• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Tindak Pidana Korupsi sebagai Kejahatan Luar Biasa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Tindak Pidana Korupsi sebagai Kejahatan Luar Biasa"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

44

Korupsi selalu mendapatkan perhatian lebih dibandingkan dengan tindak pidana lainnya di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia. Fenomena ini dapat dimaklumi mengingat dampak negatif yang ditimbulkan oleh tindak pidana ini. Dampak yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi merupakan masalah serius, tindak pidana ini dapat membayakan pembangunan sosial ekonomi, dan juga politik, serta dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas karena lambat laun perbuatan ini seakan menjadi sebuah budaya. Korupsi merupakan ancaman terhadap cita-cita bangsa menuju masyarakat adil dan makmur.

Undang No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan tegas disebutkan bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Dengan ditetapkannya korupsi sebagai extra ordinary crimes oleh negara Indonesia, maka seyogiyanya

(2)

negara, rakyat dan budaya masyarakat Indonesia bersikap zero tolerance terhadap segala bentuk korupsi. Termasuk tidak mau menerima sumbangan dari koruptor.1

Sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan umum UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi memaparkan bahwa meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa.

Korupsi sebagai kejahatan luar biasa harus dapat diberantas agar tidak menjadi budaya dalam masyarakat, karena bagaimanapun korupsi memberikan dampak negatif bagi kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.

2.1.1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat juga mengakibatkan perubahan kondisi sosial masyarakat yang memiliki dampak sosial negatif, terutama menyangkut masalah peningkatan tindak pidana yang meresahkan masyarakat. Salah satu tindak pidana yang paling sering menjadi perbincangan adalah masalah korupsi. Tindak pidana ini tidak hanya

1 Badan Pengawas Mahkamah Agung, 2013, Korupsi sebagai Extra Ordinary Crime dan

(3)

merugikan keuangan Negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat.

Definisi tentang korupsi terdapat dalam laporan Amsterdam, definisi tentang korupsi dalam konteks umum disebutkan sebagai: “menawarkan, memberikan, meminta, atau menerima keuntungan pribadi, karena posisi atau perannya dalam jabatan pelayanan publik”. Dalam konteks hukum pidana, jabatan pelayanan publik adalah pegawai negeri sipil termasuk juga para politisi, para gubernur dan menteri.2

Korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan dengan tindak pidana lainnya di belahan dunia ini, khususnya di Indonesia. Hal ini dapat dimaklumni mengingat dampak negatif yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi tersebut. Dampak yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi merupakan masalah serius, tindak pidana korupsi dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial ekonomi, politik, serta dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas karena lambat laun perbuatan tersebut seakan menjadi sebuah budaya. Korupsi merupakan ancaman terhadap cita-cita menuju masyarakat adil dan makmur. Selain itu korupsi juga sangat bertentangan dengan cita hukum Pancasila bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan kepribadian bangsa Indonesia.

2 Philipus M. Hadjon, dkk, 2012, Hukum Administrasi dan Tindak Pidana Korupsi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, h. 93-94.

(4)

Menurut Fockema Andrea kata korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio atau corruptus (Webster Student Dictionary:1960). Selanjutnya disebutkan bahwa corruption itu berasal ula dari kata asal corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu Corruption, corrupt, Prancis, yaitu

corruption; dan Belanda, yaitu corruptive (korupties).3

Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin “corruption” atau “corruptus” yang berarti: kerusakan atau kebobrokan. Pada mulanya pemahaman masyarakat tentang korupsi dengan menggunakan bahasa kamus, yang berasal dari bahasa Yunani Latin “corruption” yang berarti perbuatan yang tidak baik, buruk, curang, dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian, melanggar norma-norma agama, mental dan hukum. 4

Pengertian tersebut merupakan pengertian yang sangat sederhana, yang tidak dijadikan tolak ukur atau standar perbuatan korupsi sebagai suatu tindak pidana, yang oleh Lubis dan Scott dalam pandangannya bahwa: dalam arti hukum korupsi adalah tingkah laku yang menguntungkan diri sendiri dengan merugikan orang lain, oleh pejabat pemerintah yang langsung melanggar batas-batas hukum atas tingkah laku tersebut; sedangkan menurut norma-norma pemerintahan dapat dianggap

3

Andi Hamzah, 2005, Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan

Internasional, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 4.

4 Focus Andrea dalam M. Prodjohamididjoyo, 2001, Memahami Dasar-Dasar Hukum

(5)

korupsi apabila ada pelanggaran hukum atau tidak, namun dalam bisnis tindakan tersebut adalah tercela.5

Korupsi menurut Leden Marpaung adalah perbuatan memiliki “keuangan Negara” secara tidak sah (haram). Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sebagaimana dikutip oleh Leden Marpaung, korupsi diartikan sebagai: “…penyelewengan atau penggelapan (uang Negara atau perusahaan dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi atau orang lain. Kata “keuangan negara” biasanya tidak terlepas dari “aparat pemerintah”, karena yang mengelola “keuangan negara” adalah aparat pemerintah. 6

Setelah diterbitkannya Undang-Undang No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian dirubah menjadi Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, maka dalam Pasal 2 ayat (1) merumuskan tindak pidana korupsi adalah: “setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu koorporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (duapuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (atu milyar rupiah)”.

Pasal 3-nya dirumuskan: “setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau koorporasi,

5 M. Lubis dan J.C. Scott, 1997, Korupsi Politik, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, h. 19. 6 Leden Marpaung, 1992, Tindak Pidana Korupsi: Masalah dan Pemecahannya, Sinar Grafika, Jakarta, h. 149.

(6)

menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (duapuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)”.

Korupsi dalam kamus umum bahasa Indonesia adalah perbuatan yang buruk (seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya).7 Dengan pengertian korupsi secara harfiah itu dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa sesungguhnya korupsi itu sebagai suatu istilah yang sangat luas artinya. Seperti dapat disimpulkan bahwa korupsi itu adalah sesuatu yang buruk dengan berbagai macam artinya, bervariasi menurut waktu, tempat dan bangsa. Di Indonesia, jika orang berbicara mengenai korupsi, pasti yang dipikirkan hanya perbuatan jahat menyangkut keuangan negara dan suap. Pendekatan yang dapat dilakukan terhadap masalah korupsi bermacam ragamnya, dan artinya tetap sesuai walaupun kita mendekati masalah itu, dari berbagai aspek. Pendekatan sosiologis misalnya, seperti halnya yang dilakukan oleh Syed Hussein Alatas dalam bukunya The Sociology of Corruption, akan lain artinya kalau kita melakukan pendekatan normatif; begitu pula dengan politik maupun ekonomi. Misalnya Alatas memasukkan “nepotisme” dalam

(7)

kelompok korupsi, dalam klasifikasinya (memasang keluarga atau teman pada posisi pemerintahan tanpa memenuhi persyaratan untuk itu), yang tentunya hal seperti itu sukar dicari normanya dalam hukum pidana.8

Dilihat dari beberapa pengertian tentang tindak pidana korupsi tersebut, dapat dipahami bahwa secara umum pengertian tindak pidana korupsi adalah suatu perbuatan curang yang merugikan keuangan negara. Atau dapat juga dikatakan bahwa korupsi merupakan penyelewengan atau penggelapan uang Negara yang dilakukan oleh seseorang atau lebih untuk kepentingan pribadi atau orang lain.

2.1.2. Pendapat Beberapa Ahli Tentang Tindak Pidana Korupsi

Mubyarto mengutip pendapat Smith sebagai berikut:

“On the whole corruption in Indonesia appears to present more of a recurring political problem than an economic one. It undermines the legitimacy of the government in the eye of the young, educated elite and most civil servant… Corruptiaon reduces support for the government among elites at the province and regency level. (secara keseluruhan korupsi di Indonesia muncul lebih sering sebagai masalah politik daripada ekonomi. Ia menyentuh keabsahan (legitimasi) pemerintah di mata generasi muda, kaum elite terdidik dan pegawai pada umumnya… Korupsi mengurangi dukungan pada pemerintah dari kelompok elite di tingkat provinsi dan kabupaten)”.9

Lebih tegas lagi apa yang dikemukakan oleh Gunnar Myrdal sebagai berikut:

“The problem is of vital concern to the government of South Asia, because the habitual practice of briberyand dishonesty pavers the way for an authoritarian regime which justifies itself by the disclosures of corruption has regularly been advance as a main justification for military take overs”. Masalah korupsi merupakan suatu yang penting bagi pemerintah di Asia Selatan karena kebiasaan melakukan penyuapan dan ketidak jujuran membuka jalan membingkar korupsi dan tindakan-tindakan penghukuman

8 Ibid, h. 6. 9 Ibid, h. 7.

(8)

terhadap pelanggar. Pemberantasan korupsi biasanya dijadikan pembenar utama terhadap kup militer.10

Menurut Andi Hamzah, tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia disebabkan karena faktor-faktor, yaitu: 11

1. Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan yang makin hari makin meningkat. Faktor ini adalah faktor yang paling menonjol, dalam arti merata dan meluasnya korupsi di Indonesia;

2. Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia. Dari sejarah berlakunya KUHP di Indonesia, penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat atau menguntungkan diri sendiri memang telah diperhitungkan secara khusus oleh Pemerintah Belanda sewaktu disusun WvS (Wetboek van Strafreacht) untuk Indonesia. Hal ini dengan nyata disisipkan pada Pasal 423 dan Pasal 425 KUHP Indonesia;

3. Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan kurang efisien sering dipandnag pula sebagai penyebab korupsi, khususnya dalam arti bahwa hal yang demikian itu akan member peluang untuk melakukan korupsi. Sering dikatakan, makin besar anggaran pembangunan semakin besar pula kemungkinan terjadinya kebocoran-kebocoran;

4. Modernisasi mengembangkan korupsi karena membawa perubahan-perubahan pada nilai dasar atas masyarakat,

10 Ibid, h. 7-8.

(9)

membuka sumber-sumber kekayaan dan kekuasaan baru, membawa perubahan-perubahan yang diakibatkan dalam bidang kegiatan politik, memperbesar kekuasaan pemerintah dan melipatgandakan kegiatan-kegiatan yang diatur oleh Peraturan Pemerintah.

Selain faktor penyebab, faktor-faktor pendorong sehingga dilakukannya korupsi menurut Suradi, ada tiga macam, yaitu: (1) adanya tekanan (perceived pressure); (2) adanya kesempatan (perceived opportunity); dan (3) berbagai cara untuk merasionalisasi agar kecurangan dapat diterima (some way to rationalize the fraud as acceptable).12

Selain itu, sudarto menjelaskan unsur-unsur tindak pidana korupsi, yaitu sebagai berikut: 13

a. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang laian atau suatu badan. “Perbuatan memperkaya” artinya berbuat apa saja misalnya mengambil, memindahbukukan, menandatangani kontrak dan sebagainya, sehingga si pembuat bertambah kaya. b. Perbuatan itu bersifat melawan hukum.

“Melawan hukum” disini diartikan secara formil dan materiil. Unsur itu perlu dibuktikan karena tercantum secara tegas dalam rumusan delik

c. Perbuatan itu secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan Negara dan/atau perekonomian Negara, atau

12 Suradi, 2006, Korupsi dalam Sektor Pemerintah dan Swasta, Gava Media, Yogyakarta, h. 1-2.

(10)

perbuatan itu diketahui atau patut disangka oleh si pembuat bahwa merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Pendapat lain dikemukakan oleh Solo Soemardjan, beliau mengungkapkan bahwa korupsi, kolusi dan nepotisme adalah dalam satu napas karena ketiganya melanggar kaidah kejujuran dan norma hukum. 14

Selain itu dipandang dari GONE Theory yang dikemukakan oleh Jack Bologne yang dikutip oleh R. Diyatmiko Soemodihardjo, bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi adalah: 15

a. Greeds (keserakahan) yang berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara potensial ada didalam diri setiap orang;

b. Opportunities (kesempatan) yang berkaitan dengan keadaan organisasi, instansi atau masyarakat, sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan korupsi;

c. Needs (kebutuhan) yang berkaitan dengan faktor kebutuhan individu guna menunjang hidupnya yang layak; dan

d. Exposures (pengungkapan) yaitu faktor yang berkaitan dengan tindakan, konsekuensi atau resiko yang akan

14 Ibid, h. 19-20.

15 Tumbur Ompu Sunggu, 2012, Keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam

(11)

dihadapi oleh pelaku apabila yang bersangkutan terungkap melakukan korupsi.

2.1.3. Konsepsi Kejahatan Luar Biasa dalam Hubungannya dengan Tindak Pidana Korupsi

Korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat sehingga dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa. Bahkan korupsi telah bagai penyakit kanker yang telah menjalar dan merusak semua sendi kehidupan masyarakat sampai dalam kondisi sekarat. Dengan demikian penanganan korupsi tidak boleh dilakukan dengan cara-cara biasa tetapi juga dengan cara-cara yang luar biasa.Melihat hal tersebut di atas, penanganan korupsi saat ini tidak cukup dengan hanya sosialisasi, ceramah-ceramah dan kegiatan-kegiatan lainnya yang sejenis, melainkan harus ditangani degan cepat agar tidak menjadi kebiasaan.

Undang-Undang KPK khususnya Penjelasan Umum UU 30 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa. Perhatikan kutipan penjelasan umum UU KPK dibawah ini:16

“Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat,

16 Lihat Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bagian Umum.

(12)

dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa”.

Bandingkan misalnya dengan penjelasan Umum UU 20 Tahun 2001 dibawah ini:

“Di samping hal tersebut, mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa. Dengan demikian, pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara yang khusus, antara lain penerapan sistem pembuktian terbalik yakni pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa”.

Tindak pidana korupsi sebagai salah satu jenis tindak pidana yang diatur dalam tindak pidana khusus atau ketentuan-ketantuan di luar KUPH. Menurut Pompe hukum pidana khusus dapat dipahami dalam dua kriteria yaitu orang-orang yang khusus, maksudnya subjek atau pelakunya yang khusus dan perbuatannya yang khusus. Disamping itu Pompe menegaskan kekhususan hukum pidana tersebut tidak hanya secara materiilnya yang menyimpang dari buku I KUHP tetapi juga hukum acaranya yang menyimpang dari hukum pidana umum (KUHAP).17

17 Andi Hamzah, 1991, Perkembangan Hukum Pidana Khusus, Rineka Cipta, Jakarta, h. 1-2. Selanjutnya disebut Andi Hamzah I.

(13)

Korupsi harus dipersepsikan sebagai kejahatan, bahkan termasuk di dalam kejahatan luar biasa. Korupsi juga harus dilihat sebagai kejahatan terhadap Negara. Aparatur pemerintah yang korup adalah aparat yang seharusnya bertindak demi kepentingan Negara, namun menggunakan kekuasaan yang diberikan oleh Negara untuk kepentingan diri sendiri. Korupsi juga dapat dipandang sebagai kejahatan melawan masyarakat, karena tidak memberikan kepada masyarakat apa yang berhak didapatkan oleh masyarakat yang secara wajar telah menjalankan kewajiban-kewajibanya. Dalam konteks ini, korupsi terlihat sebagai sebuah kejahatan karena mengabaikan hak-hak yang dimiliki oleh masyarakat, dan juga mempropagandakan masyarakat umum untuk melakukan perbuatan yang secara etis bermasalah. Korupsi juga merupakan kejahatan yang terjadi dalam realitas ekonomi, karena praktek-praktek suap yang diminta oleh aparat pemerintah akan berpengaruh besar terhadap perekonomian.

Korupsi di Indonesia sudah merupakan kejahatan yang sangat luar biasa (extra ordinary crimes) sehingga tuntutan ketersediaan perangkat hukum yang sangat luar biasa dan canggih serta kelembagaan yang menangani korupsi tersebut tidak dapat dielakkan lagi. Kiranya rakyat Indonesia sepakat bahwa korupsi harus dicegah dan diberantas karena korupsi sudah terbukti sangat menyangsarakan rakyat bahkan sudah merupakan pelanggaran hak-hak ekonomi dan sosial rakyat Indonesia serta hak-hak konstitusional warga Negara. Persoalan pemberantasan korupsi di Indonesia bukanlah hanya persoalan hukum dan penegakan hukum

(14)

semata, melainkan persoalan sosial dan psikologi sosial yang sungguh sangat parah dan sama parahnya dengan persoalan hukum sehingga wajib segera dibenahi.

2.2. Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara

Tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga korupsi dapat dikatakan sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes), sehingga dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan “secara biasa”, tetapi “dituntut cara-cara yang luar biasa” (extra-ordinary enforcement).18

Persoalan pemberantasan korupsi di Indonesia bukan hanya persoalan hukum dan penegakan hukum semata-mata melainkan persoalan sosial dan psikologi sosial yang sungguh sangat parah dan sama parahnya dengan persoalan hukum sehingga wajib segera dibenahi secara simultan. Korupsi juga merupakan persoalan sosial karena korupsi mengakibatkan tidak adanya pemerataan kesejahteraan dan merupakan persoalan psikologi sosial karena korupsi merupakan penyakit sosial yang sulit disembuhkan.19

Upaya untuk dapat melaksanakan pemberantasan korupsi secara efektif dan efisien salah satunya adalah melalui penerapan sistem Pembalikan Beban Pembuktian dan pembentukan suatu badan atau lembaga khusus yang independen dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi.20 Di Indonesia lembaga pemberantasan tindak pidana korupsi telah dibentuk berdasarkan Undang-Undang

18 Ermansyah Djaja, 2009, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Komisi Pemberantasan

Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, h. 28.

19

Ibid, h. 31. 20

(15)

No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang disebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tidak hanya di Indonesia korupsi juga terjadi di beberapa negara di belahan dunia ini. Oleh sebab itu maka pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan segera dan secepat mungkin agar tidak semakin meluas dan meresahkan masyarakat. Dalam penelitian ini penulis akan memaparkan secara singkat tentang komisi pemberantasan korupsi di berbagai Negara dianataranya yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi Australia, Komisi Pemberantasan Korupsi Malaysia dan Komisi Pemberantasan Korupsi Thailand.

2.2.1. Komisi Pemberantasan Korupsi Australia

Organisasi ICAC (Independent Commission Against Coruption) New South Wales terdiri dari satu Ketua disebut Commisioner dan dua Assistan Commisioner yang disebut juga Ketua Mejelis Operasi , dibantu 4 (empat) direktur. Commisioner diangkat oleh diangkat oleh Gubernur Negara bagian New South Weles atas usul Menteri Kehakiman kepada Parliamentary Joint Committee (Komite Parlemen) New South Weles untuk dipilih, ICAC New South Weles bertanggung jawab kepada Parliamentary Joint Committee bukan kepada Pemerintah (Gubernur New South Weles). ICAC New South Weles adalah lembaga independen yang bertugas memberantas korupsi di Australia khususnya Negara bagian New South Weles. Negara bagian New South Weles dengan ibu kota Sydney inilah yang mempunyai komisi anti korupsi yang lengkap, independen, dan telah berjalan dengan lancar. ICAC didirikan berdasarkan Independent

(16)

Commission Against Coruption Act Nomor 35 Tahun 1988. Undang-Undang ini sudah beberapa kali di amandemen, sehingga hampir seriap tahun diamandemen sejak tahun 1989 terkecuali terkecuali pada tahun 1993. ICAC beroperasi di lingkungan sektor publik New South Weles. ICAC adalah suatu komisi untuk pemeriksaan yang terfokus secara pada tindak pidana korupsi. Selain melakukan penyidikan, ICAC juga bertugas untuk membantu mencegah korupsi di sektor publik dan mendidik masyarakat di sektor publik tentang pencegahan tindak pidana korupsi.21

ICAC New South Wales tidak mempunyai wewenang untuk menyidik orang swasta atau perusahaan swasta kecuali jika hal itu berkaitan dengan sector public. Jadi ICAC New South Walesrelatif sama dengan KPK Indonesia dalam hal objek penyidikannya. ICAC New South

Wales memiliki perbedaan dengan KPK Indonesia dalam hal wewenang

penuntutan, karena ICAC New South Wales tidak memiliki wewenang di bidang penuntutan sedangkan KPK Indonesia memiliki wewenang penuntutan dalam memberantas korupsi di Indonesia. Selain itu, ICAC

New South Wales mempunyai wewenang menyidik hakim, magistrate,

atau pejabat peradilan. Hal tersebut berbeda dengan KPK Indonesia yang dibatasi wewenangnya oleh UU tentang Mahkamah Agung dan UU tentang Peradilan Umum yang menghendaki pemeriksaan seorang hakim harus dengan izin Ketua Mahkamah Agung.22

21 Andi Hamzah, 2005, Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Nagara, Sinar Grafika, Jakarta, h. 9. Selanjutnya disebut Andi Hamzah II

(17)

Komisi pemberantasan korupsi di Australia yang lengkap hanya di satu Negara bagian New South Wales, sedangkan di negara-negara bagian yang lain lembaga pemberantasan korupsinya masih melekat pada institusi yang ada yaitu kepolisian. Persamaan tugas dan kewenangan yang sangat menonjol diantara kewenangan ICAC New South Wales dengan KPK Indonesia adalah di bidang penindakan/penyidikan di sector publik/ penyelanggara negara yaitu menyidik setiap pengaduan yang diduga ada perbuatan korupsi dan di bidang pencegahannya yaitu memberikan pendidikan dan nasehat tentang dampak perbuatan korupsi.

2.2.1. Komisi Pemberantasan Korupsi Malaysia

Dalam rangka membangun Negara modern yang bebas korupsi, sejak tahun 1961 Malaya yang kemudian berkembang menjadi Malaysia, telah mempunyai undang-undang anti korupsi, yang pertama Undang-Undang Tahun 1961 yang bernama Prevention of Corruption Act atau Akta Pencegah Rasuah Nomor 57, kemudian diterbitkan lagi Emergency Essential Power Ordinance Nomor 22 tahun 1970, lalu dibentuk Badan Pencegah Rasuah (BPR) berdasarkan Anti Corruption Agency Act tahun 1982. Sekarang berlaku Anti Corruption Act tahun tahun 1997 yang selanjutnya disingkat ACA yang merupakan penggabungan ketiga undang-undang dan ordonansi tersebut. Organisasi Badan Pencegah Rasuah (BPR) Malaysia berada pada kantor Perdana Menteri langsung dibawahnya adalah Direktur Jenderal atau Ketua Pengarah BPR Malaysia, ketua BPR Malaysia dibantu 2 deputy (timbalan) yaitu Ketua Pengarah Operasi dan

(18)

Ketua Pengarah Pencegahan yang diangkat oleh Yang Dipertuan Agung (Raja) atas nasehat Perdana Menteri dan bertanggung jawab kepada Raja Yang dipertuan Agung Malaysia.23

Pemberantasan korupsi di Malaysia dilakukan dengan segala daya dan cara, represif yang keras, tegas, dibarengi sistem preventif dan hubungan masyarakat yang sangat intensif, didukung dengan political will yang prima dari Pemerintah disertai dengan sumber daya manusia yang professional dan berintegritas. Tidak kurang pentingnya adalah tersedianya anggaran yang sangat memadai untuk menunjang semua kegiatan operasional dari BPR Malaysia. Peraturan (Anti Curruption Act) pun lengkap, walaupun hanya dengan satu undang-undang telah mampu mencakup semua hal dengan rumusan delik yang jelas, sangat keras, dan dijalankan oleh BPR Malaysia dengan konsisten. Permasalahannya, BPR Malaysia dalam pemberantasan korupsi di Malaysia masih belum independen (independensinya masih belum tegas), karena BPR Malaysia masih berada di bawah administrasi kantor Perdana Menteri Malaysia. Dengan demikian, pertanggungjawaban BPR Malaysia juga menjadi pertanyaan atau permasalahan, yaitu begaimana mekanismenya.24

BPR Malaysia dengan KPK Indonesia mempunyai maksud dan tujuan yang sama untuk memberantas korupsi di Negara masing-masing. Perbedaan kewenangan BPR Malaysia dengan KPK Indonesia yang paling menonjol adalah dalam melakukan penyelidikannya, BPR Malaysia dalam

23 Andi Hamzah, Op. Cit, h. 38. 24 Ermansyah Djaja, Op. Cit, h. 447.

(19)

penyelidikan perkara korupsi dilakukan oleh Divisi Intelejen dibawah Ketua Pengarah Operasi, sedangkan KPK Indonesia tidak ada Divisi Intelejen yang langsung mengadakan penyelidikan kelapangan. KPK Indonesia dalam penyelidikan perkara korupsi dilakukan oleh Direktorat Penyelidikan dibawah Deputi Bidang Penindakan yang sifatnya untuk menyelidiki kasus-kasus adanya laporan pengaduan korupsi, jadi tidak memiliki inisiatif menyelidiki kelapangan dalam hal-hal yang mencurigakan.25

2.2.3. Komisi Pemberantasan Korupsi Thailand

Komisi Pemberantasan Korupsi di Thailand adalah NCCC (Nation Counter Corruption Commission) yang bertanggung jawab kepada Perdana Menteri. Selanjutnya pada tanggal 8 November 1999 diterbitkan undang-undang baru tentang pemberantasan korupsi bernama Organic Act on Counter Corruption. Berdasarkan Pasal 6 Organic Act on Counter Corruption, komisi pemberantasan korupsi di Thailand diberi nama NCCC (The National Counter Corruption Commission) yang terdiri atas seorang ketua yang disebut President dan 8 (delapan) anggota yang terdiri dari satu sekretaris jenderal, dua asisten sekretaris jenderal, empat deputi sekretaris jenderal yang diangkat oleh Raja dengan nasehat dari Senat, dan pertanggungjawabannya langsung kepada Raja.26

Persamaan tugas dan wewenang NCCC Thailand dengan KPK Indonesia yang paling menonjol yaitu mengambil tindakan untuk

25

Tumbur Ompu Sunggu, Op.Cit. h. 90 26 Andi Hamzah, Op. Cit, h. 373.

(20)

mencegah korupsi dan membangun sikap berkaitan dengan integritas dan kejujuran. Sedangkan perbedaannya yaitu NCCC Thailand tidak dapat melakukan penuntutan tindak pidana korupsi, hal tersebut hanya dapat dilakukan melalui Kejaksaan agung selaku penuntut umum untuk mengadili tindak pidana korupsi, sedangkan KPK Indonesia dapat melakukan sendiri penuntutannya ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.27

2.3. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Instrumen Hukum Internasional

Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), dengan Undang-Undang No. 7 tahun 2006 hal ini menunjukkan bahwa negara kita telah mengikatkan diri dalam komunitas internasional untuk memberantas korupsi. Konsekuensi logisnya, Indonesia memiliki instrumen hukum untuk bersikap proaktif dalam upaya mengembalikan uang rakyat yang dikorupsi dan melakukan kerjasama internasional mengekstradisi koruptor yang melarikan diri ke luar negeri. Tugas seluruh komponen bangsa saat ini adalah merevitalisasi fungsi protektif hukum terhadap korban kejahatan korupsi yaitu rakyat miskin yang tidak sanggup merasa mampu menuntut hak-hak konstitusionalnya untuk hidup layak bagi kemanusiaan. Untuk masa kedepan dengan meratifikasi Konvensi PBB Anti Korupsi, 2003 dan implementasinya kedalam hukum nasional serta hak-hak yang dimiliki oleh Indonesia sebagai negara peratifikasi maka tidak ada lagi “tempat berlindung”

27

(21)

para koruptor dimanapun para koruptor tersebut melarikan diri dan menyembunyikan ases-aset hasil korupsinya.

Konvensi PBB 2003 telah memberikan pilihan sarana hukum internasional yang bersifat komprehensif dalam pemberantasan korupsi. Hal tersebut menuntut Konvensi PBB memasukkan ketentuan mengenai pembentukan suatu lembaga independen untuk memberantas korupsi di setiap Negara. Di Indonesia pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 sangat relevan sebagai wujud komitmen nasional Indonesia dapat setara dengan bangsa-bangsa lain di dunia dalam mencegah terjadinya pelanggaran hak-hak ekonomi dan sosial yang mengakibatkan kemiskinan yang semakin meluas. 28

Keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Indonesia sebagai lembaga khusus untuk pemberantasan korupsi masih tetap harus dipertahankan. Apalagi Indonesia sebagai salah satu negara peserta dalam Konvensi PBB Anti Korupsi, 2003, wajib memastikan keberadaan KPK sebagai lembaga khusus pemberantas korupsi di Indonesia sesuai dengan ketentuan Pasal 6 dan Pasal 36 Konvensi PBB Anti Korupsi, 2003 sebagaimana telah diratifikasi atau disahkan oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Againns Coruption (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun Anti Korupsi 2003), sehingga keberadaan KPK semakin mempunyai dasar hukum yang kuat sebagai lembaga pemberantasan korupsi di Indonesia. Oleh sebab itu menjadi sangat penting diketahui mengenai intrumen

28

(22)

hukum internasional dan instrumen hukum ditingkat regional yang nantinya dapat menjadi acuan dalam memberantas korupsi di Indonesia.

2.3.1. Pengaturan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Tingkat Internasional

Tindak Pidana Korupsi tidak hanya merupakan persoalan di tingkat nasional (Indonesia) namun juga mendapat perhatian di tingkat Internasional, sehingga perlu diatur dalam bentuk Instrumen Hukum Internasional.

Konvensi mengenai pemberantasan korupsi di bawah pengawasan PBB telah diadopsi dalam sidang ketujuh Panitia ad hoc negosiasi atas draft konvensi tersebut pada tanggal 1 Oktober 2003 yang lampau. Adopsi atas konvensi tersebut merupakan babak baru dalam pemberantasan korupsi secara internasional, dan juga merupakan perkembangan yang sangat signifikan dalam pengembangan studi hukum mengenai korupsi; dan saat ini korupsi sudah merupakan kejahatan transnasional, bukan lagi semata asalah nasional masing-masing Negara. Hal ini ditegaskan di dalam mukamahdimah Konvensi Wina 2003 yang berbunyi sebagai berikut: “Convinced also that the globalization of the world’s economic has led to a situation where corruption is no longer a local matter but a transnational phenomenon that affects all societies and economies,

making international cooperation to prevent and control it essential”.29

(23)

Hukum internasional yang menjadi payung hukum yang berkaitan dengan kurupsi adalah United Nations Conventions Againtsn Corruption. Instrumen hukum internasional ini wajib ditaati oleh semua negara-negara seluruh Negara anggota PBB yang telah menandatangani dan meratifikasi aturan Konvensi PBB tentang Korupsi tahun 2003, termasuk di dalamnya Indonesia yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Againns Coruption (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun Anti Korupsi 2003).

United Nations Conventions Againtsn Corruption 2003 dibentuk pada awalnya di tahun 2000 dalam sidang ke-55 melalui Resolusi Nomor 55/61 pada tanggal 6 Desember 2000. Instrumen hukum internasional tersebut amat diperlukan untuk menjembatani sistem hukum yang berbeda dan sekaligus memajukan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi secara efektif.30

Konfensi internasional tentang anti korupsi mengatur 8 (delapan) Bab yaitu: tentang general povisioan, preventive measure, criminalizations and law enforcement, international coopration, asset recovery, techicalo assistance and informations exchange, mechanisms for

implementation, dan Final provision. 31

30 Lihat Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003), Bagian Pokok-Pokok Pikiran yang mendorong Lahirnya Konvensi

31 United Nations, 2004, United Nations Conventions Againtsn Corruption, United Nations office on drugs and crime Viena, New York, p. 7.

(24)

Melalui peraturan secara hukum internasional hal penting yang dapat dipetik adalah adanya kerja sama Internasional dalam rangka memerangi dan memberantas korupsi sebagaimana diatur dalam bab VI UNCAC tentang techical techicalo assistance and informations exchange (bantuan teknis dan pertukaran informasi) mengenai langkah-langkah yang dapat ditembuh untuk melakukan upaya pemberantasan korupsi. 32

Salah satu pertimbangan Indonesia meratifikasi UNCAC 2003 adalah bahwa korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal, tetapi merupakan fenomena transnasional yang mempengaruhi seluruh masyarakat dan perekonomian, sehingga penting adanya kerjasama Internasional untuk pencegahan dan pemberantasannya termasuk pemulihan atau pengembalian asset-aset hasil korupsi.33 Ratifikasi UNCAC 2003 menampilkan Indonesia sebagai salah satu Negara di Asia yang memiliki komitmen pemberantasan korupsi melalui kerjasama Internasional. Selain itu, Indonesia juga wajib menyesuaikan berbagai peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan korupsi dengan isi dari UNCAC 2003 tersebut.

2.3.2. Pengaturan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Tingkat Regional

Pemberantasan Korupsi tidak hanya diatur di tingkat internasional tetapi juga diatur di tingkat regional, diantaranya

32 United Nations, Op.Cit, p 33

(25)

diatur di tingkat regional yaitu dalam Inter American Convention Agains Corruption 1996.

Pasal 1 Inter American Convention Agains Corruption 1996 menjelaskan tentang definisi dari fungsi publik, pejabat publik dan properti.

Article 2 menjelaskan tentang tujuan dari konvensi ini yaitu: 34

1. To promote and strengthen the development by each of the States Parties of the mechanisms needed to prevent, detect, punish and eradicate corruption; and

2. To promote, facilitate and regulate cooperation among the States Parties to ensure the effectiveness of measures and actions to prevent, detect, punish and eradicate corruption in the performance of public functions and acts of corruption specifically related to such performance.

Pasal 2 tersebut menjelaskan bahwa tujuan dari konvensi ini secara garis besarnya yaitu Untuk mempromosikan dan memperkuat pengembangan oleh masing-masing Negara Pihak mekanisme yang diperlukan untuk mencegah, mendeteksi, dan menghukum memberantas korupsi; dan untuk mempromosikan, memfasilitasi dan mengatur kerjasama antar Negara Pihak untuk memastikan efektifitas kebijakan dan tindakan untuk mencegah, mendeteksi, dan menghukum memberantas

34 Adopted at the third plenary session, 1996, Inter-American Convention Agains

(26)

korupsi dalam pelaksanaan fungsi publik dan tindakan korupsi secara khusus terkait dengan kinerja tersebut.

Pasal 3 tentang tindakan pencegahan (Preventive Measures). Tindakan pencegahan seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 3 konvensi ini dilakukan antara lain dengan Standar perilaku bagi pemenuhan yang benar, terhormat, dan tepat fungsi publik dan Studi tentang langkah-langkah pencegahan lebih lanjut yang memperhitungkan hubungan antara kompensasi yang adil dan kejujuran dalam pelayanan publik.

Pasal 5 tentang Jurisdiction, hal tersebut berkaitan erat dengan eksistensi Negara untuk memberantas korupsi melalui tindakan-tindakan pemerintah.

Pasal VII menjelaskan tentang Domestic Law¸yaitu:35

The States Parties that have not yet done so shall adopt the necessary legislative or other measures to establish as criminal offenses under their domestic law the acts of corruption described in Article VI(1) and to facilitate cooperation among themselves pursuant to this Convention. Yang artinya yaitu Negara-Negara Pihak yang belum melakukannya harus mengadopsi diperlukan langkah-langkah legislatif atau lainnya untuk menetapkan sebagai kejahatan pidana berdasarkan hukum nasional mereka tindakan korupsi yang dijelaskan dalam Pasal VI (1) dan untuk memfasilitasi kerja sama di antara mereka sendiri sesuai dengan Konvensi ini.

(27)

Selanjutnya Pasal penting dalam konvensi ini terkait dengan korupsi yaitu dalam Pasal XIV tentang Assistance and Cooperatoin, yang menjelaskan tentang bantuan dan kerjasama yang dilakukan dengan hukum domestik dan perjanjian yang berlaku.36

2.4. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

Korupsi di Indonesia terus menunjukkan peningkatan dari tahun ketahun. Tindak pidana korupsi sudah meluas dalam masyarakat, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian Negara, maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana, tidak saja bagi kehidupan perekonomian nasional, juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Menyadari kompleksnya permasalahan korupsi ditengah-tengah krisis multidimensional serta ancaman nyata yang pasti akan terjadi akibat dari dampak korupsi tersebut, maka tindak pidana korupsi dapat dikategorikan sebagai permasalahan nasional yang harus dihadapi secara sungguh-sungguh melalui keseimbangan langkah-langkah yang tegas dan jelas dengan melibatkan semua potensi yang ada dalam masyarakat khususnya pemerintah dan aparat penegak hukum. Untuk dapat memberantas korupsi diperlukan lembaga independen yang bebas dari pengaruh kekuasaan negara.

(28)

Aspirasi masyarakat untuk memberantas korupsi semakin meningkat, karena korupsi telah menimbulkan kerugian yang sangat besar. Untuk itu upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat. Untuk dapat memberantas korupsi diperlukan lembaga independen yang bebas dari pengaruh kekuasaan negara. Sehingga dibentuklah KPK sebagai lembaga khusus pemberantasan korupsi di Indonesia.

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi adalah “lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari penagruh kekuasaan manpun”. Pemberantasan tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yaitu “serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2.4.1. Sebelum Terbentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi ataupun jumlah kerugian keuangan negara terkait dengan tindak pidana korupsi.

(29)

Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan semakin membawa bencana yang besar dalam kehidupan perekonomian nasional yang dapat pula berdampak besar pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak social dan hak-hak ekonomi masyarakat, dank arena itu semua tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa. Oleh sebab itu, diperlukan adanya penegakkan hukum yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, professional dan berkesinambungan guna memberantas tindak pidana korupsi tersebut. Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan sebagai landasan yang kuat untuk berusaha memerangi dan memberantas tindak pidana korupsi.

Kebijakan-kebijakan tersebut tertuang dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan, antara lain dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; serta Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas

(30)

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam rangka mewujudkan masyarakat adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu, pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara professional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara, merugikan perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional. Lembaga Negara yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. Oleh sebab itu, berdasarkan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, perlu dibentuk sebuah lembaga negara untuk memberantas tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia yaitu Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Pemberantasan Korupsi kini sudah menjadi agenda masyarakat internasional sekaligus juga telah disepakati ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang pembentukan suatu lembaga anti korupsi yang

(31)

independen, mekanismepengembalian asset hasil korupsi di Negara lain melalui “mutual legal assistance”; ekstradisi, “joint investigation; transfer of sentenced person; transfer of proceedings; dan kewajiban pelaporan tahunan kepada “lembaga internasional” yang disebut

“Conference of the Parties”.37

Sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia dimulai dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 24 tahun 1960 tentang pengusutan, penuntutan, dan pemeriksaan tindak pidana korupsi yang pada intinya mengatur tata cara pencegahan dan pemberantasan korupsi namun tetap masih mengacu kepada pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Namun pengaturan pemberantasan korupsi melalui PERPU tersebut terbukti masih lemah dan tidak efektif, oleh sebab itu produk legislatif tersebut ditindaklanjuti dengan pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) di bawah koordinasi Menteri Pertahanan. Sasaran TPK pada waktu itu diarahkan kepada kejahatan penyelundupan tetapi tim yang dibentuk itu tidak berhasil secara efektif memberantas korupsi terutama penyelundupan. Untuk meningkatkan efektivitas pemberantasan korupsi pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 sebagai pengganti Perpu tahun 1960. Undang-Undnag tersebut menetapkan korupsi sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri dan tidak lagi merupakan salah satu

37 Romli Atmasasmita, 2004, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek

(32)

jenis kejahatan sebagaimana diatur dalam KUHP dan pembaharuan yang terdapat dalam undang-undang tersebut adalah ditetapkannya kerugian keuangan Negara sebagai salah satu unsur tindak pidana korupsi. Namun hal tersebutlah pula yang menjadikan undang-undang tersebut tidak berhasil berjalan efektif sehingga dibentuklah Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971. Penegakan hukum terhadap KKN harus dijalankan secara konsisten dan tidak ada yang kebal hukum, sekalipun terhadap seorang presiden.

Komisi Pemberantasan Korupsi bukanlah lembaga negara pertama yang menjalankan tugas untuk memberantas korupsi di Indonesia. Dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia terdapat cukup banyak lembaga atau institusi yang menangani pemberantasan korupsi sebelum dibentuknya KPK berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Lembaga atau institusi pemberantasan korupsi di Indoneisa selain KPK, antara lain: Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), Komite Anti Korupsi (KAK), Komisi Empat, Operasi tertib (OPSTIB), Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.38

38 Ermansjah Djaja, 2010, Memberantas Korupsi bersama KPK: Kajian Yuridis UURI

Nomor 30 Tahun 1999 juncto UURI Nomor 20 Tahun 2001 Versi UURI Nomor 30 Tahun 2002 juncto UURI Nomor 46 Tahun 2009, Edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta, h. 326-329.

(33)

Berbagai peraturan perundang-undangan maupun pembentukan institusi pemberantasan korupsi tersebut hanyalah merupakan persiapan dari segi legal dan formal saja. Pembenahan aspek legal dan formal saja tidak akan dapat berhasil memberantas tindak pidana korupsi tanpa pembenahan aspek ekonomi, sosial dan politik. Antara lain, telah terciptanya kesejahteraan, kemauan politik (political will) dari pemerintah dan DPR serta terdapatnya dukungan dari masyarakat berupa pengawasan terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi.

2.4.2. Setelah Terbentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

A. Latar Belakang Pembentukan Komisi Pemeberantasan Tindak Pidana Korupsi

Landasan dibentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ialah UU Nomor 30 Tahun 2002 yang mengatur banyak hal tentang komisi ini. Dengan diundangkannya undang-undang tersebut, telah ditambahkan banyak ketentuan dalam hal penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan persidangan di pengadilan yang menangani perkara korupsi. Undang-undang tersebut sebenarnya bersifat menambah atau melengkapi norma-norma hukum yang telah ada dalam UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi UU No. 20 Tahun 2001. Selain sebagai landasan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, UU tersebut juga menjadi landasan dibentuknya pengadilan tindak

(34)

pidana korupsi yang berada di lingkungan pengadilan umum dan berwenang mengadili dan memutus perkara korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (Pasal 53). Dengan adanya UU No. 30/2002, maka ketentuan hukum korupsi dalam hal penanganan tindak pidana korupsi telah mengalami kemajuan yang luar biasa dan jauh meninggalkan hukum pidana khusus lainnya.

Berbeda dengan tim gabungan yang dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada Jaksa Agung (sebagaimana diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999), Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga Negara yang melaksanakan tugas dan wewenang yang bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun dan bertanggung jawab kepada publik dengan menyampaikan laporan secara terbuka dan berkala kepada Presiden, DPR, dan BPK (pasal 20). Komisi pemberantasan korupsi berkedudukan di ibu kota (Jakarta) dan dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi.

Keberadaan KPK sangat dibutuhkan mengingat sifat dan akibat korupsi yang begitu besar, menggerogoti kekayaan Negara dan sumber ekonomi rakyat, sehingga dapat dipandang sebagai pelanggaran HAM, yakni hak-hak sosial ekonomi rakyat. Oleh karenanya masyarakat mendambakan KPK sebagai lembaga yang menjadi harapan bangsa Indonesia yang muncul di tengah-tengah

(35)

lembaga penegakan hukum yang ada seiring dengan krisis kepercayaan masyarakat terhadap hukum itu sendiri.

Sebagaimana tercantum dalam Pasal 5, dan 6 UU KPK, bahwa KPK harus menjadi landasan yang kuat secara substantif maupun implementatif sehingga merupakan salah satu lembaga Negara yang mampu mengemban misi penegakan hukum. Dalam mengemban misi tersebut, KPK mendapat tugas dan wewenang yang cukup luas.

Kewenangan lain yang lebih luas dari KPK adalah mengambil alih wewenang penyidikan dan penuntutan dari pihak kepolisian dan kejaksaan dengan prinsip “trigger mechanism” dan “take over mechanism”. Pengambilalihan wewenang ini dapat dilakukan jika terdapat indikasi “unwiliingness” dari institusi terkait dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.39 Indikasi adanya “unwiliingness” tersebut berdasarkan Pasal 9 UU KPK, yaitu (i) adanya laporan masyarakat menganai tindak pidana korupsi yang tidak ditindak lanjuti, (ii) proses penanganan tindak pidana korupsi yang berlarut-larut, (iii) adanya unsur nepotisme yang melindungi pelaku korupsi, (iv) adanya campur tangan pihak eksekutif, legislatif dan yudisial, (v) alasan-alasan lain yang menyebabkan penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan.

39 Chaerudin, dkk, 2008, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana

(36)

Komisi Pemberantasan Korupsi, atau disingkat menjadi KPK, adalah komisi di Indonesia yang dibentuk pada tahun 2003. KPK adalah lembaga yang secara khusus dibentuk untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi di Indonesia. Komisi ini didirikan berdasarkan kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pembentukan KPK dikarenakan penegakan hukum dalam memberantas korupsi tidak berjalan dengan baik.

Pada era Megawati sebagai Presiden, berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjalankan tugasnya secara independen untuk memberantas tindak pidana korupsi di Indoensia.

Menurut Suwoto Mulyosudarmo, perolehan kekuasaan secara atributif menyebabkan terjadinya pembentukan kekuasaan, karena berasal dari keadaan yang belum ada menjadi ada. Kekuasaan yang timbul karena pembentukan secara atributif bersifat asli dan menyebabkan adanya kekuasaan yang baru.40 KPK merupakan lembaga negara yang memiliki kewenangan atributif yang diperoleh berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Kewenangan KPK disebut sebagai kewenangan

40

(37)

atributif karena kewenangan KPK bersifat asli, artinya kewenangan KPK merupakan kewenangan yang tidak berasal dari wewenang lembaga negara lain yang telah ada sebelumnya melainkan merupakan wewenang baru yang diberikan melalui undang-undang.

Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga negara yang bersifat independen, melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun. Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan kekuasaan manapun adalah kekuasaan yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi atau anggota Komisi Pemberantasan Korupsi atau anggota Komisi secara individual dari pihak eksekutif, yudikatif, legislatif, pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi, atau keadaan dan situasi ataupun alasan apapun. Selain itu KPK juga harus bertanggung jawab kepada publik dengan menyampaikan laporan secara terbuka dan berkala kepada presiden, DPR, dan BPK.41

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berdasarkan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi adalah: “lembaga negara

41 Adami Chazawi, 2005, Hukum Pidana Materiil dan Formil Kurupsi di Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang, h. 424.

(38)

yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengeruh kekuasaan manapun”.

Pemberantasan tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah: “serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Alinea 14 penjelasan umum Undang-Undnag Nomor 30 Tahun 2002 jo Pasal 19 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 menjelaskan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk dan berkedudukan di ibukota negara, dan jika dipandang perlu sesuai dengan kebutuhan masyarakat, KPK dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi. Pimpinan KPK terdiri dari atas 5 (lima orang yang merangkap senagai Anggota yang semuanya adalah pejabat negara. Pimpinan tersebut terdiri atas unsur pemerintah dan unsur masyarakat sehingga system pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap kinerja KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi tetap melekat pada Komisi Pemberantasan Korupsi. Disamping itu untuk menjamin

(39)

pelaksanaan tugas dan wewenangnya, KPK dapat mengangkat Tim Penasihat yang berasal dari berbagai bidang kepakaran yang bertugas memberikan nasihat atau pertimbangan kepada KPK.42

Munculnya KPK yang berfungsi melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi merupakan respon atas kurang efektifnya penanganan tindak pidana korupsi oleh aparat Kepolisian dan Kejaksaan. Pembentukan KPK sebagai lembaga independen yang memang mempunyai kewenangan khusus dalam upaya pemberantasan korupsi didasari akan “kebutuhan” adanya lembaga pemberantas korupsi yang bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

Undang-undang KPK secara jelas memberikan kewenangan kepada KPK yang sangat laus dan besar untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi secara sistematik dan menjadikan KPK sebagai tonggak utama dalam pemberantasan korupsi. Namun keberadaan KPK dengan segala tugas dan wewenangnya, memberikan celah kelemahan dengan tetap memberikan peran besar bagi Kepolisian dan Kejaksaan dalam melakukan tugas dan kewenangannya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

KPK sebagai lembaga negara yang notabene aparaturnya pun mengambil dari instansi penegak hukum yang telah ada tentu

(40)

akan mengalami ketidak sempurnaan dalam pelaksanaan tugasnya, dikarenakan kesempurnaan sebuah lembaga dapat tercipta ketika lemabaga negara tersebut melakukan pembenahan didasari dari pengalamannya, dengan kata lain, segala kelemahan lembaga negara tersebut dapat diketahui setelah mengalami perjalanan di dalam pelaksanaan tugasnya.

B. Kewenangan Komisi Pemeberantasan Tindak Pidana Korupsi

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Pada saat sekarang ini pemberantasan tindak pidana korupsi sudah dilaksanakan oleh berbagai institusi seperti kepolisian dan kejaksaan serta badan-badan lain yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, pengaturan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dilakukan secara hati-hati agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dengan berbagai institusi yang memiliki kewenangan yang serupa dalam memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia.

Pada dasarnya pembentukan KPK ditujukan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya

(41)

pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK dapat dikategorikan sebagai badan khusus (ad hoc) yang dibentuk dengan tujuan utama melakukan penanganan terhadap kasus-kasus korupsi tertentu. Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan korupsi, KPK mempunyai tugas sebagai berikut:

a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;

b. Supervisi terhadap instansi yang berwennag melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;

c. Melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;

d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan

e. Melakukan monitor terhadap penyelenggara negara.

Kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus-kasus korupsi di Indonesia bukan hanya terletak pada KPK saja. Saat ini di Indonesia, terdapat lembaga Kepolisian dan Kejaksaan yang juga memiliki kewenangan yang sama dalam hal penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi. Kejaksaaan bahkan memiliki kewenangan melakukan penuntutan di pengadilan. Tersebarnya kewenangan di sejumlah lembaga peradilan di Indonesia ini memiliki konsekuensi tertentu yang dapat

(42)

berimplikasi positif maupun negatif. Implikasi positifnya antara lain adalah kasus-kasus korupsi dapat cepat ditangani tanpa harus menunggu tindakan dari suatu lembaga tertentu.

Implikasi negatif dari tumpang tindihnya kewenangan penindakan korupsi di Indonesia yaitu sering terjadinya perbedaan interpretasi terhadap suatu kasus korupsi. Masing-masing lembaga, baik KPK, Kejaksaan dan kepolisian sering memiliki persepsi yang berbeda dalam menindak pelaku korupsi, contohnya penuntutan yang diajukan oleh masing-masing lembaga di peradilan tidak seragam. Masing-masing memiliki argumentasinya sendiri-sendiri sehingga terkadang putusan hukuman di lembaga peradilan atas kasus-kasus korupsi relatif kurang objektif dan tidak memuaskan rasa keadilan di masyarakat.

KPK yang merupakan badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen, serta bebas dari kekuasaan manapun untuk upaya pemberantasan korupsi. KPK dibentuk karena Kepolisian, Kejaksaan, atau lembaga-lembaga lain yang seharusnya mencegah korupsi tidak dapat berjalan dengan baik untuk memberantas korupsi di Indonesia. Cara penanganan korupsi harus dengan cara yang luar biasa. Untuk itulah dibentuk KPK yang mempunyai kewenangan luar biasa, sehingga tidak heran kalau KPK disebut sebagai lembaga super (superbody).

(43)

Selanjutnya wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana diamanatkan di dalam Pasal 7,8,9,10,11,12,13,dan 14 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, sebagai pendukung pelaksanaan tugas-tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang:

1) Ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 menyatakan bahwa, dalam melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang:

a. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;

b. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi pada instansi terkait; c. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak

pidana korupsi kepada instansi terkait;

d. Melaksanakan dengar perndapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;

e. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi;

f. Wewenang lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 12, 13, dan 14 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.

(44)

2) Ketentuan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 menyatakan bahwa, dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan pengawasan, penelitian atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik.

3) Ketentuan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 menyatakan bahwa, dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud ayat (1), Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan.

4) Ketentuan Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 menyatakan bahwa, dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi.

(45)

5) Ketentuan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 menyatakan bahwa, penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan membuat dan menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala tugas dan kewenangan kepolisian atau kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.

6) Ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 menyatakan bahwa, Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan:

a. Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti;

b. Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;

c. Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya;

d. Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;

e. Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legistatif; atau

(46)

f. Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit

dilaksanakan secara baik dan dapat

dipertanggungjawabkan.

7) Ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 menyatakan bahwa, dalam hal terdapat alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Komisi Pemberantasan Korupsi memberitahukan kepada penyidik atau penuntut umum untuk mengambil alih tindak pidana korupsi yang sedang ditangani. 8) Ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002

menyatakan bahwa, dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi meliputi tindak pidana korupsi yang:

a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelanggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;

b. Mendapatkan perhatian yang meresahkan masyarakat; c. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp

(47)

9) Ketentuan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 menyatakan bahwa, dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang:

a. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;

b. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri;

c. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa;

d. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait;

e. Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya;

f. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang terkait;

g. Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan,lisensi serta konsesi yang

(48)

dilakukan atau dimiliki oleh tersangka taua terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa;

h. Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum Negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri; i. Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait

untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.

10) Ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 menyatakan bahwa, dalam melaksanakan tugas pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melaksanakan langkah atau upaya pencegahan sebagai berikut:

a. melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara Negara;

b. menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi;

c. menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan;

d. merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi;

Referensi

Dokumen terkait

Diabetes melitus merupakan penyakit kronik yang disebabkan oleh ketidakmampuan organ pankreas untuk memproduksi hormon insulin dalam jumlah yang cukup, tubuh tidak

Penelitian ini fokus pada analisis strategi internet marketing butik online di Surabaya melalui media sosial Instagram.Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif

Demikian halnya dengan keluarga, adalah sebagai lembaga pendididkan pertama seorang anak, sebuah keluarga yang cendrung jauh dari dunia ilmu pengetahuan akan menghasilkan

Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan hidayah-Nya hingga penulis dapat menyusun hasil penelitian dengan judul, EVALUASI

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh kualitas pelayanan kesehatan berdasarkan kehandalan terhadap kepuasan pasien rawat inap peserta BPJS di Rumah

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat kematangan proses sistem informasi menunjukkan level 2 (Repeatable) yaitu kondisi dimana suatu lembaga telah memiliki kebiasaan

Tabel 2.3 Jumlah Mata Air, Debit Rerata Tahunan dan Volume Tahunan di Wilayah Sungai UPT PSDAW di Provinsi Jawa Timur tahun 2012

Jadi, sumber naskah dan dokumen ANI mencatat data yang sama sepeninggal Raden Adipati Surianata, pada tahun 1829 kedudukan Bupati Karawang ditempati oleh adiknya yang bemama