Penentuan Fixed Carbon
Penentuan fixed carbon dari batu bara berdasarkan selisih antara hasil perhitungan hilang pijar dan volatile matter.
Penentuan Kadar Abu
Penentuan kadar abu dari batu bara berdasarkan selisih antara total persentase (100%) dan hasil perhitungan hilang pijar.
Analisis dengan Alat X-Ray Flouresence Spectrofotometer
Sampel dalam wadah pipa paralon dipress dengan mesin pengepresan briket pada tekanan 35 ton. Sampel ditempatkan pada wadah analisis lalu ditutup rapat. Nama dan kode sampel dimasukkan, tombol F1 ditekan sehingga diperoleh hasil analisis tentang komposisi kimia dalam bentuk persen pada layar.
Analisis dengan Alat Carbon/Sulfur Determinator
cawan yang kosong pada ditimbang dengan timbangan dalam alat, kemudian sampel dimasukkan sebanyak 0.3, lalu ditambahkan katalisator secukupnya. Cawan dan sampel dimasukkan dalam tempat pembakaran sehingga data mengenai kadar karbon dan sulfur terlihat pada layar.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengkayaan Kandungan Bijih Besi
Laterit dengan Benefisiasi
Bijih besi yang berbentuk batuan harus dihilangkan jumlah air dari sampel supaya bobot yang diperoleh konstan. Kadar air yang diperoleh kecil, yaitu 1.03% karena air hanya terdapat pada bagian lapisan luar batuan besi. Menurut Harjadi (1986), air yang terikat secara fisik untuk menghilangkannya diperlukan panas rendah sekadar untuk menguapkannya, umumnya suhu 100-105 ºC. Hasil analisis awal terdapat pada Lampiran 6 baik dengan analisis metode XRF maupun analisis metode konvensional. Mulyaningsih (2005) menyatakan bahwa metode XRF lebih cepat dibandingkan metode konvensional, metode konvensional memerlukan beberapa tahapan analisis, sedangkan metode XRF hanya satu tahap analisis dan langsung dihasilkan analisisnya. Selain itu, metode konvensional memiliki tingkat keakuratan hasilnya yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode XRF. Hal ini disebabkan metode XRF mempunyai kendala dalam karakteristik matrik sampel dan matrik
standar. Standar yang digunakan dalam metode XRF maupun metode basah adalah
iron ore yang sudah diketahui kadar Fe total
maupun Fe metal dengan pasti (kode material standarnya euro MRC 685-1).
Pada metode fluoresensi sinar-X, sampel logam atau spesimen batuan disinari oleh berkas sinar-X gelombang pendek. Berkas ini dapat mementalkan sebuah elektron dari kulit elektron terdalam dari sebuah atom, dan untuk menggantikan elektron yang hilang ini, sebuah elektron lain dapat melompat dari salah satu kulit luar dan dengan demikian terbebas energi dalam bentuk sinar-X. Radiasi
sinar-X „sekunder‟ atau „pendaran‟
(fluorescence) yang dihasilkan ini akan dipancarkan dengan panjang gelombang yang karakteristik dari atom yang bersangkutan, dan intensitas radiasi itu dapat digunakan untuk memperkirakan banyaknya unsur di dalam sampel yang menimbulkan radiasi itu. Ini merupakan suatu contoh dari sejumlah metode uji yang disebut non-destruktif (tak merusak) (Basset et al. 1994).
Adanya unsur-unsur lain dalam jumlah yang cukup besar setelah dilakukan analisis metode XRF menandakan bahwa dalam bijih besi laterit tersebut masih terdapat banyak pengotor sehingga kadar Fe total kecil. Apabila kadar Fe total dari bijih besi kurang dari 63% maka perlu dilakukan proses benefisiasi. Proses ini digunakan untuk memisahkan antara mineral berharga dari pengotornya berdasarkan perbedaan sifat kemagnetan yang dimilki oleh mineral-mineral pada bijih besi. Dengan mengurangi pengotor-pengotor tersebut, maka diharapkan akan didapatkan kadar Fe yang lebih tinggi. Fraksi ukuran yang digunakan adalah 150 mesh karena mineral-mineral berharga yang terdapat pada bijih besi terjebak antara mineral-mineral pengotor yang lain.
Hasil dari proses benefisiasi dapat dikelompokkan sebagai berikut: hasil benefisiasi yang banyak mengandung mineral berharga, hasil benefisiasi bijih besi yang banyak mengandung unsur pengotor dan hasil benefisiasi bijih besi yang masih cukup
banyak mengandung mineral berharga
sehingga perlu dilakukan proses benefisiasi ulang. Ketika proses benefisiasi berlangsung, terdapat gaya yang bekerja antara lain: gaya magnet atau medan magnet yang ditimbulkan oleh pemisah magnet, gaya gravitasi, gaya sentrifugal, gaya gesek, gaya tarik atau tolak antar partikel.
Proses benefisiasi (pengkayaan) dengan
menggunakaan air dan deterjen serta
pemisahan dengan magnet. Pencucian
terutama digunakan untuk mengurangi jumlah unsur-unsur pengganggu yang terdapat pada bijih besi seperti silika. Setelah dilakukan proses benefisiasi, diperoleh kadar silika menurun dari 5.90 menjadi 2.69%. Alasan digunakannya deterjen adalah sebagai zat
yang mampu memperkecil tegangan
permukaan dimana unsur-unsur pengganggu akan terikat pada deterjen dan menjaga tetap teremulsinya kotoran suatu pelarut. Proses benefiasi ini dilakukan berulang-ulang agar kotoran-kotoran pengganggu berkurang sehingga kadar Fe total dapat meningkat, yaitu 56.70 menjadi 64.51%. Perhitungan kadar Fe total dapat dilihat pada Lampiran 7.
Penentuan Fe total dengan metode basah menggunakan HCl pekat untuk melarutkan besi oksida yang terkandung dalam bijih besi laterit. Ketika besi oksida larut sempurna terjadi perubahan warna dari kuning menjadi coklat kemerahan. Air akuades untuk mengencerkan larutan besi oksida. Pada saat larutan mendidih, Fe3+ akan direduksi menjadi Fe2+ oleh larutan SnCl2 sehingga warna
berubah menjadi tak berwarna. Penambahan larutan HgCl2 setelah larutan dingin untuk
menangkap kelebihan Sn2+ yang berubah menjadi Sn4+ berdasarkan reaksi berikut, (Arthur 1979)
2Fe3+ + Sn2+ → 2Fe2+ + Sn4+
Penambahan H3PO4 berfungsi
mengaktifkan indikator Fe (difenilamina sulfonat) karena asam fosfat akan membentuk kompleks Fe3+ sehingga berada dalam trayek perubahan indikator. Selanjutnya dititrasi menggunakan larutan kalium dikromat yang sudah distandardisasi. Pada titrasi tersebut akan terjadi proses oksidasi Fe2+ menjadi Fe3+. Perubahan warna yang terjadi dari putih menjadi kehijauan kemudian ungu.
Penentuan Fe2+ didasarkan pada pelarutan dengan HCl pada kondisi ruang yang ditutup
geockel glass untuk mencegah masuknya
oksigen sehingga tidak terjadi oksidasi Fe2+ menjadi Fe3+. Penambahan H3PO4 berfungsi
mengaktifkan indikator Fe karena asam fosfat akan membentuk kompleks Fe3+. Selanjutnya pada titrasi dengan larutan kalium dikromat akan terjadi proses oksidasi Fe2+ menjadi Fe3+.
Pengaruh Suhu Pada Persen Reduksi Bijih Besi Laterit
Persen reduksi besi spons adalah banyaknya oksigen yang diambil atau hilang dari besi oksida oleh reduktor pada saat proses reduksi. Persen reduksi besi spons
menunjukkan seberapa besar keberhasilan dari proses reduksi bijih besi melalui proses reduksi langsung. Selain persen reduksi, untuk melihat kualitas besi spons digunakan juga persen metalisasi.
Berdasarkan ilmu termodinamika,
kenaikan suhu menyebabkan reaksi reduksi bijih besi akan cenderung berjalan ke arah kanan (membentuk produk [logam Fe]) atau berjalan lebih spontan. Sehingga reaksi reduksi bijih besi akan berjalan semakin baik pada setiap kenaikan suhu namun persen reduksi akan menurun yang ditunjukkan gambar 2 akibat perubahan gas langsung menjadi CO2.
Gambar 2 Pengaruh suhu pada persen reduksi bijih besi laterit dari Bayah Perpindahan massa yang terjadi dalam sistem reduksi langsung terdiri atas proses difusi dan konveksi. Proses konveksi yang disebabkan oleh aliran gas dalam sistem merupakan mekanisme perpindahan massa yang paling dominan dalam reduksi langsung (Sun 1999). Sebagian besar reaksi kimia yang terjadi selama reduksi bijih besi adalah reaksi endotermik. Suhu proses yang digunakan menentukan keberhasilan proses reduksi bijih besi karena akan memengaruhi tingkat metalisasi dan persen reduksi dari besi spons yang dihasilkan (Sun 1999).
Kenaikan suhu menyebabkan laju
perpindahan panas antar partikel padatan makin tinggi, karena konduktifitas panas padatan dan radiasi yang meningkat. Panas harus selalu tersedia untuk menjaga kelangsungan reduksi bijih besi. panas yang masuk digunakan pada proses gasifikasi karbon untuk menghasilkan gas CO yang berperan sebagai reduktor. Hal ini disebabkan karena gasifikasi karbon memiliki nilai energi
aktifasi yang tinggi karena reaksinya berjalan endotermik. Pelepasan oksigen dari besi oksida dilakukan oleh gas CO yang dihasilkan dari reaksi gasifikasi karbon dengan gas CO2
yang berjalan secara endotermik dengan persamaan (Perry 1984),
C + O2 →CO2
C + CO2 → 2CO
Laju gasifikasi karbon juga dipengaruhi oleh laju perpindahan massa gas oksida (CO2
dan O2) untuk mengoksidasi karbon. Semakin
tinggi suhu maka laju difusi dan konveksi gas oksida makin tinggi sehingga laju gasifikasi karbon juga meningkat. Peningkatan laju gasifikasi karbon akan meningkatkan konsentrasi gas reduktor yang menyebabkan konsumsi karbon sehingga jumlah karbon (%) akan berkurang yang ditunjukkan pada Gambar 3. Naiknya suhu maka padatan karbón memiliki kecenderungan yang kuat untuk menjadi CO, sehingga volume gas CO semakin besar dengan bertambahnya suhu. Pada suhu 800 oC dan 900 oC diperlukan persen gas CO yang lebih tinggi untuk mereduksi magnetit (Fe3O4) menjadi wustit
(FeO) jika dibandingkan dengan suhu 1000
oC, hal ini disebabkan reaksi reduksi magnetit
menjadi wustit berjalan secara endotermik.
Gambar 3 Pengaruh suhu pada persen karbon setelah proses reduksi bijih besi laterit dari Bayah Peningkatan konstanta laju gasifikasi karbon akan meningkatkan konsumsi karbon sehingga laju proses reduksi dan pembentukan CO2 dan H2O untuk gasifikasi karbon
meningkat. Sehingga laju proses reaksi reduksi secara keseluruhan akan meningkat (Milandia 2005).
Komposisi kimia batu bara dapat memengaruhi proses pembakaran dalam
mereduksi bijih besi. Kandungan volatile
matter (VM) memengaruhi kesempurnaan
pembakaran dan intensitas api. Penilaian tersebut didasarkan pada rasio atau perbandingan antara kandungan karbon (fixed
carbon) dengan zat terbang, yang disebut
dengan nisbah bahan bakar (fuel ratio). Semakin tinggi nilai fuel ratio maka jumlah karbon di dalam batu bara yang tidak terbakar juga semakin tinggi. Jika perbandingan fuel ratio nilainya lebih dari 1.2 pengapian akan kurang baik karena kecepatan pembakaran
menurun. Kadar abu tinggi berarti
memengaruhi tingkat pengotoran tinggi. Kadar abu dalam percobaan ini 7.93% yang berarti pengotornya cukup tinggi. Kadar karbon yang diperoleh 47.19% karenanya dapat digolongkan ke dalam batu bara jenis sub-bituminus.
Pada suhu 1000 oC tersedia panas yang lebih tinggi untuk mereduksi magnetit menjadi wustit jika dibandingkan pada suhu 900 oC, sehingga kebutuhan persen gas CO lebih kecil. Pada suhu rendah (T<1000 oC) dengan jumlah persen gas CO yang tidak mencukupi maka hematit (Fe2O3) tidak dapat
tereduksi secara sempurna menjadi logam Fe melainkan hanya sampai FeO. Diperlukan suhu yang lebih tinggi agar konsentrasi gas
CO dapat mereduksi hematit dengan
sempurna. Reaksi maksimum terjadi pada suhu 950-1100 oC. Hal ini disebabkan karena karbon sangat mudah teroksidasi pada suhu ± 950 oC.
Dalam reaksi reduksi bijih besi, peningkatan laju tidak terlalu memengaruhi reaksi keseluruhan sedangkan peningkatan laju reaksi pada reaksi gasifikasi karbon sangat memengaruhi reaksi keseluruhan. Oleh karena itu, reaksi gasifikasi karbon merupakan faktor pengendali laju reaksi kimia dalam sistem. Reaksi reduksi bijih besi melibatkan suatu mekanisme yang siklus, di mana CO2
mengalami reduksi untuk menghasilkan CO yang akan mereduksi besi oksida kemudian menghasilkan CO2 kembali melalui reduksi
oksida. Reaksi-reaksi reduksi dan gasifikasi seperti itu perlu digabungkan untuk memperoleh persen reduksi yang tinggi. Reaksi gasifikasi karbon sangat endotermik dengan jumlah lebih besar dari energi diperlukan. (Camci et al. 2002).
Pengaruh Suhu Pada Persen Metalisasi Bijih Besi Laterit
Persen metalisasi, yaitu perbandingan banyaknya logam Fe pada Fe total, dalam besi spons. Semakin meningkat suhu maka persen
metalisasi akan naik namun turun pada suhu 1000oC akibat jumlah CO berkurang setelah proses reduksi.
Reaksi lambat ini terjadi karena gas reduktor (CO) yang dibutuhkan untuk reaksi reduksi bijih besi dan gasifikasi batu bara tidak cukup karena batu bara telah terdevolatilisasi lebih awal sehingga gas CO yang tersisa tidak mencukupi untuk reaksi lainnya. Secara umum, perubahan dari hematit menjadi magnetit, magnetit menjadi wustit dan wustit menjadi logam besi dengan reduksi langsung merupakan reduksi orde ke-1 (Donskoi et al. 2002).
Ishizaki, Nagata, dan Hayashi (2007) menjelaskan bahwa penggabungan batu bara dengan bijih besi terjadi saat kondisi butiran dipanaskan mencapai suhu 800°C. Di atas suhu ini, terjadi reduksi Fe3O4 menjadi FeO
pada rentang suhu 800-1000 °C kemudian FeO menjadi Fe pada suhu 1000 °C-1250 °C. Perubahan hematit menjadi logam besi (Fe) terjadi dalam tiga tahap, yaitu hematit menjadi magnetit, magnetit menjadi wustit dan wustit menjadi Fe. Hematit mulai tereduksi pada suhu 580 oC dan mulai berakhir pada 670 oC
menggunakan gas CO dan H2 hasil
devolatilisasi batu bara. Magnetit tereduksi pada suhu 670-870 oC membentuk FeO
menggunakan gas CO dan H2 hasil
devolatilisasi dan CO yang berasal dari reaksi gasifikasi batu bara. FeO tereduksi pada suhu 870-1200 oC dengan gas CO hasil gasifikasi batu bara. Reaksi maksimum terjadi pada suhu 950-1100 oC. Hal ini disebabkan karena karbon sangat mudah teroksidasi pada suhu ± 800 oC (Liu 2003).
Penambahan kapur suhu 800 oC dan 900
oC tingkat metalisasi bijih besi Bayah (19.45%
dan 44.50%) dan penambahan bentonit (17.97% dan 43.78%) lebih rendah jika dibandingkan dengan tingkat metalisasi pada suhu 1000 oC, yaitu 80.63% untuk
penambahan kapur dan 82.11% untuk
penambahan bentonit. Hal ini disebabkan oleh laju gasifikasi karbon pada suhu 800 oC dan 900 oC berjalan lebih lambat karena masih terdapat jelaga jika dibandingkan pada suhu 1000 oC. Nilai persen metalisasi dapat dilihat pada gambar 4. Selain itu, belerang yang terkandung dalam bijih besi dan batu bara diikat oleh kapur bakar hasil kalsinasi batu kapur. Reaksi yang terjadi ditunjukkan oleh persamaan berikut:
CaO + S + C CaS + CO 2S + 2CaO + Si 2CaS + SiO2
S + 2CaO + 2Si 2CaSi + SO2,
Nomura et al. (2007) menyatakan bahwa ketika suhu 1200 oC, komponen utama dari batu bara, SiO2, dan FeO di dalam serbuk
bijih besi dapat bereaksi menghasilkan suatu campuran FeO dan SiO2, yaitu fayalite
(2FeO.SiO2). Akibat terbentuknya fayalite,
hasil reduksi yang diperoleh lebih rendah dari 1000 oC walaupun sisa karbonnya sedikit.
Gambar 4 Pengaruh suhu pada persen metalisasi bijih besi laterit dari Bayah
Perbandingan Penambahan Kapur dan Bentonit
Proses pembentukan pelet untuk besi spons dipengaruhi oleh penambahan air, bahan perekat, dan ukuran butiran. Penambahan air yang terlalu banyak akan membuat pelet menjadi lebih lunak sehingga sulit dibentuk bulatan. Penambahan air yang terlalu sedikit akan membuat kekuatan bola pelet berkurang. Pembentukan pelet dengan penambahan kapur lebih rapuh dibandingkan penambahan bentonit akibat kadar Al2O3 pada
bentonit yang lebih banyak sehingga lebih mudah untuk merekatkan partikel bijih besi. Penambahan binder atau perekat akan membuat pelet semakin kuat setelah dilakukan proses reduksi. Bentonit berperan sebagai perekat karena Kandungan utama bentonit adalah 80% mineral monmorilonit seperti kristal aluminium, hidrosilikat dengan struktur lapisan membentuk tanah liat. Struktur monmorilonit terdiri atas 3 layer, yaitu lapisan alumina (Al2O3) berbentuk oktahedral yang
diapit oleh 2 lapisan silika (SiO4) berbentuk
tetrahedral. Bentonit mengandung SiO2 lebih
tinggi dibandingkan CaO sehingga hasil besi spons dapat dikatakan bersifat asam sedangkan kapur mengandung kadar CaO lebih banyak dibandingkan SiO2 sehingga besi
Adanya penambahan kapur menunjukkan persen reduksi cukup stabil pada suhu 1000-1100 oC namun penambahan bentonit menunjukkan persen reduksi tidak stabil suhu 1100 oC dan naik kembali pada suhu 1200 oC. Hal tersebut akibat adanya SiO2 cukup banyak
sehingga terbentuk fayalite.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka diperoleh bahwa kadar silika menurun setelah dilakukan benefisiasi, yaitu 5.90% menjadi 2.69% sehingga kadar Fe total dapat meningkat dari 56.70 menjadi 64.51%. Batu bara yang digunakan termasuk jenis sub-bituminus dengan kadar fixed carbon 47.19% karenanya cukup efektif untuk proses reduksi. Penambahan bentonit berfungsi sebagai perekat sehingga pelet yang diperoleh lebih baik (cukup keras) dan kadar metalisasi lebih tinggi dibandingkan penambahan kapur dengan persen metalisasi berturut-turut 82.11 dan 80.63%. Suhu optimum yang diperoleh untuk mereduksi bijih besi laterit dari Bayah berkisar antara 1000 dan 1100 oC.
Saran
Saat melakukan proses pembuatan pelet, pencampuran harus dilakukan sedikit demi sedikit agar homogen. Proses reduksi perlu dilakukan pada rentang suhu antara 900 oC dan 1100 oC dengan selisih selang 20 oC. Batu bara yang digunakan memiliki kadar sulfur rendah. Adanya pencampuran kapur dan bentonit dengan perbandingan tertentu untuk kesetimbangan basisitas. Hasil besi spons yang keras perlu dilakukan uji fisik seperti kekuatan besi spons.
DAFTAR PUSTAKA
[ASTM] American Society for Testing and Materials International Standard Word Wide. 2003. Annual Book Of ASTM
Standards Section Five Petroleum Product, Lubricant, and Fossil Fuel.
American: ASTM;(Volume 05.06
Gaseous Fuels, Coal, and Coke. Revision Issued Annually).
[ASTM] American Society for Testing and Materials International Standard Word Wide. 2000. Metals Test Metods and
Analytical Procedures. American: ASTM;(Volume 03.05 section three. Revision Issued Annually).
Basset J et al. 1994. Buku Ajar Vogel Kimia
Analisis Kuantitatif Anorganik. Hadyana,
A dan Setiono, L, Penerjemah; Jakarta : EGC. Terjemahan dari: Vogel’s Textbook
Of Quantitative Inorganik Analysis Including Elementary Instrumental Analysis.
BEI News. 2005. Kebutuhan Bahan Baku
Baja Masih Terus Meningkat. [terhubung
berkala] http://www. bexi.co.id (19 Maret 2009).
Camci L , Aydin S, dan Arslan C. 2002. Reduction of Iron Oxides in Solid
Wastes Generated by Steelworks.
Turkish J. Eng. Env. Sci. 26:37-44. Donskoi E, McElwain DLS, dan Wibberley
LJ. 2003. Sensitivity Analysis of A Model for Direct Reduction In Swelling Coal Char- Hematite Composite Pellets. ANZIAM J. 44:C140–C159.
El-Geassy AHA et al. 2007. Reduction Kinetics and Catastrophic Swelling of MnO2-doped Fe2O3 Compacts with CO at 1073–1373 K. ISIJ International 47(3):377–385.
Eltra Gmbh. 2005. CS-800 Carbon / Sulfur
Determinator [terhubung berkala] http://www.eltragmbh.com. (9 April 2009).
Grigore M et al. 2007. Effect of Carbonisation Conditions on Mineral Matter in Coke. ISIJ International 47(1):62–66
Harjadi W. 1986. Ilmu Kimia Analitik Dasar. Jakarta: Gramedia
Ishizaki K, Nagata K, dan Hayashi T. 2007. Localized Heating and Reduction of Magnetite Ore with Coal in Composite Pellets Using Microwave Irradiation. ISIJ International 47(6):817–822.
Keenan CW et al. 1992. Ilmu Kimia Untuk
Universitas. Pudjaatmaka, AH
penerjemah; Jakarta: Erlangga.
Terjemahan dari: General College Chemistry.
Leading Laboratory Equipment
Manufacturers. 2008. CS2000 Carbon