• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Work Family Conflict Terhadap Kesejahteraan Psikologis Pekerja

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Analisis Work Family Conflict Terhadap Kesejahteraan Psikologis Pekerja"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

207

Analisis Work Family Conflict Terhadap Kesejahteraan Psikologis Pekerja

Maria Mayasari Sianturi dan Zulkarnain*

Departemen Psikologi Industri & Organisasi, Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

Jl. Dr. Mansur No. 7, Padang Bulan, Medan *email: zulkarnain3@usu.ac.id

Abstract

The success of an organization is characterized by employees’ psychological well-being at work. For married employees, the demands of work and family should be balanced because family satisfaction contributes to happiness at work. Furthermore, if the employees can maintain the balancing of work and family demands, they would be avoided of work-family conflict. The present study has come up with two research objectives. First is to find out the correlation of work family conflict to psychological well-being. Second is to find out the determinants of psychological well-being based on aspects of work family conflict (i.e., Time-based conflict, strain-based conflict, and behavior-based conflict). Self-administered questionnaires will be used to measure the two variables. There were 288 plantation employees involved in this study. The results showed that work family conflict negativelycorrelated to psychological well-being. This study also showed that there were two dimensions of work family conflict contributed to employees’ psychological well-being. This study could be the guidelines for the policy makers for implementation of better human resource policy.

Keywords: work family conflict, psychological well-being, plantation employees, human resource

1. Latar Belakang

Perubahan dalam bidang ekonomi mendorong organisasi untuk berbenah diri dalam menghadapi persaingan yang ada. Pembenahan diri perusahaan dapat dilakukan dengan mempersiapkan tenaga kerja yang ulet dan terampil sehingga dicapailah performa kerja yang baik yang akan meningkatkan produktivitas perusahaan (Mufunda, 2006).

Dalam mencapai tujuan tersebut, pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM) menjadi hal yang sangat penting dalam siklus hidup organisasi. Sumber daya manusia dianggap sebagai investasi yang berharga bagi perusahaan karena kinerja mereka memberikan hasil yang nyata bagi perusahaan (Zhang & Jin, 2006). Dengan kata lain, sumber daya manusia berperan penting dalam menyukseskan suatu organisasi. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Beig, Karbasian & Ghorbanzad (2012) bahwa penerapan sumber daya manusia akan meningkatkan kualitas pekerja dan kondisi ini akan berkorelasi positif dengan kemajuan operasional organisasi.

Kerja merupakan salah satu aspek yang penting dalam kehidupan manusia saat ini untuk memenuhi kebutuhan dan kebanyakan pekerja menghabiskan waktu rata-rata delapan jam sehari di tempat kerjanya (Harter, Schmidt & Hayes, 2002). Kondisi ini menyebabkan sebagian besar waktu seorang pekerja itu dihabiskan di tempat kerja. Dalam dunia kerja

individu menghadapi segala tugas, lingkungan sosial di tempat kerja, serta penguasaan alat-alat yang mereka gunakan. Dalam menjalankan tugasnya sebagai pekerja atau karyawan, ada hal-hal yang menyenangkan dan tidak menyenangkan yang mereka hadapi.

Pengalaman-pengalaman menyenangkan dan tidak menyenangkan ataupun kebahagiaan dan ketidakbahagiaan dikenal sebagai Psychological Well-Being (PWB) atau kesejahteraan psikologis (Halim & Atmoko, 2005). Ryff (1989) menjelaskan kesejahteraan psikologis sebagai hasil evaluasi atau penilaian seseorang terhadap dirinya yang merupakan evaluasi atas pengalaman-pengalaman hidupnya. Hal ini berarti bahwa kesejahteraan psikologis akan membantu individu untuk mengontrol aspek kehidupannya secara sadar. Keberhasilan suatu organisasi salah satunya ditandai dengan karyawan yang merasa sejahtera di tempat kerjanya (Keyes, Hysom & Lupo, 2000).

Kesejahteraan psikologis melibatkan berbagai aspek kehidupan, salah satunya adalah aspek pekerjaan. Menurut Harter, Schmidt & Keyes (2002), rata-rata orang dewasa mengisi sepertiga waktu hidupnya dengan bekerja. Bagi mereka, kesejahteraan di tempat kerja tentu sangat penting karena hal tersebut juga akan berpengaruh terhadap aspek lain dalam kehidupannya.

(2)

208

Sejalan dengan hal tersebut, Harter, Schmidt dan Keyes (2002) juga menjelaskan bahwa karyawan yang sejahtera dalam bekerja akan memiliki loyalitas, kepuasan kerja, daya tahan dan produktivitas yang tinggi. Karyawan yang bekerja dengan bahagia akan memiliki performa kerja yang baik (Wright, Cropanzano & Bonett 2007). Robertson dan Cooper (2011) menjelaskan bahwa dengan memiliki karyawan yang sejahtera akan memberikan keuntungan pada organisasi, seperti produktivitas yang tinggi, kepuasan pelanggan, dan tingkat absen yang rendah. Kesejahteraan karyawan merupakan prediktor negatif terhadap intensi turnover karyawan (Zulkarnain & Akbar, 2013).

Selanjutnya, Wright, et al, (2007) menjelaskan bahwa karyawan yang sejahtera akan merasa puas dan lebih menikmati pekerjaannya. Mereka tidak menganggap pekerjaan sebagai suatu beban melainkan suatu tantangan dan terdorong untuk melakukan pekerjaan lebih banyak lagi (Anoraga, 2001). Secara khusus, Wright et al, (2007) menyebutkan bahwa karyawan yang bahagia lebih dapat menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan pekerjaannya sehingga produktivitas kerjanyanya meningkat. Selain itu, karyawan yang sejahtera dalam pekerjaannya juga memiliki komitmen yang tinggi (Annisa & Zulkarnain, 2013) Hal ini dapat menjadi bukti bahwa Kesejahteraan psikologis karyawan sangat bermanfaat bagi perusahaan.

Individu yang sejahtera adalah individu yang dapat membangun hubungan positif dengan orang lain, yaitu hubungan interpersonal yang didasari oleh kepercayaan, empati dan kasih sayang yang kuat (Ryff, 1989). Hal tersebut dapat diperoleh dari orang-orang terdekat, misalnya rekan kerja, kerabat, terutama keluarga (Keyes, Hysom & Lupo, 2000). Demikian halnya dalam konteks pekerjaan, karyawan yang sejahtera adalah karyawan yang memiliki hubungan positif dengan orang lain, termasuk keluarganya.

Amstad, Meier, Fasel, Elfering dan Semmer (2011) menjelaskan bahwa kepuasan dalam kehidupan keluarga berkontribusi terhadap kepuasan dalam kehidupan pekerjaan, sehingga dengan demikian keduanya saling mempengaruhi. Hal inilah yang menuntut setiap individu untuk selalu mengupayakan kesejahteraan di dalam kehidupan keluarganya agar kebahagiaan di tempat kerjanya pun tercapai. Sejalan dengan itu, Jimenez, Mayo, Vergel,

Geurts, Munoz dan Garrosa (2008) menjelaskan bahwa ketidakseimbangan yang terjadi antara pekerjaan dan keluarga akan membawa dampak buruk bagi kebahagiaan karyawan.

Ketidakseimbangan antara pekerjaan dan keluarga disebut sebagai work-family conflict, yaitu konflik yang mengacu pada sejauh mana hubungan antara pekerjaan dan keluarga saling terganggu (Greenhaus & Beutell, 1985; Jimenez, Mayo, Vergel, Geurts, Munoz & Garrosa, 2008). Konflik ini terjadi karena tuntutan peran yang berasal dari satu domain (pekerjaan atau keluarga) tidak sesuai dengan tuntutan peran yang berasal dari domain yang lain (keluarga atau pekerjaan).

Grandey, Bryanne, dan Ann (2005) menyatakan bahwa work family conflict dapat menghabiskan waktu dan energi seseorang sehingga menyebabkan munculnya perasaan terancam dalam diri seseorang serta perilaku negatif dalam pekerjaannya.Menurut hasil penelitian, dijelaskan bahwa 30% karyawan laki-laki khawatir dengan kehidupan pekerjaan mereka yang akan mengganggu kehidupan keluarga mereka (Vallone & Donaldson, 2001). Selain itu, hasil penelitian Galinsky, Bond, dan Friedman (1996) juga menyatakan bahwa 58% karyawan yang telah berumah tangga serta memiliki anak (orang tua) dan 42% karyawan yang telah berumah tangga namun belum memiliki anak cemas dengan tuntutan pekerjaannya yang akan mengganggu kehidupan keluarganya; 17% karyawan yang telah memiliki anak dan 12% karyawan yang telah berumah tangga namun belum memiliki anak melaporkan bahwa konflik peran ganda cukup banyak terjadi pada mereka. Hal ini berarti bahwa work-family conflict tidak hanya terjadi pada orang tua saja.

Tuntutan peran dalam pekerjaan dan keluarga sangat menguras waktu, psikis dan mental seseorang (Grzywacz, Arcury, Marin, Carrillo, Burke, Coates & Quandt, 2007). Penelitian telah membuktikan bahwa tuntutan-tuntutan tersebut berkontribusi terhadap peningkatan terjadinya work-family conflict (Frone, 2000). Dengan demikian, dibutuhkan usaha yang lebih dari individu dalam mengatur tuntutan perannya agar konflik peran ganda dapat terminimalisir. Bagi pekerja, salah satu faktor yang mempengaruhi kesejahteraan di tempat kerja adalah kesejahteraan keluarga. Ketika terjadi ketidakseimbangan dalam memenuhi tuntutan peran keluarga dan pekerjaannya, maka akan muncul work-family conflict. Berdasarkan penjelasan tersebut maka peneliti tertarik untuk

(3)

209

meneliti kaitan antara work family conflict dengan kesejahteraan psikologis.

Work family conflict dan kesejahteraan psikologis

De Vita (2010) menjelaskan kebahagiaan ataupun kesejahteraan di tempat kerja adalah suatu kualitas keadaan yang dicapai ketika individu memaksimalkan potensi kinerjanya berdasarkan 5C, yaitu contribution (kontribusi), conviction (keyakinan), culture (kebudayaan), commitment (komitmen) dan confidence (kepercayaan diri). Kesejahteraan di tempat kerja dimaknai sebagai suatu keadaan individu yang lebih termotivasi, terlibat di tempat kerja, memiliki energi positif, menikmati pekerjaan yang diberikan dan cenderung bertahan dalam suatu organisasi (Berger, 2010).

Ryff & Singer (2008) mengistilahkan kebahagiaan sebagai psychological well-being. Ryff (1989) mengkonstruksikan kesejahteraan psikologis dengan mengemukakan enam dimensi dari kesejahteraan psikologis, yaitu: penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup dan pengembangan pribadi. Selanjutnya Ryff (1989) menjelaskan penerimaan diri bermakna individu memegang sikap positif terhadap diri sendiri dan dapat menerima dirinya apa adanya. Hubungan positif dengan orang lain adalah hubungan interpersonal yang positif dengan orang lain, saling percaya, memiliki persahabatan yang mendalam, dan mempunyai kemampuan untuk mengidentifikasi orang lain dengan baik. Otonomi adalah individu mampu mengatur prilakunya dan juga dapat mengevaluasi diri sendiri. Penguasaan lingkungan berupa kemampuan individu dalam mengembangkan diri dan mengendalikan lingkungan yang kompleks. Tujuan hidup diasumsikan individu memiliki keyakinan yang dapat memberikan makna dan arah bagi kehidupannya. Fungsi yang positif dari dimensi ini adalah memiliki tujuan, maksud, dan arah, yang semuanya berkontribusi pada perasaan bahwa hidup ini bermakna. Pertumbuhan pribadi mengandung makna individu mempunyai keinginan untuk terus mengembangkan potensinya, tumbuh sebagai individu dan dapat berfungsi secara penuh (fully functioning). Individu yang dapat berfungsi secara penuh dapat terbuka terhadap pengalaman sehingga akan lebih menyadari lingkungan sekitarnya.

Individu yang berada dalam tempat kerja, akan menghadapi keenam dimensi kesejahteraan

psikologis tersebut. Hal ini diperkuat oleh Sirgy, Reilly, Wu & Efraty (2008) yang menyatakan bahwa tempat kerja menjadi medan pertemuan sosial untuk berbincang, bertukar pikiran, bertemu dan bertukar pengalaman dengan rekan-rekan sekerja. Hal ini tentu saja menjelaskan bahwa pekerja tidak lepas dari keadaan sosial atau hubungan interpersonal yang dapat mempengaruhi performanya dalam bekerja.

Huppert (2009) menjabarkan beberapa faktor yang mempengaruhi kesejahteraan yaitu (1) dukungan sosial yang merupakan gambaran perilaku mendukung kepada individu yang dilandasi emosi posiitif dari orang-orang yang bermakna dalam hidupnya, terutama keluarga. (2) kepribadian merupakan individu dengan kepribadian yang senang bergaul, energik, dan mampu mengontrol hubungannya dengan orang lain akan memunculkan emosi yang positif. (3) Usia, dimana kesejahteraan dipandang sebagai aspek yang berkembang seiring meningkatnya usia. (4) Jenis kelamin berkaitan erat dengan kebahagiaan seseorang. Wanita yang memiliki skor tinggi pada skala yang menilai fungsi sosial, seperti menjalin hubungan positif dengan orang lain. (5) Status sosial ekonomi berkaitan erat dengan kebahagiaan individu. Dolan, Peasgood & White (2008) menyebutkan bahwa individu dengan tingkat sosial dan pendapatan yang tinggi akan memperoleh kebahagiaan yang lebih tinggi dan cenderung terhindar dari stress.

Penelitian Huppert (2009) menunjukkan bahwa individu yang menampilkan perilaku sosial yang baik, seperti membangun hubungan positif dengan orang lain, termasuk hubungan dengan keluarga, dapat memberikan efek positif pada organisasi tempat ia bekerja. Hal ini berarti bahwa kebahagiaan di tempat kerja berkaitan dengan kepuasan kehidupan karyawan dengan orang-orang di sekitarnya, termasuk keluarga (Keyes, Hysom & Lupo, 2000)

Hubungan positif yang utama bagi sebagian besar individu dalam kehidupannya adalah hubungan dengan keluarga, seperti hubungan antara suami dengan isteri dan hubungan antara orang tua dan anak (Ryff & Singer, 2008) yang melibatkan kedekatan, kehangatan dan dukungan sosial. Individu yang tidak memiliki kedekatan, rasa kekompakan dan dukungan sosial dalam lingkungan keluarga akan merasa tertekan (Taylor, Repetti & Seeman, 1997) sehingga hal ini akan memicu terjadinya konflik keluarga (Christine, Oktorina & Mula, 2010).

Individu yang memiliki tuntutan pekerjaan yang melebihi batas kemampuannya, seperti lembur, akan

(4)

210

memunculkan kelelahan, ketegangan dan emosi negatif (Ahmad, 2008). Individu yang menghabiskan waktunya sepanjang hari untuk bekerja akan kehilangan motivasi untuk memenuhi tuntutan keluarga (Aslam, Shumaila, Azhar & Sadaqat, 2011). Hal ini yang kemudian membuat pemenuhan tuntutan pekerjaan dan tuntutan keluarga menjadi tidak seimbang. Ketidakseimbangan tersebut memunculkan work-family conflict (Greenhaus & Beutell, 1985; Jimenez, Mayo, Vergel, Geurts, Munoz & Garrosa, 2008).

Greenhaus dan Beutell (1985) menjelaskan bahwa terdapat tiga dimensi work family conflict, yaitu (1) Time-based conflict, merupakan konflik yang terjadi ketika waktu yang tersedia untuk memenuhi peran di pekerjaan (keluarga) tidak dapat digunakan untuk memenuhi peran di keluarga (pekerjaan) dengan kata lain pada waktu yang sama seorang yang mengalami work family conflict tidak akan bisa melakukan dua atau lebih peran sekaligus. Misalnya jam kerja yang panjang, waktu kerja yang tidak fleksibel dan lembur membuat individu kekurangan waktu dalam memenuhi tuntutan keluarga secara maksimal (Byron, 2005). (2) Strain-based conflict, merupakan ketegangan yang disebabkan oleh salah satu peran membuat seseorang sulit untuk memenuhi tuntutan perannya yang lain. Misalnya, seorang karyawan yang seharian bekerja akan merasakan kelelahan dan menyebabkannya kesulitan dalam melakukan pekerjaan di rumah. Konflik ketegangan ini bisa memicu tekanan darah meningkat, kecemasan, kelelahan, cepat marah dan depresi dan (3) behavior-based conflict, merupakan konflik yang muncul ketika pola dari suatu perilaku pada peran yang sedang dijalankan tidak sesuai dengan harapan perilaku pada peran yang lainnya. Sebagai contoh seorang manajer pria saat bekerja diharapkan memiliki kepercayaan diri, emosi yang stabil, agresif, dan objektif, sedangkan ketika berada di rumah mungkin diharapkan menjadi orang yang hangat, melindungi, dan emosional. Jika seseorang tidak bisa menyesuaikan perilakunya dengan berbagai peran yang berbeda, maka akan mengalami konflik antar peran-peran tersebut.

Selanjutnya, Greenhaus dan Beutell (1985) juga menjelaskan bahwa konflik muncul ketika (i) waktu yang digunakan untuk memenuhi suatu peran menghambat pemenuhan peran lainnya, (ii) tuntutan suatu peran yang mengarah pada ketegangan, kelelahan, dan mudah marah akan mempengaruhi kemampuan seseorang untuk menjalankan peran

lainnya, (iii) tuntutan perilaku disuatu peran bertentangan dengan harapan berperilaku di peran yang lainnya.

Studi yang dilakukan oleh Amstad, Meier, Fasel, Elfering dan Semmer (2011) menunjukkan bahwa konflik pekerjaan akan berhubungan dengan hal-hal yang terjadi dalam lingkungan pekerjaan (work-related outcomes), seperti kepuasan kerja, komitmen organisasi dan performa kerja. Sedangkan konflik keluarga akan berhubungan dengan hal-hal yang terjadi dalam lingkungan keluarga (family-related conflict), seperti kepuasan pernikahan, ketegangan dalam rumah tangga dan kepuasan keluarga. Sementara itu, Boyar, Maertz, Mosley dan Carr (2008) menjelaskan bahwa ambiguitas kerja berkorelasi positif dengan tuntutan pekerjaan yang dapat menimbulkan work family conflict. Hasil studi Lu, Gilmour, Kao & Huang (2006) menyatakan bahwa konflik dalam keluarga berkorelasi negatif dengan kebahagiaan individu di tempat kerja. Sejalan dengan itu, Byron, (2005) menjelaskan bahwa konflik dalam keluarga akan menyebabkan individu menjadi kurang berkonsentrasi di tempat kerja. Hal ini yang kemudian membuat pemenuhan tuntutan pekerjaan dan tuntutan keluarga menjadi tidak seimbang (Greenhaus & Beutell, 1985; Jimenez, Mayo, Vergel, Geurts, Munoz & Garrosa, 2008).

Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis adalah

H1: Work family conflict berhubungan negatif dengan kesejahteraan psikologis

H2: Dimensi-dimensi work family conflict berhubungan negatif dengan kesejahteraan psikologis

2. Metode penelitian Partisipan.

Dalam studi ini, ada sebanyak 352 kuesioner yang disebarkan kepada karyawan yang bekerja di bidang perkebunan di kota Medan. Setelah proses pengecekan kelengkapan pengisian kuesioner yang dilakukan oleh partisipan, maka sebanyak 288 kuesioner yang layak untuk dianalisis lebih lanjut. Tingkat pemberian respon (response rate) dalam studi ini adalah 82%.

(5)

211 Metode analisis data.

Analisis statistik digunakan untuk menganalisis validitas dan reliabilitas alat ukur. Dalam studi ini, validitas alat ukur yang digunakan yaitu validitas konstrak melalui analisis faktor. Penilaian dengan mengunakan validitas konstruk ditinjau dari apakah aitem yang dimaksudkan untuk mengukur faktor-faktor tertentu telah benar-benar dapat memenuhi fungsinya mengukur faktor-faktor yang dimaksudkan (Hadi, 2000). Uji analisis faktor diawali dengan melihat nilai Keiser-Meyers-Olkin (KMO), yaitu mengukur apakah sampel sudah cukup memadai. Menurut Wibisono (2003) kriteria kesesuaian dalam pemakaian analisis faktor adalah nilai KMO > 0,5. Selanjutnya validitas konstruk dilihat berdasarkan nilai bobot faktor (loading factor) yang menunjukan besarnya korelasi antara variabel awal dengan faktor yang terbentuk. Dikatakan memiliki validitas konstruk yang baik jika nilai faktor loadingnya lebih besar dari 0,5 (Santoso, 2002). Untuk menguji hipotesis, pada studi ini analisis korelasi Pearson dan regresi berganda stepwise dengan bantuan SPSS 18. Instrumen pengukuran kesejahteraan psikologis. Pengukuran kesiapan berubah menggunakan skala Ryff Psychological Well-being. Skala ini disusun berdasarkan dimensi kesejahteraan psikologis yang dikemukakan oleh Ryff dan Keyes (1995). Skala ini disusun berdasarkan dimensi kesiapan berubah yang terdiri dari: penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup dan pengembangan pribadi. Dalam skala ini digunakan lima pilihan jawaban yaitu sangat setuju (SS), setuju (S), netral (N), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS). Skala ini terdiri dari 40 item dengan koefisien Alpha sebesar 0.937. Pada dimensi penerimaan diri, diperoleh nilai KMO sebesar 0.754 dengan nilai validitas konstruk berdasarkan factor loading bergerak dari 0.684 sampai dengan 0.871. Pada dimensi hubungan positif dengan orang lain, diperoleh nilai KMO sebesar 0.808 dengan nilai validitas konstruk berdasarkan factor loading bergerak dari 0.674 sampai dengan 0.789. Pada dimensi otonomi, diperoleh nilai KMO sebesar 0.704 dengan nilai validitas konstruk berdasarkan factor loading bergerak dari 0.500 sampai dengan 0.886. Pada dimensi penguasaan terhadap lingkungan, diperoleh nilai KMO sebesar 0.707 dengan nilai validitas konstruk berdasarkan factor loading bergerak dari 0.500 sampai dengan 0.826. Pada dimensi tujuan hidup, diperoleh nilai

KMO sebesar 0.739 dengan nilai validitas konstruk berdasarkan factor loading bergerak dari 0.730 sampai dengan 0.839. Pada dimensi perkembangan pribadi, diperoleh nilai KMO sebesar 0.706 dengan nilai validitas konstruk berdasarkan factor loading bergerak dari 0.510 sampai dengan 0.917. Berdasarkan hasil analisis faktor diketahui bahwa setiap dimensi memenuhi batasan nilai KMO ≥ 0.5. Hal ini berarti bahwa sampel yang digunakan sudah cukup memadai (Wibisono, 2003). Hasil analisis faktor juga menunjukkan 40 item memiliki nilai factor loading yang memenuhi syarat ≥ 0.5. Sejalan dengan yang dikemukakan oleh Santoso (2002) bahwa batasan nilai factor loading yang baik adalah

≥ 0.5. yang berarti memiliki korelasi yang baik dan memenuhi syarat valid.

Instrumen pengukuran work family conflict Skala Work family conflict disusun berdasarkan dimensi work family conflict yang dikemukakan Greenhaus dan Beutell (1985). Dimensi work family conflict yaitu time-based conflict, strain-based conflict dan behavior-based conflict. Pada skala ini digunakan lima pilihan jawaban yaitu sangat setuju (SS), setuju (S), netral (N), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS). Skala ini terdiri dari 20 item dengan koefisien Alpha sebesar 0.867. Pada dimensi time-based behavior, diperoleh nilai KMO sebesar 0.659 dengan nilai validitas konstruk berdasarkan factor loading bergerak dari 0.571 sampai dengan 0.846. Pada dimensi strain-based conflict, diperoleh nilai KMO sebesar 0.595 dengan nilai validitas konstruk berdasarkan factor loading bergerak dari 0.520 sampai dengan 0.863. Pada dimensi behavior-based conflict, diperoleh nilai KMO sebesar 0.844 dengan nilai validitas konstruk berdasarkan factor loading bergerak dari 0.522 sampai dengan 0.887. Berdasarkan hasil analisis faktor diketahui bahwa setiap dimensi memenuhi batasan nilai KMO ≥ 0.5. Hal ini berarti bahwa sampel yang digunakan sudah cukup memadai (Wibisono, 2003). Hasil analisis faktor juga menunjukkan 40 item memiliki nilai factor loading yang memenuhi syarat ≥ 0.5. Sejalan dengan yang dikemukakan oleh Santoso (2002) bahwa batasan nilai factor loading yang baik adalah ≥ 0.5. yang berarti memiliki korelasi yang baik dan memenuhi syarat valid.

(6)

212 3. Hasil dan pembahasan

Karakteristik partisipan.

Deskripsi mengenai karakteristik partisipan menunjukkan bahwasebagian besar partisipan adalah pria dengan jumlah 210 orang (72,9%). Usia mayoritas partisipan adalah diantara 38 sampai 43

tahun dengan jumlah 78 orang (27%). Kemudian bila dilihat dari masa kerjanya, sebagian besar partisipan telah bekerja diantara 8 sampai 14 tahun dengan jumlah 86 orang (29,8%). Sedangkan tingkat pendidikan partisipan sebagian besar (52,4%) adalah diploma dengan jumlah 151 orang. Data lebih lengkap dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Deskripsi karakteristik partisipan

Karakteristik partisipan

Profil Frekuensi Persentase

Usia

20-25

tahun 4 1,4% 26 - 31 tahun 17 5,9% 32 - 37 tahun 38 - 43 tahun 41 78 14,2% 27,0% 44 - 49 tahun 50 - 55 tahun 75 73 26,0% 25,3% Jenis kelamin Pria 210 72,9%

Wanita 78 27,1%

Tingkat pendidikan Diploma 151 52,4% S-1 S-2 S-3 31 98 8 10,8% 34.0% 2.8% Masa kerja 1 – 7 tahun 30 10,4%

8 - 14 tahun 86 29,8% 15 - 21 tahun 61 21,2% 22 - 28 tahun 29 - 35 tahun 67 44 23,3% 15,3%

Hasil analisis statistik.

Berdasarkan analisis korelasi Pearson menunjukkan bahwa work family conflict berkorelasi negatif secara signifikan dengan kesejahteraan psikologis.

Selanjutnya, dimensi-dimensi work family conflict juga berkorelasi secara signifikan dengan kesejahteraan psikologis. Hasil keseluruhan dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Ringkasan korelasi Pearson

Variabel Bebas Kesejahteraan Psikologis Work-family conflict time-based conflict strain-based conflict behavior-based conflict -.329** -.458** -.422** .090 **p<0.01

Untuk mengetahui dimensi work-family conflict yang menjadi penentu dari kesejahteraan psikologis, analisis regresi stepwise digunakan. Berdasarkan hasil analisis regresi stepwise, ada dua dimensi work-family conflict sebagai prediktor terhadap kesejahteraan psikologis. Kedua dimensi

tersebut adalah time-based conflict dan strain-based conflict. Dari nilai koefisien determinasi (R2 = 0.243), menunjukkan bahwa kedua dimensi tersebut dapat menjelaskan 24.3% varian kesejahteraan psikologis. Hasil secara keseluruhan dapat dilihat pada tabel 2.

(7)

213

Tabel 2.Ringkasan koefisien estimasi dimensi work-family conflictterhadap kesejahteraan psikologis

B (Unstandardized Coefficients) Std. Error Beta (Standardized Coefficients) t Constant 187.786 3.663 51.260** Time-based conflict -1.677 .340 -.320 -4.928** Strain-based conflict -1.060 .302 -.228 -3.514**

** p<0.01, R = 0.493; R2 = 0.243

Berdasarkan hasil estimasi regresi diperoleh β0

adalah 187.786, β1 adalah -1.677 dan β2 adalah -1.060. Dengan demikian persamaan model regresi adalah: Y (komitmen terhadap organisasi) = 187.786 -.1677 (TBC) -1.060 (SBC) + e

Pembahasan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan negatif antara work-family conflict dengan kesejahteraan psikologis. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi tingkat work-family conflict seseorang maka semakin rendah tingkat kesejahteraan psikologis. Ada beberapa alasan yang dapat menjelaskan hubungan negatif antara konflik peran ganda dengan kebahagiaan di tempat kerja. Pertama, karyawan yang bahagia adalah karyawan yang memiliki hubungan positif yang didasari oleh kepercayaan, empati dan kasih sayang yang kuat. Adapun hubungan positif yang terjalin dapat diperoleh melalui interaksi dengan orang-orang penting di sekitar, termasuk keluarga dan rekan kerja. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Greenhaus dan Beutell (1985) bahwa kemunculan work-family conflict berkorelasi negatif terhadap hubungan baik individu dengan orang-orang yang berperan penting dalam hidupnya.

Kedua, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa work-family conflict merupakan salah satu faktor yang berperan dalam kebahagiaan karyawan. work-family conflict terdiri dari konflik pekerjaan, yaitu konflik yang terjadi ketika aktivitas pekerjaan mengganggu tanggung jawab individu dalam keluarga, dan konflik keluarga, yaitu konflik yang terjadi ketika peran dalam keluarga mengganggu aktivitas pekerjaan. Sebagaimana dikemukakan oleh Byron (2005) bahwa konflik keluarga akan menyebabkan individu menjadi kurang berkonsentrasi di tempat kerja. Individu yang tidak fokus pada pekerjaannya akan menghasilkan performansi, produktivitas, loyalitas yang rendah dan hal tersebut merupakan ciri dari karyawan yang tidak

bahagia di tempat kerjanya (Grzywacz, Marin, Burke & Quandt, 2007).

Ketiga, menurut Harter, Schmidt dan Keyes (2002), tempat kerja (organisasi) merupakan salah satu hal yang menunjang kebahagiaan karyawan. Ketika suatu organisasi memberikan jam kerja yang terlalu panjang, maka karyawan akan menghabiskan lebih banyak waktu di tempat kerja. Bagi karyawan yang sudah berumah tangga, hal ini akan membuat mereka tidak lagi dapat memberikan waktu dan tenaganya untuk keluarga. Akibatnya, waktu berkumpul dengan keluarga akan berkurang dan pemenuhan tuntutan keluarga menjadi terganggu. Jam kerja yang panjang akan memicu timbulnya work-family conflict (Greenhaus & Beutell, 1985). Dengan demikian agar dapat meningkatkan kesejahteraan karyawan, organisasi harus fokus pada pekerjaan yang diberikan kepada karyawan, seperti beban kerja yang berlebihan dan tingkat kesulitan tugas (Zulkarnain, 2013).

Selanjutnya, berdasarkan hasil analisis regresi stepwise, selaras dengan hasil penelitian Carlson, Kacmar & Wiliams (2000) yaitu dimensi time-based conflict dan strain-based conflict berhubungan dengan berbagai faktor yang berbeda dalam pekerjaan, seperti pengaturan jam kerja, shift kerja, beban kerja dan job insecurity. Pada dimensi time-based conflict, waktu yang dihabiskan untuk bekerja (misalnya lembur) tidak hanya menguras energi, tetapi juga mengurangi waktu untuk berkumpul dengan keluarga. Akibatnya, waktu akhir pekan tidak lagi dapat menimbulkan efek positif pada kehidupan bekerja (Burchell, Fagan, O’Brien & Smith, 2007; Steiber, 2009). Pada dimensi strain-based conflict, beban kerja yang berat dapat menciptakan kelelahan, stress kerja dan job insecurity yang mempengaruhi kehidupan pekerjaan seseorang. Job insecurity akan menimbulkan stress emosional dan mengancam kesejahteraan karyawan (Batt & Valcour, 2003; Steiber, 2009). Dalam penelitian ini dibuktikan bahwa hanya dimensi time-based conflict dan strain-based conflict yang berhubungan dengan kebahagiaan di tempat kerja.

(8)

214 Simpulan

Hubungan antara work-family conflict dengan kesejahteraan psikologis terbukti dalam penelitian ini. Oleh karena itu, untuk memperkecil kemungkinan munculnya work-family conflict, karyawan yang telah menikah sebaiknya tetap bijaksana dalam menyeimbangkan pemenuhan tuntutan peran pekerjaan dan keluarga. Organisasi tetap mempertahankan pembagian jam kerja dan beban kerja yang proporsional sehingga karyawan dapat membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga dengan seimbang. Selanjutnya, setiap karyawan ingin menghasilkan kinerja yang baik di tempat kerjanya. Salah satu hal yang dapat dilakukan perusahaan untuk mendukung hal tersebut adalah perusahaan sebaiknya tetap mempertahankan keseimbangan job-description dengan kemampuan karyawan. Dengan demikian, karyawan akan tetap menghasilkann produktivitas yang tinggi dan hal ini merupakan ciri karyawan yang bahagia di tempat kerjanya. Karyawan yang bahagia adalah karyawan yang memiliki hubungan positif yang didasari oleh kepercayaan, empati dan kasih sayang yang kuat. Adapun hubungan positif yang terjalin dapat diperoleh melalui interaksi dengan orang-orang penting di sekitar, termasuk keluarga dan rekan kerja. Oleh karena itu, karyawan hendaknya tetap menjalin kerjasama yang baik dengan rekan kerja dan atasan karena suasana kerja yang positif akan meningkatkan produktivitas karyawan.

Kepustakaan

Ahmad, A. (2008). Job, family and individual factors as predictors of work-family conflict. Journal of Human Resource and Adult Learning, 4, 57-65. Amstad, F. T., Meier, L. L., Fasel, U., Elfering, A. &

Semmer, N. K. (2011). A meta-analysis of work–family conflict and various outcomes with a special emphasis on cross-domain versus matching-domain relations. Journal of Occupational Health Psychology, 16, 151-169. Annisa & Zulkarnain. (2013). Komitmen terhadap

organisasi ditinjau dari kesejahteraan pekerja. Insan, Media Psikologi, 15(1), 54-62.

Anoraga, P. (2001). Psikologi kerja. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Aslam, R., Shumaila, S., Azhar, M. & Sadaqat, S. (2011). Work-family conflicts: Relationship between work-life conflict and employee retention – a comparative study of public and private sector employees. Journal of Research in Business, 1, 18-29.

Batt, R., & Valcour, P. M. (2003). Human resource practices as predictors of work-family outcomes and employee turnover. Industrial Relations, 42, 189–220.

Beig, M, Karbasian, M & Ghorbanzad, Y. (2012). Studying the impact of human resources functions on organizational performance using structural equations method. Interdisciplinary Journal of Contemporary Research in Business, 3, 721-730.

Berger, A. (2010). Review: Happiness at work. United States: Basil & Spice.

Boyar, S. L., Maertz, C. P., Mosley, D. C. & Carr, J. C. (2008). The impact of work/family demand on work-family conflict. Journal of Managerial Psychology, 23, 215-235.

Burchell, B., Fagan, C., O’Brien, C., & Smith, M. (2007). Working conditions in the European union: The gender perspective. Dublin: European Foundation for the Improvement of Living and Working Conditions.

Byron, K. (2005). A meta-analytic review of work-family conflict and its antecedents. Journal of Vocational Behavior, 67, 169-198.

Carlson, D. S., Kacmar, M. K., & Williams, L. J. (2000). Construction and validation of a multidimensional measure of work-family conflict. Journal of Vocational Behavior, 56, 249–276.

Christine, O, Megawati & Mula, I. (2010). Pengaruh konflik pekerjaan dan konflik keluarga terhadap kinerja dengan konflik pekerjaan keluarga sebagai intervening variabel (studi pada dual career couple di Jabodetabek). Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, 12, 121-132. De Vita, E. (2010). Happiness at work. Journal of

Business and Economics, 607, 17-38.

Dolan, P., Peasgood, T. & White, M. (2008). Do we really know what makes us happy? A review of the economic literature on the factors associated with subjective well-being. Journal of Economic Psychology, 29, 94-122.

Frone, M. R. (2000). Work–family conflict and employee psychiatric disorders: The national comorbidity survey. Journal of Applied Psychology, 85, 888–895.

Galinsky, E., Bond, J. T., & Friedman, D. E. (1996). The role of employers in addressing the needs of employed parents. Journal of Social Issues, 52, 111-136.

Grandey, A.A., Bryanne, L.C., & Ann, C.C. (2005). A longitudinal and multi-source test of the work-family conflict and job satisfaction relationship. Journal of Occupational and Organizational Psychology, 78, 305-323.

(9)

215

Greenhaus, J. H. & Beutell, N. J. (1985). Sources of conflict between work and family roles. Academy of Management Review, 10, 76-88. Grzywacz, A., Marin, C., Burke, C. & Quandt,

(2007). Work–family conflict: Experiences and health implications among immigrant latinos. Journal of Applied Psychology, 92, 1119-1130. Hadi, S. (2000). Metodologi research (Jilid I-IV).

Yogyakarta : Penerbit Andi.

Halim, M., & Atmoko, W. (2005). Hubungan antara kecemasan akan HIV/AIDS dan psychological well-being pada waria yang menjadi pekerja seks komersial. Jurnal Psikologi, 15(1), 17-31. Harter, J. K., Schmidt, F. L, & Keyes, C. L.M.

(2002). Well-being in the workplace and its relationship to business outcomes: A review of the gallup studies. In C. L. Keyes & J. Haidt (Eds.). Flourishing: The Positive Person and the Good Life. (pp.205-224). Washington: American Psychological Association.

Huppert, F. A. (2009). Psychological well-being: Evidence regarding its causes and consequences. Journal of Health and Well-Being, 1, 137-164. Jimenez, B.M., Mayo, M., Vergel, A. I. S., Geurts,

S., Munoz, A. R. & Garrosa, E. (2008). Effects of work-family conflict on employee’s well-being: The moderating role of recovery experiences. IE Business School Working Paper, 8, 119-136.

Keyes, C. L. M., Hysom, S. J. & Lupo, K. L. (2000). The positive organization: Leadership legitimacy, employee well-being, and the bottom line. The Psychologist-Manager Journal, 4, 143-153.

Lu, L., Gilmour, R., Kao, S. F. & Huang, M. T. (2006). A cross-cultural study of work/family demands, work/family conflict and wellbeing: The Taiwanese vs British. Career Developmental International, 11, 9-27.

Mufunda, J. (2006). Performance appraisal system impact on university academic staff job satisfaction and productivity. Performance Improvement Quarterly, 19, 117-126.

Robertson, I & Cooper, C. (2011). Well-being: Productivity and happiness at work. London: Palgrave MacMillan.

Ryff, C & Singer, B. (2008). Know thyself and become what you are: A eudaimonic approach to psychological well-being. Journal of Happiness Studies, 9, 13-39.

Ryff, C. D., & Keyes, C. L. (1995). The structure of psychological well-being revisited. Journal of Personnel Social Psychology, 69(4), 719-727.

Ryff, C.D. (1989). Happiness is everything, or is it? Explorations on the meaning of psychological well-being. Journal of Personality and Social Psychology, 57, 1069–1081.

Santoso, S. (2002). Statistik Multivariat. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo..

Segrin, C. & Taylor, M. (2007). Positive interpersonal relationships mediate the association between social skills and psychological well-being. Journal of Personality and Individual Differences, 43, 637-646.

Sirgy, M. J. & Reilly, N. P. & Wu, J., & Efraty, D. (2008). A work-life identity model of well-being: Towards a research agenda linking quality-of-work-life (QWL) programs with quality of life (QOL). Applied Research Quality Life, 3, 181-202

Steiber, N. (2009). Reported levels of time-based and strain-based conflict between work and family roles in Europe: A multilevel approach. Social Indicator Research, 93, 469-488.

Taylor, S. E., Repetti, R. L. & Seeman, T. (1997). Health psychology: What is an unhealthy environment and how does it get under the skin? Annual Review of Psychology, 48, 411-447. Vallone, E. J. & Donaldson, S. I. (2001).

Consequences of work-family conflict on employee well-being over time. Journal of Work and Stress, 15, 214-226.

Wibisono (2003). Riset bisnis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Wright, T. A., Cropanzano, R. & Bonett, D. G. (2007). The moderating role of employee positive well being on the relation between job satisfaction and job performance. Journal of Occupational Health Psychology, 12, 93-104. Zhang, H. & Jin, R. (2006). Value-added of capital

through complementary capital. Journal of American Academy of Business, 9, 191-196. Zulkarnain & Akbar, K.P. (2013). Analysis of

psychological well-being and turnover intentions of hotel employees: An empirical study. International Journal of Innovation and Applied Studies, 3(3), 662-671

Zulkarnain. (2013). The mediating effect of quality of work life on the relationship between career development and psychological well-being. International Journal of Research Studies in Psychology, DOI: 10.5861/ijrsp.2013.259

Gambar

Tabel 1. Deskripsi karakteristik partisipan  Karakteristik

Referensi

Dokumen terkait

Dilaksanakannya pendidikan multikultural di sekolah bertujuan untuk menciptakan manusia yang berbudaya, mengajarkan nilai-nilai bangsa, kemanusiaan, dan nilai kelompok

Berdasarkan penelitian terdapat beberapa strategi marketing jasa pendidikan di MI Muhammadiyah Program Khusus Kartasura dalam memasarkan program adalah pertama;

Penekanan rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu pada faktor fisiologis terutama pada antropometrik atlet Scorpio club bandung terhadap kemampuan Shooting

Universitas Padjadjaran (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM 21 Jatinangor-Sumedang) Email: malik_ahh@yahoo.co.id 6 pelayanan kesehatan berikutnya, serta dapat digunakan

Menurut Wahyudin (Hulu, 2009:3) bahwa pada masa sekarang ini para siswa sekolah menengah mesti mempersiapkan diri untuk hidup dalam masyarakat yang menuntut

Tanpa adanya kesadaran akan sebuah ketertiban dari dalam diri siswa (ketertiban dalam materi) maka sulit sekali untuk mencapai hasil maksimal dari suatu pembelajaran.

dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang Pedoman Pemanfaatan Barang Milik Negara Berupa Perkebunan

Dalam memberikan perlindungan khusus, terutama perlindungan hukum dalam sistem peradilan pidana kepada anak yang berhadapan dengan hukum, dalam