

Dalam rangka untuk menyalurkan barang dan jasa dari produsen kepada konsumen maka perusahaan harus benar-benar memilih atau menyeleksi saluran konsumen maka perusahaan harus

Konsep ini memungkinkan suatu metode yang berada pada beberapa kelas yang berbeda dapat memliki perilaku berbeda.. Dengan konsep ini memudahkan untuk menulis suatu kode yang

Ketiga unsur utama ini memiliki keterkaitan, dimana suatu proyek diharapkan dapat menyelesaikan dengan biaya yang minimal, pada waktu yang tepat dan dengan mutu

Dalam melakukan PKL ini Praktikan melakukan beberapa aktivitas dalam membantu pekerjaan pada Investment Unit yaitu membuat Laporan Saldo Deposito, membuat