• Tidak ada hasil yang ditemukan

iii SIFAT FISIS DAN MEKANIS BAMBU LAPIS DENGAN VARIASI MODEL LAPISAN DAN KADAR EKSTENDER PEREKAT TANIN MONALISA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "iii SIFAT FISIS DAN MEKANIS BAMBU LAPIS DENGAN VARIASI MODEL LAPISAN DAN KADAR EKSTENDER PEREKAT TANIN MONALISA"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

SIFAT FISIS DAN MEKANIS BAMBU LAPIS DENGAN

VARIASI MODEL LAPISAN DAN KADAR EKSTENDER

PEREKAT TANIN

MONALISA

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

RINGKASAN

Monalisa. E24104024. Sifat Fisis dan Mekanis Bambu Lapis dengan Variasi

Kadar Model Lapisan dan Kadar Ekstender Perekat Tanin. Di bawah

bimbingan Prof. dr. Ir. Yusuf sudo Hadi, M.Agr dan Dr. Drs. Adi Santoso, M.Si

Bambu merupakan tumbuhan serba guna karena dapat dimanfaatkan untuk

berbagai kebutuhan hidup, mulai sebagai bahan makanan (rebung), komponen

bangunan, hiasan, peralatan dapur, jembatan ringan, bahan pembuat kertas dan

alat musik. Dipilihnya bambu sebagai bahan alternatif pengganti kayu karena

bambu mempunyai beberapa keunggulan yaitu cepat tumbuh dengan daur yang

relatif pendek (3-4 tahun), mudah didapat, harganya murah, buluhnya panjang dan

mudah diolah, serta pada arah sejajar serat mempunyai sifat mekanik yang lebih

baik daripada kayu (Subiyanto

et al.

1994). Kemampuan bambu sebagai

pengganti

kayu

tersebut

membutuhkan

teknologi

yang

tepat

untuk

mengoptimalkan nilai tambah bambu salah satunya yaitu pembuatan bambu lapis.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data hubungan antara perlakuan

model lapisan penyusun panil bambu lapis dan kadar ekstender dalam perekat

tanin resorsinol formaldehida terhadap sifat fisis dan mekanis bambu lapis serta

memperoleh jenis model penyusun panil bambu lapis dan kadar ekstender perekat

yang tepat agar menghasilkan panil bambu lapis yang memenuhi standar kualitas

dengan menggunakan bambu tali dan perekat tanin resorsinol formaldehida.

Bahan yang digunakan yaitu lembaran anyaman bambu bilik dan anyaman

bambu sejajar. Lembaran bambu tersebut dioven dengan suhu 70°C selama lima

hari dan dikondisioning selama satu hari. Lembaran bambu disusun menggunakan

lima model lapisan, masing-masing model lapisan tersusun oleh tujuh lembar.

Dilanjutkan dengan persiapan perekat dan diberi perlakuan yaitu ditambah dengan

ekstender berupa tepung terigu dangan kadar 0%; 2,5%; 5% dan 10% dari berat

perekatnya. Perekat dilaburkan ke lembaran sebanyak 150 gram/m² dan dilakukan

masa tunggu perekat selama 15 menit. Kemudian produk dikempa panas dengan

suhu 140°C, tekanan 20 kg/cm² selama 10 menit.

Pengujian produk mengacu kepada Standar Nasional Indonesia (SNI)

01-5008.7-1999 Kayu Lapis Struktural dan Japanese Agricultural Standard (JAS)

for

Plywood.

Sifat fisis meliputi kadar air dengan rata-rata 4,69% berkisar dari 3,81%

sampai dengan 6,06% dan kerapatan dengan rata-rata yaitu 0,86 g/cm³ berkisar

dari 0,74 g/cm³ sampai dengan 0,94 g/cm³. Sifat mekanis meliputi modulus lentur

(MOE) sejajar serat dengan rata-rata 11.740 kg/cm² berkisar dari 2790 kg/cm²

sampai dengan 21348 kg/cm² dan modulus patah (MOR) sejajar serat dengan

rata-rata 981,15 kg/cm² berkisar dari 230,32 kg/cm² sampai dengan 1607,90 kg/cm².

Nilai keteguhan rekat sejajar serat dengan rata-rata 26,64 kg/cm² berkisar dari

6,63 kg/cm² sampai dengan 49,28 kg/cm² dan delaminasi berkisar dari 0 cm

sampai dengan 7,5 cm. Sifat fisis dan mekanis bambu lapis telah memenuhi

standar SNI dan JAS kecuali nilai modulus lentur (MOE) sejajar serat. Model

lapisan dan kadar ekstender perekat tanin mempengaruhi sifat fisis dan mekanis

bambu lapis kecuali kerapatan. Model lapisan 1 dengan kadar ekstender perekat

10% merupakan panil bambu yang memenuhi standar JAS dan SNI (kecuali

MOE) dan efisien dalam penggunaan bahan (bambu dan perekat).

(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Sifat Fisis dan Mekanis

Bambu Lapis dengan Variasi Model Lapisan dan Kadar Ekstender Perekat Tanin

adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing

dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau

lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang

diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks

dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Agustus 2008

Monalisa

(4)

SIFAT FISIS DAN MEKANIS BAMBU LAPIS DENGAN

VARIASI MODEL LAPISAN DAN KADAR EKSTENDER

PEREKAT TANIN

Karya Ilmiah

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana

Kehutanan

Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Oleh :

Monalisa

E24104024

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Peneletian

: Sifat Fisis dan Mekanis Bambu Lapis dengan Variasi

Model Lapisan dan Kadar Ekstender Perekat Tanin

Nama Mahasiswa

: Monalisa

NRP

: E24104024

Program Studi

: Teknologi Hasil Hutan

Sub Program Studi

: Pengolahan Hasil Hutan

Menyetujui:

Komisi Pembimbing,

Ketua,

Anggota,

Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudo Hadi, M. Agr

Dr. Drs. Adi Santoso, M.Si

NRP. 130 687 459

NIP. 710 014 913

Mengetahui:

Dekan Fakultas Kehutanan IPB,

Dr. Ir. Hendrayanto, M. Agr.

NIP. 131 578 788

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Payakumbuh, Sumatera Barat pada tanggal 22 Pebruari

1986 sebagai anak kelima dari lima bersaudara pasangan Pusperni dan Ermawati.

Pada tahun 2004 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Guguak dan pada tahun

yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB.

Penulis memilih Program Studi Teknologi Hasil Hutan, Departemen Hasil Hutan,

Fakultas Kehutanan.

Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di sejumlah organisasi

kemahasiswaan yakni sebagai staf PSDM Ikatan Mahasiswa Padang 2004-2005,

staf Departemen Kayu Solid Himpunan Mahasiswa Hasil Hutan 2005-2006,

Kepala Biro Kewirausahaan Himpunan Mahasiswa Hasil Hutan 2006-2007, staf

Departemen Peningkatan Sumber Daya Manusia Badan Eksekutif Mahasiswa

Fakultas Kehutanan tahun 2006-2007. Penulis juga aktif di Unit Kegiatan

Mahasiswa Basket IPB 2004-2007.

Penulis juga pernah magang kerja di PT. RIAP Bogor, melakukan Praktek

Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di Getas Ngawi, Cibodas dan Cilacap.

Serta melalakukan Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT. Sari Bumi Kusuma Unit

Kumpai, Kalimantan Barat.

Untuk memproleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan

skripsi dengan judul

Sifat Fisik dan Mekanik Bambu Lapis dengan Variasi

Model Lapisan dan Kadar Ekstender Perekat Tanin

dibimbing oleh Prof. Dr.

Ir. Yusuf Sudo Hadi, M. Agr dan Dr. Drs. Adi Santoso, M.Si.

(7)

KATA PENGANTAR

Penulis memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala

curahan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini

yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada Program Studi Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian

Bogor. Penelitian ini berjudul Sifat Fisik dan Mekanik Bambu Lapis dengan

Variasi Model Lapisan dan Kadar Ekstender Perekat Tanin.

Bambu merupakan sumber daya alam yang dapat diperbaharui dan memiliki

potensi sebagai pengganti kayu. Hal ini didukung oleh beberapa hal yaitu bambu

mudah diperoleh, harganya murah, daur relatif pendek (3-4 tahun) dan arah

sejajar seratnya lebih kuat daripada kayu. Dilain hal, perlunya menemukan

sumber baru bahan baku perekat salah satunya tanin. Dan untuk penghematan

pemakaian perekat dapat dilakukan dengan pencampuran ekstender (tepung

terigu) ke dalam perekat. Tujuan dari karya ilmiah ini untuk mengetahui

hubungan sifat fisis mekanis bambu lapis dan memperoleh produk bambu lapis

terbaik yang dipengaruhi model lapisan dan kadar ekstender perekat tanin. Bahan

yang dipakai yaitu bambu tali, perekat tanin resorsinol formaldehida dan tepung

terigu.

Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi yang berguna dalam

pengembangan pemanfaatan bambu dan penulis juga menyadari bahwa hasil

penelitian ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, diharapkan saran dan

kritik yang bersifat membangun. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat

terutama bagi penulis dan pihak-pihak yang membutuhkan.

Bogor, Agustus 2008

(8)

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala

curahan rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul Sifat

Fisik dan Mekanik Bambu Lapis dengan Variasi Model Lapisan dan Kadar

Ekstender Perekat Tanin ini berhasil diselesaikan.

Penulis menghaturkan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya

kepada :

1.

Bapak Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudo Hadi, M. Agr dan Dr. Drs. Adi Santoso, M.Si

atas segala kesabaran dan keikhlasan dalam memberikan bimbingan ilmu dan

nasehat kepada penulis.

2.

Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Departemen

Kehutanan RI Bogor.

3.

Kepada para laboran di Lab. Produk Majemuk Litbanghut dan Ibu Titin atas

nasehat dan ilmunya.

4.

Bapak, Ibu, kakak dan segenap keluarga penulis, Kang Wahyu, Khalda dan

Syauqi atas dukungan, motivasi dan kasih sayangnya kepada penulis.

5.

Rekan-rekan mahasiswa Lab. Bio-Komposit dan angkatan 41 Teknologi Hasil

Hutan: Helmi, Mba Devina, Risde, Nining, Citra, Lukman, Wiwin, Yolanda,

Setya, Tumpal, Roni, Bembi, Budi, Icha, Riska, Fath, Siska, Fuadi, Maya,

Meita, Gendis, Hans, Hadi, Edo, Andrew, Weni, Kusno, Juli, Kak Putri serta

teman-teman Fahutan angkatan 41.

6.

Teman-teman seperjuangan di Wisma Adinda : Rizka, Vitrie, Apri, Mela, Ni

Dora, Mba Ina, Dila, Mba Inung, Mba Yance dan Ola

7.

Teman-teman se-asrama A3 2004 : Vidya, Rena, Lina, Wahyu, Winda, Neng,

Qiqi, Santi, Sarah, Asri, Tita.

8.

Sahabat – sahabat penulis : Heni Gustian, Nanda DR, Melia S. dan Hartina E

atas keceriaan dan semangatnya serta kepada Wiko, Ineng, Riri, Ringgi,

Nanda, Mayori, Anggi, Deta, Irzan, Fakri, Amen, Utie, Barirah.

Bogor, Agustus 2008

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR

………..……….... i

DAFTAR ISI

... iii

DAFTAR TABEL

... iv

DAFTAR GAMBAR

... v

DAFTAR LAMPIRAN

... vi

BAB I PENDAHULUAN

... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

1.3 Manfaat ... 2

1.4 Hipotesa ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

... 3

2.1 Bambu ... 3

2.2 Perekatan ... 7

2.3 Bambu Lapis ... 11

BAB III BAHAN DAN METODE

... 12

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 12

3.2 Bahan dan Alat ... 12

3.3 Rancangan Percobaan ... 12

3.4 Metode Penelitian ... 14

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

... 22

4.1 Karakteristik Bambu ... 22

4.2 Kualitas Perekat Tanin Resorsinol Formaldehida ... 22

4.3 Kualitas Panil Bambu Lapis ... 25

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

... 40

5.1 Kesimpulan ... 40

5.2 Saran ... 40

DAFTAR PUSTAKA

... 41

(10)

DAFTAR TABEL

No.

Halaman

1 Komposisi Tepung ... 10

2 Hasil uji rataan karakteristik perekat ... 22

3 Hasil uji rataan sifat fisis dan mekanis panil bambu lapis ... 25

4 Analisis sidik ragam kadar air ... 27

5 Analisis sidik ragam kerapatan ... 29

6 Analisis sidik ragam delaminasi ... 32

7 Analisis sidik ragam keteguhan rekat ... 34

8 Analisis sidik ragam modulus lentur ... 37

(11)

DAFTAR GAMBAR

No.

Halaman

1 Penampang melintang batang bambu ... 4

2 Struktur tanin terkondensasi ... 9

3 Variasi model lapisan panil bambu lapis ... 16

4 Pembuatan potongan uji per lembar ... 18

5 Sampel uji keteguhan rekat sejajar serat ... 19

6 Cara pengujian MOE dan MOR ... 20

7 Skema pembuatan panil bambu lapis ... 21

8 Grafik hubungan kadar ekstender dengan kekentalan perekat ... 23

9 Grafik hubungan kadar ekstender dengan pH perekat ... 24

10 Grafik hubungan kadar ekstender dengan kadar padat perekat ... 24

11 Histogram kadar air panil bambu lapis ... 26

12 Histogram kerapatan panil bambu lapis ... 29

13 Histogram delaminasi panil bambu lapis ... 31

14 Histogram nilai keteguhan rekat sejajar serat panil bambu lapis ... 34

15 Histogram MOE panil bambu lapis ... 36

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

No.

Halaman

1 Data hasil pengujian karakteristik perekat tanin resorsinol formaldehida .... 45

2 Data hasil pengujian panil bambu lapis ... 46

3 Hasil uji beda nilai tengah untuk kadar air ... 50

4 Hasil uji beda nilai tengah untuk kerapatan ... 53

5 Hasil uji beda nilai tengah untuk delaminasi ... 55

6 Hasil uji beda nilai tengah untuk keteguhan rekat sejajar serat (BS) ... 58

7 Hasil uji beda nilai tengah untuk modulus lentur (MOE) ... 61

8 Hasil uji beda nilai tengah untuk modulus patah (MOR)... 64

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang

Bambu merupakan tumbuhan serba guna karena dapat dimanfaatkan untuk

berbagai kebutuhan hidup, mulai sebagai bahan makanan (rebung), komponen

bangunan, hiasan, peralatan dapur, jembatan ringan, bahan pembuat kertas dan

alat musik. Bambu termasuk tanaman cepat tumbuh dan mempunyai daur yang

relatif pendek (3-4 tahun) merupakan salah satu sumber daya alam yang cukup

menjanjikan sebagai bahan pengganti pemakaian kayu. Dipilihnya bambu sebagai

bahan alternatif pengganti kayu karena bambu mempunyai beberapa keunggulan

yaitu cepat tumbuh, mudah didapat, harganya murah, buluhnya panjang dan

mudah diolah serta pada arah sejajar serat mempunyai sifat mekanik yang lebih

baik daripada kayu (Subiyanto

et al.

1994). Namun bambu juga memiliki

kekurangan yaitu keterbatasan bentuk dan dimensinya. Faktor yang sangat

mempengaruhi yaitu sifat fisik bambu yang sangat sukar dikerjakan, variasi

dimensi dan ketidak seragaman panjang ruasnya serta ketidak awetan bambu.

Di lain hal, pemanfaatan jenis kayu mangium masih terbatas pada

kayunya, antara lain untuk serpih sebagai bahan baku pulp dan kertas, arang dan

tiang pancang. Kulitnya sebagian besar ditinggalkan di hutan atau di sekitar

pabrik sebagai limbah. Santoso (2005) mengemukakan bahwa dari hasil

pengamatannya di lapangan menunjukan rendemen kulit mangium berkisar 5-12%

dan 1m³ kayu mangium bisa memperoleh 0,14 ton kulit kayu.

Kemudian perkembangan industri pengolahan kayu yang cukup pesat di

Indonesia mengakibatkan kecepatan pemanfaatan kayu tidak seimbang dengan

pembangunan tegakan baru. Sementara itu kebutuhan kayu yang digunakan untuk

berbagai macam keperluan meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah

penduduk serta pengharusan penggantian komponen-komponen dari kayu yang

telah lapuk atau dimakan rayap.

Oleh karena itu diperlukan suatu teknologi untuk mengatasi hal di atas

yaitu dengan pembuatan bambu lapis yang sama halnya dengan kayu lapis.

Bambu lapis dapat meningkatkan sifat fisis bambu karena dimensinya dapat

dibuat sesuai keinginan, selain itu juga meningkatkan sifat mekanisnya salah

satunya dengan penyusunan lembaran bambu yang arahnya saling tegak lurus.

(14)

Dan untuk penghematan pemakaian perekatnya, Ruhendi (2007)

mengemukakan bahwa dengan penambahan ekstender dapat mengurangi biaya

perekat, contohnya tepung terigu. Namun penggunaan ekstender yang berlebihan

dapat menurunkan kualitas produk yang dihasilkan.

Dalam penelitian ini dikemukakan cara pembuatan panil bambu lapis

dengan menggunakan variasi model lapisan penyusun panil bambu lapis (model 1,

model 2, model 3, model 4 dan model 5) dan kadar ekstender perekat tanin (0%;

2,5%; 5%; 10%).

1.2.

Tujuan

1.

Mendapatkan data hubungan antara perlakuan model lapisan penyusun

panil bambu lapis dan kadar ekstender dalam perekat tanin resorsinol

formaldehida terhadap sifat fisis dan mekanis panil bambu lapis.

2.

Memperoleh jenis model penyusun panil bambu lapis dan kadar ekstender

perekat yang tepat agar menghasilkan panil bambu lapis yang memenuhi

standar kualitas.

1.3.

Manfaat

Dalam penelitian ini diharapkan dapat diperoleh informasi pembuatan

panil bambu lapis serta sifat fisis dan mekanisnya menggunakan bambu tali

(

Gigantochloa apus

(J.A. & J.H. Schultes) Kurz) dengan menggunakan perekat

tanin resorsinol formaldehida, sehingga ke depannya dapat bermanfaat dalam

pengembangan produk bambu lapis.

1.4. Hipotesis

1.

Model lapisan penyusun panil bambu lapis dan kadar ekstender perekat

tanin resorsinol formaldehida tidak berpengaruh nyata terhadap sifat fisis

mekanis bambu lapis (H0).

2.

Model lapisan penyusun panil bambu lapis dan kadar ekstender perekat

tanin resorsinol formaldehida berpengaruh nyata terhadap sifat fisis

mekanis bambu lapis (H0).

(15)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Bambu

1.

Potensi Bambu

Dari kurang lebih 1000 species bambu di dunia dalam 80 genera, sekitar

200 species dari 20 genera ditemukan di Asia Tenggara. Sedangkan di Indonesia

ditemukan sekitar 70 jenis yang tersebar luas baik berupa bambu budi daya

maupun yang berasal dari tanaman liar, tetapi tidak semuanya merupakan tanaman

asli Indonesia (Dransfield dan Widjaja 1995).

Sulthoni (2004) menjelaskan bahwa potensi bambu di Indonesia sangat

besar dengan perkiraan seluas 5 juta ha, maka kegunaan dan peranan bambu

diduga sebagai bahan baku pengganti dari kayu. Hal ini didukung oleh sifat

bambu yang cepat tumbuh sehingga dapat dipromosikan untuk peningkatan

perkembangan perekonomian dan juga mengurangi tekanan terhadap eksploitasi

kayu. Alrasyid (1990) diacu dalam

Nuriyatin (2000) menyatakan bahwa dari jenis

bambu di Indonesia sebanyak 35 jenis telah diketahui kegunaannya dan 10 jenis di

antaranya termasuk jenis bambu asing.

Berdasarkan hasil inventarisasi Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi

Tanah (BRLKT) potensi bambu per-propinsi di Indonesia sampai dengan tahun

2001 menunjukkan bahwa tanaman bambu menempati kawasan seluas sekitar 1,2

juta ha. Jenis bambu yang ditemukan antara lain betung, tali, minyak, wulung, ari,

lemang, gembong, duri, ampel, hitam dan cendani. Kawasan yang paling luas di

tanami bambu berada di propinsi Bengkulu. Sedangkan jenis jenis bambu paling

banyak ditemui adalah bambu tali dan bambu betung (www.dephut.go.id).

Tanaman bambu tidak tergantung musim, biasanya mengelompok dalam

satu rumpun. Bentuk bambu silinder dengan garis tengah 2-30 cm dan panjang

mencapai 3-35 m. Bambu dapat tumbuh pada tanah vulkanis, tanah tidak terlalu

kering atau berbatu dari dataran rendah sampai pada ketinggian 2000 meter di atas

permukaan laut (mdpl). Lama pertumbuhannya beberapa bulan setelah musim

tumbuh pertama. Setelah pertumbuhan maksimal, maka terjadi proses pematangan

(16)

sekitar 3-5 tahun dan untuk membentuk rumpun memerlukan 6-12 tahun

(Surjokusumo 1993).

2.

Sifat Anatomis Bambu

Bambu tumbuh umumnya seperti kayu, termasuk dalam famili Graminae

dan masih berkerabat dengan tebu dan padi. Bambu biasanya memiliki batang

yang berlobang, akar yang kompleks, daun berbentuk pedang dan pelepah yang

menonjol (Dransfield dan Widjaja 1995).

Batang bambu terdiri atas sekitar 50% parenkim, 40% serat dan 10% sel

penghubung (pembuluh dan

sieve tubes

). Parenkim dan sel penghubung lebih

banyak ditemukan pada bagian dalam dari batang, sedangkan serat lebih banyak

ditemukan pada bagian luar.

Gambar 1 Penampang melintang batang bambu (Janssen 1981).

a.

Vascular bundle

Hasil penelitian Liese (1985) mengungkapkan bahwa pada batang bambu,

vascular bundle

terdiri atas xylem dengan 1-2 elemen protoxylem berukuran kecil

dan dua pembuluh metaxylem berukuran besar (diameter 40-12 µm) dan phloem

berdinding tipis,

sieve tubes

yang tidak berlignin dihubungkan dengan

menggabungkan sel-sel. Menurut Salomon

vascular bundle

dan

serat memiliki

pola teratur.

Vascular bundle

cenderung berkurang dari bagian luar ke dalam

batang dan bawah ke atas dinding sel

culm

. Semakin ke dalam dari dinding sel

Dinding bagian

Dinding bagian

Dinding bagian

Dinding bagian luar

Dinding bagian tengah

(17)

penampang melintang maka v

ascular bundle

akan semakin sedikit jumlahnya

dan semakin besar ukurannya.

b.

Serat

Serat bambu dikarakteristikkan oleh adanya sel sklerenkim yang

mengelilingi

vascular bundle

dan dipisahkan oleh parenkim tetapi antara

keduanya seringkali bertemu pada satu titik dan membentuk ikatan sklerenkim.

Panjang serat tergantung pada jenis bambu, serat terpendek ditemukan dekat buku

dan serat terpanjang berada pada pada bagian tengah ruas. Serabut di dalam

bambu terdapat tudung pada ikatan vascular. Terdapat 20-40% serat pendek di

bagian dalam. Kadang ditemukan variasi serat yang besar antar buku. Susunan

serat pada ruas penghubung antar buku memiliki kecenderungan bertambah besar

dari bawah ke atas sementara parenkimnya berkurang (Dransfield dan Widjaja

1995).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nuriyatin (2000) menunjukkan

bahwa untuk setiap jenis bambu terdapat kecenderungan perbedaan nilai panjang

serat untuk setiap bagian pangkal dan ujung dengan nilai pada bagian pangkal

lebih tinggi daripada bagian ujung.

c.

Parenkim

Menurut Liese (1985) jaringan dasar pada batang bambu terdiri atas sel-sel

parenkim yang kebanyakan memanjang secara vertikal (100 x 20 µm) dan sel

parenkim pendek yang terletak berselang seling diantaranya. Sel parenkim

panjang memiliki dinding sel lebih tebal dan mengalami lignifikasi pada awal

pertumbuhan pucuk, sedangkan sel parenkim pendek berdinding tipis dengan

sitoplasma yang tetap aktif serta mengalami lignifikasi walaupun telah dewasa.

Sel-sel parenkim saling berhubungan satu dengan lain melalui nokhtah sederhana

yang terletak pada dinding longitudinal.

3.

Sifat Fisis Bambu

a.

Kadar air

Kadar air batang bambu merupakan faktor penting, dapat mempengaruhi

sifat-sifat mekanisnya dan sangat ditentukan oleh kandungan air yang terdapat

dalam batang bambu. Kadar air cenderung bertambah dari bawah ke atas pada

bambu yang berumur 1-3 tahun dan lebih banyak persentasenya saat musim

(18)

penghujan dibandingkan musim kemarau. Biasanya bila batang bambu sudah

berumur lebih dari tiga tahun akan mengalami penurunan kadar air, pada batang

bambu muda berkisar antara 50-99% dan dewasa berkisar 80-150% sedangkan

pada batang bambu tua bervariasi antara 12-18% (Dransfield dan Widjaja 1995).

b.

Berat jenis

Hasil penelitian Nuriyatin (2000) menunjukkan bahwa berat jenis bagian

ujung bambu lebih tinggi daripada bagian pangkal bambu. Distribusi ikatan

vaskular dapat dijadikan sebagai indikasi nilai berat jenis bambu. Menurut

Dransfield dan Widjaja (1995), dimensi digunakan sebagai parameter dalam

penentuan berat jenis.

4.

Sifat Mekanis Bambu

Sifat fisis mekanis bambu dipengaruhi oleh umur, posisi ketinggian,

diameter, tebal daging bambu, posisi beban, posisi radial dari luar sampai ke

bagian dalam dan kadar air bambu (Dransfield dan Widjaja 1995).

5.

Bambu Tali

Menurut Dransfield dan Widjaja (1995), bambu tali diduga berasal dari

Burma (Myanmar) dan Thailand bagian Selatan. Bambu termasuk ke dalam

Gramineae

. Bambu tali tumbuh di daerah tropika basah dataran rendah, tetapi

juga dapat tumbuh di ketinggian lebih dari 1500 meter diatas permukaan laut.

Pada daerah kering, ukuran batang cenderung kecil.

Sistem taksonomi bambu tali atau bambu apus adalah:

Kingdom : Plantae

Divisi

: Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Klas

: Monokotiledon

Ordo

: Graminales

Famili

: Graminae

Subfamili : Bambusoidae

Genus

: Gigantochloa

Spesies

:

Gigantochloa apus

(Bl. Ex (Schult F.) Kurz.)

Bambu tali termasuk tanaman bambu simpodial, berdiri tegak, tinggi

batang 8-30 m dengan diameter buluh 4-13 cm dan tebalnya bisa mencapai 1,5

(19)

cm. Berwarna hijau terang sampai kuning. Panjang ruas 20-60 cm, buku sedikit

membengkok pada bagian luar. Panjang serat sekitar 0,9-5,5 mm. Diameter serat

5-36 µm, tebal dinding sel 1-3 µm. Kadar air rata-rata batang bambu tali segar

adalah 54,3% dan batang bambu kering 15,1%. Komponen kimianya antara lain

holoselulosa 52,1-54,7%, pentosan 19,1-19,3%, lignin 24,8-25,8%, kadar abu

2,7-2,9%, silika 1,8-5,2%. Kelarutan dalam air dingin 5,2%, air panas 5,4-6,4%,

alkohol benzena 1,4-3,2% dan NaOH 21,2-25,1%. Kadar air berfluktuasi antara

0,24-0,71% tergantung pada musim. Berat jenis bambu tali berkisar antara

0,47-0,69 dengan rata-rata 0,6 (Dransfield dan Widjaja 1995).

Bambu tali memiliki sifat fisik dan mekanik yang baik, dan berpotensil

sebagai campuran bahan konstruksi. Hasil studi yang pernah dilakukan mengenai

pembuatan beton bertulang bambu oleh Hidajad (1994) dalam Surjokusumo

(1994) menunjukkan bahwa bambu tali dengan pelapisan aspal dengan jarak profil

4 cm memberikan nilai MOE dan tegangan tarik terbesar dibanding jenis bambu

lain.

2.1.

Perekatan

1.

Pengertian dan Spesifikasi

Perekatan merupakan suatu peristiwa tarik menarik antara

molekul-molekul dari dua permukaan yang direkat. Merekatnya dua buah benda yang

direkat terjadi disebabkan adanya gaya tarik menarik antara perekat dengan bahan

yang direkat (gaya adhesi) dan gaya tarik menarik (gaya kohesi) antara perekat

dengan perekat atau bahan yang direkat (Houwink dan Salomon 1967).

Sedangkan menurut Vick (1999), perekat adalah suatu subtansi yang memiliki

kemampuan untuk mempersatukan bahan sejenis/tidak sejenis melalui ikatan

permukaan.

Menurut Blomquist

et al.

(1983) dalam Ruhendi

et al.

(2007) berdasarkan

unsur kimia utama (

major chemical component

) perekat dibagi menjadi dua

kategori yaitu

adhesive of natural origin

dan

adhesive of synthetic origin.

(20)

2.

Tanin dan Perekat Tanin Resorsinol Formaldehida

Tanin adalah senyawa yang biasanya berasal dari tumbuhan karena, tanin

terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh. Tanin dapat diperoleh dari kulit

pohon tertentu dengan menggunakan pelarut air atau pelarut organik seperti

etanol, aseton, dan sebagainya (Coppens

et al

. 1980 dalam Tan 1992).

Tanin terdapat dalam tanaman berpembuluh. Dalam angiospermae

terdapat khusus dalam jaringan kayu.. Tanin juga terdapat dalam daun contohnya

daun the yang termasuk dalam tanin terkondensasi secara biosintetis terbentuk

dari kondensassi katekin tunggal. Pada daun teh segar terdapat sekitar 30%

senyawa tanin yang sebagaian besar dari golongan katekin. dan daun the juga

dilengkapi dengan enzim

polifenol oksidase

yang siap bekerja mengubah tanin

menjadi sederetan senyawa turunan melalui suatu reaksi kondensasi(Mathew 1982

dalam Sianturi 1999). Sumber tanin antara lain berasal dari buah delima dan

buah, daun, kulit batang dari jambu biji (Anonim 2005; Anonim 2007).

Tanin yang diperoleh dari tanaman dapat dibedakan menjadi dua golongan

besar yaitu tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi. Tanin terkondensasi

merupakan senyawa ester dari gula sederhana dengan satu atau lebih polifenol

asam karboksilat, mudah mengalami hidrolisis bila dipanaskan dengan asam.

Senyawa tanin yang tergolong jenis ini adalah galotanin, elagitanin dan kafetanin.

Tanin terkondensasi adalah polimer yang terdiri atas unit-unit monomer flavonoid

dan tidak terhidrolisis oleh asam, basa dan enzim. Tanin jenis ini adalah katekin,

epikatekin, galokatekin dan epigalokatekin (Hagerman 2002 dalam Astu 2005).

Hasil pencirian dengan spektrofotometer inframerah, ekstrak tanin kulit

mangium merupakan senyawa fenolik yang mengandung gugus fungsi hidroksil,

eter dan cincin aromatik yang ditunjukkan oleh pola serapan pada daerah dengan

bilangan gelombang 3342 cm

-1

, 1100 cm

-1

dan 1613 cm

-1

yang sebagian besar

mirip dengan asam tanat sebagai standar, dengan perbedaan adanya gugus

karboksilat pada asam tanat. Berdasarkan struktur kimia, tanin dibedakan menjadi

tanin yang terhidrolisiskan dan tanin tak terhidrolisiskan (tanin terkondensasi).

Tanin terkondensasi secara kimia maupun ekonomis lebih ditujukan bagi

kepentingan pembuatan perekat dengan pertimbangan utama tanin terkondensasi

lebih ramah lingkungan (Santoso 2005).

(21)

Hemingway (1989) mengemukakan bahwa tanin dapat digunakan sebagai

bahan perekat karena adanya gugus hidroksil yang sangat reaktif, struktur tanin

terkondensasi dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Struktur tanin terkondensasi (Hemingway 1989).

Kereaktifan tanin terhadap senyawa formaldehida akan menghasilkan

potlife

pendek dan mempunyai sifat rapuh. Untuk itu

potlife

perlu diperpanjang

dengan menaikan pH, sedangkan untuk mengatasi sifat rapuh dari kereaktifan

tanin dapat dilakukan penambahan zat penguat atau biasa disebut

fortifier

sebagai

bahan untuk meningkatkan perekat yang digunakan. Santoso (1998)

mengemukakan bahwa dalam pembuatan perekat dari tanin dapat dilakukan

dengan formaldehida sendiri atau dengan penambahan bahan lain seperti urea atau

fenol atau resorsinol sehingga terbentuk tanin urea formaldehida atau tanin fenol

formaldehida atau tanin resorsinol formaldehida.

Resorsinol adalah suatu substansi fenol yang lebih reaktif dibandingkan

fenol karena memiliki stuktur gugus hidroksil yang terikat dengan posisi meta

(Pizzi 1983). Perekat yang mangandung resorsinol dapat mengeras pada suhu

kamar dengan kekuatan reaksi tahan lama dan dapat direkatkan pada salah satu

atau kedua bahan yang akan direkatkan. Menurut Mulyana (2002) produk perekat

(22)

resorsinol yang selama ini banyak dipakai industri adalah perekat resorsinol

formaldehidaa.

Menurut Tsoumist (1991) tanin yang jika ditambahkan dengan sedikit

fenol, urea, atau resorsinol formaldehida akan memberikan kekuatan rekat yang

baik, tahan terhadap air dan dapat digunakan untuk perekat kayu lapis, kayu

lamina, papan partikel dan produk lainnya.

3.

Ekstender Perekat

Ekstender adalah bahan alami yang mengandung sedikit banyak sifat-sifat

perekat, yang ditambahkan ke dalam adonan perekat kayu dengan tujuan untuk

memperbaiki sifat perekat itu sendiri dan untuk memenuhi permintaan sustrat

kayu dalam perekatan, sekaligus menurunkan harga adonan perekat per kesatuan

berat (Skeist 1977 dalam Karno 1996).

Kliwon (1987) menggolongkan bahan ekstender menjadi tiga golongan,

yaitu:

1.

Bahan berpati misalnya terigu, tapioka dan sagu.

2.

Bahan berprotein misalnya tepung darah, kedelai dan bungkil kacang tanah.

3.

Turunan lignin dan estrak kulit kayu

Menurut Sutigno dan Kamil (1975) ekstender terigu lebih baik daripada

tapioka karena untuk mencapai keteguhan rekat tahan air, terigu dapat

ditambahkan lebih banyak daripada tapioka. Ini berarti penggunaan terigu akan

lebih hemat dalam penggunaan perekat. Contoh ekstender yang sering digunakan

adalah tepung terigu, namun penggunaan ekstender yang berlebihan dapat

menurunkan keseluruhan kualitas produk yang dihasilkan (Ruhendi

et al.

2007).

Adapun komposisi dari tepung terigu disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Tepung

No.

Komponen

Terigu

1

Air

12

2

Lemak

1,3

3

Protein

8,9

4

Karbohidrat

77,3

Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan Indonesia (1981) dalam Wahyuningsih

(1987).

(23)

2.2.

Bambu Lapis

Menurut Sulastiningsih

et al

. (2005) bambu lapis adalah suatu produk

yang diperoleh dengan cara menyusun bersilangan atau tegak lurus beberapa

lembar venir bambu (anyaman sayatan bambu = anyaman bambu) yang diikat

dengan perekat. Kemudian Sulastiningsih juga menambahkan bahwa teknologi

pembuatan bambu lapis prinsipnya sama dengan teknologi pembuatan kayu lapis,

perbedaannya pada bahan penyusun yang digunakan.

Keunggulan produk kayu lapis dibandingkan kayu solid adalah kestabilan

dimensinya, ketahanan terhadap pembengkokan, ketahanan terhadap goncangan

yang tinggi dan dimensi yang dapat dibuat sesuai tujuan (Bowyer

et al.

2003).

(24)

12

BAB III

BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2008 sampai Mei 2008,

bertempat di Laboratorium Produk Majemuk dan Laboratorium Penggergajian

dan Pengerjaan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Gunung Batu,

Bogor.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bambu tali

(

Gigantochloa apus

(J.A & J.H. Schulthes) Kurz), tanin resorsinol formaldehida

(TRF) sebagai perekatnya dan tepung terigu sebagai ekstender.

Alat yang digunakan adalah gelas piala, erlenmeyer, gelas ukur, timbangan

elektronik, spatula,

moisture meter

,

visco tester

, pH meter, oven, piknometer,

water bath,

tabung kaca, kuas, lempengan besi, papan alas, alat kempa panas,

kaliper, meteran, UTM Lohmann

,

mesin gergaji

band saw

dan alat tulis.

3.3. Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial

dua faktor dengan faktor A adalah variasi model lapisan penyusun bambu lapis

terdiri dari model lapisan 1, model lapisan 2, model lapisan 3, model lapisan 4,

model lapisan 5 dan faktor B adalah variasi kadar ekstender perekat tanin terdiri

dari 0%; 2,5%; 5% dan 10%. Dengan ulangan sebanyak tiga kali sehingga

percobaannya adalah 5 x 4 x 3.

Sebelum dilakukan analisis ragam terhadap data hasil pengujian, terlebih

dahulu dilakukan uji kenormalan data, karena dalam melakukan analisis ragam,

asumsi ragam harus dipenuhi. Apabila data tidak memenuhi asumsi ragam

tersebut maka dilakukan transformasi data. Model umum rancangan percobaan

yang digunakan adalah

(25)

Keterangan :

Yijk

= Nilai pengamatan pada ulangan ke- k yang disebabkan oleh taraf

ke- i faktor

α

dan taraf ke- j faktor

β

i

= Model 1, Model 2, Model 3, Model 4 dan Model 5

j

= Kadar ekstender 0%; 2,5%; 5% dan 10%

k

= Ulangan 1, 2 dan 3

µ

= Nilai rata-rata sebenarnya

α

= Model lapisan (faktor 1)

β

= Kadar ekstender perekat (faktor 2)

α

i

= Pengaruh model lapisan pada taraf ke-i

β

j

= Pengaruh kadar ekstender perekat pada taraf ke-j

(

αβ

)ij = Pengaruh interaksi antara faktor

α

(model lapisan) pada taraf ke- i

(model 1, model 2, model 3, model 4 dan model 5) dan faktor

β

(kadar ekstender perekat) pada taraf ke- j (0%; 2,5%; 5% dan

10%)

Eijk

= Galat (kesalahan percobaan)

Kemudian untuk mengetahui pengaruh faktor perlakuan terhadap respon

maka dilakukan analisis keragaman (ANOVA) dengan menggunakan uji F pada

tingkat kepercayaan 95% (nyata) dan 99% (sangat nyata). Selanjutnya kriteria uji

yang digunakan adalah F-hitung yang diperoleh dari ANOVA yang dibandingkan

dengan F-tabel dengan kaidah keputusan :

Apabila F-hitung < F-tabel, maka perlakuan tidak memberikan pengaruh

nyata.

Apabila F-hitung > F-tabel, maka perlakuan memberikan pengaruh nyata

sehingga menimbulkan perbedaan pada suatu tingkat kepercayaan.

Dan apabila hasilnya berbeda nyata atau sangat nyata, maka dilakukan uji lanjut

DMRT (

Duncan Multiple Range Test

). Pengolahan data dilakukan dengan

menggunakan

software SAS System for Windows 9.1

(26)

3.4. Metode Penelitian

3.4.1. Persiapan Bambu

Bambu tali yang digunakan telah diproses terlebih dahulu menjadi

anyaman bambu bilik dan bambu sejajar. Ukuran anyaman bambu bilik adalah 40

cm x 40cm x 0,25 cm dan ukuran bambu sejajar adalah 40 cm x 40 cm x 0,13 cm.

Bambu sejajar dibuat dengan cara penyusunan bilah-bilah bambu ke arah samping

dan disatukan dengan memakai selotip kertas pada bagian atas dan bawahnya.

Lembaran anyaman bambu tersebut dioven untuk mengurangi kadar airnya selama

lima hari dengan suhu pengovenan 70 °C. Setelah selesai dioven dibiarkan di

ruangan terbuka selama satu hari. Kemudian lembaran-lembaran anyaman bambu

tersebut dicari tahu sifat fisisnya yaitu kadar air dan kerapatan, dilakukan

sebanyak lima kali ulangan.

a.

Kadar Air

Lembaran-lembaran anyaman bambu yang telah selesai dikondisikan

selama satu hari tersebut diambil sampelnya kemudian ditimbang beratnya (BA)

dan dioven selama 24 jam dengan suhu 103 ± 2°C. Setelah selesai dioven, sampel

dimasukkan ke dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang beratnya,

kemudian dioven lagi selama tiga jam secara berulang kali sampai diperoleh berat

konstan (BKT). Kadar air dihitung dengan persamaan berikut :

Keterangan :

BA

= Berat awal (gram)

BKT = Berat kering tanur (gram)

KA

= Kadar air (%)

KA =

BKT

BKT

(27)

b. Kerapatan

Sampel uji untuk masing-masing lembaran anyaman bambu ditimbang

beratnya (BA). Kemudian sampel tersebut diukur dimensinya meliputi panjang,

lebar dan tebal. Kerepatan dapat ditentukan dengan persamaan berikut:

Keterangan :

BA

= Berat awal (gram)

P

= Panjang (cm)

L

= Lebar (cm)

T

= Tebal (cm)

Kr

= Kerapatan (g/cm³)

3.4.2. Persiapan Perekat

Perekat tanin resorsinol

formaldehida ditimbang (a gram) dan

ditambahkan ekstender dengan variasi kadar ekstender (tepung terigu) yaitu 0%;

2,5%; 5% dan 10% dari berat perekat cair. Dicampurkan sedikit demi sedikit agar

tidak menggumpal kemudian diaduk dengan spatula (sendok pengaduk).

Selanjutnya dilakukan pengujian antara lain viscositas (kekentalan), kadar padat

perekat (

solid content),

pH dan warna. Pengujian dilakukan setelah perekat

tercampur ekstender selama 15 menit untuk mengetahui perubahan karakteristik

perekat selama proses masa tunggu perekat.

a.

Kekentalan Perekat (Viscositas)

Perekat dimasukkan ke dalam mangkok (

pot)

sampai tanda batas pada

tangkai rotor yang telah ditentukan sesuai dengan kekentalan perekat. Hidupkan

viscotester

dan rotor akan berputar. Baca nilainya jika jarum

viscotester

sudah

menunjukan nilai konstan. Matikan

viscotester

dan catat hasilnya.

Kr =

PxLxT

BA

(28)

b.

Kadar Padatan Perekat

(Solid content)

Siapkan wadah dan timbang beratnya (B1), masukkkan perekat sebanyak

±1,5 gram (B2). Dioven dengan suhu 130 ± 2°C selama 24 jam. Setelah 24 jam

keluarkan dari oven dan masukkan dalam desikator kemudian ditimbang beratnya

(B3). Kadar padatan dapat dihitung dengan persamaan :

Keterangan :

B3

= Berat sampel perekat dalam keadaan kering tanur + wadah

(gram)

B2

= Berat sampel perekat awal + wadah (gram)

B1

= Berat wadah kosong (gram)

SC

= Kadar padatan (%)

c.

Warna

Warna perekat bisa langsung diamati setelah perekat tersebut selesai

dibuat dengan pencampuran ekstender ke dalam perekat. Pengamatan warna

dilakukan berulang kali.

e. pH

Sensor pH dicelupkan ke dalam perekat dan dilihat nilai pH pada monitor

pH meter.

3.4.3. Pembuatan Panil Bambu Lapis

3.4.3.1. Penyusunan anyaman bambu

Anyaman bambu bilik dan bambu sejajar disusun sebanyak tujuh lapis

sesuai dengan variasi model lapisan. Adapun variasi dari model lapisan penyusun

bambu lapis dapat dilihat pada Gambar 3 :

Gambar 3 Variasi model lapisan penyusun panil bambu lapis.

1

2

3

4

5

SC =

1

2

1

3

B

B

B

B

x100%

(29)

Keterangan:

3.4.3.2. Pelaburan Perekat

Perekat tanin resorsinol formaldehida yang telah dicampurkan dengan

variasi kadar ekstender (tepung terigu) sebanyak 0%; 2,5%; 5% dan 10%

dilaburkan secara merata ke lembaran bambu lapis yang telah tersusun dengan

memakai kuas dengan berat labur 150 gr/m² permukaan. Adapun metode

pelaburannya adalah

single layer

(di satu permukaan) untuk lembaran bambu

sejajar dan

double layer

(di kedua permukaan) untuk anyaman bambu bilik yang

diletakkan di bagian dalam panil, sedangankan anyaman bambu bilik sebagai

face

dan

back

panil metode pelaburannya adalah

single layer

(di satu permukaan).

3.4.3.3. Masa tunggu perekat

Agar perekat menyebar merata di seluruh permukaan dan dapat meresap

ke dalam bambu maka diberikan masa tunggu kepada perekat selama 15 menit.

Dalam proses masa tunggu ini, panil diberikan beban berupa lempengan besi berat

5 kg agar bambu tidak melengkung selama proses masa tunggunya.

3.4.3.4. Pengempaan

Panil bambu lapis dikempa panas dengan suhu 140 °C, tekanan 20 kg/cm²

selama 10 menit.

3.4.3.5.

Conditioning

Setelah melalui semua proses, panil dibiarkan di tempat terbuka

sekurang-kurangnya satu minggu untuk menghilangkan tegangan-tegangan yang terjadi

sewaktu pengempaan.

3.4.4. Pengujian Panil

3.4.4.1. Pembuatan Sampel Uji

Pembutan sampel uji kadar air, kerapatan, keteguhan rekat sejajar serat,

modulus lentur sejajar serat dan modulus patah sejajar serat menurut standar

Indonesia (SNI) dan delaminasi menurut standar Jepang (JAS).

Lembaran bambu sejajar

(30)

Gambar 4 Pembuatan potongan uji per panil.

Keterangan :

A = Sampel uji kadar air (100 mm x 100 mm)

B = Sampel uji kerapatan (100 mm x 100 mm)

C = Sampel uji delaminasi (75 mm x 75 mm)

D = Sampel uji keteguhan rekat sejajar serat (25 mm x 100 mm)

E = Modulus elastisitas dan modulus patah ((24 h + 50 mm) x 50 mm)

h

= Tebal papan (mm)

3.4.4.2.

Pengujian Kadar air

Sampel uji dalam keadaan kering udara ditimbang beratnya untuk

mendapatkan berat awal (BA). Selanjutnya sampel uji tersebut dikeringkan dalam

oven 103 ± 2 °C selama 24 jam. Setelah selesai dioven, sampel dimasukkan ke

dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang beratnya. Kemudian dioven lagi

selama tiga jam secara berulang kali sampai diperoleh berat konstan (BKT).

3.4.4.3.

Kerapatan

Sampel uji dalam keadaan kering udara ditimbang beratnya (BKU)

kemudian dilakukan pengukuran dimensi terhadap panjang, lebar dan tebal.

3.4.4.4.

Delaminasi

Untuk uji test delaminasi berpedoman kepada standar Jepang untuk

perekat tipe I eksterior. Sampel uji direbus dalam air mendidih selama empat jam,

lalu dikeringkan dalam oven 60 ± 3°C selama 20 jam, direbus kembali selama

empat jam lalu keringkan dalam oven 60 ± 3°C selama tiga jam. Kemudian

D

C

B

E

A

D

(31)

diamati dan diukur panjang dan lebar garis rekat yang mengalami delaminasi

(pengelupasan garis rekat).

3.4.4.5.

Keteguhan Rekat dengan Uji Geser Tarik Sejajar Serat

Pengujian dilakukan dengan metode kering artinya tidak ada perlakuan

pendahuluan. Bentuk sampel dari keteguhan rekat ini dapat dilihat pada Gambar 5

dibawah ini.

Gambar 5 Sampel uji keteguhan geser tarik sejajar serat.

Nilai keteguhan geser tarik diperoleh dengan persamaan:

Keterangan:

KGT = Nilai keteguhan geser tarik (kg/cm²)

B

= Beban tarik (kg)

P

= Panjang bidang geser (cm)

L

= Lebar bidang geser (cm)

3.4.4.5.

Modulus Elastisitas (

Modulus of Elasticity

) dan Modulus Patah (

Modulus

of Repture

) Sejajar Serat.

Terlebih dahulu diukur dimensi panil bambu yang akan diuji meliputi

lebar dan tebal panil. Disiapkan alat penguji penguji

UTM

Lohmann. Untuk

34,5 mm

3 mm

25 mm

25 mm

3mm

34,5 mm

100 mm

KGT =

PxL

B

(32)

menguji MOE, sampel uji diletakkan di atas penyangga dan beban diletakan di

permukaan sampel uji kemudian diukur besarnya beban yang mampu ditahan oleh

sampel uji tersebut sampai batas proporsi. MOE panil bambu lapis dapat dihitung

dengan persamaan :

Keterangan:

MOE = Modulus elastisitas (kg/cm²)

P

= Beban hingga batas proporsi (kg)

L

= Panjang batang (cm)

Y

= Defleksi (cm)

b

= Lebar sampel uji

h

= Tebal sampel uji (cm)

Pada pengujian modulus patah (MOR), sampel uji diberi beban sehingga

mengalami kepatahan. MOR dapat dihitung dengan persamaan :

Keterangan :

MOR = Modulus patah (kg/cm²)

Pmaks = Beban maksimum hingga sampel uji patah (kg)

L

= Panjang sampel uji (cm)

b

= Lebar sampel uji (cm)

h

= Tebal sampel uji (cm)

MOE =

3 3

4

Yxbxh

PxL

MOR =

2

2

3

bxh

xL

P

maks

L = 24 h + 5 cm

2,5 cm

2,5 cm

h

BEBAN

(33)

Gambar 7 Skema pembuatan panil bambu lapis.

ANYAMAN

BAMBU SEJAJAR

(Gigantocloa apus)

ANYAMAN

BAMBU BILIK

(Gigantocloa apus)

MASA TUNGGU PEREKAT

DISUSUN SESUAI

MODEL LAPISAN

PELABURAN

PEREKAT

PENGKONDISIAN

KEMPA PANAS

Suhu 140°C, tekanan 20 kg/cm² selama

10 menit

PENGUJIAN

SIFAT

MEKANIS

SIFAT

(34)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.

Karakteristik Bambu

Jenis bambu yang digunakan dalam penelitian ini adalah bambu tali

(

Gigantochloa apus

(J.A. & J.H. Schultes) Kurz). Bambu yang dipakai telah

dalam bentuk lembaran bambu sejajar dan anyaman bambu bilik. Adapun sifat

fisis dari bahan tersebut yaitu kadar air lembaran bambu sejajar berkisar antara

6-7% dan kadar air anyaman bambu bilik berkisar antara 7-8%. Kerapatan lembaran

bambu sejajar sebesar 0,26 g/cm³ dan kerapatan anyaman bambu bilik sebesar

0,35 g/cm³.

4.2.

Kualitas Perekat Tanin Resorsinol Formaldehida

Perekat yang digunakan adalah tanin resorsinol formaldehida. Hasil

pengujian karakteristik perekat disajikan pada Tabel 2 dan Lampiran 1.

Tabel 2 Hasil uji rataan karakteristik perekat

PARAMETER

UJI

KADAR

EKSTENDER PEREKAT

(%)

NILAI

VISCOSITAS (poise)

0

0,00

2,5

7,16

5

20,00

10

113,33

pH

0

10,67

2,5

9,99

5

10,02

10

9,92

KADAR PADATAN (%)

0

20,72

2,5

21,60

5

24,82

10

26,93

Warna

0

Merah tua

2,5

Merah tua

5

Merah

10

Merah pucat

(35)

4.2.1.

Kekentalan Perekat

Dari hasil pengujian terhadap kekentalan perekat yang dilakukan pada

setiap penambahan kadar ekstender diperoleh kekentalan perekat berkisar dari

0,00 poise sampai dengan 113,33 poise. Rata-rata kekentalan perekat yang

digunakan adalah 35,12 poise. Dari Tabel 2 dapat dilihat kekentalan perekat tanin

resorsinol formaldehida terkecil pada penambahan kadar ekstender 0% artinya

perekat tanpa penambahan ekstender (tepung terigu) dan kekentalan tertinggi pada

penambahan kadar ekstender sebesar 10%.

Pada Gambar 8 dapat dilihat terjadi kenaikan kekentalan (viscositas)

perekat yang signifikan seiring dengan penambahan ekstender. Hal ini wajar,

diduga dari kandungan protein dan amilose dalam ekstender (tepung terigu).

Semakin tinggi kandungan protein dan amilose maka semakin banyak dibutuhkan

air untuk mencapai kekentalan yang sama (Santoso 1998). Dengan demikian,

dengan menaikkan kadar ekstender juga akan menaikkan jumlah protein dan

amilosenya.

Gambar 8 Grafik hubungan kadar ekstender dengan kekentalan perekat.

4.2.2. pH

pH atau derajat keasaman perekat tanin resorsinol formaldehida yang

digunakan memiliki kisaran 9-11, hal ini menunjukkan bahwa perekat tersebut

memiliki sifat basa. pH terkecil terdapat pada perekat dengan penambahan

ekstender 10% yaitu 9,92 dan pH tertinggi pada perekat dengan kadar ekstender

0% yaitu 10,67.

Berdasarkan Gambar 9

dapat dilihat hubungan nilai pH dengan kadar

(36)

ke dalam perekat akan menurunkan nilai pH. Namun penurunan nilai pH tersebut

tidak mutlak terjadi, dari Gambar 9 dapat dilihat terjadi kenaikan pH setelah

ditambah kadar ekstender yang lebih banyak yaitu 5% dibanding perekat yang

ditambah ekstender 2,5%.

Gambar 9 Grafik hubungan kadar ekstender dengan pH perekat.

4.2.3. Kadar Padat Perekat (

Solid content

)

Kadar padat perekat merupakan jumlah perekat yang tersisa setelah dioven

atau diuapkan dengan suhu 130 ± 2°C.

Berdasarkan hasil perhitungan berat

perekat setelah dioven, menunjukkan kisaran kadar padat perekat mulai dari

20,72% sampai dengan 26,93%. Rata-rata kadar padat perekat adalah 23,52%.

Dari Gambar 10 dan Tabel 2 menunjukkan bahwa kadar padat perekat

meningkat seiring dengan penambahan kadar ekstender perekat. Hal ini wajar,

sama halnya dengan kekentalan perekat. Semakin banyak jumlah ekstender yang

ditambahkan ke dalam perekat maka semakin tinggi kekentalan perekat sehingga

kadar padatannya juga semakin tinggi.

(37)

4.3.

Kualitas Panil Bambu Lapis

Dimensi panil bambu yang dihasilkan memiliki tebal 0,45 cm sampai

dengan 0,5 cm, panjang dan lebar 40 cm. Untuk mengetahui kualitas panil bambu

lapis yang dibuat maka dilakukan pengujian sifat fisis dan mekanisnya. Pengujian

sifat fisis yaitu kadar air dan kerapatan, pengujian sifat mekanis yaitu keteguhan

rekat sejajar serat, modulus lentur sejajar serat dan modulus patah sejajar serat,

delaminasi untuk pengujian keteguhan rekat. Hasil pengujian panil bambu lapis

disajikan pada Tabel 3 dan Lampiran 2.

Tabel 3 Hasil uji rataan sifat fisis dan mekanis panil bambu lapis

Model

Kadar

Ekstender

(%)

Sifat Fisis dan Mekanis

KA

(%)

ρ

(g/cm³)

D

(cm)

BS

(kg/cm²)

MOE

(x1000

kg/cm²)

MOR

(kg/cm²)

1

0

4,25

0.735

7,5

6,63

2,79

230,32

2,5

4,17

0.889

0,00

31,85

8,14

990.82

5

4,31

0.848

0,00

21,54

14,19

897,39

10

4,65

0.808

0,00

15,36

12,53

1021,24

2

0

4,73

0.784

3,35

25,84

7,47

460,64

2,5

4,27

0.942

0,00

49,28

17,39

1462,32

5

5,03

0.904

0,00

37,70

19,49

1423,21

10

5,06

0.861

0,00

30,20

14,94

1466,67

3

0

4,19

0.841

0,00

29,59

7,95

604,06

2,5

4,17

0.923

0,00

37,07

10,22

890,86

5

4,71

0.900

0,00

27,78

15,22

1214,62

10

6.06

0.877

0,00

19,28

11,13

1210,27

4

0

4,40

0.812

5,25

29,39

3,63

239,12

2,5

3,81

0.927

0,00

44,17

13,97

1138,57

5

4,50

0.911

0,00

32,32

21,35

1392,79

10

4,82

0.900

0,00

18,61

17,77

1607,90

5

0

4,97

0.804

0,00

16,16

4,92

419,36

2,5

4,57

0.839

0,00

23,65

8,52

1029,93

5

5,02

0.835

0,00

20,13

13,70

801,78

10

5,30

0.807

0,00

16,25

9,48

1121,19

Keterangan :

KA

= Kadar air

ρ

= Kerapatan

D

= Delaminasi

BS

= Bonding strength (keteguhan rekat)

MOE = Modulus of elasticity (modulus lentur)

MOR = Modulus of repture (modulus patah)

(38)

4.3.1.

Sifat Fisis

4.3.1.1.

Kadar Air

Kadar air (

Moisture content

) menunjukkan banyaknya air yang diikat oleh

panil bambu lapis terhadap berat kering tanurnya (oven) yang dinyatakan dalam

persen. Dari hasil pengujian diperoleh nilai kadar air yang bervariasi berkisar dari

3,81-6,06% dengan kadar air rata-rata bambu lapis yaitu 4,69%. Dari Tabel 3

menunjukkan bahwa model lapisan 2 dengan kadar ekstender 2,5% menghasilkan

panil bambu lapis dengan kadar air terendah dan panil bambu lapis model lapisan

3 dengan kadar ekstender 10% menghasilkan kadar air bambu lapis tertinggi.

Berpedoman pada standar JAS dan SNI bahwa maksimal kadar air yang

dimiliki kayu lapis struktural adalah 14% maka kadar air semua panil bambu lapis

berada dibawah nilai kadar air maksimun kayu lapis. Dengan demikian panil

bambu lapis yang dibuat telah memenuhi standar kadar air kayu lapis. Nilai

rata-rata kadar air panil bambu lapis lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil

penelitian Nugraha (2006) yaitu 13,91%.

Berdasarkan Gambar 11 menunjukkan kecenderungan nilai kadar air tiap

model lapisan penyusun bambu lapis turun dengan penambahan ekstender 2,5%,

kemudian kadar airnya naik seiring dengan penambahan ekstender sampai dengan

10%. Kadar air rata-rata panil pada kadar ekstender 0% adalah 4,51%, turun

menjadi 4,29% pada panil dengan kadar ekstender 2,5%, kemudian naik menjadi

4,71% pada panil dengan kadar ekstender 5% dan terus naik menjadi 5,18% pada

panil dengan kadar ekstender 10%.

Gambar 11 Histogram nilai kadar air panil bambu lapis.

JAS dan SNI

(39)

Hasil analisis ragam (ANOVA) pada selang kepercayaan 95% dan 99%

(taraf nyata 5% dan 1%) pada Tabel 4 menunjukkan bahwa variasi model lapisan

penyusun bambu lapis dan variasi kadar ekstender perekat berpengaruh sangat

nyata terhadap kadar air bambu lapis. Demikian juga dengan interaksi model

lapisan dan kadar ekstender perekat memberikan pengaruh sangat nyata.

Tabel 4 Analisis sidik ragam kadar air

Sumber

DB

JK

KT

Fhit

Ftabel

5%

1%

Model lapisan

4

3,58 0,90

7,29** 2,61 3,83

Kadar Ekstender

3

7,06 2,35 19,13** 2,84 4,31

Model lapisan kadar ekstender

12

4,10 0,34

2,78** 2,00 2,67

Galat

40

4,92 0,12

Total

59

19,66

Keterangan :

DB : Derajat Bebas

JK : Jumlah Kuadarat

KT : Kuadrat Tengah

* : nyata

** : sangat nyata

tn : tidak nyata

Karena faktor perlakuan berpengaruh sangat nyata terhadap parameter

yang diuji maka dilakukan uji lanjut Duncan. Hasilnya menunjukkan bahwa nilai

kadar air model lapisan 1 tidak berbeda nyata dengan model lapisan 4, dengan

nilai rataan kadar air model lapisan 1 lebih kecil dibanding model lapisan 4. Hal

ini diduga karena model lapisan 1 disusun oleh lembaran-lembaran bambu sejajar

yang memiliki kadar air yang rendah dan arah penyusunannya yang sejajar akan

memudahkan pengeluaran air. Kemudian hasil uji lanjut Duncan yang

membandingkan nilai kadar air tiap kadar ekstender perekat menunjukkan bahwa

kadar ekstender 2,5% berbeda nyata dengan kadar ekstender perekat lain dan

menghasilkan kadar air panil bambu lapis terendah. Hal ini diduga karena

kekentalan perekat dan kadar padat perekat dengan ekstender perekat 2,5% lebih

ideal dalam hal penetrasi dan penyebaran perekat ke seluruh permukaan lembaran

bambu bila dibandingkan dengan ekstender perekat 0%, 5% dan 10%. Karena

penambahan ekstender yang berlebihan akan mengurangi jumlah perekat

persatuan luasnya.

Sedangkan hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 3) untuk interaksi kedua

faktor (model lapisan dan kadar ekstender perekat) menunjukkan bahwa model

lapisan 4 dengan kadar ekstender perekat 2,5% berbeda nyata dengan panil bambu

lapis lainnya serta menghasilkan panil bambu lapis dengan kadar air terendah.

(40)

Selain itu, panil bambu lapis model lapisan 3 dengan kadar ekstender 10%

berbeda nyata dengan panil bambu lapis lainnya dengan menghasilkan kadar air

bambu lapis tertinggi. Namun rata-rata kadar air semua panil bambu lapis telah

memenuhi standar JAS dan SNI, oleh karena dapat disarankan untuk

menggunakan model lapisan 1 dengan kadar ekstender perekat 10% dalam

pembuatan bambu lapis yang efisien dalam penggunaan bahan (perekat dan

bambu).

4.3.1.2.

Kerapatan

Kerapatan (

density

) adalah perbandingan antara massa kayu dengan

volumenya. Kerapatan yang dimaksud adalah kerapatan pada saat kering udara

(Haygreen dan Bowyer 1993). Dari hasil penelitian menunjukkan nilai kerapatan

bambu lapis bervariasi mulai dari yang terkecil 0,735 g/cm³ sampai dengan 0,942

g/cm³. Dan rata-rata kerapatannya sebesar 0,86 g/cm³ lebih tinggi dibanding hasil

penelitian Nugraha (2006) yaitu 0,76 g/cm³. Kerapatan terkecil terdapat pada

model lapisan 1 dengan kadar ekstender perekat 0% dan kerapatan tertinggi pada

model lapisan 2 dengan kadar ekstender perekat 2,5%. Terdapat kenaikkan

kerapatan setelah menjadi panil bambu lapis, fenomena tersebut wajar mengingat

adanya lapisan perekat dan terjadi pemadatan bahan bambu lapis akibat

pengempaan (Sulastiningsih 2005).

Dari Gambar 12 dapat dilihat kecenderungan nilai kerapatan tiap model

lapisan panil bambu lapis mengalami kenaikkan pada penambahan ekstender

perekat sebanyak 2,5%, kemudian turun perlahan sampai dengan penambahan

kadar ekstender perekat 10%. Kerapatan rata-rata panil bambu lapis pada kadar

ekstender 0% sebesar 0,80 g/cm³, kerapatan naik menjadi 0,91 g/cm³ pada perekat

yang ditambah ekstender 2,5% kemudian kerapatan turun menjadi 0,88 g/cm³

pada perekat yang ditambah ekstender 5% dan terus turun menjadi 0,85% pada

perekat yang ditambah ekstender 10%.

Gambar

Gambar 1 Penampang melintang batang bambu (Janssen 1981).
Gambar 2 Struktur tanin terkondensasi (Hemingway 1989).
Tabel 1. Komposisi Tepung
Gambar 3 Variasi model lapisan penyusun panil bambu lapis.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Rapat dipimpin oleh ketua panitia menggunakan media system layanan Pengadaan barang jasa secara elektronik pada LPSE kementerian Kelautan dan Perikanan lpse.kkp.go.id dengan

data฀ envelopment฀ analysis ฀ (DEA)฀ to฀ connect฀ student฀ quality฀ (i.e.,฀ inputs)฀ with฀ employment-related฀ benefits฀ (i.e.,฀ outputs)฀ to฀ evaluate฀

%FNPLSBUJT NFSVQBLBO TBUV FOUJUBT ZBOH NFOKBEJ QFOFHBL XBDBOB DJWJM TPDJFZ EJ NBOB EBMBN NFOKBMBOJ LFIJEVQBO XBSHB OFHBSB NFNJMJLJ LFCFCBTBO QFOVI VOUVL NFOKBMBOLBO

Evaluasi Penawaran dilaksanakan berdasarkan Dokumen Pengadaan Nomor : 004/PSAB- DPU/VI/2017 tanggal 05 Juni 2017 , Berita Acara Penjelasan Dokumen Pengadaan, dan

In this paper, we presented a work flow for the semiautomatic ex- traction of orthographic views for indoor scenes from laser range scans and high resolution panoramic images.

Part II : Questions and Answers dalam TOEIC like test siswa kelas XII di SMKN 8 Surakarta; (3) Kontribusi Yes/No Questions terhadap hasil tes Part II : Questions and

Continues valve lift control merupakan komponen pada valvematic yang terus mengatur lebar jarak terbukanya katup sesuai kondisi mesin menyebabkan lebar jarak terbukanya

Gambar 3.2 menunjukkan alur sistem bekerja secara umum mulai dari enam sensor infrared dan sensor DS18B20 yang memonitoring jumlah telur dan suhu didalam freezer kemudian