• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODOLOGI PERAMALAN LALU LINTAS PERKOTAAN UNTUK NEGARA BERKEMBANG. Ofyar Z. Tamin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "METODOLOGI PERAMALAN LALU LINTAS PERKOTAAN UNTUK NEGARA BERKEMBANG. Ofyar Z. Tamin"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

METODOLOGI PERAMALAN

LALU LINTAS PERKOTAAN UNTUK

NEGARA BERKEMBANG

Ofyar Z. Tamin

Seminar Potensi Pemanfaatan Kemampuan Komputer

Untuk Rancang Bangun Jalan dan Jembatan di Indonesia,

PT PERENTJANA DJAJA,

Jakarta, 1992

(2)

METODOLOGI PERAMALAN LALU LINTAS

PERKOTAAN UNTUK NEGARA BERKEMBANG

1

Ofyar Z. Tamin

2

1. PERMASALAHAN KEMACETAN DI KOTA-KOTA DI NEGARA YANG SEDANG BERKEMBANG

Beberapa kota-kota besar di Indonesia sekarang sudah mulai mengalami problem kemacetan yang cukup serius yang mau tidak mau harus memerlukan suatu penanganan yang serius pula. Hal ini merupakan salah satu masalah yang harus dipecahkan secara tuntas oleh Pemerintah Daerah DKI-Jakarta pada khususnya dengan bantuan kerja sama dengan beberapa instansi dan departemen terkait lainnya. Seperti di negara-negara yang sedang berkembang lainnya, kota-kota besar di Indonesia pada saat ini berada dalam tahap pertumbuhan urbanisasi yang tinggi sebagai akibat laju pertumbuhan ekonominya yang pesat sehingga kebutuhan penduduk untuk melakukan pergerakanpun menjadi semakin meningkat. Mobil sebagai kendaraan pribadi mempunyai keuntungan yang sangat besar bagi setiap individu terutama dalam hal mobilitas.

Meningkatnya jumlah penduduk di wilayah DKI Jakarta menyebabkan meningkatnya permintaan akan fasilitas angkutan umum. Untuk memenuhi permintaan tersebut, dibutuhkan peningkatan sarana dan prasarana transportasi. Besarnya investasi yang telah dikeluarkan oleh Pemda DKI-Jakarta untuk membangun dan mengembangkan sarana dan prasarana transportasi guna menunjang mobilitas penduduk, ternyata belum sepenuhnya berhasil seperti yang diharapkan. Hal ini terutama disebabkan oleh masih banyak terjadi ketidakseimbangan akibat dari perkembangan kota Jakarta dirangsang untuk berkembang menjadi kawasan pemukiman yang berpenghasilan sedang/tinggi, sebagai konsekwensinya kawasan tersebut harus dihubungkan dengan jaringan jalan utama yang menghubungkan kawasan tersebut dengan pusat-pusat kegiatan yang berada ditengah-tengah kota.

Pada umumnya, peningkatan pemilikan kendaraan pribadi (mobil) adalah merupakan cerminan hasil interaksi antara peningkatan taraf hidup dan kebutuhan mobilitas penduduk di daerah perkotaan dimana keuntungan penggunaan jalan yang dicapai digunakan untuk meningkatkan kemakmuran dan mobilitas penduduk. Akan tetapi, penggunaan kendaraan pribadi juga dapat menghasilkan beberapa efek negatif yang tidak dapat dihindari. Peningkatan penggunaan kendaraan pribadi akan mengakibatkan pengrusakan kualitas kehidupan terutama di daerah pusat perkotaan, kemacetan dan keterlambatan pada beberapa ruas jalan dan polusi lingkungan baik suara maupun udara.

Masalah yang paling kritis yang sedang dihadapi dalam sistem transportasi kota Jakarta terletak pada daerah kontrol dan pada beberapa bagian rute radial daerah pusat perkotaan. Pertumbuhan kota atau wilayah kota kuat sekali kaitannya dengan integrasi kegiatan ekonomi. Kepadatan penduduk Daerah kota Jakarta Metropolitan berkisar 6.5 juta jiwa menurut Sensus Penduduk 1980 dan diperkirakan akan meningkat sebesar 4.1% per tahun.

1 disampaikan pada Seminar ‘Potensi Pemanfaatan Kemampuan Komputer Untuk Rancang Bangun Jalan dan

Jembatan di Indonesia, PT Perentjana Djaja, Jakarta, 1992.

(3)

Tantangan bagi pemerintah khususnya di negara-negara yang sedang berkembang, dalam hal ini instansi dan departemen terkait dan termasuk juga para perencana transportasi perkotaan yaitu masalah kemacetan lalu lintas serta pelayanan angkutan umum perkotaan. Kota-kota besar khususnya di negara-negara yang sedang berkembang dengan populasi lebih dari 2 (dua) juta jiwa pada umumnya telah menghadapi problem yang kritis dalam masalah lalu lintas. Salah satu permasalahan tersebut adalah kemacetan lalu lintas yang sering terjadi yang terlihat jelas dari antrian yang panjang (queueing), keterlambatan (delay), dan juga polusi baik suara maupun udara.

Pada saat ini 4 kota besar di Indonesia telah dihadapkan dengan problem-problem transportasi semacam ini seperti: Jakarta, Medan, Surabaya, dan Bandung dimana akan diikuti oleh beberapa kota-kota besar lainnya seperti: Palembang, Ujung Pandang, Semarang, Jogyakarta, Denpasar, Cirebon dan banyak ibukota-ibukota propinsi lainnya, pada akhir tahun 2000. Walaupun kota-kota yang lebih kecil juga mempunyai masalah transportasi yang perlu pemecahan secara dini, namun pada umumnya masih dalam skala yang relatif kecil dan tidak memerlukan biaya yang besar. Problem-problem kemacetan tersebut diatas disebabkan oleh beberapa faktor yang antara lain yaitu: tingginya tingkat urbanisasi, pesatnya tingkat pertumbuhan jumlah kendaraan dan pemilikan kendaraan, dan sistem angkutan umum transportasi perkotaan yang tidak efisien. Problem lalu lintas tersebut diatas sudah jelas menimbulkan kerugian yang sangat besar pada pemakai jalan terutama dalam hal pemborosan bahan bakar dan juga waktu (keterlambatan). Dapat kita bayangkan berapa banyak uang/dana yang terbuang percuma karena kendaraan-kendaraan tersebut terperangkap dalam kemacetan dan berapa banyak dana/uang yang kita bisa simpan jika kemacetan tersebut dapat dihindarkan.

Beberapa studi-studi terdahulu di Jakarta melaporkan bahwa prosentase penggunaan kendaraan pribadi sangat tinggi dimana yang lebih mencemaskan bahwa persentase kenderaan pribadi berisi 1 orang sangat tinggi. Hal ini menyebabkan salah satu sumber potensi kemacetan di kota Jakarta. Hal ini timbul disebabkan karena pelayanan tranpostasi umum di kota Jakarta sangat parah dalam hal keamanan, kenyamanan, ketepatan waktu sehingga setiap orang yang sanggup membeli mobil akan membelinya. Sehingga pemecahan problem ini adalah bagaimana kita dapat menarik orang-orang sehingga mau menggunakan angkutan umum seperti bus, mikro bus ataupun mikrolet dan lain-lain.

Kota Jakarta pada khususnya dianggap memiliki problem transportasi yang utama oleh karena pada bagian wilayah ini terkonsentrasi fasilitas sosial, ekonomi dan perkantoran yang menjadi jantung kehidupan Ibukota. Namun fungsi pusat kota Jakarta yang serba kompleks ini mengakibatkan dampak yang cukup serius terhadap pola transportasi. Membanjirnya arus kendaraan pada jam-jam puncak menciptakan kemacetan pada jalan-jalan tertentu. Demikian pula kemacetan mengakibatkan terganggunya para pemakai jalan untuk mencapai lokasi tujuan.

Berbagai aspek dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia telah mengalami perkembangan yang sangat pesat dalam dekade terakhir ini dimana salah satu dampak negatif perkembangan ini yaitu ketimpangan perekonomian penduduk perkotaan dengan penduduk pedesaan. Sebagai akibatnya, pendapatan serta taraf hidup antara penduduk perkotaan dengan penduduk pedesaan akan jauh berbeda sehingga mendorong penduduk pedesaan datang ke kota (urbanisasi) untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik dari yang mereka dapatkan di desanya.

Tetapi yang paling penting yang dapat disimpulkan sebagai penyebab timbulnya problem transportasi ini ialah karena tingkat pertumbuhan prasarana transportasi (transport supply)

(4)

yang ada tidak bisa mengejar tingginya tingkat pertumbuhan kebutuhan transportasi (transport demand). Terdapat dua hal yang dapat dilakukan dalam usaha mengatasi permasalahan tersebut yaitu usaha untuk meredam atau memperkecil tingkat pertumbuhan kebutuhan transportasi dan usaha untuk meningkatkan tingkat pertumbuhan prasarana transportasi itu sendiri.

Pemenuhan kebutuhan angkutan kota tersebut akan berakibat pada pertambahan jumlah kendaraan sebagai sarana angkutan kota, sedangkan dilain pihak pertumbuhan prasarana jalannya tidak dapat mengimbangi pertambahan jumlah kendaraan.

Lebih jauh hal ini akan menimbulkan kemacetan-kemacetan, menurunnya tingkat pelayanan dari jalan yang ada terutama disekitar pusat-pusat kegiatan, pada batas wilayah Botabek dengan Jakarta dan Wilayah pengembangan Timur/Barat. Disamping itu pelayanan angkutan umum yang belum memadai mengakibatkan meningkatnya pemakaian kendaraan pribadi. Hal ini merupakan salah satu aspek yang menyebabkan kemacetan lalulintas. Selain itu penggunaan ruang jalan/ROW yang tidak sebagaimana mestinya antara lain untuk parkir, pedagang kaki lima, bengkel dan lain sebagainya. Keadaan sedemikian telah mengakibatkan penggunaan jalur jalan yang ada melampaui kapasitas yang direncanakan.

Untuk negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, keterbatasan dana/biaya dan waktu yang ada adalah merupakan penyebab utama rendahnya tingkat pertumbuhan prasarana transportasi. Ini tentunya disebabkan oleh karena adanya persyaratan pemerintah dalam penggunaan dana yang ada yang pada umumnya didapat dari dana bantuan luar negeri (ADB, World Bank dan lain-lain) harus digunakan seefektif mungkin sehingga bisa didapat suatu keuntungan yang semaksimal mungkin dari peminjaman dana tersebut.

Pada saat sekarang ini sudah banyak terbukti bahwa program pembangunan jalan di daerah perkotaan membutuhkan biaya yang sangat besar. Usaha-usaha yang dilakukan pemerintah dalam rangka memecahkan masalah transportasi perkotaan telah banyak dilakukan baik dengan meningkatkan kapasitas dari jaringan jalan yang ada maupun dengan pembangunan jaringan jalan yang baru, ditambah juga dengan pengaturan lalu lintas (traffic management) terutama dalam hal pengaturan terhadap efisiensi dari transportasi angkutan umum dan penambahan armadanya. Masalah pengadaan tanah yang tidak dapat terlaksana pada saat yang dibutuhkan serta terbatasnya kemampuan pembiayaan, telah mengakibatkan belum terwujudnya jaringan jalan sebagaimana direncanakan seperti misalnya banyak jalan Kolektor, atau jalan Lokal yang terputus dan tidak tersambung dalam kerangka struktur yang baik.

Dalam keadaan keterbatasan jaringan jalan sebagaimana diuraikan diatas, maka angkutan jalan raya menjadi lamban dengan waktu perjalanan panjang dan relatif mahal antara lain karena masih diperlukan penggantian lebih dari dua kali. Lebih jauh hal ini akan menimbulkan kemacetan-kemacetan dan menurunnya tingkat pelayanan dari jalan raya yang ada terutama disekitar kawasan pusat-pusat kegiatan, meningkatnya biaya operasi dari setiap kendaraan angkutan umum maupun kendaraan angkutan pribadi dan bertambah lamanya waktu pencapaian kesuatu tempat.

2. TINJAUAN PUSTAKA

Arus lalu lintas pada suatu ruas jalan adalah merupakan hasil kombinasi dua faktor utama yaitu: MAT dan pola pemilihan rute (route choice) oleh setiap pengendara dalam jaringan jalan tersebut. Kedua elemen ini berhubungan linear dengan arus lalu lintas (persamaan 5.1). Metoda non-konvensional yang telah dikembangkan sampai saat ini dapat diklasifikasikan

(5)

menjadi 2 group yaitu: METODA STRUKTURAL (STRUCTURED METHOD) DAN METODA

NON-STRUKTURAL (UNSTRUCTURED METHOD). Kedua metoda ini akan dijelaskan

secara umum dibawah ini.

2.1 Metoda Non-Struktural

Metoda Non-Struktural terdiri dari metoda yang tidak memerlukan adanya suatu model transportasi dalam mewakili kelakuan dari pemakai jalan. Akan tetapi, metoda ini menggunakan konsep 'informasi' atau 'entropi' dimana konsep ini pada mulanya berasal dari ilmu Fisika. Metoda yang telah dikembangkan sampai saat ini adalah metoda 'maximum-entropy' atau 'information-minimisation' (Willumsen, 1978). Metoda ini sebenarnya mencoba mengestimasi MAT yang paling 'mungkin (likely)' sesuai dengan data arus lalu lintas yang juga merupakan satu-satunya data yang diperlukan. Akan tetapi, disamping keuntungan yang dapat diperoleh, metoda non-struktural inipun tidak luput dari beberapa kelemahan-kelemahan seperti (Atkins, 1987):

(a) akurasi MAT sangat tergantung dari adanya informasi awal mengenai MAT (prior matrix). Dengan kata lain, metoda ini baik digunakan untuk mengestimasi MAT dengan cara memperbaiki MAT 'prior' dengan data arus lalu lintas pada saat sekarang, dan

(b) metoda ini tidak dapat digunakan untuk memprediksi MAT untuk masa yang akan datang. Sebagai contoh, metoda ini tidak bisa digunakan untuk melihat dampak dari pengembangan tata guna tanah, populasi, urbanisasi atau tingkat pendapatan suatu daerah terhadap pertumbuhan kegiatan transportasi di daerah tersebut pada masa yang akan datang.

Kelemahan inilah yang menyebabkan para peneliti mencoba mengembangkan metoda lain yang bisa digunakan untuk memprediksi MAT untuk masa yang akan datang (Low, 1972;

Robillard, 1975; Tamin, 1985, 1988ab). 2.2 Metoda Struktural

Model transportasi telah sering digunakan untuk mendapatkan MAT seperti contoh: model gravity dengan suatu bentuk fungsi dan beberapa parameter tertentu. Keuntungan yang diperoleh dengan menggabungkan model transportasi dengan data arus lalu lintas adalah merupakan kunci utama dalam tulisan ini.

Metoda struktural ini mengasumsikan bahwa kelakuan pemakai jalan dapat diwakili oleh suatu model transportasi dengan parameternya. Dalam proses kalibrasinya, arus lalu lintas diekspresikan sebagai fungsi MAT dimana dalam hal ini MAT juga diekspresikan sebagai fungsi dari model transportasi dengan parameternya. Kemudian parameter tersebut dikalibrasi dengan pendekatan 'Operation-Research (OR)' sehingga kesalahan antara arus lalu lintas yang didapat di lapangan dengan yang dihasilkan dari proses estimasi, diminimumkan. Beberapa metoda estimasi yang telah dikembangkan adalah: Non-Linear-Least-Squares (NLLS) dan Maximum-Likelihood (ML) (Tamin, 1988ab, 1989).

3. DEFINISI

[Tid] = MAT yang didapat dari hasil survai dari zona i ke zona d

Oi,Dd = Total perjalanan yang dihasilkan oleh zona i dan yang menuju ke zona d

Ai,Bd = 'Balancing factor' dari zona i ke zona d

(6)

β = Parameter model yang akan dikalibrasi

Vl+,Vl = Data arus lalu lintas yang didapat dari hasil estimasi dan yang didapat di lapangan

pidl = Proporsi jumlah perjalanan dari zona i ke zona d yang menggunakan ruas jalan l

L = Jumlah ruas jalan yang disurvai

N = Jumlah zona

4. ESTIMASI MATRIKS ASAL-TUJUAN (MAT) DENGAN DATA ARUS LALU LINTAS

4.1 Prinsip Dasar

Misal suatu daerah studi dibagi atas N zona dimana setiap zona diwakili dengan satu pusat zona (zone-centroid). Setiap zona ini dihubungkan dengan sistem jaringan jalan yang terdiri dari ruas-ruas jalan dan noda. MAT dari satu daerah studi terdiri dari N² sel, dimana akan terdapat [N²-N] sel jika perjalanan intrazona dapat diabaikan. Penentuan rute jalan dari suatu zona ke zona lainnya adalah merupakan suatu langkah terpenting dalam proses estimasi MAT

dengan data arus lalu lintas. Variabel pidl digunakan untuk mendefinisikan proporsi jumlah

perjalanan dari zona i ke zona d yang menggunakan ruas jalan l. Sehingga, arus lalu lintas di setiap ruas jalan dalam suatu jaringan jalan tertentu adalah merupakan hasil dari:

- jumlah perjalanan dari zona i ke zona d (Tid), dan

- proporsi jumlah perjalanan dari zona i ke zona d yang menggunakan ruas jalan l, yang

didefinisikan dengan pidl (0≤pidl≤1).

Arus lalu lintas (Vl) di suatu ruas jalan l adalah jumlah perjalanan antar zona yang

menggunakan ruas jalan tersebut yang secara matematis dapat diekspresikan sebagai:

Vl = ΣiΣd Tid.pidl (4.1)

Variabel pidl dapat diestimasi dengan menggunakan beberapa metoda pemilihan rute (route

choice) mulai dari metoda 'all-or-nothing' sampai dengan metoda 'equilibrium'. Dengan

mengetahui estimasi pidl dan satu set data arus lalu lintas (Vl), maka terdapat N² buah Tid yang

harus diestimasi dari L buah persamaan linear simultan (persamaan 4.1) dimana L adalah jumlah data arus lalu lintas.

Secara prinsip, N² data arus lalu lintas dibutuhkan untuk dapat mengestimasi matriks [Tid],

[N²-N] jika perjalanan intrazona dapat diabaikan. Secara praktis, jumlah data arus lalu lintas

yang diperoleh akan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah Tid yang tidak diketahui

sehingga tidak akan mungkin diperoleh solusi. Secara umum, dapat dikatakan bahwa terdapat lebih dari satu MAT yang dapat menghasilkan data arus lalu lintas tersebut. Problem yang timbul yaitu bagaimana cara membatasi jumlah solusi. Salah satu kemungkinan yaitu dengan memodel kelakuan pemakai jalan dalam daerah studi tersebut.

4.2 Beberapa Model Pemilihan Rute (Route Choice) 4.2.1 Asumsi

Model pemilihan rute (route choice atau trip assignment) bertujuan untuk dapat mengidentifikasi rute-rute yang dipilih oleh pengendara dalam suatu jaringan jalan. Model pemilihan rute dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa faktor pertimbangan yang didasarkan atas pengamatan bahwa tidak setiap pengendara dari suatu lokasi menuju lokasi

(7)

lainnya akan memilih suatu rute yang persis sama. Beberapa alasan umum kenapa pengendara memilih rute yang berbeda-beda adalah sebagai berikut:

- kemungkinan pengendara berbeda dalam hal persepsi mengenai 'rute yang terbaik'.

Beberapa pengendara mungkin mengasumsikannya sebagai rute dengan jarak tempuh yang terpendek atau rute dengan waktu tempuh yang tersingkat atau mungkin juga dengan kombinasi dari kedua hal tersebut.

- kemacetan dan karakteristik fisik suatu ruas jalan akan membatasi jumlah arus lalu lintas

yang menggunakan jalan tersebut.

Perbedaan persepsi inilah yang akan menghasilkan suatu pola pemilihan rute tertentu yang

dikenal dengan 'pemilihan rute stokastik'. Efek 'stokastik' timbul karena adanya perbedaan

persepsi setiap pengendara tentang biaya perjalanan sedangkan efek 'capacity-restrained'

timbul karena biaya perjalanan (dalam hal ini komponen waktu tempuh) tergantung dari arus lalu-lintas. Dengan kata lain, kedua efek tersebut diatas terjadi bersama-sama khususnya di daerah perkotaan, sehingga model pemilihan rute yang terbaik harus mengikutsertakan kedua

efek tersebut. Efek 'stokastik' merupakan faktor yang dominan pada tingkat arus lalu lintas

yang rendah sedangkan efek 'capacity-restrained' dominan pada tingkat arus lalu-lintas yang

tinggi.

Terdapat dua group utama model pemilihan rute (Robillard, 1975) yaitu: model 'proportional' dan model 'non- proportional'. Beberapa karakteristik daerah studi dapat digunakan untuk mengidentifikasi model pemilihan rute yang terbaik yaitu: bagaimana setiap pengendara mengantisipasi biaya perjalanan, tingkat kemacetan dan informasi mengenai tersedianya jalan alternatif beserta biaya perjalanannya.

4.2.2 Biaya Perjalanan

Biaya perjalanan dapat diekspresikan dalam bentuk uang, waktu tempuh, jarak ataupun

kombinasi dari 3 faktor tersebut yang biasa dikenal dengan 'generalised cost'. Dalam hal ini

diasumsikan bahwa total biaya perjalanan sepanjang rute tertentu adalah merupakan jumlah dari biaya setiap ruas jalan yang dilaluinya. Oleh karena itu, dengan mengetahui semua biaya dari setiap ruas jalan, maka akan dapat ditentukan (dengan suatu algoritma tertentu) rute-rute yang terbaik yang dapat dilalui pada jaringan jalan tersebut. Akan tetapi, persepsi setiap pengendara terhadap biaya perjalanan jelas berbeda-beda sehingga sukar untuk menjabarkan perbedaan ini kedalam suatu bentuk model pemilihan rute yang sederhana.

Efek 'capacity-restrained' dan 'stokastik' dapat juga dianalisa dalam bentuk 'biaya perjalanan'.

Kita dapat mengasumsikan bahwa setiap pemakai jalan akan memilih rute yang akan meminimumkan biaya perjalanannya dan setiap pemakai jalan akan bervariasi dalam hal ini. Sehingga perlu suatu usaha untuk mendapatkan rata-rata biaya perjalanan yang sesuai untuk seluruh pengendara. Metoda yang paling sering digunakan yaitu dengan mendefinisikan biaya sebagai kombinasi linear antara jarak dan waktu seperti:

Biaya = a1 x waktu + a2 x jarak + a3 dimana: (4.2)

a1 = nilai waktu (Rp/jam)

a2 = biaya operasi kendaraan (Rp/km) a3 = biaya tambahan lainnya (harga tiket tol)

(8)

4.2.3 Model 'Proportional'

Model ini mengasumsikan bahwa proporsi pengendara dalam memilih rute yang diinginkan hanya tergantung dari asumsi pribadi, karakteristik fisik setiap ruas jalan yang akan dilaluinya dan tidak tergantung dari tingkat kemacetan. Contoh yang paling umum dari tipe ini yaitu: model 'all-or-nothing'.

a. Model 'All-or-Nothing'

Model ini merupakan model pemilihan rute yang paling sederhana dimana diasumsikan bahwa seluruh pengendara akan berusaha meminimumkan biaya perjalanannya yang tergantung dari karakteristik jaringan jalan dan asumsi pengendara. Jika seluruh pengendara memperkirakan biaya ini dengan cara yang sama, maka jelas mereka akan memilih rute yang sama. Biaya ini dianggap tetap dan tidak dipengaruhi oleh adanya efek kemacetan. Dalam kasus tertentu, asumsi ini dianggap cukup realistis seperti untuk suatu daerah pinggiran kota dengan jaringan jalan yang tidak begitu rapat dan dengan tingkat kemacetan yang tidak begitu berarti.

Asumsi ini akan menjadi tidak realistis jika digunakan untuk daerah perkotaan dimana

kemacetan sering terjadi. Akan tetapi, model 'all-or-nothing' masih merupakan suatu model

yang paling sederhana dan efisien, sehingga sangat banyak digunakan orang. Model ini merupakan model tercepat dan termudah dan sangat berguna untuk suatu jaringan jalan yang

tidak begitu rapat yang hanya mempunyai beberapa rute alternatif saja. Nilai variabel pidl

untuk model ini adalah sebagai berikut:

1 jika perjalanan dari zona i ke zona d menggunakan ruas l pidl =

0 jika sebaliknya atau i=/d

b. Model 'Stokastik'

Banyak para ahli transportasi merasakan bahwa model pemilihan rute akan sangat berguna jika model tersebut dapat merefleksikan kelakuan setiap pemakai jalan, sehingga kualitas dari keputusan para ahli dapat diperbaiki dan biaya dapat berkurang. Pada suatu sistim jalan raya, khususnya pada saat beroperasi dengan volume arus lalu lintas mendekati kapasitas, maka akan banyak terdapat rute alternatif lainnya yang bervariasi tergantung daripada jarak. Suatu

model yang lebih realistis yang dikenal dengan model 'multiple-routes', akan mendistribusikan

arus yang ada ke rute tersebut dengan memperhatikan kecenderungan setiap pengendara dalam memilih rute.

Model ini masih mengabaikan adanya hubungan antara arus dengan biaya, akan tetapi telah memperhitungkan adanya variasi antara persepsi perseorangan terhadap waktu tempuh.

Model 'stokastik' ini berbeda dengan model 'all-or-nothing' karena dalam model ini pemakai

jalan didistribusikan kepada beberapa pemilihan rute. Beberapa model yang termasuk dalam model stokastik ini adalah: model Burrell (1968) dan model Sakarovitch (1968). Model ini masih mengabaikan efek kemacetan akan tetapi lebih realistis jika dibandingkan dengan model 'all-or-nothing' karena memberikan distribusi yang lebih baik yang memungkinkan perbedaan persepsi antara pengendara dapat diperhitungkan.

4.2.4 Model 'Non-proportional'

Dalam kondisi macet, biaya yang diperlukan setiap ruas jalan tergantung dari arusnya melalui suatu hubungan matematis antara rata-rata biaya dengan arus lalu lintas. Model yang paling

(9)

sesuai untuk suatu kasus akan sangat tergantung dari karakteristik daerah studi. Tingkat dari kemacetan, adanya rute alternatif dengan biayanya dan ditambah dengan ide pengendara akan sangat menolong dalam menentukan metoda 'trip assignment' yang terbaik untuk suatu kasus tertentu. Beberapa model telah dikembangkan oleh para peneliti yang biasa dikenal

dengan model 'capacity-restrained' akan dijelaskan berikut ini.

a. Model 'Capacity-Restrained'

Model ini mempunyai batasan 'kapasitas' dimana terdapat hubungan antara biaya dengan arus lalu lintas melalui hubungan matematis antara biaya dan arus lalu lintas. Beberapa model akan dijelaskan secara singkat berikut ini.

- Repeated All-or-Nothing. Pada iterasi 1, MAT dibebankan ke jaringan jalan dengan

menggunakan model 'all-or-nothing'. Biaya setiap ruas jalan kemudian dihitung kembali

sesuai dengan hubungan matematis antara biaya-arus dimana pada iterasi berikutnya MAT dibebankan kembali ke jaringan jalan sesuai dengan biaya yang baru. Hal ini diulang sampai perubahan pada biaya di setiap ruas jalan menjadi sangat kecil.

- Incremental Loading. Prinsip utama model ini yaitu membebani MAT ke jaringan jalan

dengan proporsi tertentu (misal 10%). Setelah setiap pembebanan, biaya dihitung kembali berdasarkan hubungan matematis biaya-arus. Proses ini diulang kembali sampai seluruh MAT dibebankan. Akurasi model ini tergantung dari ukuran proporsi MAT yang dibebankan.

- Iterative Loading. Prinsip model ini yaitu membebani MAT ke jaringan jalan secara

berulang dimana setelah setiap pembebanan, arus dihitung sebagai kombinasi antara arus yang didapat pada interasi ke n dan (n-1).

b. Model 'Equilibrium'

Model ini menggunakan prinsip 'Wardorp's Equilibrium' (Wardrop, 1952). Pada kondisi tidak

macet, pemakai jalan mencoba beralih menggunakan rute alternatif dalam usaha untuk meminimumkan biaya perjalanannya. Jika pada kondisi dimana tidak satupun pemakai jalan

dapat memperkecil biaya tersebut, sistem dikatakan telah mencapai kondisi 'equilibrium'.

Prinsip ini dapat didefinisikan sebagai berikut:

Under equilibrium condition, no driver can switch to another route and thereby lower his travel cost since all routes have

either the same cost as his own or greater.

Dengan kata lain, pada kondisi 'equilibrium' lalu lintas akan mengatur dirinya sendiri sehingga

seluruh rute yang dipakai antara satu zona asal ke zona tujuan akan mempunyai biaya yang sama (minimum) sedangkan rute yang tidak dipakai mempunyai biaya yang lebih besar. Model 'equilibrium' ini dianggap salah satu model pemilihan rute yang terbaik untuk kondisi macet. Model pemilihan rute ini adalah merupakan model yang terbaik sampai saat ini yang sangat cocok jika dipakai untuk daerah perkotaan dimana diperkirakan efek kemacetan akan cukup berarti. Suatu kekurangan yang dirasakan dengan menggunakan model ini yaitu waktu proses

komputer yang cukup lama jika dibandingkan dengan model 'all-or-nothing'.

Problem yang timbul dalam mengestimasi MAT dengan data arus lalu lintas akan menjadi lebih mudah jika metoda 'proportional' yang dipakai. Penggunaan metoda 'non-proportional' akan

(10)

memerlukan proses iterasi dimana nilai asumsi variabel pidl yang digunakan untuk

mengestimasi MAT akan selanjutnya digunakan kembali untuk dapat memperbaiki nilai pidl

tersebut.

4.3 Maximum Entropy Matrix Estimation (ME2)

Metoda estimasi menggunakan konsep 'maximum-entropy' untuk mengestimasi Matriks Asal-Tujuan (MAT) dengan menggunakan informasi arus lalu lintas. Konsep 'maximum-entropy' ini bermula dari hukum fisika. Willumsen (1979) berhasil mengembangkan model untuk mengestimasi MAT dari data arus lalu lintas. Model tersebut dikenal dengan model Maximum Entropy Matrix Estimation (ME2). Model ini mencoba mengestimasi MAT yang paling mirip 'most likely' yang sesuai dengan informasi yang ada pada arus lalu lintas. Model ini dapat diekspresikan sebagai berikut:

maksimumkan S(T+

id) = - ΣΣ(T+id.logeT+id - T+id) (4.3) id

dengan batasan: Vl - ΣΣT+id.pidl = 0 and T+id≥ 0 (4.4) id

Dengan menggunakan metoda 'Lagrangian multiplier', solusi formal untuk problem diatas adalah:

pidl

Tid = πl Xl (4.5) -θl

dimana: Xl = e (4.6)

θl adalah 'Lagrangian multiplier' yang sesuai untuk masing-masing arus lalu lintas l. Beberapa

perilaku model ME2 yang patut ditonjolkan adalah:

- Model akan menghasilkan MAT 'YANG PALING MIRIP' yang sesuai dengan informasi

yang terdapat pada ruas jalan. Model ini tidak memerlukan data untuk setiap ruas jalan tetapi hanya memerlukan data untuk beberapa ruas jalan saja. Makin banyak data arus lalu lintasnya, semakin baik hasil peramalan MAT-nya.

4.4 Paket Program MOTORS

Paket program untuk perencanaan transportasi banyak tersedia dipasaran dimana program 'MOTORS', yang dikembangkan dan dipasarkan oleh Steer, Davies and Gleave Ltd.

(England) (1984), akan digunakan sebagai program dasar. Program komputer ditulis

dengan bahasa komputer FORTRAN77 dan dapat berinteraksi penuh dengan paket program 'MOTORS' ini. Pekerjaan dilakukan dengan memakai mikro-komputer IBM compatible dengan 640K RAM, 2 buah 5¼" disk-drive, 30 MByte Hard Disk dan printer EPSON LQ-1050.

Sistem operasi komputer MS-DOS 3.3 dan WORDSTAR6 akan digunakan untuk menunjang kelengkapan dari program MOTORS ini. MOTORS adalah suatu paket program transportasi yang terintegrasi dimana paket ini menyediakan fasilitas untuk menganalisa masalah-masalah perencanaan transportasi. Paket ini dikembangkan dengan memanfaatkan sepenuhnya kemampuan mikro-komputer untuk berinteraksi dengan pemakai komputer.

(11)

5. METODOLOGI PERAMALAN 5.1 Umum

Tahapan pekerjaan yang disyaratkan dalam pengembangan metodologi peramalan ini akan diterangkan berikut ini dimana masing-masing tahapan sangat tergantung dari ketersediaan dan kualitas data yang tersedia. Masing-masing tahapan tersebut dapat terlihat pada Gambar 5.1.

a. mendefinisikan jaringan jalan yang terdiri dari zona, noda, ruas berikut karakteristik teknisnya seperti: jarak, free flow spped, tipe ruas jalan, kapasitas, tarif toll (jika ada), sistem toll dan non-toll, berikut juga sistem jalan satu arah dan lain-lain.

b. mendapatkan Matriks Asal Tujuan (MAT) 'base year' berdasarkan informasi data MAT

(kalau ada) dan data arus lalu lintas (base year) pada beberapa ruas jalan terpilih. MAT 'base year' kemudian diperkirakan dengan menggunakan model "Maximum-Entropy Matrix Estimation (ME2)' dengan data arus lalu lintas dan data MAT. Model ini membutuhkan informasi tentang pemilihan rute yang dilakukan oleh setiap pengendara dalam mencapai tujuannya melalui metoda pemilihan rute yang tepat.

c. mengkalibrasi model bangkitan lalu lintas (trip generation), be rdasarkan data 'trip end'

yang didapatkan dari MAT 'base year' beserta data sosio-ekonomi dan demografi yang ada untuk mendapatkan data 'trip end' untuk tahun-tahun rencana (target year).

d. dengan menggunakan hasil peramalan data sosio-ekonomi dan demografi tersebut beserta kalibrasi model 'trip generation' dan 'trip distribution' dan dengan model pemilihan rute yang cocok maka akan didapatkan peramalan pergerakan yang akan terjadi pada setiap ruas jalan untuk setiap tahun-tahun rencana (target year).

6. KESIMPULAN

Tulisan ini menjelaskan suatu metodologi peramalan arus lalu lintas di daerah perkotaan yang cocok untuk negara yang sedang berkembang. Keterbatasan waktu dan biaya mengakibatkan terbatasnya data yang dapat digunakan untuk meramal pergerakan pada masa yang akan datang. Metodologi peramalan yang diberikan hanya membutuhkan data arus lalu lintas yang sudah barang tentu gampang didapat dan membutuhkan biaya murah untuk mendapatkannya.

7. DAFTAR PUSTAKA

Atkins, S.T. (1987). The Crisis for Transportation Planning Modelling. Transport Reviews, Vol

7(4), pp 307-325.

Batty, M. (1976). Urban Modelling: Algorithm, Calibrations and Predictions. Cambridge

University Press, Cambridge.

Burrell, J.E. (1968). Multiple Route Assigmnent and its Application to Capacity Restraint.

Proceeding of the Fourth International Symposium on the Theory of Traffic Flow, Karlsruhe 1968.

(12)

Edwards, A.W.F. (1972). Likelihood. Cambridge University Press, Cambridge.

Low, D.E. (1972). A New Approach to Transportation Systems Modelling. Traffic Quarterly,

Vol 26(3), pp 391-404.

Putman, S.H. (1983). Integrated Urban Models, Pion Ltd., London.

Robillard, P. (1975). Estimation of the O-D Matrix From Observed Link Volumes,

Transportation Research, Vol 9(2/3), pp 123-128.

Sakarovitch, M. (1968). The kth Shortest Chains in a Graph. Transportation Research, Vol

2(1), pp 1-11.

Steer, Davies and Gleave Ltd. (1984). MOTORS Transportation Suite, User Manual,

London.

Tamin, O.Z. (1985). Estimation of Matrices for Freight Movement From Traffic Counts Using

a Non-Linear Regression Approach. MSc Thesis, Imperial College of Science and Technology, University of London.

Tamin, O.Z. (1988a). Transport Demand Model Estimation From Traffic Counts. Proceedings

of the 20th Universities Transport Studies Group Annual Conference, University College London,

London.

Tamin, O.Z. (1988b). The Estimation of Transport Demand Models From Traffic Counts. PhD

thesis, University College London, University of London.

Tamin, O.Z. and Willumsen, L.G. (1988). Freight Demand Model Estimation From Traffic

Counts. Proceedings of the 16th PTRC Summer Annual Meeting, University of Bath, England.

Tamin, O.Z. and Soegondo, T. (1989). Modelling Freight Demand From Traffic Counts: A

case study in Bali. Proceedings of the 5th World Conference on Transport Research (WCTR),

Yokohama, Japan.

Tamin, O.Z. et al (1989). Simplified Methods Based on Traffic Counts for Estimating O-D

Matrices for Developing Countries. SEATAC Urban Transport Seminar, Oktober 1989, Jakarta.

Van Vliet, D. (1979). The Common Man's Guide to the Theory of Equilibrium Assignment.

Technical Note no.13, Institute for Transport Studies, University of Leeds.

Van Zuylen, H.J. and Willumsen, L.G. (1980). The Most Likely O-D Matrix Estimated From

Traffic Counts. Transportation Research, Vol 14B(3), pp 281-293.

Wardrop, J.G. (1952). Some Theoretical Aspects of Road Traffic Research. Proceedings of

the Institute of Civil Engineers, Vol II(1), pp 325-378.

Willumsen, L.G. (1978). Estimation of an O-D Matrix From Traffic Counts - a Review.

Working Paper no.99, Institute for Transport Studies, University of Leeds.

Willumsen, L.G. (1981a). An Entropy-Maximizing Model for Estimating Trip Matrices From

(13)

Willumsen, L.G. (1981b). Simplified Transport Models Based on Traffic Counts.

Transportation, Vol 10(3), pp 257-278.

Willumsen, L.G. (1984). Estimating Time-Dependent Trip Matrices From Traffic Counts.

Proceedings of the Ninth International Symposium on Transportation and Traffic Theory, Delft, pp 397-411.

Wilson, A.G. (1967). A Statistical Theory of a Spatial Distribution Models, Transportation

Research, Vol 1, pp 253-269.

Wilson, A.G. and Bennet, R.J. (1985). Mathematical Methods in Human Geography and

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui deskripsi regulasi diri, efikasi diri, kemampuan berpikir kreatif, dan hasil belajar matematika; pengaruh langsung positif regulasi

Subjek menggunakan gambar persegi panjang pada awal pemecahan masalah. Gambar tersebut tidak dimaksudkan sebagai jawaban dari masalah namun digunakan

Berdasarkan hasil pengolahan analisis data dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya mengenai pengaruh kualitas produk, harga, promosi dan kualitas pelayanan

Secara keseluruhan hasil pe- nilaian tentang aspek keterbacaan, konstruksi dan keterpakaian produk oleh guru menunjukkan bahwa pe- ngembangan instrumen asesmen

Hasil dari penelitian ini adalah 1 profitabilitas yang diproksikan dengan Return on Asset secara parsial memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kebijakan dividen tunai 2

a. Dalam sistem akuntansi penerimaan kas, fungsi yang terkait dalam sistem penerimaan kas dari penjualan air pada PDAM Tirtanadi Cabang Medan Kota belum memadai, karena

Dari gambar 7 sampai 9 terlihat bahwa untuk material yang mengalami perlakuan panas terjadi peningkatan kandungan pearlite yang lebih besar dibandingkan dengan

“In a technical sense, the Internet is intrinsically convergent,” says Chris Greer, director of the Smart Grid and Cyber-Physical Systems Program Office, and national coordinator